• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kinerja IPCLN dalam Pencegahandan Pengendalian Infeksidi Ruang Rawat InapRSUP. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kinerja IPCLN dalam Pencegahandan Pengendalian Infeksidi Ruang Rawat InapRSUP. H. Adam Malik Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Program pencegahan dan pengendalian infeksi bertujuan untuk melindungi

pasien, petugas kesehatan, pengunjung dalam lingkungan rumah sakit serta

meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dan

yang paling penting adalah menurunkan angka kejadian healthcare associated

infection. Tindakan pencegahan telah disusun dalam suatu isolation precautions (kewaspadaan isolasi) yang terdiri dari dua pilar/tingkatan yaitu standard

precaution dan transmission-based precautions.

2.1. Konsep Infection Prevention and Control Link Nurse (IPCLN)

Rumah sakit seharusnya memiliki infection prevention and control nurse

(IPCN) yang bekerja purna waktu, dengan perbandingan 1 (satu) IPCNuntuk tiap

100-150 tempat tidur di rumah sakit. IPCN bertanggung jawab untuk

mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang terjadi di

lingkungan kerjanya. IPCN bekerja dibantu oleh beberapa infection prevention

and control link nurse (IPCLN)dari tiap unit, terutama yang berisiko terjadinyainfeksi (Kemenkes, 2008).IPCLN sebagai pelaksana program

pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di rumah sakit bertugas untuk

memotivasi seluruh karyawan dan pengunjung dalam hal kontrol infeksi

(Mustariningrum, 2015). Dowson (2003) dalam Mustariningrum (2015)

menyatakan bahwa IPCLN seharusnya menjadi seorang pelopor atau opinion

(2)

Kriteria seorang IPCLN adalah perawat dengan pendidikan minimal D3 dan

memiliki sertifikasi PIN, memiliki komitmen di bidang pencegahan dan

pengendalian infeksi serta memiliki kemampuan leadership (Kemenkes, 2008).

2.2. Kinerja IPCLN

Prestasi kerja atau kinerja berasal dari kata job performance. Kinerja

(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh

seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab

yang diberikan kepadanya (Simamora, 2012). Evaluasi dapat didefenisikan

sebagai proses pengukuran dan pembandingan daripada hasil-hasil kegiatan

operasional yang nyatanya dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai menurut

target dan standar yang telah ditentukan sebelumnya.

IPCLN sebagai perawat pelaksana harian bertugas untuk mengisi dan

mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat inap

masing-masing dan menyerahkan-nya kepada IPCNketika pasien pulang, memberikan

motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan

pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit rawatnya

masing-masing, memberitahukan kepada IPCNapabila ada kecurigaan adanya

healthcare-associated infections(HAIs) pada pasien, berkoordinasi dengan IPCNsaat terjadi infeksi potensial kejadian luar biasa (KLB), penyuluhan bagi pengunjung di ruang

rawat masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum

paham dan memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan

(3)

2.3. Surveilans Infeksi

Depkes dan PERDALIN (2008) menyatakan bahwa surveilans infeksi

dilakukan secara sistematik oleh IPCN yaitu perawat pengendali infeksi purna

waktu dan IPCLN yaitu perawat penghubung pengendali infeksi, untuk

menggambarkan tingkat kejadian berbagai penyakit infeksi sesuai pedoman

surveilans infeksi. Target surveilans yaitu: infeksi saluran kemih (ISK) terkait

kateterisasi, infeksi luka operasi (ILO), plebitis, dekubitus, ventilator associated

pneumoniai (VAP),hospital associated pneumonia (HAP), infeksi aliran darah primer (IADP) dan diare.

Depkes RI (2011) menyatakan bahwa unsur-unsur kegiatan surveilans

meliputi merumuskan kejadian yang akan diamati yaitu kriteria jenis HAIs,

mengumpulkan data yang relevan secara sistematik, mengolah dan menganalisa

data sehingga mempunyai makna dan menyebarkan informasi dari analisa data

yang diperoleh kepada seluruh anggota rumah sakit dalam rangka program

pencegahan dan pengendalian infeksi.

