• Tidak ada hasil yang ditemukan

)يقهيبلا

4. Makna Spiritual Budaya Jawa

peribahasa tersebut memaksa watak manusia untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakan. Begitu pula dalam contoh pewayangan dalam berbagai macam kitab-kitab Jawa yang mencontohkan tentang kebaikan dan keburukan. Dapat penulis sambungkan pula dengan ungkapan becik ketitik ala ketara, yang mana maksudnya adalah segala macam kebaikan dan keburukan pasti akan terlihat. Kebaikan dari akhlak atau etika kita pasti akan terlihat di mata orang. Begitu pula dengan keburukan, sekecil apa pun keburukan tersebut disembunyikan, maka pada akhirnya pasti akan terlihat juga.

Maka dari itu, Budaya Jawa melalui berbagai macam tradisi, adat, seni, dan segala peninggalannya itu, mengharapkan manusia memiliki etika yang sesuai dengan unggah-ungguh orang Jawa yang memiliki ciri halus dan berperasaan.

Ada makna instrumen gamelan itu seperti ini. Kenong itu sing nang kono-kono (yang di sana-sana). Kempul itu kumpulana (kumpulkan lah). Kemudian kalau sudah dikumpulkan maka diberi dakwah keislaman sampai harus jelas dan gamblang, maka ada instrumen gambang. Setelah gamblang, piye carane supaya kanthi mathuk mlebu ing agama Islam (bagaimana caranya bisa sesuai dengan agama Islam), mula ana instrumen arane kethuk (maka ada instrumen yang diberi nama kethuk).

Kemudian nek wis mathuk (kalau sudah sesuai), selanjutnya ana instrumen gong (ada instrumen gong), yang diambil dari bunyinya gong yaitu gur, maksude nyeguro ing agama Islam (maksudnya masuklah ke dalam agama Islam). Terus ada hubungannya dengan kewajiban dalam Islam. Dulu itu gamelan laras nadanya selendro, ada lima belas bilahan. Yaitu, nada satu, nada dua, nada tiga, nada lima, dan nada enam.

Tidak ada nada empat. Maksudnya adalah, apabila satu ditambah dua ditambah tiga ditambah lima dan ditambah enam, jumlahnya tujuh belas. Sehingga maksud dan tujuannya adalah waktu yang harus dipenuhi adalah lima waktu yang jumlahnya adalah tujuh belas rakaat oleh agama Islam, sembahyang lima waktu. Dan orang yang sudah masuk Islam harus sembahyang lima kali dalam satu hari satu malam. Mula kendang (maka gendang), nek bar gong kuwi gur nyegur wes gelem salat ngantian terus kendang kae unine diambil saka suara tak karo ndang (sesudah gong dan gur masuk ke dalam agama Islam sudah mau melaksanakan salat selanjutnya ada instrumen gendang yang diambil dari bunyinya tak ndang). Tak, artinya dulu tiap mesjid bunyinya bedug dulu baru adzan. Nah bedug itu kalo sudah di tak, maka langsung ndang. Ndang morono salat (langsung laksanakanlah salat). Ini lah yang dinamakan adiluhung bahwa gamelan memiliki filsafat keislaman yang tinggi. Gamelan kuwi nggagas anggone kewajiban salat lima waktu (gamelan itu menggagas mengenai kewajiban salat lima waktu).107

Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Ki Sardjono tersebut dapat diketahui, bahwa awal mula seni musik gamelan diciptakan bukan hanya sebatas musik belaka. Melainkan ada makna spiritual yang

107 Wawancara dengan pengajar di Pawiyatan Padharasa Salatiga, Ki Sardjono, Salatiga, 15 April 2018.

tersirat di dalamnya. Sehingga Sunan Kalijaga yang mendakwahkan Islam melalui kesenian dan tradisi Budaya Jawa pun bisa dianggap tidak meninggalkan makna Islam sesungguhnya. Bahwa dalam Islam, barang siapa yang ingin memeluk agama ini maka haruslah melaksanakan salat yang pelaksanaannya dilakukan dalam sehari semalam sebanyak lima waktu.

