BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Efektivitas Hukum
A.1 Pengertian Efektivitas
Membahas mengenai efektivitas, kebijakan dengan keberhasilan suatu kebijakan sangat erta kaitannya dengan efektivitas. Efektivitas adalah elemen pokok dalam setiap organisasi maupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang ingi di capai. Jika kebijakan yang telah di capai atau di tentukan telah berjalan sesuai dengan harapan maka hal tersebut dapat di katakana efektifif karena dapat mencapai sebuah tujuan atau sasaran yang telah di tentukan sebelumnya.18
Menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas mengandung arti
“keefektifa-an” pengaruh atau efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban.19 Dapat di simpulkan bahwa efektivitas merupakan suatu tujuan yanhg dimana sasarannya telah tercapai dengan penentuan atau di tentukan suatu kebijakan tersebut sebelum proses kegiatan dari kebijakan itu di lakukan.20 Sementara menurut Supriyono menyatakan efektivitas adalah hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran semakin besar
18 BAPPEDA Kota Yogyakarta, 2016, “Efektivitas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 dalam Mewujudkan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Yogyakarta”, hal 134
19 Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
85
20 Muhammad Ali, 1997, Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung, Angkasa, hlm 89
kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut.21
Effendy menjelaskan bahwa efektivitas merupakan
“Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan apa yang direncanakan dan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu dan jumlah personil yang ditentukan”. Dari pengertian diatas bahwa efektivitas adalah keberhasilan tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yang dimana tingkat pengukuran keberhasilannya di lihat dari bagaimana suatu target sasaran telah tercapai yang sebelumnnya telah di sepakati bersama.22 Richard M Steers mengemukakan efektivitas adalah jangkauan usaha tertentu suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa mencari tekanan yang wajar terhadap pelaksanaannya. 23 Pendapat lain juga dikemukakan oleh Agung Kurniawan bahwa efektivitas merupakan kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaanya.24
21 Supriyono, 2000, Sistem Pengendalian Manajemen, Edisis Pertama, Yogyakarta, BPFE, hlm. 29
22 Onong Uchjana Effendy, 1989. Kamus Komunikasi, Bandung, PT. Mandar Maju, hlm. 14
23 Richard M Steers, 1985, Efektivitas Organisasai Perusahaan, Jakarta, Erlangga, hlm 87
24 Agung Kurniawan, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta, Pembaharuan, hlm. 109
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa suatu kegaitan yang telah di kehendaki bersama guna untuk meciptakan suatu sasaran atau tujuan yang di inginkan sehingga dapat di katakana efektif namun apabila sebaliknya kegiatan yang telah di kehendaki bersama tersebut tidak mencapai sasaran atau tujuannya maka dapat di katakana tidak efektif. Hal itu menjadi tolak ukur bagaimana untuk menentukan bahwa suatu kebijakan tersebut telah efektif atau tidak efektifnya ujuan atau sasaran yang digariskan secara selaras.
A.2 Efektivitas Hukum
Efektivitas Hukum adalah apa yang tertuang dalam sebuah aturan di ikuti atau di patuhi pelaksanaannya . Dapat juga di akibatkan dari aturan yang sifatnya memaksa sehingga masyarakat mematuhi aturan tersebut. Hukum atau aturan yang di buat merupakan kewenangan dari pihak yang berwenang sehingg seringkali di temukan sebuah aturan yang di hasilkan tidak mengandung elemen nilai – nilai kehidupan di masyarakat. Apabila demikian, maka tidak berjalannya sebuah aturan secara efektif, tidak bisa dijalankan, atau pada kasus tertentu tertentu terbit orang – orang yang mengkritisi aturan tersebut atau bisa di katakana sebagai pembangkang sipil.25
25 Septi Wahyu Sandiyoga, 2015, “Efektivitas Peraturan Walikota Makassar Nomor 64 Tahun 2011 tentang Kawasan Bebas Parkir di Lima Ruas Bahu Jalan Kota Makassar”, Skripsi Universitas Hasanuddin Makassar, hlm. 11
Persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa efektivitas hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut:26
a) Usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi, mengakui, dan menaati hukum.
b) Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang hukum karena takut pada petugas atau polisi, menaati suatu hukum hanya karena takut terhadap sesama teman, menaati hukum karena cocok dengan nilai-nilai yang dianutnya.
c) Jangka waktu penanaman hukum yaitu panjang atau pendek jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.
