• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI) Lhoknga, Aceh Besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI) Lhoknga, Aceh Besar"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

II.1 Corporate Social Responsibility (CSR)

Program tanggung jawab sosial perusahaan atau yang sekarang dikenal

dengan Corporate Social Responsibility (CSR) pertama kali dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 yang menyebutkan pelaksanaan program

tanggung jawab sosial perusahaan hanya berorientasi pada filantropi.

Perkembangan CSR sendiri secara umum terdiri dari 3 (tiga) periode, yaitu era

tahun 1950-1960an, tahun 1970-1980an dan tahun 1990an sampai sekarang.

Masing-masing periode berkembang sesuai dengan keadaan dimasing-masing

periodenya, sampai pada saat ini CSR dijadikan salah satu strategi untuk

meningkatkan citra perusahaan. Namun istilah Corporate Social Responsibility (CSR) baru mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama

setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.

CSR sendiri belum mempunyai satu definisi yang general. Bahkan tidak

jarang para ahli berbeda pandangan mengenai CSR. Berikut beberapa pendapat

ahli mengenai CSR :

1. Menurut World Business Council on Sustainable Development

CSR adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berprilaku etis dan

berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,

seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya,

(2)

2. Menurut Wibisono (2007)

CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk

bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan

ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman

dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya.

3. Menurut Suharto (2008)

CSR adalah operasi bisnis dengan komitmen yang tidak hanya untuk

meningkatkan keuntungan finansial, melainkan juga untuk membangun

sosial-ekonomi kawan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan.

4. Menurut Widjaja & Yeremia (2008)

CSR merupakan bentuk kerjasamaantara perusahaan (tidak hanya

Perseroan Terbatas) dengan segala hal (stake-holders) yang secara

langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan untuk

tetap menjamin keberadaan & kelangsungan hidup usaha (sustainability)

perusahaan.

5. Menurut Kotler & Nance, 2005

Mendefinisikannya CSR sebagai komitmen korporasi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kebijakan

praktik bisnis dan pemberian kontribusi sumber daya korporasi. Dari

.pengertian tersebut tampak bahwa CSR merupakan social responsibility

dan perusahaan dalam hubungannya dengan pihak internal dan eksternal.

Sedangkan Menurut Ismail Solihin (2009) CSR diartikan kedalam 3

(3)

a. Corporate Social Responsibility is a commitment to improve community well-being throught, discretionary business practices & contributions of corporate resources.

b. Achieving commercial success in ways that honor ethical value and respect people, communities and the natural environment.

c. The willingness of an organization to incorporate social and environment consideration in its decision making and be accountable for the impact of its decisions and activities on society and environment.

Ketiga definisi yang disampaikan Ismail Solihin diatas setidaknya

mewakili beberapa pengertian CSR lainnya yang pada dasarnya terdiri dari 3

(tiga) elemen kunci, yaitu :

1. CSR adalah komitmen, kontribusi, cara pengelolaan bisnis dan

pengambilan keputusan dari perusahaan.

2. Komitmen, kontribusi, cara pengelolaan bisnis dan pengambilan

keputusan perusahaan didasarkan pada akuntabilitas,

mempertimbangkan aspek sosial juga lingkungan, memenuhi tuntutan

etis, legal dan professional.

3. Perusahaan memberikan dampak nyata pada pemangku kepentingan dan

secara khusus pada masyarakat sekitar.

II.1.1 Konsep Piramida CSR

Dalam pandangan Archie B. Carrol, CSR adalah puncak piramida yang

erat terkait dan bahkan identik dengan tanggung jawab filantropis (Zaim Saidi,

(4)

dikembangkannya akan menjustifikasi secara teoritis dan logis mengapa sebuah

perusahaan melakukan CSR. Berikut Carrol menjelaskan konsep piramidanya :

Gambar 1 Konsep Piramida Archie B. Carrol

Sumber : Zaim Saidi. Hamid Abidin. 2004 Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia, Depok: Piramida

1. Tanggung jawab ekonomis (economic responsibility)

Kata kuncinya adalah make profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba yang merupakan fondasi perusahaan. Perusahaan

harus mempunyai nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat bagi

perusahaan tetap hidup dan berkembang.

2. Tanggung jawab legal (legal responsibility)

Kata kuncinya adalah obey the law. Perusahaan harus taat akan hukum yang berlaku dan melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh

hukum. Hal ini sebagai bagian perusahaan mengikuti peraturan dari

(5)

3. Tanggung jawab etis (ethical responsibility)

Perusahaan perlu menjalankan praktek bisnis yang baik, benar, adil dan

fair. Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan. Dalam hal ini kata kuncinya adalah be ethical.

