• Tidak ada hasil yang ditemukan

)يقهيبلا

B. Saran

Setelah melakukan penelitian dan penulis melihat bagaimana masyarakat Jawa saat ini, penulis ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Sebagai masyarakat Jawa, hendaknya kita dapat melestarikan peninggalan leluhur kita. Terlebih lagi dalam maslaah sopan santun yang telah diajarkan kepada kita sedari nenek moyang dahulu. Bahwa kita haruslah menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Menggunakan bahasa yang halus tanpa membedakan siapa pun orangnya. Sebagai orang Jawa haruslah

tegas dalam bertindak, namun tetap dengan menggunakan nilai kesopanan yang ada. Seperti pepatah Jawa yang mengatakan alon-alon asal kelakon. Tak perlu terburu-buru dalam bertindak, namun dalam pelaksnaannya tetap berjalan secara terus-menerus.

Seharusnya seperti itulah kita dalam kehidupan sehari-hari.

Daripada melaksanakan suatu pekerjaan dengan menumpuknya terlebih dahulu. Lebih baik dilakukan secara perlahan.

2. Sebagai generasi muda, seharusnya kita membantu untuk melestarikan budaya daerah masing-masing. Contohnya dalam pelestarian musik gamelan. Musik gamelan sudah terkenal sebagai salah satu warisan nenek moyang orang Jawa. seharusnya, sebagai orang Jawa patut berbangga. Bahwa budaya tersebut kini sudah terkenal hingga manca negara. Sehingga, kita sebagai generasi muda juga bisa ikut andil dalam pelestariannya.

3. Penulis berharap akan lebih banyak lagi anak-anak yang menggunakan etika sopan santun masyarakat Jawa yang halus.

Yang mengedepankan kesantunan daripada perilaku yang menyimpang. Sehingga, dalam bermasyarakat nantinya, ia akan menjadi seseorang yang dapat dinilai sebagai orang yang memiliki perilaku yang baik dan dapat dipercaya oleh lingkungannya.

89

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri Wintala. Etika Jawa. Yogyakarta: Araska, 2018.

Ali, Mohammad dan Mohammad Anshori. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Amin, Ahmad. ETIKA (Ilmu Akhlak). Jakarta: Karya Unipress, 1988.

Anik Saida. Wawancara. Semarang 23 Juli 2018.

Anshori, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1979.

Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2014.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta, 2002.

Asmunib. Wawancara. Salatiga 15 April 2018.

Budiono. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya: Almni, 2002.

Danandjaya, James. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain).

Jakarta: Pustaka Utama, 1991.

_____ Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Media Pustaka Utama, 2002.

Endaswara, Suwardi. Metode Teori Teknik Penelitian Pendidikan.

Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.

_____ Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi, 2018

Harris Marvin. Culture Man and Nature. New York: Thomas Y. Crowell Company, 1971.

Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Depok: RajaGrafindo Persada, 2015.

Hatta, Mohammad. Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta:

Pembangunan Djakarta, 1959.

Istikomah. Wawancara. Semarang 20 Juli 2018.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Ki Sardjono. Wawancara. Salatiga 15 April 2018.

Kodir, Abdul. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1998.

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998.

Mahmud, dkk. Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya. Bandung: Remaja RosdaKarya Offset, 2015.

Majid, Abdul. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung:

Remaja RosdaKarya, 2012.

Maktabah Syamilah

Mattulada. Masyarakat dan Kebudayaan Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemarjan. Jakarta: Djambatan, 1988.

Moleong, Laxy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja RosdaKarya, 1996.

Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2012.

Musman, Asti. Agama Ageming Aji. Yogyakarta: Pustaka Jawi, 2017.

N., Sudirman, dkk. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja RosdaKarya, 1992.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi aksara, 2010.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi. Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2013.

Nur, M. Qodirun. Terjemahan Kitab Mutiara Akhlak Al Karimah. Jakarta:

Pustaka Amani, 1993.

Prawira, Purwira Atmaja. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2008.

Ridjaluddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka, 2008.

Salam, Burhanudin. Etika Sosial. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sarwono, Sarlito W. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Press, 2014.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Vol. 4. Jakarta: Lentera Hati, 2012.

Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar. Bandung Refika Aditama, 2008.

Soleh, Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Subagyo, Joko. Metode Penelitian. Jakarta: Asdi Mohasatya, 2004.

Sudarminta. Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2010.

Suparlan. Mendidik Hati Membentuk Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2013.

Tax, Sol, (ed). Horizons of Anthropology. Chicago: Aldine Publishing Company, 1967.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka, 2003.

Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010

93

PEDOMAN WAWANCARA Narasumber 1

Nama : Ki Sardjono Alamat : Mrican, Salatiga

Profesi : Pelatih Pawiyatan Padha Rasa (Budayawan)

Pertanyaan : Bagaimana makna keIslaman yang terkandung dalam instrumen musik gamelan ?

Jawaban : ada makna instrumen gamelan itu seperti ini. Kenong itu sing nang kono-kono (yang di sana-sana). Kempul itu kumpulana (kumpulkan lah).

Kemudian kalau sudah dikumpulkan maka diberi dakwah keIslaman sampai harus jelas dan gamblang, maka ada instrumen gambang. Setelah gamblang, piye carane supaya kanthi mathuk mlebu ing agama Islam (bagaimana caranya bisa sesuai dengan agama Islam), mula ana instrumen arane kethuk (maka ada instrumen yang diberi nama kethuk). Kemudian nek wis mathuk (kalau sudah sesuai), selanjutnya ana instrumen gong (ada instrumen gong), yang diambil dari bunyinya gong yaitu gur, maksude nyeguro ing agama Islam (maksudnya masuklah ke dalam agama Islam). Terus ada hubungannya dengan kewajiban dalam Islam. Dulu itu gamelan laras nadanya selendro, ada lima belas bilahan. Yaitu, nada satu, nada dua, nada tiga, nada lima, dan nada enam. Tidak ada nada empat. Maksudnya adalah, apabila satu ditambah dua ditambah tiga ditambah lima dan ditambah enam, jumlahnya tujuh belas.

Sehingga maksud dan tujuannya adalah waktu yang harus dipenuhi adalah lima waktu yang jumlahnya adalah tujuh belas rakaat oleh agama Islam, sembahyang lima waktu. Dan orang yang sudah masuk Islam harus sembahyang lima kali dalam satu hari satu malam. Mula kendang (maka gendang), nek bar gong kuwi gur nyegur wes gelem salat ngantian terus kendang kae unine diambil saka suara tak karo ndang (sesudah gong dan gur masuk ke dalam agama Islam sudah mau melaksanakan salat selanjutnya ada

instrumen gendang yang diambil dari bunyinya tak ndang). Tak, artinya dulu tiap mesjid bunyinya bedug dulu baru adzan. Nah bedug itu kalo sudah di tak, maka langsung ndang. Ndang morono salat (langsung laksanakanlah salat).

Ini lah yang dinamakan adiluhung bahwa gamelan memiliki filsafat keIslaman yang tinggi. Gamelan kuwi nggagas anggone kewajiban salat lima waktu (gamelan itu menggagas mengenai kewajiban salat lima waktu).

Pertanyaan : Apakah dalam tokoh pewayangan ada siratan makna yang menggambarkan etika dalam berbudaya dalam masyarakat khususnya dalam masyarakat Jawa ?

Jawaban : Ada tokoh pewayangan namanya Bratasena. Brata iku tegese laku. Sena iku tegese isine ana. Makane nek wong arep golek sing isine ana, kudu nganggo laku. Semisal uwong sing arep golek ilmu, kudu ngelakoni golek ilmu. Nah kuwi sing diarani brata (laku). Terus ilmu sing dikarepke kuwi mau dadi isine. Mulo, lakon kuwi mau jenenge Bratasena. Nah, pewayangan iku menceritakan manusia dari kandungan ibu sampai matinya.

Itulah pedalangan memberi contoh yang baik dan yang jelek. Sebab apa pewayangan iku bengi, kuwi menggambarke nek kandungan ibu ki peteng.

Neng jero weteng sangang sasi sepuluh dina. Makane wayang kui nek disek mesti kudu sangang jam, menggambarkan kehidupan manusia dari kandungan ibu sampai lahir. Nah, banjur sakdurunge bubaran wayangane, dalang kui biasane nampilke wayang golek. Maksude, kon goleki makna becik lan alae watak pewayangan kui mau. Sing apik jupukono sing ala tinggalono. Sing salah ojo diterjang, sing becik lakonano. Pedalangan nggambar becik lan alane manungso urip.

Brata itu artinya laku (tingkah laku). Sena itu artinya isinya ada. Jadi, kalau orang ingin menacari sesuatu yanga da isinya, maka harus menggunakan tingkah laku. Semisal, orang yang akan mencari ilmu, harus melakukan

pencarian ilmu tersebut. Nah, itulah yang disebut dengan brata (laku).