26 Soerjono Soekanto, 1985, Beberapa Aspek Sosial Yuridis Masyarakat, Bandung, Alumni, hlm.
45
Menurut Achmad Ali, kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan, adalah 3 unsur yang saling berhubungan. Seiring orang mencampuradukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu sangat erat hubungannya, namun tidak persis sama. Kedua unsur itu sangat menentukan atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan dalam masyarakat.27
Dalam bukunya Achmad Ali yang dikutip oleh Marcus Priyo Guntarto yang mengemukakan, faktor-faktor dalam mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum yaitu:28
a) Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.
b) Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.
c) Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d) Jika hukum yang dimaksud merupakan perundang- undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab
27 Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia. Hlm 191
28 Marcus Priyo Gunarto, 2011, Kriminalisasai dan Penalisasi dalam Rangka Fungsionalisasi Perda dan Retribusi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, hlm 71, dikutip Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbaini, hlm 308
hukum yang bersifat melarang lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan.
e) Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.
f) Berat ringannya sanksi yang diancam aturan hukum itu harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g) Kemungkinan bagi penegak hukum yang memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).
h) Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target berlakunya aturan tersebut.
i) Efektif atu tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidak aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum tersebut.
j) Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat
B. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum.
Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.29
Tindakan kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari, dan barang siapa yang melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu
29 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, 2009. Hlm 70
sanksi. Sementara penjahat merupakan pelaku pelanggar Hukum pidana tersebut dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut .30
Menurut Simon sebagaimana dikutip oleh Lamintang bahwa :
“Pelaku suatu tindak pidana adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga.”31
Pelaku Tindak Pidana adalah orang atau beberapa orang yang melakukan tindak pidana.32
Pelaku tindak pidana dalam hal ini telah disebutkan siapa yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, yaitu:
Ayat (1) ke.1. Mereka yang melakukan, menyuruh dan yang turut serta melakukan perbuatan. ke.2. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan
Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sejalan yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu
30 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, 2009, hlm 14
31 Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, 1997, hlm 594
32 Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum: Dictionary Of Law Complete Edition, 2009, hlm 493
tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga.33
Tindak pidana merupakan pengertian cikal bakal dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, sangat berbeda dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan segala tingkah laku yang melanggar sebuah aturan yang mengandung unsur pidana. Maka dari itu setiap perbuatan yang dilarang yang hasilnya telah di rumuskan oleh pihak yang berwenang sehingga menjadi suatu aturan yang dimana aturan tersebut mengandung norma – norma berkehidupan yang tidak boleh di langgar sebaiknya dan wajib untuk di hindari dan apabila barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan sanksi pidana. Maka segalau sesuatu yang berkaitan dengan bagaimana berkehidupan di lingkungan masyarakat ada larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dan wajib ditaati yang tercantum di dalam undang - undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.34
Pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu:35
33 Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Undip.1984, hlm: 37
34 P.A.F. Lamintang ,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.
1996. hlm. 7.
35 Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm 186
1. Pidana itu padahakikatnya merupakan suatu pengenaan dan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa penjatuhan pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa yang diberikan kepada orang yang melanggar suatu perbuatan yang dilarang dan dirumuskan oleh Undang-undang.
C. Pengertian Tindak Pidana Penebangan Hutan secara Illegal
Penebangan Hutan secara Illegal di dalam konsep Bahasa Inggris di sebut juga dengan Illegal logging. Illegal Logging dalam peraturan Perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas . Namun, secara terminologi illegal logging dapat di gambarkan dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, sesautu yang bertentangan sebuah aturan, dan log adalah kayu gelondongan, logging artinya segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan menebang kayu yang ada di hutan lalu membawa ke tempat pengolahan atau tempat gergajian.
Illegal Logging adalah segala serangkaian kegiatan menebangan kayu yang ada di kawasan hutan yang di manfaatkan lalu membawa hasil kayu yang telah di tebang tersebut ke tempat pengolahan yang dimana kayu itu akan di olah untuk menjadi suatu hal yang bermanfaat dan setelah di olah akan di lakukan pengiriman ke luar daerah ataupun ke luar negeri namun kegiatan ini tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga melanggar aturan yang berlaku dan di anggap menjadi suatu kegiatan yang dapat merusak kawasan hutan karena tidak mempunyai izin.36
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengartikan illegal logging adalah setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain, berdasarkan Pasal 78 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999. Setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nommor 41 Tahun 1999 merupakan tindak pidana dibidang kehutanan atau dikenal dengan istilah illegal logging.