2.4. Kewaspadaan Isolasi

Indonesia telah mengeluarkan surat keputusan menteri kesehatan Nomor

382/Menkes/SK/III/2007 tentang pelaksanaan pencegahan dan pengendalian

infeksi di Rumah Sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lain sebagai upaya

untuk memutus siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas

kesehatan, baik di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Petugas

kesehatan harus memahami, mematuhi dan menerapkan kewaspadaan isolasi yaitu

(4)

Kewaspadaan standar dirancang untuk mengurangi risiko terinfeksi penyakit

menular pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun

yang tidak diketahui (Kemenkes, 2011). Peraturan untuk kewaspadaan isolasi

dengan menghindari transfer mikroba patogen antar pasien dan petugas saat

perawatan pasien rawat inap. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan

tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh pasien untuk meminimalisir risiko

transmisi infeksi perlu dijalankan, dekontaminasi tangan sebelum kontak diantara

pasien, mencuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius, menggunakan teknik

tanpa menyentuh bila memungkinkan, memakai sarung tangan saat kontak dengan

darah dan cairan tubuh serta barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera

setelah melepas sarung tangan, mengganti sarung tangan antara pasien,

penanganan limbah feses, urin, dan sekresi pasien yang lain dalam lubang

pembuangan yang disediakan, bersihkan urinal dan kontainer pasien yang lain,

menangani bahan infeksius sesuai prosedur dan memastikan peralatan, barang

fasilitas dan linen infeksius pasien telah dibersihkan dan didisinfeksi dengan benar

antar pasien.

Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) adalah tonggak yang harus

selalu diterapkan di semua fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan

pelayanan kesehatan yang aman bagi semua pasien dan mengurangi resiko infeksi

lebih lanjut. Kewaspadaan standar adalah langkah-langkah pencegahan dan

pengendalian infeksi dasar yang diperlukan untuk mengurangi resiko penularan

agen infeksi dari yang diketahui atau tidak diketahui sumber infeksi (Kemenkes

(5)

Prinsip utama dari kewaspadaan standar pelayanan kesehatan adalah

menjaga hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi

peralatan (Depkes RI dan PERDALIN, 2008). Kewaspadaan standar menurut

Kemenkes (2011) meliputi kebersihan tangan, alat pelindung diri, peralatan

perawatan pasien, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan pasien dan

penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan, penempatan pasien, etika batuk,

praktik menyuntik yang aman, dan praktik untuk lumbal punksi.

2.4.1 Kewaspadaan Standar

2.4.1.1. Kebersihan tanga/hand hygiene

Kebersihan tangan merupakan hal yang paling penting dan merupakan pilar

untuk PPI. Petugas kesehatan memiliki potensi terbesar untuk menyebarkan

mikroorganisme yang dapat mengakibatkan infeksi karena berhubungan langsung

dengan pasien, sehingga tindakan kebersihan tangan ini harus dilaksanakan oleh

semua tenaga kesehatan setiap saat untuk semua pasien. Mencuci tangan adalah

proses yang secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan

dengan menggunakan sabun biasa dan air. Tindakan cuci tangan bisa dilakukan

dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan alkohol ataupun menggunakan

sabun dan air mengalir (Clinical Govermance, 2016). Antiseptik berbasis alkohol

adalah metode yang paling disukai untuk mendesinfeksi tangan, kecuali ketika

tangan terlihat kotor (misalnya, kotoran, darah, cairan tubuh), atau setelah

merawat pasien yang diketahui atau dicurigai terkena infeksi, dimana penggunaan

(6)

Hal-hal yang harus diperhatikan mengenai kebersihan tangan (Clinical

Govermance, 2016) adalah sebelum melakukan kebersihan tangan seluruh

perhiasan di pergelangan tangan harus dilepas, kuku harus tetap pendek dan

bersih, tidak menggunakan pewarna kuku atau kuku palsu karena dapat menjadi

tempat bakteri terjebak dan menyulitkan terlihatnya kotoran di dalam kuku, selalu

gunakan air mengalir, tangan harus dikeringkan dengan menggunakan paper

towel atau membiarkan tangan kering sendiri sebelum menggunakan sarung

tangan.

Cara cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir yang benar (WHO,

2007):

1. Basahi tangan dengan menggunakan air mengalir.

2. Tuangkan sabun untuk menyabuni seluruh permukaan tangan (3-5cc)

3. Teknik mencuci tangan yang benar dengan 6 langkah: gosok kedua

telapak tangan hingga merata, kemudian gosok juga kedua punggung

tangan secara bergantian, gosok sela-sela jari hingga bersih, bersihkan

ujung jari secara bergantian dengan mengatupkan, gosok dan putar

kedua ibu jari secara bergantian, dan letakkan ujung jari ke telapak

tangan kemudian gosok perlahan..

4. Gosok tangan selama 15 detik tapi tidak lebih dari 3 menit, meliputi

seluruh permukaan tangan dan jari.

5. Bilas tangan dengan air dan keringkan secara menyeluruh dengan handuk

kering.

(7)

Cara cuci tangan dengan menggunakan alkohol (WHO, 2007):

1. Tindakan ini dilakukan ketika tangan mungkin terkontaminasi, tetapi

tidak tampak kotor (misalnya memasuki atau meninggalkan

bangsal/daerah klinis/pasien).

2. Langkah-langkah mencuci tangan dengan menggunakan antiseptic

bebasis alkohol sama seperti ketika melakukan cuci tangan dengan

menggunakan sabun dan air mengalir.

