• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Efek Minyak Wijen, Minyak Almond, dan Minyak Zaitun terhadap Penetrasi Indometasin melalui Kulit Kelinci secara In Vitro dari Basis Gel Alginat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Efek Minyak Wijen, Minyak Almond, dan Minyak Zaitun terhadap Penetrasi Indometasin melalui Kulit Kelinci secara In Vitro dari Basis Gel Alginat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran

Difusi didefenisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas (barrier), misalnya membran polimer. Sebagai contoh, perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang (saluran) (Martin, et al., 1993).

2.1.1 Hukum Fick pertama

Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu t dikenal sebagai aliran dengan simbol, J (Martin, et al., 1993).

J =

dM

Sdt

.

(1)

Di mana: M = massa (gram)

S = luas permukaan batas (cm2 )

Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dC/dX:

J = - D dC

dX (2)

Di mana: D = koefisien difusi (cm2/detik) C = konsentrasi (gram/cm3)

(2)

Persamaan (2) dikenal sebagai hukum Fick pertama. Persamaan ini memberikan aliran (laju difusi melalui satuan luas) dalam aliran pada keadaan tunak. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor yang diambil, diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar selalu dalam keadaan sink.

Parameter penetrasi perkutan secara in vitro dihitung dari data penetrasi dengan menggunakan persamaan berikut: Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep (mcg)

Js = fluks (mcg/jam.cm2)

Km = koefisien partisi kulit/pembawa (cm/jam2) (Martin, et al., 1993).

2.2 Kulit

(3)

Secara umum, kulit pada kelopak mata adalah yang paling tipis dan kulit pada telapak kaki adalah yang paling tebal (Mitsui, 1997).

2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit

Secara histopatologis kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: a. Lapisan epidermis

b. Lapisan dermis

c. Lapisan subkutan (Wasitaatmadja, 1997).

Gambar 2.1 menunjukkan struktur anatomi kulit (Saurabh, et al., 2014).

Gambar 2.1 Struktur kulit

2.2.1.1 Lapisan epidermis

(4)

Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu: a. Lapisan tanduk (Stratum korneum)

Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk) (Wasitaatmadja, 1997).

b. Lapisan lusidum (stratum lusidum)

Stratum lusidum merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein eleidin. Lapisan ini terdapat jelas di telapak tangan dan kaki. Stratum lusidum terdapat langsung di bawah stratum korneum (Wasitaatmadja, 1997).

c. Lapisan keratohialin (stratum granulosum)

Stratum granulosum merupakan dua atau tiga lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki (Wasitaatmadja, 1997). d. Lapisan spinosum (stratum spinosum)

(5)

spinosum terdapat sel-sel Langerhans yang mempunyai peran penting dalam sistem imun tubuh (Wasitaatmadja, 1997).

e. Lapisan basal (stratum basale)

Lapisan basal merupakan dasar epidermis, berproduksi dengan cara mitosis. Lapisan ini terdiri atas sel-sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal, dan pada taut dermoepidermal berbaris seperti pagar (palisade) (Wasitaatmadja, 1997). 2.2.1.2 Lapisan dermis

Dermis mempunyai lapisan yang jauh lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas:

a. Pa rs pa pila ris, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pa rs retikula ris, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutis, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin dan retikulin.

Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat dan sel-sel fibroblas. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya umur menjadi stabil dan keras. Retikulin mirip dengan kolagen muda, sedangkan elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, mudah mengembang, dan elastis (Wasitaatmadja, 1997).

2.2.1.3 Lapisan subkutan

(6)

trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat tipis. Lapis lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Wasitaatmadja, 1997).

2.2.2 Sistem penyampaian obat melalui kulit

Penyampaian obat secara transdermal menjadi alternatif yang lebih diinginkan untuk meningkatkan efisiensi pengobatan serta lebih aman daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang beberapa kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat melalui kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang lebih disukai daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar, et al., 2010).

2.2.3 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit

Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

a. Durasi kerja yang panjang sehingga frekuensi pemberian obat berkurang b. Kenyamanan pemberian obat

c. Meningkatkan bioavailabilitas

(7)

e. Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karena mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi

f. Kemudahan penghentian pemakaian obat

g. Meningkatkan kepatuhan pasien (Kumar, et al., 2010). 2.2.4 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit

Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa kerugian, antara lain:

a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal

b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan (Kumar, et al., 2010).