Penebangan hutan secara illegal atau Illegal logging segala serangkaian kegiatan menebangan kayu yang ada di kawasan hutan yang di manfaatkan lalu membawa hasil kayu yang telah di tebang tersebut ke tempat pengolahan yang dimana kayu itu akan di olah untuk menjadi suatu
36 IGM Nurdjana, Teguh Prasetyo dan Sukardi, Korupsi & Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, 2005, hlm 15
hal yang bermanfaat dan setelah di olah akan di lakukan pengiriman ke luar daerah ataupun ke luar negeri namun kegiatan ini tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga melanggar aturan yang berlaku dan di anggap menjadi suatu kegiatan yang dapat merusak kawasan hutan karena tidak mempunyai izin. Inti yang dalam praktek penebangan hutan secara illegal ini adalah bagaimana segala kegiatan tersebut di anggap akan merusak hutan yang nantinya akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan dampak yang sangat logis terjadi karena fungsi hutan itu sendiri adalah bagaiman menjaga ekosistem yang terkandung di dalamnya atau yang berada di kawasan hutan tersebut konsekuensi logis dari fungsi hutan dan dari ketiga fungsi hutan dala kehidupan yaitu Fungsi sosial, fungsi lingkungan dan fungsi produki dari ketiga fungsi itu yang berdampak sangat besar adalah fungsi produksi yang dimana memanfaatkan sumber daya hutan secara berlebihan.37
Dampak kerusakan lingkungan yang di akibatkan penebangan hutan secara illegal (illegal logging) ini bagi lingkungan dan hutan adalah bagaiman dapat menimbulkan suatu bencana alam, kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka. Prinsip pelestarian hutan sebagaimana di rumuskan oleh tiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan berjalan secara linear antara satu dengan
37 Mega Dinda Larasati, Berbagai macam dan jenis Hutan, dalam www.foresteract.com , di akses pada tanggal 25 juli 2019
yang lainnya. Oleh karena itu,pemanfaatan hasil sumber daya alam haruslah di barengi dengan upaya reboisasi agar dampak dari apa yang telah di perbuat untuk memanfaatkan secara massif dapat tertutupi dengan menanam kembali apa yang telah di manfaatkan hal ini nantinya juga akan di rasakan pada generasi mendatang.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi aktifitas Penebangan secara illegal antara lain dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia dan mengularkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan.
Upaya tersebut merupakan upaya yang di dasarkan setelah melihat bagaimana pemanfaatan hutan secara berlebihan tanpa melakukan upaya untuk menanam kembali sehingga apabila ini di biarkan akan berdampak kepada kerusakan lingkungan yang berlebih maka dari itu dengan ini di harapkan agar kelangsungan ekosistem hutan itu sendiri pun dapat terselamatkan.
Tindak pidana illegal logging adalah masalah yang kompleks dan masalah yang sangat besar apabila terus di biarkan tanpa adanya suatu aturan yang secara tegas bahwa kegiatan tersebut telah di laran sehingga hal ini menjadi perhatian khusus bagi pembangunan berkelanjutan hutan dan juga memahami arti penting dari hutan itu sendiri untuk seluruh makhluk serta tidak terkecuali satu makhluk hidup pun maka sudah
seharusnya sebelum semua ini terlambat kita harus terus mengupayakan pelestarian hutan kembali serta melindungi ekosistem yang ada di dalam kawasan hutan tersebut demi kepentingan bersama agar manfaat hutan itu sendiri masih dapat kita rasakan hingga anak cucu kita nantinya dan bagaimana mencegah para pelaku yang hanya mengambil keuntungan untuk pribadi mereka saja.
D. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu aturan yang berkembang di masyarakat yang dimana di harapkan agar menjadi sebuah konsep hukum yang nyata sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat . Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.38 Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah- kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum secara konkret adalah hukum positif yang berlaku di masyarakat yang dimana dalam praktikanya di harapkan dapat di patuhi secara baik oleh masyarakat itu sendiri.
