• Tidak ada hasil yang ditemukan

)يقهيبلا

3. Akar Etika Budaya Jawa

mengenai hal baik dan buruk yang harus dilakukan. Kemudian apabila sudah mengerti hal baik dan buruk maka terjadilah kegiatan mistis yang berlandaskan tasawuf di dalamnya. Penyucian hati dengan melakukan maqam-maqam sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Agung.

Mistik kejawen sebagai jalan saja, bukan tujuan. Yakni, jalan kesempurnaan. Dengan cara melaksanakan mistik kejawen, maka kesempurnaan hidup akan dicapai dengan sendirinya.

Kesempurnaan hidup tercapai karena dekat dengan kehendak Pencipta. Jadi, mistik kejawen merupakan sebuah jembatan

“rayuan” untuk mencapai hidup sejati. Karena sebuah “jalan”, tentu tidak harus lurus, melainkan berkelok-kelok, berliku-liku, dan di dalamnua terdapat seni tersendiri. Dengan kata lain, penghayatan mistik kejawen telah mengembangkan estetika diri manusia.92

sekaten dan semacamnya; dan juga bersumber dari agama, dari berbagai kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia; begitu pula perilaku orang suci, misal dari Rasul.94

Berikut ini adalah beberapa contoh etika Jawa yang diambil dari beberapa sumber tersebut:

a. Dongeng

Sering diceritakan kepada anak-anak kecil di Jawa dongeng yang memiliki makna etika yang tersirat di dalamnya. Dongeng yang sering diceritakan, biasanya diceritakan kepada anak-anak ketika akan tidur atau ketika bermain bersama di sore hari.

Dan dongeng yang sering di dengar sampai sekarang adalah dongeng tentang Kancil. Dongeng Kancil biasasnya berkaitan dengan kehidupan binatang, semisal, buaya, anjing, gajah, harimau, kerbau, kura-kura, babi, dan sibut.

Dan karena Kancil adalah hewan yang cerdik, maka sering kali ia menang dengan menipu lawan-lawannya. Namun, penipuan yang dilakukan oleh Kancil ini biasanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri atau binatang lain yang sedang dalam bahaya.

Penipuan tersebut tidak dianggap salah oleh masyarakat Jawa karena hal tersebut dilakukan demi kebaikan atau keselamatan orang lain.95

b. Serat

Dalam Serat Wedhapurwaka karya Ranggawarsita dalam pupuh Sinom menjelaskan cerita Dewaruci merupakan

94 Sri Winata Achmad, Etika Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2018), h. 18.

95 Sri Wintala Achmad, Etika Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2018), h. 55.

perlambangan manusia yang sedang bersemedi. Berikut adalah petikannya:

Telase kang pralampita Sasmitaning Sri harimurti Pasal sapta anggupita Suraseng srat Dewaruci Ya Wrekudara nguni Rikalane anggeguru Marang pendeta Durna Aminta kang tirta wening

Iya iku sasmita mengsah samadya Tegese Pendeta Durna

Yaitu sedyaning kapti Awit sedyaning wardaya Iya dadi gurunadi Iku pituduh sejati Atas saking atma tuhu Bima tegese tekad

Barang karya kang kinapti

Nadya uwis ana sedyaning wardaya Lamun nora kanthi tekad

Utawa tan den lakoni Kabeh karkating parasdya Sayektine nora dadi Pama arsa samadi

Arsa wruh ing nyatanipun Kahanan jro samadya Nanging sunthik angayomi

Yekti nora wruh rasane kang sanyata Terjemah:

Selesailah perlambang itu Pertanda dari Sri Harimurti Pasal tujuh mengarang Makna dalam Serat Dewaruci Ya Werkudara dulu

Kala berguru

Pada Pendeta Durna

Mohon air bening

Yaitulah makna laku semedi Maka Pendeta Durna Yaitu tekad hati

Berkat kehendak nurani Ya menjadi gurunadi Itu petunjuk sejati Berasal dari atma benar Bima berarti tekad Segala hal yang dituju