3. Gosok tangan dengan alkohol selama 15-30 detik.

4. Banyaknya cairan yang digunakan sesuai dengan jumlah yang

direkomendasikan oleh produk biasanya sekitar 3 ml.

WHO juga menetapkan lima waktu untuk pelaksanaan hand hygiene (WHO,

2002) yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum prosedur aseptik, setelah

terpajan resiko cairan, setelah menyentuh pasien dan setelah menyentuh

benda-benda yang melingkupi pasien. Jika tenaga kesehatan berada dalam lima kondisi

tersebut, petugas harus melaksanakan hand hygiene agar tangan petugas tidak

terkontaminasi.

2.4.1.2. Alat pelindung diri (APD)

WHO (2004) menyatakan bahwa penggunaan alat pelindung diri

memberikan penghalang fisik antara mikro-organisme dan pemakainya. Alat

pelindung diri meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung

(8)

Alat pelindung diri harus digunakan oleh: 1) Petugas kesehatan yang

memberikan perawatan langsung kepada pasien dan yang bekerja dalam situasi di

mana mereka mungkin memiliki kontak dengan cairan darah, tubuh, ekskresi atau

sekresi, 2) Staf dukungan termasuk pembantu medis, pembersih, dan staf laundry

di situasi di mana mereka mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh,

sekresi dan ekskresi, 3) Staf laboratorium yang menangani spesimen pasien dan 4)

Anggota keluarga yang memberikan perawatan kepada pasien dan berada dalam

situasi di mana mereka mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh,

sekresi dan ekskresi.

Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak

dengan darah, cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lender pasien

dan benda yang terkontaminasi (WHO, 2014). Memakai sarung tangan tidak dapat

menggantikan tindakan mencuci tangan atau pemakaian antiseptik yang

digosokkan pada tangan, oleh karena itu sebelum memakai dan setelah melepas

sarung tangan lakukan kebersihan tangan menggunakan antiseptik cair atau

handrub berbasis alkohol (Kemenkes, 2011). Yang harus diperhatikan dalam pemakain sarung tangan adalah menggunakan sarung tangan dengan ukuran yang

sesuai (khususnya untuk sarung tangan bedah) karena pemakaian sarung tangan

yang tidak sesuai dengan ukuran tangan dapat menggangu ketrampilan dan mudah

robek, jaga agar kuku selalu pendek untuk menurunkan risiko sarung tangan

robek. Tarik sarung tangan ke atas manset gaun (jika Anda memakainya) untuk

(9)

Masker melindungi hidung mulut bagian bawah dagu, dan rambut pada

wajah (jenggot) selama aktivitas yang berhubungan langsung dengan darah, cairan

tubuh, sekresi, dan ekskresi (WHO, 2014). Petugas kesehatan harus memeriksa

sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat apakah lapisan utuh dan

tidak cacat. Jika bahan penyaring rusak atau kotor, buang masker tersebut.

Memeriksa tali-tali masker untuk memastikan tidak terpotong atau rusak. Tali

harus menempel dengan baik di semua titik sambungan. Dan memastikan bahwa

klip hidung yang terbuat dari besi berada pada tempatnya dan berfungsi dengan

baik (Kemenkes, 2011).

Alat pelindung mata melindungi petugas dari percikan darah atau cairan

tubuh lain dengan cara melindungi mata. Pelindung mata mencakup kacamata

(googles) plastic bening, kacamata pengaman, dan pelindung wajah. Petugas

kesehatan harus menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah,

jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan cairan secara tidak

sengaja ke arah wajah. Bila tidak tersedia pelindung wajah, petugas kesehatan

dapat menggunakan kacamata pelindung atau kacamata biasa serta masker

(Depkes RI dan PERDALIN, 2008).

Topidigunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan

kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi harus

cukup besar untuk menutup semua rambut. Meskipun topi dapat memberikan

sejumlah perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya adalah untuk

melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang terpercik atau

(10)

Gaun pelindung digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa

atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai

menderita penyakit menular melalui droplet/airbone. Pemakaian gaun pelindung

terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi

respirasi (Depkes RI dan PERDALIN, 2008).

