• Tidak ada hasil yang ditemukan

”Setiap anak yang lahir hakikatnya adalah fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani. Sebagaimana permisalan hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganaya ?” (HR. Bukhori)62

Seperti yang telah disebutkan dalam hadits tersebut bahwa pada dasarnya Tuhan hanya memberikan fitrah kebaikan pada setiap anak yang lahir. Sedangkan perbuatan buruk yang dilakukan setelah tinggal dalam lingkungan faktor dari lingkungan tersebut. Di sisi lain, Tuhan mengizinkan keburukan terjadi adalah agar manusia tahu apa makna kebaikan itu sendiri.63 Bahkan ulama Islam seperti Ibnu Sina, Al Ghazali dan ulama Islam lainnya berpendapat bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, dan perjuangan keras dan sunggung-sungguh.64 Maka dari itu, pembentukan karakter, atau akhlak lebih baik dilakukan sejak sedini mungkin. Agar watak yang dimiliki oleh seseorang memang sudah tertanam dan ia sudah terbiasa melakukan suatu kebaikan sejak dini.

Mengenai pendidikan akhlak, Al Ghazali mengatakan sebagai berikut yang dikutip oleh Abuddin Nata:

ْو َل َك

ََا ِت ْا َلْ

ْخ َل ُق َل ْق َب َت ُل َتلا َغ َر ُّي َب ِل َط َل ِت َو ْلا َص َو ا َيا َم ْلا َو ِعا َظ

َو

“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis Nabi yang mengatakan ‘Perbaiki akhlak kamu sekalian’.”65

Mengenai kepribadian seseorang akan sangat terpengaruh oleh orang tua dan lingkungan dimana ia berasal. Seperti ungkapan berbahasa Inggris berikut you can take the boy out of the country, but you can’t take the country out of the boy (anak dapat meninggalkan tanah kelahirannya, tapi tanah kelahirannya itu tidak akan dapat lepas dari si anak).66 Dari ungkapan tersebut sudah jelas, bahwa lingkungan sekitar pasti akan memperngaruhi kepribadian dan akhlak seseorang. Dimanapun meski ia tidak berada di lingkungan asalnya.

Dan kepribadian tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan sosialnya. Menurut bidang sosiologi, personality (kepribadian) manusia merupakan integritas dari sifat-sifat yang menentukan peranan dan status seseorang dalam masyarakat. Oleh karena itu, kepribadian juga dapat didefinisikan sebagai peranan efektif sosial seseorang dalam kehidupannya.67 Dari bentuk kepribadian tersebut, maka seseorang akan dipandang dalam masyarakat. Seseorang yang memiliki kepribadian yang baik, tentu akan dihormati dalam kehidupan bermasyarakat.

Dijelaskan pula, dalam pandangan Islam manusia memiliki martabat paling tinggi sebagai khalifah di bumi dengan fitrahnya yang suci dan beriman serta memiliki ruh di samping raga dan

65 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 134.

66 Peurwa Atmaja Prawira, Psikologi Kepribadian, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h. 81.

67 Peurwa Atmaja Prawira, Psikologi Kepribadian, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h. 30.

jiwa. Manusia memiliki perilaku dengan sasaran telaah paling nyata dalam psikologi Islami dan psikologi umum. Sementara perilaku dianggap ungkapan/manifestasi pengalaman manusia melibatkan unsur-unsur dan proses pemikiran, perasaan, sikap, kehendak, perilaku, dan relasi antar manusia.68 Sehingga dengan memperhatikan setiap unsur tersebut, maka timbullah etika yang menjadi cerminan kepribadian manusia tersebut.

Begitu pula apabila seseorang menjalani kehidupan bermasyarakat dengan damai, maka sesorang tersebut bisa dianggap memiliki kesehatan mental yang baik. Sebagaimana dikatakan dalam ilmu psikologi bahwa kriteria sehat mental antara lain bebas dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar, serta merealisasikan berbagai potensi yang dimiliki oleh individu.69 Sehingga orang yang memiliki kepribadian yang baik maka akan menjalin hubungan yang baik pula dengan masyarakat sekitarnya. Yang kemudian hal tersebut akan berdampak pada kesehatan mentalnya serta memiliki jiwa yang sehat pula.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan seseorang yang memiliki hati yang baik. Bahkan ada satu paham atau aliran yang mengatakan bahwa, “perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau nurani.”70

68 Peurwa Atmaja Prawira, Psikologi Kepribadian, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h. 329.

69 Peurwa Atmaja Prawira, Psikologi Kepribadian, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h. 330.

70 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2013), h, 114.

Maka diperlukan adanya pendidikan terhadap hati terlebih dahulu supaya menghasilkan mental yang bagus. “Pendidikan hati dengan mengintegrasikan ajaran keimanan sebagai pangkal akhlak, dengan tahapan pengetahuan moral (kesadaran moral, pengetahuan moral, penalaran moral, pembuatan putusan moral), tahap perasaan moral (empati, cinta kebaikan, kontrol diri), dan tindakan mora (keinginan moral, kebiasaan moral).”71 Dengan mendidik hati yang sedemikian rupa sehingga memiliki kesadaran moral yang baik, maka akan berpengaruh pada tingkah laku serta sopan santun yang ada dalam masyarakat yang sedang ditinggalinya. Terlepas dari mana ia berasal atau dari budaya yang seperti apa yang ia terima sejak lahir.

Berbeda halnya dengan seseorang yang tidak memiliki hati yang bersih dan mental yang sehat. Ia akan mudah terpengaruh serta akan dengan mudahnya memiliki sifat hasud dalam dirinya.

Maka dari itu, hendak diketahui, bahwa hasud (dengki) itu merupakan akhlak yang tercela di samping ada bahayanya terhadap badan dan merusak agama. Sehingga Allah memerintahkan agar kita memohon perlindungan dari kejahatan hasud.72 Maka dari itu sangat penting menjaga hati agar terhindar sifat hasud yang dapat berpengaruh pada perilaku kita. Dapat dikatakan juga bahwa sebaik apapun pendidikan yang telah diterima, namun apabila kita tidak dapat mengontrol atau menjaga hati dengan baik, maka hal-hal buruk akan mudah masuk ke dalam hati kita. Karena sifat hasud tersebut datang bukan hanya di

71 Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 229.

72 M. Qodirun Nur, Terjemahan Kitab Mutiara Akhlak Al Karimah, (Jakarta:

Pustaka Amani, 1993), h. 117.

kalangan orang miskin saja atau orang kaya saja. Sifat buruk tersebut mudah datang kepada siapa saja. Maka dari itu, selain berdoa untuk terhindar dari sifat hasud tersebut, kita juga membutuhkan pendidikan dalam menjaga hati.

Pembahasan sifat hasud ini dapat dikaitkan dengan persoalan nahi munkar, atau mencegah kemungkaran, berarti pembebasan manusia dari semua bentuk kegelapan (zhulumat) dalam berbagai manifestasinya. Dalam bahasa ilmu sosial, ini juga berarti pembebasan dari berbagai kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amar ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahi munkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan dimana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia.73 Maka dari itu, dalam pembentukan akhlak, anak diajarkan terlebih dahulu bagaimana melaksanakan rukun iman dan rukun Islam. Seperti misalnya ketika membentuk sebuah keimanan seseorang, tentunya mengajarkan bagaimana beriman kepada Allah dan Rasulullah. Dengan beriman kepada Allah dan Rasullullah, tentunya, seseorang akan melakukan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah yang dicontohkan melalui perbuatan terpuji Rasulullah. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur`an sebagi berikut:

73 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), h. 229.

ِإ ََّ

َم

Dokumen terkait