38 Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 32
Penegakan Hukum di bedakan menjadi 2 (dua), yaitu :39 1) Di tinjau dari sudut subyeknya
Dalam arti luas, proses dalam setiap hubungan hukum yang dimana dalam penegakannya dapat melibatkan seluruh subyek hukum. Siapa saja yang subyek hukum yang mengikuti aturan hukum atau tidak mengikuti aturan hukum di dasari pada aturan yang berlaku , maka subyek hukum tersebut telah menegakkan dan menjalan apa yang telah di atur dalam. Dalam arti sempit, yang dimana bagaiman para pihak berwenang atau aparat hukum telah memastikan bahwasannya aturan hukum atau norma hukum telah di jalankan atau tidak oleh masyarakat.
2) Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya
Dalam arti luas, aturan hukum yang mencakup nilai – nilai hukum adat yang ada di dalam masyarakat yang terdapat unsur keadilannya yang selaras dengan aturan hukum nasional yang berlaku. Dalam arti sempit,penegakan hukum hanya memuat aturan – aturan yang tertulis saja sehingga hukum atau aturan – aturan yang tidak tertulis seperti dapat di temukan di hukum adat maka tidak termasuk di dalam penegakan hukum formil itu sendiri.
39 Ibid hlm 34
Faktor yang mempengaruhi suatu Penegakan Hukum menurut Soerjono Soekanto :40
1) Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
2) Faktor Penegakan Hukum
Fungsi hukum, bagaiman para penegakan hukum atau aparatur yang berwenang atas hukum harus mempunyai
40 Soerjono Soekanto. 2004,Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada hal 42
kepribadian yang baik karena mereka nanti yang mempunyai andil besar dalam tegaknya suatu hukum atau aturan. Oleh karena itu, salah satu tolak ukur keberhasilan dari berjalannya penegakan hukum adalah bagaiman kepribadiam yang baik dari para penegak atau aparatur hukum.
3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Penagak hukum terutama Polisi pada era ini lebih kepada hal yang bersifat umum saja sehingga seringkali dalam menangani suatu kasus Polisi akan kesulitas dalam mencapai tujuannya yaitu menindak atau menyelesaikan kasus tersebut secara cepat. Contoh kasus yang seringkali dalam penanganannya masih di rasa cukup sulit yaitu kejahatan yang menggunakan media computer sehingga melimpahkan kepada pihak kejaksaan karean di rasa belum maksimal atau mampu dalam menangani kasus yang demikian. Meskipun disadari bersama bahwa pula tugas yang harus diemban oleh polisi begitu masif.
4) Faktor Masyarakat
Aparatur Hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.
Masing dari kita atau masyarakat tentunya mempunyai tingkatan kesadaran hukumnya meskipun ada yang tinggi dan rendah kesadaran hukum lalu timbul persoalan bagaimana masayarkat dalam berkehidupan sosial apakah dapat memaknai sebuah aturan itu untuk tercapainya suatu kedamaian apakah tidak sehingga langkah atau keputusan masyarakat dalam mematuhi sebuah aturan dapat berdampak luas terlebih mengenai kedamaian yang ada di dalam kelompok masyarakat itu sendiri.
5) Faktor Kebudayaan
Salah satu faktor yang menjadi corong utama dalam tegaknya sebuah aturan hukum. Hal ini dapat di buktikan dengan hukum adat yang berlaku atau kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu sehingga tentunya di masing – masing kelompok masyarakat dapat membedakan atau dapat melakukan apa yang seharusnya tidak boleh di lakukan dana pa yang seharusnya di lakukan semua itu tergantung bagaimana kebiasaan yang sudah terbentuk sejak dahulu apakah baik atau buruk.
E. Pengaturan Penebangan Hutan secara Illegal dalam Peraturan Perundang – undangan di Indonesia
E.1 Peraturan Mengenai Penebangan Hutan secara Illegal di Indonesia
a) Pengaturan Pidana di Bidang Kehutanan
Bermula pada sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai hingga dengan sekarang bahwa pemerintah Indonesia melalui persetujuan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat telah berhasil memutuskan yang dimana peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelanggaran dalam bidang Kehutanan.
Pada saat berlakunya Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan.
