xx
LAMPIRAN
xxi
xxii
DAFTAR PERTANYAAN
UMUM
● Apakah The Jakarta Post secara sistematis sudah termasuk konvergensi media, atau The Jakarta Post menjalani perubahan media secara alami dengan sendirinya?
● Sejauh yang saya pahami dan amati selama magang September-November 2019, The Jakarta Post ini sudah tergolong di tahap model Newsroom 1.0 menurut WAN-IFRA.
Namun, dari pendapat Anda sendiri apakah perubahan yang dilakukan The Jakarta Post ini berkiblat/mengacu pada sistem, konsep, atau model tertentu?
● Bagaimana pertama kali konvergensi ini digagaskan di TJP?
● Apa alasan yang mendasari konvergensi ini?
● Target apa yang ingin dicapai dengan penerapan konvergensi media di The Jakarta Post? (Proyeksi konvergensi TJP menuju ke tahap selanjutnya, atau akan berputar balik ke koran cetak/dekonvergensi?)
● Apa evaluasi yang sejauh ini sudah muncul selama penerapan konvergensi di The Jakarta Post? (Secara spesifik, hal apa yang mau ditonjolkan dari TJP, dan/atau apa yang mau dihilangkan dari TJP?)
● Mengapa mengutamakan konvergensi yang seperti ini?
● Selain dari segi alur kerja, derajat kemultiahlian, dan integrasi budaya, apakah terdapat perubahan lain di aspek lain? Contohnya, model bisnis media, dll.
ALUR KERJA
● Apa yang berubah dari alur kerja newsroom The Jakarta Post sebelum dan sesudah konvergensi?
● Alur kerja circa akhir 2019: Rapat redaksi → rapat desk → reporter data gathering
& news writing → editor → layouter → newspaper/website
● Mengapa bagian-bagian tersebut berubah?
● More follow up questions
DERAJAT KEMULTIAHLIAN
● Bagaimana jobdesc individu dari susunan terbawah? (Dari reporter, editor, sampai pemred)
● Menurut pendapat Anda, apakah seorang wartawan wajib menjadi jack of all trades?
● Bagaimana hal tersebut berpengaruh ke aspek pekerja lapangan dari divisi-divisi seperti multimedia, media sosial, reporter, dan fotografer?
INTEGRASI BUDAYA
xxiii
● Kalau harus mendeskripsikan budaya The Jakarta Post, apa beberapa hal yang terlintas di kepala Anda? (Budaya itu apa - pola kerja, gaya berbicara, gaya pemberitaan, nuansa/ambience lingkungan kerja. Contoh spesifik: Pada tahun 2019, cara pemberitaan The Jakarta Post adalah storytelling yang menjurus ke feature dan berkisar 500-800 kata)
● Menurut Anda, The Jakarta Post ini kental dengan apa?
● Adakah yang berubah dari budaya tersebut sebelum dan sesudah konvergensi?
● The Jakarta Post didirikan oleh empat media – dari media mana yang berpengaruh paling besar dari masa ke masa?
OBSERVASI
Periode observasi : 1 September 2019 - 30 November 2019
Referensi : Proses Kerja City Reporter di The Jakarta Post
(laporan magang) oleh Maria Michelle Angela (2020) Kegiatan yang diobservasi:
● Proses produksi berita The Jakarta Post
● Alur kerja reporter
● Hubungan kerja antara eksekutor (reporter The Jakarta Post) dan top-level management (editor, managing editor, dan editor-in-chief)
● The Jakarta Post sebagai korporasi (PT Bina Media Tenggara & PT Niskala Media Tenggara)
● Budaya kerja The Jakarta Post Catatan observasi:
● Rapat desk city dilakukan setiap hari Kamis setelah deadline (di atas pukul 17.00 WIB, biasanya pukul 19.00 WIB hingga selesai)
● Semasa magang, hanya ada 9 artikel dari sekian draf yang diunggah ke situs web TJP. Alasan mengapa sebagian artikel tidak naik adalah artikel tersebut dibuat terlalu dekat dengan deadline. Awalnya penulis mengira TJP cepat tayang, tetapi ternyata pengerjaan artikel bisa memakan waktu berhari-hari karena harus menghubungi narasumber ahli atau banyak narasumber. Editor pun menyicil menyunting artikel tidak dalam satu hari saja
● Saat meliput artikel “Boba with a twist: Jakartans introduced to savory bubble tea”, “Push-bike race brings children back to nature”, “Bulk stores promote lesswaste lifestyle”, dan artikel tentang acara Disrupto, penulis
xxiv
diminta untuk mengambil foto ilustrasi pendukung dan membuat takarir/caption yang sesuai dengan kaidah jurnalistik
● Alur kerja September-November 2019: rapat top level management (menentukan isu-isu yang akan diangkat) → rapat desk (diskusi &
brainstorm ide liputan) → reporter liputan → reporter memroduksi berita
→ reporter submit ke editor → editor menyunting artikel menjadi 2 versi:
cetak atau daring → untuk cetak diserahkan ke penata letak, untuk daring diserahkan ke tim website → artikel naik
● Oktober 2019: salah seorang editor desk city resign (Ida Indawati Khouw) dan di hari terakhirnya (saat rapat desk), terlihat jelas bahwa reporter dan editor memiliki hubungan yang cukup erat dan tidak terlalu kaku
● November 2019: penulis diajak mengikuti TJP Fun Day – acara ramah tamah editorial TJP terlepas dari status penulis yang hanya sebagai pemagang
xxv
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : M. Taufiqurrahman (Editor-in-Chief) Tempat Wawancara : Platform dalam jaringan (via Zoom) Waktu Wawancara : 31 Desember 2020
No. Transkrip Kategori
Konsep
Analisis Awal
1.
Sudah berapa lama bekerja di The Jakarta Post? Boleh ceritakan perjalanannya dari proses training, pernah bekerja di divisi mana saja?
Saya sudah lama di JP, sudah dari 2004 yang pasti sudah mengisi banyak desk dan banyak posisi karena kan sudah yang paling atas. Pasti kan dari bawah sekali lalu middle manager, terus upper level, sampai top level manager kalau sekarang. Kalau desk kan sudah semua desk sudah kan. Kalau misal di JP ada pembagian beberapa desk, saya sudah di semua desk. Paling lama saya nulis di desk politik, berita politik, dan berita internasional.
Taufiq bekerja di TJP sejak tahun 2004
2.
Apakah The Jakarta Post secara sistematis sudah termasuk konvergensi media, atau The Jakarta Post menjalani perubahan media secara alami dengan sendirinya?
Sebenarnya tidak pernah ada keputusan besar atau keputusan sadar kalau bahwa
2, 3, 6
(2) Konvergensi media dan ruang berita The Jakarta Post terjadi dengan sendirinya tanpa ada keputusan resmi. TJP sudah mencoba berbagai model konvergensi dan menjalani banyak trials and errors selama beberapa tahun terakhir. Sejauh
xxvi
"Oh ini saatnya mengikuti perkembangan media terbaru"" atau
""Wah ini karena semua media pindah ke online, kita juga harus pindah ke online"". Sebenarnya tidak pernah begitu. (2) Tidak ada pernah keputusan sadar seperti itu karena mungkin sebagian besar keberadaan JP dari 38 tahun yang lalu kan memang mungkin lebih dikenal sebagai platform print gitu kan bahkan sekarang pun terus terang penekanannya masih di print dan berita- berita yang sebenarnya sifatnya pun tidak terlalu cocok segera terbit online, artinya kita kan lebih banyak memroduksi analisis atau apa ya act decision, berita panjang soal politik dan bisnis.
Pernah ada beberapa eksperimen bagaimana supaya JP lebih bisa dikenal sebagai brand media online tapi sampai sejauhnya belum terlalu berhasil. Perlu diakui keberadaan edisi online itu hanya sebagai implemen dari apa yang kita produksi dari platform print atau platform tradisional. (2) Ada banyak pertimbangan misalnya ada beberapa eksperimen itu terus terang hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Secara objektif juga revenue atau pendapatan itu kan tidak terlalu bisa diharapkan kalau dari sumber online. Ya Anda tahu permasalahannya kan ada Google, ada Facebook yang mengambil terlalu banyak revenue iklan dari media-media konvensional. (6) Jadi satu-satunya cara masih menekankan brand lama sebagai produk print dan format yang kita coba pertahankan dan kita perbesar pun kan pada akhirnya e-paper dan koran. (2) E-
ini belum ada yang benar-benar berhasil. Ekspansi yang dilakukan adalah digitalisasi koran via situs web, di mana TJP mengembangkan format tulisan dalam jaringan dan produk multimedia. Taufiq memproyeksikan long-form journalism ke depannya.
