i
PENGARUH MEDIA GAMBAR SERI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA TERHADAP KEMAMPUAN BERBICARA
BAGI ANAK AUTIS KELAS VII DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS BINA ANGGITA
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Nurlinda Tara Tantinia NIM. 11103241028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
“Berbicara yang baik dan benar itu bukan bakat, tetapi berdasarkan latihan terus -menerus” (Tantowi Yahya)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”
vi
PERSEMBAHAN
Seiring rasa hormat dan kerendahan hati,
Sebuah karya ini kupersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku :Bapak Wardoyo, S.Pd dan Ibu Amini, S.Pd.I. 2. Almamaterku, UniversitasNegeri Yogyakarta.
vii
PENGARUH MEDIA GAMBAR SERI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA TERHADAP KEMAMPUAN BERBICARA BAGI
ANAK AUTIS KELAS VII DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS BINA ANGGITA
YOGYAKARTA Oleh:
Nurlinda Tara Tantinia NIM. 11103241028
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media gambar seri terhadap kemampuan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa autis kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitian Single Subject Research (SSR) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu Baseline-1(A), Intervensi (B) dan Baseline-2 (A’). Subjek penelitian terdiri dari satu orang anak autis kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita. Pengumpulan data dilakukan dengan tes kemampuan berbicara aspek menjelaskan situasi, observasi, dan dokumentasi sebagai data pelengkap. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media gambar seri dapat mempengaruhi kemampuan berbicara pada anak autis kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta. Subjek sangat antusias serta mau mengikuti instruksi dengan baik secara bertahap sehingga kemampuan berbicaranya meningkat. Pengaruh yang diberikan terhadap subjek tersebut ditunjukkan dengan menurunnya frekuensi kesalahan yang signifikan pada fase intervensi dan baseline-2.Perubahan level yang terjadi pada perbandingan kondisi intervensi dengan baseline-1 (B/A) untuk kemampuan berbicara menjelaskan peristiwa dan situasi yaitu +5. Sedangkan pada kondisi intervensi dengan baseline-2 (A’/B) yaitu +3.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
innayah dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Pengaruh Media Gambar Seri Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Terhadap Kemampuan Berbicara Bagi Anak Autis Kelas VII Di
Sekolah Khusus Autis Bina Anggita” tahun ajaran 2014/2015 dapat terselesaikan
dengan baik dan lancar. Penulisan dan penelitian tugas akhir skripsi ini
dilaksanakan guna melengkapi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar
sarjana pendidikan di Fakutas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini bukanlah keberhasilan individu semata,
namun berkat bantuan dan bimbingan dari semua pihak, oleh karena itu, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat.
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dari masa awal study sampai
dengan terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan izin penelitian.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah
memberikan izin penelitian dan memberikan dukungan demi terselesaikannya
ix
4. Ibu Tin Suharmini, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam
penyusunan tugas akhir skripsi ini.
5. Ibu Dr. Mumpuniarti, M.Pd. selaku penasehat akademik yang telah
memberikan semangat sehingga penulis mampu memenuhi janji tertulis.
6. Seluruh bapak dan ibu dosen pembina PLB FIP UNY yang telah memberikan
bimbingan, sehingga penulis memperoleh keterampilan untuk melayani ABK.
7. Ibu Hartati, S.Pd, MA, selaku Kepala Sekolah Khusus Autis Bina Anggita yang
telah memberikan izin penelitian.
8. Ibu Mursilah, S.Pd.I selaku guru kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina
Anggita yang telah memberikan bantuan dan kerjasama serta kesediaannya
memberikan informasi.
9. Bapak dan Ibu guru Sekolah Khusus Autis Bina Anggita yang telah
memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
10.Kedua orang tua tercinta, Bapak Wardoyo, dan Ibu Amini, Adik-adikku
Fauziah D.K. Ningrum dan Muafa Anwar Falah terima kasih atas semua
pengertian, kerjakeras, kasih sayang, dukungan serta do’anya.
