• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2013"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1. Definisi DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam 2 – 7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, Jumlah trombosit <100.000/µl, adanya tanda tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai normal, dan/atau efusi pleura, dan/atau ascites, dan/atau hypoproteinemia/ albuminemia) dan atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita tersangka DBD menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris) (WHO, 2005).

(2)

2.1.2. Etiologi DBD

DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok ArbovirusB,yaitu

arthopod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini dikenal

sebagai genus Flavivirusdari famili Flaviviridaedan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Keempat serotipe virus ini semuanya terdapat di Indonesia (Soegijanto, 2008). Di daerah endemik DBD, seseorang dapat terkena infeksi semua serotipe virus pada waktu yang bersamaan. Menurut hasil penelitian, serotipe Den-3 merupakan serotipe yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe Den-3 berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah, tingkat penyebaran yang tinggi dan berkaitan dengan terjadinya wabah (Widoyono, 2011).

2.1.3. Klasifikasi Kasus DBD

Klasifikasi kasus DBD berdasarkan Depkes RI, (2005b) adalah : 1. Suspek DBD

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet positif) dan/atau trombositopenia ≤ 100.000/µ1 (normal 150.000/µ1-300.000/µ1). 2. Demam Dengue (DD)

(3)

peningkatan (positif) IgM saja. Biasanya IgM tersebut mulai terdeteksi pada saat demam hari ke-4.

3. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Torniquet positif), trombositopenia, hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20% (Normal: pria <45, wanita <40). atau hasil pemeriksaan serologis (IgM/IgG) positif.

4. Dengue Shock Syndrom (DSS)

Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.

2.1.4. Mekanisme Penularan DBD

(4)

bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama satu minggu, sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.

2.1.5. Tempat Potensial Penularan Nyamuk DBD

Penularan nyamuk DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD menurut Depkes RI (2005c) adalah :

Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar yaitu :

a. Sekolah

Anak sekolah merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.

b. Puskesmas/rumah sakit dan unit pelayanan kesehatan lainnya orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue (DD) atau carrier virus dengue.

c. Tempat-tempat umum lainnya, seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran dan tempat ibadah.

(5)

Pada daerah ini penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah yang kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing daerah asal.

2.2. Nyamuk Penular DBD 2.2.1. Morfologi Nyamuk

Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor utama virus DBD adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya (Gambar 2.1) (Soegijanto, 2008).

Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex), mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badannya, terutama pada kaki dan dikenal dari bentuk morfologi yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lire (Lyre form) yang putih pada punggungnya. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengan basal, anterior dan tenga bersisik putih memanjang. Tibia semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5 – 3,0 mm bersisik hitam.

(6)

pada thorax yaitu bagian skutumnya terdapat satu garis longitudinal (lurus dan tebal) yang dibentuk oleh sisik-sisik putih berserakan. Nyamuk ini merupakan penghuni asli Negara Timur, walaupun mempunyai kebiasaan bertelur di tempat-tempat yang alami di rimba dan hutan bambu, tetapi telah dilaporkan dijumpai telur dalam jumlah banyak di sekitar tempat pemukiman penduduk di daerah perkotaan (Depkes RI, 2008).

Gambar 2.1 Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus 2.2.2. Siklus Hidup Nyamuk

(7)

Gambar 2.2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypt I

Sumber : (Depkes, RI. 2005c)

a. Telur

Menurut Anggraeni (2010), Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm. Telur

Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan

kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari.

b.Jentik

(8)

rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan jentik tersebut, yaitu:

1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1 – 2 mm 2) Instar II : 2,5 – 3,8 mm

3) Instar III : berukuran besar sedikit dari larva instar II 4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam 5 - 7 hari (Depkes RI, 2005c).

c. Pupa (Kepompong)

Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa.

Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Depkes RI, 2005c).

d. Nyamuk Dewasa

(9)

36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur (Depkes RI, 2005c).

