• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS DALAM MEMPEROLEH PEKERJAAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR TESIS. Oleh ALYUNZIRA WARDANI /SP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS DALAM MEMPEROLEH PEKERJAAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR TESIS. Oleh ALYUNZIRA WARDANI /SP"

Copied!
225
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

ALYUNZIRA WARDANI 197024006/SP

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam program Studi Pembangunan Pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALYUNZIRA WARDANI 197024006

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Zulkifli, M.Si

Anggota : 1. Indra Fauzan, SHI, M.Soc,Sc, Ph.D 2. Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si 3. Husni Thamrin, S.Sos, MSP

(5)
(6)

ABSTRAK

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan perlu disediakan dengan mudah. Tesis ini membahas tentang rendahnya aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar dilihat dari pengaturan undang- undang, pemahaman pemberi kerja terhadap penyandang disabilitas, kebijakan pemerintah, dan pandangan penyandang disabilitas mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan desain penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, teknik observasi, dan studi dokumentasi.

Pengaturan undang-undang terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan belum disosialisasikan dengan maksimal oleh pemerintah Kota Pematangsiantar. Hal ini sebabkan oleh beberapa faktor yaitu bukan skala prioritas, tingginya egosektoral, SDM yang kurang memadai, kurangnya komitmen untuk melaksanakan undang-undang, dan kurangnya koordinasi serta kolaborasi antar instansi di Pemerintahan Kota Pematangsiantar.

Pemahaman pemberi kerja terhadap penyandang disabilitas untuk bekerja rendah dilihat dari kurangnya pemahaman pemberi kerja terhadap kondisi penyandang disabilitas, jenis pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan penyandang disabilitas, dan undang-undang tentang penyandang disabilitas. Kebijakan pemerintah mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar belum tersedia secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh rendahnya partisipasi penyandang disabilitas, lemahnya peran organisasi penyandang disabilitas, kurang koordinasi lintas sektoral, anggaran kurang memadai, dan kurangnya perencanaan pemerintah daerah mengenai kebutuhan dan penanganan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas memandang aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar belum tersedia secara memadai atau rendah. Hal ini dilihat dari kurang tersedianya akses informasi lowongan kerja, akses fasilitas ketenagakerjaan,dan pengalaman yang pernah dialami penyandang disabilitas dalam mencari pekerjaan yakni kerapkali mengalami penolakan, stigma negatif dan diskriminasi, serta perasaan rendah diri.

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengusulkan dibentuknya Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Kota Pematangsiantar sebagai bentuk komitmen pemerintah setempat untuk menangani permasalahan penyandang disabilitas.

Kata Kunci: Aksesibilitas, Penyandang disabilitas, Pekerjaan

(7)
(8)

vii

dengan berkat, rahmat, dan keridhoan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan di Kota Pematangsiantar” dengan baik. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan,dukungan, dan doa dari berbagai pihak maka tidak dapat menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghormatan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Zulkifli, M.Si, dan Indra Fauzan,SHI,M.Soc,Sc,Ph.D, selaku Komisi Pembimbing yang sabar dan tekun mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis tepat pada waktunya;

5. Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si dan Husni Thamrin,S.Sos, MSP selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan;

(9)

viii

tercurah, kasih sayang, serta pengorbanan baik moril maupun materi yang selalu diberikan kepada penulis;

7. Seluruh Informan dalam penelitian ini yang telah bersedia membantu dan memberikan informasi dengan sukarela pada pelaksanaan penelitian ini;

8. Sahabat-sahabatku, teman-teman MSP 2019, teman sejawat Kementerian Sosial RI, dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama ini semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya.

Penulis menyadari tesisi ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun merupakan penghormatan dan penghargaan terhadap karya penulis. Semoga tesis ini memberikan manfaat ataupun berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkannya serta bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Studi Pembangunan.

Medan, Agustus 2021

Penulis

(10)

ix

11 Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar Provinsi Sumatera Utara. Riwayat pendidikan formal penulis sebagai berikut:

1. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) penulis tamatkan di SD Negeri Dahlia No.

124402 pada tahun 2008

2. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) penulis tamatkan di SMP Negeri 4 Pematang Siantar pada tahun 2011

3. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) penulis tamatkan di SMA Negeri 2 Pematang Siantar pada tahun 2014

4. Pendidikan S-1/D-IV penulis tamatkan di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung pada tahun 2018

5. Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara pada tahun 2019 hingga saat ini. Penulis bekerja sebagai Pendamping Penyandang Disabilitas Kota Pematangsiantar Kementerian Sosial Republik Indonesia.

lahir di Pematang Siantar pada tanggal 7 Desember 1996 yang merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Hendra Kusumah dan Rufianti Marpaung. Penulis beragama islam dan saat ini beralamat di Jalan Teratai No

(11)

x

HALAM SAMPUL DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ORISINALITAS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Manfaat Penelitian ... 14

1.5. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1. Penelitian Terdahulu ... 17

2.2. Tinjauan tentang Pembangunan Sosial ... 20

2.3. Tinjauan tentang Masalah Kesejahteraan Sosial ... 24

2.3.1. Pengertian Masalah Sosial ... 24

2.3.1. Pengertian Kesejahteraan Sosial ... 25

2.4. Tinjauan tentang Aksesibilitas ... 26

2.5. Tinjauan tentang Penyandang Disabilitas ... 28

2.5.1. Pengertian Penyandang Disabilitas ... 28

2.5.2. Klasifikasi Penyandang Disabilitas ... 29

2.5.3. Hak dan Kebutuhan Penyandang Disabilitas ... 29

2.6. Tinjauan tentang Pekerjaan ... 36

2.6.1. Hakikat Kerja ... 36

2.6.2. Pengertian Tenaga Kerja ... 36

2.6.3. Pengertian Pemberi Kerja ... 37

2.6.4. Pekerjaan Formal dan Informal ... 38

2.7. Tinjauan tentang Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial ... 39

2.8. Tinjauan tentang Kebijakan Penyandang Disabilitas ... 42

2.9. Tinjauan tentang Pemerintah Daerah ... 46

2.10. Kerangka Konseptual ... 50

(12)

xi

3.5. Teknik Analisis Data ... 61

3.6. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 63

3.7. Jadwal dan Langkal-langkah Penelitian ... 67

3.8. Keterbatasan Penelitian ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1. Gambaran Umum Profil Kota Pematangsiantar ... 70

4.1.1. Kondisi Geografis Kota Pematangsiantar ... 70

4.1.2. Komposisi Penduduk Kota Pematangsiantar ... 71

4.1.3. Tenaga Kerja Kota Pematangsiantar ... 72

4.1.4. Kondisi Sosial Kota Pematangsiantar ... 76

4.1.5. Kondisi Pertanian Kota Pematangsiantar ... 85

4.1.6. Bahan Bakar Minyak ... 86

4.1.7. Industri ... 87

4.1.8. Panjang Jalan ... 90

4.1.1. Angkutan ... 90

4.1.1. Pos ... 91

4.1.1. Pengeluaran Penduduk dan Konsumsi ... 91

4.2. Hasil Penelitian Lapangan ... 92

4.2.1. Pengaturan Undang-Undang Mengenai Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan Di Kota Pematangsiantar ... 93

