• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pewarisan Bahasa Bali di Provinsi Lampung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Pewarisan Bahasa Bali di Provinsi Lampung."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ISBN ; 978-602-7776-89-0.

SISTEM PEWARISAN BAHASA BALI DI PROVINSI LAMPUNG

Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati

Universitas Udayana seri.malini@fs.unud.ac.id

Abstract

This paper aims at discussing to real condition of Balinese (trans-) migrant in Lampung Province related to their efforts to develop Balinese language in Lampung Province. The research were conducted in Middle Lampung Regency with participation observation method. The results showed that the inheritance system of Balinese Languange by Balinese (trans-) migrants in Lampung region occurred informally and non-formal.

Key words : Balinese, Language, transmigrant, Lampung.

PENDAHULUAN

Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985) memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Terkait dengan pewarisan bahasa , peran orang tua menjadi sangat sentral. Orang tua merupakan mata rantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Jika si anak tidak menggunakan bahasa daerah tersebut, maka kemungkinan besar anak cucunya tidak memakai bahasa daerah tersebut. Ketidakterpakaian bahasa secara berkesinambungan dengan jumlah penutur yang terus menurun merupakan permulaan kepunahan suatu bahasa.

UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa. Untuk itu, UNESCO pun merasa perlu menetapkan hari bahasa ibu internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Salah satu kegitan yang dapat dilakukan untuk mencegah ancaman kepunahan suatu bahasa adalah dengan mengindentifikasi sistem pewarisan bahasa ibu yang ada di daerah transmigran seperti misalnya sistem pewarisan Bahasa Bali oleh transmigran Bali di Provinsi Lampung.

METODE

Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung termasuk provinsi yang penduduknya heterogen karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Hal tersebut dikarenakan sejarah Provinsi Lampung yang selalu membuka program transmigrasi dari daerah manapun di Indonesia.

(2)

Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati

2

menjadi desa rintisan transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasi penduduk provinsi Bali. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Rama Gunawan, Rama Dewa, dan Rama Nirwana di Kabupaten Lampung Tengah; Desa Toto Mulyo dan Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang; dan Desa Rejobinangun Raman Utara di Kabupaten Lampung Timur. Data penelitian bahasa terdiri dari tiga jenis, yaitu ujaran lisan, data tulis, dan instuisi bahasa peneliti (Langacker, 1972:15). Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur asli dari bahasa yang sedang diteliti. Penelitian ini memanfaatkan dua jenis data, yaitu data lisan dan intuisi bahasa peneliti. Data lisan dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali. Pemerolehan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Analisis data penelitian ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif dan secara kuantitatif.

KAJIAN PUSTAKA

Wolfowitz (1991) melakukan penelitian terhadap masyarakat imigran Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di Suriname berasal dari desa di Jawa Tengah yang memiliki budaya Jawa yang ’tinggi’. Dengan menggunakan pendekatan antropologi dan sosiologi, penelitian ini mengamati pilihan bahasa masyarakat Jawa di Suriname. Penelitian itu menemukan bahwa generasi pertama menganggap kompetensi stilistik merupakan hal yang sangat penting pada status sosial, sedangkan bagi sebagian kecil generasi kedua dan ketiga kompetensi tersebut merupakan masalah pendidikan yang terkait dengan penghormatan. Hal lain yang ditemukan Wolfowitz pada masyarakat migran Jawa adalah bahwa mereka memiliki paradigma leksikal yang harus dikuasi oleh semua orang dewasa dan remaja dalam berbagai interaksi sosial.

