SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA KORUPSI
( Studi Kasus Putusan Nomor: 19/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mks)
OLEH IRA PRATIWI
B 111 14 393
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR : 19/PID.SUS.TPK/2017/PN.Mks)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum
OLEH :
IRA PRATIWI B111 14 393
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
ABSTRAK
IRA PRATIWI (B11114393), Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Nomor : 19/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mks), ( dibawah bimbingan Bapak Syukri Akub selaku Pembimbing I dan Ibu Dara Indrawati selaku Pembimbing II ).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pada putusan perkara tindak pidana korupsi dan pertimbangangan hukum hakim dalam memberikan putusan bebas pada perkara tindak pidana korupsi dalam perkara Nomor : 19/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mks.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan penulis di Pengadilan Negeri Makassar. Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang – undang dan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum yang digunakan dalah bahan hukum primer, sekunder, yang diperoleh melalui penelitian hukum normatif yakni dengan studi dokumen berupa putusan Pengadilan.
Berdasarkan analisis data tersebut diperoleh hasil sebagai berikut : (1) pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001. (2) pertimbangan hukum hakim dalam memberikan putusan bebas yaitu karena terdakwa tidak cukup terbukti melakukan perbuatan yang di dakwakan.
ABSTRACT
IRA PRATIWI (B11114393), Juridical Review of the Free Judgement In the Corruption Criminal Case ( Study Case Judgement Number: 19 / Pid.Sus.TPK / 2017 / PN.Mks), ( under the guidance of Mr. Syukri Akub as the first Supervisor and Mrs. Dara Indrawati as the second Supervisor ).
This study aims to determine the criminal responsibility of the verdict corruption criminal cases and judicial law considerations in giving a free judgement of the corruption case in the case Number 19 / Pid.Sus.TPK / 2017 / PN.Mks.
This research was conducted in Makassar City of South Sulawesi Province. Data and information was collected in Makassar’s District Court.
This study used the Law approach and case approach. Types of legal materials used are primary, secondary, and legal material obtained through normative legal research by the form of court Judgement.
Based on the analysis of the data, the following results are obtained:
(1) criminal liability of perpetrators of corruption in the procurement of goods and services stipulated in Article 2 paragraph (1) of Law No.31 of 1999 jo.
UU no. 20 of 2001, and Article 3 of Law no. 31 Year 1999 jo. UU no. 20 of 2001. (2) judge's legal consideration in giving a free judgement to the verdict was caused the defendant is not sufficiently proven to commit the deed in the indictment.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahi robbil alamin. Segala puji hanya milik Allah SWT, atas segala nikmat dan rahmat yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat menyertai salam semoga tetap tercurah kepada baginda Rasullah Muhammad SAW, sang revolusioner islam yang darinya penulis melihat sosok pemimpin sempurna.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis juga senantiasa mendapat dukungan dan doa serta kritikan-kritikan dari berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Keluarga kecil tercinta, Ayahanda Haeril dan Ibunda Hasliani. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan betapa bersyukurnya penulis terlahir sebagai anak dari kalian, terimakasih telah menjadi orangtua terbaik yang selalu menjaga penulis dalam doa-doa yang tulus. Adik penulis, Reysa Prakarsa dan Deby Aprilyani terimakasih telah menjadi penyemangat penulis serta telah menjaga ayah dan ibu selagi penulis berada jauh untuk menuntut menuntut ilmu.
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A selaku rektor Universitas Hasanuddin, beserta staf dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Prof. Dr. Ahmadi Miru,S.H.,M.H selaku Wakil Dekan I sekaligus sebagai Penasehat Akademik Penulis
Dr.Syamsuddin Muchtar,S.H.,M.H selaku Wakil Dekan II. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H selaku Wakil Dekan III.
3. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H.,M.H. dan Dr. Haeranah, S.H.,M.H selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H.,M.H selaku pembimbing I dan Dr. Dara Indrawati, S.H.,M.H selaku pembimbing II, terima kasih tak terhingga atas waktu dan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan.
5. Prof. Dr. Muhadar, SH.,MS, Dr. Syamsuddin Muchtar, SH.,MH, dan Dr. Hijrah Adhyanti Mirzana, SH.,MH selaku dosen penguji, terima kasih atas kritik, saran serta ilmu yang bapak dan ibu berikan.
6. Ariani Arifin, S.H.,M.H. selaku dosen PA penulis
7. Seluruh Dosen, penulis menghaturkan terima kasih atas waktu dan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan semoga Allh SWT. Senantiasa memberkahi langkah bapak dan ibu dalam mendidik penerus bangsa.
8.Seluruh Staf Tata Usaha, Staf Ruang Baca, dan seluruh Cleaning Service yang senantiasa membantu penulis dalam hal administrasi, persuratan dll. Terima kasih tak terhingga untuk bapak dan ibu semoga bantuan bapak ibu terhadap penulis selama ini bernilai pahala di hadapan Allah SWT.
