18 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
a. Keluarga sebagai Lembaga Sosial
Keluarga pada hakikatnya merupakan hubungan seketerunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan, dengan memiliki hal-hal yang berkenaan dengan orang tua dan pemeliharaan anak.
Kedudukan utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara pada masyarakat besar. Sebagai penghubung pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar.20 Keluarga sendiri pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan ke orang tua an dan pemeliharaan anak.
Menurut Iver dan Page dalam Khairuddin (1997:6) ciri-ciri umum keluarga meliputi : 1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan, 2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara, 3) Suatu sistem tata norma termasuk perhitungan garis keturunan, 4) ketentuan- ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebuthan ekonomi yang berkaitan kemampuan membesarkan anak, 5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang tidak mungkin menjadi terpisah
20 Su’adah, “Sosiologi Keluarga”, Malang : UMM Press 2005, hal.33
19 dengan kelompok keluarga.21 Selain itu Fungsi utama keluarga adalah memberikan perlindungan, afeksi, pengasuhan, dan pendidikan pada setiap anggotanya.
Dalam kehidupan sosial, setiap keluarga tidak terlepas dari kondisi- kondisi yang ada didalam masyarakat baik norma maupun nila-nilai yang berlaku. Karena pada dasarnya norma dan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan yang akan dijalankan oleh keluarga. Sebagai sental dan sekaligus anggota masyarakat, keluarga mempunyai inter-relasi dengan masyarakat diluarnya.
Sehingga setiap individu dalam suatu keluarga berusaha untuk membawa citra keluarga didalam masyarakat. Hubungan yang baik antar keluarga berarti merupakan hubungan yang baik pula dimasyarakat.
Keluarga sebagai unit setiap anggotanya dan merupakan wakil dari keluarga dikehidupan sosial. Pada dasarnya keluarga memiliki fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi biologis antara lain melahirkan anak, fungsi afeksi hubungan kasih sayang dan fungsi sosialisasi yaitu interaksi sosial dalam keluarga tentang pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat untuk perkembangannya.22
b. Pandangan Pria terhadap Program Keluarga Berencana Vasektomi Dalam perkembangan hidupnya manusia dipengaruhi oleh hal-hal- hal dari dirinya sendiri dan faktor-faktor yang berasal dari luar diri pribadinya. Untuk menentukan yang mana yang paling dominan dalam
21 Ibid, hal.23
22 Op cit hal 109
20 pembentukan kepribadian manusia, hingga kini tidak dapat ditentukkan secara mutlak. Hal ini dikarenakan, pengaruh internal dan eksternal dan itupun masih bergantung pada faktor-faktor lainnya yang mungkin muncul.
Seperti halnya dalam penggunaan metode kontrasepsi modern bagi pria di Indonesia kurang dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Rendahnya keterlibatan pria dalam penggunaan metode kontrasepsi mantap (vasektomi) diakibatkan oleh adanya kekhawatiran para pria setelah vasektomi mereka akan kehilangan kejantanannya23.
Rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi pada dasarnya tidak terlepas dari operasional program KB yang selama ini dilaksanakan mengarah kepada wanita sebagai sasaran.
Demikian juga masalah penyediaan alat kontrasepsi yang hampir semuanya untuk wanita, sehingga terbentuk pola pikir bahwa para pengelola dan pelaksana program mempunyai persepsi yang dominan yakni yang hamil dan melahirkan adalah wanita, maka wanitalah yang harus menggunakan alat kontrasepsi. Oleh sebab itu, semenjak tahun 2000 pemerintah secara tegas telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi melalui kebijakan- kebijakan yang telah ditetapkan.
Masih adanya Stereotip bahwa program keluarga berencana hanya dilakukan oleh perempuan hendaknya harus kita rubah, sebab pengadaan
23 Siti Novianti, dkk. 2014. Faktor Presepsi dan Dukungan Isteri Yang Berhubungan Dengan Partisipasi KB Pria. Taksimalaya : Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol.10 No.2 Universitas Siliwangi
21 program keluarga berencana itu sendiri pada dasarnya berbasis gender.
Berlaku kepada perempuan dan laki-laki dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera seperti yang digaungkan oleh pemerintah selama ini. Kondisi sosial budaya masyarakat yang patrilinial yang memungkinkan kaum perempuan berada dalam sub ordinasi menyebabkan pengambilan keputusan dalam KB didominasi oleh kaum pria.
c. Metode Vasektomi dalam program Keluarga Berencana
Vasektomi adalah suatu prosedur klinik yang dilakukan untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan oklusi vasa deferensia sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi.24 Dari pengertian vasektomi di atas diketahui bahwa setelah divasektomi, sperma tidak bisa lagi bergerak keluar testis sehingga tidak memungkinkan terjadinya pembuahan. Seorang pria yang memutuskan melakukan vasektomi harus meyakinkan dirinya terlebih dahulu sebab seumur hidup dia tidak lagi bisa menghamili wanita.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan partisipasi pria dalam KB diantaranya melalui pemberian informasi bahwa program KB tidak hanya diperuntukkan bagi wanita saja, namun juga bagi pria, baik dari segi kepedulian maupun dalam penggunaan kontrasepsi, karena hal ini merupakan kepentingan bersama suami istri.