2.2.3. Ekologi Vektor

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara vektor dengan lingkungannya. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologik. Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD, hal ini sejalan dengan penelitian Teguh (2007) di Kota Purwokerto menyatakan adanya hubungan antara keadaan lingkungan dengan penyakit DBD. Lingkungan fisik mempengaruhi eksistensi nyamuk antara lain ketinggian tempat, curah hujan, temperatur dan kecepatan angin. Eksistensi nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun

lingkungan biologik (Depkes RI, 2005c). 2.2.3.1Lingkungan Fisik

Berdasarkan Depkes RI (1998) Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang terdiri dari benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan kekuatan-kekuatan fisik lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat menjadi

enviromental reservoir dan ikut berperan menentukan pola populasi nyamuk.

(10)

sumber penularan DBD. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Depkes RI, 2009 dalam Irianti, 2013).

1.Jarak antara Rumah

Berdasarkan Depkes RI, (1998) jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. Berdasarkan syarat lingkungan perumahan sehat menurut Winslow dalam Susanto (2007) bahwa jarak antara rumah 2 kali tinggi bangunan (2,8 m) atau jarak antara rumah satu dengan yang lain sepanjang 5 m. Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.

Penelitian Roose dalam Imran (2013), di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah ≤5 m memberikan kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD sebesar 1,79 kali dibanding dengan jarak antar rumah >5 m. Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah yang lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah yang lain (Soeroso, 2006).

2. Macam Tempat Penampungan Air/Container

Macam tempat penampungan air sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes

(11)

tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar dan lain lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat dan lain-lain), letak tempat penampungan air (di dalam rumah atau di luar rumah), penutup tempat penampungan air (ada atau tidak ada), pencahayaan pada tempat penampungan air (terang atau gelap) dan sebagainya (Depkes RI, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Syarif Usman dalam Widodo (2012) di Bandar Lampung jika keberadaan barang-barang tempat penampung air (OR=2,79) yang menemukan adanya hubungan barang-barang penampung air dengan kejadian DBD.

3. Ketinggian Tempat

Menurut Widoyono (2011) keadaan geografis seperti ketinggian mempengaruhi penularan penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, semakin tinggi letak pemukiman maka akan semakin rendah kadar oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperatur udara.

(12)

4. Iklim

Menurut Achmadi (2012) iklim dapat mempengaruhi ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara alamiah. Timbulnya demam berdarah dengue sering dikaitkan dengan kelembaban dan musim hujan. Disamping itu, adanya peningkatan suhu global mengakibatkan perubahan pola transmisi beberapa parasit dan penyakit baik yang ditularkan langsung maupun yang ditularkan oleh serangga. Suhu lingkungan yang lebih hangat akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue didalam tubuh nyamuk.

Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik yang terdiri dari suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, pencahayaan dan kecepatan angin.

a. Suhu Udara

Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup keberadaan nyamuk. Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu diatas 340C akan membatasi populasi nyamuk. Suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk adalah 25°C – 30°C. Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan berhenti bila suhu turun sampai 100C (Epstein et.al dalam Irianti, 2013).

(13)

pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dipengaruhi oleh suhu (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan Depkes RI (2005c) nyamuk betina setiap kali bertelur ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 20C sampai 420C dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

Menurut Achmadi (2012) suhu lingkungan yang lebih hangat akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue di dalam tubuh nyamuk.

Berdasarkan penelitian Maria, dkk (2013) di Kota Makassar dari hasil pengukuran suhu dilokasi penelitian untuk semua responden, baik kasus maupun kontrol antara 200C-300C, nyamuk Aedes aegypti sangat rentan terhadap suhu udara, dalam waktu 3 hari telur nyamuk telah mengalami embriosasi lengkap dengan temperatur udara 250C-300C.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan

fisik seperti Suhu dalam rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan adalah 180C - 300C

b. Kelembaban Udara

(14)

menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.