Clinical Govermance (2016) menyebutkan aturan penggunaan apron dan gaun adalah harus segera dilepaskan setelah tindakan selesai, tidak dipakai ke

pasien/klien/area yang berbeda, jika ada resiko percikan dari darah, cairan tubuh,

sekresi atau eksresi ke seluruh tubuh gaun harus dipakai, untuk mencegah

kontaminasi, saat melepas gaun/apron, sisi yang terluar harus dibalik ke sisi

bagian dalam, digulung menjadi bola dan segera dibuang sebagai limbah

klinis.Langkah-langkah mengenakan APD pada perawatan ruang isolasi kontak

dan airborne adalah sebagai berikut:

1. Kenakan baju kerja sebagai lapisan pertama pakaian pelindung.

2. Kenakan pelindung kaki.

3. Kenakan sepasang sarung tangan pertama.

4. Kenakan gaun luar.

5. Kenakan celemek plastik.

6. Kenakan sepasang sarung tangan kedua.

7. Kenakan masker.

8. Kenakan penutup kepala.

(11)

2.4.1.3. Sterilisasi Alat

Peralatan yang digunakan pada pasien/klien bisa terkontaminasi dengan

darah, cairan tubuh, sekret, dan eksresi selama pemberian perawatan dan harus

dikelola dengan tepat untuk membatasi resiko kontaminasi dengan

mikroorganisme (Clinical Govermance, 2016). WHO (2007) menyatakan bahwa

pengolahan ulang instrumen dan peralatan berisiko infeksi mentransfer dari

instrumen dan peralatan tergantung pada faktor-faktor berikut: 1) Adanya

mikro-organisme, jumlah dan virulensi mikro-organisme, 2) Jenis prosedur yang akan

dilakukan (invasif atau non-invasif), 3) Bagian tubuh mana instrumen atau

peralatan yang akan digunakan (menembus jaringan mukosa atau kulit atau

digunakan pada kulit utuh). Pengolahan ulang instrumen dan peralatan dengan

cara yang efektif meliputi: 1) Pembersihan instrumen dan peralatan segera setelah

digunakan untuk menghapus semua bahan organik, bahan kimia, 2) Disinfeksi

(oleh panas dan air atau disinfektan kimia), 3) Sterilisasi.

Pemrosesan alat instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat,

dilakukan dengan sterilisasi untuk alat kritikal, sterilisasi atau desinfeksi tingkat

tinggi (DTT) untuk alat semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk non kritikal.

Kriteria pemilihan desinfektan didasari secara cermat terkait kriteria memiliki

spektrum luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah,

waktu disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan

efisienAlur kerja penyediaan barang steril sebagai berikut mengumpulkan dan

serah terima/pencatatan alat/bahan non steril, pengumpulan linen kotor dan di

(12)

Kemudian melakuakan dekontaminasi dan perendaman/desinfeksi yang

merupakan proses fisik atau kimia untuk membersihkan benda-benda yang

terkontaminasi oleh mikroba dengan melakukan perendaman sesuai label dan

instruksi produsen, pencucian semua alat-alat pakai ulang harus dicuci hingga

benar-benar bersih sebelum disterilkan. Pengeringan, sebelum dilakukan setting

alat dan packing alat terlebih dahulu alat-alat dikeringkan yang dilakukan dengan

secara manual atau secara mekanikal, packing alat/bahan, semua material yang

tersedia untuk fasilitas kesehatan yang didesain untuk membungkus mengemas

dan menampung alat - alat yang dipakai ulang untuk sterilisasi, penyimpanan dan

pemakaian, danlabelling yaitu proses identifikasi alat/instrumen sebulum

dilakukan proses sterilisasi.

2.4.1.4. Penatalaksanaan Linen

Manajemen linen yang baik merupakan salah satu upaya untuk menekan

kejadian HAIs. Selain itu pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan juga

mempunyai peran yang sangat penting. Pengelolaan linen bertujuan mencegah

kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas, pasien dan lingkungan,

meliputi proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan linen kotor, pemilahan

dan teknik pencucian sampai dengan pengangkutan dan distribusi linen bersih.

Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk mengurangi risiko

infeksi pada pasien, petugas dan lingkungan dilakukan menyeluruh dan sistematis

agar mencegah kontaminasi, di bawah tanggung jawab lnstalasi Laundry

(13)

Jenis linen di RS diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen

kotor infeksius, linen kotor non infeksius (linen kotor berat dan linen kotor

ringan). Pencegahan kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan

dengan disinfeksi kereta linen, pengepelan/disinfeksi lantai, implementasi praktik

kebersihan tangan, penggunaan APD sesuai potensi risiko selama bekerja.

Prinsip-prinsip dasar pengelolaan linen adalah sebagai berikut: linen yang

sudah digunakan tempatkan di tas yang tepat, linen kotor dengan cairan tubuh

atau cairan lain tempatkan dalam tas kedap air yang cocok dan aman untuk

transportasi untuk menghindari tumpahan atau menetes darah, cairan tubuh,

sekresi atau ekskresi. Jangan membilas atau memilah linen di daerah perawatan

pasien. Handle semua linen dengan agitasi minimum untuk menghindari aerosolisation dari patogen mikro-organisme. Separate bersih dari linen kotor dan

transportasi secara terpisah. Pencucian linen (seprai, selimut kapas) dalam air

panas (70 ° C hingga 80 ° C) dan deterjen, bilas dan keringkan sebaiknya dalam

pengeringan atau di bawah sinar matahari. Autoclave linen sebelum dipasok ke

kamar operasi. Pencucian selimut wol dalam air hangat dan keringkan di bawah

sinar matahari, di pengering pada suhu dingin atau kering-bersih (WHO, 2007).

