• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Jawa Sebagai Media Penanaman Pendidikan Akhlak Di Pawiyatan Padha Rasa Salatiga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Budaya Jawa Sebagai Media Penanaman Pendidikan Akhlak Di Pawiyatan Padha Rasa Salatiga"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SEBAGAI MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN AKHLAK

DI PAWIYATAN PADHA RASA SALATIGA

Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Oleh:

Khuliqat Noer N. M.

14311366

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

2018 M/ 1439 H

(3)

AKHLAK

DI PAWIYATAN PADHA RASA SALATIGA

Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Oleh:

Khuliqat Noer N. M.

14311366

Pembimbing

Prof. Dr. Artani Hasbi, MA.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

2018 M/ 1439 H

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu, pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya.1 Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan yang dilakukan oleh seseorang dapat berlaku kapan pun dan dimana pun. Karena pendidikan dapat diperoleh dalam lingkungan formal maupun informal, dan dilakukan oleh siapa saja yang menginginkan pendidikan tersebut.

Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu Al-Qur`an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.2 Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3 No.20/2003 dimana dijelaskan mengenai tujuan pendidikan nasional. Yaitu pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berhubungan dengan pengertian PAI dan tujuan pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa salah satu tujuan dari pendidikan yaitu untuk

1Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 45.

2Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2012), h. 11.

(5)

mencetak generasi yang berakhlakul karimah, maka penulis ingin membahas tentang bagaimana akhlak dapat ditanamkan kepada anak didik.

Telah dijelaskan pula dalam Al-Qur`an bahwa kita perlu memiliki akhlak yang baik seperti yang tertulis dalam surah Al Ahzab: 21 sebagai berikut :

ْسُأ ِالله ِلوُس َر يِف ْمُكَل َناَك ْدَقَل َم ْوَيْلا َو َالله وُج ْرَي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌة َو

( ا ًريِثَك َالله َرَكَذ َو َر ِخٰ ْلْا ٢١

)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai tauladan yang baik sehingga kita bisa mencontoh akhlak terpuji dari beliau.

Dalam hadits, Rasulullah juga pernah bersabda :

ِدَّمَحُم ْنَع ِعاَقْعَقْلا ِنَع ِنَلاْجَع ِنْب ا

ْنَع ٍحِلاَص ْيِبَأ ْنَع ٍمِكاَح ِنْب ا

:َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله ُل ْوُس َر َلاَق :َلاَق َة َرْي َرُه ْيِبَأ ِعُب اَمَّن ِﺇ

ُُ ْث

هاور( ِقَلاْخَ ْلْا َم ِراَكَم َمِِّمَتُ ِلْ

يقهيبلا )

“Dari Muhammad bin Ajlan dari al-Qa’qa bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata: Bersabda Rasulullah SAW:

Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (HR. Baihaqi)3

3 Ahmad bin Al Husain bin ‘Ali bin Musa al Khusraujir al Khurasani, Sunan al- Baihaqi Jilid 10 Bab Bayan Al Makarima Al Akhlak wa Ma’aliha, (Beirut: Dar Al Kitab Al

‘Alamiyah), h. 323.

(6)

Dari hadits tersebut sudah jelas bahwa Rasulullah diutus ke muka bumi salah satunya untuk memberikan contoh yang baik kepada umatnya.

Sehingga umat Rasulullah memiliki akhlak yang baik seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

Kemudian dalam penerapannya dalam keseharian manusia, nilai pendidikan akhlak dapat didapatkan dari mana saja. Salah satunya melalui kesenian dan kebudayaan. Karena pada dasarnya patokan akhlak yang baik yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam masyarakat adalah sesuai dengan kebudayaan dan adat kebiasaan masing-masing daerah. Sehingga kita perlu mempelajari dan mengetahui bagaimana suatu budaya atau kebudayaan bisa mengajarkan nilai pendidikan akhlak kepada kita.

Menurut Koentjaningrat kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari pengertian kebudayaan tersebut dapat dikatakan bahwa kebudayaan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pembelajaran dimana dalam kebudayaan terdapat beberapa hal yang dapat diambil sebagai pembelajaran untuk membuat kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Berhubungan dengan salah satu tujuan pendidikan yaitu menjadikan generasi yang berakhlak dan salah satu manfaat dari kebudayaan yaitu menjadikan masyarakat yang lebih baik, maka penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana kebudayaan dapat dijadikan sebagai alat atau metode dalam penanaman nilai akhlak.

Penulis tertarik melakukan penelitian terhadap Pawiyatan Padharasa Salatiga dengan alasan bahwa dalam pawiyatan ini mengajarkan bagaimana seseorang berakhlak yang baik dengan menggunakan budaya dan tembang-tembang Jawa yang merupakan warisan dari kebudayaan Jawa sebagai media penyampaiannya.

(7)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana makna Budaya Jawa secara historis dan spiritual ?

2. Bagaimana fungsi dari Budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat dahulu dan sekarang ?

3. Bagaimana cara menanamkan nilai akhlak menggunakan Budaya Jawa di Pawiyatan Padharasa Salatiga ?

4. Bagaimana pendekatan yang dilakukan pendidik untuk menarik minat masyarakat belajar Budaya Jawa ?

5. Bagaimana hasil penanaman nilai akhlak melalui Budaya Jawa terhadap anak di Pawiyatan Padharasa Salatiga ?

6. Bagaimana cara pendidik meyakinkan masyarakat bahwa dengan budaya daerah bisa digunakan sebagai media pengantar pendidikan akhlak ?

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Kemudian berdasarkan identifikasi masalah di atas penulis membatasi penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana makna Budaya Jawa secara historis dan spiritual ? 2. Bagaimana pendekatan yang dilakukan pendidik untuk menanamkan

nilai akhlak terhadap sesama manusia menggunakan Budaya Jawa ? Dan dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu :

1. Bagaimana makna Budaya Jawa sehingga dapat dijadikan media penanaman pendidikan akhlak ?

2. Bagaimana cara pendidik menggunakan Budaya Jawa sebagai media penanaman pendidikan akhlak bagi peserta didik ?

(8)

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah ditulis, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui makna Budaya Jawa sehingga dapat dijadikan media penanaman pendidikan akhlak.