24 Syaifudin. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2003.
22 Vasektomi bisa dianggap sebagai metode kontrasepsi permanen, sekali melakukannya anda tidak bisa lagi memilika anak selamanya.
Vasektomi tidak berdampak pada kemampuan seksual pria tetapi berdampak pada kemampuannya memiliki keturunan. Selama kondisi fisik sehat, maka kinerja seksualnya akan baik-baik saja. Bedanya, setelah divasektomi pria tidak lagi memiliki sperma yang keluar dari penis untu membuahi sel telur. Jadi sangat aman dari kehamilan yang tidak diinginkan.
Sterilisasi vasektomi masih merupakan metode yang terabaikan dan kurang mendapat perhatian, baik dari pihak pria/suami maupun petugas medis keluarga berencana. Di masa lalu, hal tersebut disalahkan pada sikap pihak pria/suami antara lain sebagai berikut:
a. Pria lebih tertarik untuk menunjukan kejantanannya dari pada ikut bertanggung jawab dalam perencanaan keluarganya.
b. Pria takut bahwa tindakan vasektomi akan melukai kehidupan seksnya.
c. Menyamakan tindakan vasektomi dengan pengebirian (kastrasi).
Bentuk-bentuk Vasektomi/sterilisasi pada laki-laki juga memiliki berbagai bentuk, antara lain:
1. Vasektomi dengan Pisau (dipotong)
Setelah anestesi lokal yaitu dengan larutan prokain lidokain atau lignokain tanpa memakai adrendin maka dilakukan irisan pada kulit scrotum. Kulit dan otot-otot disayat, maka tampak vas deferens
23 dengan sarungnya. Irisan dapat dilakukan pada garis tengah antara dua belahan scrotum atau pada dua tempat di atas masing-masing vas deferens. Kedua vas tampak sebagai saluran yang putih dan agak kenyal pada perabaan. Vas dapat dibedakan dari pembuluh- pembuluh darah, karena tidak berdenyut. Identifikasi vas terutama sukar apabila kulit scrotum tebal.
2. Vasektomi pada pisau juga dapat dilakukan tanpa mengiris kulit (diikat) jadi tanpa memakai pisau sama sekali, yaitu dengan cara:
1) Saluran diikat bersama-sama dengan kulit scrotum, dengan cara mencobloskan jarum dengan benang sampai ke bawah saluran mani.
2) Dapat juga disuntikkan ke dalam saluran mani.
3) Saluran mani dapat dibakar dengan mencobloskan jarum kauter halus melalui kulit ke dalam saluran mani.
4) Vasektomi tanpa Memotong Saluran Mani
5) Vasektomi dapat dilakukan tanpa memotong saluran mani setelah kulit dibuka dan saluran mani ditampilka, saluran mani kemudian diikat kemudian di-insisi, dapat juga di- insisi kecil kemudian dimasukkan semacam spiral kecil ke dalam lumen saluran mani.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi akseptor (pengguna) vasektomi adalah sebagai berikut:
24 1. Sukarela.
Klien benar-benar bersedia memakai kontrasepsi secara sukarela, tidak ada paksaan dan klien telah mengetahui semua yang berhubungan dengan kontrasepsi vasektomi.
2. Mendapatkan keterangan sehat dari dokter atau petugas pelayanan kontrasepsi
Syarat ini didapatkan melalui pemeriksaan pra-bedah oleh dokter.
3. Pasangannya harus memberikan persetujuan secara tertulis.
Mekanisme prosedur operasi Vasektomi, diantaranya adalah:
1. Melakukan konseling Kontap, hal ini dilakukan dengan komunikasi dua arah antara akseptor dengan konselor yang dilakukan dengan tujuan membantu calon akseptor dalam membuat keputusan memilih kontrasepsi yang sesuai dengan kondisi dan keinginan akseptor.
2. Penyaringan medis calon akseptor, dilakukan sebelum calon akseptor menjalani operasi dengan melakukan pengecekan kesehatan secara lengkap dan pemeriksaan terhadap penyakit lain yang mungkin dapat menimbulkan kontra-indikasi terhadap tindakan operasi yang akan dijalankan. Seperti; hernia, kencing manis, verikokel, penyakit kulit dan peradangan buah zakar dan gangguan jiwa.
25 3. Tindakan atau prosedur operasi dilakukan ada dua yaitu vasektomi
standart (dipotong) dan vasektomi tanpa pisau (diikat).
