10 1. Pengertian Peran Guru PAUD
Berperan berarti bermain atau bertindak sebagai sesuatu (dalam sandiwara, film). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata peran memiliki arti perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.
Sedangkan pengertian guru secara etimologis, dalam Hidayat (2010:
9) istilah guru berasal dari bahasa India yang artinya orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara. Dalam bahasa Arab, guru dikenal dengan al-mua’allim atau al-ustadz yang bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim (tempat memperoleh ilmu). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 377), yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan umum butir 6, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Pendapat lainnya tentang guru bahwasannya guru memegang peranan dan tanggung jawab yang penting dalam pelaksanaan program pengajaran di sekolah. Guru merupakan pembimbing siswa sehingga keduanya dapat menjalin hubungan emosional yang bermakna selama proses penyerapan nilai-nilai dari lingkungan sekitar. Kondisi ini memudahkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan di masyarakat (Depdiknas, 2003: 3).
N.A. Ametembun dalam Syaiful Bahri Djamarah (2009: 32) mengemukakan bahwa “guru adalah semua orang yang berwenang dan
bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah”.
Wrightman dalam Usman (2017: 4), menyatakan bahwa peran guru adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa menjadi tujuannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa guru merupakan tenaga kependidikan yang memegang peranan dan tanggung jawab di sekolah dalam mendidik, mengajar dan membimbing siswa agar dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan di masyarakat.
2. Prinsip Guru PAUD
Prinsip guru PAUD menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab III Pasal 7, diantaranya:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. Kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal- hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
3. Kualifikasi Guru PAUD
Kualifikasi guru dapat dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang mumpuni. Kualifikasi guru berbeda
sesuai pada setiap tingkatnya, baik guru PAUD/TK/RA maupun sampai pada tingkat pendidikan menengah.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab IV Bagian Kesatu Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi Pasal 8 dan 9 disebutkan sebagai berikut:
a. Pasal 8
“Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional".
b. Pasal 9
”Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud daiam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat".
Selanjutnya, kualifikasi guru menurut Aqib dalam Sutarman (2016:
154), diperjelas kembali dalam Permendiknas Nomor 16 tahun 2007, Poin A berikut:
Berkenaan dengan guru PAUD/RA/TK, kualifikasi akademik guru mencakup kualifikasi akademik guru pendidikan Anak Usia Dini/Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (PAUD/TK/RA), yaitu memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
4. Kompetensi Guru PAUD
Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Usman (2017: 14) menyatakan kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Sedangkan Muhammad Ali dalam Saifuddin (2016: 21) menyatakan bahwa kompetensi meliputi tugas,
keterampilan, sikap, nilai, apresiasi diberikan dalam rangka keberhasilan hidup atau penghasilan hidup. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan, kemampuan, dan penerapan dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah perbuatan yang bertanggung jawab dalam memenuhi spesifikasi tertentu yang berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006) dalam Standar Kompetensi PTK-PNF dan Sistem Penilaian, macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh guru PAUD antara lain:
a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi kemampuan memahami filosofi dan prinsip PAUD, kemampuan memahami perkembangan dan karakteristik anak usia dini, kemampuan memahami program transisi PAUD kependidikan dasar, kemampuan memahami peran bermain, kemampuan memahami perkembangan kurikulum terpadu, kemampuan memahami lingkungan belajar yang kondusif, kemampuan memahami pengelolaan kelas, dan kemampuan memahami evaluasi pembelajaran.
Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut:
a) Kemampuan memahami filosofi dan prinsip PAUD, memiliki indikator esensial: 1) Mampu memahami filosofi dan tujuan PAUD serta mengaplikasikannya dalam pembelaiaran PAUD; 2) Mampu memahami serta mengaplikasikan pendekatan dan model PAUD; 3) Memahami dan mengaplikasikan prinsip pembelajaran dalam PAUD.
b) Kemampuan memahami perkembangan dan karakteristik anak usia dini, memiliki indikator esensial: 1) Mampu memahami karakteristik perkembangan bayi, anak-anak (0-3 tahun) baik fisik, emosi, sosial, dan kognitif; 2) Mampu memahami karakteristik perkembangan anak prasekolah (3-6 tahun) baik fisik, emosi, sosial, dan kognitif; 3) Mampu memahami karakteristik perkembangan anak yang
berkebutuhan khusus (retardasi mental gangguan emosi, autis, ADD/ADHD, anak berbakat; 4) Memahami karakteristik anak-anak yang dianiaya dan diabaikan.
c) Kemampuan memahami program transisi PAUD kependidikan dasar, memiliki indikator esensial: 1) Memahami proses transisi antara pembelajaran PAUD menuju ke kelas awal pendidikan dasar; 2) Memahami keterampilan dan sikap yang perlu dimiliki oleh anak dalam proses transisi tersebut.