2. Untuk mengetahui cara pendidik dalam menggunakan Budaya Jawa sebagai media penanaman pendidikan akhlak.

E. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah wawasan kita mengenai Budaya Jawa yang merupakan salah satu budaya yang harus dilestarikan di Indonesia. Dimana Budaya Jawa ini telah ada dan digunakan untuk menyebarkan agama Islam sejak zaman Walisongo dan masih dilestarikan kegunaannya sampai sekarang.

2. Secara praktis dari penelitian ini dapat memberikan informasi kepada kita bagaimana dan dengan cara seperti apa Budaya Jawa sebagai media penyebaran agama Islam khususnya dalam aspek penanaman pendidikan akhlak bagi peserta didik.

F. Metode Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.4 Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporannya.5 Jadi dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian adalah ilmu mengenai cara atau jalan dalam merumuskan, menganalisis suatu penelitian hingga dapat dibuat suatu laporan mengenai hal yang diteliti.

4 Joko Subagyo, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Asdi Mohasatya, 2004), hlm. 1.

5 Cholid Narbuko, Abu Achmadi., Metodologi Penelitiam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 1.

(9)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian kualitatif etnografi. Dimana penelitian kualitatif adalah penelitian untuk menjawab permasalahan yang memerlukan pemahaman secara mendalam dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan, dilakukan secara wajar dan alami sesuai dengan kondisi objektif di lapangan tanpa adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan terutama data kualitatif. 6 Dan penelitian etnografi adalah pengumpulan data sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktifitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.7

Penulis menggunakan jenis penelitian ini karena objek yang diteliti oleh penulis adalah berhubungan dengan suatu kebudayaan. Yang mana penulis mengambil Budaya Jawa sebagai bahan utama dalam penulisan skripsi ini.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan metode pendekatan penelitian Antropologi. Antropologi adalah penyelidikan terhadap manusia dan kehidupannya.8 Dan pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana akhlak bisa diterapkan dengan menggunakan Budaya Jawa sehingga hal ini berhubungan dengan nilai budaya suau daerah serta kehidupannya. Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan antropologi ini.

6 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya Offset, 2014), hlm. 29

7 Suwardi Endaswara, Metode Teori Teknik Penelitian Pendidikan, (Yogyakarta:

Pustaka Widyatama, 2006), hlm. 207.

8 Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional,(Surabaya: Alumni, 2002), h. 39.

(10)

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber data utama penelitian yaitu yang memiliki data variabel-variabel yang akan diteliti. Informannya adalah orang yang dianggap mengetahui berkaitan dalam suatu kegiatan yang dapat dijadikan informasi.9

Kemudian dalam pengambilan subjek penelitian, penulis menggunakan teknik purposive sampling dan quota sampling.

Dimana teknik purposive sampling adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Misalnya orang tersebut dianggap paling mengetahui tentang apa yang peneliti harapkan.10 Dan quota sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan mendasarkan pada kotum. Peneliti harus menentukan terlebih dahulu jumlah subjek yang akan diselidiki dan harus menetapkan kriteria sampel.11

Adapun subjek yang telah disiapkan oleh penulis adalah:

a. Pelatih Pawiyatan Padharasa Salatiga b. Peserta Pawiyatan Padharasa Salatiga

c. Beberapa tokoh budayawan daerah Salatiga dan sekitarnya 4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara, yaitu:

a. Observasi

Observasi dilakukan oleh penulis dengan terjun langsung dalam lapangan dan ikut melakukan kegiatan guna mengamati dan

9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 24.

10 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 300.

11 Cholid Narbuko, Abu Achmadi., Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 116.

(11)

mengetahui proses pembelajaran yang dilakukan sehingga dapat diperoleh data yang diinginkan.

b. Wawancara

Teknik wawancara dilakukan oleh penulis kepada beberapa narasumber dengan melakukan tanya jawab dengan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh penulis sehingga data yang ingin diperoleh bisa didapatkan. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara kepada pengajar di Pawiyatan Padharasa Salatiga dan beberapa tokoh budayawan Jawa Tengah di Salatiga dan sekitarnya.

c. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data yang merupakan catatan peristiwa yang sudah berlaku. Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.12 Dokumentasi ini dilakukan penulis untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan pembelajaran yang dilakukan dalam Pawiyan Padharasa Salatiga dan hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini.

d. Tinjauan Literatur

Penulis membaca beberapa buku untuk menunjang penelitian sehingga mendapatkan data yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

5. Uji Keabsahan

Dalam uji keabsahan data, penulis menggunakan metode kredibilitas data. Yaitu dengan menggunakan verivikasi dengan berbagai informan. Verivikasi dilakukan dengan cara recheck dan crosscheck tentang hal yang penulis teliti. Di sini penulis meneliti

12 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,2010), h. 329

(12)

tentang Budaya Jawa sebagai media penanaman nilai akhlak dalam Pawiyatan Padharasa Salatiga.

Untuk mencapai kredibilitas data yang diinginkan, penulis menggunakan uji keabsahan data dengan teknik triangulsi. Yaitu teknik uji keabsahan dengan pengecekan dari sumber data, teknik pengumpulan data, dan waktu pengumpulan data.13

Dari teknik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Triangulasi sumber, yaitu pengecekan data yang telah diperoleh.

Data yang telah diperoleh kemudian ditinjau kembali dengan sumber yang membantu dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis meninjau data yang diperoleh kepada pelatih dan peserta Pawiyatan Padharasa Salatiga serta beberapa tokoh budayawan yang ada di Salatiga dan sekitarnya.

b. Triangulasi teknik, yaitu pengecekan yang dilakukan kepada sumber data dengan cara teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan literatur. Sehingga data yang telah dikumpulkan menggunakan teknik tersebut ditinjau kembali hingga mendapatkan data yang berhubungan dengan tema penelitian yang dilakukan oleh penulis.

c. Triangulasi waktu, yaitu pengecekan data dengan melakukan peninjauan data dengan waktu yang berbeda.

6. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data kualitatif, dan data kualitatif bersifat induktif. Dimana data kualitatif induktif adalah suatu analisis yang berdasarkan data yang telah diperoleh yang kemudian dikembangkan pola hubungannya atau bisa

13 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 372.

(13)

disebut dengan hipotesis. Dari hipotesis tersebut kemudian dicari datanya sehingga hipotesis tersebut dapat ditolak atau diterima. Bila menggunakan teknik trianguasi data, hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.14

Teknik analisis data yang digunakan menggunakan teknik analisis Miles Huberman.15 Yaitu dengan cara:

a. Data Reduction (reduksi data), yaitu dengan memilah data yang penting mencari tema dan pola yang akan digunakan kemudian membuang yang tidak perlu.

b. Data Display (penyajian data), yaitu data yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori.

c. Conclusion Drawing (verivikasi), yaitu penarikan kesimpulan.