4.2.2. Pemahaman Pemberi Kerja terhadap Penyandang Disabilitas untuk Bekerja di Kota Pematangsiantar ... 113

4.2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan Di Kota Pematangsiantar ... 131

4.2.4. Pandangan Penyandang Disabilitas terhadap Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan Di Kota Pematangsiantar ... 142

4.3. Analisis Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan di Kota Pematangsiantar ... 153

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 185

5.1. Kesimpulan ... 185

5.2. Saran ... 190

DAFTAR PUSTAKA ... 192

(13)

xii

Gambar 4.1 Temuan Lapangan Pengaturan Undang-Undang Mengenai Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh

Pekerjaan di Kota Pematangsiantar ... 113 Gambar 4.2 Temuan Lapangan Pandangan Penyandang Disabilitas

Terhadap Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam

Memperoleh Pekerjaan di Kota Pematangsiantar ... 153 Gambar 4.3 Analisis Pengaturan Undang-Undang Mengenai Aksesibilitas

Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan

di Kota Pematangsiantar ... 163 Gambar 4.4 Analisis Pemahaman Pemberi Kerja Terhadap Penyandang

Disabilitas untuk Bekerja di Kota Pematangsiantar ... 169 Gambar 4.5 Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Aksesibilitas

Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan di Kota

Pematangsiantar ... 174 Gambar 4.6 Analisis Pandangan Penyandang Disabilitas Terhadap

Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh

Pekerjaan di Kota Pematangsiantar ... 179 Gambar 4.7 Rekomendasi Hasil Penelitian Aksesibilitas Penyandang

Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan

di Kota Pematangsiantar ... 184

(14)

xiii

dalam Memperoleh Pekerjaan di Kota Pematangsiantar ... 17 Tabel 2.2 Upaya Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam

RANHAM ... 46 Tabel 3.1 Karakteristik Informan Penelitian ... 59 Tabel 3.2 Matriks Jadwal Penelitian Aksesibilitas Penyandang

Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan di Kota

Pematangsiantar Tahun 2021 ... 69 Tabel 4.1 Luas Daerah Berdasarkan Kecamatan ... 71 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Perkecamatan Menurut Jenis Kelamin

Tahun 2019 ... 72 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun keatas Menurut Jenis

Kegiatan Selama Seminggu yang lalu dan Jenis Kelamin

Kota Pematangsiantar Tahun 2019 ... 73 Tabel 4.4 Jumlah Angakatan Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan dan Jenis Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu

di Kota Pematangsiantar Tahun 2021... 74 Tabel 4.5 Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun

2019 ... 74 Tabel 4.6 Kumulatif Jumlah Pendaftaran Pencari Kerja, Penempatan,

dan Pemenuhan Tenaga Kerja Menurut Jenis Kelamin Tahun

2019 ... 75 Tabel 4.7 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kota

Pematangsiantara ... 76 Tabel 4.8 Jumlah Pemerlu Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) DI

Kota Pematangsiantar Tahun 2020 ... 77 Tabel 4.9 Jumlah Penyandang Disabilitas Berdasarkan Kecamatan

Tahun 2020 ... 78 Tabel 4.10 Jumlah Penyandang Disabilitas Berdasarkan Usia Tahun

2020 ... 79 Tabel 4.11 Jumlah Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jenis Disabilitas

Tahun 2019 ... 80 Tabel 4.12 Jumlah Penyandang Disabilitas Berdasarkan Pendidikan

Tahun 2020 ... 81 Tabel 4.13 Jumlah Penyandang Disabilitas Berdasarkan Status Pekerjaan

Tahun 2020 ... 81 Tabel 4.14 Jumlah Penyandang Disabilitas Usia Produktif Tidak Bekerja 82 Tabel 4.15 Jumlah Penyandang Disabilitas Usia Produktif Tidak Bekerja

Berdasarkan Pendidikan ... 83 Tabel 4.16 Jumlah Perusahaan Industri Besar dan Sedang Menurut

Golongan Industri ... 87

(15)

xiv

Kelompok Industri ... 90 Tabel 4.20 Daftar ASN Dinas Sosial P3A Berdasarkan Jabatan dan

Pendidikan ... 103 Tabel 4.21 Ringkasan Temuan Lapangan Mengenai Pemahaman

Pemberi Kerja Terhadap Penyandang Disabilitas untuk

Bekerja di Kota Pematangsiantar ... 130 Tabel 4.22 Ringkasan Temuan Lapangan Kebijakan Pemerintah

Terhadap Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam

Memperoleh Pekerjaan di Kota Pematangsiantar ... 141

(16)

xv Lampiran 2 Lembar Persetujuan Informan Lampiran 3 Dokumentasi Kegiatan

(17)

1 1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan sosial hakekatnya merupakan upaya untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera. Pembangunan sosial meletakkan "manusia sebagai pusat perhatian pembangunan dan kerjasama internasional" untuk memenuhi kebutuhan sosial sebagai bagian integral untuk stabilitas nasional dan Internasional (Midgley 1994). Pembangunan sosial berasas prinsip kerjasama antar pemerintah, organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat lokal untuk meningkatkan kesadaran, tanggungjawab serta kemampuan setiap orang ikut serta dalam pembangunan.

Pembangunan sosial memiliki tujuan untuk keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial berkaitan langsung dengan upaya-upaya pencegahan dan penanganan masalah sosial, mengurangi kesenjangan sosial, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan pengembangan sumber daya manusia. Hal ini merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan lembaga pemerintah maupun swasta untuk menangani permasalahan sosial sehingga mampu meningkatkan taraf hidup individu, kelompok, atau organisasi, serta masyarakat. Salah satu upaya penanganan masalah sosial untuk peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat yakni permasalahan penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas merupakan kelompok yang tergolong lebih rentan terhadap kemiskinan disetiap negara, baik diukur dengan indikator ekonomi

(18)

tradisional seperti PDB maupun indikator ekonomi lebih luas dalam aspek keuangan non-moneter seperti standar hidup misalnya pendidikan, kesehatan, dan kondisi kehidupan. Populasi penyandang disabilitas didunia adalah sekitar 15%

dari jumlah penduduk. Internasional Labour Organization (ILO) menyebutkan sekitar 82% dari penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang dan hidup dibawah garis kemiskinan serta kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan yang layak.

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 10% dari penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Merujuk data SUPAS (2015) yang telah diolah oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, berdasarkan ragam disabilitas, jumlah populasi penyandang disabilitas adalah 22,1 juta orang. Berdasarkan pendataan yang telah dilakukan melalui Sistem Informasi Managemen Penyandang Disabilitas (SIMPD) Tahun 2019, populasi penyandang disabilitas yang terdata by name by address saat ini adalah sebanyak 127.295 orang, yang diantaranya 1.902 (autis), 35.861 (daksa), 1.962 (down syndromne), 1.219 (eks kusta/penyakit kronis), 37.558 (ganda), 7.257 (grahita), 1.481 (lambat belajar), 3.082 (low vision), 13.318 (mental), 9.719 (rungu), 5.540 (total blind), dan 3.004 (wicara).

