Miller, David, 1973, “George Herbert Mead: Self, Language and the World”. Austin: University of Texas Press.
Moleong, Lexy J., 2012, “Metode Penelitian Kualitatif”.
Bandung: PT. Remadja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy., dan Rakhmat, Jalaludin. 2006. “Komunikasi Antarbudaya”. Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya.
Nashir, Haedar. ―Gerakan Islam Syariat.” 2007. PSAP Muhammadiyah: Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan &
Kebudayaan, 1976 ―Kamus Bahasa Indonesia,” Cet. V;
Jakarta: PN Balai Pustaka, Hal. 26.
Ritzer, George & Goodman, Douglas J, 2003, “Teori Sosiologi Modern”. 6th Edition. Diterjemahkan oleh Alimandan, Jakarta: Prenada Media.
Sharrock, Wes, 2001, “Fundamentals of Ethnomethodology”, in George Ritzer and Barry Smart (eds.), Handbook of Social Theory. London: Sage: 249-259.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, ―Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Cet. II; Jakarta:
Balai Pustaka, 2002, h. 960.
Website:
Foto-foto Syur Mahasiwi Untirta:
http://umihasanurfitri.blogspot.com/2014/12/serang-foto- foto-porno-mahasiswi.html (DIunggah pada Minggu, 28 April 2019, Pukul 20.00 WIB)
http://repository.fisip-
untirta.ac.id/650/1/PRESENTASI%20DIRI%20MAHASIS WA%20HOMOSEKSUAL%20DI%20KOTA%20SERAN G%20-%20Copy.pdf (Diunggah pada Minggu, 28 April 2019, Pukul 20.00 WIB).
Peran kegiatan ekstra-kurikuler dalam Mengembangkan Watak
Peserta Didik di Untirta
http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/UCEJ/article/view/1887 (Diupload pada Minggu, 28 April 2019, Pukul 21.00 WIB).
―Rohani Islam‖,
wikipedia.http://id.m.wikipedia.org/wiki/Rohani_islam (28 Juli 2017). (Didownload pada Senin, 29 April, 1.00 WIB)
Rohis di Universitas.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&sour ce=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjl78ih- fLhAhWVbn0KHYg1AbUQFjAAegQIARAB&url=https%
3A%2F%2Funiversitaspertamina.ac.id%2Fkerohanian- islam%2F&usg=AOvVaw14GTFVp_ObW7raywO9UXt3 (Di download pada Minggu, 28 April 2019, Pukul 22. WIB) Rohis Kampus bukan hanya kumpulan orang-orang baik https://www.kompasiana.com/www.dewifs.com/5517da508 1331126699de37b/rohis-kampus-bukan-hanya-kumpulan- orang-orang-baik (Di download pada Minggu, 28 April 2019, Pukul 22. WIB)
Dokumen:
Dewi, Ratu Ajeng, 2016. Penelitian: Peranan Ekstrakurikuler Rohani Islam Terhadap Penanaman Budi Pekerti Siswa Di Smp Negeri 2 Kotabumi Tahun Ajaran 2016/2017”
Majalah Remaja Fitrah edisi Oktober 2012
Pangesti, TPSkripsi, 2015. ―Presentasi diri mahasiswa homoseksual di Kota Serang (Studi fenonemologi di FISIP- Untirta)-oleh TP Pangesti
Risnah, 2016. Penelitian: Aktivitas Rohani Islam (ROHIS) dalam Meningkatkan Pemahaman Ajaran Islam di SMK Negeri 1 Sinjai. Penerbit: 50100113051 Fak/Jur : Dakwah dan Komunikasi/ Komunikasi dan Penyiaran Islam Sinjai.
Dinamika Komunikasi dan Politik Chapter 1 2 0 2 0
POLA MANAJEMEN KRISIS TV SWASTA LOKAL DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSINYA DITENGAH STAGNASI IMPLEMENTASI SISTEM
TELEVISI BERJARINGAN
(STUDI KASUS PADA STASIUN BANTEN RAYA TV) Oleh:
Mohamad Hopip Idi Dimyati
Abstract
The networked television broadcast system mandated by Law No. 31. 2002 concerning Broadcasting apparently did not run well.
Many national TV broadcasts do not comply with the provisions for local broadcasting or networking with existing local TV. This condition is clearly unfavorable for local television which grows in many regions.
Including in Banten. Those who were originally able to work together as members of the network eventually had to compete with Jakarta TV, which was financially, HR and infrastructure much stronger. This means they face a difficult situation or crisis in this case. Baraya TV, as one of the local TVs in Banten which has obtained IPP from the Ministry of Communication and Information cannot be separated from this problem.
To maintain their existence, they are demanded to be able to compete in difficult situations, so they must take various steps and management strategies in a crisis situation.
How is the crisis management pattern adopted by Baraya TV in maintaining its existence and competitiveness with national TV amidst the stagnation of the implementation of the networked television system which is the focus of the research question. The research method used is a case study. Interviews, surveys and literature studies are used for data mining.
The results of this study conclude several things; 1). These conditions and situations certainly affect the findings of this study:
Banten Raya TV under the auspices of the JPMC Group (Jawa Pos Multimedia Corporation) network develops a regional networked pattern, where all local television network networks under the JPMC Group conduct in the form of programs , marketing, management and improvement of human resources, so that they can produce overcoming their limitations. This is an alternative solution when a networked
television system is not implemented by national TV, 2). Developing culture and other local wisdom which so far has rarely been exposed by the existence of national television as the main menu of broadcast programs to attract local viewers. This is more value that is not owned by national TV, 3). Changing the air name from Baraya TV to Banten Raya TV is part of a primordialistic strategy so that the people of Banten feel owned and proud of the television media in their area. And the brand image of Banten Raya TV as the Television of the Pride of the People of Banten has come true according to the vision and mission of Banten Raya TV itself.
Keywords: Broadcasting, Baraya TV, Networked Television System, Crisis Management
PENDAHULUAN
Disahkannya undang-Undang No.32 Tahun 2002 menjadi titik balik bagi hadirnya era baru penyiaran di Indonesia. Undang- undang yang dianggap memiliki semangat demokratisasi dalam dunia penyiaran ini mendorong lahirnya banyak lembaga penyiaran baru, utamanya televisi swasta di daerah/lokal.
Utamanya hal ini terjadi karena ditegaskannya dalam UU tersebut mengenai sistem penyiaran ber demi menghadirkan keberagaman, baik keberagaman dalam isi siaran (diversity of content) maupun sisi kepemilikan lembaga penyiaran (diversity of ownership).
Kehadiran stasiun televisi swasta lokal ini diharapkan dapat menjadi oase menyegarkan dibalik hiruk pikuk informasi yang selama ini terkonsentrasi di Ibu Kota. Sistem siaran berjaringan ini memberi peluang bagi televisi lokal untuk mengembangkan potensi lokal yang dimilikinya, meningkatkan daya saing dan mengikis sentralisme informasi dan bisnis media penyiaran yang selama ini terpusat di Jakarta.
Oleh karena itu, sejak dibukanya peluang mendirikan televisi swasta lokal sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002, setiap hari jumlah televisi lokal di Indonesia terus bertambah. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan bahwa jumlah lembaga penyiaran televisi swasta yang telah memiliki izin tetap dari tahun 2006–2013 sebanyak 287 stasiun televisi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.21
Sejalan dengan tren pesatnya pertumbuhan lembaga penyiaran secara nasional, di Propinsi Banten pun hal demikian juga terjadi, baik pada lembaga penyiaran radio maupun televisi.
Di provinsi yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta ini,
21 Data dan Statistik Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, Ditjen PPI: Perbandingan jumlah LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) dan LPB (Lembaga Penyiaran Berlangganan) Televisi pemegang IPP tetap berdasarkan propinsi tahun 2006 – 2013, https://statistik.kominfo.go.id diakses pada 10/09/2017
media penyiaran lokal terus mengalami pertambahan jumlah.
