• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Artonin E (36)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Artonin E (36)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV PEMBAHASAN

IV.1 Artonin E (36)

Artonin E (36) diperoleh berupa padatan yang berwarna kuning dengan titik leleh 242-245

o

C. Artonin E (36) merupakan komponen utama senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam kulit akar Artocarpus scortechinii. Artonin E (36) selain di kulit, juga pernah diisolasi dari kulit batang A. scortechinii. Struktur artonin E ditentukan dari data spektroskopi UV, IR,

1

H dan

13

C NMR. Penentuan struktur juga dibantu dengan membandingkan data senyawa hasil isolasi dengan data literatur.

Spektrum ultra violet (UV) dalam metanol senyawa 36 memberikan serapan maksimum pada λ

maks

203, 268, dan 348 nm. Spektrum ini menunjukkan ciri khas suatu senyawa flavon dengan adanya dua puncak serapan utama. Serapan pada 268 nm (pita II) menunjukkan serapan sistem benzoil. Serapan pada 348 nm (pita I) menunjukkan karakteristik dari konjugasi sistem sinamoil yaitu adanya karbonil yang berkonjugasi dengan cincin aromatik. Intensitas pita I yang jauh lebih rendah dibanding pita II menunjukkan adanya substituen prenil pada C3. Dengan penambahan pereaksi geser NaOH menunjukkan serapan pada λ

maks

205 dan 265 nm yang menunjukkan terjadinya pergeseran batokromik dari pita I, hal ini memperlihatkan adanya gugus hidroksi fenolik bebas pada cincin aromatiknya.

Penambahan pereaksi geser AlCl

3

menunjukkan serapan pada λ

max

203, 277, 476 dan 427 nm (pergeseran batokromik). Pergeseran batokromik setelah penambahan AlCl

3

menunjukkan adanya gugus hidroksi pada C5 yang membentuk kelat dengan gugus karbonil pada C4 atau adanya sistem orto dihidroksi pada cincin aromatik. Penambahan pereaksi geser HCl memperlihatkan serapan pada λ

max

203, 226 276 dan 427 nm yang memperlihatkan serapan kembali ke semula sebelum penambahan AlCl

3

, hal ini menunjukkan adanya gugus orto dihidroksi.

Spektrum UV menunjukkan bahwa senyawa ini adalah suatu flavon terprenilasi

pada C3 yang memiliki orto dihidroksi.

(2)

Spektrum IR dari senyawa artonin E (36) memperlihatkan adanya gugus fungsi utama dari senyawa flavon, yaitu sinyal serapan pada bilangan gelombang 3427 cm

-1

merupakan serapan khas dari gugus hidroksi, serapan tajam pada bilangan gelombang 1652 cm

-1

menunjukkan serapan khas karbonil terkonjugasi, sementara serapan pada bilangan gelombang 2981 dan 2913 cm

-1

merupakan serapan dari vibrasi ulur C-H alifatis yang menunjukkan ciri adanya gugus isoprenil, sedangkan serapan pada bilangan gelombang 1604 dan 1461 cm

-1

menunjukkan adanya gugus aromatik.

Spektrum

1

H NMR memperlihatkan adanya ciri khas senyawa flavon yaitu sinyal

untuk proton hidroksi pada C5 yang membentuk kelat dengan gugus karbonil

pada C4 yaitu sinyal singlet pada 13,24 ppm. Tiga sinyal singlet pada 1,42 ppm

(6H); 1,45 ppm (3H) dan 1,56 ppm (3H) menunjukkan adanya empat gugus metil

yang berasal dari dua gugus isoprenil yang terikat pada flavon. Satu sinyal yang

mewakili dua metil yang identik menunjukkan bahwa salah satu gugus isoprenil

telah termodifikasi membentuk cincin kromen. Hal ini dibuktikan dengan adanya

dua sinyal doblet yang saling berkopling yaitu pada 6,59 ppm (1H, J=10,0 Hz)

dan 5,64 ppm (1H, J=10,0 Hz). Harga kopling konstan dua sinyal ini merupakan

ciri khas adanya dua proton visinal vinilik yang berada pada posisi cis. Sinyal

proton aromatik ditunjukkan dengan adanya tiga sinyal singlet pada 6,87; 6,58

dan 6,14 ppm. Satu sinyal merupakan proton pada cincin A, sedangkan dua sinyal

lain adalah proton pada cincin B yang terletak pada posisi para, yang

menunjukkan bahwa pada cincin B senyawa ini memiliki tiga hidroksi pada posisi

2′, 4′ dan 5′. Dua sinyal yang lain adalah satu sinyal multiplet pada 5,12 ppm (1H)

dari proton vinilik dan satu sinyal doblet pada 3,14 ppm (2H, J=6,8 Hz) dari

gugus metilen. Kedua proton tersebut saling berkopling yang menunjukkan ciri

khas dari gugus isoprenil yang bebas. Dari data di atas dan data pembanding maka

disarankan bahwa senyawa flavon ini terisoprenilasi pada C3 dan C8, dimana

isoprenil pada C8 mengalami siklisasi membentuk cincin kromen.