Update data terakhir pada Tahun 2020 terjadi peningkatan jumlah penyandang disabilitas yaitu sebanyak 191.514 orang di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat 5 terbesar seluruh Indonesia. Berdasarkan data Sistem Informasi Managemen Penyandang Disabilitas (SIMPD), jumlah penyandang disabilitas di Sumatera Utara sebanyak

(19)

8.489 orang yang terdiri dari 2.535 (daksa), 99 (eks kusta/kronis), 2.838 (ganda), 677 (mental), 172 (autis), 407 (rungu), 278 (wicara), 285 (low vision), 517 (total blind), 127 (lambat belajar), 398 (grahita), dan 156 (downsyndrome). Peningkatan jumlah penyandang disabilitas dari tahun ke tahun mengartikan bahwa perlu adanya penanganan yang tepat untuk menanggulangi permasalahan penyandang disabilitas.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 31 menyebutkan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri”. Berdasarkan Undang- undang tersebut penyandang disabilitas juga mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pekerjaan. Pengakuan tersebut telah dikuatkan secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menyebutkan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja; (2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sanksinya pun tak main-main. Jika melanggar, akan diberlakukan ancaman pidana maksimal 6 bulan dan/atau denda maksimal 200 juta rupiah.

Menurut Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2018, mayoritas penyandang disabilitas usia produktif tidak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Hal ini terlihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

(20)

Penyandang Disabilitas yang hanya 31,63%. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada TPAK nondisabilitas yang hampir mencapai 70% . Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja rendah.

Hal ini diperkuat oleh Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia pada Tahun 2018 menunjukkan bahwa hanya 4.537 orang penyandang disabilitas yang bekerja. Rata-rata penyandang disabilitas bekerja disektor informal seperti buruh tidak tetap, pekerja harian, dan wirausaha selebihnya tidak bekerja/pengangguran.

Kondisi disabilitas seharusnya tidak menjadi halangan untuk memperoleh hak hidup dan mempertahankan kehidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Person With Disabilities. Pada kenyataannya mereka masih rentan terhadap berbagai tindakan diskriminasi untuk memperoleh kehidupan yang layak, khususnya layanan dasar. Diketahui sekitar 80% penyandang disabilitas di Indonesia pernah mengalami tindakan diskriminasi (Hanifa, 2015), termasuk kecenderungan pengabaian aksesibilitas terhadap hak pelayanan dasar seperti kurang mendapat pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan mobilitas.

Kondisi penyandang disabilitas di dunia kerja kerap mengalami stigma dan perlakuan diskriminatif dari penyedia lapangan kerja. Beberapa stigma dan perilaku negatif dari perusahaan terhadap penyandang disabilitas diantaranya anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak bisa bekerja. Pemberi kerja juga banyak yang belum mengenal terminologi disabilitas, bahkan banyak yang belum mengetahui bahwa pekerja penyandang disabilitas ada (Hardi, 2018). Terdapat

(21)

juga anggapan bahwa investasi tambahan harus dikeluarkan oleh pengusaha jika mempekerjakan penyandang disabilitas sehingga mempekerjakan nondisabilitas menjadi relatif lebih murah.

Kesulitan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan formal juga diungkap oleh beberapa pihak antara lain oleh pengelola situs pencari lowongan pekerja bagi penyandang disabilitas, seperti yang dikutip di dalam Artharini 2017 dan Hardi 2018 bahwa lowongan pekerjaan yang dibuka perusahaan memiliki kecenderungan yang besar untuk penyandang disabilitas ditolak. Perusahaan mencari tenaga kerja dengan kategori sehat jasmani dan rohani sebagai produktivitas dan efektifitas pekerjaan. Hal ini tentu semakin membuat penyandang disabilitas tersisih dari dunia kerja dan tidak mampu mengakes pekerjaan dengan mudah.

Mendapatkan pekerjaan adalah hal penting bagi penyandang disabilitas, sama seperti kebutuhan dasar lain seperti pendidikan, kesejahteraan dan kenyamanan (Rozali dkk, 2017). Dalam dunia kerja, penyandang disabilitas dihadapkan pada berbagai hambatan. Tantangan penyandang disabilitas untuk bekerja bisa dalam beragam bentuk dan dalam berbagai tingkatan, baik dari dalam maupun luar dunia kerja, diantaranya tingkah laku dan diskriminasi, pendidikan dan pelatihan (United Nations-ESCAP, 2015). Penyandang disabilitas diseluruh dunia sangat sulit memperoleh pekerjaan. Menurut United Nations Enable, di negara-negara sedang berkembang 80-90% penyandang disabilitas dalam usia produktif tidak memiliki pekerjaan dan di negara-negara industri persentasenya antara 50% dan 70% (Larson, 2014).

(22)

Patut dikemukakan bahwa walaupun Undang-Undang telah memberikan hak bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan, namun sampai saat ini pemenuhan hak tersebut belum berjalan. Sejauh ini ditemukan ada beberapa penelitian terkait masalah pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yaitu: pertama, penelitian yang dilakukan oleh Utami Dewi pada tahun 2015 yang menyimpulkan bahwa di Yogyakarta, kebijakan kuota bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan pada instansi pemerintah maupun swasta belum terlaksana dengan optimal (Dewi, 2015).

Kedua, penelitian oleh Ismail Saleh menemukan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan belum berjalan. Berdasarkan sampel 10 perusahaan yang didata Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang tahun 2016, dari jumlah perusahaan dari 3.990 yang ada di Kota Semarang, kuota penyandang disabilitas belum terpenuhi (Shaleh, 2018).

Penelitian terkait lainnya, dilakukan pada tahun 2019 oleh Istifarroh dan Widhi Cahyo Nugroho menyimpulkan bahwa meskipun sudah ada peraturan di undang- undang penyandang disabilitas untuk memperkerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 1% pada perusahaan swasta dan perusahaan milik negara (BUMN) paling sedikit 2%, namun hal tersebut masih jauh dari kenyataan dalam pelaksanaannya (Istifarroh, &Nugroho, 2019).

Penelitian Rizano (2014) menjelaskan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat belum terlaksana dengan baik, bahkan jauh

(23)

dari yang diharapkan. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya sosialisasi Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 mengenai kuota dan kewajiban perusahan mempekerjakan penyandang disabilitas yang dilakukan Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Kota Pekanbaru. Selain itu perusahaan masih ragu, takut, bahkan menolak menerima pekerja penyandang cacat dengan alasan mereka tidak memiliki aksesibilitas yang menunjang segala aktifitas penyandang cacat serta banyak penyadang cacat mengakui bahwa meskipun negara telah menjamin hak mereka dalam Undang-Undang, namun pemerintah tidak melakukan tindakan penanganan lanjutan seperti pendidikan dan meningkatkan skill serta kemampuan penyandang cacat agar dapat memperoleh pekerjaan di perusahaan.