(3) Sebelum pandemi, TJP memiliki tim yang cukup besar dan menerapkan sistem around the clock reporting terutama di desk ekonomi, politik, dan bisnis, di mana prinsip immediacy menjadi yang utama di newsroom.
(6) Untuk mendapatkan revenue dari platform dalam jaringan cukup sulit dan tidak semenguntungkan platform cetak, karena komisi yang diambil oleh penyedia layanan (seperti Google dan Facebook) cukup besar.
xxvii paper kan sebenernya koran yang ada dalam format elektronik gitu bukan interaktif seperti produk web site. Statik tidak ada keputusan khusus selain memang ada kebutuhan yang sangat riil, bahwa penekanannya masih di produk lama. Print media tetep jadi fokus kita.
Perubahan yang paling kerasa dialami itu hmm mungkin satu-satunya hal yaang agak beda itu mungkin ekspansi yang kita lakukan untuk produk multimedia karena web site kan dari dulu ya. (2) JP termasuk yang paling awal punya web site. Akhir 90-an itu kita sudah punya web site. Nah, sejak saat itu web site kita itu jadi platform penerbitan berita saja.
Agak beda itu tiga tahun yang lalu jadi kita mulai mengerjakan produk multimedia artinya ada platform youtube, platform window yang meng- publish produk-produk multimedia tapi sekali lagi saya harus bilang bahwa itu masih eksperimen yang kadang berhasil kadang juga miss walaupun kegagalan dan keberhasilannya tidak spektakuler.
Oke, ada viewers yang tinggi ada yang most of the time viewershipnya tidak terlalu besar. Eksperimen yang paling besar cuma itu jadi bagaimana JP coba expand produk-produk multimedia karena dari awal web site hanya seperti mirror dari produk print atau misalnya kalau print sudah terlalu tidak relevan, apa yang kita produksi text based journalism itu memang di-publish di web site dan itu standar print. Hal yang benar- benar kita lakukan ya mungkin ya multimedia dan mungkin tapi ini sebelum covid ya jadi mungkin 2017 2018 ya 2019 itu ketika kita masih punya
xxviii tim yang cukup besar itu kita coba lakukan kayak around the clock news reporting. Setiap ada berita baru ekonomi, politik, bisnis itu kita segera laporkan. (3) Di Indonesia itu ada detik, kompas dot com. Kalau di luar itu ada Huffington Post. Kita waktu masih timnya cukup besar, kita coba lakukan itu gitu kan tapi mungkin sekarang kita masih lakukan efisiensi ya jadi mungkin saya masih coba untuk mengubah jadi lebih fokus ke long form atau premium content journalism aja itu paling yang sudah kita lakukan. (2)"
3.
Sejauh yang saya pahami dan amati selama magang September-November 2019, The Jakarta Post ini sudah tergolong di tahap model Newsroom 1.0 menurut WAN-IFRA. Namun, dari pendapat Anda sendiri apakah perubahan yang dilakukan The Jakarta Post ini berkiblat/mengacu pada sistem, konsep, atau model tertentu?
Saya enggak tahu terus terang ini nanti klasifikasinya masuk ke bagian apa tapi ini saya bisa jelaskan gambaran konkret.
Sebenarnya sudah ada kesadaran bahwa jurnalis sekarang itu harus bekerja multiplatform dan memang pernah ada desain di mana dan sempat ada training misalnya reporter itu akan menggunakan banyak platform dalam melakukan produksi online. (2) Hanya saja banyak kendala yang menghambat reporter atau editor lebih agile dalam safe dari satu platform ke platform. (6) Akhirnya itu
2, 3, 6 (2) Konvergensi ruang berita TJP berdasarkan model WAN- IFRA memasuki tahap transisi dari Model Newsroom 1.0 menuju ke Model Newsroom 2.0. Reporter meliput kejadian, mengolah informasi menjadi produk berita, kemudian informasi dipilah oleh editor untuk dimasukkan sebagai format tertentu (cetak, daring, atau multimedia). Variasi produk berita TJP pun didasarkan oleh kompleksitas dan kepentingan liputan yang dilakukan oleh reporter.
TJP juga melakukan pelatihan terhadap calon reporter untuk menggunakan banyak platform dalam melakukan produksi berita daring.
xxix tidak diadopsi menjadi strategi newsroom secara umum. Teman-teman reporter yang masih melakukan itu simply karena punya kapabilitas dan mereka masih mau melakukan itu gitu tapi tidak ada keharusan kalau semua harus bisa menjadi multiplatform jurnalis karena mungkin ada beberapa hambatan. Pertama hambatan institusional, kedua hambatan teknologi, ketiga hambatan psikologis karena newsroom itu sudah hampir 30 tahun beroperasi untuk output print jadi mindsetnya adalah kalau reporter menulis berita pagi masih ada perasaan kalau berita itu masih bisa ditulis untuk berita besok pagi. Artinya dia bisa punya lebih banyak waktu untuk menunggu, menulis, hingga sorenya dia bisa submit ke editor. Padahal kalau Anda bekerja untuk multi platform media itu kan begitu liputan selesai dia mengedit video, dia mengpublish video, atau dia mengunggah IG brief story baru publish duluan. Kalau JP ya mungkin ada tiga hambatan itu ya hambatan psikologis, institusional, dan teknologi sehingga hal itu agak susah dijalankan. (6) Terus terang tidak pernah ada kesadaran bahwa semua harus jadi editor, jurnalis multi platform. Pada akhirnya diserahkan bagi yang mau melakukan ya silahkan lakukan. Baru belakangan memang teman-teman itu yang menciptakan spesialisasinya sendiri jadi dia merasa oh saya punya skill di sini dan comfortable di sini akhirnya mereka bikin group sendiri di mana mereka mengasosiasikan dirinya dan menggabungkan dirinya ke tim multimedia tetapi hal ini tidak dilakukan secara sadar dengan adanya strategi besar di dalamnya untuk
Reporter TJP dapat mengeksplor spesialisasinya sendiri dan mengasosiasikan dirinya dengan grup multimedia. Inisiatif ini dilakukan tanpa adanya keputusan atau strategi resmi untuk melakukan ekspansi konten multimedia.
(6) Kendala reporter dan editor yang dihadapi mencakup hambatan institusional, teknologi, dan psikologis.
Ketiganya berakar dari ruang berita TJP yang selama 30 tahun beroperasi sebagai media platform cetak, padahal sudah ada inisiatif untuk melakukan ekspansi ke platform daring dan multimedia.
xxx membuat konten multimedia JP yang terdepan. (2) Belum ada strategi besar itu sebenarnya akhirnya memang lebih banyak improvisasi gitu.
Mungkin ya masih di model newsroom 1.0 gitu atau 1.5 gitu. Pembagian menjadi beberapa multiplatform itu tidak dilakukan dengan strategi misalnya ketika reporter keluar itu atau editor bekerja melakukan dengan kesadaran bahwa nanti beritanya jadi beberapa bagian lho jadi yang lebih sering terjadi misalnya materi yang ada jadi beberapa bagian. (2) Misalnya ada wawancara dengan Presiden Jokowi akan sangat tidak praktis kalau yang datang itu hanya reporter untuk berita print saja karena ketemu presiden itu kesempatan yang langka. Jadi akhirnya diajak tim multimedia. Lalu ada kameramen, ada editor, ada pemred malah ikut kalau presiden. Baru untuk scope sebesar itu bisa jadi banyak bagian. Kalau misalnya headline hari ini soal melepas tahun 2020 itu karena ya kayak misalnya minggu ini kan reporter sudah banyak yang libur dan akhirnya tinggal ada dua orang yang bisa menulis berita itu akan sangat berlebihan kalau harapannya adalah mewawancarai, lalu merekam, ada rekaman videonya terus kemudian jadi berita di-print.
Artinya satu ayam yang jadi banyak hidangan itu tidak selalu terjadi poinnya.
Satu ayam jadi banyak hidangan itu kita putuskan kayak efektif enggak untuk dilakukan. Kalau misalnya hanya wawancara beberapa orang untuk tahun baru ya sudah print aja enggak usah video tapi kalau wawancara dengan
xxxi presiden, wawancara dengan Obama misalkan, kan bodoh sekali kalau datang enggak pakai video. Jadi the degree of complexity of liputannya gitu. (2)
4.
Bagaimana pertama kali konvergensi ini digagaskan di TJP? Apa alasan yang mendasari konvergensi ini?