d) Kemampuan memahami peran bermain, memiliki indikator esensial:
1) Memahami prinsip bermain sambil belajar; 2) Memahami pentingnya bermain bagi anak; 3) Memahami jenis mainan yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak; 4) Mampu memilih alat main yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak; 5) Mampu memelihara alat main dan perlengkapan main; 6) Mampu menggunakan APE sebagai alat bantu belajar anak.
e) Kemampuan memahami perkembangan kurikulum terpadu, memiliki indikator esensial: 1) Memahami konsep dan prinsip kurikulum PAUD; 2) Memahami komponen kurikulum PAUD; 3) Mampu merancang kurikulum PAUD sesuai dengan tahap perkembangan anak (DAP); 4) Mampu menyusun rencana pembelajaran (lesson plan) dengan webbing dan tematik.
f) Kemampuan memahami lingkungan belajar yang kondusif, memiliki indikator esensial: 1) Mampu memahami prinsip dan peran lingkungan bagi pembelajaran PAUD; 2) Mampu menata lingkungan main yang aman dan nyaman di luar (indoor) dan di dalam ruang (outdoor); 3) Mampu melakukan rotasi kegiatan.
g) Kemampuan memahami pengelolaan kelas, memiliki indikator esensial: 1) Mampu mengorganisasi kegiatan kelompok kecil dan besar; 2) Mampu memahami pengaturan dan tata tertib kelas, serta mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran.
h) Kemampuan memahami evaluasi pembelajaran, memiliki indikator esensial: 1) Memahami konsep dan prinsip penilaian; 2) Memahami aspek penilaian peningkatan perkembangan PAUD; 3) Memahami proses perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut penilaian.
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian meliputi memiliki kemampuan untuk belajar mandiri, memiliki sikap terhadap profesi, memiliki komitmen terhadap profesi dan tugas profesional, dan motivasi. Departemen Pendidikan Nasional (2006) telah menjabarkan secara rinci setiap subkompetensi menjadi indikator esensial sebagai berikut:
a) Memiliki kemampuan untuk belajar mandiri, memiliki indikator esensial: 1) Menguasai lingkungan kerja sesuai dengan profesi PAUD; 2) Menguasai kemampuan untuk menyelesaikan tugas secara mandiri; 3) Menguasai cara mengadaptasikan diri terhadap lingkungan pekerjaan.
b) Memiliki sikap terhadap profesi, memiliki indikator esensial: 1) Menguasai dan memiliki sikap positif terhadap sumber-sumber belaiar untuk mempertahankan kemampuan profesinya; 2) Memiliki sikap positif terhadap perannya sebagai pendidik PAUD; 3) Memiliki sikap positif terhadap kegiatan pendidikan sehari-hari; 4) Memiliki sikap positif atas lingkungan kerjanya; 5) Mampu menerima kritik dan saran.
c) Memiliki komitmen terhadap profesi dan tugas profesional, memiliki indikator esensial: 1) Memiliki etika kerja sebagai pendidik; 2) Menguasai karakteristik pekerjaan sesuai dengan profesi PAUD; 3) Bertanggung jawab/komitmen terhadap tugas.
d) Motivasi, memiliki indikator esensial: 1) Memiliki kemauan meningkatkan diri dalam kinerja profesinya; 2) Memiliki kemauan untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuan profesinya; 3) Memiliki kemauan untuk mempelajari hal-hal yang baru yang
berkaitan dengan PAUD; 4) Memiliki kemauan untuk melakukan inovasi; 5) Memiliki kemauan untuk memprakarsai suatu kegiatan.
c. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006) meliputi kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk komunikasi, kemampuan memahami pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan anak (DAP), kemampuan memahami substansi kurikulum PAUD, dan kemampuan memahami penelitian sederhana dan kajian kritis untuk meningkatkan layanan PAUD. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut:
a) Kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk komunikasi, memiliki indikator esensial: 1) Mampu menggunakan berbagai peralatan teknologi pembelajaran untuk kepentingan anak didik.
b) Kemampuan memahami pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan anak (DAP), memiliki indikator esensial: 1) Memahami konsep pembelajaran melalui bermain yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan anak; 2) Memahami pembelajaran yang sesuai dengan kekuatan, kebutuhan, dan minat anak; 3) Memahami pembelajaran yang sesuai dengan konteks sosial budaya setiap anak; 4) Mampu membuat dan mengembangkan APE;
5) Mampu memahami perlunya dongeng dalam pembelajaran PAUD;
6) Mampu mempersiapkan lingkungan pembelajaran bagi AUD.