Penelitian Susiana, Wardah (2019) Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan pada BUMN di Aceh belum terlaksana. Meskipun telah ada Qanun Aceh tentang ketenagakerjaan dan Peraturan Walikota Banda Aceh tentang pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan yang layak, hanya satu dari empat perusahaan BUMN yang menjadi responden yang telah mempekerjakan penyandang disabilitas. Hal ini terjadi karena adanya diskriminasi pada pekerjaan dan posisi tertentu, adanya kesenjangan antara kompetensi dan syarat penerimaan pada lingkungan kerja, dan rendahnya pendidikan dan keterampilan penyandang disabilitas.

Berdasarkan penelitian-penelitian terkait dapat disimpulkan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia

(24)

masih rendah. Hal ini disebabkan oleh kurang tersedianya akses yang diberikan kepada penyandang disabilitas. Akses yang diberikan baik dari penyedia kerja maupun pemerintah belum cukup optimal untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas memperoleh hak pekerjaan. Banyaknya jumlah penyandang disabilitas di Indonesia seharusnya sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Pemberian akses kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan dinilai masih rendah dan perlu adanya upaya-upaya peningkatan untuk menunjang keberhasilan pembangunan.

Kemudahan akses penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan merupakan salah satu upaya peningkatan partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Pentingnya informasi jenis lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan disabilitas, seleksi karyawan penyandang disabilitas secara terbuka oleh perusahaan, pemberian pelatihan dan keterampilan kerja yang memadai, penyaluran tenaga kerja penyandang disabilitas, pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas, serta perlindungan terhadap hak-hak bekerja penyandang disabilitas perlu tersedia secara memadai.

Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia seharusnya dilakukan secara inklusif, artinya siapa saja dan apapun kondisinya berhak mendapatkan akses ke pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Pemberian kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas juga disadari sebagai sebuah langkah dengan tujuan yang lebih besar dari “sekedar” penghormatan dan perlindungan atas hak-hak penyandang disabilitas. Bagi pemerintah, pemberian kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas akan membantu mengurangi jumlah pengangguran yang

(25)

berimplikasi pada pengentasan kemiskinan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi nasional.

Aksesibilitas menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Kesamaan kesempatan diartikan sebagai keadaan yang memberikan peluang atau menyediakan akses kepada disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara. Konsep aksesibilitas merujuk pada “kemudahan” yang tidak hanya mengacu pada lingkungan fisik tetapi juga pada sikap dan perlakuan yang diberikan kepada penyandang disabilitas (The Equality Authority, 2002).

Akses tidak boleh dipandang dari perspektif yang sempit sebagai akses fisik namun secara luas memberikan kesempatan yang sama pada hal yang lumrah.

Persoalan aksesibilitas adalah persoalan yang kritis karena disabilitas hanya dapat berpartisipasi secara efektif ketika tersedia akses yang memadai khususnya akses penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan seharusnya tersedia dengan mudah dan merata seperti warga negara atau masyarakat pada umumnya.

Penerapan aksesibilitas penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses sebagai pencari kerja maupun sebagai pekerja belum diatur lebih lanjut di dalam peraturan yang komprehensif guna menjamin terlindunginya hak-hak penyandang disabilitas. Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang belum menerapkan terjaminnya pemenuhan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh kesempatan bekerja. Hal ini tentunya perlu penanganan dan perhatian lebih

(26)

terhadap upaya pemerataan atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat sehingga tercapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dalam pembangunan sosial.

Kota Pematangsiantar sebagai salah satu kota terbesar di Provinsi Sumatera Utara perlu melaksanakan pembangunan sosial terhadap kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat penyandang disabilitas. Berdasarkan pemahaman penulis, Kota Pematangsiantar belum mempunyai Peraturan Daerah yang mengatur hak- hak penyandang disabilitas di Kota Pematangsiantar. Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Pematangsiantar Tahun 2020, jumlah penyandang disabilitas di Kota Pematangsiantar sebanyak 323 orang. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa 260 orang penyandang disabilitas tidak bekerja atau sekitar 90% dikategorikan pengangguran dan rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu.

Berdasarkan hasil assesmen dan pendampingan yang telah dilakukan dengan penyandang disabilitas di Kota Pematangsiantar, sulitnya penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan disebabkan oleh kurang terserapnya tenaga kerja penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Selama 5 tahun terakhir ini, diketahui masih banyak perusahaan baik swasta dan milik pemerintah yang belum mempekerjakan penyandang disabilitas meskipun sudah diatur kuota penyandang disabilitas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Data Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar Tahun 2018 menunjukkan bahwa dari 22 kelompok industri besar dan 25 kelompok industri kecil yang terdapat di Kota Pematangsiantar, belum ada perusahaan swasta dan milik pemerintah yang mempekerjakan

(27)

penyandang disabilitas. Perusahaan swasta dan pemerintah belum pernah merekrut secara khusus tenaga kerja penyandang disabilitas.

Berdasarkan observasi lapangan, pada Tahun 2019 terdapat satu perusahaan yang mengadakan rekrutmen penyandang disabilitas untuk bekerja yakni PT.

Alfamart cabang Kota Pematangsiantar. Rekrutmen ini di infokan oleh Dinas Ketenagakerjaan dan dilakukan seleksi karyawan secara langsung oleh pihak PT.

Alfamart. Pihak perusahaan membutuhkan penyandang disabilitas dengan kriteria minimal berpendidikan SMA dan berusia maksimal 35 Tahun. Setelah dilakukan pendataan terhadap penyandang disabilitas, selanjutnya dilakukan seleksi karyawan meliputi ujian tertulis dan wawancara yang didampingi oleh pendamping penyandang disabilitas Kota Pematangsiantar. Penyandang disabilitas yang mengikuti seleksi kerja berjumlah 5 orang. Namun, setelah menunggu berita kelanjutan diterima atau tidak selama 3 bulan lebih pihak PT.

Alfamart belum memberikan kepastian dan jawaban. Tidak ada pemberitahuan apakah penyandang disabilitas diterima atau tidak. Hal ini menyebabakan penyandang disabilitas kecewa dan bingung mengenai alasan penolakan perusahan tersebut.

Informasi mengenai lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan penyandang disabilitas juga belum tersedia secara memadai baik dari pihak pemerintah atau perusahaan belum memiliki situs lowongan pekerjaan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. perusahaan dan pemerintah belum pernah melakukan kerjasama dalam bentuk penyediaan bursa kerja penyandang disabilitas seperti jenis pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan penyandang

(28)

disabilitas maupun pekerjaan apa saja yang dapat dilakukan oleh penyandang disabilitas sesuai dengan kemampuan dan derajat kedisabilitasannya di perusahaan pemerintah atau swasta serta tidak ada kebijakan terkait pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas sesuai standar pelayanan. Hal ini tentunya menghambat penyandang disabilitas mengakes pekerjaan dengan mudah.