Kemudian, ilmu yang diinginkan itu tadi yang akan menjadi isinya. Maka dari itu, tokoh tersebut diberi nama Bratasena. Pewayangan itu menceritakan manusia dari sejak berada dalam kandungan ibu sampai wafatnya. Itulah pedalangan, memberi contoh yang baik dan yang buruk. Sebab mengapa pewayangan itu dilakukan malam hari ? Itu adalah penggambaran kalau di dalam kandungan ibu sangatlah gelap. Di dalam perut sembilang bulan sepuluh hari. Makannya, wayang itu dulu pelaksanaannya harus sembilan jam, yang menggambarkan kehidupan manusia di dalam perut ibu sampai lahirnya.

Nah, setelah itu sebelum pertunjukan wayang dibubarkan, biasanya dalah menampilkan wayang golek. Maksudnya adalah, penonton disuruh mencari makna baik dan buruk watak pewayangan yang telah ditampilkan sebelumnya.

Yang baik diambil, dan yang buruk ditinggalkan. Yang salah jangan diterjang, yang bagus dilakukan. Pedalangan itu menggambarkan baik dan buruknya manusia hidup.

Pertanyaan : apa alasan Simbah mendirikan Pawiyatan Padha Rasa dan mengajarkan budaya Jawa ?

Jawaban : Kenapa Simbah mendirikan Pawiyatan Padha Rasa iku (itu) karena ingin nguri-uri, tegese aku ora ngelalekake (saya tidak melupakan), melestarikan budaya Jawa. Ditambah lagi mengembangkan.

Pertanyaan : Bagaimana caranya Simbah mengenalkan dan mengajarkan Budaya Jawa kepada peserta Pawiyatan Padha Rasa ?

Jawaban : Simbah kudu ngikuti kuate wadah iku sanggup diiseni sepiro (Simbah harus mengikuti katnya wadah itu sanggup diisi seberapa). Aja nganti mbludak tur aja nganti pecah (Jangan sampai terlalu penuh, akhirnya pecah).

Simbah ini mencari murid yang tidak bisa supaya bisa. Jadi Simbah harus sabar pada murid untuk belajar budayanya sendiri. Simbah itu kalau mengajar

caranya pertama pengenalan dulu. Entah pada karawitan atau gamelan.

Pertama pengenalan intrumen dalam kesenian gamelan, macamnya ada berapa.

Misal mengenalkan gamelan laras pelog sama laras selendro. Ciri dari keduanya itu apa. Kemudian mempelajari nama-namanya tiap instrumen. Tiap bentuk instrumen itu berbeda-beda makna dan nadanya, maka dari itu diterangkan satu per satu. Setelah itu baru praktik. Nah awale kuwi mesti praktike tak ajari tak contoni (Awalnya praktiknya itu diberi contoh terlebih dahulu). Nek wes mudeng, banjur mulai praktik dewe-dewe (Kalau sudah faham, kemudian mulai praktik sendiri-sendiri). Minangka salah yo nggak masalah (Kalaupun salah juga tidak masalah). Karena kalau belajar instrumen musik itu harus memperhatikan tiga faktor. Yang pertama faktor kecerdasan, kedua faktor keterampilan, ketiga faktor perasaan. Nabuh instrumen iku ora ngandalkake cerdas tok (memukul instrumen itu tidak mengandalkan cerdas saja). Kudu nganggo keterampilan karo perasaan (Harus menggunakan keterampilan dan perasaan). Mengko nek iramane cepat, butuh keterampilan ora Cuma ngandalkake apalan nadane tok (Kalau iramanya cepat, butuh keterampilan, bukan hanya mengandalkan hafalan nada saja). Sama halnya dengan berperasaan, ketika sudah hafal dan terampil tapi tidak menggunakan perasaannya, yo malah ketimpungan ora jelas (nanti menjadi ketimpungan tidak jelas). Dalam pelajaran pewayangan juga begitu. Seorang dalang harus tau bagaimana caranya suluk, nyekel wayang (memegang wayang), arane tokoh-tokoh lan pewatakane (nama-nama tokoh dan wataknya), dhodhogan lan keprakan kuwi piye (dhodhogan dan keprakan itu bagaimana), cara menggunakan dan bunyinya itu seperti apa. Itu Simbah mengajarkan satu-satu.

Harus sabar. Sesuai dengan porsi wadahnya masing-masing.

Pertanyaan : adakah satu tembang yang diajarkan untuk pemula yang baru mengenal budaya Jawa ? Contoh tembang yang memiliki makna etika di dalamnya ?

Jawaban : Iki contone nembang arane Pocung Sinau (Ini contohnya nembang, namanya Pocung Sinau). S = sisa wektu, I = iku anggonen sinau, N

= nadyan mung sedelo, A = aja wegah ambaleni, U = uginen supaya bisa kasembadan.