"Sebenarnya tidak pernah ada keputusan besar atau keputusan sadar kalau bahwa
""Oh ini saatnya mengikuti perkembangan media terbaru"" atau
""Wah ini karena semua media pindah ke online, kita juga harus pindah ke online"". Sebenarnya tidak pernah begitu. Tidak ada pernah keputusan sadar seperti itu karena mungkin sebagian besar keberadaan JP dari 38 tahun yang lalu kan memang mungkin lebih dikenal sebagai platform print gitu kan bahkan sekarang pun terus terang penekanannya masih di print dan berita- berita yang sebenarnya sifatnya pun tidak terlalu cocok segera terbit online, artinya kita kan lebih banyak memroduksi analisis atau apa ya act decision, berita panjang soal politik dan bisnis.
Faktor-faktor yang mendasari adanya multi platform itu tergantung seberapa besar scope-nya. (2) Itu tadi kalau misalnya hanya story mengenai melepas tahun 2020 dan kita hanya dapat beberapa kutipan dari teman-teman yang hidup di 2020 dan harus menghadapi covid ya itu mungkin cukup berita print aja atau kalau mau diputuskan itu produk multimedia it will make different
2, 6
(2) Faktor yang mendasari keberadaan jurnalisme multiplatform di TJP adalah besar cakupan dari sebuah isu (magnitud). Sekitar tahun 2017- 2018, TJP memutuskan untuk melakukan diversifikasi produk jurnalisme karena melihat tren- tren yang muncul (seperti podcast dan video pendek) dan menggagaskan perlunya desk multimedia.
(6) Upaya untuk melakukan
konvergensi media
membutuhkan modal yang sangat besar. Selain itu, TJP juga harus menemukan strategi produksi dan distribusi yang tepat untuk memancing
audiens—yang juga
membutuhkan sumber daya manusia tambahan dan dana untuk upah SDM tersebut.
xxxii planning gitu kan dan karena size newsroom kita jauh lebih kecil, prioritasnya hanya untuk text based journalism dulu jadi.. unless it's a big scope kita fokus di text-based journalism dan kalau misalnya tidak ada resources sama sekali untuk menjalaninya sih kita realistis banget. Misalnya untuk ya udah videonya berisi dengan video-video yang diproduksi orang lain ya sudah artinya ada wire resources. Banyak kan kayak video-video viral yang menjadi bisa ditampilkan di web site atau channel youtube kita. Enggak terlalu ambisius sebenernya untuk menjadi multiplatform setiap saat."
Jadi sempat ada keyakinan bahwa di oke the future of online journalism is multimedia gitu di sekitar tahun 2017 2018 atau ok the future of revenue from ads is video atau the future of ads revenue adalah podcast gitu kan. Nah, sudah ada beberapa upaya untuk dilakukan untuk membuat produk kita lebih diversifikasi gitu (2) karena waktu itu kita punya pemikiran bahwa banyak uang nih di new media gitu, banyak uang iklan di online journalism tapi kalau Anda perhatikan di Youtube itu banyak jutaan channel tapi channel yang make money itu berapa? Sepuluh dua puluh gitu kan dan kalau Anda perhatikan channel youtube yang banyak mendatangkan uang, subscriber banyak itu adalah channel-channel yang mungkin receh tapi production value tinggi artinya bahwa untuk melakukan produksi seperti itu saja itu perlu investasi yang besar. Kedua, harus ada strategi liputan atau strategi produksi
xxxiii supaya channel youtube dilihat orang dan disubscribe orang. Nah, hal yang sama itu harus dipikirkan oleh JP kalau misalkan mau memperlakukan diversifikasi produk online, perlu planning, perlu strategy, dan paling penting lagi perlu uang yang sangat besar karena ini dunia baru yang di mana investasi secara global ini perlu global venture begitu. Hal yang terus terang kita enggak punya atau punya tapi enggak banyak yang artinya kesadaran itu ada bahwa kita harus bertransformasi mengejar sumber revenue dari media journalist, multimedia journalism but you also need a lot of effort. Money, skill, strategy untuk bisa sukses melakukannya gitu. Saya harus akui bahwa we are not doing a good job melakukan itu gitu. (6) Kita tidak selalu berhasil memroduksi konten multimedia.
Terkadang itu diproduksi simply karena oh channel youtubenya itu biar keisi aja.
We are really realistic about it gitu karena online jurnalis atau multimedia journalism itu memang ranah baru kecuali Anda memang FOX, atau NYT, The Guardian yang punya begitu besar modal terus terang susah untuk melakukannya.
5.
Target apa yang ingin dicapai dengan penerapan konvergensi media di The Jakarta Post? (Proyeksi konvergensi TJP menuju ke tahap selanjutnya, atau akan berputar balik ke koran cetak/dekonvergensi?)
1, 7
(1) The Jakarta Post adalah satu- satunya brand media berbahasa Inggris di Indonesia yang memiliki reputasi kuat serta pembaca yang loyal. Mereka pernah melakukan survei pembaca dan banyak yang
xxxiv Sebenernya dengan segala macem permasalahannya atau keterbatasannya itu one admirable thing about JP kami itu satu-satunya brand media bahasa Inggris di Indonesia. Kedua, ada reputasi yang sangat kuat dan kita tahu di luar sana itu, di Indonesia dan di luar Indonesia, ada pembaca atau orang-orang yang sangat loyal dengan JP. Kita beberapa kali melakukan survey ke pembaca dalam negeri dan luar negeri dan mereka mengatakan bahwa mereka mau membayar untuk produk journalism JP.
Jadi pada akhirnya lepas ini mau jualan online mau multimedia journalism atau apapun yang kita jual sebenernya ada market di luar sana dan orang mau bayar untuk produk journalism yang baik gitu kan. Since JP is the only one from Indonesia, saya yakin pasti ada orang yang mau subscribe dan mau support journalism from and about Indonesia. Itu yang sedang kita perbaiki sekarang, bagaimana orang mau subscribe ke JP online karena kita punya brand new content. (1)
Kalau print itu kan editorial jadi itu lebih mudah dikerjakan dan yang belum online subscription. Itu akan kita lakukan lebih serius di 2021.
(7) Ada proses yang intensif tapi enak aja google menjual jadi produk gratis jadi akan balik ke subscription. Bakalan kita kejar di 2021 nanti.
menyatakan bersedia membayar untuk produk jurnalisme TJP.
Untuk sekarang, Taufiq selaku editor-in-chief TJP sedang berupaya agar khalayak mau berlangganan konten daring TJP.
(7) Salah satu solusi dari hambatan konvergensi media dan newsroom TJP adalah melakukan proposisi untuk targeted market yang spesifik untuk mendukung via berlangganan konten premium.
Menurut Taufiq, masa depan jurnalisme di TJP adalah subscription-based journalism karena jurnalisme tidak gratis.
6.
Apa evaluasi yang sejauh ini sudah muncul selama penerapan konvergensi di The Jakarta Post?
(Secara spesifik, hal apa yang mau
xxxv ditonjolkan dari TJP, dan/atau apa yang mau dihilangkan dari TJP?)
Mengapa mengutamakan konvergensi yang seperti ini? Selain dari segi alur kerja, derajat kemultiahlian, dan integrasi budaya, apakah terdapat perubahan lain di aspek lain?
Contohnya, model bisnis media, dll.
Apa yang berubah dari alur kerja newsroom The Jakarta Post sebelum dan sesudah konvergensi? Mengapa bagian-bagian tersebut berubah?
Sebenernya secara umum nothing affect me personally karena dari tahun 80-an atau 70-an pun sebenernya kan journalism itu kan fast pace gitu. Jadi bahkan waktu kita berkerja hanya untuk platform print pun sebenernya kan ada deadline atau bahwa peristiwa itu berhenti ketika corona itu terbit. Artinya bahwa kita harus selalu lebih me- breakdown perkembangan lebih tepat saja. Dunia terus berputar, artinya pekerjaan sebagai jurnalis, atau sebagai penulis itu sama. Fast pace aja dari tahun 70-an sampai sekarang itu adalah pekerjaan yang fully engage dengan perkembangan di luar sana, mengikuti perkembangan 24/7 kecuali pas tidur. (3) Bedanya kalau sekarang itu harus lebih sering menulisnya, harus lebih cepet menulisnya dan dituntut untuk lebih responsive terhadap perkembangan di luar sana (8) karena misalnya kan sebenernya hari ini kan enggak ada koran
3, 8
(3) Secara pribadi, berdasarkan pengalaman Taufiq sebagai jurnalis, ia tidak merasakan banyak perubahan. Menurut Taufiq, jurnalisme pada hakikatnya adalah profesi yang bertempo cepat di mana berita memiliki garis mati atau tanggal kadaluwarsa. Cara pemberitaan TJP pun berevolusi, dari yang
"sekadar" melaporkan fakta terhadap khalayak hingga mengulik ke makna dari sebuah isu dan dampaknya pada masyarakat.