Data Dinas Sosial P3A Kota Pematangsiantar Tahun 2020 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas usia produktif yang tidak bekerja sebanyak 163 orang. Terdiri dari 34 orang disabilitas fisik, 25 orang disabilitas sensorik, 33 orang disabilitas intelektual, 51 orang disabilitas mental, dan 20 orang disabilitas ganda, rata-rata belum pernah mendapatkan pelatihan dan keterampilan dari pihak-pihak terkait yang menangani permasalahan penyandang disabilitas dan ketenagakerjaan. Belum ada program yang disediakan oleh Dinas Sosial P3A dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Pematangsiantar untuk mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Pemberian keterampilan yang sesuai dengan kemampuan disabilitas sangat penting dan akan memberikan pengetahuan serta menambah kompetensi mereka untuk bersaing dengan pencari kerja lainnya.

Faktor penyebab penyandang disabilitas tidak dapat mengakses pekerjaan dengan mudah juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan yang rendah. Rata-rata penyandang disabilitas di Kota Pematangsiantar tidak bersekolah dan hanya tamatan SD-SMP. Sekitar 140 orang penyandang disabilitas tidak sekolah dan hanya tamatan SD-SMP. Sisanya, hanya 23 orang penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan sampai jenjang SMA dan bahkan D1-S1. Pendidikan yang rendah menyebabkan penyandang disabilitas tidak memiliki keterampilan yang

(29)

memadai sehingga sulit untuk memperoleh pekerjaan. Perusahaan/penyedia kerja mempersyaratkan calon pekerja minimal berpendidikan SMA/sederajat hingga tamatan D4/S1. Hal ini membuat penyandang disabilitas tidak mampu mengakses lowongan pekerjaan sesuai dengan kriteria pemberi kerja.

Pemerintah Kota Pematangsiantar belum cukup tanggap dalam merespon permasalahan penyandang disabilitas. Aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan seharusnya tersedia dengan mudah untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas. Namun pada kenyataannya, aksesibilitas penyadang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar masih rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang akan dijelaskan dalam penelitian ini. Maka perlu dilakukan penelitiaan lebih lanjut terkait Aksesibilitas Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan di Kota Pematangsiantar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka peneliti merumuskan masalah penelitiannya yaitu: “Mengapa aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar rendah?”

rincian dari pertanyaan penelitian, maka disusunlah pertanyaan sub-sub problematik penelitian. Pertanyaan sub-sub problematik pada penelitian ini adalah meliputi:

1. Bagaimana pengaturan undang-undang mengenai aksesibilitas penyandang Disabilitas dalam memperoleh pekerjaaan di Kota Pematangsiantar?

2. Bagaimana pemahaman pemberi kerja terhadap penyandang disabilitas untuk bekerja di Kota Pematangsiantar?

(30)

3. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaaan di Kota Pematangsiantar?

4. Bagaimana pandangan penyandang disabilitas terhadap aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran secara empirik tentang:

1. Pengaturan undang-undang mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaaan di Kota Pematangsiantar

2. Pemahaman pemberi kerja terhadap penyandang disabilitas untuk bekerja di Kota Pematangsiantar

3. Kebijakan pemerintah terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaaan di Kota Pematangsiantar

4. Pandangan penyandang disabilitas terhadap aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1. Teoritis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan studi pembangunan secara umum, terutama bagi pengembangan ilmu dalam pembangunan kesejahteraan sosial terhadap penyandang disabilitas.

(31)

1.4.2. Praktis

Melalui hasil analisis data dari penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1. Rujukan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan penyandang disabilitas yang sesuai dan tepat sasaran khususnya di Pemerintahan Kota Pematangsiantar.

2. Rujukan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) yang menangani permasalahan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan.

3. Rujukan dasar bagi penelitian selanjutnya tentang aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan.

1.5.Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun berdasarkan sistematika penulisan yang telah ditetapkan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINAJUAN PUSTAKA, berisi tinjauan yang relevan dengan penelitian meliputi tinjauan tentang penelitian terdahulu, tinjauan tentang pembangunan sosial, tinjauan tentang masalah kesejahteraan sosial, tinjauan tentang aksesibilitas, tinjauan tentang penyandang disabilitas, tinjauan tentang pekerjaan, tinjauan tentang kebijakan publik dan kebijakan sosial, tinjauan tentang kebijakan penyandang disabilitas, tinjauan tentang pemerintah daerah, dan kerangka konseptual.

(32)

BAB III : METODE PENELITIAN, berisi desain penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pemilihan informan, lokasi penelitian, teknik analisis data, pemeriksaan keabsahan data, jadwal dan langkah-langkah penelitian, serta keterbatasan penelitian.

BAB IV :HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, berisi tentang gambaran lokasi penelitian, deskripsi hasil penelitian, pembahasan dan analisis hasil penelitian yang dikaitkan dengan bab-bab sebelumnya serta hasil penelitian sebelumnya.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, berisi tentang kesimpulan dan saran untuk tindak lanjut hasil penelitian.

(33)

17 2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu berguna sebagai pendukung dan bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain yang dapat memberikan gambaran tentang penelitian yang akan dilakukan. Berikut dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar. Penelitian-penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penelitian terkait aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan

Tematik Pembahasan Peneliti

Pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas

Aksesibilitas merupakan wacana yang sangat penting untuk mendorong partisipasi dan kemandirian penyandang disabilitas di masyarakat. Aksesibilitas mengacu pada 2 jenis yaitu aksesibilitas fisik dan non fisik. Peraturan tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas telah diberlakukan namun implementasinya tidak tidak efektif dan masih terjadi diskriminasi.

M. Syafiie (2014)

Perlindungan hak disabilitas mendapatkan pekerjaan

Pelaksanaan UUD RI Pasal 28D ayat 2, UU Penyandang disabilitas, dan UU Ketenagakerjaan belum berjalan dengan optimal. Penyandang disabilitas masih belum memperoleh hak bekerja seperti masyarakat nondisabilitas dan masih terdapat diskriminasi.

(Istifarroh, &

Nugroho, 2019)

Implementasi pemenuhan hak penyandang disabilitas bekerja

Implementasi pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk bekerja belum berjalan disebabkan beberapa faktor yaitu peraturan daerah belum tersedia, dan pengawasan ketenagakerjaan tidak dilaksanakan oleh pemerintah.

Ismail Sholeh (2018)

Diversitas dalam dunia kerja tantangan dan peluang penyandang disabilitas

Peraturan perUndang-Undangan yang ada telah memberikan peluang kesetaraan bagi kaum disabilitas memasuki dunia kerja, akan tetapi tantangan sosial masih menjadi penghambat kesetaraan disabilitas dalam kesempatan kerja. Ada beberapa faktor yang menjadi tantangan pelaksanaan pengelolaan diversitas yaitu banyaknya praktik diskriminasi, proses seleksi kerja, stereotip yang diberikan kepada kaum disabilitas.