Koesoebjono (2000) mengatakan bahwa para migran asal Jawa di Suriname yang berjumlah sekitar 400.000 orang menduduki peringkat ketiga setelah orang- orang Creoles dan Hindu. Leluhur para migran ini tiba pertama kali di Suriname pada tahun 1890 sebagai pekerja. Sebagian besar dari mereka tinggal di Groningen, Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, 's-Hertogenbosch dan Zoetermeer. Meskipun mereka telah berhasil berintegrasi dengan kehidupan dan budaya Belanda, mereka berupaya terus menerus untuk mempertahankan identitas etnis kejawaannya dengan berbagai cara. Salah satu kegiatan yang belakangan dilakukan adalah dengan memperingati perayaan 110 tahun tibanya para migran pertama dari Jawa di Suriname. Keinginan orang-orang Jawa Suriname untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan asal mereka terlihat jelas dari usaha-usaha yang dilakukan seperti mendirikan lembaga-lembaga kerakyatan tradisional yang mereka kenal ada di Jawa. Mereka juga mengajarkan bahasa Jawa kepada generasi muda mereka dan mewariskan tradisi-tradisi beserta ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa, seperti pertunjukan wayang kulit, jaran kepang, tayuban, dan gamelan (Gooswit, 1988 dalam Koesobjono, 2000). Mereka juga menyelenggarakan upacara slametan, merayakan akhir bulan puasa (lebaran atau bodo),pernikahan ala Jawa, mitoni (upacara usia kehamilan tujuh bulan), dan sunatan. Seperti halnya di Jawa, mereka memiliki orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus untuk melakukan upacara-upacara yang telah diungkapkan di atas, seperti dukun bayi (membantu orang melahirkan), dukun manten (memimpin upacara perkawinan), dan dukun sunat (dalam upacara

sunatan).

Penelitian ini menunjukkan bahwa pewarisan kebudayaan disampaikan secara oral dan sebagai konsekuensinya adalah banyak aspek kebudayaan menjadi kabur, menyimpang dari aslinya, dan mendapatkan interpretasi-interpretasi baru, atau bahkan hilang seiring perjalanan waktu. Adanya interpretasi dan pemaknaan tradisi yang berbeda dan digunakannya kata-kata yang bervariasi oleh masyarakat menunjukkan bahwa mereka datang atau berasal dari daerah yang berbeda di Jawa yang kemudian berdampak pula terhadap praktek formal kehidupan keagamaan mereka. Didapatkan pula bahwa saat ini kebudayaan Jawa Suriname telah dipengaruhi oleh kebudayaan kelompok etnis lain, termasuk juga oleh budaya barat.

(3)

3

mengenai keberagaman bahasa dan kontak bahasa. Mereka menyatakan bahwa dari tahun 1840 sampai dengan tahun 1924 di daerah-daerah Amerika Serikat terdapat perkembangan penguasaan berbahasa para emigran. Pada tahun 1840 kaum emigran cenderung menggunakan bahasa-bahasa kultur atau asalnya. Namun, pada tahun 1924 kaum emigran mengembangkan kecenderungan hanya menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Dapat disimpulkan bahwa generasi ketiga kelompok emigran di Amerika Serikat cenderung melupakan bahasa kulturnya. Perubahan yang bersifat umum tersebut menurut Dil (1981:266) ternyata memiliki pola-pola khusus. Dil, juga melaporkan hasil pengamatannya terhadap perubahan kecenderungan penggunaan bahasa di negara-negara Eropa. Laporan tersebut menyatakan bahwa terdapat kecenderungan perubahan penggunaan bahasa yang pada dasarnya bersifat individual sehingga membentuk gejala umum. Artinya, makin dewasa individu suatu kelompok emigran atau kultur, makin besar kecenderungannya untuk meninggalkan bahasa kultur dan menggunakan satu bahasa yang dipahami oleh anggota antarkultur.

Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola pengasuhan anak keluarga petani

transmigran Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan

yaitu penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Kendati pihak orang tua berbicara bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa.

Hasil penelitian tersebut jelas menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali. Meskipun penelitian

ini bersifat antropologis, penelitian ini juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil penelitian yang

menggambarkan adanya gejala memprihatinkan terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa

pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(4)

Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati

4

Berbagai kemungkinan terhadap situasi kebahasaan juga ditemukan di daerah transmigran Bali di Lampung. Di Provinsi Lampung, penutur bahasa Bali menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi interetnis. Bahasa Bali digunakan khususnya dalam ranah-ranah tertentu seperti ranah keluarga, kekariban, religi, pekerjaan-khususnya pertanian, dan ranah kesenian. Penutur bahasa Bali juga memiliki ranah-ranah tersendiri dalam yang tanpa di sadari telah meningkatkan fungsi bahasa Bali. Hal itu terlihat dari munculnya organisasi informal yang tergabung dalam sekeha-sekaha (kelompok-kelompok) tertentu seperti sekaha gong, sekeha igel, sekeha tajen, sekeha mancing . Anggota sekeha tersebut penutur bahasa Bali yang memiliki kesenangan yang sama dan rasa identitas etnis yang sama. Dalam berinteraksi mereka menggunakan bahasa Bali. Tanpa mereka sadari, para penutur bahasa Bali tersebut telah mengembangkan status fungsional bahasa Bali. Meskipun pengembangan sudah dilakukan, namun peningkatan mutu berbahasa tetap perlu dilakukan di kalangan penutur Bahasa Bali dalam hal ini transmigran Bali (Malini: 2011).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap sistem pewarisan bahasa Bali ditemukan fakta bahwa sistem pewarisan bahasa Bali terhadap generasi muda Bali berlangsung secara alamiah melalui jalur informal dan non formal.

Bahasa Bali di Lampung tidak diajarkan sebagai bidang studi tersendiri di

sekolah, tetapi biasanya di selipkan dalam pelajaran agama Hindu. Hal tersebut dinyatakan

oleh informan mengenai pengajaran bahasa di sekolah, seperti pernyataan berikut.

Kutipan […………]

I : Untuk pendidikan bahasa Bali di Lampung bu...Sebenarnya kita sekarang kan wajib mengikuti bahasa lokal bu..Jadi anak-anak disini ya belajar Bahasa Lampung. .. P : Oh..ya.. Dari kelas satu ya bu..?

I : Ya.. dari kelas satu sampai enam. Mereka bisa berbahasa Lampung, tapi ya tidak nyantol ... karena mereka kan tidak pakai sehari-hari... Jadi kalau disuruh ngerjakan tugas sekolah ya mereka bisa..

P : Aksaranya gimana bu...?

I : Bisa... mereka bisa aksara Lampung... P : Gurunya bu...?

I : Ya.. orang Bali atau Jawa...ndak ada yang orang Lampung. Jadi kemampuan gurunya ya begitu bu...karena ndak pernah dipakai sehari-hari. Kalau Bahasa Bali hanya diselip-selipkan saja bu kalau ada pelajaran agama Hindu... Tapi kan masalahnya kalau guru agamanya itu orang Bali, kalau orang Jawa ? Soalnya agama Hindu itu kan tidak hanya orang Bali ya bu.. Ya akhirnya ndak bisa juga... Menurut saya ya bu... Sekarang ini banyak orang salah kaprah tentang pengajaran bahasa Bali. Bahasa itu diajarkan kepada anak ketika anak sudah besar. Jadi anak itu susah bisanya bu.. Kalau saya ya bu..meskipun saya bukan Bali asli—saya ini sebetulnya keturunan Jawa bu.., tapi saya sudah diangkat anak oleh orang Bali sejak kecil dan menikah sama orang Bali..—tapi saya bisa berbahasa Bali, ya..walaupun yang bahasa halus tidak bisa bu.. Saya di rumah selalu berbahasa Bali dengan keluarga. Walaupun anak-anak kadang-kadang menjawab dengan bahasa Jawa atau Indonesia tapi saya tetep Bahasa Bali. Ke cucu saya pun saya selalu

P : Kalau dimasukkan kurikulum bu....?

(5)

5

Dari uraian informan terlihat bahwa bahasa Bali tidak diajarkan di sekolah secara formal tetapi hanya diselipkan saja pada mata pelajaran agama Hindu dan tentu saja dilakukan oleh guru agama Hindu etnis Bali. Dapat diprediksi bahwa pembelajaran bahasa Bali di sekolah tidak berlangsung secara sistematik. Informan juga tidak mengabaikan bahwa ditemukan kendala dalam pengajaran Bahasa Bali di sekolah yaitu bahwa jumlah penutur Bali lebih sedikit daripada penutur bahasa mayoritas. Namun demikian, informan juga mempunyai pandangan yang bahwa bahasa Bali harus diajarkan sejak dini dan dimulai dari rumah tangga. Melihat fenomena yang terjadi mengenai pengajaran bahasa, informan juga menunjukkan kekhawatirannya akan kepunahan bahasa Bali di masa mendatang. Kekwatiran tersebut perlu dijawab oleh berbagai pihak khususnya penutur bahasa Bali itu sendiri.

