• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAKSANAAN KONTRAK SEWA MENYEWA RUMAH BERJANGKA PENDEK BAGI PEKERJA KONTRAK DI KOTA BATAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PELAKSANAAN KONTRAK SEWA MENYEWA RUMAH BERJANGKA PENDEK BAGI PEKERJA KONTRAK DI KOTA BATAM"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PELAKSANAAN KONTRAK SEWA MENYEWA RUMAH

BERJANGKA PENDEK BAGI PEKERJA KONTRAK DI KOTA BATAM

A. Gambaran Umum Kota Batam

Kota Batam adalah salah satu kotamadya di Provinsi Kepulauan Riau. Pusat kotanya terkenal dengan istilah Batam Center. Kota ini terdiri atas 12 kecamatan.

Ketika dibangun pada tahun 1970-an awal kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk, namun kini telah berpenduduk 713.960 jiwa. Kota Batam merupakan sebuah pulau yang terletak sangat strategis di sebelah utara Indonesia dan terletak di jalur pelayaran internasional.

36

Batam mulai dikembangkan sejak awal tahun 1970-an sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Kemudian berdasarkan Kepres No. 41 tahun 1973, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam.

36 http://unser1589.multiply.com/journal/item/38/Sejarah_dan_Profil_kota_Batam, diakses tanggal 2 september 2010.

(2)

Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode. Periode pertama yaitu tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode Persiapan yang dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Periode kedua adalah Periode Konsolidasi (1976-1978) dipimpin oleh JB.Sumarlin. Setelah itu adalah Periode Pembangunan Sarana Prasarana dan Penanaman Modal yang berlangsung selama 20 tahun, yaitu tahun 1978-1998, yang diketuai B.J. Habibie. Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh J.E Habibie yaitu bulan maret s/d Juli 1998, periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan. Kemudian sejak tahun 1998 sampai sekarang, dibawah kepemimpinan Ismeth Abdullah dinamakan Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan dengan perhatian lebih besar pada kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi.

37

Kota Batam memiliki banyak nilai tambah, dengan modal jalur pelayaran internasional serta jarak dengan negara Singapura hanya 12.5 mil laut atau sekitar 20 Km, maka untuk memacu perkembangan di wilayah nusantara dari semua aspek kehidupan, khususnya dibidang ekonomi, maka Pemerintah Indonesia mengembangkan Pulau Batam menjadi Otorita pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB).

38

Berbagai kemajuan pun telah banyak dicapai, seperti tersedianya berbagai lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir

37 http://www.batam.go.id/home/sejarah_ob.php, diakses tanggal 2 September 2010.

38 http://www.pn-batam.go.id / profil-daerah / 45-pemerintahan-kota-batam /81-sejarah-pulau- batam.html, diakses tanggal 20 Agustus 2010.

(3)

dari seluruh daerah di tanah air. Begitu juga dengan jumlah penerimaan daerah maupun pusat dari waktu kewaktu terus meningkat. Hal ini tidak lain karena disebabkan oleh maraknya kegiatan industri, perdagangan dan pariwisata di daerah Batam.

39

B. Perihal Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan.

Buku III KUHPerdata tersebut menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama (nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak melanggar

ketertiban umum dan kesusilaan. Sedangkan pasal-pasal dari Hukum Perjanjian yang terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan aanvulendrecht atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal dalam Buku III KUHPerdata boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

40

Kemudian, sistem terbuka dalam KUHPerdata tersebut mengandung suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 KUHPerdata

39 Wawancara dengan Rudi Sakyakirti, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, pada tanggal 29 Juli 2010.

40 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, Jakarta, Intermasa, 2004, hal. 13.

(4)

maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.

41

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam KUHPerdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUHPerdata (innominaat) tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata

yang ada dalam Bab I dan Bab II.

42

Perjanjian nominaat atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, seperti Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian Tukar-Menukar, dan sebagainya. Sedangkan, perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUHPerdata, yang timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain perjanjian tersebut belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan. Timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

43

Subekti memberikan definisi perjanjian adalah sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Ia juga menyebutkan bahwa perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak

41 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal. 6.

42 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 73.

43 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Op.cit., hal. 1.

(5)

tersebut itu setuju untuk melakukan sesuatu.

44

2. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian

Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian, yang memiliki asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Personalia

Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah hanya untuk kepentingan perseorangan saja.

45

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata, Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

b. Asas Konsensualitas

Asas konsesualitas atau asas sepakat adalah asas yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul atau dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat atau kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.

Asas ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan salah

44 Subekti, Op.cit., hal. 1

45 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Op.cit., hal. 13.

(6)

satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan tanpa menyebutkan harus adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan,

46

memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh Undang- undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

47

d. Asas Kepercayaan.

48

Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari.

e. Asas Kekuatan Mengikat.

49

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa dipenuhinya syarat

46 Ibid.

47 Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2., Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 30.

48 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Op.cit., hal. 87.

49 Ibid., hal. 88.

(7)

sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar Undang-undang.

f. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

g. Asas Keseimbangan.

50

Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya.

h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.

51

Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa: “Perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang harus diketahui dan dipahami dengan baik. Suatu perjanjian akan mengikat dan berlaku apabila

50 Ibid

51 Ibid, hal. 89.

(8)

perjanjian tersebut dibuat dengan sah. Berikut ini akan dibahas mengenai persyaratan yang dituntut oleh Undang-undang bagi perjanjian agar dapat dikatakan sah. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam mengadakan perjanjian, kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.