A. Vasektomi standart
a) Pasien berbaring dalam posisi terlentang
b) Derah kulit skrotum, penis, supra pubis, dan bagian dalam pangkal paha kiri kanan dibersihkan dengan larutan iodofior (betadine) 75% atau larutan klorheksidin (hibiscrub) 4%.
c) Tutup daerah yang telah dibersihkan tersebut dengan kain steril berlubang pada tempat skrotum ditonjolkan ke luar.
d) Tepat di lenia mediana di atas vas deferens, kulit skrotum diberi anestasi lokal (prokain atau novokain atau xilokain 1%) 0,5ml sampai daerah distal serta proksimal vas deferens masing-masing 0,5 ml.
e) Kulit skrotum diiris longitudinal 1-2 cm, tepat di atas vas deferens yang telah ditonjolkan ke permukaan kulit.
f) Setelah itu kulit dibuka vas deferens dipegang dengan klem, sampai tampak vas deferens mengkilat seperti mutiara. Kemudian fasia disayat longitudinal sepanjang 0,5 cm. Usahakan tepi sayatan rata sehingga memudahkan penjahitan kembali. Setelah fasia vas
26 deferens dibuka terlihatlah vas deferens yang berwarna putih mengkilat seperti mutiara. Selanjutnya vas deferens dan fasianya dibebaskan dengan gunting halus berujung runcing.
g) Menjepit vas deferens pada dua tempat dengan jarak 1- 2 cm dan ikat dengan benang kedua ujungnya. Tari benang yang mengikat kedua ujung untuk mengetahui apakah ada pendarahan yang tersembunyi.
h) Potong diantara dua ikatan sepanjang 1 cm gunakan benang sutra nomor 00,0 tau 1 untuk mengikat vas deferens.
i) Untuk mencegah rekanalisasi spontan yang dianjurkan adalah dengan melakukan interposisi fasia vas deferens, yaitu menjahit kembali fasia yang terluka sedemikian rupa, vas deferens bagian distal dibenamkan dalam fasia dan vas deferens bagian proksimal terletak diluar fasia.
j) Tindakan dilakukan pada vas deferens kanan dan kiri, setelah selesai kulit ditutup dengan 1-2 jahitan plain catgut no. 000 kemudian rawat luka operasi sebagaimana mestinya, tutup dengan kasa steril dan diplester.
27 B. Vasektomi tanpa pisau (VTP), tindakan operasi vasektomi tanpa pisau dengan melakukan persiapan, pemberian anastesi dan tindakan operasi. Langkah-langkahnya sebagai berikut :
a) Pasien berbaring dalam posisi terlentang.
b) Rambut di daerah skrotum dicukur c) Penis diplester ke dinding perut
d) Derah kulit skrotum, penis, supra pubis, dan bagian dalam pangkal paha kiri kanan dibersihkan dengan larutan iodofior (betadine) 75% atau larutan klorheksidin (hibiscrub) 4%.
e) Tutup daerah yang telah dibersihkan tersebut dengan kain steril berlubang pada tempat skrotum ditonjolkan ke luar.
f) Tempat di lenia mediana di atas vas deferens, kulit skrotum diberi anestasi lokal (prokain atau novokain atau xilokain 1%) 0,5ml lalu jarum diteruskan masuk sejajar vas deferens kearah distal kemudian dideponir lagi masing-masing 3-4 ml, pada daerah kanan dan kiri.
g) Vas deferens dengan kulit skrotum yang ditegangkan difikasi di dalam lingkaran klem fikasi pada garis tengah skrotum, lal klem direbahkan kebawah sehingga vas deferens mengarah ke bawah kulit.
28 h) Kemudian tusuk pada bagian yang paling menonjol dari vas deferens, tepat di sebelah distal lingkaran klem dengan sebelah ujung klem diseksi dengan membentuk
±45°. Renggangkan ujung-ujung klem pelan-pelan, semua lapisan jaringan dari kulit sampai dinding vas deferens akan dapat dipisahkan dalam satu gerakan.
Setelah itu dinding vas deferens yang telah telanjang telah terlihat.
i) Dengan ujung klem diseksi menghadap ke bawah, tusukan salah satu ujung klem ke dinding va deferens dan ujung klem diputar menurut arah jarum jam, sehingga ujung klem menghadap ke atas. Ujung klem pelan-pelan dirapikan dan pegang dinding anterior vas deferens. Lepaskan klem fikasi dari kulit dan pindahkan untuk memegang vas deferens yang telah terbuka. Pegang dan fikasi vas deferens yang sudah telanjang dengan klem fikasi lalu lepaskan klem diseksi.
j) Pada tempat vas deferens yang melengkung, jaringan sekitarnya dipisahkan pelan-pelan ke bawah dengan klem diseksi, kalu lubang sudah cukup luas maka klem diseksi dimasukkan ke lubang tersebut. Kemudian
29 buka ujung-ujung klem pelan-pelan parallel dengan arah vas deferens yang diikat.
k) Diantara dua ligasi kira-kira1-1,5 cm vas deferens dipotong dan diangkat. Benang pada putung distal sementara tidak dipotong. Kontrol pendarahan dan kembalikan putung-putung vas deferens dalam skrotum.
l) Tarik pelan-pelan pada putung yang distal. Pegang secara halus pada fasia vas deferens dengan klem diseksi dan tutup lubang fasia dengan mengikat sedemikian rupa sehingga putung bagian epididimis tertutup dan putung distal ada di luar fasia.
m) Lakukan tindakan untuk kedua bagian vas deferens, melalui luka yang digaris tengah yang sama. Kalau tidak ada pendarahahn, luka kulit tidak perlu dijahit hanya diaproksimasikan dengan band aid.
