BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan desain
deskriptif korelasi yaitu untuk menganalisis bagaimana suatu variabel
mempengaruhi variabel lain. Penelitian ini untuk memberikan bukti dan
menganalisis gaya komunikasi dan kepemimpinan sebagai variabel independen
terhadap budaya kerja sebagai variabel dependen pada unit pelayanan
keperawatan di rumah sakit (Umar, 2008).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua Rumah sakit swasta yang berada di kota
Medan yaitu Rumah Sakit Bunda Thamrin Medan dan Rumah Sakit Bina Kasih
Medan. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan belum pernah dilakukan
penelitian sejenis ini mengenai pengaruh gaya komunikasi dan kepemimpinan
kepala ruangan terhadap budaya kerja unit pelayanan keperawatan di rumah sakit
swasta di kota medan dan ditemukannya masalah gaya komunikasi kepala
ruangan sering marah, kepala ruangan tidak boleh di kritik, kepemimpinan kepala
ruangan belum maksimal dan budaya kerja layanan keperawatan dalam
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan November
tahun 2016, pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan
September 2016.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana yang
bekerja di Rumah Sakit Bunda Thamrin Medan sebayak 181 orang dan Rumah
Sakit Bina Kasih Medan sebanyak 167 orang, jadi total keseluruhan populasi
adalah 348 orang.
3.3.2. Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
rumus Power Analysis dan Effect Size (Polit & Back, 2012), sebagai berikut:
d = µ1 - µ2
ó
Keterangan : d = Efek perkiraan pengukuran
µ1 = (tanpa pengaruh)
µ2 = (memiliki pengaruh)
ó = Standart deviasi
d = µ1 - µ2
ó
d = 5.65 – 5.50
73
d = 0.15
.50
d = 0.30
Dari tabel yang di dapat maka dapat ditentukan sampelnya adalah 176
orang yang mau diteliti diantara ke dua rumah sakit tersebut.
Berdasarkan perhitungan rumus tersebut, maka didapat sampel sebanyak
176 orang, perawat yang bekerja di Rumah Sakit Bunda Thamrin Medan dan
Rumah Sakit Bina Kasih tahun 2016. Penentuan sampel ditentukan oleh peneliti
dengan mengambil sampel 90 responden dari Rumah Sakit Bunda Thamrin dan
86 responden dari Rumah Sakit Bina Kasih, Cara dalam memilih sampel adalah
dengan metode Purposive sampling yaitu dimana peneliti sengaja memutuskan
untuk memilih orang-orang yang dinilai menjadi khas dari populasi atau sangat
berpengetahuan tentang masalah yang akan diteliti (Polit & Back, 2012). Kriteria
inklusi penelitian ini adalah sampel yang akan mewakili untuk populasi pertama:
1) pengalaman kerja minimal ≥ 1 tahun, 2) memiliki jabatan perawat pelaksana, 3)
tidak sedang mengikuti tugas belajar/cuti dan kriteria eksklusi tidak dapat ditemui
Tabel 3.1
Jumlah Sampel Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Bunda Thamrin dan Rumah Sakit Bina Kasih Medan
No Unit Rawat Inap Populasi Perawat
n Perawat RSU. Bunda Thamrin
1. Lantai 7 Gedung Lama 29 29/348x176 15
2. Lantai 6 Gedung Lama 28 28/348x176 14
3. Lantai 5 Gedung Lama 29 29/348x176 15
4. Lantai 3 Gedung Lama 29 29/348x176 15
5. Lantai 5 Gedung Baru 28 28/348x176 14
6. Lantai 3 G.Lama R. Nifas 26 26/348x176 13 RSU. Bina Kasih
7. Lantai 2 Nuri 25 25/348x176 13
8. Lantai 4 Melati 24 24/348x176 12
9. Ruangan Mawar 26 26/348x176 13
10. Ruangan Sakura 24 24/348x176 12
11. Ruangan Cendrawasih 26 26/348x176 13
12. Ruangan Poli Umum 28 28/348x176 14
13. Ruangan Bayi 26 26/348x176 13
Jumlah Sampel Total 348 176
3.4 Metode Pengumpulan Data
Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu:
3.4.1.Tahap Persiapan
Tahap pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat surat ijin
penelitian yang diperoleh dari fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
75
Selanjutnya peneliti memperkenalkan diri kepada responden serta menjelaskan
tujuan penelitian dan prosedur-prosedur intervensi dan penandatangan informed
consent peneliti meminta kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam
penelitian dengan cara meminta responden menandatangani lembar persetujuan
menjadi responden yang telah disediakan.
3.4.2.Tahap Pelaksanaan
Setelah mendapat persetujuan dari rumah sakit maka peneliti bertemu dan
melakukan kontrak dengan perawat diruangan yang berperan menjadi responden
kemudian peneliti menjelaskan tentang tujuan penelitian, manfaat penelitian yang
dilakukan serta cara-cara bagaimana mengisi kuesioner. Peneliti menjelaskan
bahwa jumlah kuesioner ada 85 item pertanyaan dengan rincian pernyataan, untuk
gaya komunikasi ada 30 item pernyataan, untuk kepemimpinan kepala ruangan
ada 25 item pernyataan dan budaya kerja layanan keperawatan ada 30 item
pernyataan. Setelah mendapat persetujuan responden, responden diharapkan dapat
mengisi kuesioner secara obyektif sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Responden diberikan kesempatan untuk mengisinya selama satu minggu.
Kemudian seluruh instrumen penelitian dikumpulkan dan diperiksa jumlah dan
kelengkapannya. Seluruh instrumen telah kembali dan lengkap sebanyak 176
3.5 Uji Validasi dan Reabilitas 3.5.1 Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalitan atau
kesahihan suatu instrumen. Tujuan dari Content Validity Index (CVI) adalah untuk
menilai relevansi dari masing-masing item terhadap apa yang akan diukur oleh
peneliti. Para ahli diberikan pernyataan dan diminta pendapatnya tentang
kuesioner gaya komunikasi, kepemimpinan dan budaya kerja. Content Validity
Index (CVI) merupakan penilaian/beban maksimum melalui tenaga ahli dari tiap
keterkaitan item. Suatu prosedur yang dinilai tenaga ahli dengan item pada poin
skala 4 (dari 1 = tidak relevan sampai 4 = sangat relevan).
Content Validity Index (CVI) dari total instrumen menjadi proporsi materi
yang dinilai juga 3 atau 4. Skor Content Validity Index (CVI) 0,80 atau lebih baik
menandai adanya content validity yang baik (Polit & Back, 2012). Uji validitas
dilakukan pada 3 orang yang expert dibidang kepemimpinan keperawatan. Para
expert menganalisa dan menilai kuesioner penelitian tentang gaya komunikasi,
kepemimpinan kepala ruangan dan budaya kerja unit pelayanan keperawatan.
Hasil uji dari validitas diperoleh data bahwa nilai CVI untuk kuesioner gaya
komunikasi adalah 0,97, kepemimpinan kepala ruangan adalah 0,93 dan budaya
kerja unit pelayanan keperawatan adalah 0,95 lebih besar dari 0,80 artinya
kuesioner sudah valid.