(3)

Tabel IV.1 Perbandingan data 1H dan 13C NMR artonin E (36) hasil isolasi dengan standar.

δH artonin E (36) ppm (multiplisitas, J Hz) δC Artonin E (36) (ppm) No C Standar

(metanol-d4, 300 MHz)*

Hasil isolasi (aseton-d6, 500

MHz)

Standar (metanol-d4, 75

MHz)*

Hasil isolasi (aseton-d6 , 125

MHz)

2 - - 162,7 162,6

3 - - 122 121,6

4 - - 183,9 183,2

4a - - 105,9 105,5

5 - - 163,3 162,1

6 6,2 (1H, s) 6,14 (1H, s) 100,1 99,6

7 - - 160,0 159,9

8 - - 102,2 101,6

8a - - 153,8 153,2

1’ - - 111,8 111,3

2’ - - 150,1 149,7

3’ 6,40 (1H, s) 6,58 (1H, s) 104,7 104,6

4’ - - 150,0 149,4

5’ - - 139,5 138,9

6’ 6,68 (1H, s) 6,87 (1H, s,) 117,2 116,9 9 3,11 (2H, d, J= 7) 3,14 (2H, d, J= 6,8) 24,9 24,6 10 5,06 (1H, m) 5,12 (1H, m) 122,6 122,4

11 - - 133,0 132,3

12 1,42 (3H, s) 1,45 (3H, s) 25,9 25,8 13 1,6 (3H, s) 1,56 (3H, s) 17,6 17,6 14 6,62 (1H, d, J= 10) 6,59 (1H, d, J= 10,0) 115,8 115,4

15 5,58 (1H, d, J= 10) 5,64 (1H, d, J= 10,0) 128,2 127,9

16 - - 79,1 78,7

17/18 1,41 (6H, s) 1,42 (6H, s) 28,4 28,2

5-OH - 13,24 (1H, s,)

*(Suhartati, 2001)

Data spektrum

13

C NMR memperlihatkan adanya 24 sinyal dengan satu sinyal

mewakili dua karbon. Spektrum

13

C NMR APT memperlihatkan dengan jelas

jenis-jenis karbon yang terdapat pada senyawa ini. Sinyal berlawanan arah dengan

pelarut merupakan sinyal untuk karbon yang mengikat proton berjumlah ganjil

(CH atau CH

3

), sedangkan karbon kuarterner dan karbon yang mengikat proton

berjumlah genap sinyalnya searah pelarut. Sinyal pada 183,2 ppm menunjukkan

adanya gugus karbonil yang terkonjugasi. Tiga sinyal pada 25,8; 17,6 dan 28,2

ppm menunjukkan adanya empat gugus metil. Sinyal pada 24,6 ppm merupakan

sinyal dari gugus CH

2

, sedangkan sinyal pada 78,7 menunjukkan gugus karbon

oksialifatik. Tujuh sinyal pada 162,6 ; 162,1; 159,9; 153,2 ; 149,7; 149,4 dan

(4)

138,9 ppm menunjukkan ciri khas karbon oksiaril, sedangkan lima sinyal pada 132,3; 121,6; 111,3; 105,5 dan 101,6 ppm menunjukan karbon alkena kuarterner.

Sinyal pada 99,6; 122,4; 115,4; 127,9; 104,6 dan 116,9 ppm menunjukkan adanya enam karbon metin yang sesuai dengan spektrum

1

H NMR. Hasil spektrum di atas setelah dibandingkan dengan data dari standar (Suhartati, 2001) didapatkan senyawa dengan struktur yang telah dikenal sebagai artonin E (36).

O O

O OH

OH

OH O

H

36

5' 3

5 6

8

9 10 12

13 14

17 15

18

2' 4'

IV.2 Artonin V (38)

Senyawa artonin V (38) diperoleh sebagai padatan berwarna kuning dengan titik

leleh 216-218

o

C. Penemuan senyawa artonin V dalam spesies A. scortechinii

merupakan penemuan penting mengingat senyawa ini merupakan salah satu

prekursor untuk biosintesis senyawa-senyawa prenil flavon dengan tiga oksigenasi

pada cincin B. Senyawa ini pertama kali ditemukan dalam spesies A. altilis dan

belum pernah ditemukan dalam spesies lain sebelumnya. Struktur artonin V

ditentukan dari data spektroskopi UV dan

1

H NMR. Spektrum ultra violet (UV)

senyawa ini dalam metanol memberikan serapan maksimum pada λ

maks

203, 268

dan 347 nm. Spektrum UV dalam metanol senyawa artonin V (38) jika

dibandingkan dengan spektrum UV artonin E (36) memiliki ciri yang mirip yaitu

mengalami pergeseran pergeseran batokromik setelah penambahan pereaksi geser

NaOH atau AlCl

3

. Penambahan pereaksi geser HCl juga menunjukkan pola

spektrum yang sama yaitu kembali ke keadaan semula sebelum penambahan

pereaksi geser AlCl

3

. Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa ini mempunyai

kerangka yang mirip dengan artonin E (36). Ciri-ciri kerangka yang mirip tersebut

antara lain sama-sama flavon terprenilasi bebas pada C3 dengan orto dihidroksi

pada cincin B.