Tindakan yang dilakukan setelah operasi vasektomi adalah : a) Istirahat 1-2 jam di klinik
b) Hindarkan luka operasi dari air selama 24 jam c) Menghindari pekerjaan berat selama 2-3 hari d) Kompres skrotum dengan es batu
e) Melakukan pemeriksaan terhadap spermatozoa apakah masih positif dan dapat menimbulkan kehamilan atau tidak
30 f) Memakai kondom selama kurun waktu 2-3 bulan saat melakukan hubungan seksual dengan istri, hal ini dilakukan apabila pemeriksaan terhadap spermatozoa menunjukkan masih aktif.
d. Tentang Keluarga Berencana
a) Penyelenggaraan KB di Indonesia 1. Pemerintah
Pada tahun 1968, dilakukan oleh LKBN yang kemudian pada tahun 1970 penyelenggara KB dilaksanakan oleh BKKBN terkait dengan program KB Nasional dengan fungsi sebagai berikut:
- Merencanakan - Mengarahkan - Membimbing
- Mengadakan evaluasi 2. Non-Pemerintah dilaksanakan oleh :
- PKBI - PKMI
- Organisasi Profesi, seperti : IDI, IBI, ISFI
- Institusi penunjang program KIM KB (Kegiatan Inti Mandiri Keluarga Berencana) seperti: Posyandu, Pos KB
31 Desa, Paguyupan KB, KB Perkotaan, Kelompok Akseptor dan lain-lain.25
Perkiraan peserta KB adalah 80% berasal dari program pemerintah, 10 berasal dari subsidi pemerintah melalui jalur swasta dan 10% yang lainnya melalui jalur swasta. Tahapan dalam program keluarga berencana nasional adalah sebagai berikut:
a) Tahun 1970 – 1980 Program Management For The People, dalam tahapan ini pemerintah lebih banya berinisiatif, partisipasi masyarakat sangat rendah, terkesan kurang demokratis, ada unsure pemaksaan dan berorientasi mengejar target.
b) Tahun 1980 – 1990 Program Management With The People, dalam tahapan ini pemaksaan telah dikurangi, dimulainya program safari KB pada tahun 1980-an. Yang termasuk di dalam program ini adalah :
1. Tahun 1985 – 1988 Program KB Lingkaran Biru, dalam program ini masyarakat bebas memilih kontrasepsi yang akan digunakan meskipun tetap dipilihkan kontrasepsi apa yang sebaiknya digunakan.
2. Tahun 1988 Program KB Lingkaran Emas, dalam program ini pemilihan kontrasepsi diserahkan sepenuhnya kepada peserta, asal jenis dan kontrasepsinya sudah terdaftar di Departemen
25 Devi Iren Fitria, 2010. Partisipasi Laki-laki Dalam Program KB (Studi Analisis Gender Tentang Partisipasi Laki-laki Dalam Program KBdi Kelurahan Serengan Kecamatan Serengan Kota Surakarta), Skripsi Universitas Sebelas Maret
32 Kesehatan dan masyarakat sudah mulai membayar sendiri untuk alat kontrasepsinya.
c) Tahun 1990 Program KB Mandiri, yaitu program KB dari dan oleh masyarakat dan pada tahun ini focus program adalah peningkatan kesejahteraan keluarga melalui peningkatan pendapatan keluarga (income generating).
Gerakan pembangunan keluarga sejahtera diresmikan pada tanggal 29 Juni 1994 oleh Presiden Soeharto di Sidoarjo. Pembangunan keluarga sejahtera merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas dan ketahanan masing-masing keluarga dalam mengantisipasi setiap pengaruh negative yang mengancam keutuhan keluarga sebagai unit terkecil yang paling utama dalam masyarakat. Adapun rumusan tahapan kualitas keluarga sejahtera adalah sebagai berikut :
1. Keluarga Pra-Sejahtera
Yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, sandang, pangan, kesehatan dan keluarga berencana. Untuk membantu keluarga prasejahtera, pengusaha dan masyarakat yang berkecukupan diminta untuk membantu mereka melalui gerakan gotong royong seperti dalam Program Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra).
2. Keluarga Sejahtera tahap I
Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial
33 psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
3. Keluarga Sejahtera tahap II
Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik dan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya seperti kebutuhan untuk menabung dan informasi.
4. Keluarga Sejahtera tahap III
Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan fisik, sosial psikologis dan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangannya secara teratur kepada masyarakat sekitarnya, misalnya dalam bentuk sumbangan materiil dan keuangan serta secara aktif menjadi pengurus lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di lingkungannya.
