BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Sosial Sebagai Suatu Paradigma
Paradigma perilaku sosial yang berbeda dengan paradigma fakta sosial dan
paradigma defenisi sosial. Menurut Skinner (George, 2003 :69-72), paradigma
definisi sosial dan fakta sosial memiliki sifat sulit untuk dijelaskan secara rasional.
Setiap realita dan fenomena yang terdapat pada kedua paradigma tersebut, tidak
mudah untuk dipecahkan dengan kerasionalan pikiran manusia. Skinner menyebut
persoalan ini dengan istilah “mistik”. Hal ini dikarenakan, paradigma fakta sosial
memiliki struktur sosial dan pranata sosial yang menjadi obyek studi. Ketika
terjadi suatu rangsangan atau stimulus dari luar diri, keberadaan paradigma
defenisi sosial merupakan sebagai penyelidik bagi hal-hal yang terjadi dalam
pemikiran manusia berupa “tanggapan kreatif”. Jadi, bagi Skinner, paradima
perilaku sosial merupakan obyek studi sosiologis yang konkrit-realistis (kelihatan
dan terdapat peluang untuk terjadi pengulangan).
Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan
antara individu dan lingkungannya yang terdiri atas :
1. Beragam obyek sosial.
2. Beragam obyek non-sosial.
Paradigma ini, memiliki prinsip untuk menguasai hubungan antara
individu dengan obyek sosial dan hubungan antara individu dengan obyek
non-sosial. Dapat ditarik kesimpulan secara singkat, bahwa pada intinya paradigma
hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau
perubahan dalam faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan terhadap
tingkah laku.
Dalam paradigma ini, interaksi adalah media terjadi perubahan tingkah
laku dalam lingkungan aktor,di mana hubungan fungsional terjadi pada proses
tersebut. Hanya saja, pada paradigma ini, sifatnya lebih mekanik, yakni kurang
memiliki kebebasan, dibandingkan dengan paradigma lain, seperti paradigma
defenidi sosial yang lebih dapat menginterpretasikan stimulus yang diterima dan
paradigma fakta sosial lebih kepada norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial
yang terdapat pada tingkah laku.
2.2 Gaya Hidup Pada Masyarakat Postmodern
Di era globalisasi saat ini, manusia tidak hanya sekedar sebagai pelaku
ekonomi primer, sekunder dan tersier biasa. Akan tetapi hampir dalam ketiga
kebutuhan utama tersebut, manusia harus mengontrol setiap kegiatan ekonomi
mereka. Namun, tidak jarang kita melihat, bahwa sebagian individu mengonsumsi
secara berlebih dan memiliki barang dan jasa yang berbeda sesuai dengan
kebutuhannya serta mengikuti fenomena yang muncul atau “booming” belakangan
ini. Manusia tidak bisa lepas sebagai konsumen utama dalam setiap proses
kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk hidup yang
terus maju dalam pencapaian kebutuhan, untuk kelangsungan hidupnya. Sebagai
konsumen, manusia akan mengalami perubahan sosial, terutama dalam tingkah
Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (Tatik, 2008 : 5), hal tersebut
merupakan perilaku konsumen, di mana konsumen secara langsung melakukan
tindakan dalam hal mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan
jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan
tersebut.
Dari sisi pemenuhan kebutuhan, konsumen memilih jenis kebutuhan yang
disesuaikan dengan gaya hidup mereka. Gaya hidup menunjukkan pada
bagaimana seseorang mengalokasikan pendapatannya, dan memilih produk
maupun jasa dan berbagai pilihan lainnya ketika memilih alternative dalam satu
kategori jenis produk yang ada, berdasarkan perspektif ekonomi. sedangkan
melihat dari perspektif pemasaran, tampak jelas bahwa konsumen yang memiliki
gaya hidup yang sama akan mengelompokkan dengan sendrinya ke dalam satu
kelompok berdasarkan apa yang mereka minati untuk menghabiskan waktu
senggang dan bagaimana mereka membelanjakan uangnya. Seiring dengan
perkembangan waktu, gaya hidup terus mengalami perubahan baik di masyarakat
yang masih tradisional sampai kepada masyarakat modern, terutama pada
masyarakat postmodern, ataupun gaya hidup akan barang konsumsi yang
cenderung modern ataupun berbalik ke tahap tradisional. Bagi pemilik modal,
perubahan gaya hidup merupakan kesempatan bagi mereka untuk menciptakan
inovasi baru seperti produk-produk dan menyesuaikan produknya sesuai dengan
gaya hidup pasar yang dituju (Tatik, 2008 : 73).