S = sabar E = eling N = nrima I = ikhlas nganthi katindakno. Wong seni iku kudu ikhlas anggone ngajarake kesenian. Rameo nggawe sepio pamrih, iku gawe wong seni.

Narasumber 2

Nama : Asmunib, M. Ag

Alamat : Pedurungan Lor, Semarang

Profesi : Guru dan Pelaku Budaya (Dalang)

Pertanyaan : bagaimana menurut anda mengenai cara pembelajaran budaya Jawa di Pawiyatan Padha Rasa ini yang diajarkan oleh Simbah Sardjono ? (Abah)

Jawaban : Carane Simbah menyampaikan kui mau yo mentes (caranya Simbah menyampaikan itu memiliki kajian materinya), tetes (bisa membuahkan), titis (mengarah pada suatu tujuan), tatas (ada nilai kesempurnaan). Simbah menyampaikan materi itu dengan ikhlas dan sabar.

Jadi walaupun kelihatan keras saat mengajar, tapi Simbah mengikuti kemampuan muridnya.

Narasumber 3

Nama : Anik Saida

Alamat : Perum KCVRI no 58, Gedangan, Kec. Tuntang, Kab.

Semarang

Profesi : Pelaku Budaya dan Penari Tari Tradisional Jawa Pertanyaan : menurut anda, apa itu budaya Jawa ?

Jawaban : Budaya Jawa merupakan cara pandang dan cara bersikap orang Jawa lalu dilaksanakan dalam adat istiadat atau tradisi masyarakat.

Budaya Jawa mengutamakan kesopanan dan kesederhanaan. Contohnya yaitu sering kita mendengar kata “putri solo”. Putri solo adalah karakter dengan gambaean wanita Jawa yang sopan dan beradab. Budaya Jawa melekat di hati setiap individunya. Budaya Jawa tidak hanya terdapat di pulau Jawa saja.

Contohnya, sesorang yang berasal dari pulau Jawa, saat orang itu merantau ia akan tetap ingat budaya Jawa dan membawanya sampai dimana tempat dia berada. Budaya Jawa juga sangat unik, misalnya saja tradisinya, rumah adat, alat musik, dll. Karena keunikannya itu banyak yang ingin mempelajari budaya Jawa, bahkan turis mancanegara pun tertarik dengan budaya Jawa, contohnya gamelan. Bahkan gamelan sampai dipelajari di luar negeri.

Pertanyaan : Menurut anda, adakah persamaan penggambaran etika Islam dalam etika Jawa (unggah-ungguh Islam dalam budaya Jawa) ? Kalau ada, bagaimana contohnya ?

Jawaban : Menurut saya jelas terdapat persamaan dalam penggambaran etika Islam dan etika Jawa. Agama dan budaya Jawa saling terkait, tidak dapat dipisahkan, begitu pula etika Islam dan etika Jawa. Budaya Jawa menerima semua agama tanpa membeda-bedakan, namun didalamnya terdapat aturan tersendiri. Salah satu contohnya adalah peran wanita dalam pandangan etika Islam dan etika Jawa. Dalam etika Islam dan etika Jawa, wanita sama-sama dituntut untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan etika yang berlaku.

Wanita dalam etika Islam dan etika Jawa harus berada sesuai porsinya masing-masing. Harus bisa menjaga dirinya sendiri dan menjadi pendamping bagi pasangan serta dapat diandalkan dalam segala hal. Harus bisa “mawas diri”

dalam menghadapi globalisasi, jangan sampai terjerumus dan menodai kodratnya sebagai wanita yang sesuai dengan etika Islam dan etika Jawa.

Pertanyaan : Menurut anda, bagaiman contoh etika (unggah-ungguh) budaya Jawa yang dilakukan dalam sebuah gerak tari ? Contoh sopan santun atau semacamnya ?

Jawaban : Gerak tari tidak hanya sekedar gerakan tubuh yang kosong tanpa makna. Setiap gerakan dalam tari mengandung makna dan maksud tertentu dan makna tersebut sesuai dengan tempat asal tarian tersebut.

Misalnya saja tarian Jawa. Gerak-gerak dalam tari Jawa mengandung makna tertentu yang sesuai dengan unggah ungguh atau etika Jawa. Misalnya salah satu gerakan tari putri yang berasal dari Surakarta. Saat menari tari Surakarta putri, pandangan mata harus lurus kedepan namun pandangan menghadap kebawah. Hal ini memiliki makna tersendiri yaitu sesuai dengan unggah-ungguh bahwa seorang wanita Jawa harus mengedepankan kesopanan, dan

menjaga pandangan mata. Contoh gerakan yang lain yaitu saat menari tari Surakarta putri, siku dan ketiak tidak boleh dibuka terlalu lebar. Hal itu juga sesuai dengan unggah-ungguh Jawa dimana seorang wanita memang tidak boleh memperlihatkan bagian-bagian yang sensitif, karena hal itu dianggap

‘saru’. Namun tidak semua tarian memiliki makna yang sama, tarian dari daerah lain tentunya memiliki makna dan unggah ungguh tertentu.