(5)

Spekrum

1

H NMR senyawa artonin V (38) menunjukkan dengan jelas suatu flavon dengan adanya sinyal singlet pada 13,08 ppm. Perbandingan spektrum

1

H NMR senyawa artonin V (38) dengan artonin E (36) menunjukkan perbedaan pada geseran kimia daerah aromatik atau alkana. Spektrum artonin V (38) tidak menunjukkan adanya dua sinyal doblet dari dua proton vinilik yang saling berkopling. Hal ini menunjukkan tidak adanya cincin kromen pada senyawa ini.

Sinyal multiplet justru ada dua yang muncul pada 5,19 ppm (1H) dan 5,12 ppm (1H), berbeda dengan artonin E yang hanya satu sinyal. Kedua sinyal multiplet ini saling berkopling dengan dua sinyal doblet pada geseran kimia 3,35 ppm (2H, J=7,3 Hz) dan 3,13 ppm (2H, J=6,75 Hz). Kedua sinyal yang saling berkopling tersebut menunjukkan adanya dua gugus isoprenil bebas yang juga ditunjukkan empat sinyal metil pada geseran kimia 1,59 ppm (3H, s); 1,57 ppm (3H, s); 1,56 ppm (3H, s) dan 1,44 ppm (3H, s). Struktur senyawa artonin V (38) setelah dibandingkan dengan data kerangka senyawa yang mirip disarankan adalah suatu flavon terisoprenilasi bebas pada C3 dan C8.

Tabel IV.2 Perbandingan data 1H artonin V (38) hasil isolasi dengan artonin E (36) dan artelastisinol (40)

δH ppm (multiplisitas, J Hz) No H Artonin E (36) hasil isolasi

(aseton-d6, 500 MHz)

Artonin V (38) hasil isolasi (aseton-d6, 500 MHz) 3’ 6,58 (1H, s) 6,58 (1H, s) 6’ 6,87 (1H, s,) 6,83 (1H, s)

9 3,14 (2H, d, J= 6,8) 3,13 (2H, d, J=6,8)

10 5,12 (1H, m) 5,12 (1H, m, H-10) 12 1,45 (3H, s) 1,44 (3H, s, H-12) 13 1,56 (3H, s) 1,57 (3H, s, H-13)

Artelastisinol (40) standar (CDCl3, 400 MHz)*

Artonin V (38) hasil isolasi (aseton-d6, 500 MHz) 5-OH 12.78 brs 13,08 (1H, s)

6 6.32 (1H, s, 6,30 (1H, s, H-6)

14 3.57 (2H, d, J=6,4) 3,35 (2H, d, J=7,3) 15 5.30 (1H, t, J= 6,4) 5,19 (1H, m ) 17 1.76 (3H, s)

*(Ko, 2005)

1,56 (3H, s) 18 1.87 (3H, s) 1,59 (3H, s)

(6)

O O

H O

OH

OH O O

H

H

38

IV.3 Sikloartobiloksanton (72)

Sikloartobiloksanton (72) diperoleh sebagai padatan berwarna kuning dengan titik leleh 280-285

o

C. Senyawa ini sebelumnya juga pernah diisolasi dari kulit batang A. scortechinii. Senyawa ini pertama kali diisolasi dari A. nobilis yang merupakan satu-satunya spesies Artocarpus yang endemik dari Srilanka (Sultanbawa, 1989).

Penemuan ini menunjukkan bahwa tingkat kekerabatan kedua spesies cukup dekat. Struktur siklortobiloksanton (72) ditentukan dengan data-data spektrum UV, IR dan

1

H NMR, juga dibandingkan dengan data senyawa dalam literatur.

Spektrum ultra violet (UV) siklortobiloksanton (72) dalam metanol memberikan pola serapan yang mirip dengan spektrum UV artonin E (36), penambahan pereaksi geser NaOH atau AlCl

3

juga menunjukkan pergeseran batokromik.

Perbedaan yang penting adalah pada spektrum UV setelah penambahan pereaksi

geser HCl. Spektrum UV siklortobiloksanton (72) setelah penambahan pereaksi

geser AlCl

3

dan HCl menunjukkan spektrum tidak kembali ke sebelum

penambahan AlCl

3

. Hal ini menunjukkan bahwa pada siklortobiloksanton (72)

tidak ada sistem orto dihidroksi pada cincin B. Spektrum infra merah senyawa

siklortobiloksanton (72) juga menunjukkan cir senyawa flavon. Serapan gugus

hidroksi ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang 3560-3194 cm

-1

.

Serapan gugus karbonil terkonjugasi muncul pada bilangan gelombang 1653 cm

-1

dan ikatan rangkap aromatik muncul pada bilangan gelombang 1550-1475 cm

-1

.

Gugus prenil yang terikat pada senyawa flavon ini ditunjukkan oleh serapan pada

bilangan gelombang 2974 dan 2929 cm

-1

, sinyal ini merupakan serapan dari

vibrasi ulur ikatan C-H alifatik.