Database Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (P2SP) atau yang lebih dikenal dengan Bidang Perizinan KPID Banten 2016, jumlah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) jasa penyiaran televisi lokal yang telah memiliki izin tetap (IPP Tetap) sebanyak 16 televisi, terdiri dari 8 LPS lokal, 3 LPS lokal berjaringan, dan 5 LPS Berlangganan. Sedangkan sebanyak 25 televisi lokal lainnya saat ini masih dalam proses perizinan. Data tersebut mengindikasikan bahwa animo masyarakat dan pemilik modal untuk mendirikan televisi dan menggarap bisnis media televisi lokal di Propinsi Banten cukup besar.
Beberapa televisi lokal yang tercatat sebagai televisi lokal di Banten antara lain, Banten Raya TV, Carlita TV, Jawa Pos TV, CTV, BSTV dan INTV. Keberadaan stasiun televisi lokal di Banten ini idealnya dapat menjadi media televisi yang mampu melayani kebutuhan informasi dan hiburan yang bermuatan lokal dengan porsi lebih besar. Aneka program yang berbasis pada situasi sosial budaya lokal dan kebutuhan masyarakat setempat di daerah diharapkan bisa menjadi penyeimbang siaran televisi di Jakarta yang bersiaran secara nasional. Televisi lokal ini pun diharapkan bisa ikut menghidupkan industri televisi di tingkat lokal, baik dalam rekrutmen kebutuhan sumber daya manusia maupun pengelolaan potensi ekonomi seperti iklan komersial, iklan layanan masyarakat serta kerjasama lainnya. Hal ini tentu akan menghadirkan idealitas demokratisasi penyiaran sebagaimana diamanatkan UU penyiaran No.32/2002, yakni memberikan kesempatan yang sama kepada seluas-luasnya masyarakat di daerah untuk ikut terlibat dalam mengembangkan industri penyiaran.
Meski demikian, dalam realitasnya sistem siaran jaringan (SSJ), yang semestinya menjadi ruh dari sistem desentralisasi harus diakui masih jauh panggang dari api. Kewajiban penayangan konten lokal bagi lembaga penyiaran swasta yang
diatur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pada pasal 68, bahwa program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% untuk televisi dan paling sedikit 60% untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per haridan secara bertahap wajib ditingkatkan hingga paling sedikit 50% untuk televisi dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari ternyata tak bisa dipenuhi. Ada keengganan stasiun televisi swasta untuk melakukan jaringan dengan stasiun televisi lokal di daerah.
Kondisi yang tak ideal dalam implementasi SSJ saat ini tentu melahirkan tantangan tersendiri bagi televisi-televisi lokal di daerah. Termasuk televisi lokal yang ada di Provinsi Banten.
Meskipun harapan bagi televisi lokal di daerah untuk menjadi anggota jaringan televisi Jakarta tak terwujud, tapi untuk mempertahankan eksistens dan mengembangkan dirinya, televisi lokal mau tak mau harus melakukan upaya dan menyusun strategi. Alih-alih mereka menyerah, justeru kondisi ini memaksa mereka untuk menemukan beragam strategi untuk bisa meraih hati dan kepercayaan publik lokal. Apalagi mereka memiliki kedekatan lokasi dan emosi dengan pemirsa, satu kelebihan yang tak dimiliki oleh televisi Jakarta. Setidaknya menurut Yazid (2007) dalam Surokim (2013), disamping dapat lebih menegaskan orisinalitas, kreativitas dan potensi daerah, juga dapat membedakan dengan jelas kebutuhan lokal dan kebutuhan nasional.
Di antara beberapa televisi lokal di Banten yang dianggap cukup eksis di tengah pemirsa karena mewakili nuansa lokalitasnya adalah Baraya TV. Upaya Baraya TV untuk menjaga eksistensinya sebagai televisi lokal di Banten dalam sistem penyiaran nasional Indonesia yang belum sepenuhnya mendukung perkembangan televisi lokal ini tentu menarik untuk dikaji lebih lanjut. Setidaknya, melalui penelitian dapat diketahui
pola dan strategi yang diterapkan oleh Banten Raya TV sebagai salah satu televisi lokal Banten di tengah mandeknya implementasi sistem siaran jaringan yang diamanatkan UU penyiaran.
KAJIAN PUSTAKA 1. Stasiun Televisi Lokal: Definisi dan Potensi
Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan pentingnya keberadaan stasiun televisi lokal sebagai jawaban dari keberagaman kultur dan budaya masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, UU ini mengamanatkan agar tak ada televisi nasional yang jangkauan siarannya sampai ke daerah tanpa berjaringan dengan televisi lokal setempat. Melalui TV lokal yang menjadi jaringannya diharapkan kewajiban minimal 10% persen konten lokal yang harus dipenuhi oleh stasiun televisi swasta di Jakarta yang bersiaran secara nasional dapat dipenuhi. Di dalam peraturan pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta disebutkan bahwa stasiun penyiaran lokal adalah stasiun yang didirikan di lokasi tertentu dengan wilayah jangkauan terbatas dan memiliki studio dan pemancar sendiri. Ia dapat didirikan dalam wilayah Negara Republik Indonesia.22 Ini berarti syarat atau kriteria suatu stasiun dikategorikan sebagai penyiaran lokal adalah lokasi sudah ditentukan dan jangkauan siaran terbatas. Televisi swasta lokal masuk sebagai salah satu jenis media massa lokal.
Potensi keunggulan yang dimiliki oleh televisi lokal terletak pada identitas lokalitasnya. Kekuatan ini seharusnya tercermin dalam program acara yang lebih terfokus mengangkat budaya lokal sebagai materi program yang
22 Lihat Pasal 31 (5) Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002
disiarkannya. Apalagi merujuk catatan sinkronisasi budaya (Hamelink, 1983:5-6) atau imperialisme budaya (Straubhaar dan LaRose, 1996:138)23, televisi mempunyai andil yang cukup besar dalam proses sinkronisasi budaya. Dikatakan Garin Nugroho, ―ia seperti Dewa Janus, penyelamat sekaligus penghancur. Televisi adalah metamedium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia, tetapi mengarahkan kita bagaimana mendapatkan pengetahuan‖(Kompas, 10 September 1996).24
Penguatan muatan lokal dalam sistem penyiaran sebagaimana diamanatkan UU 32/2002 tentang Penyiaran bisa diartikan sebagai benteng pertahanan budaya nasional akibat pengaruh globalisasi. Disebutkan dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No.02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran Bab XXIV Pasal 67 menyatakan bahwa
“Program lokal adalah program siaran dengan muatan lokal yang mencangkup program siaran jurnalistik,program siaran faktual, dan siaran program siaran nonfaktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat, serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran daerah setempat”.Terlebih dalam pasal 4 ayat (1) UU Penyiaran menegaskan bahwa “Penyiaran sebagai komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial‟.
Oleh karenanya lokalitas diyakini akan menjadi kekuatan ekspansi pasar karena relasi dan sentimen budaya.
Hal ini diyakini akan menjadi kekuatan pasar karena relasi dan sentimen budaya. Hal ini yang diyakini akan mendorong, menentukan dan menumbuhkan sense of belonging dan sense of identity pasar lokal. Selain itu kajian budaya media juga
23 Dedy Mulyana, Bercinta Dengan Televisi, Bandung, 1997
24 Ibid 7
memperingatkan bahwa produk media yang melintas batas negara atau budaya akan diterima atau direspons dengan cara- cara yang spesifik (locally specific way) (Lee, Rahay, dalam Siregar, 2010).
Kehadiran televisi lokal di Propinsi Banten melengkapi dinamika pertumbuhan televisi swasta di berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat Banten yang sebelumnya hanya mengenal televisi swasta yang berbasis di Jakarta yang sudah lebih dulu eksis, mulai melihat adanya tontonan alternatif yang bisa mencerminkan dan menghadirkan identitas diri dan budaya setempat. Aneka program yang diproduksi stasiun televisi lokal terkait kehidupan sosial masyarakat Banten seperti Halo Pandeglang dan Lebak di Carlita TV, Banten Kini di Banten TV dan Nusa Banten di Jawa Pos TV menambah keberagaman konten dan menjadi tontonan alternatif bagi masyarakat setempat.
2. Siaran Televisi Berjaringan
Head dan Sterling (1982), dalam Morissan (2013) mendefinisikan stasiun jaringan sebagai “two or more stations interconnected by some menas of relay (wire, cable, terresterial microwaves, satellite) so as to enable simultaneous broadcasting of the some program...” artinya:
dua atau lebih stasiun yang saling berhubungan melalui relay (kawat, kabel, gelombang mikro terrestrial, satelit) yang memungkinkan terjadinya penyiaran program secara serentak.
