• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan Pendapatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan Pendapatan."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Unggulan : Ekonomi Pembangunan Pariwisata

LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN

Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis

Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka

Pemerataan Pendapatan

TIM PENELITI

Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi

NIDN : 0022115407

Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME

NIDN : 0018066801

Drs I Ketut Sutrisna, MSi

NIDN : 0011125708

Jurusan Studi Pembangunan

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2014

(2)

Arah perkembangan perekonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di daerah Bali.

World Travel Tourism Council (2011) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2010.

Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan masyarakat, sehingga dengan sendirinya berpotensi menciptakan permintaan pasar pariwisata (Loandse dan Debbage, 2004). Pemerataan pembangunan pariwisata di Bali dengan membangun bandara internasional di wilayah Bali utara, adalah upaya mendekatkan destinasi pariwisata Bali utara melalui pengadaan sarana transportasi udara.

Penelitian ini melakukan penelitian persepsi dengan mengembangkan community-based tourism (CBT) sebagai strategi pembengan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat di Bali utara. Penelitian melakukan konstruksi model berdasarkan referensi teoritik yang membentuk CBT dimaksud. Sejumlah variabel antara lain Infras (X1), Commitment (X2), Modal social Network (X3), kebijakan pemerintah (X4), Kolaborasi (Y1) serta destinasi wisata CBT (Y2).

Berdasarkan penggunaan analisis SEM dan path variance-based PLS, diperoleh hasil analisis bahwa modal social ternyata merupakan asset strategis masyarakat yang mampu diangkat sebagai kekuatan baru dalam mengembangkan destinasi wisata berbasis kepemilikan rakyat. Kebijakan pemerintah (X4), Commitment (X2) dan Modal social (X3) adalah signifikan terhadap pembentukan kolaborasi (Y1), sedangkan kolaborasi (Y1) berpengaruh secara langsung membentuk destinasi wisata berbasis masyarakat.

Melalui penggunaan second order procedure pada SmartPls, diperoleh dukungan bahwa komponen modal social linkage (Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) memiliki kontribusi yang seimbang dalam membentuk laten variabel Network (X3). Hasil penelitian dengan menelusuri peran intermediasi antar variabel amatan, ternyata modal social memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui commitment (X2) dan kebijakan pemerintah (X4). Destinasi wisata CBT (Y2) tidak terbukti dipengaruhi secara intermediasi oleh sejumlah variabel yang membentuk destinasi wisata CBT tersebut, melainkan hanya terbukti dapat diwujudkan melalui hubungan langsung kolaborasi (X2) dan kebijakan pemerintah (X4).

Rekomendasi yang dapat dirumuskan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah untuk memperhatikan dengan cermat partsipasi pengusaha lokal non pariwisata sebagai komponen commitment (X2) yang memiliki tanda parameter negative, dalam hal mana prilaku dalam membentuk kolaborasi berlawanan arah, sehingga pemberdayaan melalui capacity building serta sosialisasi tentang manfaat pentingnya kebersamaan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengajak pengusaha non pariwisata menjadi satu kesatuan gerak langkah dalam mewujudkan destinasi wisata di kabupaten Buleleng. ***

(3)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pariwisata sebagai salah satu sektor kegiatan perekonomian telah mengalami

pertumbuhan sangat pesat di berbagai negara, tidak saja berperan sebagai penyedia lapangan

kerja, tetapi juga berdampak nyata sebagai sumber pendapatan devisa, serta membantu

mengurangi tekanan defisit pada neraca pembayaran ( Dapatdoran, 2001).

World Travel Tourism Council (2002) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar

penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat

sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah

mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2002 tersebut.

Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi

terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan

masyarakat, sehingga berpotensi dengan sendiriya menciptakan permintaan pasar pariwisata (

Loandse dan Debbage, 2004).

Arah perkembangan pereonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental

perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat

dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis

dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya

saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di Indonesia.

Berkaitan dengan potensi sektor pariwisata dengan arah perkembangan pasar dunia

yang sangat menjanjikan bagi upaya perluasan lapangan kerja dan pembentukan pendapatan

masyarakat, maka destinasi pariwisata perlu diperluas wilayahnya untuk tidak saja terpusat

pada Bali selatan, tetapi juga dapat diperlebar ke wilayah Bali utara yang relatif memiliki

(4)

yang sedemikian besar tidak didukung oleh kesiapan infrastruktur pariwisata, terbatasnya

akses pariwisata, serta kendala sumber daya terlatih dalam menyediakan akomodasi,

restaurant dan hotel yang memadai sebagai komponen strategis penunjang pariwisata.

Meskipun banyak pihak telah menyadari bahwa pemusatan kegiatan pariwisata di Bali

selatan telah berdampak nyata pada kemacetan lalu-lintas dan aktivitas wisatawan yang padat

telah menghasilkan persoalan sampah yang mengurangi kenyamanan wiisatawan dimasa

depan.

Perencanaan pemerintah pusat dalam rangka pengembangan bandara Bali Baru yang

ditempatkan di Bali utara dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan melalui

pengembangan sektor pariwisata, namun keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia

untuk mampu mewujudkan kualitas pelayanan pariwisata yang bermutu, tentu masih menjadi

permasalahan yang perlu ditelusuri peran serta masyarakat untuk dapat berfungsi

menggerakkan industri pariwisata yang berkelanjutan.

Collaboration network yang saat ini banyak muncul ke permukaan sebagai salah satu

bentuk solidaritas komunitas dapat difungsikan sebagai lokomotif dalam pengembangan

industri pariwisata pada kawasan Bali utara. Palmer dan Bejau (2005) merumuskan

colloaboration network sebagai keterpaduan langkah bersama dalam produk pelayanan

pariwisata, sehingga dapat menyajikan produk berdaya saing. Potensi sumber daya manusia

yang dapat memuat kolaborasi dalam menghasilkan produk barang dan jasa pada industri

pariwisata adalah issue strategis saat ini sebagai upaya menyajikan produk wisata bernilai

tambah tinggi dimasa depan.

( Sriram, et al, 1999).

Faktor penentu yang dapat membentuk networ collaboration adalah sejumlah

komponen yang lazim ditemukan pada pembahasan modal sosial sebagai bagian dari human

(5)

juga Dwyer, (1999), menyatakan bahwa konsep trust merupakan proses pembentukan

komunikasi antar kelompok yang saling percaya satu sama lainnya, tentunya sebagai proses

awal terbentuknya collabration network,

Kerangka hubungan trust yang dapat dipetakan pada kondisi industri pariwisata

tertentu, akan dicermikan oleh pola hubungan transaksi antara hotel sebagai sarana

kepariwisataan dengan travel agent dan komponen pendukung industri pariwisata lainnya (

Diego dan Juan, 2000).

Collaboration network juga dapat dibentuk oleh komponen modal sosial commitment,

sebagai variabel yang akan membentuk collaboration network. Anderson dan White (1992)

menyatakan bahwa commitment adalah kehendak untuk mewujudkan relasi bisnis dalam

jangka panjang.

Komponen pembentuk collaboration network berkutnya adalah komponen modal

sosial norma atau tradisi yang dapat menjadi pedoman dan garis kebijakan orang perorangan

pada anggota masyarakat, tetapi terikat kuat dengan tradisi norma kemasyarakatan pada

komunitas masyarakat bersangkutan. Keterikatan pada aturan organisasi dalam bentuk lisan

atau tertulis, adalah merupakan potensi yang akan membentuk collaboratian network.

Infrastruktur pariwisata dilain fihak, adalah accomodation services, food and

beverages services, attractions, events and activities ( Ontario TourismCompetitiveStudy,

2009), serta akses yang dapat mempermudah tercapainya lokasi destinasi ( Shara, et al

(6)

Pemetaan potensi ekonomi kerakyatan yang tersedia saat ini di wilayah kabupaten

Buleleng dilakukan melalui penelitian persepsi, untuk melihat keberadaan ekonomi rakyat

dan kemungkinannya dapat ditingkatkan menjadi potensi modal sosial untuk mendukung

kegiatan industri pariwisata berbasis komunitas. Potensi modal sosial pada sebuah struktur

sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari tiga pilar utama modal sosial ( Putnam, 1998),

mencakup antara lain networking, trust dan norma. Apabila ketiga komponen modal sosial

tersebut hidup berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan pada masyaraat lokal,

maka sangat mungkin dapat ditingkatkan menjadi fondasi dalam rangka pengembangan

community-based tourism (CBT) di kabupaten Buleleng.