77
Nilai CVI dalam studi ini adalah 0.80 atau lebih besar. Untuk mengukur
CVI instrumen gaya komunikasi, kepemimpinan kepala ruangan dan budaya kerja
unit pelayanan keperawatan peneliti memberikan kepada expert yang mampu
memahami konsep. Expert terdiri tiga orang lulusan S2 Administrasi
Keperawatan. Expert menerima kuesioner gaya komunikasi, kepemimpinan
kepala ruangan dan budaya kerja unit pelayanan keperawatan untuk dilakukan
penilaian. Penilaian masing-masing instrumen terdiri dari empat kategori:
kategori 1 (relevan untuk penelitian) dan kategori 2 (relevan untuk mengukur
konsep) terdiri dari: 1 = Item tidak relevan, 2= item perlu banyak revisi, 3= item
relevan tetapi perlu sedikit revisi, 4= item sudah relevan. Kategori 3 (pengulangan
item) tediri dari 1= ada pengulangan item, dan 2= tidak ada pengulangan item.
Kategori 4 (tentang kejelasan item) terdiri dari: 1= item tidak jelas dan 2 = item
jelas.Item dengan nilai 1 dan 2 akan dihapus, item dengan nilai 3 dan 4 akan
digunakan. Instrumen gaya komunikasi terdiri dari 30 item pernyataan, instrumen
kepemimpinan kepala ruangan terdiri daari 25 dan untuk budaya kerja unit
pelayanan keperawatan 30 pernyataan, sehingga total seluruh dari kuesioner
adalah 85 item kuesioner.
3.5.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan uji yang fokus pada konsistensi, akurasi,
keseksamaan, kestabilan, homogenitas dan dapat diulang dari suatu pengukuran
instrumen. Reliabilitas sebuah instrumen dapat dinilai dengan bervariasi dan
metode yang sesuai tergantung alamiahnya (Polit & Beck, 2012). Hasil CVI
instrumen yang sudah valid diuji coba (uji reliabel) untuk mengetahui apakah
Pengujian instrumen ini dilakukan di Rumah Sakit Mitra Sejati Medan
alasan pemilihan tempat tersebut adalah karena Rumah Sakit Mitra Sejati Medan
memiliki karakteristik yang sama dengan Rumah Sakit Bunda Thamrin dan
Rumah Sakit Bina Kasih. Secara garis besar kedua rumah sakit tersebut adalah
rumah sakit yang setipe dan berada di wilayah Kota Medan (Ridwan, 2006).
Berdasarkan hal tersebut peneliti menentukan jumlah sampel untuk uji coba
instrumen kepada 30 orang perawat, dengan menggunakan uji statistik cronbach
alpha gaya komunikasi 0.85, nilai cronbach alpha kepemimpinan kepala ruangan
0.79, dan nilai cronbach alpha budaya kerja unit pelayanan keperawatan 0.87,
dengan hasil tersebut seluruhnya nilai cronbach alpha adalah > 0,70 sehingga
dikatakan reliabil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Polit & Beck, (2012) suatu
variabel dikatakan reliabel jika memberi nilai cronbach alpha minimal 0,70 dan
di atas 0,80 adalah baik.
3.6 Variabel dan Definisi Operasional
Untuk menghindari salah pengertian dalam interprestasi variabel dalam
penelitian ini didefinisikan dengan jelas penggunaannya secara rinci serta
79
Tabel 3.1 Variabel dan Defenisi Operasional
No Variabel
bawahannya dengan
3. Budaya Kerja Kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang dilakukan oleh perawat rumah sakit Swasta di Kota Medan yang harus ditaati dalam rangka
3.7 Metode Pengukuran
Instrumen pengukuran data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
terstruktur yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan komponen variabel gaya
komunikasi, kepemimpinan kepala ruangan dan budaya kerja unit pelayanan
81
Berdasarkan tujuan penelitian, peneliti membuat karakteristik kuesioner
dengan tiga kelompok jenis kuesioner sebagai berikut:
1. Kuesioner Gaya Komunikasi
Kuesioner ini mengukur gaya komunikasi kepala ruangan berdasarkan
prilaku dalam mengeluarkan kata-kata yang terdiri dari subvariabel the
controlling style pernyataan satu sampai lima (1-5), the equalitarian style
pernyataan enam sampai sepuluh (6-10), the structuring style pernyataan sebelas
sampai lima belas (11-15), the dynamic style pernyataan enam belas sampai dua
puluh (16-20), the relinguishing style pernyataan dua puluh satu sampai dua puluh
lima (21-25), the withdrawal style pernyataan dua puluh enam sampai tiga puluh
(26-30). Terdiri dari 30 item pernyaanan, pernyataan positif 18 soal dan
pernyaanan negatif 12 soal yang dikembangkan berdasarkan konsep teori Tubbs
dan Sylvia Moss (2002).
2. Kuesioner Kepemimpinan Kepala Ruangan
Kuesioner ini mengukur kepemimpinan kepala ruangan berdasarkan
seperangkat tindakan pemimpin dalam mempengaruhi anggotanya dalam
mencapai tujuan organisasi yang terdiri dari subvariabel kepiawaian dalam
menggunakan posisi pernyataan satu sampai lima (1-5), kemampuan dalam
memecahkan masalah secara efektif pernyataan enam sampai sepuluh (6-10),
ketegasan sikap dan komitmen dalam mengambil keputusan pernyataan sebelas
sampai lima belas (11-15), mampu menjadi media dalam penyelesaian konflik
kinerja pernyataan enam belas sampai dua puluh (16-20), mempunyai
keterampilan dalam komunikasi dan avokasi pernyataan dua puluh satu sampai
Terdiri dari 25 item pernyaanan, pernyaanan positif 16 soal dan pernyataan
negatif 9 soal yang dikembangkan berdasarkan konsep teori Gillies (1994).
Penentuan skornya adalah indikator-indikator dari semua variabel dalam
penelitian ini yang dijabarkan dalam item-item pernyataan, kuesioner ini diukur
dengan menggunakan skala Likert dimana setiap pernyataan diberi range skor 1
sampai 4 dengan ketentuan sebagai berikut: untuk pernyataan positif: (4) sangat
setuju, (3) setuju, (2) tidak setuju, (1) sangat tidak setuju dan untuk penyataan
negatif: (4) sangat tidak setuju, (3) tidak setuju, (2) setuju, (1) sangat setuju
(Sugyono, 2000).
3. Kuesioner Budaya Kerja
Kuesioner ini mengukur kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang
yang dilakukan oleh perawat, yang dikembangkan berdasarkan konsep teori dari
Kernnerly et al (2015). Kuesioner berjumlah 30 (tiga puluh) pernyataan,
yang terdiri dari subvariabel antara lain adalah harapan pernyataan satu sampai
lima (1-5), kelakuan pernyataan enam sampai sepuluh (6-10), kerja tim
pernyataan sebelas sampai lima belas (11-15), komunikasi pernyataan enam belas
sampai dua puluh (16-20), kepuasan pernyataan dua puluh satu sampai dua puluh
lima (21-25) dan tanggung jawab pernyataan dua puluh enam sampai tiga puluh
(26-30). Terdiri dari 16 item pernyaanan positif dan 14 pernyataan negatif yang
dikembangkan berdasarkan konsep teori. Adapun penentuan skor kuesioner ini
diukur dengan menggunakan skala godman Ya dan Tidak dimana setiap
pernyataan diberi skor sebagai berikut: untuk pernyataan positif: (1) Ya, dan (0)
83
3.8 Metode Analisa Data 3.8.1 Analisis Univariat
Analisa data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perangkat
lunak paket statistik SPSS versi 18.0 untuk mengetahui pengaruh antara variabel
independent dan variabel dependent. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh
distribusi masing-masing variabel yang diteliti, sehingga kumpulan data tersebut
dapat disederhanakan dan diringkaskan menjadi informasi yang berguna. Dalam
analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase (Hastono,
2007). Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi yang
berkaitan dengan karakteristik respoden dan seluruh variabel gaya komunikasi,
kepemimpinan dan budaya kerja.