4. Tanggung jawab filantropis (philanthropic responsibility)

Perusahaan dituntut memberi kontribusi yang dapat dirasakan langsung

oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas

kehidupan semua. Kata kuncinya adalah be good citizen. Hal ini membuat pemilik dan pegawai perusahaan dikenal dengan istilah non-fiduciary responsibility, yaitu tanggung jawab ganda yakni kepada perusahaan dan kepada publik.

II.1.2 Komponen CSR

Menurut Wibisono (2007:134), CSR terdiri dari beberapa komponen

utama yaitu perlindungan lingkungan, perlindungan dan jaminan karyawan,

interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, kepemimpinan dan

pemegang saham, penanganan produk dan pelanggan, pemasok (supplier) serta komunikasi dan laporan.

a. Perlindungan lingkungan

Perlindungan lingkungan dilakukan perusahaan sebagai wujud kontrol

sosial yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Lingkungan

tempat usaha harus dijaga keadaannya jangan sampai terjadi kerusakan,

sehingga eksistensi perusahaan juga dapat terjamin. Contohnya:

pengelolaan limbah yang dihasilkan sebagai residu dari proses produksi

(6)

b. Perlindungan dan jaminan karyawan

Tanpa karyawan perusahaan sudah dapat dipastikan tidak mampu

menjalankan kegiatannya. Kesejahteraan karyawan merupakan hal

mutlak yang menjadi tolak ukur bagi perusahaan dalam menghargai

karyawannya. Pada saat karyawan merasa bahwa dirinya bersinergi

dengan perusahaan, hal ini akan berdampak positif bagi perusahaan.

Perusahaan memberikan imbalan yang sesuai maka karyawan akan

memberikan kontribusi yang positif demi perusahaan. Contohnya adalah

dengan melaksanakan pelatihan bagi karyawan.

c. Interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat

Peran masyarakat dalam menentukan kebijakan perusahaan penting,

sehingga perusahaan dengan masyarakat sekitar harus menjaga

harmonisasi agar bersinergi. Pada saat masyarakat lokal memboikot

keberadaan perusahaan ini merupakan masalah yang serius bagi

keberlanjutan usaha. Contoh kegiatan ini adalah memperkerjakan native atau penduduk lokal di perusahaan.

d. Kepemimpinan dan pemegang saham

Pemegang saham merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan

terhadap pencapaian keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini

disebabkan mereka telah berinvestasi dan mengharapkan hasil investasi

yang paling maksimal dari saham yang mereka miliki. Contohnya:

semua informasi tentang program yang dilakukan perusahaan dapat

(7)

e. Penanganan pelanggan dan produk

Pada saat pelanggan merasa puas dengan produk yang dihasilkan maka

mereka akan repeat order. Hal ini yang membuat bisnis dapat terus bergulir dan keuntungan dapat dinikmati. Pada saat hal-hal yang

mendetail mengenai pelanggan diabaikan mereka akan melakukan

brandswitching. Hal ini yang akan membuat perusahaan mengalami kerugian. Contohnya adalah menanggapi keluhan pelanggan dengan

menyediakan customer service yang mudah diakses.

f. Pemasok (supplier)

Pemasok merupakan pihak yang menguasai jaringan distribusi.

Hubungan yang baik dengan pemasok menguntungkan perusahaan.

Karena pemasok telah mengetahui keinginan perusahaan dan

memenuhinya. Contohnya adalah komunikasi dengan pemasok.

g. Komunikasi dan laporan

Keterbukaan terhadap komunikasi dan pelaporan yang tercermin melalui

sistem informasi akan membantu dalam pengambilan keputusan.

Diperlukan keterbukaan informasi material dan relevan bagi stakeholder.

Contohnya yaitu mencantumkan pengungkapan kontribusi sosial

kedalam laporan tahunan.

II.1.3 Jenis-Jenis CSR

Kotler dan Lee (2006) dalam Solihin Ismail menyebutkan ada 6 (enam)

jenis aktivitas program CSR yang umum dilaksanakan oleh perusahaan, yaitu :

(8)

Pada aktivitas CSR ini perusahaan menyediakan dana atau sumber daya

lainnya yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat terhadap suatu kegiatan sosial atau untuk mendukung

pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat atau perekrutan tenaga

sukarela untuk suatu kegiatan tertentu. Fokus utama dari kategori

aktivitas CSR ini adalah komunikasi persuasif, dengan tujuan

menciptakan kesadaran masyarakat terhadap suatu masalah sosial.

2. Pemasaran terkait kegiatan sosial (Cause Related Marketing)

Pada aktivitas CSR ini perusahaan memiliki komitmen untuk

menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannnya untuk suatu

kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk. Kegiatan ini

biasanya didasarkan kepada penjualan produk tertentu, untuk jangka

waktu tertentu serta untuk aktivitas derma tertentu.