2.2.5 Rute penyampaian obat melalui kulit

Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu: jalur transepidermal dan jalur pori. Gambar 2.2 menunjukkan jalur penetrasi obat (Trommer dan Neubert, 2006).

(8)

Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati. Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselular (Hadgraft, 2004).

Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit. Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1% dari total luas kulit manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil(Moser, et al., 2001). Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi penetrasi obat yang diberikan secara topikal (Lademann, et al., 2003).

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelepasan Obat Secara Transdermal

2.3.1 Faktor kimia

Faktor-faktor kimia obat yang dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui kulit yaitu:

a. Berat molekul obat

(9)

b. Lipofilisitas

Pengaruh koefisien partisi terhadap difusi molekul telah dipelajari. Dengan mengacu pada difusi pasif, peningkatan lipofilisitas obat menyebabkan berkurangnya permeasi (Denet, et al., 2004). Sebuah studi serupa dengan nalbuphine dan prodrugnya yang menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas menyebabkan rasio peningkatan penetrasi menurun (Sung, et al., 2003).

c. Formulasi

Faktor lain yang mempengaruhi penetrasi senyawa bioaktif melalui kulit adalah jenis formulasi yang dirancang untuk masuknya obat. Konsentrasi obat mempengaruhi penghantaran topikal dan formulasi memainkan peranan penting dalam pemasukan obat melalui kulit, dengan korelasi antara konsentrasi dan jumlah obat yang dihantarkan melalui kulit (Regnier, et al., 1998). Selanjutnya, peningkatan viskositas pada formulasi menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit yang mungkin disebabkan oleh penurunan difusi.

d. Koefisien Partisi

Koefisien partisi merupakan faktor yang penting untuk permeasi obat melalui stratum korneum. Untuk pemberian obat pertama sampai terakhir, obat harus memiliki karakteristik tertentu yang meliputi massa molekul rendah, kelarutan yang cukup dalam minyak, dan koefisien partisi yang cukup tinggi. Hal ini diamati bahwa semakin tinggi nilai koefisien partisi, obat lipofilik tidak mudah masuk ke stratum korneum (Prakash dan Thiagarajan, 2012).

2.3.2 Faktor biologis

(10)

a. Kondisi Kulit

Kulit yang utuh berfungsi juga sebagai pelindung yang kuat tetapi banyak bahan yang diketahui dapat merusak pelindung tersebut. Beberapa asam maupun basa dapat melukai sel pelindung dan mengizinkan penetrasi obat. Penyakit umumnya mengubah kondisi kulit yang dapat meningkatkan permeabilitas obat. Penyakit yang ditandai dengan kerusakan stratum korneum, permeasi meningkat. Karena lapisan pertama dari stratum korneum yang baru terbentuk, tingkat permeasi menurun. Difusi pasif maksimum terjadi pada area yang memiliki banyak folikel rambut daripada area yang memiliki lapisan stratum korneum yang tebal (Prakash dan Thiagarajan, 2012).

b. Usia Kulit

Hal ini sering diasumsikan bahwa kulit muda dan tua lebih permeabel dibandingkan orang dewasa setengah baya, tapi tidak ada bukti konklusif untuk fenomena ini. Anak-anak lebih rentan terhadap efek toksik obat dan pada bayi prematur, stratum korneum tidak ada. Ini mungkin merupakan keuntungan untuk mengobati beberapa penyakit melalui aplikasi topikal (Prakash dan Thiagarajan, 2012).

c. Aliran Darah

(11)

dengan pengurangan aliran darah ke kulit dengan menggunakan fenilefrin, vasokonstriktor (Higaki, et al., 2005).

d. Metabolisme kulit

Beberapa proses metabolisme terjadi pada kulit akibat enzim yang terletak di epidermis yang menentukan efikasi terapetik dari obat yang diaplikasikan secara topikal dengan memodulasi biotransformasi kulit (Schaefer dan Filaquier, 1992). 2.3.3 Karakteristik molekul obat yang cocok untuk diformulasi menjadi

sediaan transdermal

Ada 4 karakteristik molekul obat yang cocok untuk diformulasi menjadi sediaan transdermal, yaitu (Barry, 1983):

a. Memiliki massa molekul yang rendah, yaitu lebih kecil dari 600 Da b. Memiliki kelarutan yang cukup, baik dalam minyak maupun dalam air c. Memiliki koefisien partisi yang cocok

d. Memiliki titik lebur yang rendah, titik lebur yang rendah menunjukkan kelarutan yang ideal.

