• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN. kehamilan, Indeks Massa Tubuh (IMT), kebiasaan merokok, peregangan otot,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V PEMBAHASAN. kehamilan, Indeks Massa Tubuh (IMT), kebiasaan merokok, peregangan otot,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 64 BAB V PEMBAHASAN

A. Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian meliputi umur, jenis kelamin, status kehamilan, Indeks Massa Tubuh (IMT), kebiasaan merokok, peregangan otot, riwayat penyakit tulang dan otot dan beban kerja. Dimana semua subjek penelitian adalah berjenis kelamin perempuan, tidak sedang hamil, tidak merokok, tidak melakukan pekerjaan peregangan otot, tidak memiliki riwayat penyakit tulang dan otot dan memiliki beban kerja sedang. Untuk variabel pengganggu umur, telah dipilih subyek penelitian dengan umur yang belum beresiko terjadi keluhan muskuloskeletal menurut OSHA (2007) yaitu ≤ 35 tahun. Untuk variabel pengganggu Indeks Massa Tubuh (IMT), dipilih subyek penelitian yang tidak obesitas yaitu IMT ≤ 27 yaitu dengan kategori kurus, normal dan gemuk. Untuk jenis kelamin subyek penelitian dipilih dengan jenis kelamin perempuan walaupun menurut Suma’mur (2014) perempuan lebih beresiko jika dilihat dari kemampuan otot, tapi telah dihomogenkan dengan mengambil sampel yang berjenis kelamin perempuan. Subyek penelitian dipilih yang tidak sedang hamil karena menurut Marras dan Karwowski (2006) wanita pada masa kehamilan memiliki beban yang disangga tubuh lebih besar dan mengakibatkan wanita hamil lebih cepat mengalami kelelahan pada otot saat beraktivitas. Subyek penelitian dipilih yang tidak merokok, menurut Karuniasih (2009) meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya

(2)

commit to user

dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Untuk variabel peregangan otot, pekerjaan menjahit bukan merupakan pekerjaan yang memerlukan peregangan otot yang berlebihan, pada umumnya peregangan otot sering dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Subyek penelitian juga dipilih yang tidak memiliki riwayat penyakit tulang dan otot, menurut Ikrimah (2009) beberapa kondisi seperti patah dan atau dislokasi tulang, artritis dapat memberikan kontribusi bagi timbulnya keluhan muskuloskeletal. Untuk variabel pengganggu beban kerja, beban kerja untuk pekerjaan menjahit dihitung dengan standar Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dan American Counsel Of Government Industrial Hygienists (ACGIH) diperoleh hasil bahwa pekerjaan menjahit termasuk dalam pekerjaan dengan kategori beban kerja sedang. Pekerjaan menjahit merupakan pekerjaan dengan beban kerja yang sama atau homogen.

Oleh karena itu umur, IMT, jenis kelamin, status kehamilan, kebiasaan merokok, peregangan otot dan riwayat penyakit tulang dan otot tidak memiliki kontribusi terhadap keluhan muskuloskeletal.

1. Umur

Dalam pengambilan subyek penelitian, sebelumnya telah dilakukan inklusi untuk karakteristik umur dengan memilih subyek penelitian yang berumur ≤ 35 tahun karena menurut OSHA (2007) pekerja dengan umur lebih dari 35 tahun lebih berisiko terkena keluhan muskuloskeletal dibanding pekerja dengan umur di bawah 35 tahun, sehingga diharapkan

(3)

commit to user

karakteristik umur tidak memiliki kontribusi terhadap terjadinya keluhan muskuloskeletal. Dari data penelitian 50% subyek penelitian berumur < 25 tahun dan 50% lainnya berumur ≥ 25 tahun. Menurut Tarwaka (2014) pada umumnya keluhan sistem muskuloskeletal sudah mulai dirasakan pada usia kerja yaitu pada umur 25-65 tahun. Namun demikian, keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat.

2. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Dalam pengambilan subyek penelitian, sebelumnya telah dilakukan inklusi untuk karakteristik umur dengan memilih subyek penelitian yang memiliki IMT ≤ 27 yaitu yang termasuk dalam kategori kurus, normal, dan gemuk. Berdasarkan data penelitian, dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang memiliki IMT dengan kategori kurus sebanyak 6 orang, kategori normal sebanyak 30 orang dan kategori gemuk sebanyak 4 orang.

Mayoritas subjek penelitian memiliki IMT dengan kategori normal yaitu sebanyak 75%. Menurut Viester (2013), Indeks Massa Tubuh (IMT) dikaitkan dengan gejala muskuloskeletal, dibandingkan dengan karyawan dengan berat badan normal, karyawan obesitas memiliki risiko lebih tinggi mengalami keluhan muskuloskeletal dan juga pemulihan gejala yang kurang. Sehingga subyek penelitian diambil yang memiliki IMT dengan

(4)

commit to user

kategori kurus, normal dan gemuk agar tidak memiliki kontribusi terhadap keluhan muskuloskeletal.

B. Postur Kerja

Dari hasil penelitian mengenai postur kerja duduk saat melakukan pekerjaan di bagian sewing dengan metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA), dapat diketahui bahwa postur kerja subjek penelitian yang bekerja pada postur kerja dengan kategori risiko sedang sebanyak 25 orang dan yang bekerja pada postur kerja dengan kategori risiko tinggi sebanyak 15 orang.

Postur kerja dengan tingkat risiko sedang diperlukan adanya investigasi lebih lanjut, mungkin perubahan untuk perbaikan postur kerja agar tingkat risiko postur kerja tidak menjadi tinggi, sedangkan postur kerja dengan tingkat risiko tinggi diperlukan investigasi dan perbaikan segera untuk memperbaiki postur kerja. Menurut OHSCO (2007) apabila postur kerja tidak diperbaiki dapat menyebabkan lebih banyak ketegangan pada otot, tendon dan ligamen di sekitar sendi. Bila postur tubuh canggung dilakukan untuk waktu yang lama (yaitu, jika postur tubuh adalah tetap), mengakibatkan mulai dirasakannya sakit dan ketidaknyamanan. Hal ini terjadi ketika otot-otot lelah karena kurang gerak dapat membuat aliran darah tidak cukup untuk menyediakan energi ke otot.

Hasil penilaian postur kerja dengan lembar kerja RULA juga menunjukkan bahwa postur punggung dan leher beresiko. Mayoritas postur punggung pekerja yaitu 62.5% membungkuk 20°-60°, dan mayoritas postur

(5)

commit to user

leher pekerja yaitu 57.5% membungkuk > 20°. Hal tersebut dikarenakan pekerja bekerja dengan kursi kerja yang tidak memiliki sandaran punggung dan meja kerja yang terlalu jauh dari pekerja, oleh karena itu perlu adanya penyediaan kursi kerja yang memiliki sandaran punggung dan mendekatkan meja kerja dengan tubuh pekerja. Untuk memperbaiki postur kerja dapat dilakukan dengan training tentang postur kerja yang baik dan safety briefing yang berisi arahan untuk bekerja dengan postur kerja yang baik, menurut OHSA (2007) tingkat pengetahuan pekerja tentang penyakit akibat kerja dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit muskuloskeletal. Dalam pekerjaan tertentu, pelatihan tentang metode kerja yang benar dapat menekan beban kerja yang berarti mengurangi risiko penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

C. Masa Kerja

Dalam penelitian ini masa kerja dikategorikan menjadi 2 yaitu masa kerja ≤ 1 tahun dan > 1 tahun. Menurut Marras dan Karwowski (2006), masa kerja lebih dari 1 tahun diperkirakan cukup memiliki dampak untuk perubahan postur kerja dan adanya keluhan muskuloskeletal. Berdasarkan data penelitian dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang bekerja dengan masa kerja ≤ 1 tahun sebanyak 12 orang dan yang bekerja dengan masa kerja > 1 tahun sebanyak 28 orang. Sehingga sebanyak 70% pekerja yang telah bekerja > 1 tahun telah diperkirakan cukup memiliki dampak untuk perubahan postur kerja dan adanya keluhan muskuloskeletal.