Meski sudah ada kehendak hati Kalau tanpa dengan tekad Atau tanpa dilaksanakan

Semua cita-cita luhur sungguh tak berhasil Ibarat hendak semedi

Mau tahu kenyataan Keadaan dalam semedi Tapi enggan menghendaki

Memang tak tahu rasa senyatanya

Kemudian dari serat tentang Bima Suci yang berguru kepada Resi Drona ditafsirkan oleh Siswoharsoyo yang dituangkan dalam buku berjudul Serat Guna Cara Agama. Di antara beberapa cerita Bima Suci yang ditafsirkannya adalah:

1) Bima berguru kepada Resi Drona

Dituliskan bahwa orang yang ingin mendalami ilmu agama, dia harus berguru pada orang yang berilmu. Dalam mencari ilmu, kita harus berbaik sangka kepada guru, seperti yang dicontohkan oleh Bima terhadap gurunya Resi Drona.

2) Bima membongkar gunung Reksamuka

Agar mencapai tujuan, maka Resi Drona menganjurkan Bima untuk membongkar gunung Reksamuka. Artinya adalah, orang yang meendalami ilmu tarekat haruslah

melakukan hal-hal yang berat. Ibarat membongkar sebuah gunung, ia harus menghilangkan nafsu duniawinya.96

c. Pepatah

Dalam pepatah Jawa juga terdapat makna yang menyiratkan tentang etika di dalamnya. Seperti pepatah yang dicontohkan oleh salah satu murid Pawiyatan Padharasa yang berbunyi:

Sapa Nandur Bakal Ngundhuh.

Pepatah tersebut memiliki arti siapa menanam akan menuai.

Secara luas pepatah ini berarti bahwa apapun yang kita perbuat di dunia ini, khususnya berkaitan dengan perilaku yang kita lakukan akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat.97

d. Lelagon dan Tembang

Lelagon yang sering didengar oleh masyarakat Jawa dan dinyanyikan oleh anak-anak dari zaman dulu sampai sekarang adalah lelagon gundhul-gundhul pacul. Yang bunyinya sebagai berikut:

Gundhul-gundhul pacul-cul Gembelengan

Nyunggi-nyunggi wakul-kul Gembelengan

Wakul ngglimpang Segane dadi sak latar Wakul ngglimpang Segane dadi sak larat Terjemah:

Anak dengan kepala gundul berkuncung Berlagak sok

Membawa bakul di kepala Berlagak sok

Bakul terjatuh

96 Asti Musman, Agama Ageming Aji, (Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017), h. 140.

97 Wawancara dengan pelaku budaya asal Salatiga, Istikomah, Semarang, 20 Juli 2018.

Nasinya tumpah di halaman Bakul terjatuh

Nasinya tumpah di halaman

Lelagon tersebut diungkapkan secara simbolik yang menampilkan etika Jawa di dalamnya. Maksudnya adalah peringatan kepada manusia agar tidak takabur (sok).98

Kemudian tembang yang menyiratkan tentang etika Jawa dapat ditemui dalam tembang pocung. Salah satu tembang pocung diajarkan kepada murid di Pawiyatan Padharasa Salatiga, bunyinya yaitu:

“Pocung Sinau Sisa wektu

Iku anggonen sinau Nadyan mung sadelo Aja wegah ambaleni

Uginen supaya bisa kasembadan Terjemah:

Sisa waktu

Itu lakukanlah dengan belajar Walaupun hanya sebentar Jangan malas untuk mengulang Juga supaya bisa berhasil”99

Tembang tersebut termasuk tembang pocung. Dan dalam tembang tersebut mengangkat tema sinau, yang berarti belajar.

Kemudian maksud dari tembang Pocung Sinau tersebut adalah bahwa apabila kita masih memiliki sisa waktu, harus digunakan sebaik-baiknya dengan belajar supaya apa yang kita impikan dapat tercapai.

98 Sri Wintala Achmad, Etika Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2018), h. 61.

99 Wawancara dengan pengajar di Pawiyatan Padharasa Salatiga, Ki Sardjono, Salatiga, 15 April 2018.

e. Simbol-simbol atau Lambang-lambang

Salah satu simbol yang terkenal dalam Budaya Jawa adalah benda-benda yang dipakai dalam pewayangan. Pewayangan memiliki makna yang sangat penting di setiap pertunjukannya.

Misalnya dalam mistik kejawen sendiri, para pelaku kejawen berpendapat bahwa, hubungan Tuhan dengan manusia digambarkan seperti halnya dhalang-wayang-kelir.