Data yang telah diperoleh kemudian ditarik kesimpulan sehingga data yang telah dikumpulkan dari berbagai teknik pengumpulan data yang digunakan dapat memberikan kesimpulan akhir mengenai tema penelitian tentang Budaya Jawa sebagai media penanaman nilai akhlak.

G. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini ada beberapa penelitian yang relevan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Kemudian berikut ini adalah beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis:

1. Skripsi yang berjudul “Nilai Mistik Budaya Jawa Dalam Memperingati Hari Kematian” ditulis oleh Sri Lestari Fakultas

14 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 345.

15 Laxy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja RosdaKarya Offset, 1996), h. 130.

(14)

Ushuludin Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung pada tahun 2017. Dalam skripsi ini membahas tentang proses dan nilai filosofis dalam tradisi Jawa dalam memperingati hari kematian yang berada di desa Sumber Agung kecamatan Muara Sungkai kabupaten Lampung Utara.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis meneliti tentang penanaman nilai akhlak melalui Budaya Jawa dalam Pawiyatan Padharasa Salatiga.

2. Skripsi yang berjudul “Kesenian Gamelan sebagai Media Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat Papringan Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta” yang ditulis oleh Barirotus Sa’adah tahun 2013 jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam skripsi ini menitik beratkan pada masyarakat Papringan Yogyakarta dan gamelan sebagai media transformasi nilai pendidikan agama Islam.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis meneliti tentang penanaman nilai akhlak melalui Budaya Jawa dalam Pawiyatan Padharasa Salatiga.

3. Jurnal yang berjudul “Model Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Pemanfaatan Upacara Ritual” yang ditulis oleh Nuryani Tri Rahayu, Setyarto, dan Agus Efendi dan diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Veteran Bangun Nusantara, Vol. 12, No. 1 pada tahun 2014, penulis bertujuan untuk mengembangkan model pewarisan nilai-nilai Budaya Jawa melalui pemanfaatan upacara ritual dengan maksud agar nilai-nilai Budaya Jawa dapat kembali menjadi filosofis dan mewujud dalam perilaku hidup masyarakat Jawa.

(15)

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis meneliti tentang penanaman nilai akhlak melalui Budaya Jawa dalam Pawiyatan Padharasa Salatiga.

4. Dalam salah satu materi Seminar Nasional yang dilakukan di Universitas Negeri Yogyakarta pada tanggal 23 Juli 2011 dan materi dalam seminar tersebut dicetak oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, pemateri Sukinah memberikan materi yang berjudul “Seni Gamelan Jawa sebagai Alternatif Pendidikan Karakter bagi Anak Autis di Sekolah Luar Biasa”. Materi ini dibuat berlandaskan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal 3. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis meneliti tentang penanaman nilai akhlak melalui budaya dalam Pawiyatan Padharasa Salatiga.

5. Dalam suatu skripsi yang berjudul “Analisis Budaya Jawa Pada Kehidupan “Priyayi” Dalam Novel Canting Karya Arswondo Atmowiyoto” yang ditulis oleh Ninik Setyarini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyah Malang pada tahun 2014, berisi tentang kehidupan pribadi, sosisal, dan religi seorang priyayi dalam novel Canting karya Arswondo Atmowiyoto.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis meneliti tentang penanaman nilai akhlak melalui budaya dalam Pawiyatan Padharasa Salatiga.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi ke dalam lima bab dan setiap bab terdiri dari sub bab, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

(16)

Meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Landasan Teori

Meliputi: Hubungan PAI, Pendidikan Nasional, dan Kebudayaan, Pendidikan Akhlak dan Akhlak dalam Budaya Jawa

BAB III Profil Sanggar

Meliputi: Pembentukan Sanggar, Badan Hukum dan Badan Kepengurusan Sanggar, Jadwal Kegiatan dan Program Kegiatan.

BAB IV Hasil Penelitian

Meliputi: Penanaman Pendidikan Akhlak, BAB V PENUTUP

Merupakan Penutup dari pembahasan penelitian ini yang berisi kesimpulan dan saran/rekomendasi.

(17)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hubungan Pendidikan Nasional, PAI, dan Kebudayaan 1. Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Nasional

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata didik, yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntutan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.1 Menurut John Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.2

Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.3

Sedangkan Pendidikan Nasional yang kita miliki, memiliki pengertiannya sendiri. Dimana “Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional.”4 Dalam hal ini, sistem

“Pendidikan Nasional tersebut merupakan suatu suprasistem, yaitu suatu sistem yang besar dan kompleks, yang di dalamnya mencakup beberapa bagian yang juga merupakan sistem-sistem.”5 Pendidikan Nasional yang kita miliki adalah pendidikan yang kurikulum serta

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 2003), h. 263

2 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 2

3 Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), h. 4

4 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 38.

5 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 124.

(18)

proses penyelenggaraan pendidikannya telah diatur dalam undang- undang (UU) pendidikan. Dalam undang-undang tersebut telah ditetapkan tata cara dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. “Hal ini terangkum dalam pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam undang-undang.”6

Fungsi Pendidikan Nasional juga telah ditetapkan dalam undang- undang dimana fungsinya yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan cakap.7 Oleh karenanya, pendidikan sangat berpengaruh bagi manusia. Dimana watak, akhlak, dan kepribadian kita dapat terbentuk dari pendidikan yang diberikan. Dan dari pendidikan yang telah diterima tersebut, maka peserta didik akan mengetahui dimana letak minat dan bakatnya sehingga minat dan bakat tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing individunya.

Dari pengertian pendidikan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa Pendidikan Nasional adalah segala sesuatu yang mencakup kegiatan pendidikan yang dalam proses penyelenggaraannya telah diatur oleh undang-undang pendidikan dan sistem pendidikan yang dilakukan haruslah mencapai tujuan Pendidikan Nasional.

6 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 130.

7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 38.

(19)

Ki Hajar Dewantara mengemukakan Rumusan Pendidikan Nasional yaitu: “... Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.”8

Kemudian dasar Pendidikan Nasional terdapat pada serangkaian undang-undang tentang pendidikan. Sebagai salah satunya yaitu Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, yang berbunyi:

Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya, serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional, dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.9

Sedangkan tujuan Pendidikan Nasional dilihat dari dasar Pancasila dan UUD 1945 yang terangkum dalam UU No. 3 tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi, “Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”10

8 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 210.