(7)

Spekrum

1

H NMR senyawa sikloartobiloksanton (72) jika dibandingkan dengan spektrum

1

H NMR artonin E (36) menunjukkan beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan sinyal adalah pada jumlah metil yaitu empat menunjukkan adanya dua gugus isoprenil pada C3 dan C8. Gugus isoprenil pada C8 seperti pada artonin E (36) juga menunjukkan telah membentuk cincin kromen. Perbedaan spektrum

1

H NMR antara lain pada jumlah proton aromatik. Sinyal proton aromatik pada sikloartobiloksanton hanya berjumlah dua yaitu pada geseran kimia 6,38 ppm (1H, s) dan 6,10 ppm (1H, s) berbeda dengan sinyal proton aromatik pada artonin E yang berjumlah tiga. Hal ini menunjukkan salah satu karbon aromatik pada cincin B telah mengikat gugus lain. Perbedaan yang lain adalah dua sinyal pada geseran kimia 3,39 ppm (1H, dd, J=15,3 dan 7,4 Hz) dan 3,17 ppm (1H, dd, J=15,3 dan 7,4 Hz) berkopling dengan satu proton pada geseran kimia 2,33 ppm (1H, t, J=15,3 Hz), menunjukkan adanya dua proton geminal. Hal ini menunjukkan bahwa gugus isoprenil telah mengalami siklisasi membentuk ikatan karbon-karbon antara C10 dengan C6′. Karbon pada C11 juga telah mengikat salah satu gugus hidroksi pada C5′ membentuk cincin furan karena tidak ditemukan lagi sinyal proton pada C11 pada spektrum

1

H NMR. Perbandingan data spektrum senyawa hasil isolasi dengan sikloartobiloksanton (72) standar (Sultanbawa 1989) menunjukkan bahwa struktur senyawa hasil isolasi disarankan adalah sikloartobiloksanton (72).

Tabel IV.3 Perbandingan data 1H NMR sikloartobiloksanton (72) standar dengan hasil isolasi.

δH ppm (multiplisitas, J dalam Hz) sikloartobiloksanton (72) H No

Standar (aseton-d6, 200 MHz)* Hasil isolasi (aseton-d6, 500 MHz)

5-OH 13,33 (s) 13,36 (s)

14 6,92 (d, J=10,0) 6,89 (d, J=10,0)

3’ 6,43 (s) 6,38 (s)

6 6,14 (s) 6,1 (s)

15 5,64 (d, J=10,0) 5,64 (d, J=10,0) 9 3,43 (dd, J=7,0 dan 14,0) 3,4 (dd, J=7,4 dan 15,3) 9 3,21 (dd, J=7,0 dan 14,5) 3,17 (dd, J=7,4 dan 15,3) 10 2,36 (t, 14,5) 2,33 (t, 15,3)

13 1,67 (s) 1,64 (s)

18 1,47 (s) 1,44 (s)

17 1,47 (s) 1,43 (s)

12 1,34 (s) 1,30 (s)

*(Sultanbawa, 1989)

(8)

O

OH

O OH

O O

H O

72

IV.4 Artoindonesianin Z-5 (100)

Artoindonesianin Z-5 (100) diperoleh sebagai padatan kuning dengan titik leleh 252-254

o

C dan [α]

D

= -18,0 (c 0,1; DMSO). Senyawa ini merupakan senyawa kedua dengan kerangka piranodihidrobenzosanton setelah artoindonesianin Z-2 (76). Artoindonesianin Z-5 (100) sebelumnya diisolasi dari kulit batang A.

lanceifolius (Mustapha, 2007 submitted). Struktur senyawa artoindonesianin Z-5 (100) ditentukan berdasarkan data-data spektroskopi UV, IR dan

1

H NMR disertai data pembanding dari literatur.

Spektrum ultra violet (UV) senyawa artoindonesianin Z-5 (100) dalam metanol

mirip denga spektrum UV sikloartobiloksanton (72), yaitu sama-sama mengalami

pergeseran batokromik setelah penambahan pereaksi geser NaOH atau AlCl

3

.

Spektrum UV senyawa artoindonesianin Z-5 (100) setelah penambahan pereaksi

geser HCl juga menunjukkan spektrum kembali ke semula sebelum penambahan

pereaksi geser AlCl

3

. Dari spektrum UV menunjukkan senyawa artoindonesianin

Z-5 (100) memiliki kerangka yang mirip dengan sikloartobiloksanton (72) yaitu

suatu flavon terisoprenilasi pada C3 yang telah mengalami modifikasi pada cincin

B dimana senyawa ini tidak memiliki sistem orto dihidroksi. Spektrum infra

merah senyawa artoindonesianin Z-5 (100) memperlihatkan gugus-gugus utama

suatu senyawa flavon terprenilasi. Serapan gugus hidroksi ditunjukkan oleh sinyal

melebar pada bilangan gelombang 3346 cm

-1

. Serapan gugus karbonil

terkonjugasi muncul pada bilangan gelombang 1653 cm

-1

dan ikatan rangkap C=C

aromatik muncul pada bilangan gelombang 1548-1479 cm

-1

. Gugus prenil yang

terikat pada senyawa flavon ini ditunjukkan oleh sinyal serapan pada bilangan

gelombang 2974 cm

-1

, sinyal ini merupakan serapan dari vibrasi ulur dari ikatan

C-H alifatik.