2.4.1.5. Pengendalian Lingkungan

Menurut WHO (2007) sebuah lingkungan yang bersih memainkan peranan

penting dalam pencegahan dari Hospital Associated Infections (HAIs).

Pengendalian lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan

binatang pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene

(14)

lantai, pengelolaan limbah cair, limbah padat medis, non medis dikelola oleh

lnstalasi Kesehatan Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama

dengan pihak ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi

lingkungan. Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus

sampai dengan pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan

Hidup sebagai limbah infeksius ditempatkan dalam kantong plastik berwarna

kuning berlogo infeksius, limbah padat tajam ditempatkan dalam wadah tahan

tusuk, tidak tembus basah dan tertutup. Pengelolaan limbah padat non medis

ditempatkan dalam kantong plastik berwarna hitam.

Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan, pemilihan

bahan desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan berdasarkan

telaah Komite PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi. Pernbersihan

lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap seluruh permukaan

lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif. Baku mutu berbagai

parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan pemeriksaan

parameter kimia, biologi surveilans angka dan pola kuman lingkungan

berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990 tentang

persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum, Kepmenkes Rl No.

492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes

Rl No, l204/Menkes/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS.

Tahap Pengelolaan Limbah sebagai berikut:

(15)

2) Pemisahan (pemisahan dimulai dari awal penghasil limbah, pisahkan

limbah sesuai dengan jenis limbah, tempatkan limbah sesuai dengan

jenisnya, limbah cair segera dibuang ke wastafel di spoelhok),

3) Labeling (limbah padat infeksius dimasukkan ke plastik kantong kuning

yang diberi simbol biohazard, limbah padat non infeksius dimasukkan

ke plastik kantong warna hitam dan limbah benda tajam dimasukkan ke

wadah tahan tusuk dan air/jerigen yang diberi symbol biohazard,

4) Packing (tempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup mudah dibuka,

kontainer dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat,

ringan dan tidak berkarat),

5) Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10-20 meter, ikat limbah

jika sudah terisi 3/4 penuh dan kontainer limbah harus dicuci setiap

hari,

6) Penyimpanan (simpan limbah di tempat penampungan sementara

khusus, tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat,

beri label pada kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari

tempat penampungan sementara).

7) Pengangkutan (mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong

khusus, kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup, tidak

boleh ada yang tercecer, sebaiknya lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, gunakan alat pelindung diri ketika menangani limbah, tempat penampungan sementara harus di area terbuka,

(16)

8) Treatment: limbah infeksius dimasukkan dalam incenerator, limbah non infeksius dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah

benda tajam dimasukkan dalam incenerator, limbah cair dalam wastafel

di ruang spoelhok, limbah feces dan urine ke dalam WC yang langsung

dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

9) Penanganan Limbah Benda Tajam. Jangan menekuk atau mematahkan

benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat,

segera buang limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia tahan

tusuk dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi, selalu buang sendiri oleh

si pemakai, tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai,

kontainer benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.

10) Penanganan Limbah Pecahan Kaca: gunakan sarung tangan rumah

tangga, gunakan kertas koran untuk mengumpulkan pecahan benda

tajam tersebut, kemudian bungkus dengan kertas, masukkan dalam

kontainer tahan tusukan beri label.

11) Unit Pengelolaan Limbah Cair:pengolahan limbah cair dengan sistim

bakteri aerob di IPAL. Pruss (2005) menyatakan proses pengelolaan

limbah medis pada tahap pemilahan dilakukan oleh perawat dan tahap

(17)

2.4.1.6. Perlindungan petugas kesehatan

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) petugas di RS terkait risiko

penularan infeksi karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang

mengidap penyakit menular dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan

Komite PPIRS. Pencegahan penularan infeksi pada/dari petugas dilakukan dengan

pengendalian administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun

berisiko menularkan infeksi dikoordinasikan Unit K3RS bersama Komite PPIRS

dan Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) berupa penataan penempatan SDM,

pemberian imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi

infeksi.

Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas

dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan berkala sesuai faktor risiko di tempat

kerja. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat pelindung diri

petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai dikelola Unit

K3RS berkoordinasi dengan Komite PPIRS. Unit K3RS berkoordinasi dengan

Komite PPIRS mengembangkan panduan dan menyusun standar pelaporan dan

penanganan kejadian kecelakaan kerja terkait pajanan infeksi, mensosialisasikan,

memonitor pelaksanaan, serta melakukan evaluasi kasus dan menyusun

rekomendasi tindaklanjutnya. Surveilans pada petugas dan pelaporannya

dilakukan secara teratur, berkesinambungan, periodik oleh unit K3RS

(18)

Petugas kesehatan risiko tertular infeksi melalui karyawan Rumah Sakit,

ketika bekerja juga dapat menularkan infeksi ke pasien dan karyawan lainnya.