(6)

commit to user D. Keluhan Muskuloskeletal

Dalam penelitian ini, keluhan muskuloskeletal diukur dengan kuesioner Nordic Body Map yang merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan (severity) atas terjadinya gangguan atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Tarwaka, 2014). Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeletal. Melalui kuisioner NBM akan dapat diketahui bagian-bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan tingkat tinggi (keluhan sangat sakit) (Tarwaka, 2014). Berdasarkan data pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan kuesioner Nordic Body Map dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang memiliki keluhan muskuloskeletal dengan kategori risiko ringan sebanyak 7 orang, kategori risiko sedang sebanyak 20 orang dan kategori risiko tinggi sebanyak 13 orang.

Mayoritas subyek penelitian memiliki keluhan muskuloskeletal dengan kategori risiko sedang yaitu sebanyak 50%. Keluhan muskuloskeletal dengan kategori sedang memerlukan tindakan di kemudian hari agar tingkat risiko tidak menjadi tinggi. Keluhan muskuloskeletal dengan kategori tinggi, diperlukan tindakan perbaikan segera agar keluhan tidak berlanjut (Tarwaka, 2014). Hal ini sesuai dengan teori Budiono dkk (2005), keluhan muskuloskeletal timbul akibat penumpukan cidera kecil yang setiap kali tidak sembuh total dalam jangka waktu pendek dan waktu yang lama tergantung dari berat ringannya trauma setiap hari, yang diekspresikan dengan rasa nyeri, kesemutan, pembengkakan, dan gejala lainnya.

(7)

commit to user

Keluhan muskuloskeletal dapat dikurangi dengan pemberian waktu istirahat pada pekerja untuk melakukan peregangan otot dan minum. Menurut Paramitha (2014), berolahraga secara teratur serta istirahat dan melakukan peregangan otot selama 5 menit setelah bekerja selama 1-2 jam dapat memulihkan bagian tubuh yang telah digunakan untuk bekerja. Peregangan otot sendiri menurut Depkes (2017) dapat berupa :

1. Peregangan leher, melenturkan leher ke depan-belakang, samping kanan- kiri, lalu gerakan menoleh ke kanan dan ke kiri dengan perlahan.

2. Peregangan bahu : putar bahu ke depan dan belakang sebanyak 10 kali.

3. Peregangan pada tangan dan kaki : putar pergelangan tangan dan kaki secara regular searah dan berlawanan arah jarum jam.

Selain pemberian waktu istirahat dapat juga dilakukan program senam ergonomis sebelum melakukan pekerjaan yang dilakukan 2 kali dalam seminggu saat briefing pagi. Menurut Nunik (2015) terdapat penurunan rata- rata skor nyeri MSDs pekerja yang melakukan latihan peregangan senam ergonomis 2 kali dalam seminggu dan terdapat perbedaan perubahan skor nyeri MSDs antara pekerja yang melakukan senam ergonomis dan pekerja yang tidak melakukan senam ergonomis. Selain itu penyediaan obar pereda ketegangan otot dan pengobatan lebih lanjut pada pekerja yang memiliki keluhan muskuloskeletal kategori tinggi dapat dilakukan sebagai upaya kuratif terhadap keluhan muskuloskeletal.

(8)

commit to user

E. Hubungan Postur Kerja dengan Keluhan Muskuloskeletal

Berdasarkan hasil uji statistik korelasi Spearman antara postur kerja dengan keluhan muskuloskeletal di CV Surya Alam Abadi Tawangsari Sukoharjo didapatkan nilai p = 0.003 sehingga p < 0.05 yang berarti ada hubungan antara postur kerja dengan keluhan muskuloskeletal dengan koefisien korelasi r = 0.455 yang berarti memiliki kekuatan korelasi sedang dengan arah korelasi positif (searah) yang berarti semakin tinggi risiko postur kerja semakin tinggi keluhan muskuloskeletal. Berdasarkan hasil penilaian postur kerja, postur kerja pekerja di bagian sewing termasuk postur kerja tidak alamiah yaitu termasuk kategori risiko sedang dan tinggi. Menurut Mutiah Annisa dkk (2013), semakin tidak alamiah postur kerja seseorang, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Posisi tidak wajar atau postur janggal terjadi ketika sendi berpindah dari posisi alami tubuh, sehingga otot akan menegang. Peredaran darah ke otot berkurang sehingga suplai oksigen ke otot menurun, kemudian proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya nyeri otot.