9 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), h. 139.

10 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2013), h. 75.

(20)

2. Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

Dalam ilmu pendidikan, agama Islam juga memiliki makna tersendiri mengenai pendidikan. Sehingga ilmu yang dipelajari disebut dengan Pendidikan Agama Islam (PAI).

Pengertian PAI dari segi bahasa mempunyai beberapa istilah yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam kata pendidikan itu, menurut Hasan Langgulung bisa diartikan (pendidikan), (pengajaran), bisa juga diartikan dalam kata (pendidik).11

Dari tinjauan terminologi, ada beberapa istilah yang menerangkan tentang pendidikan. Di antaranya adalah tarbiyah, ta’lim, ta`dib, riyadhah. Al Abrasyi memberikan pengertian bahwa tarbiyah adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.12

Menurut Prof. Yusuf Qardhawi pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmanina; akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup lebih baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.13

11 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1998), cet Ke-2, h. 4

12 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 16.

13 Ridjaluddin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka, 2008), h. 2.

(21)

Kemudian pendidikan Islam menurut Zakiyah Drajat yaitu pendidikan Islam lebih banyak diarahkan pada perbaikan sikap mental yang terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, baik bersifat teoritis maupun praktis.14 Di dalam ilmu pendidikan, kita mengenal istilah belajar sepanjang hayat atau pendidikan seumur hidup. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagai manusia kita harus melakukannya secara terus-menerus sampai kita tidak lagi bernafas.15

Sebagaimana di dalam objek ilmu pendidikan, kita mengenal istilah maha luas. Yang mana dalam pengartiannya yaitu pendidikan yang dilakukan tidak terbatas dalam satu jenis lingkungan hidup manusia.16 Sehingga dapat kita artikan bahwa pendidikan tidak hanya mencakup dalam suatu susunan masyarakat tertentu. Kita dapat melakukan serta menerima sebuah pendidikan dari luar lingkungan pribadi kita. Meski berbeda budaya, ras, dan agama. Karena pada hakikatnya, kita dapat melakukan pendidikan tanpa terkekang oleh waktu dan tempat.

Konsep pembelajaran dan pendidikan yang telah disebutkan tadi juga dikenal dalam PAI, sebagaimana dengan istilah yang sering didengar sebagai berikut:

ِد ْحَلْلا ىَلِإ ِدْهَمْلا َنِم َمْلِعْلا ُبُلْطُأ

“Tuntutlah ilmu dari buaian sampai meninggal dunia”

14 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h.

18.

15 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 64.

16 Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2012), h. 46.

(22)

Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar secara formal dan informal. Dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.

Dari berbagai pengertian tentang pendidikan dan pendidikan Islam di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan agama Islam merupakan suatu disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik melalui pengajaran, pembinaan, penanaman untuk mencapai tujuan pembelajaran yang di antaranya adalah menjadikan anak didik sebagai insan kamil dan berakhlak mulia dimana pembelajarannya dilakukan di mana saja dan kapan saja tanpa terkekang oleh tempat dan waktu.

Pada dasarnya konsep ilmu dalam Islam dan nasional tidaklah jauh berbeda. Hanya saja di dalam PAI memiliki beberapa landasan yang di dalam Pendidikan Nasional tidak memilikinya.

Ilmu-ilmu keislaman tidak positivistik, melainkan menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual dan bahkan intuitif, sesuai dengan objek yang dikaji. 17 Selain itu, ilmu yang dijadikan pendidikan dalam Islam haruslah berdasar pada Al-Qur`an, As- Sunnah, pemikiran Islam, sejarah Islam, dan realitas kehidupan.18 Dari beberapa dasar pendidikan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Al-Qur`an

Umat Islam sebagai suatu umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab suci yang berisi petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal sudah tentu menggunakannya

17 Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 241.

18 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 19.

(23)

sebagai dasar pendidikan mereka yang mana falsafah hidupnya berdasar pada Al-Qur`an.19

Salah satu dasarnya dapat dilihat dalam Al-Qur`an surat at taubah ayat 122 sebagai berikut:

َو َم َك ا َنا ُم ْلا ِم ْؤ ْو ُن ِل َن َي ْن ُر ِف ْو َك ا َفا ة َف ْو َل َل

ََ

َر َف ِم ْن ِف ل ُك ْر ة َق

ِم ُه ْن ْم ِئا َط َف ِل ة َي َت ُهق َف ْو ِف ا ْيدلا ى ِن َو ِل ُي ْن ُر ِذ ْو َق ا َم ْو ُه ِإ َذ ْم َر ا َج ُع ْو ا

ِإ َل ِه ْي ْم َع َل ُهل ْم َي ْح ُر َذ ْو َن :ةبوتلا(

122 )

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya” (QS. At Taubah [9]: 122)

b. As-Sunnah

As-Sunnah bermakna seluruh sikap, perkataan, dan perbuatan Rasulullah. Yaitu merupakan sumber ketentuan Isla kedua setelah Al-Qur`an, yang merupakan penguat dan penjelas dari berbagai persoalan baik yang ada dalam Al-Qur`an maupun dalam kehidupan sehari-hari yang dipraktikkan oleh Rasulullah.20 Maka dari itu, As-Sunnah dijadikan sumber pokok kedua oleh umat Islam dalam memecahkan suatu persoalan.

Sehingga dalam pendidikan pun As-Sunnah dijadikan sebagai salah satu dasar pokok dalam penentuan persoalan pendidikan.

Selain itu, telah dijelaskan pula dalam Al-Qur`an sebagai berikut:

19 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 122.

20 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 19.

(24)

َالله وُج ْرَي َناَك ْنَمِل ةَنَسَح ة َوْسُأ ِالله ِلوُس َر يِف ْمُكَل َناَك ْدَقَل ( ا ريِثَك َالله َرَكَذ َو َر ِخٰ ْلْا َم ْوَيْلا َو 21

)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Dari ayat tersebutlah dapat kita mengerti bahwa penanaman akhlak yang menjadi tujuan utama Pendidikan Islam dapat diterapkan melalui sebuah keteladanan.

c. Pemikiran Islam

Pemikiran Islam adalah penggunaan akal budi manusia dalam rangka memberikan makna dan aktualisasi terhadap berbagai ajaran Islam yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman yang muncul dalam kehidupan umat manusia dalam berbagai persoalan untuk mendapatkan solusinya. 21 Pemikiran Islam diambil dari perkataan, perbuatan, sikap para sahabat Nabi dan juga dari ijtihad yang telah ditetapkan. 22 Dari pemikiran-pemikiran Islam yang telah dijadikan acuan sebagai penetapan pemecahan suatu persoalan, maka dalam pendidikan juga menggunakan pemikiran Islam sebagai dasarnya. Seperti pada saat setelah Nabi dan para Khalifah telah wafat, ilmuan muslim menggunakan pemikirannya untuk mencapai kesepakatan yang akhirnya dijadikan dasar dalam pemecahan suatu persoalan.