Stasiun jaringan menyiarkan programnya melalui berbagai stasiun lokal yang menjadi afiliasinya yang terdapat di berbagai daerah.
Primasanti (2009) merujuk pada hasil laporan penelitian Putra (1992) juga merangkum bahwa, “Televisi jaringan merupakan sebuah kelompok televisi lokal, berhubung secara bersama, secara elektronis, sehingga
program bisa disuplai melalui sumber tunggal yang bisa disiarkan secara serentak”. Ketentuan ini menegaskan bahwa stasiun jaringan harus menyiarkan programnya kepada berbagai stasiun afiliasinya secara serentak. Dengan demikian, sistem jaringan tidak terjadi jika stasiun lokal melakukan siaran tunda yaitu dengan merekam terlebih dahulu baru kemudian menyiarkannya.
Hal penting yang perlu dipahami bahwa terdapat dua pihak dalam sistem penyiaran berjaringan25, yaitu :
a. Stasiun jaringan atau disebut juga dengan stasiun induk, yaitu penyiaran yang menyediakan program. Stasiun induk pada dasarnya tidak memiliki wilayah siaran sehingga stasiun induk tidak dapat menyiarkan programnya tanpa bekerjasama dengan stasiun lokal yang memiliki wilayah siaran.
b. Stasiun lokal, yang terdiri dari stasiun lokal independen dan stasiun lokal afiliasi yaitu stasiun lokal yang berkerjasama (berafiliasi) dengan salah satu stasiun induk untuk menyiarkan program stasiun induk di wilayah siaran lokal, dimana stasiun afiliasi berada.
Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No.32/2002 tentang Penyiaran menyepakati konsep siaran berjaringan sebagai kemitraan antara satasiun penyiaran lokal dengan stasiun yang bersiaran secara nasional. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Dengan demikian siaran berjaringan secara umum dapat dilihat sebagai sistem penyiaran yang terdiri dari dua sub sistem, yakni stasiun induk jaringan dan anggota jaringan yang memiliki hubungan ―tertentu‖. Selanjutnya sistem siaran berjaringan
25 Morissan (2013) hlm.114
hendaknya dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi serta aspek-aspek krusial yang membentuk sebuah sistem.
Brown (1989:17-59) dalam Surokim (2015) juga memaparkan aspek krusial dalam lembaga penyiaran, yakni financing (cara pendanaan), supervision, control and influence (pengawasan, kontrol dan pengaruh); communication policy (kebijakan komunikasi), broadcaster audience interaction (interaksi dengan audiens) dan programming (pemrograman).
Mengelaborasi pemikiran Brown, dapat ditarik beberapa aspek yang juga membentuk sistem siaran berjaringan yakni cara pendanaan, mekanisme kontrol dan pengawasan serta pemograman. Beberapa aspek ini mewujud dalam karakter yang spesifik sesuai dengan tujuan yang dicita- citakan oleh sistem siaran berjaringan yang diterapkan.
3. Manajemen Penyiaran dan Manajemen Krisis
Mengelola media penyiaran pada dasarnya adalah mengelola manusia. keberhasilan media penyiaran bergantung pada bagaimana kualitas dan kreatifitas orang-orang yang bekerja pada tiga pilar utama yang merupakan fungsi vital yang dimiliki setiap media penyiaran yaitu teknik, program dan pemasaran.26 Mengelola suatu media penyiaran memberikan tantangan yang tidak mudah kepada pengelolanya, sebagaimana ditegaskan Peter Pringle (1991) : Few management position offers challenges equal to those of managing a commercial radio or television station ( tidak banyak posisi manajemen yang memberikan tantangan yang setara dengan mengelola suatu stasiun radio dan televisi lokal).27
26 Morissan, M.A.,Manajemen Media Penyiaran, Strategi Mengelola Radio & Televisi.
Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2008, hlm :133
27 Peter K.Pringle, Michael F Star, William E McCavit, Electronic Media Management, Focal Press, Boston, 1991, hlm.2, Morissan, Jakarta, 2008, hlm.134.
Tantangan yang harus dihadapi manajemen media penyiaran disebabkan oleh dua hal. Pertama, sebagaimana perusahaan lainnya media penyiaran dalam kegiatan operasionalnya harus dapat memenuhi harapan pemilik dan pemegang saham untuk menjadi perusahaan yang sehat dan mampu menghasilkan keuntungan. Namun dipihak lain, sebagai tantangan kedua, media penyiaran harus mampu memenuhi kepentingan masyarakat (komunitas) dimana media bersangkutan berada, sebagai ketentuan yang harus dipenuhi ketika media penyiaran bersangkutan menerima izin (lisensi) yang diberikan negara.
Upaya menyeimbangkan antara memenuhi kepentingan pemilik dan kepentingan masyarakat, memberikan tantangan tersendiri kepada pihak manajemen media penyiaran. Media penyiaran pada dasarnya harus mampu melaksanakan berbagai fungsi, yaitu antara lain sebagai media untuk beriklan, media hiburan, media informasi dan media pelayanan. Untuk mampu melaksanakan seluruh fungsi tersebut sekaligus dapat memenuhi kepentingan pemasang iklan, audiens serta pemilik dan karyawan merupakan tantangan tersendiri bagi manajemen.
Sebagaimana fungsi manajemen pada umumnya, dalam manajamen penyiaran juga melaksanakan empat fungsi dasar dari manajemen yaitu: Perencanaan (planning), Pengorganisasian (organizing), Pengarahan dan memberikan pengaruh (directing/influencing) serta Pengawasan (controlling).
Ketika sebuah organisasi, dalam hal ini lembaga penyiaran menghadapi suatu krisis, yakni situasi atau kejadian yang lebih banyak mempunyai impilkasi negatif diperlukan sebuah langkah manajemen untuk mengatasi dan merespon situasi krisis yang terjadi. Inilah yang disebut sebagai manajemen krisis. Manajemen krisis dilakukan dengan
terlebih dahulu mengidentifikasi karateristik krisis yang tejadi.
Setidaknya untuk mengenali krisis, bisa kita lihat dari karakteristiknya, yakni: 1). Peristiwa yang spesifik (specific event), 2). Penyebabnya dapat diketahui, 3). Krisis bersifat tidak diharapkan dan dapat terjadi setiap saat, 4) Krisis terjadi sebagai bagian dari aktivitas organisasi, 5). Krisis menciptakan ketidakpastian informasi, 6). Krisis menimbulkan kepanikan dan dampak negatif bagi organisasi.
G.Harrisan dan White & Mazur menyimpulkan, krisis secara umum dapat disebabkan oleh dua sumber yaitu dari dalam dan dari luar organisasi. Sumber krisis dari dalam organisasi antara lain : manusia, manajemen, dan teknologi.
Sumber dari luar, yaitu peraturan-peraturan pemerintah, bencana alam dan kerusakan yang dilakukan oleh orang lain.
Krisis juga dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis, yaitu:
Krisis teknologi, krisis konfrontasi, krisis malevolence, krisis manajemen, krisis bencana alam, dan krisis produk.
4. Konvergensi Media
Konvergensi adalah proses penggabungan teknologi media, telekomunikasi, dan komputer yang terintegrasi menjadi suatu sistem tunggal, sehingga disebut jaringan intelejen. Jaringan ini dinilai tidak hanya sebagai suatu teknologi, tapi juga sebagai sumber daya informasi. Brigg (2006: 326) menyebut kata konvergensi mulai dikenal tahun 1970-an, merujuk pada sebuah perkawinan antara komputer dan telekomunikasi yang dilanjutkan dengan bersatunya industri media dan telekomunikasi. Barulah tahun 1990-an, konvergensi mulai dikaitkan dengan perkembangan teknologi digital, integrasi teks, audio, video yang berbeda-beda dalam platform media.