2.4 Enhancer (Peningkat Penetrasi)

(12)

2.4.1 Peningkat penetrasi secara fisika

Peningkat penetrasi secara fisika dapat dilakukan dengan (Sharma, et al., 2012):

a. Tato obat (medicated tattoos) b. Gelombang tekanan

c. Frekuensi radio d. Magnetoforesis e. Iontoforesis f. Elektroporasi g. Mikroporasi h. Injeksi tanpa jarum i . Sonoforesis / Fonoforesis

2.4.2 Peningkat penetrasi secara kimia

Tujuan peningkat penetrasi adalah untuk meningkatkan permeabilitas barier stratum korneum tanpa merusak sel. Sifat enhancer kimia yang ideal adalah:

a. Inert secara farmakologi.

b. Non-toksik, non-iritasi dan non-alergenik.

c. Onset of a ction obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan dapat diperkirakan.

d. Dengan penghilangan enhancer, stratum korneum segera pulih kembali. e. Bekerja saru arah, yaitu dapat membantu masuknya zat dari luar ke dalam

tubuh, tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh.

(13)

g. Merupakan pelarut yang baik bagi obat sehingga hanya dibutuhkan jumlah obat yang minimal.

h. Mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit.

i. Dapat di formulasi dengan mudah pada lotion, suspensi, salep, krem, gel dan aerosol.

j. Tidak mahal, berbau, berasa dan berwarna (Ramteke, et al., 2012) 2.4.3 Mekanisme kerja enhancer kimia

Enha ncer kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme utama berikut ini:

a. Merusak struktur lipid stratum korneum yang rapat b. Berinteraksi dengan stuktur protein intraselular

c. Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum korneum (Bhowmik, et al., 2013).

2.4.4 Jenis-jenis enhancer kimia

Beberapa senyawa telah diketahui berperan sebagai enhancer kimia seperti: a. Sulfoksida dan senyawa yang mirip

b. Azone c. Pirolidon d. Asam lemak e. Ester

f. Minyak atsiri, terpen, dan terpenoid g. Surfaktan

h. Propilen glikol

(14)

2.4.4.1 Lemak

Efek peningkat penetrasi dari lemak telah banyak disebutkan dalam literatur. Lemak dapat mengoklusi (menutup permukaan kulit), dengan demikian dapat meningkatkan hidrasi jaringan dan dapat meningkatkan permeasi obat ketika digunakan pada stratum korneum sebagai pembawa, lemak dapat menyatu dengan lipid stratum korneum dan merusak struktur stratum korneum sehingga pembawa bebas menembus ke dalam kulit di mana obat mungkin kurang larut dan karenanya meningkatkan aktivitas termodinamika obat (Williams dan Barry, 2004).

2.5 Indometasin

2.5.1 Uraian bahan

a. Rumus bangun :

Gambar 2.3 Rumus bangun indometasin

b. Rumus molekul : C19H16ClNO4 c. Berat molekul : 357,80

d. Nama kimia : Asam 1-(4-klorbenzoil)-5-metoksi-2metilindol-3-il-asetat e. Pemerian : Hablur atau serbuk kuning pucat hingga kuning kecoklatan,

(15)

f. Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut dalam 50 bagian etanol (95%) P, dalam 30 bagian kloroform P, dan dalam 45 bagian eter P (Ditjen POM, 1979).

2.5.2 Efek indometasin terhadap inflamasi

Indometasin merupakan salah satu obat antiinflamasi nonsteroid yang paling efektif untuk pengobatan reumatoid artritis, ankylosing spondylitis, osteoartritis, dan acute gouty arthritis (Ramarao dan Diwan, 1998). Mekanisme kerja indometasin sebagai antiinflamasi yaitu dengan cara menghambat kedua isoenzim siklooksigenase (COX), COX-1 dan COX-2 secara kompetitif. Di mana enzim COX-1 dan COX-2 dapat mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin G-2 (PGG-2), dan tromboksan yang digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai respon fisiologis (Tjay dan Rahardja, 2008).

2.6 Minyak Wijen

Minyak wijen adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan biji-biji sesami/wijen, berupa cairan yang warnanya kuning pucat, berbau lemah, dan rasanya tawar. Berbeda dengan minyak-minyak nabati lainnya, minyak wijen tidak membeku dalam keadaan temperatur udara 0°C (Sutedjo, 2004).