Menurut Kamar, istilah postmodernitas menunjuk pada suatu epos, jangka
waktu, zaman atau masa, sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era
globalisasi, mengarahkan manusia kepada budaya yang baru. Perkembangan
postmodernisme tidak hanya mengarahkan pada sisi budaya, akan tetapi
intelektual, artistik dan akademik secara spesifik (Mike, 2005 : 87-103).
Postmodernisme menunjuk pada satu produk budaya (dalam seni, arsitektur dan
sebagainya) yang terlihat berbeda dengan produk budaya manusia modern. Jadi,
definisi postmodern meliputi suatu epos sejarah baru, produk budaya baru, serta
tipe teori baru yang menjelaskan dunia sosial (Nanang, 2011: 112).
Menurut Gidden (Mike, 2005 : 69), budaya postmodern dapat
dihubungkan dengan pilihannya dengan strategi menengah yang mencoba untuk
melebihi dualitas objektifisme dan relativisme melalui perkembangan ‘ontologi
potensial’ sebagai bagian dari teori strukturasinya.
Bagi Vattimo (Mike, 2005 : 80), menekankan bahwa postmodern tidak
hanya difahami sebagai yang mengartikan suatu perpecahan sejarah yang
menunjuk pada suatu gerakan di atas modernitas. Postmodernime melibatkan
berbagai gagasan mengenai epoch postmetafisik dan epoch postmodern, dengan
penolakkan terhadap ide para modernis tentang perkembangan sejarah, atau titik
pandang yang menyatukan yang dapat dihadapkan pada sejarah. Akibatnya selalu
ada akhir dari sejarah dan baru sekarang inilah kita dapat mengakui dan
menerimanya. Kritik postmodernisme dan penolakkan atas meta-naratif
modernitas yang kesemuanya mencoba untuk memasukkan pengertian tentang
koherensi dan daya meyakinkan dalam sejarah, menjauhkan kita dari
Modernisme merupakan tahap awal yang dilalui sebelum memasuk babak
awal postmodern. Hal ini dikemukakan oleh Smart (George, 2007 : 629) ketika
membedakan tiga pendirian pemikiran mengenai postmodern, diantaranya :
1. Pendirian yang ekstrem menyatakan bahwa masyarakat modern telah
terputus dan sama sekali telah digantikan oleh masyarakat postmodern.
2. Pendirian yang menyatakan bahwa meski telah terjadi perubahan,
postmodernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan
modernism.
3. Pendirian Smart sendiri yang lebih memandang modernisme dan
postmodern sebagai zaman.
Dampak dari modernisasi itu sendiri membawa perubahan terhadap
masyarakat tradisional, ditandai dengan masuknya teknologi dan media massa.
Serta membentuk sistem startifikasi di dalam masyarakat. Pada masyarakat
modern telah terjadinya pergeseran dalam peluang hidup di berbagai strata sosial.
Masyarakat modern mengalami proses diferensiasi dalam kelas sosial. Ketika
sistem stratifikasi sosial terbentuk, maka kita tidak dapat memungkiri bahwa
terbentuk juga gengsi sosial di dalam masyarakat. Gengsi sosial atau prestise
dapat diwujudkan dalam berbagai cara pada masyrakat modern. Gengsi sosial
tidak hanya sekedar dari cara berpakaian atau melalui berbagai atribut yang
melekat di dalam diri seseorang, tetapi juga melalui bahasa yang dipakai dalam
berkomunikasi, tempat rekreasi, tempat belanja, tempat makan, serta merek baju
Menurut Baudrillard, ini dikarenakan setiap individu dalam suatu
masyarakat mengalami diferensiasi, diskriminasi sosial dan di setiap organisasi
struktural akan mendasarkan pada penggunaan dan distribusi harta kekayaan.
Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan
simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka
yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut.
Citra atas suatu barang yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana barang
tersebut dapat mempengaruhi diri individu atau kelompok ketika
menggunakannya, dengan kata lain membawa status bagi orang yang
memakainya. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan
mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat
konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup
masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat.
Menurut Baudrillard, masyarakat konsumsi merupakan konsep kunci
dalam pemikirannya untuk menunjukkan gejala konsumerisme yang sangat luar
biasa dan telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern melalui yang
menjadi objek konsumsi, yakni barang dan jasa. Masyarakat konsumsi menjadi
topik diskusi oleh Baudrillard dengan melihat dampak dari globalisasi yang
semakin meluas di seluruh dunia. Terjadinya globalisasi, dipicu oleh adanya
sistem kapitalisasi di berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik,
pendidikan dan lain sebagainya. Namun, dalam pembahasan kali ini paham
kapitalisme diangkat berdasarkan sektor ekonomi, yang mempengaruhi pangsa
Baudrillard menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam
masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan
kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang
tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera,
yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan
dalam masyarakat. Bourdieu (Mike, 2005 : 107) menyatakan bahwa pencarian
mereka akan perbedaan melalui gaya hidup, kehidupan yang sesuai dengan mode
dan ekspresif, menjadikan dapat ditemukannya sikap yang khas oleh hampir
setiap orang, demikian juga permainan yang khas serta kekayaan batin yang
sebelumnya merupakan ciri dari kaum intelektual.
Terkait dengan konsumsi yang terbentuk dari kapitalisasi, maka kita
membahas mengenai startifikasi sosial. Startifikasi sosial membahas lapisan yang
terbentuk akibat konstruksi sosial. Di dalam startifikasi sosial, terbentuk
pembagian lapisan atau yang pada umumnya disebut pembagian kelas.
Masyarakat yang berada dalam kelas sosial yang berbeda cenderung mempunyai
sikap dan perilaku yang berbeda, sebaliknya mereka yang berada dalam kelas
sosial yang sama cenderung mempunyai persamaan sikap.
Menurut (Tatik, 2008 ; 262-265) Di Indonesia, kelas sosial dibagi menjadi
tiga, yakni :
1.1Kelas sosial atas, yang terdiri dari :
a. Atas atas
b. Atas menengah
c. Atas bawah
b. Kelas menengah
c. Kelas pekerja
3.1Kelas bawah, yang terdiri dari :
a. Kelas bawah
b. Kelas bawah bawah
Pembagian ini menggambarkan bahwa kelas sosial memiliki sifat yang
berjenjang, ada yang paling rendah, mengah dan tinggi. Kelas sosial bawah
dikelompokkan lagi berdasarkan tingkat kemiskinananya yang
pengelompokkannya didasarkan pada kebijakkan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas hidup kelas sosial kelompok ini.
Namun, setiap individu ataupun kelompok dapat mengalami perubahan
posisi kelas. Hal ini menyatakan bahwa kelas sosial bersifat dinamis. Di mana
dalam segi ekonomi, konsumen dapat berubah menjadi lebih tinggi (naik) atau
lebih rendah (turun), yang disesuaikan dengan pola konsumsi dan gaya hidup
(Tatik, 2008 : 262-265).
Lapisan kelas tersebut juga dapat terbantahkan oleh Fenomena batu akik
belakangan ini, dimana tidak ada lagi sekat pembagian kelas, baik itu tinggi
menengah maupun rendah, karena semua kelas dapat menyatu asalkan dalam satu
kepentingan yang sama yakni, penggemar batu akik. Maka dalam penelitian ini
kita dapat lebih detail mengetahui apakah lapisan kelas juga bisa mempengaruhi
2.3 Budaya Populer
Mendefinisikan budaya populer adalah dengan mempertimbangkan
budaya tertinggal (rendah) Budaya populer menurut definisi ini merupakan
kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi
persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya populer didefinisikkan
sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya populer meliputi
seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Sebagai contoh,
kita bisa berpegang pada kompleksitas formal sebuah budaya populer.