(8) Jurnalisme di abad 20 terasa lebih cepat karena dengan adanya internet, perkembangan tiap isu jadi lebih terekspos dan jurnalis harus mampu menguraikan perkembangan tersebut lebih tepat (prinsip immediacy)
xxxvi eh wait besok enggak ada koran terus FPI dibubarkan tanggal 31, artinya kalau kita mengikuti cara kerja lama itu beritanya baru akan muncul hari sabtu yang artinya it's yesterday news. Sudah basi gitu. Nah dan itu bahwa sekarang itu delivery content lebih cepet aja. Jadi enggak usah nunggu koran ya sudah naik dulu hari rabu dengan pemberitaan bahwa FPI ditutup segala macam perdebatan dan kontroversinya. Kita enggak bisa nulis bahwa FPI ditutup nih dan bahwa FPI ditutup itu bisa cari di tempat lain gitu tapi watch behind it karena siapa tahu buat orang yang enggak terlalu ngerti Indonesia, apa sih ini artinya? Begitu.
Jadi itu satu bahwa pacenya lebih cepat, dunia tetap berputar sama tapi how we deliver content itu lebih cepet, lebih frequent. Kedua karena semua orang sudah melakukannya artinya semua orang semuanya sudah punya platform ke media atau sosial media gitu jadi facts atau berita atau news itu sudah enggak terlalu penting lagi, penting itu adalah views opinion dan saya pikir keberhasilan JP ke depan adalah sebaiknya dan ini tugas yang sangat berat. I think we stop reporting facts and look at the meaning behind that fact, (3) artinya kita menjelaskan kepada siapapun bahwa apa sih artinya FPI itu bubar atau apa artinya kalau tahun ini enggak ada pesta tahun baru? Because everybody knows bahwa tahun ini enggak ada pesta tahun baru. Hanya saja what is the meaning for penjual terompet, hotel, atau tourism spot gitu.
Jadi itu mungkin kalau ada beberapa hal yang harus berubah dan bagaimana journalism sekarang itu beda dengan
xxxvii journalism 20 tahun lalu ketika saya bekerja di newsroom JP gitu. (3)
Bagaimana jobdesc individu dari susunan terbawah? (Dari reporter, editor, sampai pemred)
"Struktur yang saya warisi sekarang di mana saya ada di dalamnya itu sangat vertikal dan itu sudah menimbulkan banyak masalah artinya change of comment, birokrasi, karena dunia ketika berjalan lebih cepat itu responnya harus berjalan lebih cepat gitu. Nah, akan lebih baik kalau strukturnya jadi lebih horizontal. Misalnya editor atau manajerial position even top managerial position itu bisa punya akses langsung ke reporter jadi birokrasi dipotong supaya kita bisa bekerja lebih cepat dan deliver content lebih cepet (3) karena struktur sekarang warisan dari print journalism di mana segala hal diatur secara lebih berstuktur di mana proses cek dan ricek atau cross check lebih rigid karena di masa lalu di 20 tahun yang lalu kan to write to produce newspaper kan 24 hours basically atau 12 jam lah kalau misalnya setengah hari. You have 12 hours to produce one story, jadi pembagiannya bisa jadi lebih demokratis. Artinya dari arahan paling umum dari chief editor, strategi liputan segala macem diturunkan ke managing editor. Kemudian, agak detail dari managing editor diturunkan ke editor, editor ke reporter jadi sangat konkret. Misal dari chief editor permintaannya adalah kita tulis soal FPI dikejar-kejar dan dibubarkan pemerintah. Managing editor menurunkan itu menjadi bahwa oh
3, 8
(3) Struktur editorial (ruang berita) TJP dipotong agar menjadi lebih horizontal.
(8) Tujuan dari perubahan ini adalah agar jurnalis dapat bekerja dan menyajikan konten lebih cepat.
xxxviii apakah peraturannya cocok dengan UU tidak begitu. Di ranah editor menjadi siapa yang mau ditelepon begitu atau mesti pergi ke mana kalau level editor.
Itu kan dengan asumsi kita punya 12 jam untuk mengerjakan berita itu di masa lalu, di 20 tahun yang lalu. Sekarang, itu harus terbit misalnya satu jam setelah after the news break. Kalau chains of commandnya masih sepanjang itu, ya kita akan selalu telat. Kenapa? Itu yang sekarang saya lakukan. Kalau misalnya top level memutuskan bahwa kita harus punya berita ini mungkin levelnya dia bisa ngomong ke editor atau managing editor langsung gitu turun ke reporter.
Birokrasi itu perlu dipotong supaya prosesnya lebih cepat, as simple as that.
(8)
Menurut pendapat Anda, apakah seorang wartawan wajib menjadi jack of all trades?
Mungkin idealnya seperti itu artinya kan misalnya reporter itu harus bisa mengoperasikan multimedia gitu tapi terus terang saya tidak mengharapkan itu ya. (4) Misal tiga tahun terakhir kita bereksperimen dengan tim multimedia.
Tiga tahun belakangan kita punya tim multimedia yang sangat kuat. Artinya ada 21 orang yang handle produk multimedia, itu pun pada akhirnya eksperimen multimedia tidak berhasil.
Artinya dengan tim sebegitu besarnya itu ya harapan saya waktu itu produknya lebih proposed dan lebih menarik tapi itu tidak selalu terjadi. Artinya dengan tim multimedia yang besar saja itu multimedia tidak bisa dideliver dengan
4
(4) Taufiq selaku editor-in-chief TJP tidak mengharapkan reporter untuk bisa melakukan banyak hal karena tidak ideal dan bukan suatu keharusan yang mutlak. Meski begitu, TJP memberikan kebebasan untuk para reporternya memilih spesialisasi masing-masing terkait output produk berita (cetak, daring, dan multimedia).
xxxix kualitas yang baik. Nah, kalau tim khusus yang didesain untuk produksi itu saja menemukan banyak masalah maka akan sangat tidak fair saya expect reporter melakukan hal tersebut padahal tugas utama reporter tersebut ya untuk menulis atau melakukan wawancara atau melakukan investigasi dan dia harus melakukan itu juga. Dari pengalaman langsung di newsroom saya menemukan bahwa beberapa teman reporter yang saya anggap tidak terlalu tough skill di basic journalism skill seperti menulis, analisa, itu found out punya potensi di multimedia. Ada teman-teman yang akhirnya memilih spesialisasi jadi multimedia team saja atau spesialisasi hanya mengerjakan multimedia product saja dan itu hanya aspek teknis liputan dengan menggunakan kamera atau tampil di depan kamera tapi tidak melakukan pekerjaan jurnalismenya.
Artinya adalah tidak ideal untuk mengharapkan satu orang untuk jadi jack of all trades karena enggak bisa saja. (4) Saya enggak percaya satu orang dapat mengerjakan apapun gitu. Akan lebih baik kalau ada spesialisasi skill saja.
Kalau ada yang bagus di reportase, di jurnalis, di menulis ya sudah dia melakukan itu saja. Mengambil gambar, mengedit video, atau tampil di depan kamera itu bonus aja gitu but that's not a requirement for that, biar orang lain aja yang mengerjakan gitu. (4) Dari pengalaman selama ini sih mungkin cuma ada satu atau dua orang yang punya skill di dua bidang itu. Most of them either journalist atau memang TV personality.
xl Bagaimana hal tersebut berpengaruh ke aspek pekerja lapangan dari divisi- divisi seperti multimedia, media sosial, reporter, dan fotografer?
Sebenernya sih enggak karena gini kalau misalnya reporter bisa melakukan itu, itu terutama it's not requirement for him or her to do that. (4) Mungkin karena pembagian kerja di JP kan masih sangat rigid, video harus dikerjakan oleh multimedia atau foto harus dihasilkan tim fotografi. Memang masih diutamakan produk foto dan multimedia itu dari departemennya. Kalau misalnya ada temen dari departemen editorial yang produksi itu. Kita lihat dulu, produknya itu penting enggak untuk mendukung produk akhirnya. (4) Misalnya anda berada di bandara lalu melihat pesawat jatuh and you record that on camera.