c) Kemampuan memahami substansi kurikulum PAUD, memiliki indikator esensial: 1) Menguasai substansi dan metodologi pembelajaran agama dan nilai moral melalui bermain; 2) Memahami substansi dan metodologi pembelajaran bahasa dan keaksaraan melalui bermain; 3) Memahami substansi dan metodologi pembelajaran matematika melalui bermain; 4) Memahami substansi dan metodologi pembelajaran ilmu sosial dan ilmu alam melalui bermain; 5) Memahami substansi dan metodologi pembelajaran seni dan kerajinan tangan; 6) Memahami substansi dan metodologi
pembelajaran musik dan gerak; 7) Memahami cara pengajaran anak usia dini yang berpusat pada anak; 8) Memahami jenis nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dan mampu merekomendasikannya pada orang tua dan pihak terkait; 9) Menguasai dasar P3K.
d) Kemampuan memahami penelitian sederhana dan kajian kritis untuk meningkatkan layanan PAUD, memiliki indikator esensial: 1) Mampu melaksanakan penelitian sederhana untuk meningkatkan layanan PAUD; 2) Mampu melakukan kajian kritis untuk meningkatkan layanan PAUD; 3) Mampu menjelaskan pentingnya PAUD bagi orang dan calon orang tua.
d. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006) meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan menjalin kemitraan, kemampuan partisipasi, dan kemampuan memahami budaya masyarakat di sekitar tempat tugas. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut:
a) Kemampuan berkomunikasi, memiliki indikator esensial: 1) Mampu berkomunikasi secara verbal maupun non verbal dengan anak didik;
2) Mampu merangsang anak untuk berkomunikasi; 3) Mampu menciptakan suasana yang nyaman untuk berkomunikasi; 4) Mampu berkomunikasi dengan orang tua dan teman sejawat.
b) Kemampuan menjalin kemitraan, memiliki indikator esensial: 1) Mampu menjalin hubungan kerja sama dengan sejawat; 2) Mampu berkoordinasi dengan orang tua AUD, masyarakat dan lembaga pembina PAUD.
c) Kemampuan partisipasi, memiliki indikator esensial: 1) Mampu berperan aktif dalam kegiatan pengembangan PAUD di masyarakat.
d) Kemampuan memahami budaya masyarakat di sekitar tempat tugas, memiliki indikator esensial: 1) Mampu memahami nilai, adat istiadat dan budaya yang berlaku di masyarakat dalam mendidik anak usia
dini; 2) Mampu memahami bahasa yang digunakan dalam masyarakat.
5. Peran dan Fungsi Guru PAUD
Menurut Lestari yang dikutip dari Saifuddin (2016: 31-32), terdapat beberapa peran dan fungsi guru PAUD, yaitu sebagai berikut:
a. Guru sebagai sumber belajar
Guru sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran dengan baik dan benar. Guru yang profesional manakala ia dapat menguasai materi pelajaran, sehingga benar-benar ia berperan sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Apapun yang ditanya siswa berkaitan dengan materi pembelajaran yang diajarkan, guru yang profesional akan menjawab dengan penuh keyakinan.
b. Guru sebagai fasilitator
Guru berperan memberi pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Guru sebagai fasilitator membawa konsekuen terhadap pola hubungan guru-siswa ”top-down” ke hubungan kemitraan. Hubungan kemitraan guru dan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswa dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator harus memahami relasi yang dibangun yaitu kemitraan.
c. Guru sebagai pengelola
Sebagai pengelola pembelajaran (learning manager), guru berperan menciptakan iklim belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa.
d. Guru sebagai demonstrator
Guru sebagai demonstrator adalah peran guru agar dapat mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Ada dua pengertian dalam konteks guru sebagai demonstrator:
a) Demonstrator berarti guru harus menunjukkan sifat-sifat terpuji dalam setiap aspek kehidupan, dan guru merupakan sosok ideal yang dapat diteladani.
b) Demonstrasi guru harus dapat menunjukkan bagaimana cara agar setiap materi pelajaran bisa dipahami dan dihayati oleh siswa.
e. Guru sebagai pembimbing
Guru sebagai pembimbing adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya. Agar guru dapat berperan sebagai pembimbing, ada dua hal yang harus dimiliki: pertama, guru harus memahami anak didik yang di bimbingnya. Kedua, guru harus memahami dan terampil dalam merencanakan proses pembelajaran.
f. Guru sebagai motivator
Dalam proses pembelajaran motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Sering terjadi siswa yang kurang berprestasi bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan, tetapi disebabkan oleh kurangnya motivasi untuk belajar. Oleh karena untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal, guru di tuntut kreatif untuk dapat membangkitkan motivasi siswanya.
g. Guru sebagai evaluator
Sebagai evaluator, guru berperan mengumpulkan data atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap hasil akhir pembelajaran tetapi juga dilakukan terhadap proses, kemampuan siswa dalam proses pembelajaran.
h. Guru sebagai mediator
Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan adanya guru yang mampu menjadi mediator atau penengah. Dalam kegiatan belajar sering terjadi dialog yang terkadang tidak terkendali atau kurang sehat maka seorang guru harus menjadi seorang penengah yang baik sehingga interaksi kelas akan tetap berjalan dengan tertib.