Berdasarkan Depkes RI (2007), kelembaban udara adalah banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit. Kelembaban yang baik berkisar antara 40% – 60%. Pada keadaan ini nyamuk tidak dapat bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek sehingga nyamuk tersebut tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk. Hal ini sejalan dengan penelitian Maria dkk, (2013) di Kota Makassar risiko responden yang tinggal di rumah yang lembab untuk terkena DBD 3,36 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tinggal di rumah yang tidak lembab, variabel kelembaban bermakna secara statistik.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan fisik kelembaban dalam rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah 40% - 60%. c. Curah Hujan

Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan menambah kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Soeroso, 2000).

(15)

menghilangkan tempat perindukan, oleh karena jentiknya hanyut dan mati (Anshari, 2004 dalam Irianti, 2013). Kejadian penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah. Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal (Depkes RI, 2007).

Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan nyamuk (Epstein et al dalam Irianti, 2013).

d. Pencahayaan

Larva dari nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer yang gelap dan juga menarik nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Dalam bejana yang intensitas cahaya rendah atau gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari bejana yang intensitas cahanya besar atau terang (Soegijanto, 2008).

Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk, intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah < 60 lux (Depkes RI, 2007).

(16)

e. Kecepatan Angin

Kecepatan angin secara langsung berpengaruh pada penguapan (evaporasi) air dan suhu udara (konveksi), disamping itu angin berpengaruh terhadap arah penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin 11 – 14 meter perdetik atau 25 – 31 mil per jam akan menghambat penerbangan nyamuk. Dalam keadaan udara tenang mungkin suhu nyamuk ada beberapa fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu lingkungan, bila ada angin evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk akan turun beberapa fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu lingkungan (Depkes, 2007). 2.2.3.2. Lingkungan Biologik

Lingkungan biologik yang mempengaruhi penularan DBD adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk hinggap istirahat dan juga menambah umur nyamuk (Fransisca, 2009). Kelembaban yang tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk istirahat (Soedarmo dalam Widiyanto, 2007).

(17)

2.2.4. Bionomik Vektor

Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding

habit), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap istirahat

(resting habit) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes RI, 2007).

1. Tempat Perkembangbiakan (Breeding Habit)

Tempat perindukan nyamuk utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam dan di sekitar rumah. Biasanya tidak melebihi jarak 500 (lima ratus) meter dari rumah. Nyamuk Ae.aegypti tidak berkembangbiak pada genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes

aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari seperti: drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan lain-lain.

b. Bukan tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air tetapi bukan keperluan sehari-hari seperti: tempat minum hewan piaraan (ayam, burung dan lain-lain), barang bekas (kaleng, ban, botol, pecahan gelas dan lain-lain), vas kembang, perangkap semut, penampungan air dispenser dan sebagainya.

(18)

2. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)

Berdasarkan Depkes (2005c) nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina lebih menyukai menghisap darah (protein) manusia daripada binatang (bersifat antropofilik). Protein diperlukan untuk mematangkan telurnya untuk menyelesaikan perkembangan telur, mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari yang disebut (gonotropic cycle). Kebiasaan nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktifitas menggigit biasanya mulai pagi sampai sore hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 – 10.00 dan 16.00 – 17.00. tidak seperti nyamuk lain, Aedes ageypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulangkali (multiples bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah, maka nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.

Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya ditempat yang gelap dan lembab.

3. Tempat Istirahat (Resting Habit)

(19)

perabotan, benda-benda yang bergantung seperti baju, kelambu dan tirai serta dinding. Sementara nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat diluar rumah yaitu hidup di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman dan kebun atau kawasan pinggir hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut nyamuk kebun (forest

mosquito) (WHO, 2005).

Kebiasaan hinggap istirahat lebih banyak di dalam rumah yaitu pada benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung juga di dalam sepatu (Depkes, 2007).

4. Jarak Terbang (Flight Range)

Pergerakan nyamuk Aedes aegypti ditentukan oleh kemampuan terbang dengan rata-rata 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan, nyamuk ini dapat berpindah jauh (Depkes 2005c)

2.2.5. Pengamatan Kepadatan Vektor

Untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di rumah yang dipilih secara acak berdasarkan Depkes RI (2005c).