Pekerja di bagian sewing duduk dengan kursi kerja yang tidak dilengkapi sandaran punggung sehingga dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal. Hal ini sesuai dengan penelitian Valachi (2003) saat bekerja dengan postur kerja yang tidak didukung, lordosis lumbal merata, yang menyebabkan beban berlebih pada kurva tulang belakang yang menyebabkan tulang belakang semakin tergantung pada otot, ligamen dan jaringan lunak

(9)

commit to user

yang menyebabkan ketegangan dalam struktur ini. Hal ini menyebabkan suplai darah tidak mencukupi dan menyebabkan tekanan. Tekanan ini dapat mendatarkan kurva lumbal dan menyebabkan inti di disk tulang belakang bermigrasi ke arah posterior sumsum tulang belakang. Seiring waktu, dinding posterior disk menjadi lemah. Dalam posisi ini otot-otot tulang belakang dada dan leher bagian atas harus berkontraksi terus-menerus untuk mendukung berat kepala pada postur membungkuk. Hal ini dapat mengakibatkan pola nyeri. Dari penilaian postur kerja terdapat postur kepala pekerja di bagian sewing CV Surya Alam Abadi Tawangsari Sukoharjo juga terlalu maju mendekati mesin jahit dan posisi lengan yang membengkok. Hal ini menurut Valachi (2003) postur kepala yang terlalu maju juga dapat menyebabkan otot mengalami ketidakseimbangan. Selain itu, postur statis lengan membengkok lebih dari 30 derajat menghambat aliran darah ke otot supraspinata dan tendon. Lengan yang berabduksi (menjauhi tubuh) juga dapat menyebabkan rasa sakit yang kronis.

F. Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Muskuloskeletal

Berdasarkan hasil uji statistik korelasi Spearman antara masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal didapatkan nilai p = 0.001 sehingga p < 0.05 yang berarti ada hubungan antara postur kerja dengan keluhan muskuloskeletal dengan koefisien korelasi r = 0.504 yang berarti memiliki kekuatan korelasi sedang dengan arah korelasi positif (searah) yang berarti semakin lama masa kerja semakin tinggi risiko keluhan muskuloskeletal. Hal

(10)

commit to user

ini sesuai dengan penelitian Koesyanto H (2013), masa kerja merupakan akumulasi aktivitas kerja seseorang yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Apabila aktivitas tersebut dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan gangguan pada tubuh. Tekanan fisik pada suatu kurun waktu tertentu mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, dengan gejala makin rendahnya gerakan. Tekanan-tekanan akan terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang, sehingga mengakibatkan memburuknya kesehatan yang disebut juga keluhan klinis atau kronis. Menurut Nursatya (2008) penyakit muskuloskeletal merupakan penyakit kronis yang membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin lama waktu bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko musculoskeletal disorders maka semakin besar pula risiko untuk mengalami keluhan muskuloskeletal.

G. Hubungan Postur Kerja dan Masa Kerja dengan Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan hasil uji regresi logistik antara postur kerja dan masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal, diketahui bahwa masa kerja adalah variabel yang paling berpengaruh dengan terjadinya keluhan muskuloskeletal, hal ini dapat dilihat dari nilai p masa kerja yang lebih signifikan daripada postur kerja. Dari nilai EXP (B) dapat diketahui bahwa postur kerja dengan kategori risiko tinggi 3 kali lebih besar menyebabkan keluhan muskuloskeletal dibandingkan postur kerja dengan kategori sedang, dan masa kerja > 1 tahun beresiko 10 kali lebih besar menyebabkan keluhan muskuloskeletal

(11)

commit to user

dibandingkan masa kerja ≤ 1 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Marras dan Karwowski (2006), masa kerja lebih dari 1 tahun diperkirakan cukup memiliki dampak untuk perubahan postur kerja dan adanya keluhan muskuloskeletal.