B. Karakter Peduli Sosial 1. Pengertian Peduli Sosial
Kepedulian berarti sikap memperhatikan sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata peduli berarti memperhatikan atau menghiraukan sesuatu.
Azzet (2014: 88) mengemukakan bahwa kepedulian adalah sikap memerhatikan kebutuhan orang lain baik secara materi maupun non materi, mau berbagi, dan mendengarkan orang lain.
Pendapat tersebut diperjelas oleh Muchlas Samani dan Hariyanto (2011: 51) yang menyatakan bahwa peduli sosial yaitu memperlakukan orang lain dengan sopan, bertindak santun, toleran terhadap perbedaan, tidak menyakiti orang lain, mau mendengar orang lain, mau berbagi, tidak merendahkan orang lain, tidak mengambil keuntungan dari orang lain, mampu bekerja sama, mau terlibat dalam kegiatan masyarakat, menyayangi manusia dan makhluk lain, setia, cinta damai dalam menghadapi persoalan.
Direktorat PAUD dalam Pedoman Pendidikan Karakter pada Pendidikan Anak Usia Dini (2012: 27), mengemukakan beberapa indikator kepedulian yang merupakan acuan untuk dapat ditumbuhkan oleh pendidik yaitu: anak bersimpati terhadap keadaan orang lain, anak bergembira bila mendengar berita yang menyenangkan, bersedih bila mendengar berita yang menyedihkan, anak bersedia membantu orang lain, dan mau berbagi dengan orang lain. Hal tersebut sangat penting dibiasakan sejak dini, agar anak dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosialnya.
Karakter peduli sosial anak dapat ditanamkan sejak dini melalui lingkungan pertama anak yaitu lingkungan keluarga. Kemudian karakter tersebut dapat dikembangkan saat anak berada di lingkungan sekolah, karena sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dapat membantu membimbing anak dalam pembelajaran baik dari kemampuan akademis maupun non akademis. Kemampuan akademis berupa cara berfikir dan kemampuan non akademis berupa perilaku.
2. Karakteristik Peduli Sosial
Pendidik PAUD berkewajiban menanamkan hal yang positif pada anak agar menjadi kebiasaan baik bagi anak sehingga anak memiliki kesiapan untuk melewati tahap perkembangan selanjutnya. Dalam menanamkan karakter peduli sosial, guru sebaiknya menciptakan lingkungan sosial yang mendukung seperti menghargai dan menghormati anak dari berbagai latar belakang budaya, gender, hingga tingkat sosial- ekonomi.
Upaya menanamkan karakter peduli sosial pada anak bukan sepenuhnya tugas guru di sekolah. Orang tua juga memiliki peranan penting, terutama karena anak usia dini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan orang tua.
Sejalan dengan itu, Lev Vygotsky dalam Morisson (2012: 77-78) meyakini bahwa perkembangan mental, bahasa, dan sosial didukung dan ditingkatkan oleh orang lain lewat interaksi sosial. Anak-anak mencari orang dewasa untuk berinteraksi sosial mulai dari lahir; perkembangan terjadi lewat interaksi tersebut.
Vygotsky juga menyatakan bahwa komunikasi atau dialog antara guru dengan anak sangatlah penting, dan benar-benar menjadi sarana untuk membantu anak berkembang, atau mengembangkan konsep baru dan memikirkan cara mereka untuk memahami konsep-konsep tingkat tinggi.
Pengembangan adalah pendampingan yang memungkinkan anak untuk menyelesaikan tugas yang tidak dapat mereka lakukan sendiri.
Adapun menurut Departemen Pendidikan Nasional (2014) tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, anak usia 4 sampai 6 tahun memiliki beberapa tugas perkembangan sosial, diantaranya sebagai berikut:
a. Menjaga diri sendiri dan lingkungannya.
b. Menghargai keunggulan orang lain.
c. Mau berbagi, menolong, dan membantu teman.
d. Bermain dengan teman sebaya.
e. Mengetahui perasaan temannya dan merespon secara wajar.
f. Berbagi dengan orang lain.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (2003: 118-119) terdapat pola perilaku peduli sosial dan tidak peduli sosial. Pola perilaku peduli sosial, yaitu:
a. Meniru. Agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku orang yang sangat ia kagum.
b. Persaingan. Keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang- orang lain sudah tampak pada usia empat tahun. Ini dimulai di rumah dan kemudian berkembang dalam bermain dengan anak di luar rumah.
c. Kerja sama. Pada akhir tahun ketiga bermain kooperatif dan kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat, baik dalam frekuensi maupun lamanya berlangsung, bersamaan dengan meningkatnya kesempatan untuk bermain dengan anak lain.
d. Simpati. Karena simpati membutuhkan pengertian tentang perasaan- perasaan dan emosi orang lain maka hal ini hanya kadang-kadang timbul sebelum tiga tahun. Semakin banyak kontak bermain, semakin cepat simpati akan berkembang.
e. Empati. Seperti halnya simpati, empati membutuhkan pengertian tentang perasaan dan emosi orang lain tetapi di samping itu juga membutuhkan kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain.