21 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 20.

22 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 127.

(25)

d. Sejarah Islam

Sejarah Islam merupakan dinamika kehidupan dan hasil karya masa lampau yang pernah dan terus dikembangkan dalam kehidupan umat Islam.23

e. Realitas Kehidupan

“Realitas kehidupan merupakan bagian pentng yang harus dicermati dalam rangka pengembangan pola pendidikan yang dikehendaki.”24 Dapat dikatakan dengan sebutan urf atau adat istiadat dalam masyarakat. Dimana M Al Sahad al-Jundi menjelaskan bahwa urf adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa berupa hal-hal yang berulang-ulang dilakukan rasional menurut tabiat yang sehat.25 Namun tidak semua adat istiadat dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam. adat tersebut haruslah memenuhi kriteria sehingga dapat diterima sebagai dasar. Kriteria tersebut antara lain:

1) Tidak bertentangan dengan ketentuan nash baik Al-Qur`an maupun As-Sunnah

2) Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudharatan.26

Apabila poin-poin tersebut dilanggar, maka akan terjadi involusi ajaran moral atau etika sosial. Dimana involusi terhadap moral dan etika adalah kemandegan terhadap ajaran moral dan etika sosial. Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi faktor terjadinya involusi moral. Yaitu, “pertama,

23 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 20.

24 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 20.

25 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 130.

26 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 130.

(26)

kehidupan masyarakat yang semakin pluralistik. Kedua, terjadinya berbagai transformasi dalam kehidupan masyarakat.”27

Keadaan yang pertama yang mengatakan bahwa kehidupan masyarakat yang semakin pluralistik adalah dimana tatanan masyarakat sekarang ini sangatlah beragam. Kita tidak dapat mengendalikan siapa saja yang akan masuk dalam masyarakat kita. Sehingga nilai-nilai moral dan etika menjadi heterogen yang berimbas pada pola pikir masyarakat itu sendiri yang kemudian dalam masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam pola pikir tidak dapat menentukan mana nilai yang akan diikuti.

Keadaan yang kedua yaitu terjadinya transformasi dalam kehidupan masyarakat itu dipengaruhi juga oleh keadaan yang sebelumnya. Dimana transformasi atau perubahan yang terjadi dapat mengarah kepada hal yang lebih baik atau sebaliknya.

Sehingga apabila poin-poin yang seharusnya menjadi tolak ukur penentuan dasar urf dalam pendidikan tidak terpenuhi, maka hal seperti involusi moral dan etika sosial ini akan terjadi dalam masyarakat yang sebelumnya memegang teguh nilai budaya.

Karena manusia juga memiliki kedudukan dalam kebudayaan, maka manusia juga sangat berpengaruh dengan budaya yang ada. Kenyataan bahwa manusia sebagai penganut, pembawa, manipulator, dan pencipta dari kebudayaan maka pengaruhnya sangatlah besar.28 Maksud dari manusia sebagai penganut adalah manusia sebagai pelaku dari budaya itu sendiri.

27 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 101.

28 Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010), h. 21.

(27)

Kemudian pembawa adalah apabila seseorang membawa sebuah kebudayaan dari luar dan datang ke dalam suatu masyarakat, maka orang tersebut disebut sebagai pembawa kebudayaan.

Manusia sebagai manipulator kebudayaan adalah seseorang yang melakukan tindakan yang mengatas namakan budaya namun sebenarnya tidak sesuai dengan budaya aslinya. Dan manusia sebagai pencipta kebudayaan adalah manusia yang mendorong manusia lain untuk melakukan kebudayaan yang sudah ada atau menciptakan budaya baru secara masif.

Kemudian dalam tujuan penyelenggaraan PAI ada beberapa pernyataan yang harus dibahas.

Melihat keterangan Albert Einstein yang dikutip oleh Mohammad Hatta bahwa pikiran yang menciptakan ilmu dikontrol oleh hati yang memeluk perasaan beragama, yang memberikan dasar etik kepada pemakaian pendapat-pendapat ilmu dalam praktik hidup.29 Sedangkan pendidikan sendiri adalah upaya pengembangan potensi atau sumber daya insani berarti telah mampu merealisasikan (self realisation), menampilkan diri sebagai pribadi yang utuh (pribadi muslim). 30 Sehingga dapat diperjelas bahwa tujuan mempelajari ilmu, ilmu haruslah sejalan dengan tujuan agama. Yaitu mencapai kesejahteraan umat manusia. “Ilmu adalah alat, sedangkan tujuannya adalah mencapai kemakmuran jasmani dan rohani.”31

Namun menurut Hasan Langgulung, apabila kita melihat tujuan khusus dari PAI adalah32:

29 Mohammad Hatta, Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan, (Jakarta:

Pembangunan Djakarta, 1959), h. 46 .

30 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 137.

31 Endang Saifuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1979), h. 148.

32 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 140-141.

(28)

a. Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah Islam b. Menumbuhkan kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap

agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar akhlak yang mulia c. Menanamkan keimanan kepada Allah Pencipta Alam, kepada

malaikat, rasul-rasul, kita-kitab dan hari kiamat berdasarkan pada paham kesadaran dan perasaan

d. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada Al-Qur`an, membacanya dengan baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya

e. Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya serta mengikuti jejak mereka f. Mendidik naluri, motivasi dan keinginan generasi muda dan

menguatkannya dengan akidah dan nilai-nilai

g. Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, hasad, iri hati, benci, kekerasan, egoisme, tipuan, khianat, nifak, raga, serta perpecahan dan perselisihan.

3. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata budaya, dimana budaya oleh Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen diartikan sebagai produk dari kognisi (kesadaran) yang muncul dalam berbagai bentuk, seperti norma, keyakinan, pendapat, nilai, dan sebagainya.33

Mengetahui masalah budaya, maka akan ada peninggalan kebudayaan yang biasa disebut dengan folklor. Folklor yaitu suatu kebudayaan kolektif yang tersebar yang diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam

33 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.

23.

(29)

versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun disertai dengan contoh gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.34

Kebudayaan tidak lepas juga dengan antropologi, sehingga kajian yang dibahas akan menjadi antropologi budaya. Dan meminjam pengertian dari luar mengenai antropologi budaya yaitu, cultural anthropology deals with the description and analysis of the forms and styles of social life of past and present ages.35 Yang kemudian diartikan bahwa antropologi budaya berhubungan dengan deskripsi dan analisis dari berbagai bentuk dan gaya dari kehidupan sosial dahulu dan sekarang.

Kemudian dalam ilmu budaya (humaniora) budaya disebut sebagai ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup etika, logika, estetika, pendidikan pancasila, pendidikan kewarganegaraan, agama dan fenomenologi.36

Sehingga budaya merupakan sebuah sistem informasi dan bermakna khusus, dipakai bersama-sama oleh manusia dan diwariskan secara turun temurun yang memungkinkan sekelompok orang memenuhi kebutuhan hidupnya untuk bertahan hidup, mencapai kebahagiaan, dan kesejahteraan memperoleh kebermaknaan dalam hidup.37 Seperti yang dikatakan oleh Marshall mengenai kebudayaan, cultures are human adaptation. Culture as a design for society’s continuity, stipulates its environment.38 Yang

34 James danandjaya, Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain), (Jakarta: Pustaka Utama, 1991), h. 2

35 Marvin Harris, Culture Man and Nature, (New York: Thomas Y. Crowell, 1971), p. 1.

36 Mahmud, dkk., Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya, (Bandung: Remaja RosdaKarya Offset, 2015), h. 59.

37 Sarlito w. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.

23.

38 Sol Tax, (ed), Horizons of Anthropology, (Chicago: Aldine Publishing Company, 1967), p. 132.

(30)

maksudnya yaitu, budaya adalah sebuah adaptasi manusia. Budaya dijadikan sebuah disain untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat dan menetapkannya dalam lingkungan hidup. Dapat dikatakan juga bahwa budaya sangat berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai acuan dalam bersosial sehingga hakikat manusia sebagai makhluk sosial dapat terpenuhi. Dan dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sarana yang perwujudannya secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya tujuan manusia.39

Malinowski dalam Koentjaraningrat menyatakan bahwa fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan pranata-pranata sosial dibedakan dalam empat tingkat abstraksi:40

a. Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain- lain.

b. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efek terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh masyarakat yang bersangkutan.

c. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh

39 Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kenana Prenada Media Group, 2010), h. 24.

40 James danandjaya, Kebudayaa Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 21.

(31)

atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

d. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi keempat mengenai pengaruh atau efeknya mengenai segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan leluhur kehidupannya.

Selanjutnya, isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri atas beberapa unsur. Yaitu, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.41 Dari beberapa unsur tersebut kita dapat mengetahui bahwa kebudayaan mengatur beberapa sistem yang ada dalam masyarakat. Dan kebudayaan terbentuk oleh nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Yang di Indonesia sendiri

Kemudian dalam pembahasan kebudayaan, tentunya akan dibahas pula mengenai kebudayaan tradisional. Yang mana maksud dari “kebudayaan tradisional adalah kebudayaan yang memiliki ciri- ciri umum antara lain mengenai nilai-nilai yang dipakai, yaitu nilai keagamaan merupakan nilai tertinggi yang amat dihormati. Nilai-nilai yang digunakan adalah terikat dan terpusat dari kelompok masyarakat sebagai manifestasi keluhuran dari apa yang dipercayai.”42

Budaya juga berperan dalam perilaku. Hal ini dapat berpengaruh pada self-concept yaitu ide atau citra tentang diri sendiri dan alasan di

41 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 191.

42 Mattulada, Masyarakat dan Kebudayaan Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemarjan, (Jakarta: Djambatan, 1988), h. 388.

(32)

balik berbagai perilaku yang kita munculkan.43 Sehingga nilai atau norma yang ada dalam suatu budaya akan tercermin dari tingkah laku seseorang. Dan dalam tingkah laku tersebut kita dapat menyimpulkan kepribadian apa yang dimiliki oleh seseorang terkait dengan budayanya.

Dalam hidup berbudaya maka manusia akan menggunakan instingnya sebagai makhluk sosial. Dimana semua perilaku dan perbuatan yang dilakukan dengan tanpa sadar sebagai bentuk dalam memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan nilai-nilai dan norma- norma yang ada dalam budaya masyarakat tersebut. Seperti yang dikatakan oleh james P. Spradley bahwa culture is the acquired knowledge that people use to interperet expeience and to generate social behavior. 44 Yaitu kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh yang digunakan penduduk untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.

Maka manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang terdapat dalam beragam aktivitas dan lingkungan sosial. Alasannya adalah kegiatan tunduk pada aturan, mengharap penilaian dari orang lain, kebutuhan interaksi dengan orang lain akan berkembang jika hidup di tengah-tengah masyarakat. 45 Sehingga dalam tingkah lakunya manusia akan melakukan kegiatan sosial dalam masyarakat dengan pertimbangan agar sesuai dengan etika masyarakat tersebut.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa budaya juga dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. Budaya yang berbeda akan

43 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.

69.

44 Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kenana Prenada Media Group, 2010), h. 24.

45 Mahmud, dkk., Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya, (Bandung: Remaja RosdaKarya Offset, 2015), h. 73.

(33)

membentuk watak dan sifat yang berbeda pula. Dan untuk mencapai kepribadian yang berdasar pada budaya, maka manusia akan melakukan sosialisasi dengan budayanya tersebut. “Sosialisasi merupakan proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial.”46 Dari proses sosialisasi tersebut maka akan terbentuk kepribadian seseorang yang berdadasar pada kebudayaan.

Kepribadian yang oleh Nursid Sumaatmaja diartikan sebagai keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi bio-psiko-fisikal yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya jika mendapat rangsangan dari lingkungan. 47 Oleh karenanya pribadi seseorang pasti akan mencerminkan dari mana ia berasal dan seperti apa nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakatnya entah terlihat dari tutur bahasa atau tindakannya.