1.2 Rumusan Pokok Masalah

(7)

permasalahan sebagai berikut.

a. Bagaimana pengaruh kolaborasi yang terbentuk dari potensi social capital

berpengaruh terhadap terwujudnya komunitas industri pariwisata CBT di kabupate

Buleleng.

b. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)

berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

komunitas (Y1).

c. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi commitment (X2)

berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

komunitas (Y1).

d. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) berpengaruh terhadap

pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).

e. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah (X4)

berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

komunitas (Y1).

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah potensi modal sosial

masyarakat lokal serta pengkaitannya dimasa depan dengan kemungkinan

terwujudnya industri pariwisata berbasis komunitas lokal CBT.

a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung variabel kolaborasi yang

terbentuk dari potensi social capital terhadap terwujudnya komunitas industri

pariwisata CBT di kabupaten Buleleng.

b. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)

(8)

c. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi

commitment (X2) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui

kolaborasi (Y1).

d. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) terhadap

pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).

e. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah

(X4) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi(Y1).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sebagai masukan bagi kegiatan pembelajaran bagi perguruan tinggi, terutama pada

bidang ilmu ekonomi pembangunan pariwisata, yang semakin berkembang dewasa ini

sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya

peningkatan permintaan pasar pariwisata.

b. Sebagai masukan bagi pemerintah kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan

kebijakan rencana induk pariwisata daerah (RIPDA) serta arah perumusan kebijakan

jangka pendek untuk mengantsipasi pembangunan bandara Bali Baru yang telah

mencapai rintisan lokasi di kecamata Kubutambahan Buleleng.

c. Sebagai sarana pelatihan bagi mahasiswa yang ikut serta menjadi peneliti lapangan,

sehingga dapat memberikan wadah kegiatan diluar kampus yag bermanfaat bagi

(9)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Fondasi Ekonomi Kerakyatan Social Capital

Community-based tourism adalah sebuah tatanan industri pariwisata masyarakat

berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai owner ( Cavaye, 2000).

Model bisnis pariwisata berbentuk CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada

masyarakat lokal bersangkutan memiliki fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan,

2009).

S.C. Narayan (2005) menggambarkan social capital sebagai komponen yang

terbentuk dari sejumlah prilaku yang terdapat pada struktur kemasyarakatan, seperti

kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang masyarakat yang melahirkan

aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan yang mengikat masyarakat,

pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan kepentingan organisasi sosial dan

kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup bersosialisasi dalam jaringan komunikasi

dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan komunikasi dalam pelbagai kepentingan,

prilaku dan cara pandang untuk mendahuukan kepentingan orang lain, sehingga dapat

menjadi balas jasa atas perbuatan baik kepada sesama dimasa depan, serta adanya kebutuhan

untuk membangun fondasi kepercayaan (trust) dengan keberadaan pimpinan kelompok

sebagai panutan. Lihat Gambar 1.1.

Bentuk sosial capital dalam kebersamaan (better together) tercermin dari prilaku

kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Pada fondasi dimana social

capital memegang peranan penting, maka partisipasi dalam kegiatan pengambilan komunitas

(10)

Trust adalah komponen social capital berikutnya yang akan menjadi bagi terwujudnya

industri paruwusata berbasis masyarakat, termasuk terkondisikannya trust dalam membangun

komunikasi antar tetangga, antar anggota masyarakat dengan pimpinan kelompok, pimpinan

pemerintahan serta komunitas lainnya.

Kesediaan untuk berbuat dan menolong anggota kelompok lain yang sedang

memerlukan bantuan, adalah bentuk kebersamaan (togethesness) yang berpotensi menjadi

kekuatan baru dalam suatu aktivitas bisnis, karena akan membentuk kekuatan kolaborasi.

Gambar 1.2

Komponen Pembentuk Social Capital

UNEP (2002) merekomendasikan peranan pemerintah dan komponen aliansi non

pemerintah untuk membangun capacity building masyarakat lokal dalam mewujudkan

(11)

keputusan yang lebih luas. S.C. Nayaran (2005) melihat pemberdayaan masyarakat dalam

mewujudkan kebersamaan dapat ditelusuri melalui dua penentu pembentukan social capital

yang kuat pada masyarakat lokal, yaitu melalui bentuk penyeragaman komunikasi,

penyamaan cara pandang dan tujuan organisasi bersama, serta upaya pemberdayaan

9empowerment) melalui peranan dan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan dan

membangkitkan social capital sebagai cara dalam mencapai tujuan akhir bersama.

Gambar 1.3

Peranan Pemerintah Dalam pembentukan Modal Sosial

2.2 Komunitas Industri Berbasis Masyarakat CBT.

Proses pembangunan masyarakat berbasis CBT tidak terwujud begitu saja, melainkan

dilaksanaan melalui pendekatan konsep dan strategi yang terarah, konsisten dan

berkesinambungan. Aref dan Redzuan (2009), memberikan tahapan capacity building melalui

tahapan pengembangan dan pemberdayaan the ability to act, dari peranan individual ke

(12)

Peningkatan keterampilan dan pengetahuan anggota komunitas yang memiliki kecakapan

khusus, dapat ditingkatkan peranan mereka untuk memasuki komunitas bisnis, dimana

mereka memiliki kecakapan yang memadai dalam ikut serta melaksanaan proses perencanaan

dan pengendalian bersama. Kecakapan anggota komunitas dalam proses pengambikan

keputusan ini kemudian ditingkatkan perananya sebagai pemilik atas kegiatan bisnis, maka

pada industri pariwisata, maka peranan anggota dalam komunitas adalah sebagai pemilik atas

kegiatan industri. Kepemilikan ini yang selanjutnya dikenal sebagai industri pariwisata

berbasis masyaarakat CBT (Akama dan Kieti, 2007).

Gambar 1.4

Proses Pembentukan Masyarakat Industri Wisata Berbasis Masyarakat Lokal

Berdasarkan Gambar 1.4 maka tampak bahwa untuk mencapai sasaran akhir

pelayanan industri wisata yang berdaya saing (municipal services), diperlukan dukungan

perencanaan yang terarah dan konsisten didukung oleh infrastruktur dan kapasitas sumber

daya, serta pada sisi lain adalah pengelolaan jasa pelayanan yang tepat sasaran, sehingga

menjadi destinasi wisata yang akan dikunjungi secara berulang.

Gambar 1.5

(13)

Sustainable community based tourism akan dapat dicapai jika pemberdayaan

masyarakat menuju tahapan ownership dapat diwujudkan, sehingga proses partisipasi dalam

pengambilan keputusan bisnis manageent destinasi wisata tentu menjadi lebih stabil dan

berkesinambungan, karena kolaborasi berbasis modal sosial memiliki fondasi komunitas

sharing profit together, dibandingkan usaha swasta nasional yang tidak memiliki basis

(14)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Model Kerangka Pikir

Penyusunan kerangka piker penelitian dirumuskan berdasarkan konsep teori yang

telah disajikan pada BAB 2, serta berdasarkan rumusan tujuan penelitian yang telah

ditetapkan, maka model teoritik disusun untuk menjawab tujuan penelitian yang telah

dirumuskan pada BAB 1.

Model kerangka penelitian yang akan disusun merupakan pendekatan pemecahan

masalah yang disusun berdasarkan teori, berdasarkan kerangka teoritik tersebut diharapkan

menjadi panduan dalam rangka memilih variabel penelitian yang relevan dengan tujuan

penelitian ini.

Penelitian ini melakukan kajian tentang peluang dan kemungkinan pengembangan

community-based tourism di wilayah kabupaten Buleleng, yaitu suatu tatanan industri

pariwisata masyarakat berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai

pemilik atas inustri pariwisata tersebut ( Cavaye, 2000). Model bisnis pariwisata berbentuk

CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada masyarakat lokal bersangkutan memiliki

fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan, 2009). Basis industri pariwisata

setdaknya diharapkan dapat mewujudkan kolaborasi tiga pilar industry, yaitu masyarakat

lokal dimana destinasi wisata itu diselenggarakan, pengusaha lokal dan pemerintah kabupaten

sebagai fasilitator dan legasi atas keberadaan destinasi wisata yang terbangun. Kerangka

(15)

Masterplan

S.C. Narayan (2005) menggambarkan potensi social capital yang telah tersedia pada

masyarakat dapat dimanfaatkan dalam rangka memantapkan dan penguatan struktur

kemasyarakatan, seperti kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang

masyarakat yang melahirkan aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan

yang mengikat masyarakat (norms), pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan

kepentingan organisasi sosial dan kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup

bersosialisasi dalam jaringan komunikasi dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan

(16)

konsep CBT sebagaimana dipetakan berbasis kepada modal social disajikan pada Gambar

3.1.

Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, maka secara operasional kebijakan pemerintah

Kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan strategi pembangunan yang berbasis ekonomi

kerakyatan pada industri pariwisata dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat

(capacity building), untuk menggerakkan potensi modal sosial sebagai basis kebersamaan

(better together) mencakup potensi norma dan budaya masyarakat, potensi network

masyarakat Buleleng, serta membangkitkan rasa percaya diri, kebersamaan dalam organisasi

kemasyarakatan, serta menempatkan aparat pemerintah sebagai motivator dan fasilitator

untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat dalam merumuskan kepentingan mereka

melalui pola kekerabatan dan kebersamaan.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan dorongan bagi pembentukan trust pada

masyarakat sebagai modal dasar bagi pembangunan kawasan, (Hilde & Benny (2005),

Pepfar (2000), UNEP (2005). Pengembangan potensi social capital trust akan berdampak

positif bagi etos kerja kebersamaan sebagai modal kerja masyarakat diluar modal dalam

bentuk uang dan fasilitas financial lainnya.

Kajian peneliti Noya & Clarence (2009), dan Kimmo (2010), menyatakan pembentukan

social capital merupakan proses yang berkaitan dengan dukungan tradisi, norma masyarakat

serta semangat tradisi kebersamaan yang berjalan searah dengan dinamika masyarakat

menuju terwujudnya kesejahtraan yang dikelola bersama.

2.3 Kerangka Pikir Penelitian

(17)

permasalahan dan tujuan penelitian, maka keterkaitan ketiga hal tersebut diatas, dipetakan

menjadi kerangka pikir penelitian, yang juga dapat dirumuskan sebagai hipotesis penelitian

yang dissusun secara parsial dengan kerangka hubungan model penelitian sebagaimana

disajikan pada Gambar 3.2 .

Model CBT yang dibangun dan tersajikan pada Ganbar 3.2 mencakup basis modal

social yang diharapkan dapat diwujudkan melalui dua sumber utama, yaitu partisipasi

masyarakat yang bermukim disekitar destinasi wisata, dan kompoen pengusaha lokal yang

dipersiapkan senagai enterprenenurs dalam membangun sarana destinasi termasuk

penginapan, restaurant, ketersediaan pramuwisata, pengadaan atraksi budaya, kesenian dan

atraksi seni lainnya. Partisipasi masyarakat secara garis besar dinyatakan sebagai

infrastruktur pariwisata (INFRAS). Dukungan komponen partisipasi dalam rangka

mewujudkan ekonomi kerakyatan pada industry pariwisata juga akan ditentukan oleh tokoh

masyarakat dalam lingkungan detinasi wisata yang dikonstruksi sebagai commitment

(COMTT), yaitu persepsi yang diharapkan dapat memberikan ruang yang konsisten dalam

mengawal dan mendorong terwujudnya masyarakat industry wisatya berbasis kepemilikan

masyaraat lokal.

Persepsi tentang ruang entrepreneurs untuk masyarakat lokal dipetakan pada potensi

network, yaitu adanya kebersamaan para pengusaha dalam mewujudkan kawasan industri

berbasis masyarakat lokal. Potensi network dipetakan dengan linkage, norma dan trust.

Linkage adalah potensi modal social dalam melihat tingkatan network para pengusaha dalam

menjangkau transaksi bisnis, mencakup wilayah lokal desa, antar desa, network kecamatan

atau bahkan kabupaten/propinsi. Potensi network akan menjadi acuan bagi kesiapan

pengusaha lokal dalam membangun jaringan dan menetapkan target dalam melaksanakan

pelayanan pada industry kepariwisataan. Keterbatasan kemampun membangun jaringan, tentu

(18)

masyarakat.

Trust adalah salah satu komponen modal sosial yang memiliki peranan strategis

dalam mewujudkan kebersamaan dalam komunitas. Apabila komponen trust adalah rendah

pada komunitas masyaraat, maka peluang pengembangan industri wisata berbasis masyarakat

relative sulit untuk diwujudkan.

Variabel Infras (X1) mencakup dukungan prasarana termasuk didalamnya kondisi dan

karakter kependudukan dan kualitas lingkungan alam dengan managemen pelestariannya (

Gooroochurn dan Sugiyarto, 2005). Aspek yang lain dari Infrastruktur pariwisata adalah

destination infrastructure yang sangat menentukan permintaan atas layanan destinasi (

Murphy et al, 2000). Crouch dan Riche (1999) serta Kadaroo dan Seetanah (2007)

menyatakan bahwa kualitas destinasi tidak mungkin mengabaikan peranan transortasi udara,

laut, jalan darat yang memadai, serta dukungan fasilitas listrik dan ketersediaan air untuk

berbagai kepentingan.

Infrastructure tourism tidak sebatas dalam pengertian transportasi jalan raya, tetapi

juga termasuk ketersediaan jaringan telekomunikasi dan sistem informasi, serta dukungan

atas fasilitas pelayanan wisata termasuk sarana hotel, restaurant dan dukungan yang layak

dan memadai bagi pelayanan wisatawan ( Crouch dan Richie, 1999).

Commtt (X2) adalah bentuk hubungan yang memiliki dimensi jangka panjang.

Dweyer et al (1997) menyatakan bahwa commitment adalah bentuk pertanggung-jawaban

seorang individu atau organisasi yang konsisten yang akan berdampak pada keberlangsungan

organisasi yang bersangkutan. Anderson dan Weitz (1992) menjelaskan bahwa commitment

adalah upaya dari organisasi untuk mewujudkan langkah kebijakan secara konsisten dalam

rangka mempertahankan hubungan yang bersifat jangka panjang. Ganesan (1994) bahkan

menyatakan keberhasilan organisasi dalam memelihara dan mewujudkan tindakan

(19)

mencapai sustainable competitive advantages bagi sebuah organisasi. Dengan demikian,

commitment adalah intangible asset dan merupakan komponen yang sangat strategis dalam

mewujudkan perluasan usaha dan memantapkan nilai tambah atas perusahaan dalam suatu

rangkaian proses bisnis pariwisata ( Anderson dan Weitz, 1992).

Schulz (1994) menyatakan bahwa commitment hotels dapat memberikan jaminan

akan keberlangsungan dalam meraih lebih banyak pelanggan dengan dukungan travel agent

dalam suatu tatanan komunikasi dan kepatuhan terhadap commitment yang telah disepakati

dalam kerangka kerja sama bisnis. Jika terbentuk commitment yang kuat dari pengusaha,

maka potensi commitment bisa diwujudkan dalam kerangka collaboration untuk

menghasilkan destinasi wisata yang berdaya saing.

Collab (Y1) adalah bentuk komunikasi saling keterkaitan satu sama lainnya dengan

persepsi yang sama dalam menghasilkan tujuan akhir organisasi yang diinginkan. Studi

tentang peranan kolaborasi pada bisnis parwisata telah dilakukan oleh Bramwell dan

Sharman (1999), dimana proses kolaborasi dilihat dalam kerangka perumusan bersama atas

kebijakan bisnis pariwisata. Penguatan atas peran kolaborasi akan menjadi penentu bagi

keberhasilan suatu wilayah dalam menyajikan destinasi wisata berdaya saing.

Mohr et al (1996) merumuskan collaboration sebagai bentuk komunikasi dalam

tahapan kerja sama tertentu, membangun komunikasi, sehingga tingkatan kolaborasi yang

dapat diwujudkan akan sangat tergantung kepada kedalaman atas peran komunikasi dan

proses pengambilan kebijakan. Keberhasilan atas kolaborasi akan sangat ditentukan oleh

kepatuhan para pihak dama menjaga commitment yang telah mereka sepakati.

Keberlangsungan atas peran kolaborasi sebagai penggerak strategis untuk mendorong

terwujudnya basis destinasi CBT akan sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang

menentukan terbentuknya kolaborasi dari Inftas (X2), Commtt (X2) dan Network (X3).

(20)

jauh dari kebutuhan berkomunikasi dalam suatu jaringan yang saling mempengaruhi.