3. Kegiatan filantropis perusahaan (Corporate Philantrophy)

Pada aktivitas CSR ini perusahaan memberikan sumbangan langsung

dalam bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu. Sumbangan

tersebut biasanya berbentuk pemberian uang secara tunai,

bingkisan/paket bantuan atau pelayanan secara gratis. Kegiatan filantropi

biasanya berkaitan dengan berbagai kegiatan sosial yang menjadi

prioritas perhatian perusahaan.

4. Pekerja sosial kemasyarakatan secara sukarela (Community Volunteering)

Pada aktivitas CSR ini perusahaan mendukung dan mendorong para

(9)

menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna membantu

organisasi-organisasi masyarakat lokal maupun masyarakat yang menjadi sasaran

program.

5. Pemasaran kemasyarakatan korporat (Corporate Societal Marketing)

Pada aktivitas CSR ini perusahaan mengembangkan dan melaksanakan

kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat dengan tujuan

meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian

lingkungan hidup serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Corporate social marketing ini dilakukan perusahaan dengan tujuan untuk mengubah perilaku masyarakat (behavioral changes) dalam suatu isu tertentu.

Fokus dari aktivitas kategori ini adalah untuk mendorong perubahan

perilaku yang berkaitan dengan:

a. Isu-isu Kesehatan (health issues)

b. Isu-isu Perlindungan Terhadap Kecelakaan (injury prevention issues)

c. Isu-isu Lingkungan (environmental issues)

d. Isu-isu Keterlibatan Masyarakat (community involvement issues)

6. Praktika bisnis yang mempunyai tanggung jawab sosial (Socially Responsible Business Practice).

Pada aktivitas CSR ini perusahaan melaksanakan aktivitas bisnis

melampaui aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum serta

melaksanakan investasi yang mendukung kegiatan sosial dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan komunitas dan memelihara lingkungan

(10)

Komunitas dalam hal ini mencakup karyawan perusahaan, pemasok,

distributor, organisasi-organisasi nirlaba yang menjadi mitra perusahaan

serta masyarakat secara umum. Sedangkan kesejahteraan dalam hal ini

mencakup didalamnya aspek-aspek kesehatan, keselamatan, pemenuhan

kebutuhan psikologis dan emosional.

II.1.4 Tahapan Pelaksanaan CSR

Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan CSR, yaitu:

1. Tahap perencanaan

Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama, yaituAwareness Building, CSR

Assessement,danCSR Manual Building.

a. Awareness Buildingmerupakan langkah utama membangun kesadaran

pentingnya CSR dan komeitmen manajeman, upaya ini dapat berupa

seminar, lokakarya, dan lain-lain.CSR.

b. Assessementmerupakan upaya memetakan kondisi perusahaan dan

mengidentifikasikan aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas

perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur

perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah

selanjutnya membangunCSR

c. Manual Building, dapat melaluibencmarking, menggali dari referensi

atau meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan.

Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan

keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna

(11)

2. Tahap implementasi

Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang penting diperhatikan, yaitu

penggorganisasian (organizing) sumber daya, penyusunan (staffing),

pengarahan (direction), pengawasan atau koreksi (controlling),

pelaksanaan sesuai rencana, dan penilaian (evaluation) tingkat

pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama,

yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi.

3. Tahap evaluasi

Tahap evaluasi perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu

untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR.

4. Pelaporan

Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik

untuk keperluan pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan

inforrmasi material dan relevan mengenai perusahaan.

II.1.5 Motif CSR

Meskipun secara hakikatnya CSR adalah bagian dari tanggung jawab

perusahaan terhadap sekitar, namun tidak ada satupun perusahaan yang

melaksanakan CSR tanpa memliki motivasi. Wibisono (2007:78 menyatakan

bahwa sulit untuk menentukan benefit perusahaan yang menerapkan CSR, karena

tidak ada yang dapat menjamin bahwa bila perusahaan yang telah

mengimplementasikan CSR dengan baik akan mendapat kepastian benefit-nya.

Oleh karena itu terdapat beberapa motif dilaksanakanya CSR, diantaranya:

(12)

Perbuatan destruktif pasti akan menurunkan reputasi perusahaan,

sebaliknya kontribusi positif pasti akan mendongkrak citra dan reputasi

positif perusahaan. Karena itu penting bagi perusahaan agar terus

menjaga citra perusahaannya agar selalu memiliki penilaian baik dari

konsumen. Bahkan tidak hanya menjaga, tapi perusahaan juga harus

melakukan usaha-usaha yang mampu menaikkan elaktabilitasnya dimata

masyarakat.