3.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini diggunakan untuk mengetahui apakah
ada pengaruh antara variabel independen (gaya komunikasi dan kepemimpinan)
dengan variabel independen (budaya kerja) dengan menggunakan statistik uji
Pearson Product Moment.
3.9 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari komisi etik
penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Dengan memperhatikan aspek-aspek etika penelitian yang meliputi: Informed
3.9.1 Informen Consent
Sebelum dilakukan pengumpulan data, setiap responden terlebih dahulu
menandatangani lembar persetujuan responden (Consent) setelah mendapatkan
penjelasan tentang tujuan dan pelaksanaan penelitian ini (Informent) sehingga
informasi yang diberikan jejas untuk dipahami.
3.9.2 Anonimity
Memberikan jaminan terhadap identitas diri dalam penggunaan subjek
penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama responden pada lembar
kuesioner yang akan dibagikan untuk diisi jawaban oleh responden.
3.9.3 Confindentiality
Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin oleh
peneliti, informasi dalam penelitian ini semata-mata hanya untuk kepentingan
penelitian. Hasil penelitian ini akan disimpan dan akan di musnahkan dalam
85
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Gambaran RSU. Bunda Thamrin Medan
Rumah Sakit Bunda Thamrin telah dibuka secara resmi berdasarkan surat
izin menyelenggarakan Rumah Sakit umum dari dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara, No. 440.441/1791/III/2009. Selanjutnya, RSU Bunda Thamrin
telah melaksanakan kegiatan pelayanan rumah sakit untuk berupa kegiatan
pelayanan rumah sakit untuk masyarakat umum berupa kegiatan konsultasi, rawat
inap, rawat jalan dan penunjang medik. Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin
Medan mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, memuaskan dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat.
Berdirinya Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan selaras amanat
peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang peran serta
masyarakat/swasta dalam pembangunan kesehatan, diantaranya melalui pelayanan
kesehatan Rumah Sakit yang berkualitas. Letak geografis Rumah Sakit Bunda
Thamrin Medan berlokasi Jl. Sei Batang Hari No. 28-30 Medan, Kelurahan
Barbura Kecamatan Sunggal Provinsi Sumatera Utara, dengan luas tanah ± 200
m². Jarak antara Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan dengan ibu kota
Provinsi sekitar 2 Km dan fasilitas umum seperti sekolah sekitar 10 m, pasar
sekitar 500 m, RS Sarah sekitar 400 m, Greja sekitar 200 m, Mesjid sekitar 300 m,
Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan adalah: Visi,
Menjadi Rumah Sakit terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu. Misi, Melaksanakan kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan terpadu sehingga dapat memberikan kepuasan kepada
pelanggan/pasien, pemilik saham dan pelaksana melalui kinerja yang profesional
yang disertai dengan komitmen yang tinggi terhadap peningkatan mutu yang
berkelanjutan.
4.1.2. Gambaran RSU. Bina Kasih Medan
Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan diresmikan pada tanggal 17
september 2005 oleh Kepala Dinas Kesehatan Dr. Hj. LINDA WARDANI.
Gedung Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan pada awal berdirinya hanya
berkapasitas 75 tempat tidur yang terdiri dari 5 lantai. Akan tetapi dengan
semakin maju dan berkembangnya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum
Bina Kasih Medan dan terjalinnya kerja sama dalam bidang kesehatan dengan PT.
Askes (Askes PNS), PT Jamsostek dan Jamsostek dan Jamkesmas yang
sebelumnya dikenal dengan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin
(ASKESKIN) dan sekarang disebut Jaminan Kesehatan Masyarakat
(JAMKESMAS). Dengan semakin meningkatnya kepercayaan semua lapisan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit
Umum Bina Kasih Medan, maka pada ulang tahun yang pertama (1) Rumah Sakit
Umum Bina Kasih Medan telah menambah kapasitas gedungnya menjadi 200
tempat tidur. Pada ulang tahun yang kedua (2) kembali manajemen Rumah Sakit
Umum Bina Kasih Medan meresmikan penambahan kapasitas gedungnya menjadi
87
Semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Rumah Sakit
Umum Bina Kasih Medan dengan itu RSU. Bina kasih semakin membenahi diri
dengan melengkapi fasilitas-fasilitas yang ada seperti: unit trauma center, unit
ICU, ICCU, NICU dan PICU, unit hemodialisa (dalam persiapan kontrak kerja),
unit endoscopy dan infertilitas, unit radiologi, unit ct scan, unit laboratorium dan
unit fisiotherapi. Selanjutnya pada ulang tahun yang ketiga (3) direncanakan
peresmian unit-unit yang yang akan dilengkapi dan pengembangan kedepan
Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan dengan kerendahan hati mengupayakan
terjadinya kerja sama dengan PT. TELKOM dan perusahaan swasta dan BUMN
lainnya. Berkembangnya pelayanan Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan tidak
terlepas dari adanya tekat yang kuat dari manajemen, staf dan semua karyawan
Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan. Pada tahun 2008 angka pemanfaatan
tempat tidur (BOR) 60%, lama rawatan (ALOS) 5 hari, jumlah pasien rawat inap
rata-rata 838 orang-bulan, jumlah kunjungan pasien rawat jalan rata-rata per hari
60, jumlah kunjungan IGD rata-rata 287 orang/bulan.
Visi, Misi, Tujuan dan Motto Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan,
Visi: Memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat umum
secara profesional dengan jiwa pengabdian dan kebanggaan sebagai pelayanan
kesehatan. Misi: Memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat spesialis dan
subspesialis dalam bentuk promotif, prefetif, kuratif dan reabilitatif untuk pasien
Tujuan: Memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat luas
dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia secara maksimal dan
Motto: Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan memberikan pelayanan kesehatan
yang cepat, tepat, murah dan berkualitas tanpa adanya perbedaan pada pasien.
4.2 Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat distribusi
frekuensi masing-masing variabel. Adapun variabel tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
4.2.1 Distribusi Frekuensi usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama bekerja Adapun analisis univariat ini adalah untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan masing-masing karakteristik responden yang diteliti
sebagaimana diuraikan pada penjelasan berikut. Karakteristik responden yang
diteliti pada penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan dan masa
kerja dengan banyak responden 176 orang yang seperti tampak pada tabel berikut
89
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Lama Bekerja di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan Tahun 2016, (n = 176)
Karakteristik Total
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan hasil penelitian yaitu data demografi
perawat dirumah sakit Bunda Thamrin dan dirumah sakit Bina Kasih didapat
mayoritas adalah umur 21-30 tahun sebanyak 152 orang (86.9%) dan minoritas
responden adalah 41-50 tahun sebayak 3 orang (1.1%). Hal ini menjukkan bahwa
dirumah sakit ini umur perawat didominasi oleh usia muda, sehingga dalam
melakukan asuhan keperawatan masih harus banyak belajar dan masih perlu
dibimbing oleh perawat yang sudah lebih senior. Perawat di rumah sakit Bunda
Thamrin dan dirumah sakit Bina Kasih berdasarkan jenis kelamin mayoritas
responden adalah wanita 171 orang (97.1%) dan minoritas adalah laki-laki 5
Hal ini menunjukkan bahwa rumah sakit ini perawat didominasi oleh wanita,
sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dapat diberikan
dengan kelembutan, kesabaran dan kasih sayang yang dimiliki oleh wanita.