1. Survei Nyamuk

(20)

2. Suvei Jentik

Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa di suatu daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan survai ada 2 (dua) metode yang meliputi : (Depkes RI, 2005c).

a. Metode Singel Survei

Survei ini dilakukan dengan mengambil jentik dissetiap tempat genangan air yang ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya.

b. Metode Visual

Survei ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik. Dalam program pemberantasan penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan adalah cara visual dan ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepdatan jentik yaitu :

1). Angka Bebas Jentik (ABJ)

Angka Bebas Jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 (tiga) bulan oleh petugas puskesmas pada rumah– rumah penduduk yang diperiksa secara acak.

Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik

x 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

2). House Indeks (HI)

House Indeks (HI) adalah persentase jumlah rumah yang ditemukan jentik

(21)

Jumlah rumah yang ditemukan jentik

HI = x 100% Jumlah rumah yang diperiksa

3). Container Indeks (CI)

Container Indeks (CI) adalah persentase pemeriksaan jumlah container yang

diperiksa ditemukan jentik pada container di rumah penduduk yang dipilih secara acak.

Jumlah Container ditemukan jentik CI = x 100%

Jumlah container yang diperiksa 4). Breteau Indeks (BI)

Jumlah container yang terdapat jentik dalam 100 rumah. Angka Bebas Jentik dan House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu daerah.Tidak ada teori yang pasti Angka Bebas Jentik dan House Index yang dipakai sebagai standard, hanya berdasarkan kesepakatan, disepakati House Index minimal 1% yang berarti persentase rumah yang diperiksa jentiknya positif tidak boleh melebihi 1% atau 99% rumah yang diperiksa jentiknya harus negatif. Ukuran tersebut digunakan sebagai indikator keberhasilan pengendalian nyamuk penularan DBD. 2.2.6. Stratifikasi Kelurahan/Desa DBD

Stratifikasi Keluarahan/Desa DBD berdasarkan Depkes RI (2005c) :

1. Kelurahan/Desa Endemis adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir, setiap tahun ada penderita DBD.

(22)

3. Kelurahan/desa Potensial adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada penderita DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentase rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5%.

4. Kelurahan/desa Bebas yaitu yang tidak pernah ada penderita DBD selama 3 tahun terakhir dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%.

2.3. Pemberantasan dan Penanggulangan DBD 2.3.1 Upaya Pemberantasan DBD

Berdasarkan Depkes RI, (2005c) hingga saat ini pemberantasan nyamuk

Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk pemberantasan DBD,

karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia.

Cara pemberantasan yang dilakukan adalah:

1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa

Pemberantasan yang dilakukan terhadap nyamuk dewasa dengan cara

penyemprotan (pengasapan/fogging) dengan insektisida. Penyemprotan dilakukan

pada benda-benda yang bergantungan.

2. Pemberantasan Jentik

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah

(23)

a. Fisik

Cara ini dilakukan dengan kegiatan “3M’, yaitu : Menguras (dan menyikat) bak mandi, bak WC, dan lain-lain: Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dan lain-lain), serta Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barang-barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain). Bila PSN DBD dilaksakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi, karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

Menurut Depkes RI, (1992) dalam Anton (2008) upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD adalah upaya untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti, dilakukan dengan cara:

1) Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk, sehingga jentik-jentik tidak bisa menjadi nyamuk atau menutupnya rapat-rapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat penampungan air tersebut. 2) Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung

seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik nyamuk. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk.

(24)

DBD secara rutin oleh semua masyarakat maka perkembangbiakan penyakit di suatu wilayah tertentu dapat di cegah atau dibatasi.

b. Kimia

Cara memberantas jentik Aedes aegyptidengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) yang dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos.

c. Biologi

Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang/tempalo dan lain-lain).