Kita juga bisa mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya sebagai
metode untuk menerapkan pertimbangan nilai tersebut. Kritik budaya yang
lain bisa juga menyatakan bahawa pada akhirnya semuanya akan dimasukkan
ke dalam tinjauan kritis terhadap teks atau praktiknya. Namun untuk
menentukan kebermanfaatan sesuatu cara budaya tidak semudah yang
dipikirkan orang. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi adalah bagaimana
caranya menjaga ekslusivitas budaya tinggi.
Secara harfiah, sangat sulit mengesampingkan ekslusivitas audiens
suatu budaya tinggi (Storey, 2003: 11). Pierre Bourdieau pernah mengatakan
bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan
memelihara perbedaan kelas. ”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah
kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah
”kelas” dalam hal ini diposisikan dalam aarti ganda, yaitu kategori sosial
Menurut Bourdieu satu contoh. ”konsumsi budaya”. Baginya konsumsi
budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan
memenuhi fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial (Bourdieu, 1984: 5).
Pembatasan ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya populer adalah
budaya komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi
adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh karena itu budaya tinggi adalah
budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan estetis yang lebih,
sementara budaya populer malah mendapatkan pengawasan secara sosiologis
untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikanbnya. Apapun metode yang
digunakan oleh mereka yang ingin membedakan antara budaya tinggi dan
populer, pada dasarnya mereka sama-sama bersikukuh bahwa perbedaan di
antara keduanya memang sangatlah jelas (Storey, 2003: 12).
Lebih jauh, perbedaan itu bukanlah hanya sangat jelas, akan lebih
bersifat abadi karena sepanjang waktu. Hal ini terutama berlaku jika
perbedaan itu bergantung pada sifat-sifat yang dianggap esensial. Sebenarnya
ada beberapa kekeliruan dalam pembatasan tersebut. Misalnya William
Shakespeare, sekarang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, padahal pada
zamannya karyanya ini hanya dianggap tidak lebih sebuah teater pop. Begitu
juga dalam persoalan yang sama terjadi pada Charles Dickens.
Mendefinisikan budaya populer sebagai ”budaya massa”.Definisi
tersebut sangat tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka menyatakan
budaya pop adalah ”budaya massa” dengan tujuan menegaskan bahwa budaya
massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk
memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif
(misalnya, politik kanan/kiri yang tergantung pada siapa yang
meganalisisnya). Budaya ini dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang. John
Fiske mengungkapkan ”antara 80-90% produk baru gagal walaupun
diiklankan dengan kuat....beberapa film gagal kembali modal meskipun hanya
biaya promosinya sangat besar (Fiske, 1989; 31).
Fiske mengemukakan bahwa 80% album single mengalami kerugian.
Statistik seperti ini seharusnya mengundang pertanyaan tentang gagasan
”konsumsi budaya” sebagai aktivitas yang pasif dan otomatis. Mereka yang
bekerja dalam perspektif budaya massa biasanya akan memikirkan ”massa
keemasan” manakala masalah budaya jauh berbeda dari apa yang difahami
sebelumnya. Hal ini biasanya muncul dala dua bentuk; (1) komunitas yang
kehilangan organisasinya, atau (2) budaya yangkehilangan daerahnya. Namun
seperti diungkapkan oleh Fiske; ”dalam masyarakat kapitalis tidak ada yang
disebut sebagai budaya daerah yang otentik untuk mengukur
”ketidakotentikan” budaya massa, yang menyesalkan hilangnya otensitas
sebagai akibat kegagalan nostalgia romantik (Fiske, 1989: 27). ”Hal ini juga
berlaku pada komunitas organik ”yang hilang”. Mazhab Frankfurt, secara
paradoks menempatkan masa keemasan yang hilang ini tidak pada masa lampau ,
tetapi masa depan.
Dalam beberapa kritik budaya yang ada dalam parigma budaya
massa, budaya massa bukan hanya sebagai budaya terapan untuk kaum
miskin, tetapi juga bisa diidentifikasi sebagai budaya yang diimpor dari
lihatlah kota-kota besar Amerika terutama “New York” (Malthy, 1989; 11).