Adapun yang menjadi dasar ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Kehutanan di Indonesia ini berpangkal dari pemaknaan yang terkandung dalam nilai Pancasila serta Undang – undang Dasar 1945 pada Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi :
“Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”
Berdasarkan bunyi pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar atau UUD 1945, lalu di tetapkanlah berbagai sumber peraturan perundang – undangan yang di jadikan dasar sebagai peraturan perundang – udangan mengenai kejahatan yang terjadi di Bidang Kehutanan dan di uraikan sebagai berikut :
1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
UU No. 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. Hal- hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan, yaitu gugatan yang diaukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat, penyelesaian sengketa kehutanan, ketentuan pidana, gantu rugi dan sanksi administratif.
2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pada dasarnya kejahatan Penebangan secara Illegal , secara garis besar erat kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang ada di Kitab Undang – undang Hukum Pidana, maka dapat di bagi dalam beberapa bentuk pengelompokkan yaitu:
1) Pengrusakan
Pengrusakan yang di maksudkan disini adalah yang sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 406 sampai dengan pasal 412 Kitab Undang – undang Hukum Pidana hanya mengatur tentang pengrusakan barang yang mempunyai arti barang-barang biasa yang dimiliki orang. Barang tersebut di maksudkan adalah barang yang memiliki fungsi sosial tinggi atau bersifat umum.
Lalu pengerusakan di sini yang berkaitan dengan Hutan adalah bagaiman mengenai system pengelolaanb hutan yang harus selarang dengan fungsi pengawasan dan pengendalian sehingga dapat menjamin kelestarian ekosistem kawasan hutan.
2) Pencurian
Pencurian menurut pemaknaan yang terdapat pada Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki unsur – unsur yaitu sebagai berikut:
a) Perbuatan mengambil yang di maksudkan untuk menguasai
b) Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa hasil sumber daya alam berupa kayu yang dimiliki tanpa mempunyai izin mengambil c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang
dimana dalam hal ini kawasan hutan merupakan tanah yang dimiliki oleh hukum adat dan dalam pengawasan oleh pemerintah atau negara.
d) Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Yang di maksudkan disini adalah bagaimana melakukan dengan sengaja kegiatan yang bertujuan untuk
mengambil sumber daya alam berupa kayu untuk di manfaatkan atau di perjual belikan..
3) Pemalsuan
Dalam kegiatan Illegal Logging, salah satu cara atau modus operandi yang di gunakan oleh para pelaku dalam melakukan aksinya yaitu dengan cara mengambil celah dalam proses pembuatan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan atau SKSHH.
Hukuman yang berikan kepada pelaku pemalsuan ini sesuai yang tertuang dalam pasal 263 Kitab Undang – undang Hukum Pidana adalah dengan ancaman selama 8 ( delapan ) tahun penjara serta bagaimana yang tertuang dalam pasal 266 yaitu paling lama 7 ( tujuh ) tahun penjara.
4) Penggelapan
Penggelapan tertuang dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana terdapat dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Pemaknaan dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan mempunyai arti mengambil suatu barang sebagian atau sepenuhnya yang pada kenyataannya bukan milik pribadi atau dapat di katakana di miliki oleh orang lain serta untuk mendapatkan dengan cara melawan hak dari yang
mempunyai asal usul dari barang sebagian atau sepenuhnya tersebut. Di dalam kasus penebangan hutan secara illegal ini para pelaku mengambil celah dengan cara mengambil atau melakukan kegiatan penebangan di luar dari daerah yang telah mereka kantongi izinnya dalam melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam berupa kayu ini. Maka dari itu hukuman yang dapat di berikan adalah sesuai yang tertuang dalam Pasal 372 Kitab Undang – undang Hukum Pidana adalah paling lama 4 (empat tahun).
5) Penadahan
Di dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana yang di maksud dengan penadahan, adalah merupakan perbuatan yang tergolong dalam persengkokolan atau berencana bersama – sama dengan maksud dan tujuan kepada atau mengarah kepada perbuatan jahat.