Selain diselipkan pada pelajaran agama Hindu di sekolah, secara lebih terstruktur pelajaran bahasa dan aksara Bali diajarkan di jalur nonformal, yaitu di pasraman-pasraman yang ada di Lampung seperti yang terlihat dalam jadwal pelajaran berikut.

Gambar 1. Kurikulum Bahasa Bali di Pasraman Aditya Dharma.

Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan bahwasanya ketersediaan guru yang mahir mengajarkan bahasa Bali di sekolah dan di lembaga nonformal seperti pasraman di Lampung sangat terbatas. Ketiadaan buku pelajaran bahasa Bali juga menyulitkan para guru dan murid untuk mendapatkan materi pelajaran bahasa Bali yang memadai. Kondisi riil di lapangan menuntut pemerintah dan penutur bahasa itu sendiri untuk bersinergi dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah khususnya dalam hal pendidikan.

Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa

pura

di

Lampung Tengah sudah menggunakan papan nama yang menggunakan aksara Bali,

seperti terlihat pada gambar berikut.

(6)

Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati

6

Gambar 2. Keberadaan aksara Bali pada Pura di Lampung

Dari fakta gambar di atas terlihat telah adanya upaya sosialisasi aksara Bali oleh tingkat elit Hindu etnis Bali. Upaya lebih jauh terhadap sosialisi aksara Bali khususnya pada ranah-ranah sensitif seperti awig-awig tampaknya belum dapat dilakukan oleh transmigran Bali. Hal tersebut dikarenakan karena keterbatasan transmigran Bali dalam memahami aksara Bali. Upaya penggunaan aksara Bali juga telah dilakukan oleh kalangan populis yaitu orang yang berpengaruh di kalangan transmigran Bali dengan menandai selesainya pembangunan rumahnya seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Aksara Bali di rumah transmigran Bali

Pada saat ini penulisan aksara Bali oleh transmigran Bali masih menggunakan cara manual. Transmigran Bali belum tersentuh penulisan aksara Bali dengan komputer dengan program Bali Simbar. Aplikasi program Bali Simbar adalah piranti lunak aksara Bali. Bagi transmigran Bali hal tersebut merupakan kendala tersendiri dalam upaya sosialisasi aksara Bali. Bagi transmigran Bali yang umumnya berprofesi sebagai petani dan sebagian besar belum paham terhadap komputer jadi mengaplikasikan program Bali Simbar merupakan sesuatu yang rumit. Bagi kaum terpelajar penggunaan dan penyebar luasan informasi melalui aksara Bali juga merupakan kendala karena aksara Bali belum dikuasai oleh transmigran Bali khususnya kalangan generasi muda (Malini, 2011)

(7)

7

dan tergantikan oleh penggunaan bentuk lumrah secara lebih dominan dan (b) bahasa Bali semakin jarang dipergunakan dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat dikatakan bahwa bahasa Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang paling sederhana yang penggunaannya dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil Bali sebagai penanda utama identitas ke-Bali-an mereka. Pejanan (exposure) terhadap Bahasa Bali menjadi jauh berkurang karena kontak dengan orang non-Bali yang berbicara dalam bahasa Indonesia atau Jawa menjadi kian intensif yang mengharuskan orang Bali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai

Lingua Franca. Bahkan, secara sosial anak-anak menjadi lebih sering berbahasa Jawa kepada tetangga Jawa mereka, sebaliknya anak-anak Jawa amat jarang yang berbahasa Bali. Dalam situasi menurunnya penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja (1996:220) bahwa kesenian memegang peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi di Bali. Berbagai bentuk kesenian mengemban peranan tersebut walaupun bentuk-bentuk kesenian ini telah mengalami perubahan. Rekaman-rekaman seni tradisional dan kesusastraan (pepaosan, kidung, arja, drama gong, dan wayang) yang didatangkan dari Bali dapat dianggap cara termudah untuk menjaga akses tradisi Bali di Lampung.