Dengan demikian, program kesehatan karyawan harus berada di tempat untuk

mencegah dan mengelola infeksi pada staf rumah sakit. Kesehatan karyawan

harus ditinjau pada perekrutan, termasuk riwayat imunisasi dan penyakit menular

sebelumnya (Misal TBC) dan status kekebalan. Beberapa infeksi sebelumnya

seperti virus varicella-zoster dapat dinilai dengan uji serologis. Imunisasi

dianjurkan untuk staf meliputi: hepatitis A dan B, influenza, campak, gondok,

rubella, tetanus, dan difteri. Mantoux tes kulit akan mendokumentasikan

tuberkulosis sebelumnya (TB).

Kebijakan pasca-paparan spesifik harus dikembangkan, dan kepatuhan

dipastikan untuk sejumlah penyakit menular misalnya: Human Immunodeficiency

Virus (HIV), virus hepatitis, sindrom pernapasan akut parah (SARS), varicella, rubella dan TBC. Pekerja kesehatan dengan infeksi harus melaporkan penyakit

mereka/insiden untuk staf klinik untuk evaluasi dan pengelolaan selanjutnya

(WHO, 2007).

Fasilitas kesehatan harus memiliki program pencegahan dan pengendalian

infeksi bagi petugas kesehatan. Depkes RI dan PERDALIN, (2007) menyatakan

bahwa petugas kesehatan saat menjadi karyawan baru harus diperiksa riwayat

pernah infeksi apa dan status imunisasinya. Imunisasi yang dianjurkan untuk

petugas kesehatan adalah Hepatitis B, dan bila memungkinkan Hepatitis A,

(19)

2.4.1.7. Etika Batuk /Hygiene respirasi

WHO (2014) menjelaskan untuk mencegah penularan infeksi pernafasan

dirumah sakit, langkah-langkah pencegahan infeksi berikut inidiimplementasikan

untuk semua orang yang berpotensi terinfeksi. Hal iniberlaku untuk semua orang

(misalnya, pasien dan anggota keluarga yangmenemani, pengasuh, dan

pengunjung) dengan tanda-tanda dan gejalapenyakit pernafasan, termasuk batuk.

Etika kebersihan pernafasan/batuk adalah sebagai berikut: menutup mulut &

hidung saat batuk/bersin dengan tisu, membuang tisu ke tempat sampah,

melakukan kebersihan tangan, jika tisu tidak tersedia, bersinkan atau batukkan ke

lengan bagian dalam.

2.4.1.8. Praktik menyuntik yang aman

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam praktek menyuntik yang

aman berdasarkan WHO (2007) sebagai berikut: 1) Berhati-hati untuk mencegah

cedera saat menggunakan jarum, pisau bedah dan instrumen atau peralatan tajam

lainnya, 2) Gunakan jarum suntik sekali pakai, pisau bedah dan benda tajam

lainnya, 3) Tempatkan item benda tajam dalam wadah tahan tusukan dengan tutup

yang menutup dan terletak dekat dengan daerah di mana item tersebut digunakan,

4) Berhati-hati ketika membersihkan instrumen atau peralatan tajam yang dapat

digunakan kembali, 5) Benda tajam harus tepat desinfeksi dan dimusnahkan

sesuai pedoman atau standar nasional. Sedangkan untuk penanganan benda tajam

yaitu: 1) Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali atau melepaskan spuit,

(20)

Center for Disease Control (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga

kesehatan di rumah sakit di Amerika. Pekerja kesehatan beresiko terpapar darah

dan cairan tubuh yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan

infeksi hepatitis B virus (HBV), hepatitis C Virus (HCV) dan Human

Imunodefisiensi Virus (HIV) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau yang dikenal dengan istilah Needle Stick Injury (NSI).

2.4.1.9. Praktik pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam

area spinal epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi

spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring

(WHO, 2007). Infeksi yang terjadi akibat pemberian anestesi spinal di kamar

operasi sangat berbahaya. Dari 100.000 prosedur anestesi spinal didapatkan angka

kejadian meningitis yang berhubungan dengan pemberian anestesi spinal sebesar

3,7-7,2. Sedangkan kejadian epidural abses berkisar antara 0,2 sampai 83/100.000

prosedur anestesi spinal. Kebersihan tangan dan pemakaian alat pelindung diri

sebelum melakukan pemberian anestesi spinal merupakan salah satu cara yang

(21)