Tingkat pendidikan perawat adalah mayoritas berpendidikan D-III keperawatan
yaitu 129 orang (73.7%), dan tingkat pendidikan Ners adalah 47 orang (26.3%),
hal ini menunjukkan bahwa perawat masih di dominasi diploma tiga dimana
perawat tersebut memang sudah terlatih menjadi praktisi atau pelayanan asuhan
keperawatan. Lama bekerja perawat di rumah sakit Bunda Thamrin dan dirumah
sakit Bina Kasih terbanyak adalah 1-5 tahun yaitu sebanyak 147 orang (83.4%),
dan lama bekerja paling sedikit adalah 6-10 tahun yaitu sebanyak 29 orang
(16.6%), artinya perawat sudah cukup lama bekerja dan sedikit banyaknya sudah
memiliki pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan.
4.2.2 Distribusi Frekuensi Gaya Komunikasi Kepala Ruangan
Hasil penelitian distribusi frekuensi berdasarkan gaya komunikasi kepala
ruangan yang diteliti adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Gaya Komunikasi di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan Tahun 2016, (n = 176)
91
Berdasarkan tabel 4.2 didapat hasil dari gaya komunikasi kepala ruangan
di rumah sakit Bunda Thamrin dan rumah sakit Bina Kasih bahwa mayoritas
perawat menunjukkan gaya komunikasi kepala ruangannya adalah the structuring
style yaitu sebanyak 57 orang (32.0%) dan minoritas adalah gaya komunikasi
kepala ruangannya adalah the controlling style yaitu sebanyak 7 orang (4.0%).
Artinya gaya komunikasi the structuring style merupakan gaya komunikasi yang
berstruktur, menggunakan pesan-pesan verbal secara tertulis maupun lisan
memantapkan perintah dan yang harus dilaksanakan. Gaya komunikasi the
structuring style juga paling sering digunakan dalam melakukan suatu kegiatan
organisasi, berbagi informasi tentang jadwal kerja, aturan dan prosedur yang
berlaku dalam organisasi.
4.2.3 Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Kepala Ruangan
Hasil penelitian distribusi frekuensi berdasarkan kepemimpinan kepala
ruangan yang diteliti adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepemimpinan Kepala Ruangan di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan Tahun 2016, (n = 176)
Berdasarkan tabel 4.3 didapat hasil dari kepemimpinan kepala ruangan di
rumah sakit Bunda Thamrin dan rumah sakit Bina Kasih bahwa mayoritas
menunjukkan kepemimpinan kepala ruangan adalah baik yaitu 143 orang (81.1%)
dan minoritas buruk yaitu 33 orang (18.9%). Artinya bahwa kepala ruangan sudah
melakukan tugasnya secara baik sebagai pimpinan tertinggi dalam suatu ruangan.
Kepemimpinan kepala ruangan mencakup banyak hal, kegiatan tersebut
mencakup cara mengarahkan, menunjukkan jalan, mensupervisi, mengawasi
tindakan bawahan, mengkordinasikan kegiatan yang dilakukan dan
mempersatukan individu yang mememiki karakteristik yang berbeda.
4.2.4 Distribusi Frekuensi Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitiana distribusi frekuensi berdasarkan budaya kerja unit
pelayanan keperawatana yang diteliti adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan Tahun 2016, (n = 176)
Budaya Kerja Unit Keperawatan
Berdasarkan tabel 4.4 didapat hasil dari budaya kerja unit keperawatan di
rumah sakit Bunda Thamrin dan rumah sakit Bina Kasih bahwa mayoritas
menunjukkan budaya kerja unit keperawatan adalah baik yaitu 153 orang (87.4%)
93
Hasilnya adalah budaya kerja unit keperawatan yang sedang berlangsung dalam
rumah sakit sudah dalam keadaan baik, terbukti sudah banyak perawat yang
datang tepat waktu, mematuhi peraturan rumah sakit dan bertanggaung jawab
dengan pasien dalam memberikan asuhan keperawatan.
4.3 Analisis Bivariat
Menurut Wahyuni dan Azhar (2011) kriteria mengenai kekuatan hubungan
antara dua variabel dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu: 0,0 -
0,199 (sangat rendah), 0,2 - 0,399 (rendah), 0,4 - 0,599 (sedang), 0,6 - 0,799
(kuat) dan 0,8 - 1,00 (sangat kuat). Hasil uji korelasi antara gaya komunikasi
dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan dan hasil uji korelasi antara
kepemimpinan kepala ruangan dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan
dapat dilihat sebagai berikut:
Asumsi Uji Korelasi, sebelum diimplementasi, uji Korelasi terlebih dulu
harus memenuhi serangkaian asumsi. Asumsi-asumsi uji korelasi adalah
normalitas artinya, sebaran variabel-variabel yang hendak dikorelasikan harus
berdistribusi normal dan homoskedastisitas artinya, variabilitas skor di variabel Y
harus tetap konstan di semua nilai variabel X. Pada penelitian ini salah satu uji
asumsi yang dilakukan adalah asumsi normalitas, data diuji terlebih dahulu
dengan uji normalitas. Apabila data menyebar disekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas
atau angka signifikan p > 0.05 maka data berdistribusi normal. Uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test. Data dikatakan
normal jika nilai p > 0.05. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.5
Uji Normalitas Gaya komunikasi dan Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan Tahun 2016 setelah di Rang Case (n=176)
Kolmorogov-Smirnovtest Signifikansi (p) Df Gaya komunikasi
Kepemimpinan kepala ruangan Budaya kerja unit keperawatan
0,620 0,287 0,116
176 176 176
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah data subjek penelitian
mengikuti suatu distribusi normal statistik setelah dilakukan uji normalitas data
terdistibusi normal dimana memiliki nilai p > 0.05. Berdasarkan tabel 4.5
didapatkan hasil Kolmogorov-Smirnov Test di atas maka dapat disimpulkan
bahwa: a) variabel gaya komunikasi menunjukkan distribusi normal dengan nilai
p = 0.620, b) variabel kepemimpinan kepala ruangan menunjukkan distribusi
normal dengan nilai p = 0.287, budaya kerja unit pelayanan keperawatan
menunjukkan distribusi normal dengan nilai p = 0.116.
4.3.1 Hasil Uji Korelasi Gaya Komunikasi Kepala Ruangan dan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
Secara umum hasil penelitian korelasi Pearson Product moment pengaruh
antara gaya komunikasi kepala ruangan dan budaya kerja unit pelayanan
keperawatan di rumah sakit swasta di kota medan adalah dapat dilihat pada tabel
95
Tabel 4.6
Hasil Uji Korelasi Bivariat Gaya Komunikasi Kepala Ruangan dengan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta Di Kota Medan Tahun 2016 (n=176)
Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
r p
Gaya Komunikasi
Kepala Ruangan 0,274 0,00
Berdasarkan tabel 4.6 didapat nilai r sebesar 0,274 yang menunjukkan
bahwa kekuatan pengaruh antara gaya komunikasi kepala ruangan dengan budaya
kerja unit pelayanan keperawatan adalah “rendah” dengan nilai P 0,00 < 0.05. hal
ini menjelaskan bahwa terjadi penolakan terhadap Ho atau menerima Ha sehingga
disimpulkan ada pengaruh positif yang signifikan antara gaya komunikasi kepala
ruangan dan budaya kerja unit pelayanan keperawatan di rumah sakit swasta di
kota medan.
