• Tidak ada hasil yang ditemukan

)يقهيبلا

2. Mistik Budaya Jawa

Budaya Jawa adalah budaya yang ada dalam masyarakat Jawa.

Namun realitanya, tidak semua masyarakat di pulau Jawa menggunakan atau memiliki Budaya Jawa. Pulau Jawa terdiri dari beberapa wilayah besar. Di antaranya adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Provinsi Jawa Timur. Dan dari beberapa wilayah besar tersebut, hanya Provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Provinsi Jawa Timur yang menggunakan budaya dan bahasa Jawa.

Hal tersebut dikarenakan, ketiga wilayah tersebut memiliki budaya yang hampir sewarna serta masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa. Masyarakat asli Provinsi Jawa Tengah, sebagian menggunakan bahasa Jawa dan Jawa Panginyongan. Masyarakat asli

78 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 141.

DIY menggunakan bahasa Jawa, sedangkan masyarakat asli Provinsi Jawa Timur menggunakan bahasa Jawa Pangarekan.79

Kemudian menurut salah satu budayawan asal kabupaten Semarang yang melestarikan Budaya Jawa menggunakan kesenian gerak tari tradisional Jawa berpendapat, bahwa:

Budaya Jawa merupakan cara pandang dan cara bersikap orang Jawa lalu dilaksanakan dalam adat istiadat atau tradisi masyarakat. Budaya Jawa mengutamakan kesopanan dan kesederhanaan. Contohnya yaitu sering kita mendengar kata

“Putri Solo”. Putri Solo adalah karakter dengan gambaean wanita Jawa yang sopan dan beradab. Budaya Jawa melekat di hati setiap individunya. Budaya Jawa tidak hanya terdapat di pulau Jawa saja. Contohnya, sesorang yang berasal dari pulau Jawa, saat orang itu merantau ia akan tetap ingat Budaya Jawa dan membawanya sampai dimana tempat dia berada. Budaya Jawa juga sangat unik, misalnya saja tradisinya, rumah adat, alat musik, dan lain-lain. Karena keunikannya itu banyak yang ingin mempelajari Budaya Jawa, bahkan turis mancanegara pun tertarik dengan Budaya Jawa, contohnya gamelan. Bahkan gamelan sampai dipelajari di luar negeri.80

Seperti yang telah disebutkan oleh budayawan tersebut di atas, bahwa Budaya Jawa memiliki beberapa hal yang menjadikan faktor atau ciri dari Budaya Jawa tersebut. Misalnya dapat dilihat dari kesenian musik gamelan, kesenian pewayangan, kesenian gerak tari, dan masih banyak lagi. Dan di dalam beberapa kesenian tersebut, tersirat makna filosofis yang kental akan akar etika orang-orang Jawa

79 Sri Wintala Rahmat, Etika Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2018), h. 15.

80 Wawancara dengan penari tradisional Jawa, Anik Saida, Semarang, 23 Juli 2018.

serta terdapat makna religius di dalamnya. Bahkan, makna religius tersebut dapat dilihat dari filosofis nama dari sebuah alat instrumen musik gamean atau suatu gerakan dari kesenian gerak tradisional tari Jawa.

Kemudian dalam Budaya Jawa tidak akan lepas dari istilah kejawen. Dimana kejawen yang oleh “Neils Mulder diartikan sebagai suatu etika dan gaya hidup yang dialami oleh cara pemikiran Javanisme. Kemudian, Koencoroningrat mengartikan kejawen sebagai agama orang Jawi atau religi orang Jawa.”81 Namun, dibalik pengertian kejawen menurut beberapa tokoh tersebut, biasanya orang awam menyebut kejawen sebagai budayanya orang Jawa.

Kejawen, sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri sebenarnya penjelmaan Dewi Laksmi, isteri Wisnu.

Dan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu. Maka, dalam berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapat tempat khusus.82 Meski apabila dilihat oleh orang awam yang tidak mengetahui adat kejawen, tempat khusus yang diberikan kepada Dewi Laksmi dan Wisnu akan dianggap tabu. Bisa jadi dianggap menyekutukan Tuhan dan sebagainya. Namun, seorang pelaku Budaya Jawa yang juga sekaligus murid dalam Pawiyatan Padharasa yang sedang penulis teliti ini menyebutkan bahwa:

Yang dimaksud dengan Budaya Jawa dan mistik yang terkandung di dalamnya adalah keyakinan akan roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, seperti upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada Tuhan atau meminta berkah, serta meminta terkabulnya permintaan dengan mendatangi makam orang-orang tertentu (berziarah kubur ke makam para wali). Hal-hal tersebut sah-sah saja dilakukan selama tidak menuhankan roh-roh leluhur yang memiliki

81 Asti Musman, Agama Ageming Aji, (Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017), h. 12.

82 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 1.