9. Sahabat-sahabat penulis, Andi Fhatimasari Ansar, S.E., Inda ulandari, Nurul Fadillah, Rahmi Wahyuni, Lisa Yusnita, S.H., dan Hardyanti yang tak henti-hentinya memberikan bantuan, dukungan sekaligus semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis, Mei 2018
Ira Pratiwi
ii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PENGESAHAN SKRIPSI ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tinjauan Yuridis ... 8
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana ... 8
1. Pengertian Tindak Pidana ... 8
2. Unsur-unsur Tindak Pidana ... 12
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi ... 16
1. Pengertian Korupsi ... 16
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi ... 18
3. Sebab-sebab Tindak Pidana Korupsi. ... 21
D. Tinjauan Umum Pengadaan Barang dan Jasa ... 23
1. Pengertian Barang dan Jasa ... 23
2. Prinsip-prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah . 24 E. Pertanggungjawaban Pidana ... 30
1. Mampu Bertanggung Jawab ... 31
2. Kesalahan... 32
3. Tidak Ada Alasan Pemaaf ... 34
F. Putusan Hakim ... 34
1. Pengertian Putusan Hakim ... 34
2. Jenis-jenis Putusan Hakim. ... 36
iii BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ... 43
B. Jenis Dan Sumber Data ... 43
C. Teknik Pengumpulan Data ... 44
D. Analisis Data ... 44
BAB IV PEMBAHASAN A. Pertanggung Jawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaaan Barang dan Jasa ... 45
B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Pada Perkara Korupsi Nomor:19/Pd.Sud.TPK/2017/PN- MKS ... 55
1. Identitas Terdakwa ... 55
2. Posisi Kasus ... 54
3. Dakwaan ... 59
4. Tuntutan ... 61
5. Amar Putusan ... 61
6. Pertimbangan Hukum Hakim ... 62
7. Analisis Penulis ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
LAMPIRAN... 81
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat), yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berarti bahwa negara Indonesia adalah negara yang demokratis yang menjunjung tinggi hukum.
Sebagai negara hukum, Negara Republik Indonesia memiliki tujuan untuk menciptakan kehidupan yang adil dan makmur bagi warga negaranya.
Salah satu usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan menempatkan hukum sebagai supremasi yang tertinggi.
Di Indonesia pengadilan merupakan Lembaga peradilan yang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui aktivitas hakim yang memiliki peranan penting dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Putusan pengadilan merupakan tolak ukur bagi cerminan keadilan. Hakim dalam memutus perkara memiliki kebebasan karena kedudukan hakim secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 20041 : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
1 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358
2 guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, yang berarti terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Hal ini sesuai dengan ciri dari negara hukum yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas dan tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Namun dalam kebebasan tersebut hakim tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang ditanganinya karena terikat oleh aturan hukum yang berlaku.
Khusus dalam perkara pidana secara garis besar berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)2, putusan yang bersifat mengakhiri perkara yang dapat dijatuhkan hakim hanya ada 2 (dua) kemungkinan. Kemungkinan pertama putusan yang dijatuhkan adalah putusan pemidanaan3 sedangkan kemungkinan kedua adalah putusan bukan pemidanaan4.
Berdasarkan Pasal 183 dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, Putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya tetapi dengan suatu syarat yaitu jika hakim dengan sekurang-kurangnya dua alat
2 Pasal 285 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan penjelasannya mengatur Undang-Undang tersebut disebut sebagai Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang dapat diakronimkan menjadi K.U.H.AP. yang setelah disesuaikan dengan aturan ejaan yang disempurnakan (EYD) diakronimkan menjadi KUHAP.
3 Khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah selain dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut Pengadilan juga dapat menjatuhkan tindakan.
4 Istilah putusan pemidanaan disebut dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP sedang istilah putusan bukan pemidanaan disebut dalam Pasal 199 ayat (1) KUHAP.
3 bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Artinya syarat bagi hakim untuk dapat menjatuhkan putusan pemidanaan adalah berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan adanya 2 (dua) keadaan. Pertama, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi. Kedua, bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Baik keadaan pertama maupun keadaan kedua, satu dengan yang lain saling melengkapi.
Tanpa adanya kesalahan terdakwa meskipun tindak pidana benar- benar terjadi maka terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana. Demikian pula ketika tindak pidana tidak terjadi maka tidak mungkin dapat dipertimbangkan adanya kesalahan pada diri terdakwa. Sementara itu, putusan bukan pemidanaan memiliki 2 (dua) jenis putusan yaitu putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Ketentuan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Putusan bebas ini masih menimbulkan kontroversi di masyarakat, khususnya putusan bebas dalam perkara pidana korupsi. Hal ini dikarenakan korupsi masih menjadi musuh bersama yang begitu sulit
4 diberantas di Indonesia. Selain itu Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tidak hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi masalah internasional yang dapat menjatuhkan sebuah pemerintahan, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu bangsa. Korupsi juga menjadi masalah yang begitu kompleks bagi negara berkembang seperti Indonesia sehingga kinerja para parat penegak hukum dalam pemberantasannya senantiasa memperoleh perhatian lebih dari masyarakat.