Logsdon (1991) menyatakan bahwa dalam membangun komunikasi terdapat benefit tertentu

yang diperoleh, sehingga basis kemampuan setiap individu dalam membangun kolaborasi

adalah potensi modal sosial yang akan membentuk lebih jauh peluang pengembangan

destinasi wisata berbasis komunitas (CBT). Dalam rangka mengembangkan kemampuan

personal dalam membangun komunikasi dalam kebersamaan, maka potensi network akan

dibentuk oleh tiga variabel yaitu pertama, adalah linkage (potensi keterkaitan antar individu)

baik dalam lingkungan terbatas pada satuan keluarga maupun pada jalur komunikasi diluar

keluarga dapat mencakup wilayah tempat tinggal, satuan wilayah desa, kabupaten atau

propinsi. Kedua, adalah trust, yang mendorong semakin berkembangnya komunikasi dalam

bentuknya yang lebih permanent melalui hubungan personal dalam sebuiah kolaborasi

organisasi uapun sebaliknya, pola hubungan organisasi dengan individu sebagai bagian dari

organisasi tersebut. Trust seringkali dikaitkan dengan network ( Cook, 2005). Trust sebagai

salah satu komponen modal social dapat dipandang sebagai aspek fundamental dalam

membangun perikatan transaksi antar kelompok masyarakat yang dapat memberikan jaminan

suasana kenyamanan. Ketika trust adalah variabel yang dapat ditempatkan dalam kerangka

hubungan saling ketergantungan dalam masyarakat, maka trust menjadi komponen penggerak

transaksi yang didukung oleh fondasi commitment yang sangat kuat ( Emmer et al ( 1993).

Moorman et al (1993) mengemukakan definisi trust sebagai tindakan setiap orang

yang dapat memberikan jaminan bahwa kepentingan antar pihak akan berjalan dengan baik

sesuai dengan yang diharapkan. Trust berkaitan dengan kepercayaan (belief), sikap prilaku,

yang terkondisikan menjadi percaya bahwa partner bisnis dapat memberikan sesuatu yang

dapat diwujudkan sesuai dengan harapan semestinya.

Trust merupakan komponen modal social yang akan menciptakan penguatan dalam

(21)

pembeli dan penjual dalam suatu proses dimana konsumen berkeyakinan selalu mendapatkan

nilai tambah atas transaksi dengan penjual ( Ramayah et al, 2003).

Diego dan Juan, (2000) bahkan menyatakan modal social trust merupakan komonen

strategis yang sangat mementukan pembentukan hubungan jangka panjang antara

management hotel dengan travel agent. Sangat tidak mungkin dapat dikembangkan business

partner hotel dan travel agent, apabila tidak dilandasi oleh kondisi trust dalam saling

keterkaitan kepentingan antara management hotel dengan travel agent, sehingga terbentuknya

proses network akan terhenti dan tidak berkelanjutan.

Morgan dan Hunt (2004) merumuskan bahwa trust adalah causal antecedent terhadap

commitment, sedangkan commitment adalah factor yang mendorong terbentuknya jalinan

hubungan yang berkualitas. Ndubisi (2007) telah mengembangkan studi tentang peranan

network dalam mendorong terbangunnya kualitas detinasi wisata yang dapat diwujudkan

melalui inter-organization learning. Deniscolai et al (2010), menyajikan aspek yang sama,

yaitu peranan positif dari komponen trust dalam mendorong stabilitas pelayanan destinasi

wisata berkelanjutan.

Sigala (2004) melihat komponen trust sebagai aspek strategis dalam mengurangi

transaction coast melalui pengendalian dan berbagi informasi bersama. Barney dan Hansen,

(2004) menyajikan peta analisis tentang peranan trust sebagai pendorong terbentuknya

kepercayaan antar pihak yang berkepentingan, telah menciptakan sustainable long-term

relationship.

Studi tentang potensi network sebagai penggerak modal social dalam rangka

mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas (CBT) telah banyak digagas selama 5 tahun

terakhir ini. Saxena (2005), Cravens dan Piercy (2004), menyatakan bahwa network dapat

berfungsi secara fleksibel dalam menggerakkan marketing information sharing, innovation,

(22)

management serta pemberdayaan organisasi untuk meingkatkan kecakapan dan pengetahuan

serta keterampilan.

Novelli et al (2006), menyajikan peta studi tentang network dan clustering sebagai

kerangka strategi dalam upaya menciptakan nilai tambah yang bermanfaat bagi local

community. Aspek lain dari social capital adalah norms yang membentuk prilaku pada

social structures dan social networks. Pada kondisi dimana social capital memiliki struktur

jaringan yang sangat kuat, maka interaksi masyarakat telah mencapai norms of trust and

reciprocity. (Putnam, 2000). Sebaliknya, apabila norma masyarakat yang berlaku tidak

memiliki keterikatan yang kuat serta kurang memiliki prilaku yang memandang kebersamaan

adalah penting, maka keberadaan struktur network dan struktur social dalam menyatukan

kebersamaan juga otomatis akan menjadi rendah. Stone ( 2001) menyatakan pengukuran

social capital dapat dilihat dari structure of network dan normative attribute.

Coleman (1990) dan Krisna and Shrader (1999) menyatakan bahwa struktur potensi

network masyarakat dapat dipetakan dari sejumlah komponen mencakup ukuran (size),

kapasitas dan derajat keterbukaan masyarakat. Pelebaran jaringan (size) berkaitan dengan

kemampuan individu pada masyarakat dalam membangun jaringan secara geografik, mulai

dari dusun, desa, kota dengan dengan wilayah propinsi. Capacity, berkaitan dengan kualitas

dari jaringan yang mereka miliki dalam membangun kebersamaan untuk mencapai tujuan

tertentu. Sedangkan keterbukaan adalah gaya masyrakat dalam berkomunikasi. Pada

masyarakat tertutup, yaitu norma yang banyak ditemukan pada budaya tertetu, peluang untuk

m=membangun jaringan yang berkualitas relative kecil untuk berhasil. (Coleman, 1990).

Potensi social capital tidak dapat dipisahkan dari nroma atau cara pandang masyarakat

terhadap kebutuan kebersamaan, yang ternyata keduanya bisa saling meniadakan, karena

kompleksitas struktur masyarakat atas berbagai perbedaan, mencakup dominasi ras tertentu,

(23)

sejaklan dengan potensi network sebagai salah satu kpomponen modal social yang paling

strategis (Uslaner 1999), sehingga apabila norma tentang kebersamaan adalah cara pandang,

gaya hidup dan kebutuhan yang telah diterima sebagai kebutuhan bersama, maka peluang

perluasan struktur network menjadi lebih terbuka (Cox and Caldwell,2000)

DEST CBT (Y2) sebagai tujuan akhir yang ingin diwujudkan dalam rangka

pengembangan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat lokal telah dikembangkan

di banyak negara. Studi tentang CBT memiliki orientasi yang berbeda dengan pendekatan

pembangunan destinasi wisata secara trandisional yang umumnya memiliki pola top-down

tourism planning.

CBT mengupayakan keterlibatan seluruh lokal input proses pengendalian

management pariwisata, sehingga komunitas memiliki peluang untuk mendapatkan nilai

tambah atas kegiatan bisnis pariwisata (Mowfort dan Munt, 2003).

Berbeda dengan pendekatan tradisional pembangunan sektor pariwisata, pada CBT

menekankan kepada bootom-up community dalam rangka pengembangan destinasi wisata,

pengembangan jasa pelayanan wisata termasuk komponen penunjang penginapan, restaurant,

jasa pramuwisata, akomodasi dan atraksi budaya serta produk terkait lainnya ( Hall, 2000).

Blackstock (2005) menyatakan bahwa bisnis pariwisata berbasis CBT merupakan

konsep pengembangan destinasi wisata yang melibatkan sepenuhnya local community,

memberdayakan sepenuhnya masyarakat lokal sebagai pemegang kendali bisnis pariwisata,

membagikan laba atas bisnis pariwisata dalam kebersamaan pada komunitas tersebut.

Berdasarkan orientasi bottom-up policy, maka sudah barang tentu dengan tidak

disertakannya modal besar pada investasi pada sebuah destinasi wisata tertentu, maka

business setting pada model CBT memiliki karakter small-scale production ( Amin et al

(2002). CBT juga disebut sebagai social economy enterprises yang tetap ber-orientasi kepada

(24)

Sehubungan dengan itu, maka penguatan modal social dan kebersamaan adalah basis

kekuatan bisnis yang dikelola oleh komunitas lokal. Amin et al (2002) bahkan menyatakan

bahwa konsep CBT dapat menjadi alternative dalam rangka memperhatikan komunitas lokal

yang juga berhak untuk mendapatkan kesejahtraan dan peranan yang lebh besar sebagai the

new stages of capitalism.