Artinya, para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata sepakat tersebut tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat”

bagi perwujudan kehendak tersebut.

52

Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang adalah cakap menurut hukum, kecuali jika oleh Undang-undang tidak cakap.

Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa,

52 Ibid., hal. 73.

(9)

mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan yang bersuami.

Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.

3. Suatu hal tertentu;

Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

53

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata adalah mengenai suatu sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap persetujuan

53 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 155.

(10)

tentu mempunyai isi.

54

Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, yaitu syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat perikatan disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu.

55

Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan.

Sedangkan apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

56

4. Hapusnya Perjanjian

Setiap pihak yang membuat perjanjian pastilah menginginkan pelaksanaan isi perjanjian dengan sempurna dan secara sukarela. Namun adakalanya salah satu pihak dalam perjanjian mengingkari terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut. Terhadap keingkaran dari salah satu pihak memberi hak pada pihak

54 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 37.

55 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 17.

56 Ibid., hal. 20.

(11)

lain untuk memaksakan pelaksanaan prestasi kepada debitur. Tentunya tidak dengan cara main hakim sendiri (eagen richting). Umumnya pemaksaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis pengadilan.

Setelah perjanjian dilaksanakan maka kemudian akan diakhiri. Berakhirnya suatu perjanjian dapat disebabkan karena:

57

a. Ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian.

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

c. Karena adanya suatu peristiwa tertentu, misalnya salah satu pihak meninggal dunia.

d. Karena putusan hakim.

e. Karena tujuan perjanjian telah tercapai.

f. Dengan persetujuan para pihak.

Selanjutnya Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila:

58

a. Berakhir dengan sendirinya, apabila jangka waktu perjanjian ini habis.

b. Berakhir sebelum jangka waktu berakhir, apabila:

1. Masing-masing pihak telah memenuhi segala hak dan kewajiban masing- masing sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.

2. Salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dan atau menyebabkan kerugian terhadap pihak lain tanpa alasan yang sah.

Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut pihak yang dirugikan berhak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak.

3. Berlakunya suatu syarat batal. Hapusnya perikatan akibat berlakunya suatu sarat batal dapat terjadi pada perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya didasarkan pada suatu peristiwa yang belum atau tentu terjadi.

4. Lewat waktu (daluwarsa). Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan. Lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa acquisitive, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari perikatan disebut daluwarsa extinctif.

57 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1977, hal, 107

58 Subekti, Aspek-aspek Hukum Nasional, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 2.

(12)

Apabila suatu perikatan yang lahirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Sedangkan perikatan yang berakhirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan dengan perikatan dengan syarat batal. Pasal 1265 KUHPerdata menentukan apabila syarat batal dipenuhi, maka menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian.

C. Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga, Bab Ketujuh, Pasal 1548 sampai Pasal 1600 KUHPerdata. Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.

59

Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa, adalah: “Sewa menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari

59 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal.48.

(13)

suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”.

Apabila dilihat dari isi pasal tersebut tampak bahwa unsur-unsur dalam perjanjian sewa menyewa adalah sebagai berikut:

60

1. Sewa menyewa merupakan perjanjian timbal balik antara para pihak yaitu pihak penyewa dengan yang menyewakan.

2. Adanya konsensus antara kedua belah pihak.

3. Obyeknya suatu benda, baik benda bergerak maupun benda tetap untuk diambil manfaatnya.

4. Dalam tenggang waktu tertentu, artinya tidak dimaksudkan untuk selamanya.

5. Adanya harga sewa, dalam hal ini tidak harus dibayar sekaligus melainkan asal ada harga sewa yang dibayarkan.

Selain yang diberikan oleh KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan definisi mengenai sewa menyewa, antara lain:

Subekti memberi definisi sewa menyewa yaitu:

Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.

61

M. Yahya Harahap memberi definisi sewa menyewa adalah: Perjanjian sewa menyewa (huur en venhuur) adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan

60 Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Jakarta, Sinar Grafika, hal. 59.

61 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata., Jakarta, Intermasa, 1993, hal. 164.

(14)

barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya (volledige genot).”

62

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sewa didefinisikan sebagai berikut:

1. Pemakaian sesuatu dengan membayar uang.

2. Uang yang dibayarkan karena memakai atau meminjam sesuatu, ongkos, biaya pengangkutan (transport).

3. Yang boleh dipakai setelah dibayar dengan uang.

Sementara menyewa, didefinisikan sebagai memakai (meminjam, mengusahakan, dan sebagainya) dengan membayar uang sewa.

63

Berdasarkan rumusan mengenai sewa menyewa menurut Pasal 1548 KUHPerdata, maka sewa menyewa merupakan:

1. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.

2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati.

3. Penikmatan berlangsung untuk jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula.

Kata waktu tertentu dalam urutan Pasal 1548 KUHPerdata tersebut menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, sebab dalam sewa menyewa sebenarnya tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang disewakan, asal sudah

62 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. l, Bandung, Alumni, 1986, hal. 220.

63 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet.7, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 933.

(15)

disetujui berapa harga sewanya untuk satu, jam, satu hari, satu bulan, atau satu tahun.

Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidak lain daripada untuk mengemukakan bahwa pembuat Undang-undang memang memikirkan pada perjanjian sewa menyewa dimana waktu sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua tahun, dan sebagainya.