Penebangan hutan secara illegal dalam kasusnya memakai atau menggunakan dasar hukum ketentuan perundangan – undangan pada Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di dalamnya terkandung pemaknaan yang dimana apa yang di anggap suatu perbuatan yang mendapatkan hukuman pidana seperti yang tertuang juga dalam pasal yang menjadi dasar dalam tindak pidananya berpedoman pada Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Isi Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:
1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;
2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatn jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku maka arti dari setiap orang disini adalah setiap individu atau badan hukum. Sementara perbuatan yang tidak selaras dengan ketentuan perundang – undangan atau yang bertentangan dengan hukum maka di sebut dengan perbuatan yang di lakukan dengan sengaja dan tanpa hak serta dapat di berikan ancaman hukum pula.
Dari penjelasan mengenai Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dimana dapat di jadikan sebagai dasar hukum untuk menegakkan kasus mengenai penebangan hutan secara illegal sehingga dari penjelsan itu dapat di ketahui beberapa unsur – unsur yang terkandung dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut :
1. Melakukan kegiatan pengeresukan hutan yang dimana dalam kegiatan tersebut telah keluar dari izin memanfaatkan wilayah yang telah di berikan izin untuk di manfaatkan.
2. Melakukan kegiatan pemanfaatan yang dimana pada kegiatannya melewati batas – batas kawasan hutan sehingga dapat merusak kawasan sungai, pantai sesuai dengan Undang – undang yang berlaku.
3. Dalam kegiatan memanfaatkan sumber daya alam berupa kayu ini pada kegiatannya tidak mempunyai izin untuk melakukan kegiatan penebangan di sekitar kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pemanfaatan.
4. Dalam kegiatan proses setelah di lakukannya kegiatan penebangan hutan ini apabila dalam proses selanjutnya melakukan upaya pengadahan meliputi seperti membeli, menerima , menyimpan, membawakan atau memiliki hasil sumber daya alam berupa kayu yang dimana itu di ketahui adalah proses yang illegal maka dapat di katakana melanggar ketentuan perundang – undangan yang berlaku;
5. Apabila dalam kegiatan penebangan hutan ini tidak Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) maka tidak sah hasil hutan yang dimiliki.
6. Tidak mendapatkan atau memperoleh izin atau tanpa sepengetahuan membawa alat berat yang di jadikan untuk melakukan kegiatan penebangan hutan.
Sedangkan untuk pengaturan mengenai Penebangan Hutan secara Legal telah di atur dalam Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pasal 24 yang berbunyi :
“Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.”
Yang berarti bahwa Penebangan Hutan boleh saja di lakukan di zona – zona tertentu yang telah di tentukan oleh Pemerintah dan untuk yang melakukan penebangan tersebut harus mempunyai izin terlebih dahulu sehinggan tidak sembarangan dalam memanfaatkan sember daya alam.
F. Sanksi Hukum
Sanksi hukum merupakan hukuman yang diberikan pada seseorang yang melakukan pelanggaran hukum. Ini adalah bentuk perwujudan yang jelas dari kekuasaan negara dalam menjalankan kewajibannya dalam memaksakan ditaatinya suatu hukum.
Di dalam pelanggaran suatu peraturan hukum umumnya yang bertindak terhadap pelanggaran yakni pemerintah. Dengan perantaraan alat-alat paksanya pemerintah bisa memaksa setiap orang berkelakuan menurut kaidah-kaidah tata tertib masyarakat, utamanya tata tertib dalam hukum di masyarakat. Di dalam pelanggaran hukum umumnya yang mendapat kerugian (oleh pelanggar itu) pertolongan oleh pemerintah.
Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:
1. Sanksi Pidana 2. Sanksi Perdata 3. Sanksi Administrasi F.1 Sanksi Pidana
Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.41
Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat- syarat tertentu , sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.42
Sehingga dapat di tarik kesimpulan sanksi pidana mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :
41 Tri Andrisman, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Unila, 2009, hlm.8
42 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 81
1. Pidana itu pada dasarnya adalah suatu penderitaan yang di berikan kepada subyek hukum karena telah melanggar suatu ketentuan hukum yang mengandung unsur hukum pidana.
2. Dalam proses penjatuhan dan memberikan sanksinya maka melibatkan dua lembaga yang berwenang yaitu Kepolisian dan Pengadilan.
3. Subyek hukum dapat di berikan penderitaan apabila subyek hukum tersebut melanggar sebuah ketentuan perundang – undangan.