4.3.2 Hasil Uji Korelasi Kepemimpinan Kepala Ruangan dan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
Secara umum hasil penelitian korelasi Pearson Product moment pengaruh
antara Kepemimpinan kepala ruangan dan budaya kerja unit pelayanan
keperawatan di rumah sakit swasta di kota medan adalah dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.7
Hasil Uji Korelasi Bivariat Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta Di Kota Medan Tahun 2016 (n=176)
Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
r p
Kepemimpinan
Kepala Ruangan 0,741 0,00
Berdasarkan tabel 4.7 didapat nilai r sebesar 0,741 yang menunjukkan
bahwa kekuatan pengaruh antara kepemimpinan kepala ruangan dengan budaya
kerja unit pelayanan keperawatan adalah “Kuat” dengan nilai P 0,00 < 0.05. hal
ini menjelaskan bahwa terjadi penolakan terhadap Ho atau menerima Ha sehingga
disimpulkan ada pengaruh positif yang signifikan antara gaya komunikasi kepala
ruangan dan budaya kerja unit pelayanan keperawatan di rumah sakit swasta di
97
BAB 5 PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pengumpulan data dan kemudian dianalisis, sesuai
dengan tujuan peneliti yaitu untuk mengetahui pengaruh gaya komunikasi dan
kepemimpinan kepala ruangan terhadap budaya kerja unit pelayanan keperawatan
di rumah sakit swasta di kota Medan tahun 2016, maka pembahasan yang
dilakukan meliputi hasil uji instrumen dan hasil yang diperoleh berdasarkan
variabel-variabel yang diteliti. Hasil penelitian akan dibahas dan dibandingkan
dengan teori dari kajian literatur yang terdahulu. Pembahasan ini terdiri dari dua
bagian yaitu keterbatasan penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
5.1 Gaya Komunikasi Kepala Ruangan
Gaya komunikasi memiliki peranan dalam memepengaruhi budaya kerja
unit pelayanan keperawatan. De Vries (2010) berpendapat bahwa gaya
komunikasi menjelaskan bagaimana suatu gaya komunikasi mempengaruhi
budaya kerja layanan keperawatan terkait dengan pengaruh dalam organisasi,
yang dinamikanya dapat berubah dari waktu ke waktu. Pada penelitian ini
mendukung pendapat Rouco (2012) yang menyatakan gaya komunikasi adalah
kunci pada setiap pemimpin, harus dimiliki untuk meningkatkan budaya kerja
perawat, yang berarti ia harus memiliki satu set keterampilan yang membantu
Menurut Tubbs dan Moss (2002) setiap orang akan menggunakan gaya
komunikasi yang berbeda-beda ketika sedang gembira, sedih, marah tertarik atau
bosan. Begitu juga seseorang yang berbicara pada orang lain seperti sahabat,
teman kerja, bawahan, atasan akan berbicara dengan gaya komunikasi yang
berbeda-beda. Selain itu gaya komunikasi yang digunakan dipengaruhi oleh
banyak faktor, gaya komunikasi adalah sesuatu yang dinamis dan sangat sulit
untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah sesuatu yang relatif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Tubbs dan Moss (2002) gaya komunikasi
ini bersifat memaksakan kehendak pemimpin terhadap bawahannya. Orang yang
menggunakan komunikasi ini dikenal dengan komunikasi satu arah atau one-way
communications. The controlling style ini sering dipakai untuk mempersuasi
orang ain supaya bekerja dan bertindak secara efektif dan pada umumnya dalam
bentuk kritik.
Perawat di rumah sakit swasta di kota medan mengharapkan agar setiap
kepala ruangannya memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
menyampaikan pendapatnya dalam melaksanakan tugas keperawatan, agar
mereka merasa puas dan termotivasi. Diharapkan kepada pihak manajemen atau
pemimpin kepala ruangan peduli terhadap informasi, tekhnologi terbaru atau hal
99
Gaya komunikasi the equaliturium style dilandaskan kesamaan, ditandai
adanya penyebaran pesan baik secara lisan maupun tulisan yang bersifat dua arah
(two-way traffic of communication). Orang yang menggunakan gaya komunikasi
ini adalah yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi serta kemampuan membina
hubungan yang baik dengan orang lain baik dalam konteks pribadi maupun dalam
lingkungan hubungan kerja. The equaliturium style ini akan memudahkan tidak
komunikasi dalam organisasi, sebab gaya ini efektif dalam memelihara empati
dan kerja sama, khususnya dalam situasi untuk mengambil keputusan terhadap
sesuatu permasalahan yang kompleks. Gaya komunikasi ini pula yang menjamin
berangsungnya tindakan berbagi informasi diantara para anggota dalam sutau
organisasi.
Tubbs dan Moss (2002) gaya komunikasi ini bersifat terstruktur
memantapka perintah yang harus dilaksanakan, penjadwalan tugas dan pekerjaan
serta struktur organisasi. Pengirim pesan (sender) lebih memberikan perhatian
kepada keinginan untuk mempengaruhi orang lain dengan jaan berbagai informasi
tentang tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan dan prosedur yang berlaku dalam
organisasi. Stogdill dan Coons menjelaskan bahwa indikator struktur yang efisien
adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan verbal gunal lebih
menetapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas
Gaya komunikasi the dynamic style bersifat agresif, karena pengiriman
pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya berorientasi pada
tindakan (action-oriented). Tujuan utama dalam berkomunikasi ini adalah
menstimulasi atau merangsang pekerja/perawat agar bekerja dengan lebih cepat
dan lebih baik. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi
persoaan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa karyawan atau
bawahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang
kritis tersebut.
Ehow (2012), menyebutkan sebagai komunikator agresif, mencoba untuk
mendominasi orang lain dan mengancam, sering mengkritik, dan menyalahkan
lemahnya orang lain untuk mendapatkan kekuasaan. Bahasa tubuh terlihat
sombong dan cepat marah kalau tidak sesuai dengan keinginannya. Sebagai
hasilnya dijahui orang lain merasa lepas kendali, tidak bisa mendapatkan
kebutuhan terpenuhi dengan cara sehat. Gaya komunikasi the relinguising style
bersifat kesediaan untuk menerima saran, pendapat ataupun gagasan orang lain,
daripada keinginan untuk memberi perintah meskipun pengirim pesan (sender)
mempunyai hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Gaya
komunikasi ini efektif ketika pengirim pesan atau sender sedang bekerja sama
halnya dengan orang yang berpengetahuan luas, berpengalaman, teliti serta
bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas atau pekerjaan yang
101
Hasil penelitian sesuai dengan teori Tubbs dan Moss (2002) gaya
komunikasi ini bersifat kesediaan untuk menerima saran, pendapat ataupun
gagasan orang lain, daripada keinginan untuk memberi perintah meskipun
pengirim pesan (sender) mempunyai hak untuk memberi perintah dan mengontrol
orang lain. Berdasarkan telaah hasil penelitian, peneliti berasumsi bahwa gaya
komunikasi yang dilakukan oleh kepala ruangan sudah baik terbukti banyaknya
perawat pelaksana yang menunjukkan gaya komunikasi kepala ruangannya adalah
Gaya komunikasi the structuring style, digunakan dalam melakukan suatu
kegiatan organisasi, berbagi informasi tentang jadwal kerja, aturan dan prosedur
yang berlaku dalam organisasi. Hal ini yang sering dirasakan oleh perawat
pelaksana tapi tetap masih ada saja yang ditemukan kepala ruangan yang sering
marah-marah, memaksa kehendaknya dan agresif dalam berkomunikasi.