(9)

Spektrum

1

H NMR artoindonesianin Z-5 (100) jika dibandingkan dengan spektrum

1

H NMR sikloartobiloksanton (72) menunjukkan kemiripan pada sinyal daerah aromatik yaitu dua sinyal singlet dan dua sinyal doblet yang saling berkopling. Hal ini menunjukkan adanya cincin kromen dari gugus isoprenil pada C8 dengan hidroksi pada C7 dan ciri kerangka dihidrobenzosanton dimana satu karbon aromatik pada cincin B membentuk ikatan dengan salah satu karbon dari gugus isoprenil pada C3. Perbedaan spektrum

1

H NMR kedua senyawa terlihat pada jumlah metil, sikloartobiloksanton (72) memiliki empat sinyal metil singlet sedangkan artoindonesianin Z-5 (100) hanya memiliki tiga gugus metil yang ditunjukkan oleh dua sinyal singlet pada geseran kimia 1,4 ppm (3H) dan 1,38 ppm (3H) dan satu sinyal doblet pada geseran kimia 1,07 ppm (3H, J=6,7 Hz).

Sinyal proton metil ini berkopling dengan sinyal proton pada C11 pada geseran kimia 1,6 ppm (m). Hal ini menunjukkan bahwa pada C11 terikat satu proton yang juga menunjukkan bahwa pembentukan siklik tambahan pada struktur artoindonesianin Z-5 (100) tidak menggunakan karbon pada C11 tetapi menggunakan atom karbon pada C12 dari isoprenil dengan gugus hidroksi pada C5’ pada cincin B membentuk cincin piran. Sinyal dari satu proton pada geseran kimia 4,83 ppm (1H, m) ditinjau dari nilai geseran kimianya menunjukkan bahwa C12 juga mengikat satu gugus hidroksi. Gugus hidroksi ini ditunjukkan oleh sinyal doblet pada 7,07 ppm (1H, J=7,9 Hz). Perbandingan data spektrum

1

H NMR senyawa artoindonesianin Z-5 (100) hasil isolasi dengan standar menunjukkan kesesuaian struktur senyawa yang disarankan sebagai artoindonesianin Z-5 (100).

O O

O

OH O

OH O

H

H OH

100

(10)

Tabel IV.4 Perbandingan data 1H NMR senyawa artoindonesianin Z-5 hasil isolasi dengan standar δH ppm (multiplisitas, J dalam Hz) artoindonesianin Z-5 (100)

No H

Standar (DMSO-d6, 400 MHz)* Hasil isolasi (DMSO-d6, 500 MHz)

5-OH 13,34 (s) 13,29 (s)

4′-OH 10,00 (s) 9,95 (s)

2′-OH 9,84 (s) 9,79 (s)

12-OH 7,11 (d, J= 7,6) 7,07 (d, J=7,9) 14 6,84 (d, J= 10,0) 6,81 (d, J=9,8)

3’ 6,43 (s) 6,40 (s)

6 6,17 (s) 6,12 (s)

15 5,72 (d, J=10,0) 5,68 (d, J=9,8) 12 4,87 (dd, J=8,0 dan 7,6) 4,83 (m)

9 3,17 (dd, J=15,2 dan 5,2) 1,88 (t, J= 15,2)

3,13 (dd, J=15,3 dan 4,8 ) 1,84 (t, J=15,3)

10 2,58 (ddd, J=15,2; 10,2 dan 5,2) 2,54 (m) 11 1,65 (ddq, J=10,2; 8,0 dan 6,4) 1,6 (m)

17 1,44 (s) 1,40 (s)

18 1,42 (s) 1,38 (s)

13 1,10 (d, J=6,4) 1,07 (d, J=6,7)

* ( Mustapha, 2007 submitted)

IV.5 12-Hidroksiartonin E (37)

Senyawa 12-hidroksiartonin E (37) diperoleh sebagai padatan berwarna kuning dengan titik leleh 216-217

o

C. Senyawa ini pertama kali diisolasi dari bagian ranting A. lanceifolius (Cao, 2003). Penentuan struktur 12-hidroksiartonin E (37) menggunakan data spektrum UV, IR dan

1

H NMR juga dengan perbandingan data senyawa ini dari literatur. Spektrum UV dalam metanol senyawa 12- hidroksiartonin E (37) menunjukkan persamaan pola dengan spektrum UV artonin E. Ciri khas senyawa flavon terprenilasi pada C3 dengan adanya sistem orto dihidroksi ditunjukkan oleh puncak pada pita I yang lebih rendah dari pita II.