Blackstock (2005), Koster dan Rendall (2005) menyatakan CBT adalah sejalan

dengan social economy dimana tujuan yang ingin dicapai adalah mewujudkan community

benefits melalui pembangunan yang berorientasi dari proses bottom-up dimana komunitas

lokal mendapat ruang dalam pengambilan keputusan management, sehingga diperlukan

upaya pemberdayaan (capacity bilding), yang akhrinya juha diperlukan dalam rangka

menyediakan alternative pendekatan yang berbeda dengan neoliberal economic.

Pendekatan konsep CBT yang berbeda dari kebijakan pemerintah selama ini yang

secara tradisional lebih memberikan ruang kepada investor dalam pembangunan destinasi

wisata, maka perubahan pendekatan ini menghendaki lebih banyak penyiapan sumber daya

pemerintahan untuk menjadi fasilitator dan memahami dengan benar gagasan tentang

keberadaan CBT sebagai kerangka pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang berbasis

(25)

COLLAB

disebut sebagai dependent variable, sehingga perubahan variasi nilainya ditentukan oleh

(26)

dari variabel lainnya, disebut variabel eksogen atau variable dimana nilainya ditentukan

diluar model. Semua variabel X1, X2, X3 dan X4 adalah variabel eksogen, karena

pembentukannya tidak terikat pada variabel lain, kecuali pada X3, dimana pembentukan nilai

X3, sepenuhnya secara formative ditentukan oleh latent variable linkage, trust dan norma.

Seluruh variabel yang diamati dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

Y2 = Destinasi Wisata CBT ( komponen pramuwisata lokal mewakili wisatawan )

Y1 = Kolaborasi adalah tokoh masyarakat dan desa adat sekitar destinasi wisata

X1 = Infras adalah partisipasi masyarakat sekitar destinasi wisata

X2 = Commitment adalah pengusaha non pariwisata lokal

X3 = Modal sosial Network adalah pengusaha pariwisata lokal

(27)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian mempergunakan data primer dengan melakukan perekaman data melalui

penyusunan daftar pertanyaan kepada responden terpilih. Pertanyaan disusun berdasarkan

kebutuhan model hipotesis yang dirancang penelitian ini, karena itu daftar pertanyaan disusun

atas item-item indikator yang mendukung pembentukan variabel latent penelitian ini.

Pengambilan responden terpilih dilaksanakan pada 4 lokasi penelitian terpilih, yang

dilaksanakan berdasarkan karakteristik lokasi destinasi wisata, yaitu wisata pegunungan dan

wisata pantai. Pada destinasi wisata pegunungan dipilih lokasi air terjun Gitgit kecamata

Sukasada kabupaten Buleleng dan desa wisata Munduk kecamatan Banjar kabupaten

Buleleng.

Destinasi wisata pantai dipilih destinasi wisata air sanih kecamatan Kubutambahan

kabupaten Buleleng dan destinasi wisata Lovisa desa lovina kecamatan Banjar kabupaten

Buleleng. Berdasarkan 4 pemilihan lokasi destinasi wisata dapat dipandang telah mewakili

seluruh potensi destinasi wisata berdasarkan pola karakteristik daerah wisata, yang umumnya

terpolakan menjadi dua kelompok besar, yaitu wisata wilayah pegunungan dan wisata

wilayah pantai, sesuai dengan potensi destinasi yang memiliki tofografis pantai dan

pegunungan.

Tabel 3.1 : Pemilihan Lokasi Penelitian

No. Nama Obyek Wisata Lokasi Penelitian Type Wisata

1 Air Terjun Gitgit Desa Gitgit Kec. Sukasada Wisata Pegunungan

2 Desa Wisata Munduk Desa Munduk Kec. Banjar Wisata Pegunungan

3 Desa Wisata Lovina Desa Lovinsa Kec. Banjar Wisata Pantai

(28)

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Obyek penelitian penelitian yang akan ditelusuri untuk mendapatkan jawaban atas

tujuan penelitian yaitu mencakup dua kelompok pembentuk destinasi wisata yaitu, pertama,

adalah masyarakat lokal yang bertempat tinggal disekitar destinasi wisata. Kedua, adalah

pengusaha lokal yang berada disekitar destinasi wisata yang bertindak sebagai penjual jasa

pariwisata termasuk usaha parkir, pedagang dan jasa lainnya. Sampel penelitian ditentukan

dengan metode pengambilan sampel (sampling method) sebagai berikut:

1. Sampel untuk masyarakat lokal dipilih secara purposive dengan memperhatikan

ketokohan dari masing-masing individu sampel. Pada setiap lokasi dipilih sebanyak 10

(sepuluh) anggota masyarakat yang dianggap dapat mewakili masyarakat desa yang

berada disekitar destinasi wisata yang bersangkutan. Individu-individu masyarakat yang

terpilih diharapkan dapat mewakili persepsi tentang potensi network sosial

kemasyarakatan (X3), commitment (X2), kondisi infrastruktur wisata (X1) serta persepsi

masyarakat tentang peran kebijakan dan layanan pemerintah terhadap pembentukan

kenyamanan destinasi wisata di masing-masing lokasi wisata (X4). Jumah seluruh sampel

yang diambil pada komponen masyarakat warga sekitar destinasi usaha pada 4 lokasi

terpilih adalah 40 responden.

2. Sampel untuk pengusaha lokal dipilih sebanyak 10 (sepuluh) pengusaha lokal pada

masing-masing destinasi wisata, untuk mewakili persepsi pengusaha dalam membangun

network dan pengembangan modal sosial sebagai basis kegiatan enterpreneur ang

bergerak bersama masyarakat dalam menetapkan pelayanan wisata yang berdaya saing.

Keterkaitan antara kolaborasi masyarakat (Y1) yang terbentuk dari partisipasi masyarakat

disekitar destinasi wisata dengan pelaku usaha (Y1) akan membentuk sebuah destinasi

wisata berbasis komunitas lokal CBT, dimana masyarakat umum dan pengusaha akan

(29)

masyarakat warga desa disekitar lokasi usaha dan pengusaha sebagai penggerak dan

penyaji pelayanan wisata. Total responden yang terpilih untuk ditetapkan sebagai

responden adalah 10 x 4 lokasi = 40 responden pengusaha lokal yang berada disekitar

lokasi destinasi wisata.

4.3 Definis Operasional Variabel

Penelitian mempergunakan 6 variabel latent yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas

tujuan penelitian yang diracang penelitian ini. Ke 6 variabel penelitian dijelaskan sebagai

berikut.

a. Destinasi wisata berbasis CBT, adalah pengukuran variabel latent tentang persepsi

pengguna destinasi wisata, yaitu wisatawan. Sehubungan dengan terbatasnya

frekuensi kunjungan wisatawan dan pola kunjungan tidak teratur, maka untuk

mendapatkan data tentang kualitas layanan wisata yang diinginkan oleh pengguna,

maka penelitian mempergunakan data proksi dengan memilih pramuwisata (guide)

sebagai wakil pengguna jasa pariwisata. Besarnya jumlah responden pramuwisata

disesuaikan dengan pasangan sample lainnya, yaitu sebesar 40 sample. Notasi yang

dipergunakan untuk variabvel destinasi wisata CBT adalah Y2.

b. Kolaborasi (Y1) adalah didefinisikan sebagai komponen yang memiliki kekuatan

untuk mengatur, mengendalikan dan memiliki leadership yang memadai dalam rangka

mengkombinasikan seluruh potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kebersamaan

dalam gerak dan langkah dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT.