Vonis bebas terhadap koruptor menimbulkan pertanyaan akan kinerja pengadilan tipikor selaku pengadilan yang berwenang dalam mengadili perkara korupsi. Pengadilan yang awalnya diharapkan mampu memberi efek jera bagi koruptor justru dipertanyakan keseriusannya dalam memberantas korupsi di bumi pertiwi ini.
Walaupun pada dasarnya hakim bebas dalam mengambil keputusan untuk memberikan vonis bebas terhadap terdakwa koruptor serta secara hukum memang tidak ada salahnya hakim menjatuhkan putusan bebas. Mengingat korupsi dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya dan mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga penting bagi kita untuk selalu mengawal perkara demi perkara korupsi yang terjadi disekitar kita.
Mengkaji kembali putusan bebas terhadap koruptor merupakan salah satu bentuk pengawalan terhadap perkara korupsi yang terjadi
5 disekitar kita. Menganilisis prosedur pembuktian setiap delik dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sangat penting untuk memastikan jika putusan yang diberikan sudah tepat.
Salah satu kasus korupsi yang divonis bebas pada akhir tahun 2017 lalu adalah kasus Herawati terdakwa dalam kasus korupsi alat peraga pemilihan legislatif tahun 2014 lalu. Herawati selaku bendahara pengeluaran KPU maros saat itu diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dari total anggaran Rp. 358.000.000,- (tiga ratus lima puluh delapan juta). Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
Berdasarkan semua uraian diatas penulis merasa perlu untuk mengkaji kembali putusan bebas yang diberikan terhadap terdakwa koruptor yang selanjutnya akan penulis bahas dalam skripsi dengan judul
”Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Bebas Pada Perkara Korupsi (Studi Kasus Putusan Nomor: 19/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mks)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan diuraikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tidak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa ?
6 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas pada perkara Korupsi nomor:
19/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mks ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini, yaitu
1. Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Korupsi nomor:
19/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mks.
D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi siapapun yang memerlukan data yang sama untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan Hukum khususnya di bidang Hukum Pidana.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pembelajaran praktis bagi masyarakat, dan para praktisi pemberantasan korupsi maupun pemerintah Kota Makassar dalam hal pemberantasan tindak
7 pidana korupsi yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tinjauan Yuridis
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat, (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).5 Menurut Kamus Hukum, kata yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.6 Dapat disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda yaitu “stafbaar feit”. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit pertama kali diperkenalkan oleh Pemerintah Departemen Kehakiman. Istilah ini diartikan sebagai gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Selain itu, arti istilah tindak pidana juga
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2012), hlm. 1470
6 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2012), hlm.
651
9 dapat dtujukan bagi seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, telah dianggap melakukan tindak pidana.7
Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek Van Straftrecht (Selanjutnya disingkat WvS) Belanda atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Karena itu para ahi hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu8.
Dalam Bahasa Belanda strafbaarfeit memiliki 2 (dua) unsur pembentuk kata yaitu strafbaar dan feit. Kata feit dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari kenyataan, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum. Secara harfiah strafbaarfeiit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum9.
Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Pengertian strafbaarfeit menurut Simons dalam rumusannya adalah tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
7 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 79.
8 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian !), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 67.
9 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 5.
10 dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
Rumusan pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) yang dinyatakan oleh simons juga diatur dalam asas Hukum Pidana Indonesia, yaitu asas legalitas (principle of legality) atau dalam Bahasa latin biasanya dikenal dengan “Nullum Dellictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali”, maksudnya bahwa “Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak diatur terlebih dahulu dalam perundang- undangan” ketentuan yang senada dengan asas tersebut juga diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perundangan pasal tersebut10.
Tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana yang hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana, dimana pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan asas yang berbeda yaitu dengan asas yang tidak tertulis “Tiada pidana tanpa kesalahan”11.
Barda Nawawi Arief menyatakan” tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil”.
10Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 20
11Ibid.,
11 Menurut Wirjono Projodikoro, pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, sedangkan menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, bagi yang melanggar perbuatan tersebut. Jadi perbuatan yang dapat dikenakan pidana dibagi menjadi 2 (dua)12, yakni sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang 2. Orang yang melanggar larangan itu.
Utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten- negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.
Menurut Pompe perkataan straafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.
12Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 38.
12 Di dalam perundang-undangan tindak pidana sering disebut dengan berbagai istilah seperti: perbuatan pidana (UU Drt 1951 No. 1), peristiwa pidana (Konstitusi RIS maupun UUDS 1950) dan dalam ilmu pengetahuan hukum sering disebut dengan "delik". Istilah lain menunjuk kepada pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman pidana dan lain sebagainya.
2. Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana dibedakan menjadi 2 yakni: a).
Berdasarkan sudut pandang teoritis yang berarti berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin dalam rumusannya; dan b). Sudut pandang Undang-undang yakni bagaimana kenyataan tindak pidana dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.13
a. Unsur Tindak Pidana Menurut Para Ahli
Laden Marpaung mengemukakan bahwa unsur tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.14.
1) Unsur subjektif, merupakan unsur yang berasal dari diri pelaku.