5. Keluarga Sejahtera tahap III plus
Yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan serta memiliki kepedulian yang tinggi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di sekitarnya. 26
b) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Dan Konseling
Komunikasi, informasi dan edukasi dalam program keluarga berencana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek KB sehingga tercapai penambahan peserta baru, membina kelestarian
26 Devi Iren Fitria, 2010. Partisipasi Laki-laki Dalam Program KB (Studi Analisis Gender Tentang Partisipasi Laki-laki Dalam Program KBdi Kelurahan Serengan Kecamatan Serengan Kota Surakarta), Skripsi Universitas Sebelas Maret
34 peserta KB dan meletakkan dasar bagi mekanisme sosio-kultural yang dapat menjamin berlangsungnya proses penerimaan. KIE dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat, kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok atau secara perorangan dengan petugas kesehatan.27 Media yang dapat dijadikan sarana dalam KIE seperti radio, televisi, mobil unit penerangan, publikasi lewat pers dan surat kabar, film, kegiatan promosi dan pameran.
Berdasarkan dari data wawancara yang didapatkan dari pegawai atau penyuluh KB Kecamatan Genteng Mas Adam dalam hal menambah pengetahuan, sikap dan akseptor baru mengatakan :
“Memang sekarang selain sosialisasi langsung, dari BKKBN pusat menggunakan promosi lewat televisi seperti iklan ayudi (implant). Tapi khusus memang iklan televisi untuk vasektomi (MOP) memang sampai saat ini masih sosialisasi. Kalo di kita diwilayah genteng, sebenarnya ada JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) itu JKRI sudah berkerja sama dengan BKKBN. Kita talkshow disana, intinya cuap-cuap diradio.“
Upaya tindak lanjut dari kegiatan KIE adalah konseling. Bila seseorang telah termotivasi melalui KIE, maka selanjutnya perlu diberikan konseling lebih lanjut. Konseling akan dibutuhkan bila seseorang menghadapi permasalahan dan tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri. Dalam kegiatan konseling akan dilakukan percakapan dua arah untuk membahas dengan calon peserta berbagai pilihan kontrasepsi, memberikan informasi selengkap mungkin mengenai konsekuensi pilihannya baik ditinjau dari segi medis, teknis, dan hal-hal lain yang non-
27 Ibid, hal 165
35 medis agar tidak menyesal dikemudian hari, membantu calon peserta KB dalam memutuskan pilihannya atau metode kontrasepsi yang paling sesuai dengan keadaan khusus pribadi dan keluarganya serta membantu peserta KB dalam menyesuaikan diri terhadap kondisi barunya, terutama bila mengalami berbagai permasalahan. Hal ini yang diungkapkan oleh ibu Darsih selaku kader di desa Kaligondo :
“Dalam proses KB semua harus ada tahapan pendampingan atau penjelasan biar nggak salah nantinya mbak, penting banget wes mbak! kan ya setiap orang nggak sama terkadang ada yang cocok, ada yang tidak. Soalnya ada kasus yang setelah KB langsung sakit demam, dll. Jadi proses pendampingan atau konseling penting mbak, termasuk vasektomi. Tapi disini 70% yang kasih masukan bidan puskesmas atau tenaga medis soalnya kan mereka yang lebih paham daripada saya“
Berdasarkan penjabaran diatas, hal tersebut disetujui oleh pernyataan dari Pasangan suami istri bapak Dulhadi dan ibu Isrowiyah :
“Iya mbak, konsultasi atau konseling itu proses yang di haruskan sebelum kita ikut KB. Saya dulu sebelum memutuskan memakai kb vasektomi itu juga konsultasi sama pak mantri sebelah rumah sini tetangga masihan, sama ibu juga. Soalnya kalo nggak cocok atau salah pasang nanti bahaya bisa pendarahan dll. Jadi bagi saya proses konsultasi itu memang harus, jadi nggak asal aja dipasangin kontrasepsi. Apalagi saya vasektomi ini yang metode diputus jadi ya nggak bisa asal-asalan”(pak dulhadi)
“Saya ada riwayat tekanan darah tinggi mbak, jadi harus konsultasi sama bu bidan dipuskesmas sini, bisa pakek nggak. Tapi alhamdulillah dulu itu nggak apa-apa. Jadi ya wajib tanya-tanya dulu sebelum ikut KB.” (ibu Isrowiyah)
e. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan refrensi diambil dari tiga judul penelitian terdahulu yang sesuai dengan tema yang diangkat dalam penelitian sekarang, yang pertama
36 adalah Ni Putu Dewi Nunuk Suryani, dan Pancrasia Murdani K. Sri Wahyuni (2013) Menuliskan Jurnal penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Akseptor KB Pria Tentang Vasektomi Serta Dukungan Keluarga Dengan Partisipasi Pria Dalam Vasektomi (Di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng)” dengan hasil penelitian yang didapatkan adalah :
a. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan akseptor KB pria tentang vasektomi dengan partisipasi dalam vasektomi
Adanya kecenderungan bahwa akseptor KB pria yang tingkat pengetahuannya tinggi tentang vasektomi, cenderung ikut berpartisipasi dalam vasektomi dibandingkan dengan akseptor KB pria yang pengetahuannya rendah. Hal ini terlihat bahwa akseptor KB pria yang pengetahuannya rendah, sebanyak 22,0% ikut berpartisipasi dalam vasektomi dan 71,7% tidak berpartisipasi dalam vasektomi, sedangkan pada akseptor KB pria dengan tingkat pengetahuan tinggi, sebanyak 78,0% ikut berpartisipasi dalam vasektomi dan 28,3% tidak ikut berpartisipasi dalam vasektomi.