Pergeseran batokromik setelah penambahan pereaksi geser NaOH atau AlCl

3

menunjukkan suatu senyawa flavon. Adanya sistem orto dihidroksi ditunjukkan

oleh spktrum UV setelah penambahan pereaksi geser HCl dimana spektrum tidak

kembali ke semula. Spektrum infra merah senyawa 12-hidroksiartonin E (37)

menunjukkan adanya serapan gugus hidroksi yang ditunjukkan oleh serapan pada

bilangan gelombang 3331 cm

-1

. Adanya gugus prenil pada senyawa ini

ditunjukkan adanya serapan ikatan C-H alkana pada bilangan gelombang 2974

cm

-1

. Gugus karbonil terkonjugasi ditunjukkan oleh serapan pada bilangan

(11)

gelombang 1654 cm

-1

. Sementara serapan ikatan karbon-karbon aromatik ditunjukkan oleh serapan pada bilangan gelombang 1550 dan 1598 cm

-1

.

Spektrum

1

H NMR senyawa 12-hidroksiartonin E (37) memiliki pola yang mirip dengan spektrum

1

H NMR senyawa artonin E (36). Satu sinyal singlet pada geseran kimia 13,09 ppm merupakan ciri senyawa flavon yaitu adanya gugus hidroksi pada C5 yang membentuk kelat dengan gugus karbonil pada C4. Pola spektrum yang mirip dengan spektrum senyawa artonin E (36) adalah adanya tiga sinyal singlet pada geseran kimia daerah aromatik (6,94; 6,59 dan 6,15 ppm) yang menunjukkan ciri khas senyawa flavon yang teroksigenasi 2’, 4’ dan 5’ pada cincin B. Ciri khas yang lain adalah dua sinyal doblet yang saling berkopling pada geseran kimia 6,62 ppm (1H, J= 10,0 Hz,) dan 5,66 ppm (1H, J= 10,0 Hz) menunjukkan adanya gugus prenil pada C8 yang telah mengalami siklisasi membentuk cincin kromen. Sinyal berikutnya yang mirip adalah sinyal triplet pada geseran kimia 5,29 ppm (1H, J= 7,3 Hz) yang berkopling dengan sinyal doblet pada 3,22 ppm (2H, J= 7,3 Hz) yang menunjukkan adanya gugus prenil yang terikat pada C3 dimana gugus prenil ini dipastikan belum mengalami siklisasi dengan hidroksi atau karbon pada cincin B. Satu-satunya perbedaan dengan spektrum

1

H NMR artonin E (36) adalah sinyal yang menunjukkan gugus metil. Spektrum senyawa ini memliki satu sinyal singlet pada geseran kimia 1,71 ppm (3H) yang menunjukkan satu gugus metil dan satu sinyal singlet lagi pada geseran kimia 1,44 ppm (6H) yang menunjukkan dua gugus metil. Gugus metil yang sama berasal dari gugus isoprenil pada C8 yang mengalami siklisasi membentuk cincin kromen. Sedangakan satu metil lagi berasal dari gugus isoprenil yang terikat pada C3. Satu sinyal yang membedakan dengan spektrum

1

H NMR adalah pada geseran kimia 4,04 ppm (2H, br s) yang dipastikan berasal

dari gugus metil yang telah mengalami oksidasi membentuk gugus alkohol. Hal

ini karena multiplisitas sinyal ini yang singlet tapi melebar dan nilai geseran

kimianya yang sebesar 4,04 memperlihatkan ciri gugus metilen yang mengikat

hidroksi. Data spektrum senyawa 12-hidroksiartonin E (37) hasil isolasi

dibandingkan dengan data senyawa yang telah dikenal sebelumnya menunjukkan

persamaan yang jelas dari struktur yang disarankan.

(12)

O O

O OH

OH

OH O

H

OH 37

Tabel IV.5 Perbandingan data 1H NMR 12-hidroksiartonin E (37) hasil isolasi dengan standar.

δH ppm 12-hidroksiartonin E (37) (multiplisitas, J dalam Hz) No H Standar Hasil isolasi

(CDCl3, 500 Mhz)* (aseton-d6, 500 MHz)

5-OH - 13,09 (1H, s,)

6′ 7,04 (1H, s) 6,94 (1H, s,)

14 6,62 (1H, d, J= 10,0) 6,62 (1H, d, J= 10,0)

3′ 6,62 (1H, s) 6,59 (1H, s) 6 6,28 (1H, s) 6,15 (1H, s) 15 5,56 (1H, d, J= 10,0) 5,66 (1H, d, J= 10,0)

10 5,06 (1H, t, J=7,7) 5,29 (1H, t, J=7,3) 12 4,30 (2H, br s) 4,04 (2H, br s)

9 3,27 (2H, d, J= 7,7) 3,22 (2H, d, J= 7,3)

13 1,89 (3H, s) 1,71 (3H, s) 17/18 1,47 (6H, s) 1,44 (6H, s)

* (Cao, 2003)

IV.6 Hubungan Biogenesis Senyawa Hasil Isolasi

Dari penelitian ini telah berhasil diisolasi lima senyawa flavon terprenilasi dari kulit akat A. scortechinii, yaitu artonin E (36), artonin V (38), sikloartobiloksanton (72), artoindonesianin Z-5 (100) dan 12-hidroksiartonin E (37). Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga senyawa tambahan yang sebelumnya belum pernah diisolasi dari spesies A. scortechinii, yaitu artonin V (38), artoindonesianin Z-5 (100) dan 12-hidroksiartonin E (37). Artonin V (38) sebelumnya baru sekali dilaporkan diisolasi dari kulit akar A. altilis.