SIMPULAN DAN SARAN

Penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu etnis Bali di Lampung berlangsung secara alamiah. Artinya bahwa bahasa dikuasai karena interaksi dengan pemakai dalam pemakaian bahasa yang dikuasai. Sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal maupun informalPenguasaan bahasa ibu seperti ini tidak dirancang secara sistematik-formal. Analisis terhadap sikap bahasa para responden terhadap bahasa Bali menunjukkan bahwa para transmigran memiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan dampak yang cukup prospektif bagi pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi kondisi ini perlu didukung oleh model dan sistem perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi kebahasan yang dialami transmigran Bali. Alternatif model perencanaan bahasa yang dapat diperhitungkan adalah perencanaan bahasa dengan prosedur perencanaan bahasa yang difokuskan pada fungsi bahasa dan dimensi perencanaan yang difokuskan pada perencanaan pemerolehan bahasa (acquisition planning). Acquisition planning menitikberatkan pada pengajaran dan pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau bahasa asing. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna dan distribusi suatu bahasa dan aksaranya yang didapatkan dengan membuat suatu kesempatan dan insentif untuk mempelajari bahasa yang bersangkutan. Acquisition planning berhubungan langsung dengan penyebaran suatu bahasa. Hal ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap pengembangannya baik dalam tingkat nasional, regional, atau lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Aitchison, J. 1991. Language Change: Progress or Decay. Sydney: Cambridge University Press Alwasilah, C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian

Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya

Alwi, Hasan. 2001. “Kebijakan tentang Bahasa Daerah “ dalam Dendy Sugono dan Abdul Rozak Zaidan (eds).Bahasa Daerah dan Otonomi Daerah, Risalah konferensi Bahasa Daerah.hal 38-47. Jakarta: Pusat Bahasa

(8)

Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati

8

Bagus, I. G. N. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup Berbangsa” dalam Martono dkk (ed). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Universitas Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur

Bell, R. T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: Batsford Blum, L. A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas antar-ras: Tiga Nilai yang

Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam L. May, S. Collins -Chobanian, dan K. Wong (ed). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural (terj). Hal. 15-25. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Budiono, P., Sugeng, P. H., dan Setiawan, A. 1997. “Strategi Budaya dalam Rangka Transformasi Budaya di Daerah Transmigrasi” dalam Muhajir Utomo & Rofiq Ahmad (ed). 90 Tahun Kolonialisasai, 45 Tahun Transmigrasi. Hal 185-190.Jakarta: Puspawara

Chamber, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. UK/USA: Blackwell Publisher

Collins, J. T. 2006. ”Bahasa Daerah yang Terancam Punah: Tinjauan di Maluku dan Kalimantan”. Makalah disajikan dalam Seminar Pelestarian Bahasa Daerah diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 9 Desember

Dhanawathy, N. M. 2001. “Bahasa Jawa bagi transmigran Bali di Lampung Tengah: Sebuah Fenomena yang mengisysratkan Pentingnya Pembinaan Bahasa Daerah Asal di Daerah Transmigrasi”. Makalah dalam Kongres Bahas Jawa III di Yogyakarta.

Englebretson, R. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation in Colloquial Jakarta Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamin Publishing

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell Fay, B. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta:Penerbit Jendela

Garvin, P.L dan Matthiot, M. 1968. “The Urbanization of the Guarani Language: Problem in Language and Culture” dalam Fishman, Joshua (ed). Reading in the Sociology of Language. Mouton: The Hague Geertz, C. 1959. “Form and Variation in Balinese Village Structure” dalam American

Anthropologist, 61, hal. 991-1012

Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England: Harvard University Press.

Hamers, J. F. dan Blanc, M. H. A. 1989. Bilinguality and Bilingualism. Cambridge: Cambridge University Press.