Pertanyaan : Menurut anda, bagaimana manfaat atau hal yang dapat diambil dari belajar etika Jawa melalui gerak tari ?

Jawaban : Menurut saya, sebagai wanita Jawa dan mahasiswa Pendidikan Seni Tari yang notabene harus lebih tau makna dalam suatu tarian,salah satu manfaat mempelajari etika Jawa melalui gerakan tari adalah kita bisa lebih tau dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja etika kesopanan. Sangat penting bahwa kita memiliki sifat yang sopan dan santun, apalagi seiring dengan berkembangnya era globalisasi yang tidak lagi mengenal seni dan budaya Jawa. Dengan mempelajari tarian Jawa, kita sekaligus bisa mempelajari etika Jawa yang terkandung dalam setiap gerakan tarinya, agar kita tidak terjerumus dan malah mengikuti budaya luar yang sangat tidak sesuai dengan etika Jawa.

Narasumber 4

Nama : Istikomah

Alamat : Desa Terban, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang Profesi : Mahasiswa dan Murid dalam Pawiyatan Padha Rasa

Pertanyaan : Menurut anda, bagaimana pandangan anda mengenai budaya Jawa dan mistik yang tergantung di dalamnya? Apakah ada makna keIslamaan di dalam budaya Jawa tersebut?

Jawaban : Menurut saya, yang dimaksud dengan budaya Jawa dan mistik yang terkandung di dalamnya adalah keyakinan akan roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, seperti upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada Tuhan atau meminta berkah, serta meminta terkabulnya permintaan dengan mendatangi makam orang-orang tertentu. Hal-hal tersebut sah-sah saja dilakukan selama tidak menuhankan roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib. Hal tersebut dilakukan hanya untuk nguri-uri

budaya Jawa dan bentuk menghormati makhluk lain yang hidup beriringan dengan manusia. Meminta suatu permintaan hanya ditujukan kepada Allah, karena nilai mistik yang terkandung dalam upacara adat dan agama atau ketauhidan akan Islam merupakan dua hal yang terpisah meskipun Budaya Jawa terdapat makna filosofis yang beriringan dengan agama Islam yang dimasukkan oleh para wali. Maka, Budaya Jawa dengan mistis yang terkandung di dalamnya tidak ada kaitannya dengan makna penyekutuan Tuhan.

Pertanyaan : Menurut anda bagaimana makna spiritual dalam budaya Jawa

?

Jawaban : Menurut saya jika makna spiritual itu berkaitan dengan batin seseorang atau keinginan seseorang untuk menuju hal yang lebih tinggi dari dirinya. Contohnya mendekatkan diri kepad sang pencipta dengan cara berpuasa, bertapa, dll. Sedangkan mistik dalam budaya Jawa sendiri berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib.

Pertanyaan : Menurut anda, apakah ada pepatah atau peribahasa Jawa yang menggambarkan atau memiliki arti tentang beretika atau berperilaku?

Kalau ada, bagaimana bunyinya?

Jawaban : Ada, “Sapa Nandur Bakal Ngundhuh” begitulah bunyi pepatahnya. Pepatah tersebut memiliki arti siapa menanam akan menuai.

Secara luas pepatah ini berarti bahwa apapun yang kita perbuat di dunia ini, khususnya berkaitan dengan perilaku yang kita lakukan akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat.

Pertanyaan : Menurut anda, manfaat apakah yang anda dapatkan dari mempelajari budaya Jawa, terutama dalam etika dan kehidupan sehari-hari anda?

Jawaban : Banyak yang dapat diperoleh dari mempelajari budaya Jawa, salah satunya berkaitan dengan unggah-ungguh yang harus diterapkan kepada orang tua kita. Bagaimana kita harus berperilaku, berbahasa, dan beretika.

102

DOKUMENTASI

(Pelatihan Pedhalangan)

(Pembina Mencontohkan Tabuhan Gendang)

(Pelatihan Vokal)

(Pembina Memberikan Arahan Mengenai Tabuhan dan Ketukan Gamelan)

(Pelatihan Gamelan dan Karawitan)

(Penulis Saat Melakukan Penelitian )

Dokumen terkait