Hal tersebut digabarkan dalam Serat Centhini, pupuh Kinanthi sebagai berikut:

Kadi ta upaminipun

Dhalang wayang lawan kelir Dhalange pun wujud mutlak Wayange wujud ilapi

Kelire akyan sabitah Karone nyata ing kelir

Maksud dari serat tersebut adalah bahwa eksistensi tentang Tuhan dan manusia dapat diumpamakan sebagai dhalang, wayang dan kelir. Dhalang itu ialah wujud mutlak, wayang merupakan wujud ilapi, sedangkan kelir adalah esensi yang pasti. Keduanya, dhalang dan wayang nampak pada kelir. Roh ilapi adalah sebagai kenyataan barang konkret yang dapat ditangkap oleh akal budi sebagai sintesa yang mempersatukan.

Dalam sastra suluk, roh ilapi bermakna sebagai sebuah mata rantai utama yang menghubungkan antara Tuhan dan dunia.

Pandangan ini mengisyaratkan bahwa Tuhan ibarat dhalang yang menggerakkan wayang (manusia). Manusia sebagai pancaran Tuhan yang sama-sama berada dalam alam semesta (kelir).100

Setiap benda yang ada dalam seni pewayangan tersebut memiliki maknanya masing-masing. Dan yang paling terkenal serta harus ada dalam pewayangan adalah biasa disebut dengan kayon (gunungan).

Kayon memiliki makna tetindih, artinya kayon tersebut merupakan perabot wayang yang memiliki fungsi ganda dan

100 Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 90.

penancapan dalam pakeliran mendahului wayang-wayang yang lainnya. Maksudnya, sebelum kayon ditancapkan di pakeliran, maka wayang-wayang yang lainnya belum hidup, bahkan peletakannya dalam kotak pun menempati posisi paling atas (menjadi tetindih). Secara filosofis, kayon memiliki bobot yang lebih dibandingkan dengan tokoh boneka wayang lainnya.

Kayon menjadi lambang hidup dan penghidupan, di dalamnya berisi filsafat sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup, lambang alam semesta beserta isinya, dan tingkatan kehidupan manusia).101

Selain dari simbol kayon tersebut, dalam pewayangan juga terdapat beberapa tokoh yang memerankan sebagai pemilik sifat baik dan buruk. Misalnya saja seperti yang diambil dalam Kitab Ramayana maupun Kitab Mahabarata.

Ada beberap cerita yang mengajarkan bahwa keangkaramurkaan yang merupakan sifat Prabu Rahwana, atau Prabu Doryudana yang hanya dapat ditaklukkan dengan kebajikan yang merupakan sifat Prabu Rama Wijaya atau Prabu Puntadewa. Dalam peribahasa bahasa Jawa, hal ini dapat diungkapkan dengan Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Sesakti apa pun, namun bila orang tersebut memiliki sifat angkara murka akan dapat dihancurkan oleh kebajikan.102

Simbol dalam hal pengajaran dan etika juga terdapat dalam sebuah lagu. Karena tak semuanya simbol hanya terdapat dalam benda-benda atau seni ukir. Simbol juga digunakan dalam sebuah teks dengan menggunakan perumpamaan. Misalnya dalam lirik lagon (lagu) berikut ini:

Lir-ilir tandure wus sumilir Dak ijo royo-royo

Dak senggug penganten anya Cah angon penekna blimbing kuwi

Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira Dodotira dodotira kumitir bedhahing pinggir Domana jlumatana kanggo seba mengko sore

101 Asti Musman, Agama Ageming Aji, (Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017), h. 106.

102 Sri Wintala Achmad, Etika Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2018), h. 182.

Mumpung jembar kalangane Mumpung gedhe rembulane Ya suraka surak hore

Terjemah:

Ilir-ilir tanaman padinya telah tumbuh Tampak kehijau-hijauan

Seperti manten baru

Penggembala panjatka belimbing itu

Meskipun licin panjatkan untuk mencuci dodot Dodot ini hampir sobek bagian tepinya

Sulamlah dan jahitlah agar dapat untuk menghadap nanti sore Kesempatan masih luas

Mumpung rembulan sedang purnama Sorak lah- sorak “Hore”

Maksud dari lagu sakral tersebut adalah, menunjukkan keyakinan kepada Tuhan. Yaitu masnusia diibaratkan seperti pengantin baru yang membutuhkan bimbingan dari cah angon (pini sepuh atau petinggi). Yang kemudian diharapkan dapat membasuh dodot, maksudnya membasuh dosa. Karenanya dodot yang ada dalam diri manusia harus ditambal dengan cara memperbaiki diri melalui kesempatan penyucian diri supaya dapat dijadikan bekal untuk seba (menghadap) kepada Tuhan.