64

Pasal 1548 KUHPerdata menggunakan istilah sewa menyewa (huur en verhuur). Perkataan tersebut seolah-olah memberikan pengertian yang sama, yang

dapat menimbulkan salah pengertian seolah-o1ah para pihak saling sewa menyewakan antara mereka. Padahal sebenarnya tidak demikian, yang benar-benar terjadi adalah satu pihak menyewakan barang kepada pihak penyewa, dan si penyewa membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan. Dengan perkataan lain, hanya sepihak saja yang menyewakan dan bukan saling sewa menyewakan antara mereka. Karena itu, yang dimaksud dengan sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata tersebut tiada lain ialah persewaan saja. Itulah sebabnya dalam beberapa pasal yang lain, persetujuan sewa menyewa ini hanya disebut dengan istilah “sewa”

(huur), seperti pada Pasal 1501 dan Pasal 1570 KUHPerdata.

65

Menurut Pasal 772 KUHPerdata bahwa mengizinkan seseorang yang mempunyai hak memungut hasil (Vruchtgebruik) atas suatu barang, untuk menyewakan suatu barang tersebut, sedangkan menurut Pasal 823 KUHPerdata

64 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 47-48.

65 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 220.

(16)

menyebutkan bahwa: “Pemakai tidak diperbolehkan menyerahkan atau menyewakan haknya kepada orang lain”.

Perjanjian sewa menyewa meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik, yaitu pihak pemilik benda sebagai pihak yang menyewakan, dan pihak pemakai benda sebagai penyewa. Perjanjian sewa menyewa diawali oleh perbuatan pihak yang menyewakan lebih dahulu, kemudian baru perbuatan pihak penyewa.

Sejalan dengan ketentuan diatas, menurut Pasal 827 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa: “Hak mendiami tak boleh diserahkan atau disewakan kepada orang lain”. Karena pada hakekatnya didalam perjanjian sewa-menyewa itu yang berhak untuk menikmati dan mempunyai hak untuk memungut hasil sesuatu barang yang mana menjadi obyek dari sewa menyewa tersebut ialah pihak yang secara langsung menyewa barang tersebut kepada pihak pemilik barang yang menyewakan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1550 KUHPerdata menyebutkan tentang kewajiban dari pihak yang menyewakan barang, yakni:

Pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib untuk:

1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa

2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan

3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.

Mengenai kewajiban yang pertama, yakni kewajiban untuk menyerahkan

barang yang disewa kepada pihak penyewa, maka sesuai dengan ketentuan

Pasal 1551 KUHPerdata, yang menyewakan harus menyerahkan barang yang

disewakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

(17)

Mengenai penyerahan benda pada persetujuan sewa menyewa adalah penyerahan nyata atau sering disebut penyerahan secara deliverence. Penyerahan nyata yang dimaksud dalam sewa menyewa ini dapat dipersamakan dengan pengertian penyerahan nyata dalam persetujuan jual beli. Yang menyerahkan harus melakukan tindakan pengosongan serta menentukan barang yang disewa, karena dalam sewa menyewa pihak yang menyewakan wajib melakukan penyerahan nyata dan tidak bisa dituntut untuk melakukan penyerahan yuridis (yuridische levering).

Hal ini juga sesuai dengan kedudukan si penyewa atas barang yang disewa. Penyewa bukan sebagai pemilik, dan tidak perlu menjadi seorang bezitter.

Kewajiban yang kedua adalah kewajiban untuk memelihara dan melakukan perbaikan atau reparasi selama perjanjian sewa menyewa masih berjalan sehingga barang yang disewa tetap dapat dipakai dan dipergunakan sesuai dengan yang dikehendaki pihak penyewa, kecuali reparasi kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1551 ayat 2 KUHPerdata yaitu “ia harus selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan yang menjadi wajibnya si penyewa.”

Sehingga selama perjanjian sewa menyewa masih berlangsung maka

pemeliharaan dan perbaikan menjadi kewajiban pihak yang menyewakan. Reparasi

dan pemeliharaan berat menjadi kewajiban pihak yang menyewakan, sedangkan

reparasi kecil sebagai akibat kerusakan pemakaian normal atas barang yang disewa

dibebankan kepada pihak penyewa. Pemeliharaan ini berlangsung sejak dimulainya

perjanjian sewa menyewa sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.

(18)

Kewajiban pemeliharaan dan reparasi atas barang yang disewa harus dipenuhi oleh pihak yang menyewakan. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi maka dapat dianggap melakukan wanprestasi. Suatu reparasi pemeliharaan yang betul-betul dibutuhkan merupakan suatu kewajiban positif bagi pihak yang menyewakan.

Pasal 1555 ayat 1 KUHPerdata mewajibkan si penyewa untuk memperbolehkan pihak yang menyewakan melakukan reparasi yang betul-betul tidak dapat ditangguhkan sampai sewa menyewa berakhir.

Meskipun si penyewa wajib memperbolehkan dilakukannya reparasi, namun Pasal 1555 ayat 2 dan ayat 3 KUHPerdata melindungi kcepentingan si penyewa terhadap reparasi yang dilakukan. Dalam Pasal 1555 ayat 2 KUHPerdata disebutkan bahwa harga sewa harus dikurangi menurut imbangan waktu dari bagian barang yang tidak dapat dipakai oleh si penyewa selama reparasi berlangsung, dengan syarat bahwa reparasi tersebut berlangsung lebih dari 40 hari.

Menurut Pasal 1555 ayat 3 KUHPerdata disebutkan bahwa apabila reparasi menyebabkan barang yang disewa itu tidak dapat di diami oleh si penyewa dan keluarganya, maka si penyewa dapat memutuskan sewanya. Akan tetapi pasal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memutuskan hubungan sewa menyewa apabila reparasi hanya untuk sebagian dari barang yang disewa dan bagian selebihnya secara pantas masih dapat dipergunakan oleh si penyewa.