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reurn mens sit area). Kesalahan
13 Adam Chazawi, Pelajaran Hukim Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 79
14 Laden marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hlm.9
13 yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (schuld).
2) Unsur objektif, merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas: (a) Perbuatan manusia berupa Act yakni perbuatan aktif atau perbuatan posesif. Omission yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan atau membiarkan. Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya; (b) Keadaan-keadaan pada umumnya dibedakan atas : Keadaan pada saat perbuatan dilakukan, keadaan setelah perbuatan dilakukan, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan dibebaskan dari pengadilan.
Berikut ini pendapat para pakar mengenai unsur-unsur tindak pidana:
Moeljatno mengemukakan bahwa unsur tindak pidana terdiri atas:
(1) perbuatan; (2) yang dilarang (oleh hukum); dan (3) ancaman pidana (bagi pelanggarnya).
Berdasarkan kata majemuk pengertian pidana, maka pokok-pokok pengertian terdapat pada perbuatan itu, namun tidak dipisahkan dengan
14 orangnya. Ancaman atau diancam dengan pidana tidak berarti perbuatan tersebut dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Diancam pidana merupakan pengertian umum, yang berarti pada umumnya dapat dijatuhi pidana. Apakah in concreto orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana atau tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.
Scrhavendijk juga mengemukakan unsur-unsur tindak pidana antara lain:
1) Kelakuan (orang yang)
2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum 3) Diancam dengan hukuman
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan dan perintah.
Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terpenuhi, bisa menyebabkan terdakwa dianggaap tidak bersalah Sementara itu R. Tresna juga turut merumuskan unsur-unsur tindak pidana yang terdiri atas
1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3) Diadakan tindakan penghukuman
Berbeda dengan Moeljatno, pada kalimat diadakan tindakan penghukuman pada unsur ketiga bahwa seolah-olah setiap tindakan yang dilarang selalu diikuti dengan tindakan penghukuman atau pemidanaan.
15 Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur- unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.
Walaupun rincian dari rumusan-rumusan itu tampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya ada persamaannya, yaitu: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
b. Unsur Tindak Pidana Dalam Undang-Undang
Teguh Prasetyo membagi unsur-unsur tindak pidana kedalam 2 bagian yakni unsur subjektif yang melekat pada diri si pelaku, dan unsur objektif yang berkaitan dengan keadaan-keadaan dimana tindakan- tindakan dari si pelaku harus dilakukan :
1) Unsur subjektif :
a) Dilakukan oleh orang (yang dapat) b) Dipersalahkan/kesalahan
c) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
d) Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan (pogging) seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP
e) Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya didalam kasus pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
16 f) Merencanakan terlebih dahulu (voordebachte raad) seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP
g) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
2) Unsur Objektif:
a) Sifat melanggar hukum (wedderechtelicjkheid)
b) Kwalitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai seorang komisaris atau pengurus dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.
c) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari Bahasa latin: Corruptie atau Corruptus, yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah sebagaimana dapat dibaca dalam The Lexion Webster Dictionary15.
15 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka, 1984), hlm. 7.
17 Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak Bahasa Eropa seperti Inggris: Corruptio, Corrupt; Perancis: Corruption; Belanda: Corruptie (Korruptie). Dapat dikatan bahwa dari Bahasa Belanda inilah turun ke Bahasa Indonesia: Korupsi16.
Ditinjau dari sudut bahasa kata korupsi bisa berarti kemerosotan dari yang semua baik, sehat dan benar menjadi penyelewengan, busuk.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwodarminto dalam kamus bahasa Indonesia bahwa kata korupsi untuk perbuatan yang busuk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya17.
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Di situ tidak dipakai kata korupsi melainkan dipakai istilah resuah yang tentunya berasal dari bahasa Arab (riswah), yang menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi.
Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
16 Ibid.,
17 W.J.S. Poerwodiminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
18 dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak- hak dari pihak-pihak lain18.
S. H. Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan “Apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi19.
Sementara H. A. Brasz mendefinisikan korupsi dalam pengertian sosiologis sebagai: “Penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan- tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah”20.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik tindak pidana korupsi seperti di kemukakan di atas, adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat penulis
18 Chaeruddin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 2
19 S.H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 11.
20 Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Cet. ke-3, (Jakarta: LP3ES, 1995) hlm. 4
19 inventarisir dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:
a. Tindakan seseorang atau badan hukum.
b. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.
c. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
d. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara atau patut diduga merugikan keuangan dan perekonomian negara.
e. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
f. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
g. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
h. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
20 menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
i. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut.
j. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
k. Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang; akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
21 l. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau korporasi yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka kepadanya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Harus diingat dan dipahami bahwa unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui karena dengan tidak terpenuhinya unsur suatu tindak pidana, maka pelakunya kejahatan dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan dalam kenyataannya penyebab sehingga seorang terdakwa korupsi bebas dari jeratan hukum karena tidak terpenuhinya unsur- unsur tersebut.