Komponen kolaborasi dinyatakan dengan Y1, adalah tokoh masyarakat dan adat, yang

digali karakter dan prilakunya berdasarkan penelitian persepsi yang dipandu dengan

(30)

c. Infrastruktur Infras (X1) didefiniskan sebagai sarana penunjang yang memberikan

ruang bagi kenyamanan wisatawan, termasuk pelayanan keamanan, kenyamanan

wisatawan, penataan lingkugan kebersihan, komunikasi dan dukungan masyarakat

terhadap atraksi wisata dan pelestarian alam ( Warnken, 2002), Philips dan Jones

(2006). Notasi variabel untuk konstruk latent infrastruktur adaah X1. Penelitian

dipersepsikan sebagai prilaku dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta

mnewujudkan destinasi wisata yang memungkinkan wisatawan mendapatkan

kenyamanan, dan keramahan masyarakat sebagai obyek wisata, dengan didalamnya

adalah budaya dan kehidupan keseharian masyarakat.

d. Commitment adalah sikap budaya masyarakat lokal yang akan menjadi penentu

terbentuknya kolaborasi masyarakat dalam menetapkan acuan pelayanan wisatawan.

Pola prilaku yang dapat memberi jaminan bagi komunikasi yang terarah dan produktif

akan menjamin dukungan bagi kepentingan organisasi kemasyarakatan dalam

menetapkan pelayanan wisatawan secara nyaman, konsisten dan berkesinambungan.

Notasi yang diberikan untuk pengukuran persepsi latent dari commitment adalah X2.

Pemetaan terhadap persepsi commitment ditetapkan dari pengusaha lokal non

pariwisata.

e. Network adalah potensi modal sosial yang terpendam dalam struktur budaya

kemasyarakatan. Network merupakan variabel latent yang dibentuk oleh variabel

pendukung lainnya, mencakup linkage, trust dan norma ( Putnam, 1994), yang

membentuk social capital. Melalui pengembangan hierarchy latent variabel ( Lohlien,

2004), dapat diketahui peranan pembentuk latent variabel network dari pembentuk

latent dibawahnya.Network (X3) dipetakan dari pengusaha lokal pariwisata

f. Peranan pemerintah melalui kebijakan pelayanan terhadap masyarakat juga menjadi

(31)

terselenggaranya pelayanan pariwisata yang berdaya saing. Peran kebijakan

pemerintah juga dapat berdampak secara langsung kepada destinasi wisata melalui

pembinaan pengusaha lokal, sehingga peluang bagi terbentuknya destinasi wisata yag

berbasis komunitas CBT tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan pemerintah

dalam ikut serta membentuk dan mempengaruhi keberadaan destinasi wisata berbasis

masyarakat CBT. Notasi peran pemerintah dinayatakan sebagai latent variabel X4.

Kebijakan pemerintah dipersepsikan dari pengguna layanan pemerintah terkait dengan

wilayah destinasi, sehingga yang menjadi obyek peneliotian adalah masyarakat

pengguna layanan publik, termasuk masyarakat umum dan pengusaha.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang dibangun untuk mendapatkan data penelitian ini direkam melalui

kuesioner yang dibuat secara terpisah untuk masing-masing jenis responden. Item-item

pernyataan atau pertanyaan pada kuesioner disusun berdasaran kerangka teori yang melandasi

dari masing-masing variabel amatan, dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pendapat

responden yang diukur berdasaran penggunaan skala Likert berderajat 5.

Berdasarkan penelitian dengan penggunaan kuesioner sebagai instrumen yang

digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, maka menjadi sangat penting untuk

mengukur reliabilitas dan validitas dari masing-masing item (pernyataan atau pertanyaan)

diperiksa. Validitas suatu variabel laten akan ditentukan dengan meneliti setiap item sebagai

unsur pembangun latencontruct yang bersesuaian, sedangkan reliabilitas merupakan ukuran

yang menggambarkan tingkat keandalan (degree of reliability) sekumpulan item yang

merepresentasikan variabel laten (Hair et al., 2010). Sekumpulan indikator/item dapat

dianggap tingkat keandalan dipercaya apabila memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach (α) –

(32)

1975).

Koefisien Alpha Cronbach yang diintroduksi oleh Lee J. Cronbach pada tahun 1951

(Cronbach, 2004) dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:

Persamaan matematika diatas, k menyatakan jumlah item-item pengukur suatu laten,

si 2

menyatakan ragam (variance) dari item ke-i dan st 2

menyatakan ragam dari total item

untuk seluruh responden. Nilai dari koefisien Alpha Cronbach (α) berkisar antara 0 sampai

dengan 1. Konsistensi internal dianggap memenuhi syarat apabila nilai α lebih besar atau

sama dengan 0,7.

Jika ukuran keandalan sekumpulan item/indikator dalam merepresentasikan sebuah

variabel laten diukur melalui koefisien Alpha Cronbach, maka validitas yang merujuk kepada

kemampuan sebuah indikator dalam menjelaskan suatu konsep dapat diukur dengan

mengamati koefisien korelasi Pearson untuk data yang telah diskalakan ulang. Sebuah item

dinyatakan valid sebagai indikator laten jika memiliki nilai koefisien korelasi

sekurang-kurangnya 0,3 dan memiliki tanda (sign) yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya.

Jika sebuah item memiliki nilai koefisien korelasi yang kurang dari 0,3 tetapi memiliki tanda

yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya dan nilai tersebut tidak menyimpang terlalu

jauh dari nilai-nilai lainnya, maka masih dianggap cukup memadai untuk dilanjutkan ke

proses analisis berikutnya.

4.5 Metode Analisis Data

Kerangka teori yang dijadikan acuan dalam pemetaan pemodelan menunjukkan

bahwa tidak semua latent variable memiliki karakter reflective, seperti network (X3) dan

peran pemerintah (X4) yang dipandang memiliki karakter formative ( Diamantopolous,

(33)

analisis statistik adalah pendekatan Varian-bases PLS ( Hair, 2010), Christian C. Ringer

(2011).

Pertimbangan dalam memilih PLS-PM sebagai metode analisis kuantitatif adalah

model konseptual dari penelitian ini sebagaimana telah dinyataja diatas, adalah melibatkan

indikator-indikator formatif pada model persamaan struktural yang dibangun. Apabila

seluruh konstrak penyusun model tergolong ke dalam konstrak reflektif, maka model

struktural yang terbentuk disebut model reflektif, sebaliknya, jika sekurang-kurangnya

ter-dapat sebuah konstrak formatif, maka model struktural yang terbentuk disebut model formatif

(Petter et al., 2007). Memperhatikan model yang dikembangkan adalah model formatif,

maka model persamaan struktural berbasis peragam (variance-based SEM) seperti LISREL

dan SmartPLS. Dalam hal ini, PLS-PM merupakan solusi untuk menyelesaikan sebuah

model formatif (Henseler et al., 2009). Pada model PLS-PM, terdapat dua sub-model yang

dipisahkan secara konsep pendekatan, yaitu:

1. Measurement Model: atau juga disebut sebagai outer model yang menjelaskan hubungan

antara variabel-variabel pengukurnya (manifest variables) dengan variabel laten yang

yang bersesuaian dengan itu.

2. Structural Model: atau disebut juga sebagai inner model, menjelaskan hubungan antar

variabel laten yang menjadi perhatian dari periset. Pada penelitian ini, variabel-variabel

destinasi wisata CBT Y1 dan kolaborasi Y2, beserta latent variabel X1, X2, X3 dan X4

merupakan variabel-variabel termasuk dalam lingkaran inner model.

4.5.1 Variabel Laten Reflective

Pengukuran model latent reflective adalah metode pengukuran latent yang

merefleksikan kondisi terbentuknya variabel latent atau konstruk berdasarkan item-item

(34)

latent variable, sehingga tanda panah bergerak dari variabel laten menuju kepada indikator.

Penggambaran tanda panah tersebut dimaksudkan sebagai metode yang diartikan sebagai

hubungan fungsi, yaitu dimana variable laten berpengaruh terhadap pembentukan indikator

tersebut ( Hair et al, 2013).

Sejumlah penulis lain seperti Henseller (2010) dan Straub et al, (2004) menyatakan

bahwa karakter laten reflektif adalah karakter yang memiliki sifat uni-dimensional, yaitu

adanya kesamaan covary dari loading factor, sehingga menghilangkan salah satu dari

indikator tidak akan menyababkan terjadinya perubahan nilai terhadap model structural

(Jarvis, et al (2003).