Sedangkan didalam ketentuan Pasal 1560 KUHPerdata menyebutkan tentang

kewajiban dari pihak penyewa barang, yaitu:

(19)

Si penyewa harus menepati dua kewajiban utama:

1. Untuk memakai barang yang disewa sebaga i seorang bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan;

2. Untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar suatu kewajiban apapun, maka yang terjadi, adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai barang diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi, tetapi sewa menyewa.

66

D. Pengaturan Perjanjian Sewa Menyewa Dalam KUHPerdata

Perjanjian sewa menyewa merupakan salah satu perjanjian bernama yaitu perjanjian yang tercantum dan diatur dalam KUHPerdata yang terdiri dari Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Tukar Menukar, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan, Perjanjian Persekutuan, Perjanjian Perkumpulan, Perjanjian Penitipan Barang, Perjanjian Pinjam Pakai dan Perjanjian Pinjam Meminjam.

Seperti halnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang memperoleh pengaturan yang terperinci dari dalam KUHPerdata.

Apabila perjanjian jual beli memerlukan pengaturan yang terperinci karena berkaitan dengan peralihan kepemilikan sehingga terdapat banyak permasalahan hukum yang mungkin timbul, perjanjian sewa menyewa berkaitan dengan beralihnya penggunaan manfaat selama jangka waktu tertentu, sehingga akan banyak menimbulkan

66 R.M., Suryodiningrat, Perikatan-Periaktan Bersumber Perjanjian, Bandung, Tarsito, 1991, hal. 33.

(20)

permasalahan hukum yang berkaitan dengan benda yang diperjanjikan selama perjanjian berjalan dan saat berakhirnya perjanjian.

Perbedaan dengan perjanjian jual beli adalah dalam sewa menyewa tidak ada penyerahan dalam arti pengalihan hak milik, yang terjadi adalah penyerahan kekuasaan atas suatu barang untuk dinikmati penyewa. Oleh karena itu, tidak dituntut atau tidak dipersyaratkan bahwa yang menyerahkan barang harus pemilik barang, sebagaimana halnya dalam perjanjian jual beli atau tukar menukar. Jadi, meskipun seseorang hanya mempunyai “hak menikmati hasil” atas suatu barang dan “bukan pemilik”, yang bersangkutan sudah dapat secara sah menyewakan barang terkecuali hak menikmati hasil yang ditimbulkan dari sewa menyewa itu sendiri tanpa adanya ijin dari yang menyewakan atau perjanjian untuk sewa yang ditentukan oleh Undang- undang, seperti diperbolehkannya penyewa rumah untuk menyewakan ulang sebagian rumah yang disewanya.

KUHPerdata menempatkan pengaturan terhadap sewa menyewa pada Bab Ketujuh tentang Sewa Menyewa yang merupakan bagian dari Buku Ketiga tentang Perikatan. Bab tersebut dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu sebagai berikut:

67

1. Bagian Kesatu, tentang Ketentuan Umum. Bagian ini terdiri dari 2 Pasal, yaitu Pasal 1548, 1549. Pasal 1547 dihapus.

2. Bagian Kedua, tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan tanah. Bagian ini terdiri dari 30 Pasal, yaitu Pasal 1550 sampai dengan Pasal 1580. Pasal 1568 dihapus.

3. Bagian Ketiga, tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah. Bagian ini terdini dari 7 Pasal, yaitu Pasal 1581 sampai dengan Pasal 1587.

67 Sitohang, Ikhtisar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Kudamas Intra Asia, 1989, hal.18

(21)

4. Bagian keempat, tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa tanah.

Bagian ini terdiri dari 13 Pasal, yaitu Pasal 1588 sampai dengan Pasal 1600.

Pada intinya, ketentuan pada KUHPerdata tentang sewa menyewa tersebut, dapat diuraikan menjadi beberapa bagian yaitu:

1. Jenis barang yang dapat disewakan

Sebagai objek perjanjian jenis barang yang disewakan tidak dibatasi jenisnya.

Tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan tetapi juga benda- benda bergerak seperti dinyatakan pada Pasal 1549 KUHPerdata alinea terakhir yang masih diberlakukan yaitu; “Semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan”.

Dalam perkembangannya, sewa menyewa tidak hanya sekedar untuk barang- barang yang tidak termanfaatkan oleh pemiliknya, tetapi saat ini telah menjadi lapangan bisnis dari mulai berskala kecil sampai skala besar.

2. Kewajiban Pihak yang Menyewakan

Dinyatakan atau tidak dinyatakan dalam klausul perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan berkewajiban untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal 1550 ayat 1 KUHPerdata).

b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai

untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat 2 KUH Perdata).

(22)

c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tentram atas barang yang disewakan, selama berlangsungnya sewa menyewa (Pasal 1550 ayat 3 KUHPerdata).

d. Menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala- galanya selama waktu sewa, menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan yang perlu dilakukan, kecuali pembetulan- pembetulan yang menjadi kewajiban si penyewa (Pasal 1551 KUHPerdata).

e. Menanggung si penyewa terhadap semua cacat atas barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang, walaupun pihak yang menyewakan tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian sewa itu dibuat.

Jika cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi si penyewa, kepada pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi (Pasal 1552 KUHPerdata).

f. Menjamin si penyewa dari gangguan pihak ketiga yang diakibatkan oleh tuntutan hak terhadap barang yang disewakan. Untuk hal si penyewa dapat menuntut pengurangan harga sewa sesuai dengan imbangan akibatnya.