b. Terdapat hubungan antara sikap akseptor KB pria tentang vasektomi dengan partisipasi dalam vasektomi
Bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap akseptor KB pria dengan partisipasi dalam vasektomi di wilayah kerja Kecamatan Tejakula. Berdasarkan nilai OR yaitu 3,406 berarti untuksikap dengan partisipasi dalam vasektomi memiliki kemungkinan 3,406 kali lebih besar untuk ikut berpartisipasi dalam vasektomi dibandingkan dengan
37 akseptor KB pria yang memiliki sikap rendah. Hubungan tersebut secara statistik signifikan (p = 0,022; OR= 3,406; CI95% 1,195 hingga 9,710).
c. Terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan partisipasi dalam vasektomi
Bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga akseptor KB pria dengan partisipasi dalam vasektomi di wilayah kerja Kecamatan Tejakula. Berdasarkan nilai OR yaitu 3,497 berarti akseptor KB pria dengan dukungan keluarga tinggi memiliki kemungkinan 3,497 kali lebih besar untuk ikut berpartisipasi dalam vasektomi daripada akseptor KB pria yang memiliki dukungan keluarga rendah.Hubungan tersebut secara statistik signifikan (p = 0,025; OR= 3,497; CI95% 1,168 hingga 10,466).
Berikutnya adalah Devi Irine Fitria (2010) yang menuliskan Skripsi tentang “Partisipasi Laki-Laki Dalam Program KB (Studi Analisis Gender Tentang Partisipasi Laki-laki Dalam Program KB di Kelurahan Serengan Kecamatan Serengan Kota Surakarta)” dan berikut adalah hasil dari penelitiannya :
a. Banyak hal yang dapat memotivasi laki-laki di Kelurahan Serengan untuk berpartisipasi dalam program KB, mayoritas motivasi yang melatarbelakangi mereka terlibat dan berpartisipasi aktif dalam program KB berasal dari kesadaran pribadi para akseptor untuk mewujudkan tujuan mereka menjadi keluarga yang sehat dan
38 sejahtera. Tetapi ada juga motivasi akseptor yang berasal dari dorongan dan keinginan sang istri agar suaminya mempunyai keterlibatan secara aktif dalam penggunaan alat kontrasepsi. Dari penelitian yang telah dilakukan terungkap juga bahwa motivasi yang melatarbelakangi akseptor untuk terlibat dalam penggunaan alat kontrasepsi karena pola pemikiran laki-laki yang sudah mulai terbuka terkait dengan pemahaman hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan terkait akses dan kontrol mereka dalam lingkup kesehatan reproduksi.
b. Keikutsertaan laki-laki dalam program KB, menurut sebagian besar akseptor yang telah ditemui oleh peneliti mengaku tidak mengalami gangguan ataupun dampak negatif setelah menggunakan kontrasepsi sebagai perwujudan keikutsertaan mereka dalam program KB. Dalam kegiatan reproduksi juga berjalan seperti biasa tanpa terganggu penggunaan kontrasepsi kondom atau operasi vasektomi, semua berjalan seperti biasa dan tidak juga mempengaruhi keinginan dan kenikmatan mereka dalam berhubungan dengan istri. Mereka lebih merasa nyaman dan aman setelah menggunakan kontrasepsi, sehingga tidak ada kekhawatiran untuk kehamilan yang tidak diinginkan karena semua telah terencana dengan kesadaran yang melatarbelaknagi mereka untuk menggunakan kontrasepsi. Kontrol dari istri juga dapat diterima dengan baik oleh para suami karena kesadaran
39 mereka terkait tujuan bersama yang telah disepakati dalam perwujudan keluarga sejahtera yang telah direncanakan bersama.
c. Terkait dengan akses mereka dalam penggunaan kontrasepsi dapat dilakukan berdasrkan tiga cara, yaitu dengan upaya pribadi yang dilakukan untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi kondom ataupun operasi vasektomi dan juga upaya dari pemerintah untuk menyediakan pelayanan terkait kebutuhan bagi laki-laki dalam program KB. Khusus untuk pelayanan operasi vasektomi yang disediakan oleh pemerintah dapat diakses melalui petugas PLKB di wilayah yang kemudian diarahkan kepada Bapermas, PPPA dan KB untuk diberikan surat pengantar dalam mengikuti pelayanan di rumah sakit yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Untuk wilayah Surakarta akses pelayanan vasektomi dapat diperoleh di rumah sakit Panti Waluyo, rumah sakit DKT, dan rumah sakit Moewardi.
Terakhir adalah milik Sri Madya Bhakti Ekarini (2008) yang menuliskan tesis yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana di kecamatan Selo kabupaten Boyolali”. Hasil dari penelitian sebagai berikut :
a. Persentase responden dengan umur pria ≥ 31 tahun (51.5%) lebih banyak daripada responden dengan umur pria < 31 tahun (48.5%).
Sebagian besar responden dengan jumlah anak <=3 (83.0%) daripada jumlah anak >3 (17.0%). Pendidikan responden diperoleh persentase bahwa sebagian besar responden mempunyai jenjang
40 pendidikan dasar (54.6%) daripada pendidikan lanjutan (45.4%).