3. Sebab-sebab Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan suatu perbuatan, oleh karenanya terdapat alasan-alasan atau sebab-sebab mengapa orang melakukan perbuatan korupsi. Andi Hamzah membuat hipotesis mengenai sebab-sebab korupsi sebagai berikut:21
21 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005) Hal. 13-23
22 a. Kurangnya gaji atau pendapat pegawai negeri dibandingkan
dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia;
c. Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien;
d. Modernisasi
Marwan effendy turut mengambil bagian dalam menemukan jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan berangkat dari pengertian korupsi yang disampaikan oleh Sheldin S, Steinberg dan David T.
Ausytern yang menyatakan bahwa:
“Korupsi adalah perbuatan tidak etis yang merusak sendi- sendi pemerintahan yang baik yang disebabkan oleh minimnya integritas, sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta standar pelayanan minimal dan perilaku masyarkat yang serba instant dalam setiap urusan.”22
Mengenai korupsi tersebut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin, dan Moise Naim dalam buku terjemahan Kimberly Ann Elliot23 berpandangan bahwa korupsi disebabkan sebagai akibat dari perubahan politik secara sistematis, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial politik, tetapi juga hukum.
Pendapat mereka tersebut nampak terbukti dalam perubahan politik di Indonesia yang kini sedang dalam tahap reformasi. Sebelum reformasi atau ketika orde baru, korupsi mejadi sistemik dan hierarkis.
22 Marwan Effendy, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana (Jakarta: Referensi, 2012) Hal.83-84
23 Ibid
23 Kemudian dengan jatuhnya orde baru yang kemudian munculnya pengenalan system pemilihan umum yang baru di tahun 1999 dan implementasi desentralisasi di tahun 2001 membuat pola korupsi era orde baru menyusut, tetapi dalam perkembangannya justru korupsi dalam skala kecil semakin meningkat karena pemain lama yakni para pejabat kakap sudah absen. Meningkatnya korupsi dalam skal kecil ini malah ternyata telah membuat suatu budaya yang dapat memaklumi keikutsertaan dalam korupsi.24
D. Tinjauan Umum Pengadaan Barang dan Jasa 1. Pengertian Barang dan Jasa
Barang Menurut Perpres nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 1 angka 14 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang.
Jasa Menurut Perpres nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Pasal 1 angka 16 Jasa Konsultasi adalah jasa layanan professional yang membutuhkan keahlian tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah piker (brainware).
Sedangkan jasa lainnya dalam Pasal 1 angka 17 Perpres nomor 54 Tahun
24 Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999) Hal. 11
24 2010 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau peyediaan jasa lain selain Jasa Konsultasi, pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dan Pengadaan Barang.
2. Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah
Prinsip-prinsip dasar pengadaan artinya ketentuan atau peraturan atau standar yang pokok (utama) dilaksanakan dalam pengadaan.
Dengan demikian penerapan prinsip dasar pengadaan adalah merupakan suatu keharusan. Sesuai dengan teori ekonomi dan pemasaran, barang/jasa harus diproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen (pembeli). Masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbeda- beda. Pengguna barang/pembeli menghendaki barang/jasa berkualitas tertentu dengan harga semurah-murahnya, sebaliknya penjual menginginkan keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Selain itu dalam pengadaan barang/jasa oleh instansi pemerintah pada umumnya para pelaku pengadaan cenderung belum merasa
“memiliki” seperti dengan membelanjakan uangnya sendiri. Dalam teori agensi, pemilik sumber daya (uang) pada instansi pemerintah adalah rakyat, sedangkan pengguna anggaran/barang adalah manager yang seringkali memiliki tujuan berbeda dengan pemiliknya. Tanpa prinsip para
25 pihak cenderung untuk memuaskan keinginannya masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan yang harus dipenuhi bersama. Adapun prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa sesuai dengan pasal 5 Perpres no 54 Tahun 201025 adalah sebagai berikut:26
a. Efisien, maksudnya adalah pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan gaya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat- singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan istilah lain efisien artinya dengan menggunakan sumber daya yang optimal dapat diperoleh barang/jasa dalam jumlah, kualitas, waktu sebagaimana yang direncanakan. Istilah efisiensi dalam pelaksanaannya tidak selalu diwujudkan dengan memperoleh harga barang/jasa yang termurah, karena di samping harga murah, perlu dipertimbangkan ketersediaan suku cadang, panjang umur dari barang yang dibeli serta besarnya biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang harus disediakan di kemudian hari. Langkah-langkah yang perlu dilakukan agar
25 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 5 “Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Efisien b. Efektif c. Transparan d. Terbuka e. Bersaing
f. Adil/tidak diskriminatif; dan g. Akuntabel”
26 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya (Edisi Kedua), (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 42.