Artoindonesianin Z-5 juga baru sekali dilaporkan diisolasi dari kulit batang A.

lanceifolius (Mustapha, 2007 submitted), sedangkan 12-hidroksiartonin E (37)

(13)

juga baru sekali dilapokan diisolasi dari ranting A. lanceifolius (Cao, 2003).

Senyawa artonin V (38) cukup menarik dari sisi biogenesis karena merupakan prekursor senyawa-senyawa turunan flavon terprenilasi, terutama senyawa flavon yang terprenilasi pada C3 dan C8 dengan pola oksigenasi C2′, C4′ dan C5′ pada cincin B. Sementara senyawa turunan yang lazim yaitu artonin E ditemukan pada banyak spesies Artocarpus terutama dari subgenus Artocarpus.

Artoindonesiain Z-5 (100) dan 12-hidroksiartonin E (37) yang diisolasi dari A.

scortechinii merupakan penemuan kedua senyawa ini yang sebelumya juga diisolasi dari kulit batang dan ranting A. lanceifolius. Hal ini sangat menarik karena dari penelitian sebelumnya beberapa senyawa flavon yang telah diisolasi juga terdapat dalam kedua spesies. Artoindonesianin Z-5 (100) merupakan senyawa dengan tingkat oksidasi tertinggi. Senyawa ini termasuk piranodihidrobenzosanton kedua setelah artoindonesianin Z-2 (76). Senyawa 12- hidroksiartonin E (37) yang ditemukan dari A. scortechinii dan A. lanceifolius menambah daftar senyawa yang sama-sama diisolasi dari kedua spesies. Adanya senyawa turunan isoprenil flavon dan piranodihidrobenzosanton yang sama-sama ditemukan dalam kedua spesies menunjukkan bahwa spesies A. scortechinii memiliki tingkat kekerabatan yang dekat dengan A. lanceifolius.

Jalur biogenesis senyawa flavon dengan kerangka dihidrobenzosanton seperti artobiloksanton (65) dan sikloartobiloksanton (72) pernah diusulkan (Sultanbawa, 1989). Dari literatur ini diusulkan adanya dua senyawa antara yaitu flavon dengan trihidroksi pada cincin B yang belum terprenilasi dan senyawa yang sekarang dikenal sebagai artonin V (38). Beberapa jalur biogenesis telah pula diusulkan untuk senyawa sikloartobiloksanton (72) dan artobiloksanton (65) dari artonin E (36), dan senyawa artonol A (81) dan B (80) dari artobiloksanton (65) (Nomura, 1998). Jalur biogenesis senyawa-senyawa yang terdapat dalam A. scortechinii seperti artoindonesianin C (79), artonol A (81), artonol B (80) dan senyawa kelompok piranodihidrobenzosanton telah pula diusulkan (Hakim, 2006).

Senyawa piranodihidrobenzosanton yang sebelumnya hanya dilaporkan terdapat

dalam A. lanceifolius dalam penelitian ini juga ditemukan dalam A. scortechinii.

(14)

Beberapa usulan biogenesis di atas jika digabungkan dengan senyawa-senyawa yang diperoleh dalam penelitian ini menghasilkan seperti skema usulan biogenesis dibawah:

O

O OH

O OH

OH O

H O

OH

O OH

O O

H O

36 72

O

OH

O OH

O H

O OH

65

O OH

O OH O

O COOMe

79

O O

O OH O

O O

80

O O

O OH O

81

O O

O

OH O

OH O

H

H OH

100

O

OH

O OH

O H

O OH

OH O

OH

O OH

O H O OH

O

O

O OH

O OH

OH O

H

OH

37

Gambar IV.1 Skema usulan biogenesis senyawa dari A. scortechinii yang berasal dari artonin E (36) (Sultanbawa, 1989; Nomura, 1998; Hakim, 2006)

(15)

O

OH

O OH

O OH

O

64

O

OH O

OH O

H

OH OH

27

O O

H O

OH

OH O O

H

H

38

O

OH O

OH O

H

OH O

OH O

OH O

H

OH OH O

OH O

OH O

H

OH OH

O

O OH

O OH

OH O

H

36

O

OH

O OH O

O H

OH

Gambar IV.2 Skema usulan biogenesis senyawa dari A. scortechinii yang berasal dari noratokarpetin (27) (Nomura, 1989; Hakim, 2006)

IV.6 Hubungan Struktur dan Aktivitas Senyawa Hasil Isolasi

Kelima senyawa yang diisolasi telah diukur bioaktivitasnya terhadap sel murine

leukemia P-388. Keaktivan senyawa berdasarkan standar nilai IC

50

dalam μg/mL

dimana nilai kurang dari dua bersifat sangat aktif, dua sampai empat bersifat aktif

dan lebih dari empat tidak aktif (Alley, 1988). Empat senyawa yaitu artonin E (36)

artonin V (38), 12-hidroksiartonin E (37) dan artoindonesianin Z-5 (100)

menunjukkan aktivitas sitotoksik sangat aktif. Sikloartobilosanton (72) bersifat

tidak aktif. Tiga senyawa yang sangat aktif yaitu artonin E (36) artonin V (38) dan

12-hidroksiartonin E (37) memiliki struktur yang mirip yaitu gugus isoprenil

bebas pada C3. Perbedaan antara senyawa 36, 37 dan 38 yaitu pada jumlah gugus

(16)

hidroksi, artonin E (36) memiliki empat gugus hidroksi sedangkan artonin V (38) dan 12-hidroksiartonin E (37) memiliki lima gugus hidroksi. Artoindonesianin Z- 5 (100) juga memiliki empat gugus hidroksi namun gugus isoprenil pada C3 telah mengalami modifikasi membentuk kerangka piranodihidrobenzosanton.