Gangguan dari pihak ketiga yang tidak berhubungan dengan pihak yang

menyewakan bukan merupakan tanggungannya (Pasal 1556 dan 1557

KUHPerdata)

(23)

3. Larangan Untuk Yang Menyewakan

Berdasarkan Pasal 1554 dan 1555 KUHPerdata diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya

b. Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan selama waktu sewa, untuk mengubah wujud maupun susunan letak barang yang disewakan kecuali apabila selama waktu sewa terpaksa harus diadakan pembetulan-pembetulan atas barang sewa yang tidak mungkin menunggu sampai berakhirnya waktu sewa yang dalam hal ini si penyewa harus menerimanya. Namun apabila pembetulan itu berlangsung lebih lama dan empat puluh hari harga sewa harus dikurangi menurut imbangan waktu dan bagian dari barang yang disewakan yang tidak dapat dipakai oleh si penyewa. Apabila berakibat pembetulan itu sampai tidak bisa ditempati oleh si penyewa dan keluarganya, si penyewa dapat memutuskan sewanya.

4. Kewajiban dan Tanggungjawab Penyewa

Kewajiban dan tanggungjawab penyewa diatur dalam KUHPerdata sebagai berikut:

a. Memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik

(als goed huisvader) (Pasal 1560 ayat 1 KUHPerdata).

(24)

b. Mempergunakan barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau bila tidak ada suatu perjanjian mengenai hal itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan. Apabila ternyata si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu maksud atau keperluan lain dari tujuan pemakaian yang seharusnya atau untuk tujuan lain yang menimbulkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, pihak yang menyewakan menurut keadaan meminta pembatalan sewanya (Pasal 1560 ayat 2 dan Pasal 1561 KUHPerdata).

c. Jika antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa telah dibuat suatu pratelan (bagian per bagian) tentang barang yang disewakan, maka pihak yang belakangan ini diwajibkan mengembalikan barangnya dalam keadaan dimana barang itu diterimanya menurut pratelan tersebut; dengan kekecualian apa yang telah musnah atau berkurang harganya sebagai akibat dari tuanya barang atau tidak dapat dihindarkan. Jika tidak dibuat suatu pratelan, maka si penyewa mengenai pemeliharaan, yang menjadi beban para

penyewa, dianggap telah menerima barang yang disewa dalam keadaan yang baik, kecuali jika dibuktikan sebaliknya dan ia harus mengembalikan barangnya dalam keadaan yang sama (Pasal 1562 dan Pasal 1653 KUHPerdata).

d. Si penyewa bertanggungjawab untuk segala kerusakan yang diterbitkan pada

barang disewa selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa

kerusakan itu terjadi diluar salahnya. Akan tetapi ia tidak bertanggungjawab

(25)

jawab untuk kebakaran, kecuali jika pihak yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan kesalahan si penyewa (Pasal 1564 dan Pasal 1565 KUHPerdata).

e. Si penyewa bertanggungjawab atas segala kerusakan dan kerugian yang diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya serumah atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya. Namun demikian, si penyewa diperbolehkan, pada waktu mengosongkan barang yang disewa, membongkar dan membawa segala apa yang dengan biaya sendiri telah menyuruh membuat pada barang yang disewa, asal pembongkaran dan pembawaan itu dilakukan dengan tidak merusakkan barang yang disewa.

5. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa

KUHPerdata mengatur berakhirnya sewa menyewa pada Pasal 1570 berturut- turut sampai dengan Pasal 1580. Ada 2 (dua) hal penting yang berkaitan dengan berakhirnya sewa, yaitu:

a. Perjanjian sewa tidak sekali-kali hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan maupun dengan meninggalnya pihak si penyewa.

b. Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu sewa menyewa yang telah dibuat

sebelumnya tidaklah putus, kecuali apabila hal tersebut telah diperjanjikan

pada waktu menyewakan barang, dan apabila ada diperjanjikan demikian, si

penyewa tidak berhak menuntut suatu ganti rugi jika tidak ada suatu janji yang

tegas. Tetapi apabila janji yang demikian itu memang ada, si penyewa tidak

(26)

diwajibkan mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi.

c. Pembeli objek perjanjian sewa menyewa dengan “janji membeli kembali”

tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa si penyewa mengosongkan barang yang disewa, sebelum ia dengan lewatnya tenggang waktu yang ditentukan untuk pembelian kembali, menjadi pemilik mutlak.

d. Seorang pembeli yang hendak menggunakan kekuasaan yang diperjanjikan dalam perjanjian sewa, untuk jika barangnya dijual, memaksa si penyewa mengosongkan barang yang disewa, diwajibkan memperingatkan si penyewa sekian lama sebelumnya, sebagaimana diharuskan oleh adat kebiasaan setempat mengenai pemberhentian sewa.

e. Apabila perjanjian sewa tidak dibuat secara tertulis, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.

6. Penyewaan Ulang

Penyewaan ulang adalah sewa yang seharusnya sudah berakhir, namun terus

dilanjutkan kembali. Sewa ulang tersebut bisa dengan ketentuan dan persyaratan

perjanjian yang sama seperti sebelumnya atau bisa juga dengan perubahan,

berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

(27)

Berdasarkan ketentuan KUHPerdata apabila pihak yang satu (orang yang menyewakan) telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya (penyewa) bahwa ia hendak menghentikan sewanya, si penyewa meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam (Pasal 1572 KUHPerdata).