Zat-zat yang terkandung dalam minyak wijen, yaitu: a. Gliserida dari asam oleat (75%).

(16)

2.7 Minyak Almond

Minyak almond diperoleh dari kernel yang telah dikeringkan dari tumbuhannya. Minyak almond digunakan dalam dunia pemijatan tradisional karena kemampuannya melubrikasi kulit selama pemijatan sehingga minyak almond dianggap sebagai salah satu emolien yang efektif. Minyak almond memiliki kandungan vitamin E yang tinggi yaitu 39,2 mg dalam 100 g almond. Minyak almond mengandung asam lemak penting dimana dibutuhkan karena tidak dapat disintesis tubuh. Minyak almond kaya akan beta-zoozteril, squalene dan alfa tokoferol, semua ini merupakan konstituen penting untuk kulit yang sehat. Minyak almond kaya akan asam lemak penting, karbohidrat dan protein mengandung vitamin dan mineral yang tinggi (Zeeshan, 2010).

Minyak almond bersifat tidak meracuni, tidak mengiritasi, tidak larut dalam air dan merupakan pengemulsi yang baik, dimana memiliki kemampuan seperti:

a. Memiliki sifat pelumas yang kering meskipun diaplikasikan dalam jumlah banyak dibandingkan dengan minyak mineral.

b. Pelarut yang unggul pada bahan baku lipofilik terutama untuk sediaan tabir surya.

c. Stabil terhadap hidrolisis di pH 2-12 (Zeeshan, 2010).

2.8 Minyak Zaitun Ekstra Murni

(17)

nutrisi, squalene, zat besi, kalsium, potassium, polifenol, asam lemak, dan omega-9 (Khadijah, 2012). Tabel 2.1 menunjukkan kandungan nutrisi dari minyak zaitun per 100 gram. Kandungan vitamin E dalam minyak zaitun mencapai 14 mg/100 g. Tabel 2.1 Kandungan nutrisi minyak zaitun per 100 g

Energi 3,701 kJ (885 kcal)

Setiap 100 g minyak zaitun sama dengan 109 ml (Agung, 2014).

2.9 Kandungan Asam Lemak (%) dalam Minyak Wijen, Minyak Almond dan Minyak Zaitun

Kandungan asam lemak terbanyak pada minyak wijen, minyak almond, dan minyak zaitun adalah asam oleat. Tabel 2.2 menunjukkan kandungan asam lemak (%) dalam minyak wijen, minyak almond dan minyak zaitun (Alvarez dan Rodriguez, 2000; Khadijah, 2012).

Gambar

Gambar 2.1 Struktur kulit
Gambar 2.2  Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum
Gambar 2.3 Rumus bangun indometasin
Tabel 2.1 Kandungan nutrisi minyak zaitun per 100 g

Referensi

Dokumen terkait

Uji pengaruh gliserin, etanol dan kombinasi etanol dan gliserin terhadap penetrasi ketoprofen secara in vitro melalui kulit kelinci bebas bulu dari dasar gel alginat

Uji pengaruh etanol, gliserin dan campuran etanol dengan gliserin terhadap penetrasi indometasin secara in vitro melalui kulit kelinci bebas bulu dari dasar gel alginat

Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselular(Hadgraft, 2004).Jalur ini memegang peranan penting dalam permeasi obat karena sebagian

Uji pengaruh gliserin, etanol dan kombinasi etanol dan gliserin terhadap penetrasi ketoprofen secara in vitro melalui kulit kelinci bebas bulu dari dasar gel alginat

Uji pengaruh gliserin, etanol dan kombinasi etanol dan gliserin terhadap penetrasi ketoprofen secara in vitro melalui kulit kelinci bebas bulu dari dasar gel alginat

Di mana dengan meningkatnya aliran darah, maka waktu yang dimiliki zat aktif untuk berada pada jaringan dermis akan berkurang, dengan demikian gradien konsentrasi zat aktif

The Impact Of Penetration Enhancers On Transdermal Drug Delivery System: Physical and Chemical Approach.. International Journal Of Pharma Research And

H0: Tidak ada perbedaan yang signifikan konsentrasi ketoprofen yang berpenetrasi melalui kulit kelinci secara in vitro antara formula yang mengandung kombinasi etanol dan gliserin