Gustafsson & Schwarz (2013:12) menyebut konvergensi adalah produk ber-platform digital yang secara
fisik mengintegrasikan dua atau lebih teknologi berplatform digital menjadi bentuk produk yang umum. Pengertian konvergensi semakin mengerucut yaitu bergabungnya layanan yang dahulu terpisah, termasuk internet, televisi, kabel, dan telepon. Konvergensi didorong oleh persimpangan konten melalui berbagai platform dengan menggunakan komputer dan internet. Perusahaan media memaksimalkan penggunaan konten yang mereka hasilkan dan mendistribusikannya melalui berbagai platform. Hal ini kerap disebut sebagai konverensi media.
Dalam konvergensi media, Dailey, Demo, dan Spillman (2003) merumuskan Model Kontinum yang menguraikan tentang adanya lima aktivitas konvergensi media.
Lima tahap proses konvergensi media itu adalah, pertama, cross-promotion yaitu media yang berkonvergensi saling kerja sama untuk mempromosikan dan memperkenakan konten media satu sama lain. Kerjasama dalam bentuk iklan, audio, video, teks dan elemen visual lainnya. Kedua, cloning yaitu konten satu media diduplikasi dan diperbanyak untuk dimuat di media lain sebagaimana aslinya. Ketiga, coopetition yaitu saat entitas media yang saling bermitra dan bersaing pada saat yang sama. Media yang terkonvergensi saling bekerja sama dengan promosi, tetapi produk berita tetap dilakukan masing- masing. Keempat, content sharing yaitu kedua media yang berlainan saling berbagi konten dengan bentuk konten tersebut dikemas ulang atau berbagi budjet pendapatan.
Kelima, full convergence yaitu media yang berbeda saling bekerja sama secara penuh untuk semua lini bisnis, mulai dari pengumpulan bahan, produksi, pemasaran, dan distribusi konten.
Newsroom dalam industry media mutlak adanya.
Melalui newsroom para wartawan, reporter, editor, redaktur, dan produser, pemimpin redaksi, bekerja bersama-sama untuk
mengumpulkan berita yang selanjutnya dipublikasikan dan ditayangkan media massa. Ada beberapa jenis konvergensi newsroom yang dapat dilakukan pengelola media (Stepp, 2008:17).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, salah satu jenis metode dalam penelitian yang bersifat kualitatif yang berusaha menggali proses (explore process) terjadinya suatu kasus dengan menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana kasus itu terjadi (Cresswell, 1994:68) dalam Surokim (2015 : 21).
Studi kasus juga disebut sebagai pendekatan yang memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dn rinci (Surachman, 1982:143). Guna mengungkap pola dan strategi stasiun televisi lokal Baraya TV yang menjadi objek penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara dengan informan yang ditentukan secara sengaja (purposive), observasi partisipatif baik dalam studio maupun luar studio, dan melalui penelusuran dokumen, baik berupa data berupa foto, video maupun tulisan.
Enam orang informan dipilih dalam penelitian ini.
Mereka adalah Mashudi (General Manager/Penjab Banten Raya TV), Wahyu Ginananjar (Manager Program), Rahmat Hidayat (Manager Marketing), Ahmad Maulana Fauzi (Praktisi dan Pengamat Budaya lokal Banten), Ade Bujhaerimi (Ketua KPID Banten), dan KGS Sazili (Kepala Balai Monitoring Frekwensi Kelas II Banten). Trianggulasi data dan metode digunakan dalam rangka menjaga keabsahan data yang diperoleh dalam penelitian ini. Sementara, untuk analisis data ditempuh tiga tahapan yakni reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), penarikan gambaran kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification).
HASIL PENELITIAN 1. Profil Singkat Baraya TV
Banten Raya TV atau lebih dikenal dengan Baraya TV, merupakan televisi swasta lokal yang dimiliki oleh Harian Radar Banten yang merupakan salah satu surat kabar milik Jawa Pos Group. Pada tahun 2009 Grup JPMC (Jawa Pos Multimedia Coorporation) pada tahun 2009 mengajukan permohonan pendirian lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi dengan nama PT.Wahana Raya Televisi, nama perusahaan dari Banten Raya TV. Siaran televisi dengan slogan ―TV Kebanggaan Banten‖ ini ada pada frekuensi channel 50 UHF. Ia resmi mendapatkan Izin Tetap dari Menteri Komunikasi dan Informasi pada awal Februari 2017.
Dokumen proposal pendiriannya menyebutkan, Visi Baraya TV menjadi penyiaran kuat dan sehat serta menjadi pendorong, penginspirasi pemberdayaan peningkatan potensi daerah diberbagai bidang yaitu bidang kehidupan, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, serta moral di masyarakat akan lebih meningkat, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara luas.
Baraya TV bersiaran dari Pkl 06.00 Wib sampai 23.30 Wib. Prosentase tayangan di Banten Raya TV 70% bermuatan lokal, dan sisanya merupakan program nasional/regional yang disiarkan secara relay dari stasiun jaringan Grup JPMC (Jawa Pos Multimedia Coorporation) dalam program ―Nusantara Pagi‖ (pkl.06.00 – 07.00) dan ―Nusantara Malam‖ (pkl. 22.00 – 23.30). serta program ―Mata Indonesia‖ setiap hari (pkl.
13.30 – 14.00) yang merupakan kerjasama dengan LKBN Antara.
Daya jangkau (coverage) siaran Baraya TV meliputi seluruh wilayah Kabupaten Serang, Kota Serang, sebagian
Kota Cilegon, Sebagian Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan sebagian Kabupaten Tangerang. Banten Raya TV juga mengembangkan potensi multimedianya dengan meluncurkan situs barayatv.com.
2. Pola Pengelolaan Stasiun Televisi Baraya TV
Pada Implementasi Sistem Siaran Jaringan di Propinsi Banten (Studi Kasus di Banten Raya TV) didapat setelah melakukan wawancara mendalam (Indepth Interview) dengan berbagai narasumber kompeten baik diinternal manajemen maupun institusi yang berkaitan langsung dengan bidang penyiaran dan analisa SWOT.
Berdasarkan hasil wawancara dengan internal manajemennya, Banten Raya TV yang merupakan anak perusahan dari Harian Radar Banten berusaha dikelola dengan menggunakan manajemen industri media professional. Baraya TV yang masuk dalam jaringan Grup JPMC (Jawa Pos Multimedia Coorporation), selain menampilkan program- progam lokal sebagai program unggulan, Banten Raya TV juga didukung oleh program informasi jaringan regional melalui program yang ditayangkan melalui jaringan induk dan direlay oleh seluruh stasiun televisi lokal anggota Jawa Pos Grup di Indonesia.
Sistem siaran jaringan televisi lokal yang dikembangkan oleh Grup Jawa Pos melalui beberapa anak perusahaannya yang ada di berbagai wilayah propinsi di Indonesia bersifat regional bahkan nasional merupakan solusi alternatif atas kegagalan penerapan implementasi sistem siaran jaringan yang seharusnya diterapkan oleh televisi nasional dengan menggandeng stasiun televisi lokal di daerah.
Manajemen Baraya TV mengimplemenatasikan langkah manajemen umum, yakni Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (POAC) dalam operasionalnya.
Di awal, manajemen Baraya TV melakukan perencanaan siaran mulai dari perencanaan sarana dan infrastruktur serta perncanaan SDM. Termasuk juga perencanaan dalam produksi, finansial, marketing promotion, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan organisasi.
Bahkan, pada tahun-tahun pertama kehadiran Banten Raya TV, pihak manajemen melakukan promosi dan pengenalan kepada masyarakat melalui berbagai event off air seperti Parade Band se-Banten ataupun kerjasama dengan perusahaan otomotif yang sebelumnya sudah bekerjasama dengan Radar Banten.
Kegiatan off air yang dilakukan oleh Banten Raya TV, dirancang secara terencana. Kegiatan tersebut dipakai bukan saja untuk promosi Baraya TV kepada publik, tapi juga dijadikan sebagai program unggulan dalam mendukung keberlangsungan program acara. Termasuk menjadi ajang pencarian bakat untuk mendukung kebutuhan SDM bagi mereka.