Yang kemudian ketika bekal ini telah diraih, kelak ketika manunggal (menyatu) dengan Tuhan akan bersorak hore (mendapat anugerah), berupa balasan amal perbuatan.103 f. Gerakan

Berdasarkan catatan sejarah, bahwa seni tari kerato yang sampai sekarang masih dilestarikan di Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran, Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman merupakan warisan Kesultanan Mataram.104 Dan dapat diketahui, bahwa kesenian gerak tari tradisional tersebut dilestarikan memiliki maksudnya tersendiri.

Selain untuk melestarikan budaya, gerak tari tradisional dilestarikan untuk mengajarkan bagaimana tata cara

103 Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 218.

104 Sri Wintala Achmad, Etika Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2018), h. 177.

ungguh (sopan santun) dengan mempelajari irama, rasa, estetika, dan makna dari setiap gerakannya.

Dalam seni gerak tari tradisional terdapat beberapa tingkah laku berupa ciri khas dari gerak tari tersebut. Seperti yang dicontohkan oleh salah satu narasumber dari penari tradisional Jawa sebagai berikut:

Gerak tari tidak hanya sekedar gerakan tubuh yang kosong tanpa makna. Setiap gerakan dalam tari mengandung makna dan maksud tertentu dan makna tersebut sesuai dengan tempat asal tarian tersebut. Misalnya saja tarian jawa. Gerak-gerak dalam tari jawa mengandung makna tertentu yang sesuai dengan unggah-ungguh atau etika jawa. Misalnya salah satu gerakan tari putri yang berasal dari Surakarta. Saat menari tari Surakarta putri, pandangan mata harus lurus kedepan namun pandangan menghadap kebawah. Hal ini memiliki makna tersendiri yaitu sesuai dengan unggah-ungguh bahwa seorang wanita jawa harus mengedepankan kesopanan, dan menjaga pandangan mata. Contoh gerakan yang lain yaitu saat menari tari Surakarta putri, siku dan ketiak tidak boleh dibuka terlalu lebar. Hal itu juga sesuai dengan unggah-ungguh jawa dimana seorang wanita memang tidak boleh memperlihatkan bagian-bagian yang sensitif, karena hal itu dianggap ‘saru’ (tabu).

Namun tidak semua tarian memiliki makna yang sama, tarian dari daerah lain tentunya memiliki makna dan unggah-ungguh tertentu.105

Dapat ditangkap dari berbagai sumber setika Jawa tersebut, bahwa pada setiap hal yang ada dalam Budaya Jawa melambangkan sebuah isyarat untuk beretika. Seperti peribahasa yang telah disebuatkan di atas sapa nandur bakal ngunduh, apabila kita mengikuti satu peribahasa itu saja, kita akan menampilkan etika sopan santun sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Karena kata

105 Wawancara dengan penari tradisional Jawa, Anik Saida, Semarang, 23 Juli 2018.

peribahasa tersebut memaksa watak manusia untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakan. Begitu pula dalam contoh pewayangan dalam berbagai macam kitab-kitab Jawa yang mencontohkan tentang kebaikan dan keburukan. Dapat penulis sambungkan pula dengan ungkapan becik ketitik ala ketara, yang mana maksudnya adalah segala macam kebaikan dan keburukan pasti akan terlihat. Kebaikan dari akhlak atau etika kita pasti akan terlihat di mata orang. Begitu pula dengan keburukan, sekecil apa pun keburukan tersebut disembunyikan, maka pada akhirnya pasti akan terlihat juga.

Maka dari itu, Budaya Jawa melalui berbagai macam tradisi, adat, seni, dan segala peninggalannya itu, mengharapkan manusia memiliki etika yang sesuai dengan unggah-ungguh orang Jawa yang memiliki ciri halus dan berperasaan.

Dokumen terkait