Dan sebagian besar pendapatan responden ≥ Rp. 400000,- (87.6%).
b. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana ( p value = 0.0001).
c. Ada hubungan yang bermakna antara sikap terhadap KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana ( p value = 0.005).
d. Ada hubungan yang bermakna antara sosial budaya terhadap KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana ( p value = 0.024). Ada hubungan yang bermakna antara akses pelayanan KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana ( p value = 0.0001).
e. Ada hubungan yang bermakna antara kualitas pelayanan KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana ( p value = 0.0001). Ada pengaruh antara variabel pengetahuan terhadap KB (OR = 18.712), kualitas pelayanan KB (OR = 17.152), sikap terhadap KB (OR = 5.663), akses pelayanan KB (OR = 5.228), sosial budaya terhadap KB (OR = 2.020) terhadap partisipasi pria dalam Keluarga Berencana.
41 Tabel 2. Relevinasi Penelitian terdahulu dengan Penelitian Konstruksi
Suami Akseptor terhadap KB Vasektomi
No Nama Pengarang, Tahun dan Judul Hasil Penelitian Relevasi Terhadap Penelitian 1. Ni Putu Dewi
Nunuk Suryani, dan Pancrasia Murdani K. Sri Wahyuni (2013)
“Hubungan Pengetahuan dan Sikap Akseptor KB Pria Tentang Vasektomi Serta Dukungan
Keluarga Dengan Partisipasi Pria Dalam Vasektomi (Di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng)”
Partisipasi dalam vasektomi, dimana akseptor KB pria dengan sikap tinggi terhadap vasektomi memiliki kemungkinan untuk ikut berpartisipasi dalam vasektomi 4,531 kali lebih besar.
Hubungan dukungan keluarga dengan partisipasi dalam vasektomi, dimana akseptor KB pria dengan dukungan keluarga tinggi memiliki kemungkinan untuk ikut berpartisipasi dalam vasektomi lebih besar. Secara simultan, didapatkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan dan sikap serta dukungan keluarga, maka kemungkinan partisipasi pria dalam vasektomi besar.
Persamaannya sama- sama membahas sikap partisipasi suami terhadap vasektomi dan juga melihat apa yang terjadi dengan peran dari keluarga dalam partisipasi pria dalam program keluarga berencana vasektomi.
Namun dalam
penelitian terdahulu lebih melihat hubungan dari keluarga dan pengetahuan suami.
Selain itu penelitian tersebut dilaksanakan di Bali sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan berlokasi di Banyuwangi
2. Devi Irine Fitria (2010) Partisipasi Laki-Laki Dalam Program KB (Studi Analisis Gender Tentang Partisipasi Laki-laki Dalam Program KB di Kelurahan Serengan Kecamatan Serengan Kota Surakarta)
Disini didapat bahwa partisipasi yang dilakukan oleh laki-laki di
Kelurahan Serengan
menempatkan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam penggunaan kontrasepsi. Salah satu akseptor pria yang peneliti temui mengungkapkan bahwa KB adalah urusan bersama antara suami dan istri, sehingga tidak akan adil jika dalam urusan KB hanya istri yang berperan, ada baiknya suami juga mempunyai kesadaran yang sama untuk berperan dalam KB.
Keikutsertaan laki-laki dalam program KB, menurut sebagian besar akseptor yang telah ditemui
Persamaan Penelitian sebelumnya dengan yang akan dilakukan adalah mengumkapkan bahwa partisipasi yang dilakukan atas
kesadaraan kenyataan dan mampu berjalan dengan baik tanpa adanya pengaruh stigma yang membudaya di
masyarakat. Perbedaan terletak pada jenis penelitian, yaitu penelitian terdahulu menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang akan
42 oleh peneliti mengaku tidak
mengalami gangguan ataupun dampak negatif setelah menggunakan kontrasepsi
sebagai perwujudan
keikutsertaan mereka dalam program KB.
dilakukan
menggunakan metode kualitatif.
3. Sri Madya Bhakti Ekarini (2008) Analisis Faktor- Faktor yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana di kecamatan Selo kabupaten Boyolali
Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya pria dalam KB yang dilihat dari berbagai aspek, faktor lingkungan yaitu sosial, budaya, masyarakat dan keluarga/istri, keterbatasan informasi dan aksesabilitas terhadap pelayanan KB pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria. Persepsi yang ada di masyarakat masih kurang menguntungkan. peneliti menemukan dari hasil penelitiannya sebagai berikut pertama presentase responden dengan umur pria > 31 tahun lebih banyak daripada responden dengan umur pria < 31 tahun.
Kedua Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana).
Ada hubungan yang bermakna antara sosial budaya terhadap KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana.
Persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah lingkungan sosial dan budaya, masyarakat dan keluarga/istri menjadi salah satu faktor dalam
mempengaruhi suami untuk berpartisipasi dalam program KB.