2. Layak Mendapatkan Social Licence to Operate

Masyarakat sekitar adalah komunitas utama perusahaan. Ketika mereka

mendapatkan keuntungan dari perusahaan, maka dengan sendirinya

mereka akan merasa memiliki perusahaan. Sehingga imbalan yang

diberikan kepada perusahaan adalah keleluasaan untuk menjalankan roda

bisnisnya dikawasan tersebut. Sebaliknya, jika masyarakat sekitar tidak

merasa dampak positif bagi mereka, perusahaan bisa saja diganggu

dengan berbagai hal.

3. Mereduksi Resiko Bisnis Perusahaan

Disharmoni dengan stakeholders akan menganggu kelancaran bisnis perusahaan. Bila sudah terjadi permasalahan, maka biaya untuk recovery

akan jauh lebih berlipat bila dibandingkan dengan anggaran untuk

melakukan program Corporate Social Responsibility..

4. Melebarkan Akses Sumber Daya

Track records yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu

(13)

Jika tidak, dikhawatirkan perusahaan bisa kalah dalam bersaing dengan

perusahaan lain yang telah menerapkan CSR secara lebih sempurna.

5. Membentangkan Akses Menuju Market

Investasi yang ditanamkan untuk program CSR ini dapat menjadi tiket

bagi perusahaan menuju peluang yang lebih besar. Termasuk

didalamnya memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar

baru. Sehingga konsumen akan terus merasa ingin menggunakan produk

dari perusahaan tersebut.

6. Mereduksi Biaya

Banyak contoh penghematan biaya yang dapat dilakukan dengan

melakukan CSR, misalnya dengan mendaur ulang limbah pabrik ke

dalam proses produksi. Selain dapat menghemat biaya produksi, juga

membantu agar limbah buangan ini menjadi lebih aman bagi lingkungan.

7. Memperbaiki Hubungan dengan Stakehoder

Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) akan membantu menambah frekuensi komunikasi dengan stakeholder, dimana komunikasi ini akan semakin menambah trust stakeholders kepada perusahaan.

8. Memperbaiki Hubungan dengan Regulator

Perusahaan yang melaksanakan CSR umumnya akan meringankan

beban pemerintah sebagai regulator yang sebenarnya bertanggung jawab

terhadap kesejahteraan lingkungan dan masyarakat. Sehingga

(14)

9. Meningkatkan Semangat dan Produktivitas Karyawan

Citra perusahaan yang baik dimata stakeholders dan kontribusi positif yang diberikan perusahaan kepada masyarakat serta lingkungan, akan

menimbulkan kebanggan tersendiri bagi karyawan yang bekerja dalam

perusahaan mereka sehingga meningkatkan motivasi kerja mereka. Hal

ini secara psikologis membuat karyawan bekerja lebih nyaman tanpa

adanya tekanan dari masyarakat sekitar.

10. Peluang Mendapatkan Penghargaan

Banyaknya penghargaan atau reward yang diberikan kepada pelaku CSR

sekarang, akan menambah kans bagi perusahaan untuk mendapatkan

penghargaan atau award itu sendiri.

Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan

beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003) setidaknya bisa diidentifikasi tiga

motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi,

motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan

pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Tabel 2.1 dibawah ini menggambarkan

motif tersebut :

Tabel 2.1 Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR

(15)

setelah kontrak ditandatangani.

Pada umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar

memenuhi kewajiban kontraktual, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang

dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa

adanya protes dan kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha

memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai

konsep CSR juga dilandasi pemikiran demikian (UN Global Compact, hal. 20).

Secara filantropis perusahaan seharusnya mendistribusikan keuntungan setelah

mereka memanfaatkan resources dilokasi dimana masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban moral, namun motif yang didasarkan pada komitmen moral

tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Mulyadi (2003) membagi

stakeholders berdasarkan kepentingannya. Hal ini bisa dilihat dari tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan Program CSR

(16)

Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan

perusahaan, pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa

membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran,

kemiskinan, masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan

masalah lingkungan yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan

bahwa perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk

mendukung program pembangunan regional yang diimplementasikannya.

Pemerintah yang menjadi penanggungjawab utama dalam mensejahterakan

masyarakat dan melestarikan lingkungan tidak akan menanggung beban tersebut

jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan partisipasi, salah satunya yang

paling potensial adalah dari perusahaan, agar akselerasi pembangunan dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.

Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR

dan cara pandang inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan

tersebut dalam melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di

masyarakat. Setidaknya terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam

menerapkan program CSR menurut Wibisono (2007), diantaranya :

1. Sekedar basa basi dan keterpaksaan

Dalam hal ini CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal, baik

karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya

pemenuhan tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat

tuntutan daripada kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan

(17)

mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya

mendongkrak citra dengan mamanfaatkan peristiwa bencana alam

seperti memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya yang

kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya

melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi.

2. Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance).

CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan

yang memaksanya. Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar

(market driven). Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan

CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat

global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi

dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial.

Selain market driven, driven lain yang yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktkan CSR adalah adanya

penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau

lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper

(Program Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian

Lingkungan Hidup.

3. Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekedar

kewajiban (beyond compliance) atau (compliance plus).

Diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam

(internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggungjawabnya

(18)

kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan

lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada

kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara

berkelanjutan.

Selain itu, implementasi CSR diperusahaan pada umumnya dipengaruhi

beberapa faktor (Wibisono, 2007), yaitu :

1. Terkait dengan komitmen pemimpinnya. Perusahaan yang pimpinannya

tidak tanggap dengan masalah sosial, jangan harap memperdulikan

masalah sosial.

2. Menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Hal ini dapat

dimengerti karena setiap perusahaan yang melakukan CSR biasanya

merupakan perusahaan yang sudah mempunyai tingkat ekspansi yang

tinggi sehingga mempunyai tingkat kematangan yang baik dalam

manajemennya.

3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin

kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan

lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk

berkontribusi kepada masyarakat.

II.I.6 Ukuran Keberhasilan

Melihat tingkat keberhasilan pelaksanaan CSR bagi suatu perusahaan

sangat penting. Secara umum, melihat sejauh mana efektifitas pelaksanaan CSR

(19)

eksternal. Hal tersebut seperti dijelaskan oleh Yusuf Wibisono dalam bukunya,

“Membedah Konsep dan Aplikasi CSR”.

1. Indikator Internal

Indikator Internal adalah parameter pelaksanaan CSR yang melihat

sejauh mana efek dari pelaksanaan CSR dari sudut pandang perusahaan.

Dalam hal ini unsur-unsur dari dalam perusahaan yang terlibat dalam

pelaksanaan CSR dapat dijadikan indikator. Terdapat 3 aspek dalam

indikator internal, yaitu :

a. Minimize

Meminimalkan perselisihan/konflik/potensi konflik antara perusahaan

dengan masyarakat dengan harapan terwujudnya hubungan yang

harmonis dan kondusif

b. Asset

Aset perusahaan yang terdiri dari pemilik/pimpinan perusahaan,

karyawan, pabrik dan fasilitas pendukungya terjaga dan terpelihara

dengan aman

c. Operational

Seluruh kegiatan terjaga dan terpelihara dengan aman.

2. Indikator Eksternal

Indikator Eksternal merupakan parameter yang dilakukan dengan

mengukur faktor-faktor yang terjadi diluar perusahaan. Hal ini

menyangkut kepada apa yang dirasakan penerima program CSR.

Indikator eksternal dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu Aspek

(20)

a. Aspek Ekonomi

Aspek Ekonomi dapat ditilik melalui beberapa hal-hal, seperti :

- Tingkat pertambahan kualitas sarana dan prasarana umum

- Tingkat peningkatan kemandirian masyarakat secara ekonomis

- Tingkat peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat secara

berkelanjutan

b. Aspek Sosial

Aspek Sosial dapat ditilik melalui hal-hal berikut :

- Frekuensi terjadinya gejolak/konflik sosial

- Tingkat kualitas Hubungan Sosial antara perusahaan dengan

masyarakat

- Tingkat Kepuasan Masyarakat

II.1.7 Manfaat CSR

Dalam buku, “Membedah Konsep dan Aplikasi CSR”, Yusuf Wibisono

(2007:99) menguraikan keuntungan yang dapat diperoleh oleh perusahaan jika

melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang ditinjau dari aspek stakeholder dari CSR itu sendiri , yaitu:

1. Bagi Perusahaan

Terdapat empat manfaat yang diperoleh perusahaan dengan

mengimplementasikan CSR, yaitu:

a. Keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan

mendapatkan citra yang positif dari masyarakat luas.

(21)

c. Perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human

resources) yang berkualitas.

d. Perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal

yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan

manajemen risiko (risk management).

2. Bagi Masyarakat

Praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya

perusahaan disuatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja,

meningkatkan kualitas sosial didaerah tersebut. Pekerja lokal yang

diserap akan mendapatkan perlindungan akan hak-haknya sebagai

pekerja. Jika terdapat masyarakat adat atau masyarakat lokal, praktek

CSR akan menghargai keberadaan tradisi dan budaya lokal tersebut.

3. Bagi Lingkungan

Praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya

alam, menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan

justru perusahaan terlibat mempengaruhi lingkungannnya. Hal ini

pastinya untuk tetap mempertahankan keberlangsungan lingkungan itu

sendiri.