5.2. Kepemimpinan Kepala Ruangan
Kepemimpinan kepala ruangan memiliki peranan dalam mempengaruhi
budaya kerja unit pelayanan keperawatan. Thoha (2006) berpendapat pemimpin
selaku komunikator yang efektif sebagai salah satu fungsi yang efektif sebagai
salah satu fungsi kepemimpinan relevan dengan aspek keterampilan dalam
komunikasi dan advokasi yang menjadi indikator kepemimpnan dalam penelitian
ini. Gillies (1989), kepemimpinan kepala ruangan mencakup banyak hal. Kegiatan
tersebut mencakup cara mengarahkan menunjukkan jalan, mensuper visi,
mengawasi anak buah, mengkoordinasikan kegiatan yang sedang atau diakukan
Mengawasi merupakan kegiatan yang termudah karena tanggung jawab
supervisor sendiri mendatangkan keingintahuan dan perhatian mengenai
kontribusi bawahan. Kepala ruangan juga berperan sebagai penghubung
interpersonal, yaitu merupakan simbol suatu kelompok dalam melakukan tugas
secara hukum dan sosial, mempunyai tanggung jawab dan motivasi, mengatur
tenaga dan mengadakan pengembangan serta merupakan penghubung jaringan
kerja diluar kelompok atau tim keperawatan. Sebagai pemberi informasi, yaitu
monitor informasi yang ada di lingkungan unit kerjanya, menyebarluaskan
informasi dari pimpinan rumah sakit kepada perawat pelaksana dan mewakili
kelompok (unit kerjanya) sebagai pembicara kepada manajemen Rumah Sakit.
Pemimpin kepala ruangan harus memerlukan kepiawaian menggunakan
posisi dalam batas-batas wewenang dan tanggung jawab. Kelemahan kepala
ruangan sebagai atasan dalam kepiawaian menggunakan posisi dilakukan
kurangnya pemahaman kepala ruangan tentang Tugas Pokok dan Fungsi
(Tupoksi) antara lain: mengevaluasi kinerja perawat, membuat daftar dinas,
menyediakan material keperawatan dan melakukan perencanaan,
pengoerganisasian, pengarahan dan pengawasan. Aspek kelihaian menggunakan
posisi dalam kepemimpinan keperawatan terkait dengan faktor individu dari
kepala ruangan itu sendiri. Jika seorang kepala ruangan kurang memiliki
kompetensi sebagai pimpinan maka dalam implementasinya kurang baik pada saat
kepala ruangan tersebut mengelola suatu tim kerja di unit keperawatan yang
menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu seorang perawat yang berperan
sebagai kepala ruangan dan sekaligus sebagai pimpinan dari perawat pada model
103
Swanburg (2000) yaitu kemampuan memecahkan masalah secara efektif
yang masih lemah belum sesuai dengan kepemimpinan dalam keperawatan,
keterampilan hubungan antara manusia belum mampu diwujudkan oleh kepala
ruangan. Kemampuan memecahkan masalah secara efektif sebagai perilaku
kepemimpinan kepala ruangan sangat relevan dengan fungsi kepemimpinan
sebagai wakil dan juru bicara (Thoha, 2006). Dalam fungsi kepemimpinan ini
dijelaskan bahwa setiap organisasi dalam usaha pencapaian tujuan harus:
menyatukan persepsi yang tepat tentang organisasi tersebut, adanya pemahaman
berbagai kebijaksanaan yang ditempuh oleh organisasi dalam rangka pencapaian
tujuannya serta mencegah timbulnya salah pengertian tentang arah yang ditempuh
oleh organisasi.
Pimpinan yang mampu menyelesaikan masalah dengan efektif dan
menciptakan kondisi untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif dengan
membentuk suasana yang diterima oleh bawahan, sehingga bawahan tidak merasa
terancam dan ketakutan. Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan
penerapan pengaruh dan bimbingan yang ditujukan kepada semua staf
keperawatan untuk menciptakan kepercayaan dan ketaatan sehingga timbul
kesediaan melaksanakan tugas dalam rangka mencapai tujuan bersama secara
Perawat di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan mengharapkan, bahwa
kepala ruangan unit keperawatan ikut terlibat dalam memecahkan masalah yang
ada di keperawatan. Semua pihak manajemen rumah sakit mengaktifkan fungsi
komite keperawatan, yaitu dengan membuka jalur formal untuk menyelesaikan
permasalahan baik diantara perawat pelaksana kepada kepala ruangan dan
perawat itu sendiri, antara perawat dengan atasan maupun dengan pihak
manajemen, sehingga hubungan antara meraka menjadi lebih harmonis.
Thoha (2006) bahwa ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan
keputusan sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruangan keperawatan relevan
dengan fungsi kepemimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam
usaha dalam pencapaian tujuan. Pemimpin yang membuat keputusan dengan
memperhatikan situasi sosial kelompok organisasinya akan dirasakan sebagai
keputusan bersama yang menjadi tanggung jawab bersama pula dalam
melaksanakannya.Tugas-tugas pemimpin yang berkaitan dengan sikap dalam
pengambilan keputusan adalah sebagai pengambian keputusan itu sendiri, sebagai
pemikul tangguang jawab dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai
tujuan sebagai pemikir konseptual. Kepala ruangan harus sebagai pemikir
konseptual dan bertanggung jawab sehingga dapat memutuskan segala sesuatu
untuk peningkatan asuhan keperawatan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh
105
Kemampuan menjadi media dalam penyelesaian konflik kinerja relevan
dengan fungsi kepemimpinan sebagai mediator yang andal khususnya dalam
hubungan kedalam, terutama menangani konflik (Thoha, 2006). Sesuai dengan
pengertian konflik menurut Deutsch (1969) adalah suatu perselisihan atau
perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan
perilaku seseorang yang terancam. Dalam Model Praktik Keperawatan
Profesional (MPKP) disebut bahwa konflik adalah perbedaan pandangan atau ide
antara satu orang dengan orang lain dalam organisasi yang dibentuk dari
sekumpulan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda konflik mudah
terjadi.
Berkomunikasi merupakan faktor yang amat menentukan keberhasian
pencapaian hasil kegiatan. Pemimpin yang talah memahami secara mendalam dan
spesifik tentang bawahannya akan mampu menciptakan dan memodifikasi materi
komunikasi sehingga hasil komunikasi dapat menjadi lebih optimal. Disamping
itu, pemimpin juga mampu mengembangkan strategi yang tepat dalam menggali
ide dan pendapat orang lain serta betukar ide dalam menyelesaikan masalah
secara efektif. Keterampilan berkomunikasi juga diperlukan ketika pemimpin
perawat melakukan lobi ke berbagai pihak terutama penentu kebijakan yang
berhubungan dengan profesi keperawatan. Komunikasi yang diakukan
seyogyanya tidak menimbulkan ancaman atau ketidak nyamanan pihak yang
sedang dilobi, sehingga kegiatan negoisasi dapat dilakukan tanpa disadari dan
5.3. Budaya Kerja Unit Pelayana Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian tentang budaya kerja unit pelayanan
keperawatan yang disajikan pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa budaya layanan
keperawatan di rumah sakit swasta di kota medan berada pada katergori baik yaitu
153 orang (87.4%) dan minoritas kategori buruk yaitu 23 orang (12.6%). Hasil
penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Davies et al. (2000) di
rumah sakit di Jerman pada 403 perawat, didapat bahwa hasil budaya kerja unit
pelayanan keperawatan pada kategori baik yaitu 72,8%.