Relatif hanya sedikit anak yang dapat melakukan hal ini sampai awal masa kanak-kanak berakhir.
f. Dukungan sosial. Menjelang berakhirnya awal masa kanak-kanak, dukungan dari teman-teman menjadi lebih penting daripada persetujuan orang-orang dewasa. Anak beranggapan bahwa perilaku nakal dan perilaku mengganggu merupakan cara untuk memperoleh dukungan dari teman-teman sebaya.
g. Membagi. Dari pengalaman bersama orang lain, anak mengetahui bahwa salah satu cara untuk memperoleh persetujuan sosial adalah dengan membagi miliknya–terutama mainan–untuk anak-anak lain. Lambat laun sifat mementingkan diri sendiri berubah menjadi sifat murah hati.
Sementara itu, pola perilaku tidak peduli sosial diantaranya adalah:
a. Negativisme, atau melawan ototritas orang dewasa, mencapai puncaknya antara usia tiga dan empat tahun dan kemudian menurun. Perlawanan fisik lambat laun berubah menjadi perlawanan verbal dan pura-pura tidak mendengar atau tidak mengerti permintaan orang dewasa.
b. Agresif. Perilaku agresif meningkat antara usia dua dan empat tahun dan kemudian menurun. Serangan-serangan fisik mulai diganti dengan serangan-serangan verbal dalam bentuk memaki-maki atau menyalahkan orang lain.
c. Perilaku berkuasa, atau “merajai” mulai sekitar usia tiga tahun dan semakin meningkat dengan bertambah banyaknya kesempatan untuk kontak sosial. Anak perempuan cenderung lebih meraja daripada anak laki-laki.
d. Memikirkan diri sendiri. Karena cakrawala sosial anak terutama terbatas di rumah, maka anak seringkali memikirkan dan mementingkan dirinya sendiri. Dengan meluasnya cakrawala, lambat laun perilaku memikirkan diri sendiri berkurang tetapi perilaku murah hati masih sangat sedikit.
e. Mementingkan diri sendiri. Seperti halnya perilaku memikirkan diri sendiri, perilaku mementingkan diri sendiri lambat laun diganti oleh minat dan perhatian kepada orang lain. Cepatnya perubahan ini bergantung pada banyaknya kontak dengan orang-orang di luar rumah dan berapa besar keinginan mereka untuk diterima oleh teman-teman.
f. Merusak. Ledakan amarah sering disertai dengan tindakan merusak benda-benda di sekitarnya, tidak peduli miliknya sendiri atau milik orang lain. Semakin hebat amarahnya, semakin luas tindakan merusaknya.
g. Pertentangan seks. Sampai empat tahun anak laki-laki dan perempuan bermain bersama-sama dengan baik. Setelah SD anak laki-laki mengalami tekanan sosial yang tidak menghendaki aktivitas bermain yang dianggap sebagai “banci”. Banyak anak laki-laki yang berperilaku agresif dan melawan anak perempuan.
h. Prasangka. Sebagian besar anak presekolah lebih suka bermain dengan teman-teman yang berasal dari ras yang sama, tetapi mereka jarang
menolak bermain dengan anak-anak ras lain. Prasangka sosial timbul pertama-tama dari prasangka agama atau status sosial ekonomi, tetapi lebih lambat dari prasangka seks.
3. Bentuk-bentuk Peduli Sosial
Menurut Buchari Alma (2010: 205-208) faktor yang mempengaruhi sikap kepedulian sosial berdasarkan lingkungan ada tiga, yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama untuk belajar bagaimana berinteraksi antar sesama manusia. Di dalam keluarga, anak mengamati cara manusia saling berinteraksi dengan respon gestur tubuh, intonasi nada ucapan, dan lain sebagainya. Pentingnya anak mempelajari gerak- gerik orang lain agar anak dapat memahami keadaan orang-orang di sekitarnya.
b. Lingkungan sekolah
Sekolah dapat berfungsi sebagai lembaga yang membentuk siswa agar dapat bergaul dengan teman sebaya, guru, dan tata usaha. Karena sekolah menyatukan siswa dari beragam latar belakang budaya, agama, ras, tingkat sosial-ekonomi, dan lain sebagainya.
c. Lingkungan masyarakat
Masyarakat pedesaaan masih tertanam sikap kepedulian sosial yang sangat erat karena tradisinya yang kuat. Jika salah satu keluarga mengadakan kegiatan, maka para tetangganya akan membantu secara sukarela dengan berbagai cara. Namun, situasi seperti itu sangat jarang ditemui pada lingkungan masyarakat perkotaan dikarenakan sikap individualisme yang tinggi sehingga sikap kepedulian sosialnya menurun.