Masa kerja menjadi variabel paling berpengaruh terhadap terjadinya keluhan muskuloskeletal di CV Surya Alam Abadi Tawangsari Sukoharjo karena berdasarkan hasil observasi diketahui pekerja di bagian sewing memiliki tuntutan pekerjaan yang tinggi, pekerja bekerja melebihi jam kerja standar, sering lembur, dan kurangnya waktu istirahat menyebabkan efek kumulatif beban kerja dalam waktu yang lama yang mempengaruhi ketahanan fisik dan keluhan otot pekerja. Lama atau waktu kerja pekerja bagian sewing sendiri dari jam 08.00-17.00 dengan waktu istirahat selama 45 menit dan pekerjaan dilakukan selama 6 hari kerja, sehingga lama kerja telah melebihi jam kerja standar yaitu 8 jam kerja per-hari dan 40 jam seminggu. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan beban kerja otot skeletal persendian karena tidak seimbangnya waktu kerja dengan waktu istirahat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Alamsyah (2013), risiko terjadinya muskuloskeletal disorders pada pekerja yang mempunyai lama kerja > 8 jam kerja 1,5 kali lebih besar dibandingkan pekerja dengan lama kerja < 8 jam. Oleh karena itu, menurut Sutrani (2018) sebaiknya pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari

>1 tahun disarankan untuk menyesesuaikan waktu kerja dengan standar jam kerja maksimal yaitu 8 jam kerja sehari atau 40 jam seminggu, agar memiliki cukup waktu istirahat dan mengurangi risiko keluhan otot.

(12)

commit to user

Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Widia, dkk (2016) tentang Hubungan Faktor Risiko dan Keluhan Muskuloskeletal Diantara Pekerja Angkat-angkut di Industri Otomotif Malaysia, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masa kerja merupakan prediktor yang paling efektif terhadap terjadinya keluhan muskuloskeletal. Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa keluhan muskuloskeletal merupakan efek kumulatif beban kerja pada sistem muskuloskeletal pekerja setelah bekerja dengan masa kerja yang lama. Selain itu juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sutrani (2018), dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa dari analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda variabel masa kerja merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap musculoskeletal disorders. Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa masa kerja seseorang merupakan faktor pendukung yang berkontribusi sebagai faktor yang cukup mempengaruhi terjadinya keluhan musculoskeletal disorders.

Umur pekerjaan atau lamanya orang bekerja untuk tugas yang sama akan terkait dengan ketahanan fisik sesorang. Orang yang pekerjaannya memerlukan energi yang cukup besar, namun tidak memiliki waktu yang cukup untuk istirahat, risiko untuk mengalami keluhan otot akan meningkat.

Untuk variabel pengganggu jenis kelamin, status kehamilan, kebiasaan merokok, peregangan otot, riwayat penyakit tulang dan otot dan beban kerja telah dikendalikan sehingga tidak memiliki kontribusi terhadap keluhan muskuloskeletal. Selain itu dilakukan pengukuran faktor lingkungan kerja yaitu iklim kerja dan getaran. Menurut OHSCO (2007) bekerja di lingkungan

(13)

commit to user

yang panas atau lembab meningkatkan suhu tubuh dan dehidrasi yang menyebabkan terjadinya ketegangan pada seluruh tubuh. Hal ini terutama menyangkut tekanan panas atau sengatan panas, tapi juga bisa menyebabkan meningkatnya kelelahan otot dan kesalahan dalam melakukan pekerjaan.

Menurut Suma’mur (2014), getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.