4. Bagi Negara

Praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut “corporate misconduct” atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum yang memicu tingginya korupsi. Selain itu,

(22)

digelapkan) oleh perusahaan. Karena instrumen ini merupakan salah satu

pendapatan paling besar dalam pendapatan per kapita Negara.

II.1.8 Acuan Pelaksanaan CSR

Dalam pelaksanaan CSR, setiap perusahaan biasanya mengacu pada

Guidance ISO 26000. Berbeda dari bentuk ISO yang lain seperti ISO 9001: 2000 dan 14001: 2004, ISO 26000 hanya sekedar standar dan panduan, tidak

menggunakan mekanisme sertifikasi. Dengan menggunakan istilah Guidance

Standard on Social Responsibility, menunjukkan bahwa ISO 26000 tidak hanya diperuntukkan bagi corporate (perusahaan) melainkan juga untuk semua sektor

publik dan privat. Tanggung jawab sosial dapat dilakukan oleh institusi

pemerintah Non Governmental Organisation (NGO) dan tentunya sektor bisnis dikarenakan setiap organisasi dapat memberikan akibat bagi lingkungan sosial

maupun alam. Sehingga adanya ISO 26000 ini membantu organisasi dalam

pelaksanaan Social Responsibility, dengan cara memberikan pedoman praktis

serta memperluas pemahaman publik terhadap Social Responsibility.

ISO 26000 mencakup beberapa aspek berikut :

a. ISO 26000 menyediakan panduan mengenai tanggung jawab sosial

kepada semua bentuk organisasi tanpa memperhatikan ukuran dan

lokasi.

b. ISO 26000 mendorong organisasi untuk melaksanakan aktivitas lebih

sekedar dari apa yang diwajibkan.

c. ISO 26000 menyempurnakan/melengkapi instrumen dan inisiatif lain

(23)

d. Mempromosikan terminologi umum dalam lingkupan tanggung jawab

sosial dan semakin memperluas pengetahuan mengenai tanggung jawab

sosial.

e. Konsisten dan tidak berkonflik dengan traktat internasional dan

standarisasi ISO lainnya serta tidak bermaksud mengurangi otoritas

pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab sosial oleh suatu

organisasi.

f. Prinsip ketaatan pada hukum/legal compliance, prinsip penghormatan

terhadap instrumen internasional, prinsip akuntabilitas, prinsip

transparasi, prinsip pembangunan keberlanjutan, prinsip ethical conduct,

prinsip penghormatan hak asasi manusia, prinsip pendekatan dengan

pencegahan dan prinsip penghormatan terhadap keanekaragaman.

II.2 Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia

Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun

1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang

merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap

aspek sosial dan lingkungan. Selain CSA, CSR juga dikenal dengan nama-nama

(24)

(empat) nama diatas bisa pula dilihat dari dimensi atau pendekatan CSR dalam

konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investmen/Investing) yang

didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif “amal” hingga

“pemberdayaan” (Brilliant, 1998: 299-313). Dan baru pada tahun 2003,

Departemen Sosial melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt” tercatat

sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan

melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.

Dari sekian banyak definisi CSR, salah satu yang menggambarkan CSR

di Indonesia adalah definisi Suharto (2006) yang menyatakan bahwa CSR adalah

operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan

perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi

kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Dari sini dapat dilihat

bahwa penerapan CSR harusnya menggunakan pendekatan yang

mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam

interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan.

Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan

ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc, partial, dan tidak lembaga. CSR tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori ”perusahaan

impresif”, yang lebih mementingkan ”tebar pesona” (promosi) ketimbang ”tebar

karya” (pemberdayaan) (Suharto, 2008). Perusahaan-perusahaan seperti PT

(25)

serta perusahaan BUMN lainnya telah cukup lama terlibat dalam menjalankan

CSR.

Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai

pendekatan karitatif semacam itu karena tidak mampu meningkatkan keberdayaan

atau kapasitas masyarakat lokal. Pendekatan community development kemudian semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development. Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti fairness, transparency, acaountability, dan responbility kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. Kegiatan CSR yang dilakukan saat

ini juga sudah mulai beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

setempat berdasarkan need assesment. Mulai dari pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi UKM, social forestry,

pemberian beasiswa, penyuluhan HIV/AIDS, penguatan kearifan lokal,

pengembangan skema perlindungan sosial berbasis masyarakat dan seterusnya.