Maulana Wahid Fauzi, mantan Direktur Baraya TV menegaskan :
“Lantaran Banten Raya TV belum mempunyai program secara terperinci waktu itu, maka dari hasil kegiatan Parade Band itulah, salah satunya menjadi bahan produksi siaran dan ditayangkan di Banten Raya TV. dan kita putar berulang-ulang, apalagi kalau yang penampilannya bagus, kita putar ulang terus. Jadi saya menggabungkan itu antara event dan tayangan. Jadi walaupun belum siaran, nama Baraya TV sudah dikenal.”
Melalui bantuan mentor dari Jawa Pos Grup sebagai induk jaringan, berbagai persiapan dilakukan secara terencana dan bertahap, seperti bidang SDM, insfrastruktur, promosi dan lainnya, Keterlibatan manajemen Grup Jawa Pos merupakan
langkah cukup efektif dan efisien karena dapat menekan biaya operasional.
Mashudi, Direktur Banten Raya TV menjelaskan:
“SDM itu kunci, sebagus apapun peralatan, tapi SDM nya tidak sesuai dengan kapasitasnya, akan jadi persoalan. Dan sampai saat ini SDM kita walaupun sudah ada yang layak tapi mayoritas belum... dan bisa saja kita menarik SDM dari luar Banten jika memang dibutuhkan.”
Wahyu Ginanjar, manajer program mengakui jika masalah SDM pada TV lokal kerap menjadi kendala. Padahal ia motor penggerak organisasi.
“Televisi lokal biasa terkendala dengan keterbatasan SDM, sarana prasarana penunjang lainnya. Tapi Banten Raya TV hadir dengan sarana penunjang yang mumpuni, dengan dukungan SDM standar sesuai dengan kebutuhan”.
Faktor finansial dan sumber daya manusia yang terbatas menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen Banten Raya TV untuk merekrut SDM dengan kompetensi yang memadai. Karena program yang bagus dan berkesinambungan diawali perlu SDM terampil, kreatif dan inovatif. SDM lokal pun lebih banyak menjadi pilihan, karena sebenarnya banyak yang memiliki kompetensi di bidang penyiaran. Masalahnya selama ini mereka tak banyak punya peluang berkarya di media televisi nasional. Apalagi SDM lokal dianggap memiliki keunggulan dalam mengenali budaya lokal yang ingin diangkat sebagai menu utama program siaran.
Maulana Fauzi mengatakan: 28
“Kalau soal SDM, di Baraya TV 90% orang lokal yang memiliki kemampuan dibidang multimedia dan
28 Ibid 83
ada juga yang mempunyai pengalaman sebagai wedding organization, PH atau kita tarik dari tv lain.
Terus rekruitmenya dengan menyelenggarakan event
“Banten Talenta” yang berkaitan dengan bidang penyiaran. dari event itulah kita menjanjikan 10 orang finalis selain mendapat hadiah juga dipekerjakan di Baraya TV seperti presenter, editor, kameramen dll.―
Sebagai industri media, Baraya TV juga menghadapi tantangan. Apalagi bagi TV lokal di Banten yang berbatasan dengan Jakarta yang menjadi pusat televisi swasta nasional yang penetrasi siarannya cukup kuat dan dominan.
Rahmat Hidayat, Manajer Bisnis dan Marketing:29
“Ketika lihat pertempuran media khususnya televisi, kami sebagai pengelola TV lokal harus kreatif, karena memang lokasi Banten yang berdekatan langsung dengan Jakarta, semua TV Jakarta ada di sini, dan orang ga perlu susah-susah, semua channel mudah ditangkap”.
Lalu, apakah bisa stasiun televisi lokal bersaing dengan stasiun televisi besar yang bersiaran di Jakarta, sementara infrastruktur televisi lokal jelas kalah jauh dibandingkan TV nasional. Maulana Wahid Fauzi, menjelaskan strateginya:
“Karena melawan TV nasional terlalu berat, mau sinetron, produksi live music juga sama berat, belum peralatannya. Akhirnya saya berpikir jalan satu- satunya agar bisa ditonton masyarakat Banten yaitu dengan menampilkan masyarakat Banten sendiri.
Karena semua TV Jakarta yang masuk ke Banten semua punya identitas masing-masing. Akhirnya jika masyarakat Banten mau nonton tentang dirinya
29 Hasil wawancara dengan narasumber pada 29 September 2017
sendiri ya mereka harus nonton Baraya TV dan konten di Baraya TV itu 90% lokal.‖
Masyarakat di daerah yang selama ini hanya menjadi objek atau penonton, namun dengan kehadiran televisi lokal masyarakat diberdayakan dalam mendukung sebuah program sehingga terjadi simbosis mutualisme antara stasiun televisi lokal dengan masyarakat. Pelibatan masyarakat menjadi bagian penting dalam upaya mempertahankan eksistensi televisi lokal.
Maulana Wahid Fauzi menjelaskan :30
“Saya selalu menyajikan program-program yang tidak saja kontennya bernuansa lokal dengan selalu melibatkan masyarakat lokal seperti program Plesiran atau Pengajian namun juga membangun simbiosi mutualisme dengan masyarakat...saya butuh konten, disisi lain saya juga butuh bahan produksi juga butuh pemirsa. Jadi saya menawarkan kepada masyarakat untuk sekaligus meningkatkan kehidupan religi, syaratnya ada jama‟ah minimal 20 orang dan ada ustadnya yang memberikan tausiyah; dengan ditayangkan di tv masyarakat jadi semangat mengikuti pengajian.”
Untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas siaran, kerjasama sharing teknologi, teknik, SDM, serta manajemen dilakukan oleh Baraya TV dengan Jawa Post sebagai induk.
Rahmat Hidayat, Direktur Bisnis dan Program mengatakan:
“Pada periode tertentu kita menghadirkan mentor- mentor dari pusat untuk mengadakan pelatihan disini, seperti pelatihan kameramen, redaktur studio dan reporter, seharian full. Begitu juga sebaliknya bisa saja kita mengutus personil kita kesana, misalnya ada
30 Ibid 83
pertemuan di Jakarta atau Surabaya, ya kita utus juga kesana”
Dari sisi manajemen maupun program, Banten Raya TV memang mendapat dukungan dari Jawa Pos Media Network (JPMN) secara berkala berupa pelatihan dan supervisi SDM. Namun, dari sisi teknis Banten Raya TV menghadapi kendala yang cukup serius.
Direktur Banten Raya TV Mashudi mengungkapkan:
“Selain SDM kendala yang dihadapi oleh televisi lokal adalah jangkauan siar, karena frekuensi kan diatur dan izin siarnya dibatasi. Walaupun punya kekuatan finansial yang cukup, tapi ketika izin siarnya dibatasi, kan sama aja. Sedangkan Serang sendiri masuk wilayah layanan Jabodetabek. Serang sebagai pusat Ibu Kota Propinsi tidak mendapatkan jatah kanal, yang ada jatah Pandeglang, Lebak atau Malingping sehingga untuk jangkauan siar sangat terganggu dengan kontur tanah yang banyak gunung sehingga sangat tidak ideal”.
Padahal, bersiaran di Kota Serang menjadi penting bagi Baraya TV karena Serang merupakan Ibukota Provinsi Banten yang menjadi target siaran mereka. Sementara, alokasi frekwensi di Kota Serang tak disediakan oleh pemerintah. Hal ini tentu menyulitkan bagi Baraya TV. Kendala lain adalah brand image Baraya TV yang belum banyak dikenal masyarakat Banten. Menurut Wahyu Ginanjar, setiap kali melakukan proses syuting, masyarakat belum ngeh dengan keberadaan TV lokal dan lebih banyak mengenal TV Jakarta.
Kadang, ketika disebutkan dari Banten Raya TV, masyarakat masih terkesan memandang sebelah mata TV lokal. Salah satu upaya meningkatkan Barand Image yang dilakukan manajemen adalah, diubahnya perubahan penyebutan nama udara dari Baraya TV menjadi Banten Raya TV. Harapannya
dengan sebutan ―Banten‖ yang lebih jelas, masyarakat Banten merasa memiliki dan bangga dengan media televisi yang ada di daerahnya.
Kehadiran Banten Raya TV sebagai salah satu stasiun televisi lokal di Propinsi Banten diharapkan mampu mengangkat lebih banyak lagi ekspresi seni dan budaya yang hidup di masyarakat. sehingga kehadirannya akan mampu memenuhi kebutuhan informasi masyarakat setempat. Ketua KPID Banten Ade Bujhaerimi, kehadiran televisi lokal TV lokal diharapkan dapat memunculkan identitas daerah dimana stasiun televisi itu berada.