Kemudian ketika manusia sudah melakukan tugasnya sebagai makhluk sosial yang menggunakan budayanya sebagai cerminan tingkah laku, maka manusia akan disebut sebagai makhluk budaya,

“yaitu manusia yang berada pada siklus idea atau pengetahuan bersama yang menjadi acuan dalam melaksanakan aktivitas bersama, melahirkan materi kebudayaan bersama atau pribadi yang merupakan pengembangan dari dorongan budaya di berbagai sektor kehidupan

46 Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: Refika Aditama, 2008), h.

167.

47 Mahmud, dkk., Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya, (Bandung: Remaja RosdaKarya Offset, 2015), h. 69.

(34)

keagamaan, keilmuan, peralatan hidup, organisasi sosial, bahasa, dan komunikasi serta kesenian.”48

Sehingga dapat kita ketahui bahwa kebudayaan merupakan nilai- nilai atau norma-norma yang ada dalam satu tatan masyarakat tertentu sebagai patokan hukum atau kriteria dalam bertingkah laku yang dapat mencerminkan kepribadian dari seseorang sehingga ia dapat melakukan hakikatnya sebagai makhluk sosial yang kemudian dengan melakukan kegiatan budaya seperti penerapan etika, estetika, logika, agama, dan pendidikan dalam bersosialisasi di tengah masyarakat sehingga kemudian ia disebut sebagai makhluk budaya yang melakukan kegiatan kebudayaan itu sendiri.

4. Peran PAI dalam Pendidikan Nasional

Terdapat beberapa pengaruh timbal balik antara PAI dengan Pendidikan Nasional yaitu di antaranya adalah:

a. Peran PAI sebagai salah satu mata pelajaran pokok yang ada dalam kurikulum sekolah PAI berperan penting. Yaitu, dapat mempercepat tercapainya proses tujuan Pendidikan Nasional.49 Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 yang menyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.50 Yang mana tujuan dari Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

48 Rusmin Tumanggor, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 15.

49 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 42.

50 Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 215.

(35)

b. Peran PAI memberikan nilai terhadap mata pelajaran umum.

Seperti yang diketahui bahwa mata pelajaran umum menggunaka filsafat Barat yang tidak memikirkan kepentingan tujuan akhirat. Maka dalam hal ini, PAI berperan sebagai pemberi nilai keagamaan sehingga nilai-nilai ajaran Islam dapat diinternalisasikan dalam proses belajar mengajar bersama peserta didik.51

Dari poin-poin yang disebutkan di atas, sudah tentu bahwa PAI memiliki kedudukan yang penting dalam Pendidikan Nasional di Indonesia.

5. Hubungan Pendidikan Nasional, PAI, dan Kebudayaan

Dilihat dari peran dan tujuannya, Pendidikan Nasional dan PAI sangatlah berhubungan. Dimana PAI sebagai mata pelajaran berperan sebagai pendorong tercapainya tujuan nasional dan sebagai penguatan materi mata pelajaran umum yang belum berlandaskan ajaran Islam sehingga nilai-nilai keagamaan tidak terangkum di dalamnya.

Hubungan ini sangat terlihat ketika kita melihat tujuan Pendidikan Nasional dan PAI. Yang mana dalam tujuan Pendidikan Nasional sangat jelas dituliskan bahwa negara ingin mencetak generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Yang mana dalam PAI sendiri secara otomatis akan diajarkan bagaimana menjadi sosok yang memiliki akhlak yang baik dan taat kepada Tuhan. Karena tujuan dari PAI sendiri adalah untuk menjadikan seseorang menjadi pribadi muslim. Yang salah satu

51 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 45.

(36)

tujuan umum PAI yang dikemukakan oleh Al-Abrasyi adalah “untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia.”52

Dari ketetapan UU No. 20/2003 tentang tujuan Pendidikan Nasional juga sudah jelas bahwa tidak ada alasan lagi untuk tidak menggunakan pendidikan keimanan dan ketakwaan (PAI) sebagai sistem, kurikulum, program, dan kegiatan Pendidikan Nasional.

Kemudian hubungannya dengan kebudayaan adalah, bahwa salah satu dasar dari PAI adalah urf atau adat istiadat. Sehingga keduanya saling berkaitan. Dimana dalam tujuan PAI dan Pendidikan Nasional yang mengatakan ingin menjadikan seseorang beriman dan berakhlak mulia, dapat dilihat dari budaya yang ada dalam masyarakat.

Dalam ayat Al-Qur`an juga dijelaskan mengenai urf. Yaitu terdapat dalam surat Al-A’raf [7]: 199 sebagai berikut:

ُخ ِذ َع ْلا َو ْف َو ْأ ُم ِب ْر َع ْلا ْر َو ِف

َأ ِر ْع َع ْض ِن َج ْلا ِها ِل ْي َن ( 199 )

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7]: 199) Dalam ayat tersebut mengandung kata ‘urf. Kata

(فرعلا)

al-‘urf

sama dengan kata

(فورعم)

ma’ruf, yakni sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ia adalah kebajikan yang jelas dan diketahui semua orang serta diterima dengan baik oleh manusia-manusia normal. Ia adalah yang disepakati sehingga tidak perlu didiskusikan apalagi diperbantahkan.53

52 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 137.

53 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h.

429.

(37)

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa ketiga unsur antara Pendidikan Nasional, PAI, dan kebudayaan saling berkaitan. Hal itu pula telah dikuatkan dalam ayat di atas yang mengatakan bahwa urf juga disebut dengan ma’ruf, yang mana artinya sendiri adalah kebaikan.

Maka urf atau adat atau kebudayaan yang dapat dijadikan dasar dalam pendidikan adalah adat atau kebudayaan yang sesuai dengan kebaikan menurut agama.

Sehingga kepribadian yang dipengaruhi oleh adat atau budaya tersebut akan terbentuk sesuai dengan kepribadian atau akhlak yang diinginkan oleh negara dan agama. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sarana kebudayaan itu sendiri adalah perwujudan secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya tujuan manusia. Yang mana dalam budaya masyarakat yang kita ada di dalamnya akan menentukan baik buruk dari tingkah laku kita. Sehingga bagaimana tujuan dari PAI dan Pendidikan Nasional akan terwujud juga akan berpengaruh.