Abdul Latif, Tyas (2017)

(34)

Tabel 2.1 Lanjutan

Penyandang disabilitas dalam dunia kerja

Penyandang disabilitas yang bekerja di perusahaan memberikan tantangan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja. Bertemu dengan orang baru tentunya bukan hal yang mudah. Diskriminasi yang telah dirasakan oleh penyandang disabilitas tentu dapat menghambat proses penyesuaian diri. Karena itu pekerja sosial mampunyai peran penting untuk meningkatkan kapasitas dan menghubungkan ke sistem sumber

Geminastiti, Nurliana, Nandang (2018)

Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan di BUMN

Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan di BUMN aceh belum terlaksana. Meskipun telah ada Qanun Aceh tentang ketenagakerjaan dan Peraturan walikota tentang pemenuhan hak disabilitas mendapatkan pekerjaan hanya satu dari empat perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas. hal ini terjadi karena adanya diskriminasi pada pekerjaan dan posisi tertentu, adanya kesenjangan antara kompetensi dan syarat penerimaan pada lingkungan kerja, dan rendahnya pendidikan dan keterampilan penyandang disabilitas

Wardah, Susiana (2019)

Implementasi pemenuhan hak penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan pada perusahaan negara dan swasta di Kota Pekanbaru Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

Pelaksanaan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Pekanbaru belum berjalan maksimal karena banyaknya perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban untuk menerapkan kuota 1:100 tenaga kerja difabel. Padahal undang-undang sudah mengatur sanksi yang jelas bagi perusahaan yang melanggar. Meskipun beberapa perusahaan sudah ada yang mempekerjakan namun masih banyak disabilitas yang belum memenuhi haknya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi undang-undang, kurangnya pengetahuan perusahaan, perspektif perusahaan, dan faktor penyandang cacat sendiri.

Rizano (2014)

Sumber: Olahan Penelitian (2021)

Berdasarkan Tabel 2.1 diatas, Penelitian mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas lebih sering dikaitkan terhadap aksesibilitas fisik seperti fasilitas publik, sarana dan prasana transportasi, serta bangunan gedung. Aksesibilitas terhadap kesediaan pekerjaan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Dalam melihat konsep ketenagakerjaan terhadap penyandang disabilitas dilakukan penelitian oleh M. Syafiie (2014) membahas pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang dilihat dari pentingnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, jenis-jenis aksesibilitas dan bagaimana pemenuhan itu dapat dilakukan

(35)

serta sekilas gambaran pemenuhan aksesibilitas yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Istifarroh dan Nugroho (2019) dan Ismail Sholeh (2018) membahas mengenai implementasi aksesibilitas penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan dan perlindungan tenaga kerja penyandang disabilitas dalam perspektif hukum atau undang-undang. Geminastiti, Nurliana, Nandang (2018), dan Abdul Latif, Tyas (2017) membahas mengenai hambatan penyandang disabilitas yang tidak bekerja serta pengelolaan penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Selanjutnya, Wardah, Susiana (2019) dan Rizano (2014) membahas pemenuhan dan implementasi hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di perusahaan swasta dan BUMN pada Kota Aceh dan Pekanbaru.

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat kesenjagan dalam melihat masalah penyandang disabilitas dan ketenagakerjaan. Penelitian ini akan mengamati dan mengambarkan rendahnya aksesibilitas penyandang disabilitas secara spesifik dalam hal memperoleh pekerjaan. Hal ini dilihat dari pengaturan undang-undang mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan, pemahaman pemberi kerja terhadap kemampuan penyandang disabilitas untuk bekerja, kebijakan pemerintah terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan, dan pandangan penyandang disabilitas mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan. Hal ini akan mewujudkan pemenuhan hak bekerja penyandang disabilitas dan mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja.

(36)

2.2. Tinjauan tentang Pembangunan Sosial

Pembangunan menjadi gelombang baru dalam mencapai kesejahteraan suatu negara. Istilah pembangunan dimaknai sebagai proses perencanaan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang diharapkan hasilnya dapat dibagi-bagi untuk mensejahterakan negaranya. Pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi menuai banyak kritik karena kegagalannya menjawab persoalan kesejahteraan negara. Pembangunan yang semula ditujukan untuk mencapai kemakmuran suatu negara, ternyata menghasilkan kesenjangan kemiskinan yang cukup besar. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh sebagian kecil konglomerat (pelaku ekonomi) saja dan harapan memberi trickle down effect belum terbukti.

Sumodiningrat (1999) menjelaskan konsep pembangunan ekonomi baru memandang bahwa permasalahan-permasalahan kemiskinan, pengangguran, dan distribusi pendapatan tidak dapat dituntaskan secara alamiah, dengan hanya mengharapkan “tetesan ke bawah” dari hasil-hasil pembangunan yang ada.

Midgley (2014) menjelaskan bahwa di dalam proses pembangunan, pembangunan sosial dan ekonomi membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa pembangunan ekonomi dan pembangunan ekonomi tidak akan berarti tanpa diiringi dengan peningkatan kesejahteraan sosial pada masyarakat secara menyeluruh. Jadi, dalam upaya untuk mencapai suatu kesejahteraan suatu negara, dibutuhkan konsep dan strategi kebijakan pembangunan sosial dan ekonomi yang berjalan simultan dan berkelanjutan. Modal sosial menjadi aspek penting dalam pembangunan sosial.

Midgley (1995:25) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai berikut:

(37)

“A process of planned social change designed to promote the well-being of the population as a whole in conjuction with a dynamic prosess of economic development.”

(Suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sejalan dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis). Midgley (1995) mengemukakan bahwa dalam pembangunan sosial, sekurangnya terdapat delapan aspek yang perlu diperhatikan yaitu:

1. Proses pembangunan sosial tidak terlepas (dipisahkan secara nyata) dari pembangunan ekonomi. Pendekatan pembangunan sosial secara langsung menitikberatkan pada intervensi sosial terhadap pembangunan itu sendiri.

2. Pembangunan sosial mempunyai fokus yang interdisipliner yang diambil dari berbagai jenis ilmu sosial.

3. Dalam konsep pembangunan sosial tergambar adanya suatu proses yang dinamis.

Dinamika dalam perubahan sosial ini menggambarkan adanya interaksi antara pelaku perubahan dengan sasaran perubahan, serta menggambarkan adanya interaksi internal di dalam masyarakat. Pada aspek di dalamnya dinyatakan secara eksplisit akan adanya unsur perubahan dan pertumbuhan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Proses dinamis ini meliputi tahap awal, pre-existing condition (kondisi awal) merupakan kondisi masyarakat yang kurang menyenangkan yang ingin diubah; tahap kedua, proses perubahan itu sendiri; dan tahap ketiga, kondisi akhir (the end state) ketika proses perubahan sosial sudah berakhir. Proses perubahan yang terdapat dalam pendekatan pembangunan sosial pada dasarnya bersifat

(38)

progresif, yang menunjukkan bahwa perubahan yang dirancang secara bertahap tetapi terencana akan menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik.