Nah, kalau Anda di situ tapi fotografer enggak itu kan berarti produk Anda jadi essential buat storynya atau produk multimedianya. Kalau misalnya Anda hanya pergi liputan terus ketemu menteri lagi pidato terus Anda foto, that photo could be the work of anyone gitu.
Enggak mesti eksklusif dari Anda, artinya tergantung produk Anda. Artinya kalau Anda ambil foto dan jadi krusial untuk jadi beritanya atau storynya ya produk fotografer enggak relevan.
Artinya foto Anda lebih baik yang di mana foto Anda menjadi bagian yang krusial untuk storynya tapi kalau hanya foto ilustrasinya aja mungkin enggak terlalu diutamakan atau misalnya Anda pas di jalan lalu bom meledak terus ada eyewitness view ya maka foto itu akan berharga karena foto tersebut beberapa
4, 8
(4) Reporter tidak harus menjadi multiahli, karena itu bukan persyaratan utama. Namun Taufiq menganggap memiliki bekal kemampuan lebih dari satu sebagai hal yang baik dan berguna di saat-saat ada kejadian tidak terduga (momen berita sela). Misalkan, ada produk yang dibuat oleh departemen yang tidak memiliki deskripsi pekerjaan terkait, produk tersebut akan ditinjau.
(8) Konten berita tidak selalu harus dari reporter sendiri, melainkan bisa dari sumber luar (outsourcing) dengan izin (Prinsip participatory jurnalisme daring).
xli fotografer pasti telat kan begitu. (8) If you can do that, that's good but it's not the requirement untuk jadi persyaratan utama bergabung di JP katakan lah begitu. (4)
Kalau harus mendeskripsikan budaya The Jakarta Post, apa beberapa hal yang terlintas di kepala Anda?
(Budaya itu apa - pola kerja, gaya berbicara, gaya pemberitaan, nuansa/ambience lingkungan kerja.) Mungkin yang kelihatan itu bahasa karena beroperasi di lingkungan berbahasa Inggris tapi permasalahannya adalah bahasa Inggris kan bukan bahasa kita gitu, bukan native tongue.
Sepertinya situasinya agak awkward gitu artinya semua temen-temen berkerja semua dalam bahasa Indonesia sehari- hari kecuali dengan staf asing yang sekarang sudah enggak banyak tapi ketika Anda menulis itu dengan bahasa Inggris. Jadi lingkungan kerja yang unik bahwa ada pertemuan dua dunia yang sangat beda. Kalau saya bisa bilang gini ada tabrakan antara kultur barat dan kultur timur jadi dan itu masalahnya enggak pernah selesai sebenarnya karena gini if you speak the language that you should be part of that culture cuma enggak bisa kan karena kita cuma ngomong bahasa Inggris saja cuma kita tetep orang Indonesia, orang Jawa, orang Padang dengan lingkungan yang sangat tradisional ala Jakarta. Artinya ada clash of culture yang sangat kuat dan kelihatan sangat jadi the different shade of culture clash jadi kalau ada spektrum barat dan timur yang sangat kuat. Ada temen-
5
(5) Entitas-entitas di dalam ruang berita dan ruang kerja The Jakarta Post sangatlah beragam.
Terlepas dari kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris dan memiliki pandangan dunia yang luas, di dalam diri masing-masing, para reporter tetaplah orang Indonesia.
xlii temen yang sangat barat, dalam arti pandangan dunia dan mungkin kemampuan bahasa Inggrisnya tapi juga ada temen-temen yang sangat urban, sangat cosmopolitan, sangat modern lah terus di ekstrem yang lain ada temen- temen yang sangat tradisional, sangat Indonesia, sangat Jawa, and the only that different shade dari kedua itu adalah mereka bisa berbahasa Inggris saja gitu tapi the whole world view adalah orang Indonesia banget gitu. (5) Nah, itu sebenarnya, persinggungan dua budaya yang unik memang dan enggak selalu positif dan enggak selalu negatif. I have to say it's very challenging aja karena it's unique environment gitu. Mungkin itu yang paling clash out soal the clash of two culture bahwa ada dua pertemuan budaya yang sangat keras gitu. Kan ada yang pendidikannya dari barat, sangat cosmopolitan, sangat maju, sangat forward looking tapi di sisi lain ada yang educated holy Indonesian, enggak pernah ke luar negeri, dengan pandangan sangat Indonesia sekali. Nilai budaya yang lokal dan yang membedakan adalah hanya mereka berbahasa Inggris saja gitu. Itu yang paling stand out. (5)
Menurut Anda, The Jakarta Post ini kental dengan value apa?
Kalau ada satu hal yang mungkin hampir sebagian temen-temen di newsroom perjuangkan itu mungkin freedom of speech and human rights. (5) Hampir tidak ada hal yang diperdebatkan dari sana jadi semacam ada kesepakatan universal bahwa kebebasan berpendapat adalah core dari yang pertama
5
(5) Nilai yang dijunjung tinggi oleh staf TJP adalah kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Namun Taufiq menegaskan hal ini berlaku sebagai budaya kerja di dalam ruang berita saja, bukan sebagai konteks TJP sebagai bisnis.
xliii keberadaan JP sendiri dan juga mimpi dari keberadaan demokrasi Indonesia dan itu yang tetep akan selalu diperjuangkan sebagai nilai dasar. Selain itu juga penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu mungkin bisa dinegosiasikan, artinya bisa masuk ke dalam hal yang bisa diperjuangkan atau oh enggak terlalu penting nih. Sekali lagi bahwa demokrasi atau human right atau kebebasan berpendapat dalam konteks jurnalisme atau konteks newsroom itu pasti, itu ada jaminan sepenuhnya, artinya editor bisa mengkritik reporter, reporter bisa marah-marah ke editor, atau reporter bisa mengkritik kebijakan manajemen ketika itu melanggar hak mereka dan itu pasti bisa dilakukan. Di sisi lain saya ingin menegaskan bahwa at the end of the day, JP itu entitas bisnis artinya kalau Anda bekerja di entitas bisnis itu ada hubungan yang tidak seimbang antara employer dan employee. Jadi ya memang dalam hubungan ke pekerjaan kan ada yang mempekerjakan dan dipekerjakan. Saya tidak ingin memberikan ilusi bahwa bahkan dalam urusan employment atau urusan kepegawaian itu posisi sama, karena akhirnya ada posisi employer dan employee dan hubungan itu enggak seimbang kan. Kita hanya bisa bicara soal human right dan kebebasan berpendapat kalau apa yang dilakukan employer atau apa yang dilakukan JP sebagai perusahaan tidak memenuhi hak karyawan atau hak pekerja sesuai dengan UU yang ada tapi tothem lainnya hubungan enggak seimbang sebagai perusahaan, sebagai perusahaan komersial tapi kalau JP sebagai entitas newsroom itu berlaku penuh, human
xliv right will be respected dan mungkin dengan boundary yang seluas-luasnya.
Jadi mungkin harus dipisahkan antara Jakarta Post sebagai entitas bisnis dan JP sebagai entitas atau institusi media.
Adakah yang berubah dari budaya tersebut sebelum dan sesudah konvergensi?
"Saya enggak bisa bilang begitu perbedaan yang cukup kuat karena gini if you work on journalism sebenernya bukan lagi soal pekerjaan kan karena if you are journalist of if you are interested in the world sebenernya ya enggak ada change juga di pekerjaan. Saya pikir temen-temen sudah berpikir pada tahap itu, we always on 24/7, enggak bisa bener-bener 24 jam mematikan hape atau enggak kerja gitu itu sih sudah ada kesadaran gitu. (5)(8) Membedakan adalah komitmen untuk seberapa jauh masih mau menurunkan itu dalam produk jurnalismenya misalnya ada temen-temen reporter yang sangat committed dalam pekerjaannya.
Misalnya, oh ada helikopter jatuh, dia pas libur ya sudah dia jalan aja kayak oh fine it's interesting tapi ada juga yang lebih strict dengan liburnya. Walaupun dengan covid lebih fleksibel karena kan apa artinya sabtu dan minggu atau apa arti libur ya enggak ada juga. Covid ini jadi lebih produktif kalau di jurnalisme ya karena ada banyak yang dilaporkan tapi enggak ada jam kerja tapi enggak usah ke kantor. I think it's a good time for journalism or journalist, tapi sayangnya
1, 5, 6, 8
(1) Di Orde Baru, The Jakarta Post sudah menerapkan pemberitaan yang tidak bertele- tele. Namun pada masa itu, TJP juga tetap berhati-hati karena represi untuk melakukan penyensoran berita tetap ada.