B. Pendidikan Akhlak dan Akhlak dalam Budaya Jawa 1. Pengertian dan Dasar Pendidikan Akhlak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan dengan budi pekerti, kelakuan.54 Sedangkan dalam ilmu psikologi, kata akhlak dikenal dengan sebutan moral yang berasal dari bahasa Latin yang berarti kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan.55

54 Quraisy Shihab, Yang Hilang Dari Kita AKHLAK, (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2017), hlm. 3.

55 Mohammad Ali, PSIKOLOGI REMAJA Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta:

PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 136.

(38)

Akhlak juga biasa disamakan dengan kata etika. Dimana etika sendiri memiliki arti sistem nilai dalam pandangan sosiologi.

Yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan hidup atau sebagian pedoman penilaian baik-buruknya perilaku manusia, baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat.56 Dari pengertian tersebut dapat kita ambil contoh misalnya adalah etika Jawa. Etika Jawa berlaku bagi masyarakat Jawa. Dan etika yang dilakukan oleh masyarakat Jawa belum tentu sama dengan apa yang diterapkan oleh masyarakat Sunda atau yang lainnya. Maka dari itu etika atau sistem nilai yang dijadikan sebagai patokan atau dasar dari suatu tatanan masyarakat berbeda- beda.

Seperti halnya dalam sosiologi, ilmu akhlak juga menerangkat bahwa akhlak memiliki makna yang sama dengan etika. Dimana makna etika dalam ilmu akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan sesuatu yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan oleh manusia.57 Dalam penerapan kehidupan sehari-hari, etika dilakukan oleh manusia guna memberikan sikap sopan santun sesuai dengan norma sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Dan seperti yang kita ketahui bahwa etika di setiap kelompok masyarakat berbeda satu dengan yang lainnya. Bisa jadi etika kita diangap buruk oleh suatu tatanan masyarakat tertentu karena etika yang kita anggap benar ternyata sangat bertentangan dengan etika yang seharusnya dilakukan dalam masyarakat tersebut.

56 J. Sudarminta, Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 3.

57 Ahmad Amin, ETIKA (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT Karya Unipress, 1988), hlm. 3.

(39)

Begitu pula dengan etika, moral yang dikenal dalam ilmu psikologi pun memiliki arti yang sama. Dimana moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu, kelompok, atau masyarakat.58

Sekarang, bagaimana kita mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang itu adalah baik atau buruk. Bila kita berfikir secara kasat mata, kebaikan dan keburukan dapat kita nilai masing-masingnya sesuai sudut pandang dari si penilai. Namun ada pula kebaikan dan keburukan yang dinilai mutlak bahwa itu adalah sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk. Semisal, ada seorang pembunuh, maka sudah jelas bahwa perbuatan itu adalah hal buruk. Sebuah dosa besar dan akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam. Begitu pula apabila ada seseorang yang berbuat jujur dan menegakkan keadilan. Maka perbuatan orang tersebut sudah pasti dipandang baik oleh orang lain.

Kembali kepada pertanyaan sebelumnya, bagaimana cara kita memandang hal baik dan buruk ? Ulama Mu’tazilah menegaskan bahwa yang baik adalah apa yang dianggap akal baik dan yang buruk adalah yang buruk dalam pandangan akal.59 Sesuai dengan penjelasan yang telah dipaparkan, pandangan dari ulama Mu’tazilah ini dapat diterima oleh akal kita. Dimana dalam memandang suatu hal, kita akan berfikir menggunakan akal.

Namun, pandangan baik dan buruk kita pasti sesuai dengan keadaan budaya sekitar kita. Kita akan mengatakan bahwa

58 Mohammad Ali, PSIKOLOGI REMAJA Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta:

PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 144.

59 Quraisy Shihab, Yang Hilang Dari Kita AKHLAK, (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2017), hlm. 55.

(40)

mencium telapak kaki orang tua adalah tabu, tetapi bagi masyarakat di India mencium telapak kaki orang tua adalah sebuah penghormatan kepada mereka. Seperti halnya apabila kita mencium tangan orang tua, mungkin di masyarakat lain yang tidak terbiasa dengan mencium tangan orang tua, kegiatan tersebut akan dipandang aneh dan mengganggu.

Pandangan baik buruk perilaku seseorang dapat dilihat pula dari bentuk tanggung jawabnya atas segala perilaku yang ia lakukan. Dengan penunjukan tanggung jawab yang baik, maka orang tersebut akan dianggap memiliki akhlak yang baik pula.

Seperti yang dikatakan dalam ungkapan orang Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggung jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.60 Maka dapat dipahami pula bahwa seseorang yang memiliki tanggung jawab yang baik, maka orang tersebut memiliki akhlak yang baik. Karena tanggung jawab merupakan salah satu akhlak yang terpuji.

Dari beberapa cara pandang baik dan buruk tersebut, dapat disimpulkan bahwa pandangan baik dan buruk bisa kita gantungkan pada akal kita yang mengatakan apakah hal tersebut baik atau buruk, dan pandangan kita tersebut pasti dipengaruhi oleh keadaan masyarakat dan budaya dimana kita berada.

Selanjutnya, kini setelah mengerti akhlak itu mencakup hal kebaikan, maka kita perlu menanamkan kepada seseorang

60 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 113.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Saragihras dari perintah Saleh Umar itu, raja-raja yang dianggap penghalang kemerdekaan yang harus dihabisi adalah Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, pemangku

Magang dilakukan dalam bentuk tim berisi maksimal 5 (lima) orang mahasiswa. Klien magang proyek berbadan hokum. Tema magang proyek terkait dengan tema Ilmu Komunikasi

Karena itu, tujuan studi adalah melakukan analisis energi dan eksergi pada sistem HTGR siklus turbin uap untuk mengetahui kerugian/ kehilangan panas yang terjadi

Hal ini dapat dilihat mulai dari Undang-undang No 14 Tahun 1967 dalam Pasal 1 menyebutkan Pengertian bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit

Menerusi pengenalpastian interaksi intelek dan dengan mengetahui jaringan interaksi tersebut dapat membantu mengesan saintis agronomi dan doktor perubatan yang

Ayat di atas menguraikan bahwa Allah Swt memerintahkan manusia untuk melakukan kegiatan berwirausaha, karena dengan berwirausaha maka kehidupan seseorang tersebut

Himpunan semua polinom atas aljabar max- plus yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan polinomial merupakan semi grup komutatif dengan elemen netral, sedangkan dengan operasi

Selanjutnya pada lembar observasi yang dilakukan adalah untuk melihat aktivitas siswa selama belajar didalam kelas apakah sudah menunjukan kegiatan komunikasi matematis