“Namanya juga tv lokal, ya harus mencerminkan identitas lokalnya, jadi kehadiran Banten Raya TV harus bisa mencerminkan kondisi sosial masyarakat Banten dalam setiap tayangan programnya, begitu juga dengan presenternya kalau bisa berpakaian adat Banten misalnya, atau pada acara-acara tertentu menggunakan bahasa lokal seperti Jawa Serang atau hal-hal lain yang bercirikan kekhasan Bantennya.
Harus ada identitas khusus yang bisa menarik pemirsanya. Kalau ga ada yang unik, ya mending nonton tv Jakarta, ya kan?‖
Lokalitas merupakan unsur penting bagi kesuksesan siaran media lokal. Unsur lokal dalam tayangan televisi memberikan efek kesan dekat secara emosional dan budaya pada pemirsanya. Lebih dari itu, unsur lokal juga sebagai bagian dari proses pertukaran makna, sebab praktik menonton televisi membutuhkan proses decoding (pemaknaan simbol) yang sesuai dengan system pengetahuan atau alam pikiran pemirsanya.
Unsur lokalitas dalam tayangan ini diakui oleh Rahmat Hidayat sebagai hal penting. Ia katakan:
“...Prinsip kita begini, orang pengen dong melihat daerahnya tampil di tv, nah potensi-potensi lokal itulah yang kita angkat, jadi orang semakin tahu bahwa kalau ingin tahu daerahnya maka nonton Banten Raya TV. karena memang kalau menyajikan seperti nasional pasti kalah. Apalagi kapasitas kita beda. Ukuran tv kita secara finansial dengan tv nasional udah pasti kalah”.
Unsur kedekatan (proximity), stasiun televisi lokal merupakan sarana yang tepat untuk membangun literasi masyarakat agar mencintai budayanya, menghormati perbedaan dan hal-hal lain sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
3. Manajemen Krisis Baraya TV
Beberapa krisis dialami Baraya TV dalam operasinya.
Menghadapi krisis tersebut, Baraya TV melakukan langkah- langkah untuk mersponnya. Adhy Aruman (2015) menulis, tidak semua krisis dapat diperkirakan dan tidak semua masalah dapat dicegah untuk berubah menjadi krisis, sehingga pengelolaan krisis harus penting. Salah satu krisis yang dialami Baraya TV adalah tidak tersedianya kanal frekwensi di Kota Serang, padahal ia pusat ibukota provinsi yang penting bagi eksistensi siaran Baraya TV. Merespon hal ini, manajemen segera meresponnya dengan mengajukan surat rekomendasi dari Pemerintah Wali Kota Serang yang ditujukan kepada pihak Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, agar Kota Serang tidak termasuk bagian dari area layanan Jabodetabek melainkan menjadi daerah mandiri yang memiliki area layanan siaran tersendiri seperti halnya Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Selain itu sejak awal, walaupun hanya memiliki izin layanan siaran untuk wilayah
Pandeglang, Banten Raya TV langsung membuka kantor dan studio di Serang dengan stasiun pemancar (tower) tetap di Pandeglang. Hal ini dilakukan mengingat sebagai pusat ibu kota propinsi, Kota Serang dibidik target pasar utama, disamping Cilegon dan Tangerang.
Selain dari sisi teknis, sisi konten dan SDM juga tak luput perhatian pihak manajemen Banten Raya TV. Sebagai upaya peningkatan kualitas SDM, secara periodik, pihak manajemen menghadirkan mentor-mentor dari pusat untuk melatih kameramen, reporter, redaktur studio dan bidang lainnya sesuai kebutuhan. Dengan demikian kendala masih rendahnya respon masyarakat terhadap keberadaan televisi lokal, tidak lantas kehilangan kesempatan untuk membuat terobosan baru yang lebih inovatif dan kreatif. Krisis bukan tidak mungkin dapat disembuhkan, oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang cepat, tepat dan akurat.
Bagan. 1
Alur Manajemen Krisis di Baraya TV Mengatasi
masalah
Newsroom Banten
Raya TV Newsroom
Televisi Lokal Grup Jawa Posgya TV Newsroom televisi lokal Grup Jawa Pos
PROGRAM DAN BERITA BANTEN TV Identifikasi
Masalah
Analisis Krisis
Evaluasi Masalah
Newsroom Banten Raya TV
Bagan. 2
Langkah Manajemen Krisis Baraya TV
EVALUASI MASALAH
1. Manajemen newsroom terintegrasi dengan media Grup Jawa Pos Multimedia Corporatons berjalan dengan baik
2. Pembangunan infrastruktur masih perlu ditingkatkan
3. Peningkatan branding sebagai tv lokal melalui media social berjalan baik
4. Konten berita proximity dan mutual simbiosis berjalan dengan baik 5. Pelatihan SDM telah menunjukkan hasil cukup signifikan
6. Berita proximity perlu dipertajam lagi
IDENTIFIKASI MASALAH 1. Persaingan televise lokal dan nasional
2. Daya pancar antene kalah kuat dibanding TV Nasional
3. Kanal Banten Raya TV 50 UHF berdekatan dengan Kanal Transtv 49 UHF
4. Branding tv lokal tidak menjual 5. Program Acara diputar ulang berkali-kal 6. Kualitas dan kompetensi SDM masih standar
MENGATASI MASALAH
1. Membuat Sharing Berita dengan Grup Jawa Pos Multimedia Coorporation
2. Meningkatkan kekuatan daya pancar antena 3. Membuat manajemen newsroom terintegrasi 4. Membuat media social
5. Membuat berita dengan proximity 6. Membuat program mutualisme simbiosis 7. Memberi pelatihan kepada tim redaksi 8. Membidik pasar Ibukota Banten: Kota Serang 9. Mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran
ANALISIS MASALAH 1. Perlu meningkatkan kerjasama dengan tv nasional 2. Perlunya membangun Infrastruktur
3. Perlunya Kanal Banten Raya TV dijauhkan dengan TV Nasional 4. Perlunya melakukan promosi lokal dan nasional
5. Program Konten perlu ditingkatkan 6. Perlunya peningkatan SDM
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pola manajemen stasiun televisi lokal Banten Raya TV di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Banten Raya TV yang berada dibawah naungan jaringan Grup JPMC (Jawa Pos Multimedia Coorporation) mengembangkan pola berjaringan secara regional, dimana seluruh jaringan stasiun televisi lokal yang berada dibawah Grup JPMC melakukan kerjasama jaringan baik dalam bentuk program, pemasaran, manajemen maupun peningkatan sumber daya manusia, sehingga mampu menghasilkan output yang baik dan diterima masyarakat Serang khususnya dan umumnya masyarakat Banten. Sistem siaran jaringan televisi lokal yang dikembangkan oleh Grup Jawa Pos melalui beberapa anak perusahaannya yang ada di berbagai wilayah propinsi di Indonesia bersifat regional bahkan nasional merupakan solusi alternatif atas kegagalan penerapan implementasi sistem siaran jaringan yang seharusnya diterapkan oleh televisi nasional dengan menggandeng stasiun televisi lokal dalam memperluas jangkauan siarnya di daerah sebagaimana amanat UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta adanya kewajibannya menayangkan konten lokal minimal 10% sebagaimana diatur KPI dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
2. Pengembangan pola berjaringan secara regional yang dikembangkan oleh Grup Jawa Pos, mendorong seluruh anggota jaringan termasuk Banten Raya TV terpacu dalam meningkatkan kapasitas dan kreatifitas program. Karena Setiap stasiun televisi lokal yang berada dibawah jaringan Grup JPMC (Jawa Pos Multimedia Coorporation), diberikan
akses khusus untuk mengupdate berita-berita lokal maupun berita nasional dan ditayangkan secara serentak melalui stasiun jaringan induk. Prinsip Diversity of Content atau keberagaman pola acara, keberagaman budaya, adat istiadat dan berbagai lokalitas lainnya yang selama ini jarang terekspos oleh keberadaan televisi nasional, dapat dengan mudah diekspos dan dieksplore melalui jaringan stasiun televisi lokal. Kerjasama cross promotion, cloning, dan sharing seperti ini terbukti seperti ini dapat membantu kualitas siaran Banten Raya TV yang semula tidak maksimal menjadi lebih beragam karena adanya perpaduan lokal dan nasional dan dapat dengan baik diterima oleh masyarakat sekaligus dapat menekan biaya produksi dan memperkuat daya tawar dikalangan pemasang iklan lokal dan nasional.