Hasanudin. 2009. “Wacana Identitas Etnik Masyarakat Minangkabau di Bali” (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana

Haugen, E. 1974. “Dialect, Language, Nations” dalam Pride, J. B dan Holmes, J (ed). Sociolinguistics. London: Penguin Books

Haugen, E. 1978. “Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in the United States” dalam Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of Social Multilingualism. The Hague: Mouton

Koentjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

Koesoebjono. 2000. “Towards a new Javaneseness” makalah yang disajikan pada The 12th Workshop of the European Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20-21 Januari 2000

Krauss, Michael. 1992. “The World’s Languages in Crisis”. Languages LXVIII.1:4-10. Labov, W. 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers

Langacker, R, 1972. Fundamental of Linguistic Analysis. New York: Harcourt Lincoln, Y dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills:Sage Publications

Lukman. 2002. “Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas” dalam

Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar: Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana

Mackey, W. F. 1968. “The Description of Bilingualism” dalam Fishman, J. A. (ed). Readings in the Sociology of Language. The Hague: Mouton

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo

(9)

9

Tantangan”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa

diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta

Pelly, U. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.

Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia.

Poedjosoedarmo, S. 1982. “Javanese Influence on Indonesian”. Material in Languages of Indonesia. No. 7. Series. D. Canberra: Pacific Linguistics

Pretty, J. et al. 1996. Participatory Learning and Action : Trainer’s Guidline. IIED

Salim, A. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Sardjadidjaja, R. 2004. Transmigrasi: Pembauran dan Integrasi Nasional.Jakarta: CV. Muliasari Sobarna, C. 2007. ”Bahasa Sunda Sudah di Ambang Kematiankah?” dalam Makara: Humaniora,

Sosial, jilid 11, No. 1, hal 13-17

Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia

Suherdi, D. 2010. “Menempatkan Bahasa Ibu pada Kedudukannya yang Paling Tepat: Menjamin Keadilan bagi Kaum Minoritas” makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Suparno, E. 2007. Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran Rakyat. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Sutjaja, I. G. M. 1996. “Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change and Traditions” dalam Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven: Monograph 43/Yale Southeast Asia Studies.

UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Language. 2003. “Language Vitality and Endangerment” (dokumen keputusan International Expert Meeting on UNESCO Programme Safeguarding of Endangered Language, Paris, 10-12 Maret)

Wijaya, P. 1999. “Bali” dalam I Wayan Supartha (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-198. Denpasar: PT Bali Post.

Gambar

Gambar 1. Kurikulum Bahasa Bali di Pasraman Aditya Dharma.
Gambar 3. Aksara Bali di rumah transmigran Bali  Pada saat ini penulisan aksara Bali oleh transmigran Bali masih menggunakan cara

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga padapenelitian ini yang akan dibahas adalah menentukan model jumlah produksi ikan laut di Provinsi Jawa Timur dengan metode Transformasi Box–Cox pada Regresi

Adanya sikap yang ditunjukkan ibu seperti memberikan kritikan terhadap anaknya terkait dengan bentuk tubuh anaknya, selalu mengutarakan perasaan ketidakpuasan tubuh kepada anak,

1efinisi dari drug-induced hepatitis yaitu kerusakan hepati yang diinduksi oleh obat kimiawi atau herbal yang menyebabkan disfungsi hati atau abnormalitas pada tes fungsi

Bagaimana suatu aktiva dalam sebuah entitas atau perusahaan menjadi aset wajib zakat dan wajib dikeluarkan zakatnya, karena sebenarnya, jika mau diamati dari aktiva-aktiva

Berdasarkan data hasil penelitian yang dilaksanakan pada siklus I dan siklus II dan refleksi yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan

 Korelasi antara bus sekolah mengantar (Tepat Waktu) ke sekolah atau ke rumah dengan variabel naik dan turun bus sekolah di halte (Tertib dan Aman) adalah

Objective: To analyze the diagnostic accuracy of VAS compared to PNIF in measurement of nasal obstruction in patients with persistent allergic rhinitis. Method: This

Namun dengan menggunakan metode sintesis ini masih kurang menjanjikan karena diperoleh oksida BIMEVOX yang masih kurang murni (memiliki fasa lain),