4. Manfaat Peduli Sosial
Menurut Azzet (2014: 92) terdapat beberapa manfaat saat melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian sosial, diantaranya:
a. Menyehatkan jiwa dan raga
Pola hubungan sosial seseorang dipercaya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesehatanya. Hal ini bisa kita ketahui dari banyak kenyataan bahwa orang-orang yang mempunyai jalinan hubungan yang baik dengan orang lain biasanya mampu menjalin hari- hari dengan baik, menyenangkan, ketika mempunyai masalah akan ada orang lain yang diajak berdiskusi dan mencari jalan keluar, banyak menemukan hal baru dari sebuah hubungan dan lain sebagainya. Semua itu akan berakibat baik bagi kejiwaannya.
b. Membuat suasana nyaman
Orang yang memiliki kecerdasan sosial yang baik akan bisa membuat suasana menjadi nyaman. Suasana yang nyaman akan menjadikan hubungan seseorang dengan yang lain berjalan baik. Orang dengan sikap kepedulian sosial yang tinggi akan cepat tanggap dalam merespon sesuatu dalam situasi apapun.
c. Meredakan perkelahian
Dengan kecerdasan sosial yang tinggi, maka kemungkinan besar akan memiliki rasa kepedulian yang tinggi pula. Kecerdasan sosial yang tinggi sangat bermanfaat dalam meredakan perkelahian. Biasanya seseorang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi mampu meredam emosi seseorang dan mengurangi ketegangan yang terjadi.
d. Membangkitkan semangat
Seseorang yang memiliki kecerdasan sosial biasanya mampu memberikan dorongan atau semangat pada orang lain. Misalnya: seorang anak yang gagal menggambar kelopak bunga. Anak tersebut merasa gambar yang dibuatnya lebih mirip daun daripada kelopak bunga. Saat sang anak mengadu pada ibunya sang ibu tidak memarahi atau mengatakan bahwa anak itu bodoh karena menggambar kelopak bunga saja tidak bisa. Tetapi sang ibu justru meminta anak mewarnai kelopak bunga yang lebih mirip dengan daun itu dengan warna hijau. Kemudian sang ibu mengatakan dan memotivasi sang anak bahwa gambar daunya
sangat bagus. Sehingga anak yang semula merasa gagal menjadi bersemangat kembali dalam menggambar.
C. Anak Usia Dini
1. Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Anak usia dini memiliki rentang usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya karena perkembangan kecerdasannya sangat luar biasa. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dan berada pada masa proses perubahan berupa pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan penyempurnaan, baik pada aspek jasmani maupun rohaninya yang berlangsung seumur hidup, bertahap, dan berkesinambungan (Mulyasa, 2014: 16).
Montessori dalam Mulyasa (2014: 20) mengemukakan bahwa usia dini merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode ketika suatu fungsi tertentu perlu dirangsang dan diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Sebagai contoh: masa peka untuk berbicara pada periode ini tidak terlewati maka anak akan mengalami hambatan dalam perkembangan kemampuan bahasa pada periode berikutnya.
Anak usia dini menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ialah anak sejak lahir sampai usia enam tahun sedangkan anak usia TK adalah anak yang berusia 4-6 tahun. Pendidikan anak usia dini mengacu pada pendidikan yang diberikan kepada anak usia 0 – 6 tahun atau sampai dengan usia 8 tahun.
2. Karakteristik Anak Usia Dini a. Usia 0-1 tahun
Usia ini merupakan masa bayi, tetapi perkembangan fisik mengalami kecepatan yang sangat luar biasa, paling cepat dibanding usia selanjutnya. Beberapa karakteristik anak usia bayi dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk, berdiri, dan berjalan.
b) Mempelajari keterampilan menggunakan panca indra seperti melihat, mengamati, meraba, mendengar, mencium dan mengecap dengan memasukkan setiap benda ke mulutnya.
c) Mempelajari komunikasi sosial. Bayi yang baru lahir telah siap melaksanakan kontak sosial dengan lingkungannya. Komunikasi responsif dari orang dewasa akan mendorong dan memperluas respon verbal dan nonverbal bayi.
b. Usia 2-3 tahun
Pada usia ini terdapat beberapa kesamaan karakteristik dengan masa sebelumnya, yang secara fisik masih mengalami pertumbuhan yang pesat. Beberapa karakteristik khusus anak usia 2-3 tahun adalah sebagai berikut.
a) Sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Ia memiliki kekuatan observasi yang tajam dan keinginan belajar yang luar biasa. Eksplorasi yang dilakukan oleh anak terhadap benda apa saja yang ditemui merupakan proses belajar yang sangat efektif.