Pernyataan bahwa budaya populer merupakan budaya massa Amerika,
mempunyai sejarah yang panjang dalam pemetaan teoretis budaya populer.
Budaya massa ala Amerika ini seringkali muncul dalam istilah ”Amerikanisasi”.
Pengkajian dalam hal ini termasuk merosotnya budaya Eropa Barat di
bawah hegemonisasi budaya Amerika. Ada dua hal yang bisa kita katakan
tentang kepercayaan diri Amerika dan budaya populer. Pertama, seperti
diungkapkan oleh Andrew Ross ”budaya populer secara sosial dan kelembagaan
telah berpusat di Amerika dengan jangka waktu yang lebih lama dan lebih
signifikan dibanding di Eropa”.
Kedua, pengaruh budaya Amerika di seluruh dunia sudah tidak
diragukan lagi, tetapi hakikat pengaruh itu sangat kontradiktif. Yang benar
adalah pada tahun 1950-an oleh pemuda Eropa Barat (khususnya Inggris),
budaya Amerika dimenjaadi sarana liberalisasi menentang ketentuan kaku
aturan kehidupan ala budaya Eropa Barat. Hal lain yang cukup jelas adalah
bahwa ketakutan terhadap Amerikanisasi sangat erat kaitannya dengan
ketidakpercayaan dalam munculnya berbagai bentuk budaya populer.
Terdapat versi lunak darui perspektif budaya massa ini. Teks dan praktik
budaya populer lebih dilihat dari sebagai fantasi publik. Budaya populer dianggap
sebagai dunia impian kolektif. Seperti diungkapkan oleh Richard Malthy,
budaya populer memberi ruang bagi ”eskapisme yang bukan hanya lari dari,
atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian dari utopia kita sendiri” (Maltby,
1989; 14). Dalam hal ini, praktik budaya seperti hari ini Raya Idul Fitri
Mereka mengartikulasikan dalam bentuk yang tersamar secara
kolektif (tetapi dalam relasi menekan dan tertekan, keinginan dan harapan).
Inilah versi lunak dari kritik budaya massa. Maltby mengungkapkan: Kalau hal ini
disebut kejahatan budaya populer karena merampas angan-angan kita kemudian
mengemas dan menjualnya kembali kepada kita, maka ia juga adalah prestasi,
budaya pop yang telah membawa kita pada berbagai angan-angan selain
pada angan-angan yang sudah kita kenal (Maltby, 1989: 14).
Makna yang lain yakni bahwa budaya populer adalah budaya yang berasal
dari ”rakyat”. Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang
beranggaapan bahwa budaya populer adalah sessuatu yang diterapkan pada
”rakyat” dari atas. Budaya populer adalah budaya otentik ”rakyat”. Budaya pop
seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk rakyat. Definisi
populer dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep romantisme
budaya kelas buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes
simbolik dalam kapitalisme kontemporer (Benet, 1982; 27).
Namun ada satu persoalan dengan pendekatan ini yakni pertanyaan
tentang siapa yang termasuk dalam kategori ”rakyat”. Persoalan lainnya adalah
hakikat wacana dari mana asal-usul budaya itu terbentuk. Tidak peduli beraapa
banyak kita memakai definisi ini, fakta membuktikan bahwa rakyat tidak
secara spontan mampu menghasilkan budaya dari dari bahan-bahan material
yang mereka buat sendiri. Apapun budaya populer itu, yang pasti bahan
mentahnya disediakan selalu secara komersial. Pendekatan ini cenderung
Analisis mengenai judul penulis dapat dikaitkan bahwa budaya populer
dikarenakan adanya media massa yang menyalurkan informasi mengenai batu
akik yang dapat mengenyampingkan budaya populer mainstream dan
memasukkan batu akik dalam budaya populer yang baru.
2.4 Teori Fetisisme Komoditas
Fetisisme pada komoditas merupakan rangkaian dari proses konsumsi pada
produk setelah perilaku konsumsi menjadi bersifat konsumtif dan berkembang
menjadi gaya hidup (Mulvey, 1993; 1996). Fetisisme berkaitan erat dengan
konsumtivisme, atau kondisi di mana seorang individu, sebagai konsumen,
mengkonsumsi barang di luar kebutuhan riilnya.