Dengan insektisida (fogging)

Fisik Kimiawi Biologi

Gambar 2.3. Bagan Pemberantasan DBD (Depkes RI, 2005c) 2.3.2. Upaya Penanggulangan DBD

Upaya penanggulangan adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan sebagai berikut (Depkes RI, 2005d) :

1. Penanggulagan Fokus

Penanggulangan fokus adalah penanggulangan hasil tindak lanjut dari Penyelidikan Epidemiologi (PE) yaitu bila ditemukan penderita DBD 1 atau 3 atau

Nyamuk Dewasa

(25)

lebih tersangka DBD dan ditemukan jentik (≥5%) dari rumah yang diperiksa maka dilakukan kegiatan

- Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD oleh ketua RW/RT, Tokoh Masyarakat memberikan pengarahan langsung kepada warga pada waktu pelaksanaan PSN DBD.

- Larvasidasi dilakukan sebelum dilakukan pengasapan dengan insektisida.

- Pemeriksaan jentik rutin (PJR), adalah kegiatan yang dilakukan oleh kader wisma PKK, pengurus RT atau juru pemantau jentik (jumantik), paling sedikit satu minggu sekali.

- Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan yang dilakukan secara random, kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan angka kepadatan jentik atau HI (house indeks).

- Penyuluhan oleh petugas kesehatan/kader atau kelompok kerja (Pokja) DBD Desa/Kelurahan berkoordinasi dengan petugas puskesmas.

- Pengasapan dengan insektisida dilakukan oleh petugas puskesmas dan bekerjasama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota.

- Hasil pelaksanaan penanggulangan fokus dilaporkan oleh puskesmas dengan dinas kesehatan kabupaten/kota.

(26)

2.3.3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kriteria KLB DBD adalah adanya peningkatan jumlah penderita DBD disuatu desa/kelurahan (atau wilayah yang lebih luas) dua kali atau lebih dalam kurun waktu satu minggu/bulan dibandingkan dengan minggu/bulan sebelumnya atau bulan yang sama tahun yang lalu. Sesuai dengan Undang-Undang No.4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit menular dan Permenkes No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah, maka semua penyakit yang dapat menimbulkan KLB/wabah termasuk DBD (tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD) harus segera dilaporkan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam setelah diagnosis ditegakkan (Depkes RI, 2005d)..

Berdasarkan Depkes RI (2005b), kegiatan penanggulangan KLB adalah upaya penanggulangan yang meliputi :

- Pengobatan/perawatan

Penderita DBD yang berat dirawat di rumah sakit atau puskesmas yang mempunyai fasilitas.

- Pemberantasan vektor penular DBD

Pengasapan yang dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu, PSN DBD dan larvasidasi.

- Penyuluhan kesehatan masyarakat

(27)

2.4. Perilaku

Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Dari batasan dapat diuraikan bahwa reaksi dapat diuraikan bermacam-macam bentuk, yang pada hakekatnya digolongkan menjadi 2, yaitu bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkret) dan dalam bentuk aktif dengan tindakan nyata atau (konkret) (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Mubarak (2012), perilaku merupakan seperangkat perbuatan/ tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri atas komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikometer). Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Hal ini dikenal dengan Teori S-O-R (Stimulus- Organisme-Respon).

(28)

2.4.1. Definisi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berpikir bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respons terhadap situasi di luar subjek.

Perilaku kesehatan (Health Behavior) menurut Notoatmodjo (2010) adalah respon sesorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain perilaku adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan (covert behavior) dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (health seeking behavior).

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkungan kesehatan lingkungan itu sendiri. Perilaku ini antara lain mencakup :

(29)

b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-segi higiene pemeliharaan tekhnik dan penggunaannya.

c. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai dan sebagainya.

d. Perilaku sehubungan dengan pemebersihan sarang-sarang naymuk (vektor), dan sebagainya.

Domain perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Seorang ahli psikologi pendidikan Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2003), membagi perilaku ke dalam 3 domain (ranah/kawasan). Ke 3 (tiga) domain ini diukur dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.4.2. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan yaitu dengan mengetahui reaksi atau rangsangan dari luar. Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan (pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba). Secara umum sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi beberapa proses sebagai berikut:

a. Awareness (kesadaran), seseorang menyadari dan mengetahui adanya stimulus.

b. Interest, mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, menimbang-nimbang/mengevaluasi baik tidaknya stimulus tersebut

terhadap dirinya.