b) Mulai mengembangkan kemampuan berbahasa. Di awali dengan berceloteh, kemudian satu dua kata dan kalimat yang belum jelas maknanya. Anak terus belajar dan berkomunikasi, memahami pembicaraan orang lain dan belajar mengungkapkan isi hati dan pikiran.
c) Mulai belajar mengembangkan emosi. Perkembangan emosi anak didasarkan pada bagaimana lingkungan memperlakukan dia. Sebab emosi bukan ditentukan oleh bawaan, namun lebih banyak pada lingkungan.
c. Usia 4-6 tahun
a) Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan berbagai kegiatan. Hal itu bermanfaat untuk pengembangan otot-otot kecil maupun besar, seperti manjat, melompat, dan berlari.
b) Perkembangan bahasa juga semakin baik. Anak sudah mampu memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas tertentu, seperti meniru atau mengulang pembicaraan.
c) Perkembangan kognitif (daya pikir) sangat pesat, ditunjukkan dengan rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar. Hal itu terlihat dari seringnya anak menanyakan segala sesuatu yang dilihat.
d) Bentuk permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan sosial, walaupun aktivitas bermain dilakukan anak secara bersama (Mulyasa, 2014: 22-24).
Susanto (2015: 45) berpendapat bahwa karakteristik anak usia dini antara lain: anak suka meniru; dunia anak adalah dunia bermain; anak masih berkembang; anak-anak tetaplah anak-anak; anak adalah kreatif; dan anak masih polos.
3. Perilaku Anak Usia Dini
Landy dalam Susanto (2015: 169-170) menggambarkan tahapan perkembangan perilaku sosial pada anak-anak, sebagai berikut:
a. Usia 0-1 tahun
Pada bulan-bulan pertama bayi mulai menunjukkan ketertarikan terhadap raut wajah manusia dan mulai belajar melakukan kontak mata dengan orang lain. Ketika mereka tumbuh, mereka mulai merespons lebih banyak, memperlihatkan tanda-tanda perilaku sosial lebih awal.
b. Usia 1-2 tahun
Anak menikmati keberadaannya bersama anak-anak lain dan bermain namun kadang-kadang berebut tempat dan mainan mereka.
Mereka masih benar-benar membutuhkan rasa aman dari pengasuh mereka dan sering kali kembali untuk mengadu. Beberapa anak mulai meniru perilaku sosial orang lain mungkin dengan cara memberikan rasa aman kepada anak lain atau bahkan orang dewasa yang terlihat mengalami kesulitan. Anak-anak yang lain mungkin akan mengalami
frustrasi terhadap seorang anak yang sedang menangis dan memukul anak tersebut untuk membuatnya berhenti menangis. Selain itu, membagi sesuatu seperti makanan atau mainan akan terlihat lebih mudah ketika didukung oleh orang-orang dewasa.
c. Usia 2-3 tahun
Pada tahap ini, anak-anak menjadi lebih mudah melakukan permainan dengan teman sebayanya dan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap persepektif orang lain. Anak-anak pada usia ini akan memungkinkan untuk menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam memberikan kenyamanan bagi orang lain. Anak-anak pada usia ini juga menjadi lebih peduli terhadap perilaku dan standar sosial dan akan mudah marah ketika aturan-aturan ini dilanggar.
d. Usia 3-4 tahun
Pada usia ini anak-anak lebih cenderung untuk menjalin persahabatan yang kuat. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan mereka dapat pula menyelesaikan konflik-konflik kecil yang terjadi di antara mereka. Anak-anak mendapatkan sebuah teori pemikiran atau kesadaran diri di mana mereka memiliki ide mereka masing-masing dan mampu membedakan ide-ide tersebut dengan ide orang lain.
e. Usia 4-6 tahun
Pada tahun-tahun ini bermain dengan permainan yang terorganisir dan bekerja sama dengan aturan-aturan tertentu menjadi lebih umum terjadi. Anak-anak mulai mengidentiflkasi orang-orang di luar keluarga mereka. Permainan yang lebih sering dilakukan seperti dokter-dokteran dan dagang-dagangan. Emosi mereka menjadi lebih jelas terhadap kepribadian, mereka berpikir dan bertindak seperti apa adanya mereka.
D. Penelitian Relevan
Berdasarkan beberapa literatur yang penulis temukan, berikut di antaranya penelitian ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.
1. Penelitian dengan judul “Pengaruh Sikap Guru Terhadap Pengembangan Karakter (Peduli Sosial) Siswa di MI Madinatunnajah Kota Cirebon” ditulis oleh Akhmad Busyaeri dan Mumuh Muharom, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 2016. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh sikap guru di dalam kelas terhadap perkembangan karakter peduli sosial siswa dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif. Persamaan penelitian dengan yang penulis lakukan yaitu sama- sama melakukan penelitian dengan fokus pengembangan aspek karakter peduli sosial di sekolah. Perbedaannya yaitu penelitian tersebut dilakukan pada tingkat sekolah dasar dengan menggunakan metode kuantitatif, sedangkan yang penulis lakukan yaitu pada tingkat PAUD dengan menggunakan metode kualitatif.