Satu hal yang menguntungkan bagi TJP saat itu, dengan latar belakang Indonesia yang dijajah oleh Belanda, wawasan rakyat dan pemerintah dalam Bahasa Inggris tidak seandal negara eks-koloni Inggris seperti Singapura dan Malaysia. Akibat kurangnya pemahaman bahasa dan konteks, TJP dengan karakteristik bold and independent tetap lulus sensor.
Taufiq berpendapat bahwa karena masa-masa opresi berat dari pemerintah sudah lewat, slogan bold and independent perlahan terasa kurang relevan.
Visi yang dibayangkan oleh Taufiq selaku pemred adalah mengubah slogan tersebut menjadi lebih “ringan” sambil tetap menyajikan berita dan cerita dari Indonesia ke masyarakat negara luar.
xlv banyak masalah non-journalism yang menghambat itu kan. Misalnya oh ok economy it's difficult gimana nih buat dapat revenue tapi di luar masalah itu it's a good time for journalist.
Saya terus terang saya enggak terlalu identify dengan slogan always bold always independent punya JP karena itu slogan orde baru kan. Orde baru sendiri sudah enggak ada. Bold dan independent itu penting, apa yang harus diperjuangkan di zaman orde baru yang berpengaruh ke politik dan sosial tapi ketika orde baru enggak ada ya saya pikir sudah harus berubah karena bold semua media sekarang bold soalnya enggak ada represi dari pemerintah. Independen mungkin iya cuma itu beban yang terlalu berat kalau misalnya harus independen all the time karena artinya kan kita lepas dari kepentingan apapun padahal kenyataan media company owned by someone who maybe close to power or who maybe focus on business. Jadi, mungkin itu harus re-definisi ulang dan mungkin slogan itu masih ada karena kita belum ada waktu untuk me-redefinisi ulang tapi kalau misalnya saya boleh punya perspektif baru mungkin sesuatu yang lebih ringan like stories of Indonesia atau bringing Indonesia to the world. (1) Itu lah hal-hal yang lebih realistis, lebih konkret, dan enggak terlalu berat di jargon jurnalisme perjuangan karena I think that's time is over, those type of journalism is over.
Waktu mungkin menghendaki ada slogan baru. Saya enggak bisa jawab soal bold and independent, it's legacy tapi belum kita re-definisikan.
(5) (8) Profesi jurnalisme membutuhkan komitmen dan kesadaran bahwa dunia tidak berhenti berputar dan siklus produksi berita semenjak era internet semakin sering.
(5) Sifat bahasa pemberitaan TJP yang distingtif adalah tidak bertele-tele dan straight to the
point. Karena TJP
menggunakan Bahasa Inggris yang menggunakan kalimat aktif, reporter tidak bisa
"memperhalus" kalimat dan lebih terus terang dalam
memberitakan suatu
isu/fenomena. Secara keseluruhan, pemberitaan TJP juga lebih leluasa untuk merambah ke berbagai macam topik dan menimbang suatu isu dari berbagai perspektif.
(6) Reporter masih sering terbawa dengan tata Bahasa Indonesia yang cenderung menggunakan kalimat pasif dan sejarah pers & media di Indonesia semasa Orde Baru, sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi editor.
xlvi It's a simple matter soal permasalahan bahwa media JP lebih blunt karena if you write with english itu enggak bisa terlalu banyak untuk hide hm kalau Anda menulis dengan bahasa Indonesia mengenai segala hal semacam Kompas itu segala hal bisa ditulis seperti tidak punya arti gitu. Artinya ada banyak hal yang bisa diutarakan lebih direct tapi karena kompas dalam pemilihan bahasa, di Indonesia pun kan beda kan bahasa Kompas dan Tempo kan. Kalau Anda baca Tempo pakai bahasa Indonesia juga tapi kan lebih straightforward gitu. (5) So, ya, bahasa Indonesia itu ya bermasalah gitu tapi kalau dipakai oleh orang yang bener kan kayak Tempo kan ya jadi bagus juga gitu. By nature kalau bahasa Inggris kan memang susah untuk menjadi femistik atau tidak menjadi direct karena contohnya masalah temen- temen editor itu banyak menulis dengan kalimat pasif dalam bahasa Inggris gitu.
Padahal kan bahasa Inggris itu tidak mengenal kalimat pasif kan karena dalam bahasa Inggris itu subjek, predikat, dan objeknya itu harus jelas. (6) Jadi he was murdered jangan gini lah kalau murdered pembunuhnya enggak kelihatan hmm. the mailman delivered the package this morning gitu kan. Kan itu harus jelas gitu kan who deliver what.
Kalau dalam bahasa Indonesia itu bisa
""Oh paketnya dianter pagi ini"". My point is kalau bahasanya bahasa Inggris agak susah itu membuat tidak menjadi direct karena kalau seseorang membunuh seseorang yang lain you use the word kill kan enggak bisa kalau dalam bahasa Indonesia kan banyak
xlvii kata-kata yang mengatakan pembunuhan atau dibunuh segala macem. Ini sih yang menghendaki bahasa itu jadi direct.
The bluntness of JP sebenernya dari sejak orde baru lebih blunt cuma selama orde baru itu lebih hati-hati kan karena ada banyak represi gitu. Jadi bahkan ketika nulis dalam bahasa Inggris harus hati-hati. Hanya saja kalau bahasa Inggris kan lebih banyak jalannya kan artinya mesin sensor orde baru kan ya mungkin banyak lewatnya banyak yang miss kalau berbahasa Inggris karena orang yang melakukan censorship itu enggak bisa berbahasa Inggris atau kalau pun dia mengerti Bahasa Inggris, dia enggak mengerti seberapa penting berita itu karena ditulis dalam bahasa Inggris karena dia enggak mengerti konteksnya.
(1) Sebenernya dari dulu sih sudah blunt cuma di era orde baru tetep ada elemen kehati-hatian nah pasca orde baru sih saya pikir tidak hanya lebih berani tapi enggak ada hambatan apapun sebenernya kecuali hambatan kepentingan karena harus diakui media itu dimiliki seseorang yang punya kepentingan ini dan itu atau ada hal yang ingin disampaikan jadi kalau dulu itu hambatan dari mesin represi orde baru cuma untuk pasca orde baru ini mungkin hambatannya adalah seberapa besar persaingan atau pertikaian politik nasional di zaman pasca orde baru itu memberikan arah JP karena kan ada banyak faktor politik yang berpengaruh dalam misalnya oh kita bisa menulis soal si A tapi tidak si B karena si B adalah teman kita sehaluan politik. Misalkan si
xlviii A kebetulan deket secara bisnis punya view yang dekat dengan owner atau group media JP jadi banyak pertimbangan kalau sekarang tapi di luar itu sih tidak pernah ada so it's free-er now, it's less intimidation today, dan ya lebih bebas aja sekarang" (6)
The Jakarta Post didirikan oleh empat media – dari media mana yang berpengaruh paling besar dari masa ke masa?
Kalau dalam tradisi jurnalisme lebih dekat ke Tempo karena reputasinya sebagai institusi jurnalisme sangat kuat dan berani juga jadi mungkin JP lebih mengidentifikasi diri ke Tempo dalam arti semangat mempraktekkan jurnalisme yang berani atau jurnalisme yang bold dan independent dulu itu.
Kalau secara manajemen lebih banyak ke Kompas. Jurnalisme mengacu ke Tempo kalau manajemen atau corporate culture lebih ke Kompas karena ada hal teknis seperti finance atau kepegawaian itu ke Kompas. (5) Kalau Sinar Harapan saya enggak terlalu yakin, saya enggak terlalu tahu kalau pengaruhnya besar di The Jakarta Post.
5
(5) Tempo memengaruhi gaya jurnalisme The Jakarta Post, sementara Kompas lebih memengaruhi budaya korporasi.
xlix
Narasumber : Adisti Sawitri (Deputy Managing Editor The Jakarta Post) Tempat Wawancara : Platform dalam jaringan (via Zoom)
Waktu Wawancara : 24 Desember 2020
No. Transkrip Kategori
Konsep
Analisis Awal
1.
Sudah berapa lama bekerja di The Jakarta Post? Boleh ceritakan perjalanannya dari proses training, pernah bekerja di divisi mana saja?
Saya sudah lama sekali ya, sudah hampir 15 tahun. Awalnya mungkin seperti biasa saja ya. Kebetulan ada lowongan Jakarta Post dan ya saya coba-coba saja tapi kok pas dijalanin cocok. Dari awal saya cover Pilgub Jakarta langsung yang pertama di tahun 2007 kalau enggak salah.