2.4.1.10. Penempatan pasien/Kewaspadaan pasien

Penanganan pasien dengan penyakit menular/suspek sebagai berikut: 1)

Terapkan dan lakukan pengawasan terhadap kewaspadaan standar. Untuk

kasus/dugaan kasus penyakit menular melalui udara, 2) Letakkan pasien di dalam

satu ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri tidak tersedia, kelompokkan kasus

yang telah dikonfirmasi secara terpisah di dalam ruangan atau bangsal dengan

beberapa tempat tidur dari kasus yang belum dikonfirmasi atau sedang

didiagnosis. Bila ditempatkan dalam 1 ruangan, jarak antar tempat tidur harus

lebih dari 2 meter dan diantara tempat tidur harus ditempatkan penghalang fisik

seperti tirai atau sekat, 3) Jika memungkinkan, upayakan ruangan tersebut dialiri

udara, jendela harus membuka keluar dan tidak mengarah ke daerah publik. 4)

Jaga pintu tertutup setiap saat dan jelaskan kepada pasien mengenai perlunya

tindakan- tindakan pencegahan ini, 5) Pastikan setiap orang yang memasuki

ruangan memakai APD yang sesuai, masker (bila memungkinkan masker efisiensi

tinggi harus digunakan, bila tidak gunakan masker bedah sebagai alternatif), gaun,

pelindung wajah atau pelindung mata dan sarung tangan, 6) Pakai sarung tangan

bersih, non-steril ketika masuk ruangan, 7) Pakai gaun yang bersih, non-steril

ketika masuk ruangan jika akan berhubungan dengan pasien atau kontak dengan

permukaan atau barang-barang di dalam ruangan.

Pertimbangan pada saat penempatan pasien antara lain: 1) Kamar terpisah

bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan, misal: luka lebar

dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol, 2) Kamar terpisah dengan

(22)

infeksi kuman gram positif, 3) Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi

dibuang keluar dengan exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misal: TBC, 4)

Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne luas,

misal: varicella, 5) Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan

6) Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat kohorting.

Bila pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien, petugas

dan pengunjung menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi

(Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).

2.4.2. Kewaspadaan berdasarkan transmisi

WHO (2004) bahwa kewaspadaan tambahan (berdasarkan transmisi)

tindakan pencegahan yang diambil sambil memastikan tindakan pencegahan

standar dipertahankan adalah tindakan pencegahan tambahan meliputi:

pencegahan airborne, pencegahan droplet dan pencegahan kontak. Dibutuhkan untuk memutus mata rantai transmisi mikroba penyebab infeksi dibuat untuk

diterapkan terhadap pasien yang diketahui maupun dugaan terinfeksi atau

terkolonisasi patogen yang dapat ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak

dengan kulit atau permukaan terkontaminasi. Jenis kewaspadaan berdasarkan

transmisi : Kontak, melalui droplet, melalui udara (Airborne), melalui common

vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan), melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus).

2.4.2.1. Kewaspadaan transmisi Kontak

Cara transmisi yang terpenting dan tersering menimbulkan HAIs.

Ditujukan untuk menurunkan risiko transmisi mikroba yang secara epidemiologi

(23)

Kontak langsung meliputi kontak permukaan kulit terluka/abrasi orang yang

rentan/petugas dengan kulit pasien terinfeksi atau kolonisasi. Misal perawat

membalikkan tubuh pasien, memandikan, membantu pasien bergerak, dokter

bedah dengan luka basah saat mengganti perban, petugas tanpa sarung tangan

merawat oral pasien. Transmisi kontak tidak langsung terjadi kontak antara orang

yang rentan dengan benda yang terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan,

instrumen yang terkontaminasi, jarum, kasa, tangan terkontaminasi dan belum

dicuci atau sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien satu dengan

yang lainnya, dan melalui mainan anak. Kontak dengan cairan sekresi pasien

terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan petugas atau benda mati

dilingkungan pasien. Hindari mengkontaminasi permukaan lingkungan yang

tidak berhubungan dengan perawatan pasien misal: pegangan pintu, tombol

lampu, telepon.

2.4.2.2. Kewaspadaan transmisi droplet

Diterapkan sebagai tambahan Kewaspadaan Standar terhadap pasien

dengan infeksi diketahui atau suspek mengidap mikroba yang dapat

ditransmisikan melalui droplet. Droplet yang besar terlalu berat untuk melayang

di udara dan akan jatuh dalam jarak 1 m dari sumber. Transmisi droplet

melibatkan kontak konjungtiva atau mucus membrane hidung/mulut, orang rentan

dengan droplet partikel besar mengandung mikroba berasal dari pasien pengidap

atau carrier dikeluarkan saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur

(24)

Karena droplet tidak bertahan diudara maka tidak dibutuhkan penanganan khusus

udara atau ventilasi. Misal: Adenovirus. Transmisi droplet langsung, dimana

droplet mencapai mucus membrane atau terinhalasi. Transmisi droplet ke kontak,

yaitu droplet mengkontaminasi permukaan tangan dan ditransmisikan ke sisi lain

misal: mukosa membrane. Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada

transmisi droplet langsung, misal: commoncold, respiratory syncitial virus (RSV).