4. Negara dalam menunjang proses berkehidupan yang sejahterta di antara kelompok masyarkat atau guna dalam pembangunan berkelanjutan maka membuat suatu aturan – aturan hukum yang dimana dengan melaui aturan hukum tersebut yang di jadikan dasar negara apakah seseorang atau sekelompok melakukan perbuatan tercela atau tidak melakukan di lingkup negara tersebut.43
Dari ciri – ciri yang telah di jabarkan di atas makan dapat di tarik kesimpulan bahwa sanksi pidana adalah suatu penderitaan yang di berikan kepada subyek hukum yang telah melanggar suatu ketentuan aturan hukum lalu di proses oleh pihak berwenang seperti Kepolisian dan Pengadilan sehingga dapat di nyatakan bersalah atau tidak dalam perbuatanna serta
43 Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary 8th, (US Gov, 2004), hlm 2345
dalam menjatuhkan sanksi berat atau tidaknya sesuai dengan ketentuan undang – undang yang berlaku.
Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.44 Dalam perspektif Richard D. Schwartz Dan Jerome H. Skonlick di berikannya sanksi pidana dengan maksud dan tujuan sebagai berikut:45
a) Memberikan efek jera kepada pelaku sehingga tidak ingin melakukan pengulangan tindak pidana,
b) Memberikan kesadaran kepada masyarakat atau orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama seperti halnya yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana.
c) Dalam situasi korban dari pelaku yang telah di rampas haknya maka tentunya korban mempunyai rasa ingin balas dendam sehingga dalam pelaksanaannya sanksi yang berikan adalah
44 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, ,Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007. hlm. 84.
45 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori kebijakan Pidana. Alumni Bandung. Bandung.1992 . Hlm. 20
sebagai upaya balas dendam korban melaui ketentuan undang – undang yang berlaku.
Seorang filosof Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat. Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah- tengah masyarakat dan melakukan hubungan dengan manusia yang lain.
Hubungan antara seseorang dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung.Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan.46
Pada dasarnya sifat manusia adalah tentang bersosial satu sama lainnya tidak terlepas dari mana asalnya sehingga tentu di dalam berkehidupan hidup saling keterkaitan tidakk bisa di hindarkan maka dari itu tentu akan muncul persolan – persolanya yang kecil atau besar di kalangan kelompok masyarakat lalu apabilla hal seperti di biarkan saja tanpa adanya suatu aturan yang mengikat perihal tersebut maka tentunya akan menganggu kestabilan suatu negara atau tatanan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Dari hal tadi maka di ciptakan suatu aturan yang dimana dapat menentukan apa yang telah di sepakati dalam masyarakat itu di setujui sebagai perilaku yang benar atau di setujui sebagai perilaku yang tidak di bernarkan sehingga dapat di jadikan dasar untuk melakukan tertib
46 R. Soeroso, ,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hlm. 40
sosial atau bahkan tertib hukum yang bertujuan untuk memberikan kedamaian pada masyarakat itu sendiri.47
F.1.1 Jenis – jenis Sanksi Pidana
Sumber hukum pidana di Indonesia merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk aturan umum dan peraturan perundangundangan khusus lainnya di luar KUHP.Sebagai induk aturan umum, KUHP mengikat peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Namun, dalam hal-hal tertentu peraturan perundang-undangan khusus tersebut dapat mengatur sendiri atau berbeda dari induk aturan umum, Bentuk hukuman Pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu : F.1.1.1 Pidana Pokok
Pidana pokok adalah pidana yang di jatuhkan kepada subyek hukum apabila dalam perbuatannya melanggar aturan hukum secara sah dan terbukti menurut ketentuan peradilan sehingga dapat di beri atau di jatuhkan sesuai dengan sanksi yang bertkaitan dengan perbuatannya pada saat melanggar suatu.
1. Pidana Mati
Sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 11 KUHP yaitu : “pidana mati dijalankan oleh
47 Ibid.
algojo di tempat gantunngan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
2. Pidana Penjara
Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Dalam praktikanya pidana penjara tidak selalu di mungkinkan untuk di laksanakan upaya pidana penjara namun dapat juga di lakukan dengan cara di luar dari itu seperti pengasingan, Dalam proses pidana penjara untuk maksimal jangka waktu yang di dapatkan terdapat banyak macamnya sehingga mulai dari yang 1 (satu) hari saja atau bahkan ada yang sampai dengan seumur hidup Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari sampai penjara seumur hidup.48Begitupun dengan yang diungkapkan oleh Roeslan Saleh yang berpendapat bahwa “Pidana penjara adalah pidana utama dari pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat
48 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Alfabeta, 2010, hlm. 91.
dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu”..