Wolseley dan Camplbell dalam Triguno (1995) menyatakan bahwa orang
yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan mempunyai sikap: 1. menyukai
kebebasan, pertukaran pendapat, dan terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta
baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran. 2. memecahkan permasalahan
secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu
pengetahuan, pemikiran yang kreatif, dan tidak menyukai penyimpangan dan
pertentangan. 3. berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan
kebiasaan sosialnya. 4. mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan
keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dalam
bidangnya.5. memahami dan menghargai lingkungannya. 6. berpartisipasi dengan
loyal kepada kehidupan rumag tangga, masyarakat dan organisasinya serta penuh
107
Gillies (1989) menambahkan bahwa manajer/kepala ruangan harus mengatur
bawahan kedalam fungsi kelompok kerja yang baik. Sebuah kelompok dapat
diartikan sebagai suatu kesatuan yang lahir terdiri dari beberapa individu berbagai
minat sama, nilai dan norma-norma yang berinteraksi satu sama lain pada dasar
yang tetap memiliki karakter mudah diperkirakan. Cartwright dan Zander (1960)
juga mengatakan bahwa semua sasaran kelompok terbagi kedalam dua jenis: (1)
prestasi beberapa tujuan kelompok tertentu dan (2) pemeliharaan atau penguatan
kelompok itu sendiri.
Berdasarkan telaah hasil penelitian, bahwa masih adanya ditemukan perawat
yang memiliki buadaya kerja unit pelayanan yang buruk dimana dalam penelitian
ini di dapat dalam kategori minoritas buruk yaitu 23 orang (12.6%). Hal ini dapat
dilihat berdasarkan jawaban perawat dalam mengisi kuesioner dan diolah oleh
peneliti. Peneliti juga masih menemukan sedikit banyaknya perawat yang sering
datang terlambat, tidak santun dalam berkomunikasi dan kurangnya tanggung
jawab pada pasien kelolaan sendiri.
5.4 Pengaruh Gaya Komunikasi Kepala Ruangan dengan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian uji bivariat antara gaya komunikasi kepala
ruangan dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan didapat nilai
P 0.00 < 0.05 dimana Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada pengaruh yang
signifikan antara gaya komunikasi kepala ruangan dengan budaya kerja unit
pelayanan keperawatan di rumah sakit swasta di kota medan. Nilai r sebesar 0,274
yang menunjukkan bahwa kekuatan pengaruh antara gaya komunikasi kepala
Pengaruh antara gaya komunikasi kepala ruangan dengan budaya kerja unit
pelayanan keperawatana dalah positif.
Hasil penelitian Barbara (2015) mengemukakan terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara komponen gaya komunikasi dengan budaya kerja
karena komponen ini memiliki dampak yang signifikan pada budaya kerja dan
dicatat sebagai faktor yang berharga untuk meningkatkan budaya kerja. Hasil
penelitian West dan Turner (2010) mengemukakan gaya komunikasi atau
communication style memberikan pengetahuan tentang bagaimana perilaku
manusia dalam suatu budaya kerja ketika melaksanakan tindakan dan
pekerjaanya.
Martinez (2012), menemukan bahwa gaya komunikasi mempengaruhi
budaya kerja. Hasil penelitian lain juga menyatakan bahwa manajemen rumah
sakit harus memperhatikan gaya komunikasi kepala ruagan karena berpengaruh
terhadap budaya kerja perawat (Maria, 2013). Hasil penelitian Williams (2014)
menunjukkan bahwa 67% dari perawat melaporkan bahwa mereka memiliki
komunikasi yang buruk, sementara 25% dan 8% masing-masing berada pada gaya
komunikasi menengah dan baik. Hal ini berarti pihak manajemen rumah sakit
109
5.5 Pengaruh Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian uji bivariat antara kepemimpinan kepala
ruangan dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan didapat nilai
P 0.00 < 0.05 dimana Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada pengaruh yang
signifikan antara kepemimpinan kepala ruangan dengan budaya kerja unit
pelayanan keperawatan di rumah sakit swasta di kota medan. Nilai r sebesar 0,741
yang menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antara kepemimpinan kepala
ruangan dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan adalah “kuat”.
Pengaruh antara kepemimpinan kepala ruangan dengan budaya kerja unit
pelayanan keperawatan dalah positif.
Mulia Nasution (1994 dalam Riyadi, 2011) mengemukakan bahwa seorang
pemimpin harus mengembangkan suatu sikap dalam memimpin bawahannya.
Suatu sikap kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu pola perilaku yang
dibentuk untuk diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan organisasi dan
budaya kerja unit pelayanan keperawatan untuk dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Suarli dan Bahtiar, (2009), Kepemimpinan berpengaruh signifikan dan
positif terhadap budaya kerja unit pelayanan keperawatan. Kepemimpinan yang
baik maka akan berdampak pada budaya kerja yang baik. Kepemimpinan
merupakan kemampuan memberi inspirasi kepada orang lain untuk bekerja sama
sebagai suatu kelompok agar dapat mencapai suatu tujuan umum. Banyak
Salah satu bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat mengimbangi pola pikir dan
refleksi paradigma baru dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan
(Munawaroh, 2011).
Kepemimpinan didefinisikan sebagai seorang pemimpin yang mempunyai
kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu.
Kepemimpinan akan membuat bawahan merasa dipercaya, dihargai, loyal dan
respek kepada pimpinannya. Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk
melakukan lebih dari yang diharapkan. Pemimpin menggunakan karisma,
pertimbangan individual, dan stimulasi intelektual untuk menghasilkan upaya
yang lebih besar, efektivitas, dan kepuasan bagi bawahannya (Bass & Avolio,
1990 dalam Sulieman, Hussein dan Batayneh; 2011).
Kepemimpinan baik diterapkan dalam keperawatan karena kualitas
kepemimpinan dapat meningkatkan budaya kerja unit pelayanan keperawatan.
Keperawatan dengan pemimpin yang baik akan menunjukkan karakteristik seperti
kebanggaan, kepuasan dalam bekerja, antusiasme, semangat tim, dan rasa
keberhasilan (Huber, 2006). Berbagai penelitian tentang kepemimpinan telah
dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Temalagi (2010) bahwa kepemimpinan
lebih dominan diterapkan oleh manager Rumah Sakit. Humairah (2005)
menunjukkan kepemimpinan lebih berpengaruh terhadap efektivitas kinerja
perawat di Rumah Sakit. Hal ini diperkuat oleh, peneliti, Andira dan Budiarto
(2010) bahwa kepemimpinan berpengaruh positif pada budaya kerja unit
111
Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan menjadi
faktor penentu dalam menciptakan organisasi yang positif tanpa terbatasi oleh
budaya kerja dan jenis organisasi (Walumbwa dkk, 2007; Dharmayanti, 2009).
Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Dhina dan Mita (2013) menjelaskan
bahwa kepemimpinan kepala ruangan yang baik akan mempengaruhi upaya
menggerakkan perawat dalam rung lingkup wewenangnya untuk menerapkan
budaya kerja unit pelyanan keperawatan. Perencanaan, pengendalian dan
peningkatan oleh kepemimpinan kepala ruangan dibutuhkan dalam menjalankan
pengorganisasian diruangan dalam meningkatkan pelayanan keperawatan.
Disamping itu kepala ruangan diharapkan dapat bertanggung jawab dan mampu
melaksanakan manajemen keperawatan sehingga dapat menghasilkan pelayanan
yang berkualitas. Tujuan akhirnya adalah terciptanya kepuasan pada pasien dan
keluarga.
Menurut Robbins (2008) yang menjadi hal yang utama setiap pemimpin
dan setiap orang dalam lembaga/organisasi untuk meningkatkan budaya kerja
adalah urusan setiap orang, disamping komitmen kerjasama tim yang solid,
kepengawasan yang ketat dan sumber daya yang memadai merupakan faktor yang
menentukan keberhasilan peningkatan budaya kerja unit pelayanan keperawatan.
Menurut Tasmara (2002) budaya kerja sebagai pola kebiasaan yang didasarkan
cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap kerja yang
mewarnai suasana hati dan keyakinan yang kuat atas nilai-nilai yang diyakininya,
serta memiliki semangat bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya dalam
5.6 Keterbatasan Hasil Penelitian
Penelitian dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner memperoleh
data yang bersifat sangat subjektif dan cenderung bias, sehingga kebenaran data
sangat tergantung pada keadaan kejujuran dan spontanitas jawaban responden
pada saat pengisian (Munandar, 2001). Untuk mengurangi adanya bias, maka
sebelum kuesioner dibagikan, peneiti menjeaskan secara tertuis dibagian depan
kuesioner, bahwa penelitian ini memerlukan kejujuran sesuai dengan fakta yang
ada, isi kuesioner tidak mempengaruhi penilaian kinerja responden.
Yokl (1989) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu individu yang
menunjukkan kemampuan untuk mempengaruhi individu untuk jadi efektif
berdasarkan kemampuan mereka dalam menyelesaikan pekerjaan organisasi.
Melalui kepemimpinan, perawat dapat dipengaruhi.
Hanya ketika sebuah organisasi terlihat untuk mengubah gaya kepemimpinannya
akan perubahan budaya komunikasi untuk karyawannya, memungkinkan bagi
organisasi mencapai potensi kinerja penuh. Komunikasi kepemimpinan dapat
membuat budaya kerja yang tidak termotivasi kembali memperoleh produktivitas.
Faktor kepemimpinan memegang peranan penting, karena kebutuhan bekerja
tergantung dari kemampuan pimpinannya (Burns, 1978).
Chen (2013) membuktikan hasrat untuk memimpin adalah motif kunci
untuk meningkatkan budaya kerja. Berdasarkan hasil penelitian Vincent (2007)
menunjukkan bahwa kememimpinan yang memiliki ambisi dan energy yang kuat
akan mendorong kepemimpinan untuk mencapai tujuan pribadi maupun tujuan
113
Penelitian yang dilakukan di Iran terhadap 25 kepemimpinan administrasi perawat
dalam penelitian menyatakan bahwa kepercayaan diri kurang (37%), beberapa
menyatakan ambisi dan energy mereka tidak begitu besar dalam melakukan
pekerjaan (71%).
5.7. Implikasi dalam Layanan Keperawatan
Gaya komunikasi dan kepemimpinan kepala ruangan setiap pemimpin
sangatlah berbeda-beda, memiliki pengaruh yang positif dan negatif dalam
pelaksaaannya. Potensi yang dimiliki pemimpin dipadukan dengan rencana
organisasi masa depan rumah sakit untuk tetap memajukan layanan keperawatan
serta kaya dengan praktek profesional keperawatan. Peneliti berpendapat
pemikiran ataupun penelitian ini patut untuk di manfaatkan sebagai bahan
pertimbangan layanan keperawatan di rumah sakit (Sudjana, 2015).
Peneliti telah menyajikan penemuan dari hasil penelitian agar manajemen
dan fungsi tugas kepala ruangan berjalan dengan efektif dan praktek perawat
profesional dapat berkembang. Keseluruhan sajian dari peneliti lahir dari
konsep-konsep teorikal dari gaya komunikasi, kepemimpinan kepala ruangan dan budaya
kerja layanan keperawatan. Para meminat dan pengembang ilmu pengetahuan
keperawatan manajemen rumah sakit dapat memanfaatkan gagasan yang telah
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran yang diberikan
berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan pada penelitian ini
maka kesimpulan yang dapat diambil adalah mayoritas gaya komunikasi kepala
ruangan menurut perawat pelaksana adalah the structuring style sebanyak 57
orang (32,0%) dan minoritas adalah the controlling style sebanyak 7 orang
(4,0%). Mayoritas menyatakan kepemimpinan kepala ruangan baik sebanyak 143
orang (81,1%) dan minoritas buruk sebanyak 33 orang (18,9%). Mayoritas
menyatakan budaya pelayanan unit keperawatan baik sebanyak 153 orang
(87,4%) dan minoritas buruk sebanyak 23 orang (12,6%).
Berdasarkan analisis bivariat bahwa ada pengaruh positif yang signifikan
antara gaya komunikasi dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan dengan
nilai p = 0.00 < 0,05 dan r = 0,274 artinya pengaruh antara gaya komunikasi
kepala ruangan dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan adalah “rendah”.
Ada pengaruh positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala ruangan
dengan budaya kerja unit pelayanan keperawatan dengan nilai p = 0.00 < 0,05 dan
r = 0,741 artinya pengaruh antara kepemimpinan kepala ruangan dengan budaya
kerja unit pelayanan keperawatan adalah “kuat”. Hasil penelitian ini di harapkan
115
6.2 Saran
1. Manajemen Rumah Sakit
Hasil penelitian ini memiliki implikasi yang penting bagi rumah sakit
Swasta di Kota Medan, khususnya rumah sakit Bunda Thamrin dan rumah sakit
Bina Kasih Medan, dimana diperoleh informasi bahwa dari 176 orang hanya
sebanyak 57 orang yang menyatakan gaya komunikasi kepala ruangannya
menggunakan the structuring style, dan minoritas menyatakan gaya komunikasi
kepala ruangannya adalah the controlling style sebanyak 7 orang (4.0 %).
Disarankan kepada pihak manajemen rumah sakit agar memperhatikan lagi dalam
melakukan gaya komunikasi kepala ruangan terhadap bawahannya agar
disesuaikan sesuai dengan kondisi pada saat-saat tertentu dalam melakukan gaya
komunikasi sehingga meningkatkan budaya kerja unit pelayanan keperawatan di
rumah sakit swasta di kota medan.
2. Perawat Pelaksana
Dibutuhkan adanya pendidikan dan pelatihan terhadap kepala ruangan
yang rutin dan berkesinambungan, juga bimbingan sehari-hari oleh pihak
manajemen rumah sakit untuk meningkatkan kedisiplinan perawat serta tata
krama di dalam memberikan asuhan keperawatan.
3. Peneliti Selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya hendanya pengumpulan data lebih di
perbanyak lagi, pengumpulan data yang lebih kongkrit lagi, misalnya
menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam terhadap pelaksanaan