26 pengadaan barang/jasa supaya efisien adalah: Penilaian kebutuhan, apakah suatu barang/jasa benar-benar diperlukan oleh suatu instansi pemerintah; Penilaian metode pengadaan harus dilakukan secara tepat sesuai kondisi yang ada. Kesalahan pemilihan metode pengadaan dapat mengakibatkan pemborosan biaya dan waktu; Survey harga pasar sehingga dapat dihasilkan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan harga yang wajar;
Evaluasi dan penilaian terhadap seluruh penawaran dengan memilih nilai value for money yang terbaik; dan dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa harus diterapkan prinsip-prinsip dasar lainnya.
b. Efektif, Efektif artinya dengan sumber daya yang tersedia diperoleh barang/jasa yang mempunyai nilai manfaat setinggi- tingginya. Manfaat setinggi-tingginya dalam uraian di atas dapat berupa: Kualitas terbaik, Penyerahan waktu tepat, Kuantitas terpenuhi, Mampu bersinergi dengan barang/jasa lainnya, Terwujudnya dampak optimal terhadap keseluruhan pencapaian kebijakan atau program.Dengan penerapan prinsip efektif maka pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar- besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
c. Terbuka dan bersaing, artinya pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan
27 dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.
Persaingan sehat merupakan prinsip dasar yang paling pokok karena pada dasarnya seluruh pengadaan barang dan jasa harus dilakukan berlandaskan persaingan yang sehat. Beberapa persyaratan agar persaingan sehat dapat diberlakukan: (1) PBJ harus transparan dan dapat diakses oleh seluruh calon peserta;
(2) Kondisi yang memungkinkan masing-masing calon peserta mampu melakukan evaluasi diri berkaitan dengan tingkat kompetitipnya serta peluang untuk memenangkan persaingan; (3) Dalam setiap tahapan dari proses pengadaan harus mendorong terjadinya persaingan sehat; (4) Pengelola Pengadaan Barang/Jasa harus secara aktif menghilangkan hal- hal yang menghambat terjadinya persaingan yang sehat; (5) Dihindarkan terjadinya conflict of interest; (6) Dan Ditegakkannya prinsip non diskriminatif secara ketat. Prinsip terbuka adalah memberikan kesempatan kepada semua penyedia barang/jasa yang kompeten untuk mengikuti pengadaan. Persaingan sehat dan terbuka (open and efektive competition) adalah persaingan sehat akan dapat diwujudkan apabila Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan terbuka bagi seluruh calon penyedia barang/jasa yang mempunyai potensi untuk ikut dalam persaingan.
28 d. Transparan, Transparan adalah pemberian informasi yang lengkap kepada seluruh calon peserta yang disampaikan melalui media informasi yang dapat menjangkau seluas-luasnya dunia usaha yang diperkirakan akan ikut dalam proses pengadaan barang/jasa. Setelah informasi didapatkan oleh seluruh calon peserta, harus diberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan respon pengumuman tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya Pengadaan Barang/Jasa transparan adalah:
(1) Semua peraturan/kebijakan/administrasi/prosedur dan praktek yang dilakukan (termasuk pemilihan metoda pengadaan) harus transparan kepada seluruh calon peserta; (2) Peluang dan kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengadaan barang/jasa harus transparan; (3) Seluruh persyaratan yang diperlukan oleh calon peserta untuk mempersiapkan penawaran yang responsif harus dibuat transparan; (4) Dan kriteria dan tata cara evaluasi, tata cara penentuan pemenang harus transparan kepada seluruh calon peserta. Jadi dalam transparan harus ada kegiatan-kegiatan: (5) Pengumuman yang luas dan terbuka; (6) Memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan proposal/penawaran; (7) Menginformasikan secara terbuka seluruh persyaratan yang harus dipenuhi; (8) Memberikan informasi yang lengkap tentang tata cara penilaian penawaran.
Dengan demikian bahwa dalam transparan maka semua
29 ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa termasuk syarat teknis/administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta masyarakat luas pada umumnya.
e. adil/tidak diskriminatif, maksudnya adalah pemberian perlakuan yang sama terhadap semua calon yang berminat sehingga terwujud adanya persaingan yang sehat dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu dengan dan atau alasan apapun. Hal-hal yang harus diperhatikan supaya pengadaan barang/jasa berlaku adil dan tidak diskriminatif adalah:
(1) Memperlakukan seluruh peserta dengan adil dan tidak memihak; (2) Menghilangkan conflict of interest pejabat pengelola dalam pengadaan barang/jasa; (3) Pejabat pengelola dalam pengadaan barang/jasa dilarang menerima hadiah, fasilitas, keuntungan atau apapun yang patut diduga ada kaitannya dengan pengadaan yang sedang dilakukan;Informasi yang diberikan harus akurat dan tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan pribadi; (4) Para petugas pengelola harus dibagi-bagi kewenangan dan tanggung jawabnya melalui sistem manajemen internal(ada control dan supervisi); (5) Adanya arsip dan pencatatan yang lengkap terhadap semua kegiatan.
30 f. akuntabel, Akuntabel berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa. Akuntabel merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma dan ketentuan peraturan yang berlaku. Beberapa hal yang harus diperhatikan sehingga Pengadaan Barang/Jasa akuntabel adalah: (1) Adanya arsip dan pencatatan yang lengkap; (2) Adanya suatu sistem pengawasan untuk menegakkan aturan-aturan; (3) Adanya mekanisme untuk mengevaluasi, mereview, meneliti dan mengambil tindakan terhadap protes dan keluhan yang dilakukan oleh peserta.
E. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.27
27 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1988 hal.
73
31 Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan sebagai berikut:
1. Mampu Bertanggungjawab
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara lain berbunyi sebagai berikut “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu bertanggungjawab mencakup:28
a. Keadaan jiwanya yang berupa: tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair); tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya); dan tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar (slaapwandel), mengigau karena demam (koorts), dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya yang terdiri atas, dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya, dapat menentukan kehendaknya atas
28 Ibid, hlm 76
32 tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak, dan dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
2. Kesalahan
Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum positif indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”
yang artinya, untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya.29
Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut:
a. Kesengajaan (opzet)
Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang.30
Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa kesengajaan terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni:31 Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau yang dikehendaki
29 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), hlm. 227
30 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 226.
31 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan), Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.
33 atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan atau berbuat. 32 Selanjutnya kesengajaan dengan insaf pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn). Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatnnya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delik tetapi ia tahu benar bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.33 Selain itu terdapat pula kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis). Kesengajaan ini juga disebut
“kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan” bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu,akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.34
b. Kealpaan (culpa)
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang lebih ringan daripada kesengajaan.
Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni:35 Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld/culpa lata). Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga akibat tersebut. Selain itu, Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa
32 Teguh Prasetyo, Op.cit. hlm. 98.
33 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta; Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, 2012),hlm. 80.
34 Leden Marpaung, Op.cit., hlm. 18
35 Ibid. hlm. 26.
34 levis). Dalam hal ini, si pelaku tidak membayang atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang- undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
3. Tidak ada alasan pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini manyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal.
Alasan pemaaf terdiri atas daya paksa relatif, Pasal 48 KUHP, pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces), Pasal 49 ayat (2) KUHP, dan menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah itu sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP.
F. Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan Hakim
Proses peradilan pidana merupakan suatu proses yang panjang dan berbeda dengan proses pada peradilan lainnya. Proses yang Panjang itu terbagi menjadi 4 (empat) tahap yakni tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan persidangan dan berakhir pada tahap pemberian putusan oleh Hakim, oleh karena itu pemberian putusan pada peradilan pidana ini menjadi puncak dari peradilan pidana pada umumnya.
35 Istilah putusan hakim merupakan istilah yang memiliki arti penting bagi para pencari keadilan dalam peradilan pidana. Hal ini karena putusan hakim bagi pihak terdakwa berguna untuk memperoleh kepastian hukum mengenai “statusnya” sedangkan bagi pihak hakim itu sendiri, “putusan hakim” merupakan “mahkota”, dan “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum, atau fakta secara mapan, mumpuni, dan factual, serta visualisasi etika, mentalitas dan moralitas dari hakim. Berikut beberapa define dari putusan hakim menurut para ahli dan KUHAP:36
a. Laden Marpaung
Pengertian “putusan hakim” menurut Laden Marpaung adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk lisan maupun tulisan37.
b Lilik Mulyadi
Dengan berlandaskan pada visi teoritik dan praktik maka putusan pengadilan itu merupakan “putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya yang berisikan amar pemidanaan atau bebas, atau lepas dari
36 Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia; Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 129.
37 Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 406.
36 segala tuntutan hukum dibuat secara tertulis dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara”.38
2. Jenis-Jenis Putusan Hakim
Setelah semua pemeriksaan di persidangan diselesaikan dan penuntutan maupun pembelaan atas diri si terdakwa sudah dilakukan (kalau ada), maka langkah selanjutnya adalah hakim harus membacakan putusannya setelah mempertimbangkan secara keseluruhan, baik keterangan yang diberikan oleh para saksi, keterangan dari terdakwa,demikian juga mengenai alat-alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum di persidangan yang ada hubungannya dengan perkara tersebut, serta dasar-dasar yang diajukan oleh penuntut umum sebagai dasar tuntutannya dan dasar-dasar yang diajukan oleh pembela sebagai dasar pembelaannya.39
a. Putusan yang Memuat Pembebasan Si terdakwa (Vrijspraak)
diatur di dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
Di dalam penjelasan pasal 191 ayat (1) KUHAP dirumuskan :
“yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar
38 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 203
39 Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung:
Nuansa Aulia,2013), hlm. 146
37 pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini”
Penerapan putusan bebas (vrijspraak) dalam hukum pidana adalah berdasarkan asas bahwa tiada seseorang yang dapat dipidana tanpa kesalahan. Jadi dalam suatu putusan bebas bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, dan dengan demikian terdakwa tidak dapat dipersalahkan.
Apabila hakim menjatuhkan putusan bebas bagi seorang terdakwa, maka terdakwa atau penuntut umum tidak berhak mengajukan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 67 KUHAP. Selanjutnya akan dikemukakan Pasal 244 KUHAP, yaitu :
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Jadi berdasarkan Pasal 244 KUHAP, maka terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum. Akan tetapi kalau kita lihat putusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana butir 19 (sembilan belas) disebutkan : ” terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi demi hukum, keadilan, dan kebenaran,terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”.