3. Perubahan penyebutan nama udara dari Baraya TV menjadi Banten Raya TV merupakan bagian dari strategi primordialistis agar masyarakat Banten merasa memiliki dan bangga dengan media televisi yang ada di daerahnya. Dan brand image Banten Raya TV sebagai Televisi Kebanggaan Masyarakat Banten menjadi kenyataan sesuai visi dan misi Banten Raya TV itu sendiri.
Saran
Beberapa saran dari temuan penelitaian ini adalah:
1. Potensi dan peluang televisi lokal untuk terus berkembang dan diterima oleh masyarakat sebenarnya cukup terbuka lebar, asalkan para pengelola stasiun televisi lokal mampu memberdayakan beragam potensi lokal menjadi sesuatu yang memiliki nilai tawar yang tinggi baik bagi masyarakat untuk beralih ke televisi lokal maupun bagi pemasang iklan untuk memanfaatkan keberadaan stasiun televisi lokal sebagai sarana promosi yang ideal dan dekat dengan target pasar yang diinginkan. Namun demikian keberadaan stasiun televisi perlu
didukung oleh regulasi yang kuat dan berlandaskan pada Diversity of Content dan Diversity of Ownership sebagaimana diamanatkan UU No.32/2002 tentang Penyiaran.
2. Propinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota dengan kultur dan budaya masyarakatnya hampir sama kecuali Tangerang, maka pemberian izin layanan siar tidak hanya berkutat di wilayah kabupaten/kota, namun juga bisa menjangkau seluruh wilayah di Propinsi, agar masyarakat yang ada di daerah dapat menikmati tayangan-tayangan televisi di daerahnya dengan mengusung adat dan budaya setempat. Dengan azas proximity, seharusnya stasiun televisi lokal menjadi tuan rumah di daerahnya masing-masing, dengan tayangan-tayangan khas yang tidak dimiliki oleh stasiun televisi nasional.
3. Rencana revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, hendaknya mampu memperkuat azas dari sitem penyiaran itu sendiri yang mampu menghadirkan konten-konten beragam yang mencirikan ke Indonesiaan, meningkatkan kualitas SDM, menjaga integrasi kedaulatan bangsa dan taraf hidup masyarakat di daerah melalui sistem penyiaran yang berkeadilan (Diversity of Content dan Diversity of Ownership).
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Ade, 2011. ―Televisi Jakarta diatas Indonesia, Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia‖, Penerbit Bentang, Yogyakarta;
Batubara, Leo Sabam, 2010 „ Perjuangan Demokratisasi Penyiaran”,: Dewan Pers, Jakarta; Briggs, Asa &
Burke, Peter (2006), Sejarah Sosial Media, Yayasan Obor, Jakarta
Budiman, Ahmad, Sistem Penyiaran Televisi Berjaringan, Jurnal 2088-2351 Vol.IV, 2012;
Defhany, 2015, ―Manajemen Media Penyiaran Televisi Swasta Lokal (Studi Tentang Strategi Manajemen Media di Stasiun Padang TV dalam Memproduksi Program Televisi dengan Muatan Budaya Lokal:, Tesis USU Medan;
Departemen Komunikasi dan Informatika, 2005. ―Undang- Undang No.32 TentangPenyiaran dan Peraturan Pemerintah Tentang Penyiaran”, Ditjen Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi;
Erich Schwarz J, dan Gustafsson Veronika (2013), Business Modelling and Convergence dalam Media and Convergence Management, SpringerHeidelberg, New York
Grant A.E & Wilkinson, J.S 2009, Understanding Media Convergence: The State of Field, N.Oxford University Press
Griffin, Andrew, 2014. “Crisis Issues and Reputation Management” Kogan Page Limitied.
Kereh, Jusak. 2013, ―Kajian Hukum Tentang Peluang dan Kendala Bisnis Lembaga Penyiaran Swasta Bedasarkan UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran”, Jurnal, Vol.
1 No.1;
Moleong, Lexy J, 1999, ―Metode Penelitian Kualitatif”, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung;
Morrisan, Morrisan. 2013. ―Manajemen Media Penyiaran, Strategi Mengelola
Nugroho, Yanuar dkk. 2012, ―Memetakan Kebijakan Media di Indonesia”, Laporan Berseri, Ford Foundation, Jakarta;
Radio dan Televisi”. Cetakan ke-4, Ramdina Prakarsa, Tangerang;
Stepp, Carl Sessions, (2008), Editing for Today Newsroom, Routledge, New York
Surokim, 2012, ―Ekonomi Politik Media Penyiaran Lokal‖
Jogyakarta;
Surokim, 2013. ―Televisi Lokal, Strategi Jitu Memenangkan Persaingan dan Merebut Pemirsa TV”. UTM Press, Madura;
Zakbah, 1997, ―Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan Pengembangan Budaya Daerah Riau”, Depdikbud, Jakarta;
Dinamika Komunikasi dan Politik Chapter 1 2 0 2 0
POTENSI INDUSTRI KREATIF MELALUI PEMANFAATAN LIMBAH KAYU KARANGANTU SEBAGAI PENOPANG INDUSTRI PARIWISATA KOTA
SERANG Oleh:
Nurprapti Wahyu Widyastuti Idi Dimyati
Burhanudin Abstrak
Industri pariwisata merupkan industri yang kompleks karena memerlukan sinergi antar sumber daya yang dimiliki suatu wilayah.
Keterlibatan pemerintah, dunia usaha masyarakat dan akademisi sangat diperlukan untuk secara bersama-sama saling bersinergi untuk mendesain, membangun dan memelihara industri pariwisata yang sustainable.
Keberadaan industri pengolahan kayu di Karangantu dapat dijadikan sebagai industri pendukung destinasi wisata Situs Banten Lama. Pengolahan limbah kayu sebagai produk kreatif berupa souvenir mempunyai prospek yang bagus untuk dikembangkan. Salah satu kelemahan industri kereatif kita saat ini adalah kurangnya kemampuan untuk memasarkan produknya. Diperlukan pemahaman dan ketrampilan dalam komunikasi pemasaran sehingga produk industri kreatif skala UKM dapat menjangkau pasar dan berkembang menjadi besar.
Pemberdayaan ekonomi kreatif ini pada akhirnya akan berdampak pada kemandirian ekonomi masyarakat dan mendorong peningkatan PAD.
Limbah kayu dapat dimanfaatkan sebagai sovenir khas destinasi wisata di kota Serang,
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Data utama digali dari narasumber melalui FGD dan interview. Narasumber meliputi pengusaha kayu, masyarakat setempat, anggota komunitas pengusaha di kota serang, lurah kasemen dan kasunyatan, dinas perindustrian dan dinas pariwisata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa industry keatif berbasis limbah kayu untuk menopang industry pariwisata di Kota serang sulit untuk dikembangkan. Dua elemen utama yang menjadi faktor kunci tidak terpenuhi. (1). Aktor pelaku usaha dan dinas sebagai Pembina tidak mempunyai visi pengembangan industry kreatif, (2) proses bisnis
tidak bisa dikembangkan, baik sumber daya berupa bahan baku dan SDM kurang menunjang untuk dibangunnya system ekonomi kreatif.
Kata Kunci: pemanfaatan limbah kayu, industry pariwisata dan potensi industri kreatif
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir isu mengenai ekonomi kreatif sebagai salah satu alternatif pilar ekonomi Indonesia sudah mulai diperkenalkan. Ekonomi kreatif yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang. Bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemajuan‖
(Howkins). Ekonomi kreatif tidak hanya mengenai penciptaan nilai tambah secara ekonomi, tetapi juga penciptaan nilai tambah secara sosial, budaya, dan lingkungan. Industri kreatif yang merupakan subsistem dari ekonomi kreatif menjadi penggerak dalam menciptakan nilai-nilai tersebut.