Waktu itu Fauzi Bowo sama Darajatun ya itu. Lalu saya tahun 2008, di-promote jadi editor. Deputy editor dulu awal dan dari sana muter- muter. Sudah pernah di desk city, Metro. Sudah pernah di desk nasional. Lama saya di nasional ya dan ya memang across time perhatian saya terkait dengan isu-isu nasional jadi misalnya politik, environment, health. Saya pernah di feature sunday, Jakarta Post sempat ada koran Sunday. Lebih banyak di nasional sih. Saya cukup lama jadi deputy editor, saya jadi kepala desk, jadi editor tahun 2017. Jadi saya cukup panjang sebagai deputy editor sebelum jadi kepala desk. Posisi saat
Witri sudah bekerja di TJP selama hampir 15 tahun (perkiraan sejak 2006)
l
ini saya baru awal tahun jadi deputy managing editor.
2.
Apakah The Jakarta Post secara sistematis sudah termasuk konvergensi media, atau The Jakarta Post menjalani perubahan media secara alami dengan sendirinya?
"Sebetulnya yang secara alamiah itu mungkin kita awalnya gini, sebagai media yang sudah lama awalnya dari koran lalu orang banyak online, web site kita punya web site. Saya rasa dari awal tahun 2000-an kita sudah ada web site. Lalu ada perkembangan yang sangat masif di mana online itu menjadi intensif ya. Jadi harus presence media skala besar. Saya rasa kalau global itu trendnya itu 2009 atau 2010 sudah gencar untuk online ya. New York Times, Washington Post, Jakarta Globe semua bikin digital vers itu 2010.
Kita going digital itu prosesnya memang very slow. Saya rasa dari 2011 2012 itu kita sudah mulai coba mulai dan ada beberapa format online yang kita coba dan sasar bukan hanya news web site seperti sekarang gitu. (2) Jadi web site yang sudah ada dari awalnya 2000-an itu diutak-atik segala macem bentuk.
Nah itu tapi kita mulai punya visi yang lebih firm ke newsroom convergence which means that the print operation should really really live online itu 2015 dan mulai path ke sana yang sangat vigorous secara actual bener-bener disatukan. Jadi
1, 2, 3,
8 (1) Sekitar tahun 2016-2017, The Jakarta Post berada dalam naungan dua perusahaan: PT Bina Media Tenggara, yang bertanggung jawab atas urusan editorial cetak, dan PT Niskala Media Tenggara, yang bertanggung jawab atas urusan editorial daring dan multimedia.
Per 2018, ruang berita cetak, daring, dan multimedia berintegrasi.
(2) Proses digitalisasi The Jakarta Post berjalan dengan cukup lambat. Witri menjelaskan pada tahun 2011- 2012, TJP sudah mencoba memulai format daring. Namun hal ini baru sedikit banyak terealisasi pada tahun 2018, saat ruang berita-ruang berita cetak, daring, dan multimedia beroperasi sebagai satu kesatuan meski secara de facto ruang berita-ruang berita tersebut berada di bawah dua perusahaan yang berbeda.
Produksi berita TJP menggunakan Content Management System (CMS) dan operasionalnya sudah
li
awalnya sekitar 2016 2017 itu kita punya dua company. Ada company online sama company print karena memang sudah bertahun-tahun tadi.
2015 2017 itu ada dua company, satu online satu print. Nah, tahun 2018 itu di-merge gitu. (1) Nah, pimpinan redaksi online yaitu Pak Nezar itu menjadi pimpinan The Jakarta Post.
Nah, dari sana lah itu mulai we casual newsroom convergence setelah bertahun-tahun trial and error karena kita cukup, kita learning by doing.
Korannya enggak pernah berhenti, we never stop to really think to really ponder to research itu enggak pernah.
Kita setiap hari belajar dan belajar dari lihat-lihat orang dan segala macem dan itu makanya banyak error sekali. 2018 itu lah baru bener-bener ada move dengan cara de facto ada two companies but actually operating as one newsroom. (2) Dari sana kemudian proses news convergence itu berjalan. Teknisnya itu kita produce everything on CMS (Content Management System) jadi semuanya itu pakai CMS. So, kita operasionalnya sudah digital. (2) Semua konten koran pun taruh di CMS dan coba lebih engage dengan customer (8) we do breaking news, we do live coverage kalau misalnya ada news gede contohnya tsunami atau ada election atau kerusuhan itu pasti kita coverlays di online dan di sosial media. Nah, itu gradually kita seperti itu di 2018 gitu. (2) Jadi secara teknis begitu, jadi kita semua operating CMS lalu saya di tahun 2017 kan kepala desk, 2018 ketika news convergence saya news
meninggalkan kebanyakan gaya tradisional.
(3) Setelah konvergensi ruang berita diterapkan, pola kerja jurnalis di kantor yang semula bisa sampai dini hari dapat diatur menjadi pola 9-to-5.
Editor dan reporter kebanyakan sudah bekerja dari pagi dan pada sore hari, mereka bergiliran untuk mendampingi proses cetak redaksi.
Reporter dan editor TJP tergabung grup koordinasi di WhatsApp, di mana anggota- anggotanya memantau feed media sosial untuk mencari informasi newsworthy dan korlip memberikan porsi liputan terhadap reporter, terutama bila ada berita sela. Untuk mempercepat alur, TJP menempatkan 1 reporter di lapangan dan 1 untuk berjaga serta menulis berita. Setiap pukul 2 atau 3 sore, rapat redaksi untuk menentukan konten koran dilaksanakan.
Kemudian headline ditentukan di rapat sore. Karena reporter dituntut untuk cepat mengunggah berita daring, biasanya berita yang akan terbit di koran dilengkapi dengan perkembangan atau analisis mendalam mengenai peristiwa terkait.
lii national. De facto saya runs konten, saya manage konten setiap hari bersama beberapa deputy editor untuk platform print dan online gitu.
Jadi, tiap hari harus manage. Ada yang handle khusus online, content manager atau apa ya tapi sebenernya dia editor from day to day, kita punya whatsapp dengan reporter dan editor di mana kita akan mantau media lewat crowd tangle, lewat sosial media. Nanti si editor in charge itu, si content manager yang daily, kalau kita nyebutnya korlip, kordinator liputan. Si korlip ini dia akan bilang
""Eh kamu, A B C pergi ke mana kamu cover apa"" Kalau ada breaking news, ""Hey you kamu breaking news"". Tugasnya juga ada yang piket, jadi dia bakalan handle all of the breaking news jadi contentnya cepet naik dan itu kadang-kadang kita ada dua ya; ada satu yang piket buat nulis dan ada yang di lapangan. Nanti yang di lapangan kasih feed yang nulis dan itu saya manage yang seperti itu gitu buat online. Sistem kerjanya itu by the end of the day, setiap hari rapat jam dua sore jam tiga sore, rapat redaksi untuk menentukan koran.
Editornya juga ikut juga untuk mengikuti rapat, untuk menyatakan
""Oh dari pagi we've been running the breaking news ini, ada soal banjir, we are doing story about banjir, ada story story soal apa di DPR"". Nah, rapat sore yang menentukan headline. Nah, the line up dari koran tapi basically karena kita sudah digital vers, sudah working till the morning, jadi kita pagi.. itu sore itu
(8) TJP juga mengusahakan pembaruan berita-berita dalam laman situs mereka secepat mungkin dan melibatkan audiens sebagai konsumen berita.
liii kerjanya sangat ringan, kita tinggal jadi misal ada satu hal breaking news dan developing issue seharian itu kita coba kemas lagi, gimana lagi caranya kasih angle yang kalau mereka baca itu pagi mereka masih ngeh gitu kan.
Kalau misalnya berita di online itu kan banyak banget ya yang kadang susah tahu artinya.Kalau koran itu kita sebagai wadah untuk memberikan insight, what does that mean? Misal dari peristiwa A, apa artinya peristiwa tersebut gitu.
Biasanya sih untuk isu besar seperti isu politik dan isu ekonomi. Banjir pun misal nih banjir jakarta itu misal kan ""Haduh panik nih banjir dan segala macem, enggak bisa naik KRL dan lain-lain"". Nah, itu detail banjirnya di mana saja itu kita bisa tampilkan the next day dengan paper.
(3) Jadi sebagai kepala desk, saya memang harus memanage setiap hari teman-teman editor dan reporter in charge every day dan ada yang manage pagi dan sore. Ada yang tugasnya hanya mengedit saja. (3) Kita itu lebih banyak produce stories, kita sudah meninggalkan banget traditional style yang seharian reporting terus sorenya ditulis kemudian si editor baru panik dan segala macem di sore hari sampai malam nunggui print, kita sudah enggak ada. (2) Kita sekarang kebanyakan stories yang sudah ada itu. Kita siapin grafik, kita siapin lines jadi orang paham apa yang terjadi. Jadi memang sudah beda.