Pengukuran iklim kerja panas di lakukan sebanyak 3 kali yaitu pagi, siang dan sore di bagian sewing dengan 3 titik pengukuran. Rata-rata hasil pengukuran iklim kerja di pagi hari yaitu 27.9 °C, siang hari 27.3 °C, dan sore hari 27.7 °C. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) iklim kerja dengan mempertimbangkan waktu kerja dan beban kerja. Pekerjaan menjahit dilakukan selama 8 jam kerja dengan 45 menit istirahat sehingga waktu kerja setiap jam termasuk dalam kategori 75%-100%

dan termasuk dalam kategori beban kerja sedang. Oleh karena itu NAB iklim kerja berdasarkan Permenaker RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja untuk pekerjaan menjahit dengan beban kerja sedang dan waktu kerja setiap jam 75%-100% di CV Surya Alam Abadi Tawangsari Sukoharjo adalah 28 °C. Dari hasil pengukuran iklim kerja panas di bagian sewing masih di bawah NAB, sehingga iklim kerja tersebut tidak meningkatkan suhu tubuh dan dehidrasi yang menyebabkan meningkatnya kelelahan otot. Pengukuran getaran dilakukan dengan hasil rata-

(14)

commit to user

rata 0.059 m/s2, hasil tersebut masih di bawah NAB menurut Permenaker RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja untuk 6 jam kerja dan kurang dari 8 jam kerja yaitu 5 m/s2, sehingga tidak menyebabkan kontraksi otot bertambah.

H. Keterbatasan Penelitian

1. Subyektifitas dalam pengambilan data karakteristik subyek penelitian karena hanya menggunakan lembar isian data, tidak dilakukan pengecekan pada kartu identitas subyek penelitian.

2. Pengambilan data keluhan muskuloskeletal dilakukan menggunakan kuesioner Nordic Body Map, sehingga data hasil pengukuran terbatas pada subjektifitas subyek penelitian, tidak dilakukan tes klinis (pemeriksaan) pada subyek penelitian untuk mendiagnosis keluhan muskuloskeletal.

3. Alat ukur kuesioner Nordic Body Map tidak bisa menunjukkan pada satu titik kelemahan bagian tubuh yang mengalami keluhan muskuloskeletal.

4. Penilaian postur kerja tidak dilakukan secara langsung saat pekerja bekerja, tetapi dilakukan dengan pengambilan foto dan video postur kerja, sehingga ada kemungkinan hasilnya kurang akurat.

5. Metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) tidak ada penilaian durasi waktu berapa lama pekerja melakukan pekerjaan dengan postur kerja yang berisiko. Sehingga pengamatan hanya dilakukan 1 kali, tidak dilakukan secara berkala.

(15)

commit to user

6. Dalam penelitian tidak diketahui hasil pemeriksaan kesegaran jasmani, kondisi psikologis dan pengukuran gerakan berulang karena tidak dilakukan pemeriksaan dan pengukuran.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Menteri Koordinator ini mulai berlaku, seluruh jabatan dan pejabat yang memangku jabatan di lingkungan Sekretariat DJSN berdasarkan Peraturan

merupakan sumber data utama yang berkaitan langsung dengan objek riset meliputi QS Luqman ayat 12-19 dan tafsir al-Misbah kemudian sumber sekunder meliputi jurnal, hadits

Mengetahui formula terbaik tepung komposit uwi (Dioscorea alata) dan koro glinding (Phaseolus lunatus) terhadap terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional

Untuk mencapai tujuan Institusional, diperlukan adanya sarana- sarana yang berujud kegiatan kurikuler, dan masing-masing mempunyai tujuan tersendiri.Tujuan kurikuler

Pada hari dan tanggal yang sama, peneliti juga melakukan wawancara dengan guru kelas kelompok A TK Widya Putra Dharma Wanita Persatuan UNS Karanganyar Tahun Ajaran

Kepribadian guru adalah perilaku seorang guru yang menggambarkan sifat dan watak pribadinya dalam berpikir, berbuat dan bersikap dalam proses pendidikan dan

window setting kolom – kolom laporan buku induk Buku induk keuangan perkara memiliki banyak kolom, dengan masing – masing kolom berisi nilai transaksi dalam satu hari yang terjadi

Menurut etika, hubungan individu-masyarakat ditemukan sebagai elemen esensial di dalam konsep Kesejahteraan Bersama yang memasukkan sosialitas sebagai kondisi