Kemudian, dalam serat Jawa yang lainnya juga memperkenalkan Tuhan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Diambil dari Serat Sabdajati bait ke-9 dan 10 berbunyi sebagai berikut:

Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung Anggelar sakalir-kalir

Kalamun temen tinemu Kabegjan anekani

Kemurahaning Hyang Manon

Anuhoni kabeh kang duwe panyuwun Yen temen-temen sayekti

Allah aparing pitulung Nor kurang sandhang bukti Saciptanira kalakon

Terjemah:

Tidak percaya kepada rahasia Tuhan Maha Agung

(yang) membentangkan segala-galanya (di bumi dan langit) Bilamana bersunggug-sungguh (cita-citanya tentulah) tercapai Kebahagiaan tiba(ialah) kemurahan Tuhan Maha Tahu

(Tuhan menepati janjiNya) kepada semua yang mempunyai permohonan

Jika bersungguh-sungguh tentulah Allah memberi pertolongan

(sehingga dia) tidak kekurangan sandang pangan Semua yang dicita-citakan (dapat) terkabul

Dalam serat tersebut menerangkan bahwa manusia untuk selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita dan tujuannya. Serta harus menyadari bahwa Tuhan dalam semesta ini memang ada dan akan mengabulkan permohonan bagi orang yang

mau bersungguh-sungguh dalam berdoa demi apa yang diinginkannya.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari beberapa bukti tersebut, bahwa dalam Budaya Jawa dan peninggalan keseniannya, terdapat makna spiritual yang bukan hanya harus diketahui. Namun juga dapat difahami dan dimengerti, sehingga masyarakat Jawa mampu melestarikan budayanya tanpa salah dalam mengartikan budayanya sendiri.

68 BAB III PROFIL SANGGAR A. Pembentukan Sanggar

Pawiyatan Padharasa adalah sebuah sanggar yang mengarah pada kesenian Budaya Jawa. Pawiyatan ini memiliki nama asli yaitu Perkumpulan Sanggar Seni Pawiyatan Pedhalangan Karawitan Anak dan Remaja Salatiga, yang kemudian di singkat menjadi Pawiyatan Padharasa. Pawiyatan ini didirikan oleh Ki Sardjono yang juga menjadi pelatih dan pembina dalam pawiyatan ini. Sebelumnya Ki Sardjono adalah anggota dari Pawiyatan Asmoro Budaya yang memiliki ranah tujuan yang sama dengan Pawiyatan Padharasa. Yaitu melestarikan dan mengajarkan budaya kepada anak-anak muda, sehingga Budaya Jawa tetap hidup di lingkungan masyarakat Jawa.

Ki Sardjono selaku pendiri menghadap kepada notaris pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 14.05 waktu Indonesia bagian barat untuk mendaftarkan pendirian sanggar seni resmi di Salatiga . Yang ditandatangani oleh notaris Bapak Muhammad Fauzan.

Adapun maksud dan tujuan pawiyatan ini didirikan antara lain:

a. Untuk menampung dan menyalurkan bakat dan minat anak-anak dan remaja di bidang kesenian, khususnya seni pedhalangan dan karawitan

b. Sebagai wadah bagi anak-anak dan remaja, untuk belajar dan berlatih seni pedhalangan dan karawitan

c. Turut melestarikan dan mengembangkan kesenian wayang kulit dan karawitan

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, sanggar ini menyelenggarakan berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan pendidikan non formal dan pelatihan di bidang pedhalangan dan karawitan

b. Menyelenggarakan dan mengikuti event-event di bidang kesenian pada umumnya, khususnya wayang kulit dan/atau karawitan

c. Mengadakan kerja sama dengan badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta, baik di dalam maupun di luar negeri d. Menyelenggarakan kegiatan dan usaha lain yang sah dan halal

serta tidak bertentangan dengan anggaran dan dasar ini

Kemudian, dalam sanggar tersebut memiliki badan kepengurusan, di antaranya adalah:

a. Pembina, Ki Sardjono; lahir di Klaten pada tanggal 20 Februari 1946, wiraswasta, bertempat tinggal di Kota Salatiga, Jalan Tanggulrejo, Mrican, RT/RW 006/001, Kelurahan Gendongan, Kecamatan Tingkir.

b. Seorang ketua, Tuan Mardowo, lahir di Klaten pada tanggal 20 Juli 1953, Guru, bertempat tinggal di Kota Salatiga, Pasar Anyar, RT/RW 001/002, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo.

c. Seorang sekretaris, Martono, lahir di Kabupaten Pati pada tanggal 28 Februari 1958, Guru, bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, Beran, RT/RW 005/005, Desa Karang Tengah, Kecamatan Tuntang.

d. Seorang bendahara, Siswanto, lahir di Klaten pada tanggal 09 April 1972, karyawan BUMD, bertempat tinggal di Kota Salatiga, Pondok Telaga Mukti Blok J Nomor: 14, RT/RW 003/006, Kelurahan Tingkir Tengah, Kecamatan Tingkir.

Dokumen terkait