Berdasarkan karakter yang memiliki kondisi uni-dimensional tersebut, kemudian

dapat ditentukan metode analisis dan prosedur pengujian dengan melakukan pengujian

internal consistency reability, indikator reability, pengujian corvergent reability serta

discriminan reability. Pengujian atas kelayakan model reflective yang bersifat

uni-dimensional dapat dilakukan dengan mempergunakan software SPSS ver 17, untuk

melengkapi sejumlah pengujian yang tidak tersedia pada SmartPLS ver 2. Sejumlah peneliti (

Afthanorhan, 2013 ) bahkan menyarankan untuk melakukan drop-out terhadap sebaran item

indikator yang memiliki factor loading dibawah 0.50, sehingga dapat ditemukan sebaran item

indikator menjadi lebih memiliki kesetaraan (covary) sebagai syarat sebagaimana

direkomendasi oleh Hanseler, 2013. Prosedur pengujian kelayakan model model disajikan

(35)

Internal

4.5.2 Variabel Laten Formative

Diamantopolous Dan Winkhover (2004), serta Jarvis et al (2003) menyatakan

perlunya penelitian memperhatikan dengan seksama akan adanya fenomena formative dalam

menetapkan status variabel laten tertentu. Syarat bahwa sebuah latent variable memiliki

kecenderungan formative adalah apabila antara lain, bahwa variabel latent yang dijadikan

variabel penelitian memiliki nuansa kuantitatif, sehingga berpeluang untuk memposisikan

indikator sebagai penentui atau pembentuk variabel latent.

Berbeda dengan pendekatan covariance-based SEM yang menganut persyaratan ketat

(36)

yaitu pembentukan indikator yang dipengaruhi kepada latent variable itu, sendiri, maka pada

konsep pendekatan SEM PLS dapat dikembangkan konsep pengukuran model latent yang

memiliki karakter formative.

Berdasarkan pendekatan metodologi yang berbeda dengan variabel latent yang

reflective, maka sebagai konsekusnsinya, penerapan model uji kelayakan model sebagaimana

disajikan pada Tabel 4.1 tidak dapat diterapkan pada latent yang memiliki karakter formative

( Bollen, 1989). Sejumlah peneliti lain, Hair (2013), Henseller (2010), Ringer et al (2013)

menyatakan bahwa karakter latent formative dapat diuji kelayakannya dengan

mempergunakan uji korelasi antar VIF yang diharapkan berkisar antara 0.20 sampai dengan

0.50, sehingga diluar nilai tersebut maka model formative memiliki persoalan

multi-collinearity, sehingga model menjadi tidak layak untuk diteruskan atau diperlukan cara

re-sampling untuk memperbaiki kualitas prediksi latent variable. Prosedur re-re-sampling ayau

teknik bootstrapping diperkenalkan oleh Efron dan Tashabrani (1991) yang dapat menjadi

pertimbangan dalam upaya melakukan pembenahan data yang diperoleh dari hasil penelitian

lapangan. Berikut disajikan kriteria model pengujian kelayakan model latent formative.

Tabel 4.2 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment yang Formative

(37)

Construct

4.5.3 Pengujian Model Struktural ( Inner-model)

Langkah pengujian structural model dilakukan untuk mengkaitkan hubungan variable

laten yag satu terhadap latent lainnya berdasarkan kerangka hubungan model yang telah

ditetapkan berdasarkan theoretical building yang telah disusun. Dalam rangka melakukan

prosedur pengujian model structural tersebut, maka langkah pertama yang harus dipetakan

adalah signifikansi model dan nilai R2 dari model penelitian secara keseluruhan. Pengujian

model hubungan dipolakan terlebih dahulu secara parsial, dengan menetapkan hubugan

pengaruh signifikansi antar vaiabel bebas dengan variable terikat. Masing-masing dari

variable terikat memiliki nilai R2 yang menjelaskan informasi sejauh mana variasi nilai

variable terikat dapat dijelaskan oleh factor factor yang mempengaruhinya. Semakin tinggi

nilai R2, akan menunjukkan semakin besar variasi nilai variable latent terikat dapat dijelaskan

oleh factor factor yang mempengaruhinya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2 yang

didapatkan, maka semakin terbatas informasi yang didapatkan dari pengaruh variabel bebas,

sehingga menjadi penting dipertimbangkan penelitian lanjutan untuk menyertakan variable

tambahan dalam rangka meningkatkan nilai R2.

Evaluasi menyeruh terhadap model penelitian untuk menentukan seberapa besar

model structural dapat dijelaskan oleh seluruh interaksi model, maka perlu didapatkan

koefisien determinasi R2 secara multivariate ( Hair et al, 2010).

(38)

model structural melalui pengujian statistic t secara parsial dengan tingkat keyakinan sebesar

5%, maka tahap berikutnya adalah melakukan pengembangan analisis intermediasi antar

variable laten yang tidak secara langsung tertuju kepada sasaran akhir dari penelitiana ini

yaitu destinasi wisata berbasis ekonomi rakyat.

Sobel (1991) dan Baron dan Kenny (1990) melakukan terobosan untuk mendapatkan

signifikansi dari uji intermediasi. Berdasarkan metode Sobel (1990) dapat diketahui

signifikansi koefisien beta secara gabungan dari jalur mediasi yang ditetapkan pada model,

sehingga dapat diketahui seberapa besar parameter intermediasi itu berperan dibandingkan

dengan apabila varabel laten bersangkutan berhubungan secara langsung (direct effect)

(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Destinasi Wisata Bali Utara

Destinasi wisata kabupaten Buleleng tersebar secara merata di 9 wilayah kecamatan,

dengan tipologi pantai dan pegunungan. Sembilan wilayah kecamatan memiliki pola tanaman

tadah hujan dan sawah beririgasi teknis, sehingga semua kecamatan memiliki pola karakter

dataran rendah dan pegunungan sebagai sumber air irigasi. Dengan demikian, potensi

kawasan pantai yang memanjang dari batas timur kecamatan Tejakula sampai dengan

wilayah barat kecamatan Grokgak menggembarkan kawasan potensi wisata pantai yang dapat

menjadi sumber kegiatan destinasi pariwisata dimasa depan.

Meskipun demikian, potensi kawasan pantai pada setiap kecamatan memiliki basis

nilai jual wisata yang spesifik. Bulelelng barat dengan dukungan situs pura Pulaki, taman

satwa serta kawasan pulau Menjangan adalah potensi wisata unik yang memiliki nilai jual

dimasa depan. Sedangkan di wilayah kecamatan Tejakula terdapat pura Dang kayangan

Ponjok Batu, desa wisata Julah sebagai prototype desa pra Bali dengan budaya adat yang

relative unik, sedangan di kawasan Buleleng tengah terdapat desa wisata Munduk yaitu tipe

wisata alam pegunungan yang telah berjalan dewasa ini dan mendapat kunjungan wisata

cukup padat. Kawasan wisata danau Buyan di wilayah kecamatan Sukasada adalah potensi

wisata yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka pengembangan destinasi wisata.

Desa wisata Julah merypakan salah satu obyek wisata yag sudah banyak dikunjungi

wisatawan, tetapi tampak belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari para pengusaha

dan pemerintah kabupaten Buleleng untuk memanfaatkan peluang destinasi wisata tersebut

(40)

memberikan indikasi bahwa industri pariwisata belum dipetakan secara optimal dalam rangka

mewujudkan nilai tambah tersebut, seperti kesiapan komponen pengusaha dalam meata bisnis

pelayanan wisata termasuk pengadaan penginapan, restaurant, akomodasi bidang transportasi,

bahkan pramusata dan atraksi seni budaya yag seharusnya dapat ditampilkan sebagai

pelengkap dan keragaman pelayanan pada destinasi wisata yang bersangkutan. (Lihat

Gambar 5.1).

Gambar 5.1

Desa Wisata Bali Mule Julah Kecamatan Tejakula

Potensi wisata air dan sumber air alami pegunungan tidak saja telah terbangun sejak

lama kolam renang air sanih Kubutambahan yang sudah banyak dikenal sejak lama, tetapi

juga terdapat air terjun Gitgit, desa Gitgit kecamatan Sukasada yang merupakan sumber air

terjun dari mata air pegunungan yang sejuk dan dingin, banyak wisatawan telah

memanfaatkan sebagai sarana untuk mandi, tetpi tidak terlihat terdapat dukungan industri

pariwisata yang kuat sebagai pendamping destinasi wisata tersebut, sehingga tidak

menghasilkan nilai tambah bagi komunitas lokal di wilayah desa Gitgit tersebut. Hal ini tentu

(41)

tidak saja sebagai fasilitator, tetapi juga dapat melakukan pendampingan dan upaya

pemberdayaan masyarakat dan komponen pengusaha lokal untuk bangkit memanfaatkan

peluang destinasi wisata tersebut sebagai proses untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat

disekitar lokasi destinasi wisata. ( lihat Gambat 5.2)

Gambar 5.2

Air Terjun Gitgit Kecamatan Sukasada Buleleng Tengah

Potensi lain yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka mewujudkan

destinasi wisata bernilai tambah adalah potensi alam pegunungan desa Pancasari dengan latar

belakang danau Buyan, serta desa wisata Bali Handara dan sekitarnya (lihat Gambar 5.3).