Perbedaannya adalah Penelitian terdahulu lebih melihat ke faktro- fakor yang menyeluruh terhadap keikutsertaan suami dalam KB. Dan juga dalam metode yang digunakan adalah kunatitatif sedangkan penelitian yang akan dilakukan
menggunakan metode kualitatif.
f. Landasan Teori
Peter Berger dan Thomas Luckman melahirkan teori konstruksi sosial yang sangat dipengaruhi oleh Alfred Schuzt. Mereka merupakan tokoh penting yang menjadikan fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah digunkan dalam sosiologi melalui karya-karyanya yang berjudul “The Social Construction of Reality : A Treatise in The Sociology of Knowledge”.
43 Istilah Konstruksi Social pertama kali digunakan oleh Peter L Berger dan Luckman (1966), melalui karyanya The Social Construction of Reality Berger dan Luckman berpendapat bahwa realitas sosial yang
“dikonstruksikan” merupakan sebuah domain yang dapat dilacak secara empirik, sebuah dunia objektif yang berbeda dari tatanan objektivitas, baik dalam ilmu sosial maupun ilmu alam. Mereka menggunakan istilah
“konstruksi” sebagai varian ide fenomenologi Amerika dan sosiologi yakni
“konstitusi” dan mengembalikan ke bentuk yang lebih familiar dari teori struktural. 28
Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckman, memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga moment yakni eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan melalui proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya) serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, inilah yang dinamakan kenyataan sosial. Hal itu merupakan suatu kontruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini, dan menuju masa depan.
Menurut Berger dan Luckman, terdapat dua obyek pokok realitas yang berkaitan dengan pengetahuan, yakni realitas subyektif dan realitas obyektif.
28 Haryanto, Sindung, “Sosiologi Teori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern”, Jogyakarta : Ar- Ruzz Media, 2012. Hal. 154.
44 Realitas Subyektif berupa pengetahuan individu, disamping itu realitas subyektif merupakan kontruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikontruksi melalui proses internalisasi. Dalam realitas subyektif yang dimiliki setiap individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui eksternalisasi itulah individu secara kolektif berkemampuan melakukan obyektivikasi dan memunculkan sebuah kontruksi realitas obyektif yang baru.29 Sedangkan realitas obyektif dimaknai sebagai fakta sosial, yang dimana rutinitas tindakan dan tingkah laku kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
Proses Kontruksi sosial dilihat dari prespektif toeri Berger dan luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam satu proses dengan ketiga moment yang dapat dijabarkan menenai pengertian eksternalisais, objektivitas, dan internalisasi. Berikut adalah penjelasan dari tiga moment tersebut :
1. Pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupu fisik.
Adalah sudah sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu
29 Margaret M.Paloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Rajawali Press, 2010. Hlm 301
45 dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Momen eksternalisasi, masuk dalam realitas sosial yang ditarik keluar individu. Didalam momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan hukum, norma, nilai, dan sebagainya yang berada diluar diri manusia. Sehingga dalm proses kontruksi sosial melibatkan adanya moment adaptasi diri atau diadaptasikan antara teks dengan dunia sosio-kulturalnya. Adaptasi tersebut dapat melalui bahasa, tindakan, dan pentradisian. Karena adaptasi merupakan proses penyesuaian berdasarkan penafsiran, maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi-variasi adaptasi dan hasil adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu.
2. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisasi yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan objektivasi, artinya ia memanifestasikan dari dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Satu kasus yang khusus dalam objektivasi adalah signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebagai contoh, sebuah senjata mungkin bisa saja
46 semula dibuat untuk berburu binatang, namun dikemudian hari dijadikan sebagai suatu tanda yang meunjukkan kekerasan pada umumnya.30
3. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Berger dan Luckman (1966:1) meringkas teori mereka menyatakan
“realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of knowledge) harus menganalisa proses bagaimana hal itu terjadi. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita aggap berada di luar kemampuan kita (sebab dia tidak dapat dienyahkan). Menurut Berger dan Luckman kita semua mencari pengetahuan atau “kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus” dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sosiologi terlibat dalam pencarian “pengetahuan” dan “realitas” yang lebih khusus, yang berada di tengah-tengah diantara orang awam dan para filosof.
30 Berber, Peter L. Dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES
47 Orang awam “mengetahi” realitasnya tanpa bersusah payah menggunakan analisa sistematis.31
- Gambar 2. Skema Keterkaitan Teori Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam Proses Keluarga Berencana Melalui Vasektomi
31 Paloma, Margaret, 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Press
OBJEKTIFIKASI
INTERNALISASI EKSTERNALISASI (Pencurahan dan Penyebaran Nilai-
Nilai Sosial)
Dalam KB proses ini termasuk kedalam kegiatan sosialisasi program
yang dimana terdapat penerimaan
nilai-nilai baru yang disebarkan. (Penegasan dan Penentuan Nilai) Setelah adanya proses sosialisasi, timbul pandangan dari diri (self)
terhadap nilai yang ditangkap program KB tersebut.
(Penyerapan dan penerimaan terhadap nilai) Penerimaan program KB pada diri (self)
sehingga memutuskan untuk mengikuti program KB tersebut