kekuatan ghaib. Hal tersebut dilakukan hanya untuk nguri-uri (melestarikan) Budaya Jawa dan bentuk menghormati makhluk lain yang hidup beriringan dengan manusia. Meminta suatu permintaan hanya ditujukan kepada Allah, karena nilai mistik yang terkandung dalam upacara adat dan agama atau ketauhidan akan Islam merupakan dua hal yang terpisah meskipun dalam Budaya Jawa terdapat makna filosofis yang beriringan dengan agama Islam yang dimasukkan oleh para wali. Maka, Budaya Jawa dengan mistis yang terkandung di dalamnya tidak ada kaitannya dengan makna penyekutuan Tuhan.83

Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaannya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno kejawen tidak menegaskan ajaran sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku (tindakan). Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.84

Jika melihat orang Jawa yang mengikuti kehidupan kejawen, maka akan mengikuti pula idealisme yang dipakai sebagai patokan oleh masyarakat kejawen.

Idealisme tersebut tercermin dalam sembilan bidang budaya spiritual Jawa, yaitu: kapribaden, menghendaki orang Jawa sebagai satriya pinandhita; sosial, menghendaki watak manjing ajur ajer, bisa rumangsa dan bukan rumangsa bisa.

Maksudnya, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga dapat bertindak hati-hati; ekonomi, menghendaki roda ekonomi gangsar, artinya berjalan terus; politik, menghendaki terciptanya kekuasaan yang mangku-mengku-hamang-koni.

Maksudnya, dapat menjalankan tugas, mengayomi, dan menyelaraskan dengan keadaan yang dipimpin; kagunan, yaitu seni yang adiluhung; ngelmu, mengehendaki sikap mumpuni

83 Wawancara dengan salah satu pelaku budaya asal Salatiga, Istikomah, Semarang, 20 Juli 2018.

84 Asti Musman, Agama Ageming Aji, (Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017), h. 12.

sampai menjadi nimpuna, maksudnya adalah tahu berbagai hal;

ketuhanan, menghendaki kasampurnan atau kesempurnaan;

filsafat, menghendaki idealisme bener pener, artinya benar dan tepat; mistik, menghendaki sampai tingkat ngraga sukma (jiwa raga).85

Kemudian, jika melihat idealisme tersebut, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana maksud dari idealisme yang menyebutkan tentang ketuhanan, filsafat dan mistik tersebut ?

Ciri utama dari budaya kejawen adalah sifatnya yang religius.

Orang Jawa pada umumnya percaya akan adanya Tuhan.

Dalam pandangan kejawen yang murni, Tuhan dihatai sebagai Dat Yang Maha Kuasa, yang tidak dapat digambarkan bagaimana wujud dan keadaannya. Yang dalam ungkapan Jawa, persepsi tuhan ini dilukiskan dengan kata-kata tan kena kinayangapa (tidak dapat dilukiskan). Sebutan Tuhan yang umum dipakai oleh orang Jawa yaitu; Gusti Allah, Gusti Ingkang Maha Asih (Tuhan Yang Maha Pengasih), Gusti Ingkang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Agung), Gusti Ingkang Murbeng Dumadi (Tuhan Maha Pencipta), Gusti Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan Yang Maha Pencipta Dari-Nya berasal dan akan kembali pada-Dari-Nya), Gusti Kang Akarya Jagad Saisine (Tuhan Yang Menciptakan Dunia dan isinya).86 Selanjutnya mengenai filsafat yang terdapat dalam kejawen adalah berhubungan dengan mistik serta tasawufnya. Misalnya dalam cerita Ajisaka yang mengalahkan Dewata Cengkar.

Sejak Ajisaka datang ke Jawa, masyarakat kejawen merasa berilmu. Dialah yang dianggap sebagai penyangga keilmuan Jawa. dialah yang mengajarkan kejawaan deles (asli). Maka, dalam kisah tersebut Ajisaka akan mengalahkan Dewata Cengkar, seorang raja pemakan manusia (kanibal). Dewata Cengkar merupakan lambang masyarakat Jawa tempo dulu yang masih bar bar. Sebelum Ajisaka angajawa (ke Jawa), masyarakat Jawa belum berperadaban. Itulah sebabnya Dewata Cengkar harus terkalahkan. Dewata adalah simbol kekuatan baik, dan Cengkar aadalah simbol keburukan (gersang). Berarti, Dewata Cengkar adalah gambar baik dan buruk yang ada dalam

85 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 10.