2. Penelitian dengan judul “Peningkatan Karakter Kepedulian Sosial Melalui Metode Bercerita pada Anak Usia 5-6 Tahun” ditulis oleh Jumini, Muhammad Ali, dan Dian Miranda, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura Pontianak. 2015. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh metode bercerita terhadap peningkatan karakter kepedulian sosial anak dengan bentuk penelitiannya yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Persamaan penelitian dengan yang penulis lakukan yaitu sama-sama melakukan penelitian dengan fokus pengembangan aspek karakter peduli sosial di sekolah tingkat PAUD. Perbedaannya yaitu penelitian tersebut dilakukan dengan berfokus pada pengaruh metode bercerita pada peningkatan karakter anak dengan bentuk penelitian yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK), sedangkan yang penulis lakukan yaitu berfokus pada upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan karakter peduli sosial pada anak dengan menggunakan metode kualitatif.
3. Penelitian dengan judul “Peran Pendidik PAUD dalam Mengimplementasikan Pendidikan Karakter Melalui Metode Pembelajaran Sentra dan Lingkaran” ditulis oleh Ar-Raisul Karama Arifin dan Nur Ainy Fardana, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga Surabaya. 2014.
Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh metode pembelajaran sentra dan
lingkaran terhadap implementasi pendidikan karakter pada anak usia dini di sekolah tingkat PAUD. Persamaan penelitian dengan yang penulis lakukan yaitu sama-sama melakukan penelitian dengan fokus peranan pendidik PAUD di sekolah menggunakan metode penelitian kualitatif. Perbedaannya yaitu penelitian tersebut dilakukan dengan berfokus pada pengaruh metode pembelajaran sentra dan lingkaran dalam mengimplementasikan pendidikan karakter pada anak, sedangkan yang penulis lakukan yaitu berfokus pada peranan yang dilakukan guru dalam mengembangkan karakter peduli sosial pada anak.
E. Kerangka Berpikir
Karakter peduli sosial sangat penting diajarkan sejak dini agar anak memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain dan mengerti perasaan orang lain. Sehingga, anak tidak berkembang dengan karakter apatis, egois, dan mau menang sendiri. Karakter peduli sosial juga perlu ditanamkan sejak dini agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan selanjutnya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki potensi yang besar untuk memberikan pendidikan kepedulian sosial. Guru memegang peranan dan tanggung jawab yang penting dalam pelaksanaan program pengajaran di sekolah. Guru dapat menggunakan berbagai macam metode dan strategi pembelajaran dalam upaya menanamkan dan mengembangkan karakter peduli sosial pada anak usia dini. Terdapat hubungan emosional yang bermakna antara guru dan siswa selama proses pembelajaran di sekolah. Sehingga, apa yang dilakukan oleh guru kemungkinan besar akan ditiru oleh siswanya. Oleh karena itu, dalam mengembangkan karakter peduli sosial guru dituntut untuk berperilaku yang baik sesuai dengan norma yang berlaku seperti sopan, bertindak santun, toleran terhadap perbedaan, mau berbagi, mampu bekerja sama, dan sebagainya.
Namun, pendidikan kepedulian sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab sepenuhnya guru di sekolah karena anak usia dini menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di rumah bukan di sekolah. Sehingga, pengembangan
karakter peduli sosial menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah. Fungsi kehadiran orangtua dalam kehidupan anak usia dini menurut Eti Nurhayati dan Maulidya Ulfah (2017: 181) yaitu sebagai perawatan (nurturance), perlindungan (protection), dan sosialisasi (socialization), dan bagi remaja berfungsi untuk memberi dukungan (supporting), bimbingan (guidance), dan pengarahan (direction).
Jika orang tua sebagai pendidik utama dikatakan kurang mampu dalam memberikan pendidikan nilai peduli sosial pada anak, maka beban guru di sekolah akan menjadi jauh lebih berat. Terlebih bila melihat kenyataan yang terjadi dilapangan sekarang ini, banyak orang tua yang sibuk bekerja berangkat pagi hari dan pulang sore atau bahkan malam hari sehingga interaksi dengan anak semakin berkurang. Apalagi, orang tua memberikan gadget sebagai sarana bermain anak yang berpotensi menyebabkan anak kecanduan dan enggan bermain dengan teman sebayanya. Hal tersebut dapat menurunkan rasa kepedulian anak terhadap lingkungan sosialnya. Secara garis besar, alur kerangka berpikir penelitian ini terdapat pada bagan berikut:
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
Anak Usia Dini
Penerapan Pendidikan Karakter
Kerja sama
Terbentuknya Karakter Peduli Sosial pada Anak Usia Dini
Orang Tua Guru