Saya juga pernah alami yang just for print itu kan semuanya itu pagi-pagi ngasih assignment ke reporter terus
liv kita nunggu reporter. Ada lack nunggu dari sore hmm pekerjaannya itu heavy di sore ke malam. Jadi dari rapat redaksi ke malam. Jadi ada editing segala macem seperti itu.
Setelah news convergence, we work 9 to 5 gitu. Jadi, editor dan reporters itu kebanyakan sudah berkerja dari pagi dan sebetulnya kalau malam kita bergantian, untuk assist print redaction begitu. (3)
3.
Sejauh yang saya pahami dan amati selama magang September- November 2019, The Jakarta Post ini sudah tergolong di tahap model Newsroom 1.0 menurut WAN- IFRA. Namun, dari pendapat Anda sendiri apakah perubahan yang dilakukan The Jakarta Post ini berkiblat/mengacu pada sistem, konsep, atau model tertentu?
Sebenernya sih menurut saya sih sudah masuk yang seamless ya tapi memang khusus yang multimedia karena Uli, Berto, dan Vela itu di multimedia jadi lebih digital. Sangat pure digital. Jadi gini, kita itu punya alur yang dari reporter sampai di- publish dalam hal ini kalau multimedia berarti video ya, itu memang ada satu alur. (2) Contoh liputan multimedia yang ambassador ICI kalau enggak salah, ehmm apa japanese ambassador ya. Itu multimedia collab sama general
2 (2) The Jakarta Post sudah memasuki operasional yang seamless, terutama di platform multimedia. Dalam proses produksi berita, semua informasi hasil liputan diolah sesuai kebutuhan per platformnya. Witri menganggap TJP sudah memiliki kapasitas untuk memroduksi berita multiplatform.
lv news gitu. Kita memang produknya memang pakai kamera, jadi pakai kamera kita dengan duta besarnya.
Lalu, kita bisa bikin beberapa produk. Jadi hmm kayaknya belum ketimbun ya kamu bisa scroll jadi di multimedia ada, di instagram ada, di twitter ada, dan itu tim multimedia kita sudah cukup savvy ya jadi kita bisa bikin yang dua menit, yang lima menit gitu ya. Kalau kamu lihat yang versi mereka publish di web site, you can read the article dan kamu bisa lihat artikelnya itu totally different.
Lebih serius, lebih Jakarta Post banget untuk halaman world atau nasional. Kalau di instagram, instagram story, di YouTube itu lebih cerita tentang lockdown lunchnya si ambassador ini karena dia cukup populer juga di sosial media. So, actually one process, you can come back to Uli karena yang ngerjain mereka. Satu proses, itu kan wawancara, dipecah-pecah jadi bahan sosial media, bahan YouTube, bahan twitter, paper, dan of course online yang web site dan videonya juga ada di web site yang panjang. (2) Menurut saya sudah seamless tapi itu tidak semua demikian. Di multimedia misalnya mereka inisiatif punya liputan tentang soal chew di Solo ya, distiler itu bisa jadi hanya videonya saja bisa seperti itu. Untuk multi platform we produce more than one product, Jakarta Post sudah punya kapasitas untuk itu. (2)
4.
Bagaimana pertama kali konvergensi ini digagaskan di
1, 2
(1) Witri selaku Deputy Managing Editor menyasar agar
lvi TJP? Apa alasan yang mendasari konvergensi ini?
Ketika akhirnya dua corporation melakukan merge. Meskipun secara de facto masih merupakan dua perusahaan yang berbeda tetapi secara operasional sudah menjadi satu kesatuan. (2)
"Niskala akhirnya merger dengan platform printed by TJP. Niskala brought the digital and social media yang tidak dimiliki oleh printed sebelumnya. Dengan adanya secara de facto dua perusahaan tapi secara operasionalnya satu bagian yang sama sehingga hal ini mampu mengembangkan TJP yang awalnya hanya publish news di web site secara digital mampu merambah multi platform. Sekitar 2015 sudah ada Niskala tapi beda lantai yang saya tahu. Mereka di lantai 3 operating the web site the multimedia. 2016 2017 seperti itu masih begitu, beda lantai. 2018 itu lah mereka mulai rapat redaksinya kemudian teman editor niskala langsung merge ada yang pindah ke bisnis ada yang pindah ke nasional, ada yang tetap multimedia, jadi merge
Cerita aja kalau audience kita di Web Site sebetulnya lebih banyak international daripada lokal. Kalau ditotal visitor 70% internasional because orang Indonesia itu sebenernya sangat attach dengan media Indonesia jadi when we talk
TJP menjaring audiens di luar Indonesia juga.
(2) Konvergensi ruang berita TJP dilakukan ketika dua perusahaan (PT Bina Media Tenggara dan PT Niskala Media Tenggara) “bergabung”. Alasan yang mendasari konvergensi dan ekspansi platform di TJP adalah pergeseran generasi dalam demografi audiens.
Generasi muda memiliki kecenderungan mencari tahu informasi terbaru.
lvii about english media seperti JP justru international community without borders that's why kita mencoba lebih eksis, lebih bagus lagi sistemnya dan lain soalnya kita memang pengen get readers tidak Indonesia saja tetapi juga internasional" (1)
Alasan yang mendasari konvergensi ini karena saat ini banyak anak-anak muda yang memang haus akan informasi dan mencari tahu. Adanya digital yang ada membantu TJP untuk menyasar anak muda tersebut dengan aktifnya TJP pada pemberitaan breaking news dan ada berita-berita yang dilebarkan secara multiplatform seperti itu. (2)
5.
Target apa yang ingin dicapai dengan penerapan konvergensi media di The Jakarta Post?
(Proyeksi konvergensi TJP menuju ke tahap selanjutnya, atau akan berputar balik ke koran cetak/dekonvergensi?)
Digital transformation yang kita lakukan dalam dua tahun belakangan ini baru tahap satu. (2) Kalau saya dan teman-teman WAN-IFRA ini ya hmm membandingkan dengan newsroom yang lain seperti dengan New York Times atau dengan di Eropa itu ya beberapa. Itu kita baru
1, 2, 6
(1) Target jangka pendek TJP sebagai perusahaan adalah untuk memiliki ketahanan secara finansial dan menjadi relevan ke demografi audiens yang lebih muda.
(2) Transformasi digital di TJP baru dilakukan selama 2 tahun terakhir (dihitung mundur dari Desember 2020 per wawancara) dan baru mencapai tahap pertama menurut WAN-IFRA.
lviii first phase di newsroom convergence. Kita belum berhasil untuk full swing yang bener-bener bisa hidup dan sustainable financially of course, audience relevance, untuk di online belum dicapai. Sustainability itu awalnya harus financially stable gitu. (6) Makanya untuk sustainability itu kita ikut kayak digital subscription lah gitu ya dan itu masih berlangsung sih stepnya dan banyak inovasi selama pandemi ini juga ya. Teman-teman multimedia melakukan webinar dan yang hadir ternyata ribuan gitu ya dan orang ternyata orang cukup excited dengan TJP dan ini masih first phase. Untuk saat ini to be financially sustainable dan relevance to the audience especially for the younger ones (1).
(6) Salah satu hambatan TJP dalam melakukan konvergensi secara total dan berkepanjangan adalah belum tercapainya kestabilan finansial.
6.
Apa evaluasi yang sejauh ini sudah muncul selama penerapan konvergensi di The Jakarta Post?
(Secara spesifik, hal apa yang mau ditonjolkan dari TJP, dan/atau apa yang mau dihilangkan dari TJP?)
Sebetulnya sih yang perlu dipertahankan gimana kita tetep punya kapabilitas multimedia, data visualization, videos, story telling karena semuanya arahnya ke sana jadi orangnya apa-apa apalagi pandemi orang jarang keluar rumah jadi apa-apa orang itu pengen ada di hape, ada di laptop. (2) Jadi, the
2
(2) TJP berintensi untuk mempertahankan koran sebagai penopang merek dan warisan TJP sebagai media. Namun perluasan kapabilitas multimedia, visualisasi data, video, dan gaya berita yang menceritakan akan tetap dilakukan dan dipadatkan sehingga berita bisa diakses melalui perangkat apapun, terutama oleh orang-orang dengan mobilitas tinggi.