(30)

e. Adoption, telah terjadi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan

sikapnya terhadap stimulus.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yakni :

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemapuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (Synthesisi)

Sintesis suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. 6) Evaluasi ( Evaluation)

(31)

2.4.3. Sikap (Attitude)

Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2007).

Tingkatan sikap adalah:

a. Menerima (Receiving), seseorang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)

b. Merespon (Responding), merespon/mengerjakan tugas yang diberikan. Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan dan mengerjkakan yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berani orang mnenerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan/ mendiskusikan sesuatu masalah.

d. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung-jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya walau apapun risiko dan tantangannya.

2.4.4. Tindakan atau Praktek

(32)

Menurut Notoatmodjo (2007) tindakan adalah sesuatu yang dilakukan; perbuatan. Tindakan terdiri dari empat tingkatan yaitu:

a. Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai object sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon Terpimpin (Guided response), melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

c. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan. d. Adaptasi (Adaptation) adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan.

(33)

2.5. Landasan Teori

Penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Landasan teori dalam penelitian ini berdasarkan Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) yaitu hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit dengan manusia serta perilakunya (Achmadi, 2012).

Adapun Teori Simpul dari timbulnya kejadian DBD sebagai berikut:

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Simpul (Achmadi, 2012)

Dengan mengacu pada gambar skematik tersebut diatas maka simpul-simpul dalam penelitian ini yang berhubungan dengan kejadian DBD sebagai berikut:

a. Simpul 1 yaitu sumber penularan penyakit adalah orang yang menderita DBD b. Simpul 2 yaitu media transmisi penyakit adalah lingkungan meliputi suhu,

pencahayaan, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, topografi, keberadaan jentik, tempat penampungan air, kondisi rumah dan nyamuk Aedes aegypti.

Sumber Penularan

Media

Transmisi Komunitas

Dampak Kesehatan

Penderita

(34)

c. Simpul 3 yaitu kependudukan, variabel yang meliputi penduduk adalah karakteristik penduduk meliputi : umur, gender, pendidikan, kepadatan penduduk, pengetahuan, sikap dan tindakan.

d. Simpul 4 yaitu kejadian penyakit atau gangguan dari hasil hubungan interaktif manusia dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan manusia, yaitu sakit atau sehat (Achmadi, 2012).

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori, maka peneliti merumuskan ada beberapa variabel yang akan diteliti berkaitan dengan kejadian DBD yang terjadi di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan pada Tahun 2013. Variabel tersebut adalah Faktor Lingkungan Fisik dan Perilaku.

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian Lingkungan Fisik :

1. Suhu

2. Pencahayaan 3. Kelembaban 4. Keberadaan Jentik

Perilaku

1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus
Gambar 2.2.  Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypt I
Gambar 2.3.   Bagan Pemberantasan DBD  (Depkes RI, 2005c)
Gambar 2.4.  Kerangka Teori
+2

Referensi

Dokumen terkait

Apabila surat peringatan ini tidak diindahkan dalam 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing selama 7 (tujuh) hari kerja, maka akan dikenakan sanksi penertiban berupa

Erpala-pala kalak ras mpekeri gegeh ndarami kesalahen Daniel guna iaduken ku raja. Si menarik maka labo lit idat kesalahenna guna banci iaduken seyakatan arah

• Ketepatan dalam menjelaskan perkembangan transportasi di Indonesia Kriteria: Ketepatan dalam menjelaskan Bentuk Penilaian: Membuat makalah mengenai topik atau isu

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dapat terlihat bahwa banyak faktor yang berhubungan efektivitas kerja guru. Namun peneliti menganggap hal yang paling penting

Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul mengalami preeklamsia ringan sebanyak 28 orang (56%)., Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan yang kurangnya persaingan bekerja dalam sektor wisata yang mana disebabkan minimnya perhatian pemerintah dalam menganggarkan belanja

Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pelamaran ( madduta) pada saat inilah pihak perempuan mengajukan jumlah Uang Panaik

BBNI memiliki indikator MACD dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBNI belum berhasil menembus Resistance di level harga 5550 sehingga terbuka peluang untuk kembali menguji