Alam pegunungan dengan panorama yang indah dapat menjadi kawasan wisata yang

menjanjikan dimasa depan. Desa wisata Munduk yang dikemas melalui kombinasi alam

pegunungan yang indah dengan budaya masyarakat setempat, ternyata mampu mewujudkan

nilai jual yang sangat baik, dimana penduduk desa menerima manfaat atas kehadiran

(42)

Gambar 5.3

Kawasan Wisata Desa Pancasari Sukasada Buleleng

Kawasan destinasi wisata sawah terrace terdapat di desa Ambengan kecamatan

Sukasada, serta desa Busungbiu kecamatan Banjar (lihat Gambar 5.4). Sebagaimana juga

terdapat pada destinasi wisata yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya,

destinasi wisata sawah terrace hanyak tampil sendirian sebagai obyek wisata, sehingga tidak

menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat sekitar destinasi wisata bersangkutan. Komponen

industri pariwisata yang lebih dan terabaikan, menyebabkan peluang nilai tambah yang

seharusnya terbentuk dikawasan tersebut menjadi hilang tidak termanfaatkan.

Penelitian ini dari awal mengajukan konsep pegembangan destinasi wisata berbasis

komunitas lokal, dimana masayakat lokal bertindak menjadi pemilik atas industri wisata.

Meskipun tidak mudah untuk diwujudkan, namun pengalaman dibanyak negara bahwa peran

dan dukungan kebijakan pemerintah dapat bertindak melalui anggaran belanja melakukan

pemberdayaan dalam rangka mewujudkan pariwisata berbasis kepemilikan masyarakat. Salah

satu dari pendekatan strategi menuju pembangunan destinasi eisata berbasisi CBT tersebut

(43)

ini tidak tamak kehadirannya di pelbagai destinasi wisata di kabupaten Buleleng.

Gambar 5.4

Kawasan Sawah Teraserinf Busungbiu Kecamatan Banjar Buleleng Barat

Kebeadaan pantai Loviba di barat kota Singaraja adalah atraksi wisata laut dengan

dukungan atraksi ikan Dolpin merupakan potensi alam wisata yang unik dan bernilai jual

tinggi. Gambar 5.5 menyajikan pentas ikan Dolpin yang menari-nari dipermukaan laut

adalah atraksi wisata yang telah mampu ditampilkan sebagai obyek wisata yang sangat

diminati wisatawan manca negara. Para wisatawan diajak ketengah laut sekitar 300 meter

dari permukaan laut melalui sarana transportasi sampan nelayan yang sangat sederhana.

Sebagimana juga ditemukan pada destinasi wisata pantai Lovina ini, bahwa kehadiran

industri pendukung pariwisata tidak tampak seperti kehadiran handicraft produk kerajinan

masyarakat Buleleng, serta tidak tersedianya pentas atraksi budaya lokal sebagai sajian

(44)

Gambar 5.5

Pentas Ikan Dolpin Kawasan Laut Pantai Lovina Kecamatan Banjar Buleleng Barat

Potensi destinasi wisata di Buleleng barat menawarkan yang lebih spesfik dan bernilai

jual tinggi, yaitu taman margasatwa Bali barat, situs terkemuka pura Pulaki, serta kawasan

pulau Menjangan dengan pasir putih yang memukai serta habitat binatang menjangan

sebagai penghuni utama pulau Menjangan.

Gambar 5.6 menyajikan areal transportasi lokal dari kawasan Buleleng barat menuju

pulau menjangan dengan angkutan sampan penduduk tradisional untuk mencapai sekitar 2

km dari pantai daratan di desa Sumberkima menuju kawasan pulau Menjangan yang tidak

(45)

Gambar 5.6

Kawasan Wisata Pulau Menjangan Buleleng Barat

Berdasarkan uraian tentang profile potensi destinasi wisata yang tersebar di sembilan

kecamatan di kabupaten Buleleng tersebut, diperoleh kesimpulan sementara bahwa destinasi

wisata belum ditata secara maksimal dalam rangka mewujudkan nilai tambah kesejahtraan

bagi penduduk lokal. Kajian yang akan dikonstruksi adalah strategi pengembangan destinasi

wisata community-based tourism (CBT) sebagaimana pendekatan konsep dan arah

(46)

5.2 Uji Outer-model Persepsi Destinasi Wisata Berbasis CBT

Model destinasi wisata berbasis CBT dikembangkan dengan sangat bergantung

kepada daftar pertanyaan yang dirancang khusus menurut kebutuhan model teori yang

melatar-belakanginya, sehingga terbentuk variabel laten sebagai alat ukur untuk menetapkan

derajat kepekaan masing-masing variabel penunjang dalam membentuk destinasi wisata

berbasis CBT (lihat Gambar 3.2 pada hipotesis penelitian BAB 3). Lampiran 1.1 sampai

dengan Lampiran 1.2 menyajikan hasil penelitian lapangan tentang persepsi masyarakat

disekitar destinasi wisata yang terpilih mewakili responden, para pengusaha lokal, yang

mewakili konstruk modal social network, serta kolaborasi yang didukung oleh satuan pemuka

tokoh masyarakat sebagai pengikat konstruksi kolaborasi yang menghubungkan antara

variabel Infras (X1) yang mewakili dinamika partisipasi masyarakat yang berada disekitar

destinasi wisata, variabel X3 (network) adalah responden pengusaha lokal yang bergelut di

sektor industri wisata yang dilihat dalam dimensi potensi modal sosial mencakup linkage,

trust dan norma.

Sedangkan X2 adalah variabel commitment mencerminkan prilaku pengusaha non

pariwisata dalam dimensi persepsi untuk mendukung kolaborasi dalam rangka penguatan

basis industri pariwisata. Responden X2 dirumuskan sebagai komponen usaha lokal non

pariwisata yang memiliki potensi memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan potensi

kebersamaan dalam gerak dan langkah untuk mewujudkan community-based tourism yaitu

tipe industry wisata berbasis kepemilikan dan partisipasi rakyat.

Variabel Y1 adalah kolaborasi yaitu keberadaan tokoh masyarakat dan peran desa

adat sebagai kekuatan informal sebagai persepsi dinamis yang menjadi penentu keberhasilan

dalam memadukan potensi partisipasi pengusaha lokal dan masyarakat yang bermukim

disekitar destinasi wisata yang akan menjadi penentu kebersilan pengembangan destinasi

Gambar

Tabel 3.1 : Pemilihan Lokasi Penelitian
Gambar  5.16  yang  dipetik  kembali  dari  Lampiran  1.44  menunjukkan  bahwa  modal  social Network (X3) ternyata memiliki kinerja untuk mendorong penguatan kolaborasi (Y1)  dengan  memanfaatkan  Infras  (X1)  dan  Commitment  (X2)  sebagai  mediator  da

Referensi

Dokumen terkait

 Mencermati permasalahan yang berkaitan dengan himpunan  bagian, himpunan semesta,  himpunan kosong, anggota  himpunan, himpunan kuasa, 

Materi yang diajarkan dalam penelitian ini yaitu materi segiempat pada siswa kelas VII SMPN 1 Pogalan semester 2. Model pembelajaran yang digunakan adalah

Batas toleransi kadar Aflatoksin, sebagaimana telah tercantum pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Pakan maupun perubahannya, pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan dan pada

Universitas Negeri Semarang (Unnes) merupakan universitas yang mencetak tenaga pendidik maupun tenaga non kependidikan. Universitas Negeri Semarang merupakan salah satu alat

Salah satu hal yang membuat Amerika Serikat lebih berhati hati dan penuh pertimbangan dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya terhadap pengembangan nuklir Korea Utara

Lagi pula, kalau kita tidak tahu apa yang disukai pasangan kita pada diri kita, akan sulit bagi kita untuk membuat dia senang.. Sorang gadis remaja berkata kepada saya, “Aku

Skripsi dengan judul “Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP1) / Kapasitas Vital Paksa (KVP) pada Pasien PPOK Stabil Derajat 2 di Balai