Perbandingan data aktivitas sitotoksik terhadap senyawa dengan kerangka yang serupa dengan artonin E (36) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan sel murine leukemia P-388. Sikloartobiloksanton (72) memiliki tiga gugus hidroksi sedangkan gugus isoprenilnya membentuk kerangka furanodihidrobenzosanton.

O O

H OH

OH

OH O O

H

38

IC

50

= 1,1 μg/mL

O O

O

OH O

OH O

H

H OH O

O OH

O OH

OH O

H

O

OH

O OH

O O

H O

72 IC50= 4,6 μg/mL

100 IC50= 1,8 μg/mL

O

O OH

O OH

OH O

H

OH

37 IC50= 1,7 μg/mL 36

IC50= 0,6 μg/mL

Senyawa artoindonesianin Z-5 bersifat sangat aktif dengan nilai IC

50

=1,8 μg/mL.

Senyawa dengan kerangka piranodihidrobenzosanton yang lain yaitu

artoindonesianin Z-2 (73) memiliki nilai IC

50

=1,6 μg/mL menunjukkan nilai

aktivitas kedua senyawa yang tidak begitu jauh berbeda. Jadi adanya gugus prenil

pada C8 pada senyawa artoindonesianin Z-5 (100) tidak terlalu berpengaruh pada

bioaktivitasnya. Sikloartobiloksanton (72) yang tidak aktif berbeda dengan

artoindonesianin Z-5 (100) yang sangat aktif. Struktur kedua senyawa ini hanya

berbeda pada cincin furan sikloartobiloksanton (72) dengan cincin piran pada

artoindonesianin Z-5 (100) yang mengikat satu gugus hidroksi. Senyawa-senyawa

(17)

dengan kerangka yang mirip dengan artonin E (36) tetapi tidak memiliki gugus

prenil pada C8 menunjukkan perbedaan bioaktivitas yang besar. Artoindonesianin

Q (41) dan R (42) memiliki nilai sitotoksiksitas IC

50

=18,7 dan 15,9 μg/mL. Dua

gugus hidroksi pada artoindonesianin Q (41) telah menjadi metoksi, sedangkan

pada artoindonesianin R (42) memiliki tiga metoksi.

Gambar

Tabel IV.1 Perbandingan data  1 H dan  13 C NMR artonin E (36) hasil isolasi dengan  standar
Tabel IV.2 Perbandingan data  1 H artonin V (38) hasil isolasi dengan artonin E (36) dan  artelastisinol (40)
Tabel IV.3 Perbandingan data  1 H NMR sikloartobiloksanton (72) standar dengan hasil  isolasi
Tabel IV.4 Perbandingan data  1 H NMR senyawa artoindonesianin Z-5 hasil isolasi dengan standar  δ H  ppm (multiplisitas, J dalam Hz) artoindonesianin Z-5 (100)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Usaha kerang hijau dari tinjauan kelayakan usaha juga sangat menguntungkan, beri- kut adalah analisis kelayakan usaha kerang hijau di Pulau Pasaran (Tabel 3), dengan asumsi

Variabel ini termasuk dalam faktor psikologik individu, artinya tingkat motivasi akan mempengaruhi upaya karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Seorang karyawan yang

Suatu pakaian atau trend mode dapat menjadi sarana bagi seorang remaja untuk dapat lebih diterima oleh teman – teman sebayanya dan seseorang yang pakaiannya tidak sesuai dengan

dibandingkan yang tidak menyelenggarakannya. Dapat disimpulkan bahwa minimnya program lieterasi, baik secara inklusi maupun ekslusi berdampak pada ketidak pastian dan

Kemampuan ibu dalam menstimulasi perkembangan psikososial otonomi ini dapat meningkat secara signifikan dengan pertemuan penyuluhan kesehatan dilakukan lebih dari

3) Keteladanan guru di SDI Qurrota A’yun Ngunut Ketika guru memprogamkan kegiatan kepada anak didiknya, maka guru di SDI Qurrota A’yun juga harus ikut melakukan

PT.Coca Cola merupakan salah satu instansi yang belum memiliki sistem informasi pengolahan data karyawan yang efektif dan efisien karena masih menggunakan microsoft Excell yang

Bullying berasal dari kata bahasa inggris bully yang artinya gertak, menggertak, atau mengganggu sedangkan makna luas dari bullying (Riauskina, Djuwita, dan Soesetio