3. Kurungan
Dalam pengertiaanya pidana kurungan dengan pidana penjara tidak ada perbedaan yang signifikan yaitu sama – sama di rampas kemerdekaannya namun dari kedua itu antara kuruangan dan penjara adalah bagaiman kurungan di rampas kemerdekaannya dan di lakukan sebuah lembaga pemasyarakat agari di bina ddengan tujuan nantinya mempunyai fungsi sosial setelah masa kurungan berakhir.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan
atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
4. Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Menurut P.A.F. Lamintang bahwa:
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran.Pidana denda ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersamasama.49
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.
Sebagai mana telah dinyatakan oleh Van Hattum bahwa:
49 P.A.F. Lamintang, op.cit, hlm. 69.
Hal mana disebabkan karena pembentuk undang-undang telah menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku-pelaku dari tindak- tindak pidana yang sifatnya ringan saja. Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.50
F.1.1.2 Pidana Tambahan
Pidana tambahan merupakan jenis pidana yang tidak diharuskan dijathkan pada sipelaku, pidana tambahan umumnya dijatuhkan manakala dalam keadaankeadaan tertentu saja. Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu.Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus. Menurut Hermin Hadiati Koeswati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah:51
50 Tolib Setiady, op.cit, hlm. 104
51 Hermin Hadiati, Asas-asas Hukum Pidana. Ujung Pandang : Lembaga Percetakan dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia, 1995, hlm. 45.
1) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satusatunya.
2) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3) Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberap perbuatan pidana tertentu.
4) Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
Sanksi pidana tentunya di berikan kepada subyek yang melanggar suatu aturan hukum yang berlaku di maksudkan agar memberikan efek jera yang berlebih kepada subyek hukum yang melukan perbuatan melanggar hukum tersebut dan bagaimana memberikan gambaran kepada masyarakat agar tidak melakukan hal sama seperti yang telah di lakukan subyek hukum yang melakukan pelanggaran hukum tersebut dan bagaimana untuk pribadi
subyek hukum yang melanggar tersebebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi sehingga tidak ingin melakukan perbuatan yang sama.
F. 2. Sanksi Perdata
Pada dasarnya Hukum perdata mengatur hubungan antara masyarakat yang dimana meliputi urusan yang lebih bersifat privasi atau pribadi penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Untuk sanksi yang berikan sendiri adalah bagaimana untuk memenuhi suatu kewajiban atau prestasi atau yang dimana dalam praktiknya keaadan hukum tersebut tidak terpenuhi. Bentuk putusan yang dijatuhkan hakim dapat berupa:
1. Putusan Constitutif yakni putusan yang berikan oleh Hakim dalam memutuskan untuk mengahapus kondisi atau keaadan hukum yang lama sehingga dapat menimbulkan keadaan atau kondisi hukum yang baru; contih kasusnya seperti masalah perkawinan yang berakhir dengan perceraian.
2. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang di berikan oleh Hakim kepada pihak yang tidak melakukan pemenuhan haknya untuk menjalankan kewajiban dari yang telah di sepakati bersama anatar kedua belah pihak; contoh kasusnya
adalah bagaimana putusan hakima yang mengharuskan seseorang untuk tetap melaksanakan kewajibannya tersebut dengan cara membayar ganti rugi.
3. Putusan Declaratoir yakni putusan yang berikan oleh Hakim bahwa suatu kepemilikan barang atau suatu keadaan yang menyatakan bahwa kepemilikan tersebut sah secara hukum dan tidak bisa di pertentangkan lagi, contohnya adalah putusan sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.52
F. 3 . Sanksi Administrasi
Pada h, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut dinamakan hukum administrasi negara. Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi
52 Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa, Visimedia Pustaka, Jakarta, Hlm 194
atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara.”
Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).53
Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:
1. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom;
2. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif;
3. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan.54
Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi
53 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 315.
54 Ibid, hlm 319
administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula.
Di samping itu perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses pengadilan.55
55 Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 247