5. Proses pembangunan sosial adalah interventionist. Perbaikan kehidupan masyarakat hanya dapat terjadi jika pelaku perubahan melakukan berbagai upaya perubahan sosial terencana untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut.

6. Tujuan pembangunan sosial diusahakan untuk dicapai melalui beberapa strategi baik yang langsung maupun tidak langsung, yang akan menghubungkan intervensi sosial dengan upaya-upaya pembangunan ekonomi meskipun didasari oleh keyakinan dan ideologi yang berbeda.

7. Pembangunan sosial lebih memusatkan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universalistik. Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada orang-orang yang membutuhkan (needy individuals) saja karena pendekatan pembangunan sosial ini lebih memfokuskan pada komunitas yang ditelantarkan oleh pembangunan ekonomi yang terjadi selama ini. Pembangunan sosial lebih mengadopsi pendekatan makro yang lebih memfokuskan pada komunitas di berbagai level (lokal, regional, nasional, dan internasional), termasuk di dalamnya juga pada pendekatan yang spasial, seperti komunitas pedesaan (rural communities), komunitas yang tinggal di dalam kota (inner city areas), dan pembangunan di tingkat kota.

8. Tujuan dari pembangunan sosial adalah pengembangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (promotion of social welfare). Kesejahteraan yang dimaksud disini adalah kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi yang dimaksud oleh Midgley (1995), di mana kesejahteraan sosial diihat dari tiga unsur utamanya,

(39)

yaitu tingkatan (derajat) sampai di mana permasalahan sosial yang ada di masyarakat dapat dikelola; sampai seberapa banyak kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi; sampai seberapa besar kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat diperluas pada berbagai lapisan masyarakat.

Dalam kaitan dengan strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat,Midgley (1995) mengemukakan tiga strategi besar, yaitu:

1. Pembangunan sosial melalui individu (Social Development by Individuals), dimana individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih mengarah pada pendekatan individualis atau perusahaan (individualist or enterprise approach);

2. Pembangunan sosial melalui komunitas (Social Development by Communities), dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan pendekatan komunitarian (communitarian approach);

3. Pembangunan sosial melalui pemerintah (Social Development by Governments), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (government agencies). Pendekatan ini dikenal dengan nama pendekatan negara (statist approach).

(40)

2.3. Tinjauan tentang Masalah Kesejateraan Sosial 2.3.1. Pengertian Masalah Sosial

Pengertian masalah sosial menurut Soekanto (2003) adalah suatu ketidaksesuaian yang terjadi antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, di mana ketidaksesuaian tersebut dapat membahayakan kehidupan kelompok sosial masyarakat atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.

Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis, biopsikologis dan kebudayaan. Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan, kesehatan serta penyesuaian diri atau kelompok. Jika terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut, maka dapat dikatakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial.

Suharto (2005) menyatakan bahwa tidak ada masyarakat manusia yang sempurna. Masalah selalu merepresentasikan adanya suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Karakteristik masalah sosial dapat dikatakan sebagai berikut:

a. Kondisi yang dirasakan banyak orang. Jika suatu masalah menjadi pembica raan lebih dari satu orang maka masalah tersebut dikatakan masalah sosial.

b. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan. Suatu kondisi dapat dianggap tidak menyenangkan oleh masyarakat tertentu meskipun tidak oleh masyarakat lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan nilai dan norma yang dianut oleh tiap-tiap masyarakat yang berbeda.

(41)

c. Kondisi yang menuntut pemecahan. Hal yang dianggap masalah tersebut ingin segera diperbaiki agar tidak lagi menimbulkan kondisi tidak menyenangkan. Karena yang dibicarakan adalah masalah sosial maka masyarakatlah yang menuntut adanya pemecahan dari masalah yang mereka rasakan.

d. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial yang kolektif.

Penyebab masalah sosial yang multidimensional menuntutnya untut diselesaikan melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial, atau perencanaan sosial.

2.3.2. Pengertian Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial sangat familiar didengar oleh para mahasiswa pekerjaan sosial. Salah satu definisi kesejahteraan sosial yang paling dikenal adalah seperti menurut Friedlander dalam Fahrudin (2012):

“Social welfare is the organized system of social services and institutions, designed to aid individuals and groups to attain satisfying standards of life and health, and personal and social relationship that permit them to develop their full capacities and to promote their wellbeing in harmony with the needs of their families and the community”

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang teroganisasi dari pelayanan- pelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.

(42)

Payung hukum kesejahteraan sosial di Indonesia adalah UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang mengartikan kesejahteraan sosial adalah “....kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”

Pengertian kesejahteraan sosial sebagai aktivitas yang biasa disebut pembangunan kesejahteraan sosial adalah suatu usaha yang terencana meliputi intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat intitusi sosial (Suharto,2005).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah sistem yang terencana untuk memberikan pelayanan sosial agar tercipta suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara sehingga merasakan kehidupan yang layak, tenteram, dan bahagia.

2.4. Tinjauan tentang Aksesibilitas

Aksesibilitas menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Aksesibilitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam kehidupannya, sehingga aksesibilitas sangat penting karena untuk memadai aktivitas manusia begitupula aksesibilitas sangat penting untuk penyandang disabilitas. Kesamaan kesempatan diartikan sebagai keadaan yang memberikan peluang atau menyediakan akses kepada disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan

(43)

masyarakat. Tujuan dari aksesibilitas adalah untuk memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam memperoleh pelayanan publik untuk aksesibilitas fisik maupun non fisik.

Aksesibilitas nonfisik dikaitkan dengan bagaimana informasi, komunikasi dan teknologi dapat digunakan atau dipahami penyandang disabilitas. Hal ini terkait dengan bagaimana merespon kebutuhan penyandang disabilitas, yakni, pertama, yang harus diingat adalah ketika kita ingin menyediakan atau menyebarluaskan informasi, hendaknya kita berpikir apakah informasi yang kita buat dapat dipahami oleh penyandang disabilitas rungu, low vision/ netra atau kesulitan belajar (learning disability). Kedua, untuk dapat membuat informasi yang lebih aksesibel, penting untuk memodifikasi bentuk media informasi dalam format tertentu, misalnya mencetak dalam font yang besar agar dapat diakses oleh individu low vision.

Ketiga, memberikan layanan “communication support”, yang bertujuan agar penyandang disabilitas lebih memahami informasi yang ada, misalnya membacakan teks tertentu untuk tunanetra, menggunakan catatan atau tulisan ketika berkomunikasi dengan penyandang rungu-wicara, menyediakan alat bantu dengar adaptif di bioskop dan sebagainya.

Pentingnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas adalah untuk menjamin kemandirian dan partisipasi mereka dalam segala bidang kehidupan di masyarakat.