Dalam perspektif Teori Kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang
dikembangkan oleh Karl Marx ketika menganalisis mengapa individu yang
terdominasi dapat menerima dan mengadopsi kepercayaan yang dapat mendukung
dan mereproduksi status quo kapitalisme. Tesis Marx ini selajutnya
dikembangkan menjadi terfokus pada operasionalisasi berbagai komoditas yang
dihasilkan kapitalis dalam membentuk kepercayaan individu yang terdominasi.
Bagi Marx, cara seorang individu menerima dan mengalami dominasi kapitalis,
berbeda dari cara bagaimana sistem kapitalisme itu bekerja (Marx, dalam Lloyd,
2008). Dengan demikian, berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem
kapitalisme, dalam Teori Fetisisme Komoditas, yang menjadi fokus adalah
bagaimana kapitalisme bekerja membentuk kepercayaan pada tataran individu.
pada level yang dibutuhkan, tetapi pada level di mana individu tersebut bahkan
tidak mengetahui fungsi utama produk tersebut.
Pada fetisisme komoditas, kebutuhan seorang individu didominasi dan
dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang diperoleh dari
komoditas tersebut (Ripstein, 1987). Dalam relevansinya dengan kapitalisme,
fetisisme menjadi salah satu pondasi yang menyebabkan kapitalisme tetap
bertahan dan abadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bourdieu (1989)
melalui teori distingsi sosialnya bahwa status quo kapitalisme dipertahankan oleh
perilaku individu-individu di dalamnya melalui cara konsumsi mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Akar konseptual Teori Fetisisme Komoditas berasal dari
pemikiran Karl Marx. Komodifikasi bisa berfungsi mengamankan dominasi
modal ekonomi. Menurut Marx, asal mula fetisisme komoditas adalah hasil usaha
kerja manusia yang diobjektifikasi.
Hubungan antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri
dihadirkan sebagai suatu hubungan sosial sosial yang tidak hanya terjadi di antara
produsen itu sendiri, tetapi juga di antara berbagai hasil produksi mereka.
Hasil-hasil usaha tersebut menjadi sebuah komoditas yang seolah menjelma sebagai
entitas otonom dan menjalin relasi sosial di antara mereka. Berbagai komoditas
tersebut seolah memiliki wujud jiwa yang nyata, memiliki sifat dapat ditangkap
sekaligus tidak dapat ditangkap oleh kemampuan indrawi. Meskipun sebenarnya
perwujudan komoditas tersebut hanyalah pendefinisian manusia yang mengambil
wujud fantastis dari suatu hubungan di antara benda-benda hasil produksi
pada hasil-hasil kerja ketika diproduksi sebagai komoditas (Marx, 1963 dalam
Strinati, 2007: 63).
Fetisisme komoditas merupakan cara bagaimana produsen menunjukkan
bahwa asas pertukaran dapat memaksakan kekuatannya secara khusus dalam
dunia benda-benda budaya (Adorno, 1991, dalam Strinati, 2007). Dalam
kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena roda
eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar produksi, konsumsi, dan pemasaran
komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di mana masyarakat merasa
bahwa konsumsi yang dilakukan merupakan upaya memenuhi kebutuhan
hidupnya. Cara yang dilakukan kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya
melalui fetisisme komoditas ialah mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia
dengan ‘kebutuhan’ semu untuk melakukan pertukaran yaitu dengan
mengkonsumi berbagai komoditas yang dihasilkan para produsen kapitalis
tersebut. Dengan demikian, dalam fetisisme komoditas, asas pertukaran
mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat dengan cara menyamarkan
dirinya sebagai objek kenikmatan (Strinati, 2007).
Menurut Bourdieu, pola konsumsi individu dalam masyarakat kapitalis
modern ini dapat mereproduksi kapitalisme dalam dua jalan. Pola konsumsi yang
terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Bourdieu
menyebutkan bahwa yang diciptakan fetisisme sebenarnya tak lebih dari
differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah dan jarak sosial antara
keduanya selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas atas.
Dengan demikian, differensiasi sosialmelalui fetisisme ini menjadi kontributor