Pengalaman krisis ekonomi yang pernah terjadi pada beberapa tahun silam membuktikan bahwa UKM merupakan ujung tombak pertahanan perekonomian Indonesia. Menarik untuk diteliti, bahwa Kota Serang memiliki potensi sumber daya untuk dikembangkan industri yang mendukung sektor pariwisata.
Dalam persaingan yang makin ketat dan global, pelaku UKM harus semakin kreatif baik dalam produksi, distribusi dan memasarkan produknya. Kampung Karangantu sebagai pusat perdagangan kayu terbesar di provonsi Banten memberikan peluang untuk didirikan pusat industri kreatif dengan memanfaatkan limbah kayu. Produksi souvenir sebagai salah satu industri kreatif ini apabila dikembangkan dengan serius dan mensinergikan antara unsur pemerintah, komunitas pengusaha dan masyarakat pada akhirnyadapat dijadikan salah satu industri kreatif yang merupakan salah satu sumber PAD Kota Serang.
Dari prariset diperoleh informasi bahwa di wilayah sentra niaga kayu Karangantu terdapat setidikitnya 100 pengusaha kayu.Mereka menjual kayu batangan baik berupa papan maupun balok dengan berbagai ukuran.Aktivitas pemotongan kayu
menghasilkan limbah berupa serbuk kayu, pecahan dan potongan2 kayu kecil yang menumpuk.Biasanya limbah ini mereka buang atau dipungut masyarakat sekitar sebagai kayu bakar.Salah satu pengusaha di kawasan Karangantu mengatakan bahwa paling sedikit dalam satu hari bisa membuang limbah sampai 1-2 truk.Bisa dibayangkan dengan adanya 100 pengusaha kayu, betapa banyaknya limbah kayu di Karangantu. Apabila limbah ini dikelola dengan baik dan diberikan added value maka dapat menjadi sumber ekonomi baru. Diperlukan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif untuk memproduksi souvenir dan kemampuan memasarkan produk hasil industry kereatif berbasis limbah kayu.
Kota serang khususnya wilayah Situs Banten Lama merupakan satu wilayah yang dapat dikembangkan karena memiiki potensi pariwisata dan dikembangkan dengan konsep ekowisata. Keindahan alam dan originalitas budaya merupakan daya tarik wisatawan baik manca negara maupun wisatawan lokal. Banten lama merupakan salah satu potensi wisata yang potensial, sebagai wilayah cagar budaya, Situs Banten Lama memiliki daya tarik tersendiri karena selain merupakan obyek wisata yang mempunyai nilai historis bagi warga Banten dan sekitarnya, juga merupakan wisata spiritual. Atas dasar hal tersebut di atas, Situs Banten Lama sebagai asset daerah dapat dijadikan salah satu sumber PAD bagi provinsi Banten pada umumnya dan Kota Serang pada khususnya. Pemberdayaan Banten lama sebagai obyek wisata akan berdampak langsung pada dinamika ekonomi masyarakat.
PERMASALAHAN
Saat ini, seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk serta makin terbatasnya sumber daya alam yang menopang kebutuhan manusia, perekonomian global menghadapi tantangan
yang semakin berat pula. Ancaman terhadap kapasitas dan kualitas sumber daya alam terus meningkat. Pola dan perilaku produksi dalam industri turut berperan dalam mendorong hal tersebut. Industri kreatif berbasis pemanfaatan limbah merupakan industry staregis yang dapat memenuhi hal tersebut di atas. Oleh Karena itu, penelitian ini mengangkat permasalahan :
―Bagaimana Potensi Industri Kreatif melalui Pemanfaatan Limbah Kayu Karangantu dapat menjadi Penopang Industri Pariwisata Kota Serang ?”
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data dan informasi mengenai potensi industry kreatif dengan memanfaatkan limbah kayu Karangantu. Disamping itu, aspek perumusan strategi media komunikasi pemasaran produk industri kreatif masyarakat sebagai pendukung sektor pariwisata di provinsi Banten juga sangat penting.Untuk menghasilkan strategi komunikasi pemasaran yang kuat, proses penyusunan strategi melalui beberapa tahapan, sehingga pada akhirnya memenuhi tujuan pelaksanaannya yakni untuk:
1. Mengidentifikasi produk industri kreatif dengan pemanfaatan limbah kayu sebagai sovenir khas Destinasi wisata di provinsi Banten.
2. Memetakan potensi SDM kreatif dan kompetensi komunikasi pemsaran.
3. Memposisikan produk industri kreatif melalui pemanfaatan limbah sebagai industri pendukung objek wisata di provinsi Banten.
TINJAUAN PUSTAKA
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dunia serta makin terbatasnya sumber daya alam (SDA) yang menopang kebutuhan manusia, perekonomian global menghadapi tantangan yang semakin berat pula. Ancaman terhadap kapasitas dan kualitas SDA terus meningkat di seluruh dunia. Pola dan perilaku produksi dalam industri turut berperan dalam mendorong hal tersebut. Indonesia pun tidak dapat menghindar dari kondisi tersebut.
Pada saat yang sama, teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang pesat dalam beberapa dasarwarsa terakhir.
Kegiatan ekonomi kreatif ini merupakan upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Di dalam negeri, ekonomi kreatif telah menyumbang sekitar 7-8 persen dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tiga tahun ke depan, kontribusi ekonomi kreatif bagi perekonomian nasional ini diharapkan dapat ditingkatkan menjadi 12 persen. Tentunya, perlu kerja keras dan sinergi yang baik dari seluruh pelaku ekonomi kreatif di pusat dan daerah untuk mewujudkan target tersebut.
Untuk tahun-tahun mendatang, ekonomi kreatif akan menjadi pilar perekonomian Indonesia di masa yang akan datang.
Pemerintah Indonesia juga menggarisbawahi bahwa perlu lompatan dari perekonomian yang sebelumnya mengandalkan sumber daya alam, mengandalkan pertanian, mengandalkan industri, mengandalkan teknologi informasi, menjadi perekonomian yang digerakkan oleh industri kreatif. Untuk itu saat ini kita perlu mengambil risiko inovasi dan adopsi cepat. Kita perlu meloncat ke dalam petualangan untuk menciptakan kesuksesan masa depan kita, dengan berbasis ekonomi kreatif.
Potensi kreatif itu harus didorong agar dapat menjadi daya ungkit
utama bagi perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peluang yang dimiliki oleh sektor ekonomi kreatif masih sangat terbuka. Bangsa ini memiliki potensi besar untuk melakukan transformasi di sektor tersebut. Inovasi dan kreativitas bisa menawarkan pekerjaan baru, yang berarti mengurangi pengangguran, meningkatkan peluang ekspor, yang kemudian berujung pada meningkatnya kontribusi bagi perekonomian nasional.
Era ekonomi baru telah dimulai tahun 1990an, di mana terjadi intensifikasi informasi dan kreatifitas yang populer dengan sebutan ekonomi kreatif yang digerakkan oleh sektor industri yang disebut dengan industri kreatif. Ekonomi Kreatif merupakan upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2008).
Dari berbagai keanekaragaman potensi ekonomi kreatif di Indonesia, pemerintah membagi ekonomi kreatif dalam 16 subsektor, yaitu kuliner; arsitektur; desain produk; desain interior;
desain komunikasi visual; film, animasi dan video; musik; fesyen;
seni pertunjukan; games dan aplikasi; kriya; radio dan televisi;
seni rupa; periklanan; fotografi; serta penerbitan. Ekonomi kreatif di Indonesia memiliki peran yang patut diperhitungkan dalam perekonomian nasional. Selama periode 2010-2014 rata-rata sumbangannya mencapai 7,1% terhadap PDB Indonesia. Meski kontribusinya masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertanian, industri pengelolahan, perdagangan dan restoran, ataupun sektor jasa, sumbangan dari ekonomi kreatif telah melebihi sektor pertambangan dan penggalian, keuangan, serta pengangkutan. Nilai tambah dari sektor ekonomi kreatif meningkat setiap tahunnya.
Menurut Badan Pusat Statistik, nilai tambah yang dihasilkan dari sektor ini tak kurang dari Rp 716,7 triliun pada