Apabila perjanjian sewa dibuat secara tertulis dan setelah sewa berakhir si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, terjadilah suatu sewa baru yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal tentang penyewaan dengan lisan (Pasal 1573 KUHPerdata). Namun dalam kedua perjanjian sewa seperti iti, penanggungan utang yang dibuat untuk sewanya tidak meliputi kewajiban-kewajiban yang timbul dari perpanjangan sewa (Pasal 1574 KUHPerdata).

7. Mengulang sewakan

Mengulang sewakan tidak sama dengan penyewaan ulang. Yang dimaksudkan dengan mengulang sewakan Mengulang sewakan adalah jika si penyewa menyewakan lagi rumahnya kepada orang lain, tetapi perjanjian sewa masih dipertahankan, sehingga penyewa itu berada dalam hubungan sewa dengan pemilik.

68

Apabila si penyewa tidak diizinkan dan tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya kepada orang lain atas ancaman pembatalan perjanjian sewanya dari penggantian biaya, rugi dan bunga,

68 R. Setiawan, Op.cit., hal. 21.

(28)

sedangkan pihak yang menyewakan setelahnya pembatalan itu, tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa. Dimaksud dengan melepaskan sewa adalah apabila si penyewa keluar atau menarik diri selaku penyewa dan digantikan oleh orang lain atau pihak ketiga, yang bertindak sebagai penyewa dalam sewa menyewa tersebut.

Jika yang di sewa itu berupa sebuah rumah yang didiami sendiri. Oleh si penyewa, dapatlah dia atas tanggung jawab sendiri, menyewakan sebagian rumah kepada orang lain apabila kekuasaan itu telah tidak dilarang dalam perjanjian (Pasal 1559 KUHPerdata).

8. Resiko dalam Sewa Menyewa

Menurut Rai Wijaya

69

resiko dalam perjanjian dapat didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak. Dalam hal sewa menyewa, resiko atas barang yang disewakan dipikul oleh pihak yang menyewakan.

Berkenaan dengan resiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:

Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan perjanjian sewa; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.

69 Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Bekasi, Mega Poin, 2004, hal. 178.

(29)

Dalam hal barang sewa musnah sama sekali, perjanjian sewa sudah tidak ada lagi atau kembali seperti keadaan semula sebelum lahirnya perjanjian sewa menyewa.

Dalam hal ini, barang sewa yang hancur merupakan tanggung jawab pihak yang menyewakan selaku pemilik barang.

E. Pengaturan Sewa Menyewa Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan kepemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Tersedianya rumah yang layak dan jumlah yang cukup akan tercipta suatu keadaan penghuni rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Disisi lain tingkat pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan perumahan yang memadai. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan langkah yang dapat menciptakan iklim peran serta masyarakat untuk membangun rumah yang ditujukan untuk dihuni oleh bukan pemilik dalam jumlah yang cukup dan dapat terjangkau oleh masyarakat dengan cara sewa.

Dalam rangka mewujudkan upaya dan langkah tersebut di atas dan untuk

menjamin kepastian hukum pemerintah telah mengeluarkan UUPP, dan selanjutnya

pengaturan pelaksanaannya telah dikeluarkan PP No.44 Tahun 1994. Dalam Pasal 1

angka 2 Undang-undang tersebut yang dimaksud “Perumahan adalah kelompok

(30)

rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.”

Berdasarkan UUPP tersebut diatur tentang tata cara sewa menyewa rumah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 yaitu:

1. Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.

2. Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan baik dengan cara sewa menyewa maupun dengan cara bukan sewa menyewa.

3. Penghunian rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan cara sewa menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan dengan perjanjian tertulis.

4. Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis.

5. Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.

6. Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini.

7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 UUPP menyatakan bahwa:

1. Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari Pemerintah.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara pengaturan lebih lanjut mengenai sewa menyewa diatur dalam

PP No.44 Tahun 1994, yaitu antara lain:

(31)

1. Penghunian rumah dengan cara sewa menyewa didasarkan kepada suatu perjanjian tertulis antara pemilik dan penyewa (Pasal 4 ayat 1).

2. Perjanjian sewa menyewa tersebut harus mencantumkan sekurang- kurangnya hak dan kewajiban, jangka waktu sewa dan besarnya harga sewa (Pasal 4 ayat 2).

3. Hak bagi pemilik menerima uang sewa dari penyewa sesuai dengan yang diperjanjikan, hak pemilik untuk meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia bila penyewa tidak bersedia meninggalkan dan mengosongkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang diperjanjikan (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 10 ayat 2).

4. Kewajiban bagi pemilik untuk menyerahkan rumah dalam keadaan baik sesuai dengan yang diperjanjikan (Pasal 5 ayat 2).

5. Hak bagi penyewa untuk menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan keadaan yang telah diperjanjikan (Pasal 7).

6. Kewajiban penyewa untuk menggunakan dan memelihara rumah yang disewa dengan sebaik-baiknya, memenuhi segala kewajiban yang berkaitan dengan penggunaan rumah dengan perjanjian, kewajiban untuk mengembalikan rumah kepada pemilik dalam keadaan baik kosong dari penghunian, kewajiban untuk mentaati berakhirnya batas waktu sewa sesuai dengan yang diperjanjikan (Pasal 8 jo Pasal 10 ayat 1).

7. Larangan bagi pemilik untuk menyewakan rumah yang sedang dalam

sengketa (Pasal 4).

(32)

8. Larangan bagi penyewa untuk menyewakan kembali dan atau memindahkan hak penghunian atas rumah yang disewanya kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari pemilik dan larangan untuk mengubah bentuk bangunan rumah tanpa izin tertulis dari pemilik (Pasal 9).