2.4.2.3. Kewaspadaan transmisi melalui udara

Kewaspadaan transmisi melalui udara diterapkan sebagai tambahan

Kewaspadaan Standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui terinfeksi

mikroba yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan melalui jalur udara.

Seperti misalnya transmisi partikel terinhalasi (varicella zoster) langsung melalui

udara. Ditujukan untuk menurunkan risiko transmisi udara mikroba penyebab

infeksi baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei atau partikel debu yang

mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba tersebut akan terbawa aliran

udara >2m dari sumber, dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama

dan jauh dari pasien sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan, misal

penanganan udara dan ventilasi yang penting dalam pencegahan transmisi melalui

udara, droplet nuklei atau sisik kulit luka terkontaminasi oleh mikroorganisme S.

aureus.

2.5. Healthcare associated infection (HAIs)

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia,

termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari

(25)

sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi

nosokomial. Dengan berkembangnya sistem pelayanan kesehatan khususnya

dalam bidang perawatan pasien, sekarang perawatan tidak hanya di rumah sakit

saja, melainkan juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang dimaksudkan

untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien, bila dilakukan tidak sesuai

prosedur berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi, baik bagi pasien (yang

lain) atau bahkan pada petugas kesehatan itu sendiri. Karena seringkali tidak bisa

secara pasti ditentukan asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial

(Hospital acquired infection) diganti dengan istilah baru yaitu

Healthcare-associated infections(HAIs)dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Juga tidak

terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang

didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien. Khusus untuk infeksi

yang terjadi atau didapat di rumah sakit, selanjutnya disebut sebagai infeksi rumah

sakit (Hospital infection).

Darmadi (2008) menyatakan bahwa suatu infeksi dapat dikatakan didapat

dari rumah sakit apabila memiliki ciri-ciri pada waktu penderita mulai dirawat di

rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut, pada waktu

penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari

infeksi, tanda-tanda klinik infeksi timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam

sejak mulai perawatan, infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari

(26)

tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat

dirumah sakit yang sama pada waktu yang kaku serta belum pernah dilaporkan

sebagai infeksi nosokomial.Darmadi (2008) menyatakan bahwa HAIs dapat

dicegah dan dikendalikan dengan memperhatikan tiga faktor yaitu kesadaran dan

rasa tanggung jawab para petugas bahwa dirinya dapat menjadi sumber penularan

atau media perantara dalam setiap prosedur dan tindakan medis, sehingga dapat

menimbulkan terjadinya HAIs. Selalu ingat akan metode mengeliminasi mikroba

patogen melalui tindakan aseptik, disinfeksi, dan sterilisasi.

2.6. Kejadian luar biasa (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian

kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah

dalam kurun waktu tertentu. Untuk mengetahui adanya ancaman KLB maka

dilakukan kajian secara terus menerus dan sistematis terhadap berbagai jenis

penyakit berpotensi KLB dengan menggunakan bahan kajian yaitu data surveilans

infeksi yang terjadi di RS, kerentanan pasien antara lain status gizi, kondisi

penyakit saat masuk RS, kerentanan tindakan penanganan terhadap pasien,

kerentanan perawatan pasien dan kerentanan lingkungan pasien dirawat.

Tujuan investigasi KLB adalah terselenggarakannya kewaspadaan dan

kesiap siagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB serta teridentifikasinya

ancaman KLB, terselenggaranya peringatan kewaspadaan dini, terselenggaranya

kesiap siagaan menghadapi kemungkinan terjadinya KLB, terdeteksi secara dini

kondisi rentan KLB ,terdeteksi secara dini adanya KLB, terselenggaranya

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitiann ini adalah (1) Tersedianya aplikasi pemetaan atau informasi geografis SMP Negeri di Kecamatan Tampan yang berbasis Mobile untuk

Lampiran 13.Dokumentasi Kondisi Lapangan Selama Pengamatan Burung di Hutan Mangrove

Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan menggunakan instrumen yang

[r]

 guru memberikan kesempatan pada siswa lain, apabila ada siswa yang mempunyai pemikiran yang beda antara siswa satu dengan siswa yang telah menyampaikan

keragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki. kompleksitas yang tinggi karena terjadi interkasi yang tinggi antar

[r]

Salah satu parameter untuk mengukur tingkat keberhasilan seseorang dalam belajar matematika adalah dari prestasi yang diperolehnya. Prestasi belajar matematika siswa, baik