Bagaimanapun, diskursus aksesibilitas memiliki makna dan cakupan yang luas, yaitu bukan hanya terkait dengan bangunan/fasilitas publik, seperti pasar, gedung pemerintah, sarana transportasi, namun juga pada pelayanan publik secara umum, misalnya pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, hukum dan lain-lain. Dalam

(44)

tulisan ini, pembahasan mengenai aksesibilitas dikaitkan dengan aksesibilitas nonfisik dalam memperoleh pekerjaan. Peneliti ingin menganalisis ketersediaan akses penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaaan. Ketersedian akses yang memadai dan optimal dapat menunjang tingginya partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja dan mampu meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas.

2.5. Tinjauan tentang Penyandang Disabillitas 2.5.1. Pengertian Penyandang disabilitas

Disabilitas berasal dari bahasa Inggris yaitu disability dengan etimologi kata dis- (tidak) dan ability (kemampuan). Secara harfiah, disabilitas diartikan ketidakmampuan akan suatu hal. Sebelum adanya revisi tentang penyebutan kata „disabilitas‟ orang-orang lebih mengenal istilah cacat/kecacatan. Pada kuartal tahun 2016 diluncurkan pembaharuan undang-undang tentang penyandang disabilitas yang di dalamnya terdapat pengertian dari penyandang disabilitas itu sendiri. Menurut UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 1 bahwa:

“Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Keterbatasan yang dimaksud adalah ketika terdapat disfungsi dari organ tubuh, emosi, maupun kognisi seseorang sehingga menimbulkan kesulitan dan hambatan untuk melaksanakan berbagai macam aktivitas.

Definisi di atas diperkuat dengan UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang

(45)

dimaksud penyandang disabilitas adalah: “termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya”. Partisipasi yang dimaksud adalah keikutsertaan dan pelibatan penyandang disabilitas terhadap berbagai macam kegiatan dengan kesempatan yang sama dengan masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas adalah seseorang yang memiliki ketidakberfungsian organ tubuh, emosi, ataupun kognisi yang membuat dirinya mengalami hambatan maupun kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya.

2.5.2. Klasifikasi Penyandang disabilitas

UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memperbaharui jenis disabilitas yang awalnya tercantum hanya tiga dalam UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat yaitu cacat fisik, mental, dan ganda saat ini dikembangkan menjadi lima jenis yaitu disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik ditambah dengan disabilitas ganda. Penjelasan tentang klasifikasi penyandang disabilitas adalah sebagai berikut:

a. Penyandang disabilitas fisik

Disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. Bararah dan Jauhar (dalam Modul

(46)

Amputasi, 2014) menyatakan bahwa amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain.

b. Penyandang disabilitas intelektual

Disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain adalah lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom. Disabilitas intelektual lebih dulu dikenal dengan sebutan tunagrahita. Definisi tunagrahita yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Deficiency) sebagai berikut:

“Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata- rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kauffman dan Hallahan dalam Somantri, 2012).

c. Penyandang disabilitas mental

Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Disabilitas mental terbagi 2 antara lain yaitu psikososial meliputi skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial meliputi autis dan hiperaktif.

(47)

d. Penyandang disabilitas sensorik

Disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Disabilitas netra yaitu ketidakmampuan seseorang untuk melihat atau tidak berfungsinya indra penglihatan. Disabilitas rungu yaitu seseorang yang mengalami kekurangan ataupun kehilangan pendengarannya yang terjadi sebelum atau sesudah anak dapat berbahasa.

Disabilitas wicara yaitu ketidakmampuan seseorang dalam mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain (pendengar) dengan memanfaatkan organ bicaranya, dikarenakan celah langit-langit, bibir sumbing, kerusakan otak, disabilitas rungu, dan lain-lain.

e. Penyandang disabilitas ganda

Disabilitas ganda atau multi adalah Penyandang Disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu- wicara dan disabilitas netra-tuli.

2.5.3. Hak dan Kebutuhan Penyandang Disabilitas

Hak penyandang disabilitas adalah sebagaimana yang dimuat dalam Konvensi Perlindungan Penyandang Disabilitas. Pada tanggal 30 Maret 2007 lalu lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah. menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Konvensi ini telah disetujui Majelis Umum

(48)

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam sidang ke 61 tanggal 13 Desember lalu.

Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang disabilitas untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya. Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu a) menghormati harkat dan martabat penyandang disabilitas, b) non- diskriminatif, c) partisipasi penuh, d) aksesibilitas, serta e) penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan. Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang disabilitas yang termuat di dalamnya; juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang disabilitas harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya.

Konvesi ini sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang disabilitas dari yang bersifat remedial dan belas kasihan (charity) menjadi lebih memandang pada hak asasi manusia.

Sehubungan dengan hal tersebut penyandang disabilitas memiliki kebutuhan.

Kebutuhan tersebut di antaranya meliputi:

a. Kebutuhan dasar

Sebagaimana manusia pada umumnya penyandang disabilitas memiliki kebutuhan dasar (Basic Needs) yang sama. Kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebutuhan dasar dari Abraham Maslow. Menurut Maslow menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang

Gambar

Tabel 2.2  Upaya Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam RANHAM
Gambar 2.1  Kerangka konseptual
Tabel 3.1  Karakteristik Informan Penelitian
Tabel 3.2  Matriks jadwal penelitian aksesibilitas penyandang disabilitas dalam  memperoleh pekerjaan di Kota Pematangsiantar Tahun 2021  No  Jadwal Kegiatan  2020  2021
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tesis yang berjudul: “Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Adaptasi Pekerjaan Penyandang Disabilitas Fisik dalam Memasuki Dunia Kerja di Kota Semarang” ini adalah karya

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penyediaan aksesibilitas fasilitas penyandang disabilitas di kedua perpustakaan yang di jadikan sampel yaitu Perpustakaan

Pasal 9 ayat (1) Konvensi Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa Agar Penyandang Disabilitas mampu

Memiliki kesetaraan kesempatan dalam mendapat pekerjaan bagi para penyandang disabilitas memiliki arti keharusan bagi semua orang untuk memperlakukan tenaga kerja

Proses awal pemberdayaan yang dilakukan oleh Yayasan Lumintu kepada penyandang disabilitas yakni mulai dari perekrutan pelatihan, pelaksanaan pelatihan, hingga

Peran pemerintah dalam usaha memajukan pendidikan bagi para penyandang disabilitas yaitu dinas-dinas atau balai-balai yang menaungi sebuah tempat untuk para penyandang

Matrik Wawancara Implementasi Penyediaan Aksesibilitas Fisik Jalan Umum Bagi Penyandang Disabilitas di Jalan Kolonel H.. Burlian Kota

Efektivitas program kegiatan pelatihan kewiraushaan bagi penyandang disabilitas sebuah program pemerintah yang di lakukan oleh Dinas Sosial Kota Samarinda dengan cara