9. Sanksi diputuskannya hubungan sewa menyewa sebelum berakhirnya jangka waktu sewa menyewa bagi pemilik bila tidak menyerahkan rumah kepada penyewa dalam keadaan baik, bila pemilik tidak memperbolehkan penyewa menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan yang diperjanjikan, dan bagi yang menyewakan bila tidak memenuhi kewajiban untuk menggunakan dan memelihara rumah yang disewa dengan sebaik-baiknya, memenuhi segala kewajiban yang berkaitan dengan penggunaan rumah sesuai dengan perjanjian, kewajiban untuk mengembalikan rumah kepada pemilik dalam keadaan baik dan kosong, kewajiban untuk mentaati batas waktu sewa, mentaati larangan untuk tidak mengubah bentuk bangunan rumah tanpa izin tertulis dari pemilik. Sanksinya jika yang dirugikan pihak penyewa adalah keharusan bagi pemilik untuk mengembalikan uang sewa dan kewajiban- kewajiban lain seperti yang telah diperjanjikan dan jika yang dirugikan pihak pemilik, maka penyewa berkewajiban mengembalikan rumah dengan baik seperti semula, dan tidak dapat meminta kembali uang sewa yang telah dibayarkan (Pasal 11).

10. Berakhirnya masa sewa dikarenakan rumah tersebut musnah dan tidak dapat

dihuni lagi. Dalam hal ini, penyewa dapat meminta pengembalian harga sewa

(33)

sesuai dengan waktu yang tersisa, dan apabila yang musnah hanya sebagian dari rumah, hubungan sewa menyewa dapat dilanjutkan berdasarkan musyarawah. Bila musnahnya karena kesalahan pemilik, maka pemilik wajib mengembalikan uang sewa kepada penyewa (Pasal 12).

11. Penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri (Pasal 22).

Pada prinsipnya banyak terjadi kesamaan-kesamaan antara Peraturan Pemerintah tersebut dengan pasal-pasal tentang sewa menyewa dalam KUHPerdata, meskipun terdapat pula beberapa perbedaan antara kedua peraturan itu yang merupakan perubahan untuk menyesuaikan keadaan dan kondisi perkembangan masyarakat. Persamaanya adalah bahwa sewa menyewa sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan dengan adanya ada dua belah pihak yang melakukan perbuatan hukum, serta adanya hak dan kewajiban. Sedangkan perbedaannya, KUHPerdata tentang perjanjian masih bersifat umum, sedangkan PP No.44 Tahun 1994 sudah bersifat khusus yang mengatur tentang perumahan.

F. Pelaksanaan Sewa Menyewa Rumah Berjangka Pendek Bagi Pekerja Kontrak di Kota Batam.

1. Gambaran Umum Pekerja Kontrak di Kota Batam.

Seiring perkembangan yang pesat Kota Batam, banyak investor-investor dari luar negeri maupun dalam negeri menginvestasikan uangnya di Kota Batam.

Munculnya investor-investor yang membangun perusahaan di Kota Batam secara

langsung akan berdampak terhadap kebutuhan tenaga kerja. Namun tidak semua

(34)

tenaga kerja yang dibutuhkan dapat diperoleh di Kota Batam, terutama yang menyangkut tenaga kerja ahli pada bidang-bidang tertentu. Oleh karena itu selanjutnya perusahaan mendatangkan tenaga-tenaga kerja ahli tersebut dari luar Kota Batam dengan status tenaga kerja kontrak untuk jangka waktu tertentu.

70

Selain mendatangkan sendiri pekerja kontrak yang memiliki keahlian tertentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan, adakalanya juga perusahaan meminta bantuan untuk mendatangkan tenaga-tenaga kerja ahli yang dibutuhkan dengan memakai jasa perusahaan penyaluran jasa tenaga kerja yang ada di Kota Batam. Biasanya permintaan perusahaan tersebut khusus untuk pekerja kontrak yang berasal dari dalam negeri.

Pada umumnya pekerja kontrak di Kota Batam menetap/tinggal hanya untuk jangka sesuai kontraknya dan paling lama 1 (satu) tahun. Hal ini dikarenakan pekerja kontrak dibutuhkan oleh perusahaan untuk pekerjaan yang masih baru dan sekaligus untuk alih teknologi dan alih keahlian kepada pekerja lokal.

71

Kedatangan pekerja kontrak tersebut sudah pasti membutuhkan tempat tinggal selama mereka tinggal di Kota Batam. Terkadang perusahaan menyediakan fasilitas tempat tinggal bagi pekerja kontrak tersebut, baik berupa mess maupun dengan menyewakan rumah tempat tinggal. Namun ada juga sebagian perusahaan dalam perjanjian yang dibuat dengan pekerja kontrak tidak menyediakan fasilitas tempat

70 http://www.batamkota.go.id/bisnis_industri.php, diakses tanggal 15 Agustus 2010.

71 Wawancara dengan Rudi Sakyakirti, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, pada tanggal 29 Juli 2010.

(35)

tinggal. Oleh karena itu, pekerja kontrak akan mencari tempat tinggal selama mereka berada di Kota Batam dengan memakai biaya sendiri.

Pekerja kontrak yang tidak disediakan fasilitas tempat tinggal dari perusahaan pada umumnya mereka menyewa rumah penduduk yang berada di dalam perumahan- perumahan sekitar Kota Batam. Para pekerja kontrak menyewa rumah ada yang secara berkelompok dan ada juga yang menyewa rumah tempat tinggal secara pribadi dikarenakan membawa serta keluarganya ke Kota Batam.

2. Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Berjangka Pendek di Kota Batam.

Untuk menjamin kepastian hukum sewa menyewa rumah berjangka pendek bagi pekerja kontrak di Kota Batam dilakukan dengan membuat perjanjian sewa menyewa. Bentuk-bentuk dari perjanjian sewa menyewa rumah berjangka pendek bagi pekerja kontrak di Kota Batam dibuat dalam perjanjian secara di bawah tangan maupun perjanjian dalam akta notariil.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa rumah berjangka pendek di Kota Batam dibuat dalam bentuk tertulis, baik secara di bawah tangan yang selanjutnya akan dilegalisasi oleh Notaris maupun dalam bentuk akte notariil, hal ini dilakukan karena dengan bentuk tertulis lebih menjamin kepastian hukum apabila terjadi perselisihan dan pembuktiannya akan lebih kuat jika dibandingkan dengan bentuk lisan.

72

Oleh karena itu, untuk mendapat

72 Wawancara dengan Erry Chandra, Notaris/PPAT di Kota Batam, pada tanggal 18 Agustus 2010.

(36)

kepastian hukum para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa lebih memilih jasa Notaris untuk menuangkan kehendaknya dalam suatu akte.

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan- keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya dihari-hari yang akan datang, kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.

73

Dalam pelaksanaan sewa menyewa rumah bagi pekerja kontrak di Kota Batam, walaupun dengan biaya sewa yang harus ditanggung sendiri oleh pekerja kontrak, namun biasanya pihak perusahaan akan turut ikut membantu untuk mencari rumah yang akan disewa oleh pekerja kontrak tersebut. Setelah merasa cocok dengan rumah sewa yang akan disewanya, maka tahap selanjutnya akan dilakukan negoisasi dengan pemilik rumah. Pada tahap negoisasi hal yang dibicarakan adalah mengenai harga sewa maupun fasilitas-fasilitas yang akan dinikmatinya, seperti perabot rumah tangga, televisi, saluran telepon dan lain-lain.

74

Setelah dicapai kata kesepakatan dan melihat kondisi keadaan rumah sewa, maka tahap selanjutnya kedua belah pihak akan datang kehadapan Notaris untuk meminta dibuatkan akte perjanjian sewa

73 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal. 157.

74 Wawancara dengan Erwan Syahputra, Pekerja Kontrak di Kota Batam, pada tanggal 19 Agustus 2010.

(37)

menyewanya. Dalam penandatanganan akte perjanjian sewa menyewa yang dilakukan, pekerja kontrak akan bertindak untuk dirinya sendiri sebagai pihak penyewa dan pihak pemilik rumah sebagai pihak yang menyewakan dan pada saat yang bersamaan dilakukan pelunasan pembayaran atas harga sewa menyewa rumah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, sekaligus penyerahan kunci rumah dari pemilik rumah kepada pihak penyewa, berikut dengan rekening-rekening atas langganan listrik, air dan telepon.

75

Perjanjian sewa menyewa yang dibuat dalam bentuk akta notariil akan menjadi lebih terjamin kepastian hukum bagi para pihak, hal mana sesuai dengan kewenangan Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa; “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalan Undang-undang ini.”

76

Sementara akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah “suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta itu dibuatnya.”

Sebagai suatu akta otentik, akta notariil antara lain memiliki kekuatan material yang diantaranya dalam bentuk kekuatan pembuktian. Tentang kekuatan pembuktian

75 Wawancara dengan Erry Chandra, Notaris/PPAT di Kota Batam, pada tanggal 18 Agustus 2010.

76 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, LN No. 117 Tahun 2004, Pasal 1 huruf l.

(38)

akta otentik, Rai Wijaya

77

menjelakan bahwa keistimewaan suatu akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna (volledig bewijs-full evident) tentang apa yang dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang mengajukan akta resmi kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta, merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian.

Akta sewa menyewa yang dibuat dihadapan Notaris adalah kehendak para pihak yang dituangkan dalam akta. Hal tersebut sebagaimana dimaksud didalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu: “Perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut Undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

77 Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta, Kanisius, 2003, hal. 13

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan konsep pesan dan strategi komunikasi yang sudah penulis lampirkan, konsep kreatif yang akan digunakan dalam perancangan ini adalah: Penggunaan gaya desain

Jika dibandingkan dengan nilai t tabel, maka t hitung (4,760) > t tabel (1,661) sehingga Ho ditolak.Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat pengaruh

Model Adaptasi Wujud Visual Wayang Analisis yang telah dilakukan pada tokoh Cakil, Bima, Gatotkaca, Arjuna, Abimanyu, Sinta, Anoman, dan Petruk merupakan langkah awal

Pengajuan kasasi yang dilakukan oleh B adan atau pejabat T ata Usaha Negara. tentunya untuk mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkan,

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang paling mempengaruhi niat dan penggunaan Aplikasi Simlitabmas UPN “Veteran” Jakarta pada model Unified Theory

• Sistem yang dibuat berhasil melakukan pengolahan data GPS yang sudah di- record ke database menjadi data grafis pada peta dan melakukan simulasi pelacakan kendaraan

Dengan metode pengikatan ke muka untuk survey hidrografi dapat dilakukan penentuan posisi kapal yang memanfaatkan pengukuran jarak dan sudut dari dua buah titik yang telah

Pengelola hotel, pengelola Mall/Super Mall/Plaza, pengelola Toko Modern, penyelenggara pameran dan/atau pengelola Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,