86 Asti Musman, Agama Ageming Aji, (Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017), h. 14.

diri manusia. Dengan penyangga mistik kejawen manusia akan menyingkirkan keburukan dan bertindak baik.87

Contoh lainnya yang mengatakan bahwa dalam kejawen mengandung makna filsafat yaitu ditunjukkan oleh Sunan Kali Jaga dalam syair Jawa berikut:

Cublak suweng suwengira,

Sigelenter mambu ketundhung mundhing Empak empong lira-liru

Iyeku swasananta

Mlebu metu ingaran lira-liru Ing suwung kang mengku ana Mungguh sajroning ngaurip

Maksudnya dari lagu itu, bahwa dalam diri manusia tak akan lepas dari angin (nafas). Hidup dan nafas sulit dipisahkan.

Maksud keseluruhan dari lagu tersebut adalah, bahwa manusia dan alam semesta selalu ada nafas yang keluar masuk, karena manusia itu bodoh (seperti kerbau), mereka tak melihat semua itu, namun semua itu ada. Ada yang tak ada. Padahal, nafas itu empak-empong (tertanam, keluar masuk dalam badan). Keluar masuknya nafas tersebut, seakan-akan telah biasa. Jika manusia tak sadar, tak tahu pula bahwa ada yang mengatur nafas tersebut. Allah saja yang tahu. Karena itu, manusia di bulan puasa diharapkan sadar asal-usulnya, sehingga akan menambah bekal (ibadah) kepada Allah.88

Salah satu contoh sikap tasawuf yang ada pada Budaya Jawa juga terdapat pada mereka yang menganut paham Manunggaling Kawula Gusti. Dengan penanaman pemahaman Manungsa iku kanggonan sipating Gusti (Manusia itu memiliki sifat Tuhan). Dalam paham ini yang mengatakan bahwa manusia manunggal (menyatu) dengan Tuhan, bukan berarti manusia menjadi satu dan menjadi Tuhan.

Melainkan manunggal yang dimaksud adalah hanya bersatu dengan iradat-Nya (kehendak-Nya).89

87 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 4.

88 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 127.

89 Asti Musman, Agama Ageming Aji, (Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017), h. 79.

Kemudian titik temu antara mistik kejawen dengan tasawuf adalah ketika tasawuf sering disejajarkan denagn mistisisme. Dimana tasawuf merupakan bentuk mistik Islam, yang berupa agar hati manusia menjadi benar dan lurus dalam menuju Tuhan.90

Dengan kata lain, tasawuf dan mistik memiliki titik temu yang jelas. Yakni sebagai upaya pendekatan diri dengan Tuhan. Jika tasawuf juga mengandalkan pemusatan batin melalui meditasi, mistik juga merupakan ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan pancaindera. Dalam kaitan ini, tujuan utama mistik atau tasawuf adalahpencapaian makrifat yang tinggi.

Jalan mencapai taraf ini adalah melalui tarekat. Tarekat pada dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu penyucian hati dari segala bentuk ikatan keduniawian yang dicapai melalui tujuh taraf peningkatan suasana batin yang dinamakan maqam. Yaitu maqam: taubat, wara` (perwira,wirangi), zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan rela. Ketujuh maqam tersebut adalah jalan untuk menyucikan hati ke arah pembinaan pencapaian budi luhur.91 Sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai idealisme kejawen yang beberapa di antaranya adalah menyinggung masalah ketuhanan, filsafat, dan mistik itu benar-benar saling berkaitan. Dimana apabila orang Jawa melakukan adat kejawen, tidak hanya melakukan hal-hal mistis yang dianggap orang awam sebagai perilaku adat yang menyimpang dari ajaran agama kita sendiri. Orang Jawa mengenal Tuhan dengan sebutannya sendiri, seperti ketika orang Arab mengenal Tuhan dengan sebutan Allah, maka orang Jawa mengenal Tuhan dengan sebutan Gusti Pangeran atau Gusti Ingkang Maha Agung seperti yang telah disebutkan di atas. Dari mengenal Tuhan yang seperti itulah maka orang Jawa menemukan filsafatnya

90 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 83.

91 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 85.

mengenai hal baik dan buruk yang harus dilakukan. Kemudian apabila sudah mengerti hal baik dan buruk maka terjadilah kegiatan mistis yang berlandaskan tasawuf di dalamnya. Penyucian hati dengan melakukan maqam-maqam sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Agung.

Mistik kejawen sebagai jalan saja, bukan tujuan. Yakni, jalan kesempurnaan. Dengan cara melaksanakan mistik kejawen, maka kesempurnaan hidup akan dicapai dengan sendirinya.

Kesempurnaan hidup tercapai karena dekat dengan kehendak Pencipta. Jadi, mistik kejawen merupakan sebuah jembatan

“rayuan” untuk mencapai hidup sejati. Karena sebuah “jalan”, tentu tidak harus lurus, melainkan berkelok-kelok, berliku-liku, dan di dalamnua terdapat seni tersendiri. Dengan kata lain, penghayatan mistik kejawen telah mengembangkan estetika diri manusia.92

Dokumen terkait