38 Hal ini didasarkan pada yurisprudensi. Apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaaan di persidangan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat 1 KUHAP).
Dengan demikian bahwa seseorang akan dibebaskan apabila perbuatan atau tindak pidana yang dituduhkan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Sehubungan dengan adanya putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, maka di dalam Pasal 67 KUHAP ditentukan bahwa “terdakwa atau penuntut umum berhak untuk diminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, maka jaksa penuntut umum tidak dibenarkan mengajukan banding.”
Dari Pasal 67 KUHAP dapat disimpulkan bahwa apabila ada suatu putusan di pengadilan yang berisi pembebasan terdakwa dan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum, maka jaksa penuntut umum tidak dibenarkan mengajukan banding.
Mengenai putusan bebas (vrijspraak) di dalam Herzien Inlandsch Reglement (selanjutnya disingkat HIR) diatur di dalam Pasal 313 bahwa jika pengadilan negeri berpendapat bahwa kesalahan orang yang dituduh tidak jelas, maka orang itu dibebaska, jika ia ditahan, maka diperintahkan oleh Pengadilan Negeri untuk membebaskan seketika itu juga, kecuali dalam hal ia harus ditahan karena sebab lain.
39 Perkataan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” yang terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, lebih diperjelas didalam penjelasan pasal tersebut yang menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Dengan demikian salah satu putusan bebas itu hakim berkesimpulan tidak terdapat sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP) dan meyakinkan bahwa terdakwalah yang melakukan perbuatan yang didawakan kepadanya maka terdakwa tidak boleh dijatuhi hukuman.
b. Putusan yang Memuat Pelepasan Terdakwa dari Segala Tuntutan (Onslag Van Rechtsvercolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu dirumuskan di dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Apabila diperhatikan dengan seksama rumusan Pasal 191 ayat (2) KUHAP bertentangan, karena di satu sisi dikatakan apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, dan di sisi lain dikatakan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Pengadilan sudah berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terbukti, artinya sejak awal di dalam surat
40 dakwaan penuntut umum telah mendakwakan tindak pidana yang dilanggar terdakwa. Jadi yang tercantum dalam surat dakwaan adalah tindak pidana yang dilanggar terdakwa bukan persoalan perdata. Dengan adanya, mengapa dicantumkan lagi kalimat, “tetapi perbuatan itu tidak suatu tindak pidana”. Itulah alasannya sehingga dikatakan bahwa isi 191 ayat (2) tersebut bertentangan. Sebaiknya rumusan Pasal 191 ayat (2) itu adalah sebagai berikut : “jika pengadilan berpendapat bahwa pasal yang didakwakan tidak sesuai dengan tindak pidanatersebut atau unsusr-unsur dari tindak pidana yang didakwakan tidak terpenuhi maka diputus lepas dari segala tuntutan hukum.40
Perintah untuk melepaskan dijalankan dengan segera sesudah putusan hakim dijatuhkan. Dari perkataan, “sampai perkara itu diputuskan dalam pemeriksaan ulangan,” yang terdapat di dalam Pasal 314 ayat (2) tersebut dapat disimpulkan bahwa putusan hakim yang mengandung suatu pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging) dapat dimintakan banding.
c. Putusan yang Memuat Suatu Penghukuman Terdakwa (Veroordeling) atau Pemidanaan
Sebagai putusan yang berisi suatu hukuman sudah jelas didasarkan kepada bukti-bukti yang ada semuanya itu menunjukkan si terdakwa melakukan sesuatu tindak pidana.Di dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP disebutkan, “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
40 Ibid, hlm.150
41 bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”Pasal 191 ayat (1) KUHAP tidak menjelaskan sama sekali tentang jenis pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim. Memang sangat tepat jika dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP tidak dijelaskan tentang jenis pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim, karena pidana apa yang akan dijatuhkan terhadap si pelaku itu, sepenuhnya adalah wewenang dari pengadilan (hakim). Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) tersebut, seorang terdakwa hanya bisa dijatuhi pidana kalau yang bersangkutan bersalah melakukan tindak pidana. Kesalahan yang dimaksud dalam pasal ini, meliputi kesalahan yang disengaja atau kesalahan yang tidak disengaja. Namun demikian perlu diingat bahwa tidak semua orang yang bersalah dari sisi hukum pidana dapat dipidana karena di dalam hukum pidana terdapat dasardasar yang meniadakan hukuman (straf uitsluitings groden). Memidana seseorang yang melakukan tindak pidana adalah suatu bukti bahwa negara melalui hakim melakukan suatu tindakan (pemidanaan) kepada seseorang agar yang bersangkutan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dan dengan pemidanaan tersebut diharapkan tercipta rasa keadilan dari korban atau keluarga korban kejahatan. Pada umumnya sebelum hakim menjatuhkan pidana bagi seseorang, dikemukakan terlebih dahulu hal-hal yang meringankan den yang memberatkan si terdakwa. Hal tersebut dimaksudkan sebagai pertimbangan bagi hakim yang bersangkutan dalam memutuskan berat-ringannya pidana bagi seseorang.