CSR pada tataran ini tidak sekadar do good dan to look good, melainkan pula to make good, menciptakan kebaikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

II.2.1 Implementasi CSR di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, CSR mengalami peningkatan baik dalam

hal kuantitas dan juga kualitas. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan

oleh PIRAC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia

mencapai lebih dari 115 miliar rupiah atau sekitar 11.5 juta dollar AS dari 180

perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media

massa. Meskipun dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR

(26)

Indonesia cukup menggembirakan. Angka rata-rata perusahaan yang

menyumbangkan dana bagi kegiatan CSR adalah sekitar 640 juta rupiah atau

sekitar 413 juta per kegiatan. Sebagai perbandingan, di AS porsi sumbangan dana

CSR pada tahun 1998 mencapai 21.51 miliar dollar dan tahun 2000 mencapai 203

miliar dollar atau sekitar 2.030 triliun rupiah (Saidi, 2004:64)

Tingginya angka pelaksanaan CSR di Indonesia menunjukkan bahwa

perusahaan sudah mulai untuk membuka diri kepada lingkungan sekitar (terlepas

apapun motifnya). Namun hal ini juga juga bukan tanpa celah, karena disadari

atau tidak pelaksanaan CSR di Indonesia masih dilakukan secara aksidental tanpa

adanya arah yang jelas. Padahal sangat banyak manfaat andaikan CSR dilakukan

dengan arahan yang jelas. Contoh sederhananya adalah adndai CSR diarahkan

pada bidang pendidikan, tentu memberikan manfaat ganda baik kepada

masyarakat maupun negara. Bagi masyarakat, kalangan kurang mampu akan

mampu menikmati pendidikan dengan layak sesuai kualitas yang memenuhi

standar. Begitu juga dengan negara, dengan CSR dapat menolong pemerintah

dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam mencerdaskan anak bangsa.

Hal-hal seperti ini pastinya akan dapat terealisasi seandainya terdapat regulasi jelas

yang mengatur tentang hal ini.

Sebenarnya di Indonesia sudah ada UU tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup yang mengatur tentang pelaksanaan CSR yang dalam hal ini disebut

sebagai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). Namun UU ini belum

mampu sepenuhnya mendorong pelaksanaan kegiatan CSR secara sistematis.

Apalagi dalam UU tersebut hal yang diatur sangat terbatas. Hal yang diatur

(27)

bergantung pada inisiatif perusahaannya saja. Padahal jika kita bercermin dari

negara-negara maju, perusahaan sudah wajib melaksanakan CSR dan

melaporkannya secara periodik. Hal ini dilakukan untuk memantau dan

mengontrol pelaksanaan CSR setiap perusahaan. Regulasi yang ada juga mengatur

tentang sanksi yang tegas bagi pelanggaran terhadap pelaksanaan CSR. Sanksi

yang diberikan mulai dari yang ringan seperti peringatan tertulis hingga

dikeluarkan dari lantai bursa bagi perusahaan go public.

Karena itu perlunya kembali dirumuskan UU yang lebih konkret tentang

CSR sesuai dengan kondisi di Indonesia. UU yang dikeluarkan harus mampu

mengakomodir kepentingan semua pihak. Karena bagaimanapun, para pelaku

usaha sebagai pemilik modal tidak akan setuju bila ada regulasi yang mengganggu

kepentingan mereka terkait omset yang mereka bangun.

II.2.2 Model CSR

Sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan

oleh perusahaan di Indonesia (Saidi, 2004:64-65), yaitu:

1. Keterlibatan langsung

Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan

menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan

ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah

perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya seperti

corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.

(28)

Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau

groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim

diterapkan diperusahaan-perusahaan dinegara maju. Biasanya,

perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang

dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan

yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola

Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan

Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund.

3. Bermitra dengan pihak lain

Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga

sosial/organisasi non-pemerintah (NGO/ LSM), instansi pemerintah,

universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam

melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang

bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain

adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas

(UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).

4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.

Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu

lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan

dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah

perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau

(29)

mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan

lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang

disepakati bersama.

II.2.3 Landasan Hukum CSR di Indonesia

Selain (Guidance) ISO 26000 yang menjadi acuan bagi setiap

perusahaan dalam melakukan CSR, tentunya disetiap negara memiliki peraturan

tersendiri dalam melaksanakan CSR. Di Indonesia sendiri khususnya dalam sitem

perundang-undangnya, Indonesia memakai istilah Tanggung Jawab Sosial

Lingkungan. Berikut 3 (tiga) peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk

menjalankan program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR, yaitu :

1. Keputusan Menteri BUMN Tentang Program Kemitraan Bina

Lingkungan (PKBL).

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal

1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha

Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program

untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan

mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan

pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang

selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi

sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian

laba BUMN.

Adapun ruang lingkup bantuan Program BL BUMN, berdasarkan

(30)

a. Bantuan korban bencana alam;

b. Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;

c. Bantuan peningkatan kesehatan;

d. Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;

e. Bantuan sarana ibadah;

f. Bantuan pelestarian alam.

2. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007

Peraturan lain yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007, tentang Penanaman Modal, baik penanaman modal dalam

negeri, maupun penenaman modal asing. Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan

bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung

jawab sosial lingkungan (TJSL). Yang dimaksud dengan TJSL adalah

tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal

untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai

dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

3. Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001

Khusus bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola Sumber Daya

Alam (SDA) dalam hal ini minyak dan gas bumi, terikat oleh

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi.

Berdasarkan Undang-undang tersebut, perusahaan wajib melaksanakan

kegiatan pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat

(31)

II.3 Penelitian Terdahulu

Salah satu faktor yang mendukung penelitian ini adalah

penelitian-penelitian terdahulu yang mempunyai tema pembahasan yang juga sama. Hal ini

tentu untuk menambah referensi bagi peneliti dalam melaksanakan penelitiannya.

Dan berikut beberapa penelitian yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian

ini :

1. Seravina (2008) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh

Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Loyalitas Nasabah Tabungan Britama (Studi Kasus Pada Nasabah PT. Bank

Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Cabang Bogor)”.

Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peranan

program CSR terkait dengan loyalitas nasabah, khususnya pada nasabah

tabungan Britama. Penelitian eksplanatori ini menjelaskan kaitan atau

hubungan antar variabel dalam penelitian melalui pengujian hipotesa.

Untuk mempermudah dalam menjabarkan hasil penelitiannya, penulis

menggunakan alat analisis deskriptif serta analisis rank spearman dalam

menganalisa hubungan yang terjadi antara program CSR terhadap

loyalitas nasabah. Dari hasil penelitiannya tersebut, menunjukkan bahwa

terdapat 96% responden yang memberikan tanggapan positif terhadap

pelaksanaan CSR BRI.

2. Prasetya (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh

Corporate Social Responsibility „Lifebuoy Berbagi Sehat‟ Terhadap Loyalitas Konsumen dan Citra Perusahaan Unilever Indonesia (Studi

(32)

Pada penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa Brand Awareness produk Lifebuoy di Kota Bogor mencapai 100 persen aware dengan posisi Top of Mind 61 persen, Brand Recall 33 persen dan Brand Recognition 6 persen. Sementara efektifitas iklan televisi CSR “Lifebuoy

Berbagi Sehat” melalui perhitungan CRI adalah sebesar 76,99 persen.

Kemudian terdapat hubungan positif yang kuat antara kegiatan CSR

dengan loyalitas konsumennya (39,2%) serta positif lemah dengan citra

perusahaan (16,1%).

3. Panggabean (2009) dengan judul penelitian “Pengaruh Kegiatan

Filantropi Perusahaan Terhadap Citra Medco (Studi Kajian Bidang

Pendidikan)”

Penelitian menghasilkan bahwa terdapat pengaruh positif antara kegiatan

filantropi terhadap citra Medco. Hasil ini didapatkan setelah

mengkorelasikan dan meregresikan antara kegiatan filantropi Medco

dengan teori citra yang telah dilakukan survey lapangan.

4. M. Faroid (2014) dengan judul penelitian Pengaruh Penerapan

Corporate Social Responbility Terhadap Citra Perusahaan PT. Tirta Investama Keboncandi pada Masyarakat Desa Jeladri Winongan

Pasuruan.

(33)

Investama Keboncandi Jeladri Winongan Pasuruan. Hal ini

menunjukkan perlunya evaluasi dari perusahan terhadap indikator

lingkungan perusahaan yang perlu perbaikan agar citra perusahaan tetap

terjaga dan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat dalam

menjalankan program-program CSR tetap berjalan secara harmonis dan

Gambar

Gambar 1 Konsep Piramida Archie B. Carrol
Tabel 2.1 Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR
Tabel 2.2 Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan Program CSR

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Konsumsi buah-buahan merupakan salah satu dasar dari pola konsumsi yang sehat. Buah tropis, juga disebut buah-buahan.. eksotik, merupakan sumber penting dari vitamin,

Namun kembali lagi kepada penafsiran, orang Yahudi kuno juga ada yang berpendapat bahwa Mesias itu tidak mati dan bangkit karena mereka lebih menginginkan Mesias anak Daud yang

Karena seperti yang sudah dijelas- kan di atas, salah satu faktor yang menyebabkan orang lain bisa masuk ke dalam komputer adalah terjadi akibat apli- kasi atau program yang

Proses komunikasi politik yaitu proses penyampaian pesan – pesan politik yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah oleh aktor-aktor politik

Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan..

Sekolah kami perlu berkordinasi dengan dewan pendidikan dan dinas pendidikan kabupaten dalam penyusunan dan pengesahan EDS Pelaksanaan Rencana Kerja Sekolah menjalin kemitraan

Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan di atas maka akan dilakukan penelitian dengan menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi perubahan