11.Teman-teman seperjuangan Sherlyn, Khadijah, Hadyani Kumalasari Putri,
Nina Anindita, Pristi Wikan, Hidayah, Fera Favarita R.S, Eko Prastiwi dan
teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu terima kasih telah
memberikan saran, semangat dan sumbangan pemikiran sehingga dapat
x
12.Teman-teman satu angkatan PLB kelas A 2011, terima kasih atas dukungan,
kebersamaan, dan kenangan selama ini, kita lanjutkan perjuangan kita.
13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangatlah penulis harapkan.
Semoga laporan ini dapat menjadi inspirasi dan sumber informasi untuk
membangun dan memajukan dunia pendidikan khususnya PLB.
Yogyakarta, 6 Mei 2015 Penulis,
xi DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL... ...i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PERNYATAAN... .iii
HALAMAN PENGESAHAN... .vi
HALAMAN MOTTO... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR... .viii
DAFTAR ISI... .xi
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR... .xv
DAFTAR LAMPIRAN... .xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1
B. Identifikasi Masalah ...7
C. Batasan Masalah ...8
D. Rumusan Masalah ...8
E. Tujuan Penelitian ...8
F. Manfaat Penelitian ...9
G. Definisi Operasional ...10
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Mengenai Anak Autis ...13
1. Pengertian Anak Autis ...13
2. Diagnostik Gangguan Autistik ...16
3. Karakteristik Anak Autis... ...19
B. Kajian Mengenai Kemampuan Berbicara... ...25
xii
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara dan
Berbahasa... ...26
3. Kriteria Penilaian Kemampuan Berbicara pada Anak Autis... .30
4. Perkembangan Bicara dan Bahasa Anak Autis... ..31
C. Kajian Mengenai Media Pembelajaran ...33
1. Pengertian Media Pembelajaran... ...33
2. Klasifikasi Media Pembelajaran... ...34
3. Fungsi dan Kegunaan Media pembelajaran... ...35
D. Kajian Mengenai Media Gambar Seri... ...38
1. Pengertian Media Gambar Seri... ...38
2. Fungsi dan Manfaat Media Gambar Seri sebagai Media Visual... ..39
3. Langkah-langkah Penggunaan Media Gambar Seri... ..41
4. Kelebihan dan Kelemahan Media Gambar Seri... ..44
5. Media Gambar Seri untuk Anak Autis...44
E. Hasil Penelitian yang Relevan... ...46
F. Kerangka Pikir... ...47
G. Hipotesis... ...49
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...50
B. Desain Penelitian ...51
C. Waktu dan Tempat Penelitian ...54
1. Waktu Penelitian ...54
2. Tempat Penelitian ...54
D. Subjek Penelitian ...56
E. Setting Penelitian... ...57
F. Variabel Penelitian... ...57
G. Teknik Pengumpulan Data ...58
1. Tes Kemampuan Berbicara ...58
2. Observasi ...59
3. Dokumentasi ...60
xiii
1. Panduan Tes Kemampuan Berbicara ...61
2. Panduan Observasi ...62
I. Uji Validitas Instrumen ...63
J. Prosedur Perlakuan... ...63
K. Teknik Analisa Data ...64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ...66
B. Deskripsi Subjek Penelitian ...68
C. Deskripsi Data Hasil Penelitian ...72
D. Analisis Data... ...97
E. Pembahasan Hasil Penelitian... 103
F. Keterbatasan Penelitian ...10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...108
B. Saran ...108
DAFTAR PUSTAKA ...111
xiv
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1.Waktu dan tempat penelitian... 54
Tabel 2. Kisi-kisi instrumen tes kemampuan berbicara ... 61
Tabel 3. Kisi-kisi instrumen observasi selama sesi intervensi ... 62
Tabel 4. Data kesalahan subjek pada fase intervensi I ... 81
Tabel 5. Data kesalahan subjek pada fase intervensi II ... 83
Tabel 6 Data kesalahan subjek pada fase intervensi III... ... 85
Tabel 7. Data kesalahan subjek pada fase intervensi IV... 87
Tabel 8. Data kesalahan subjek pada fase intervensi V... 89
Tabel 9. Data kesalahan subjek pada fase intervensi VI... 89
Tabel 10. Akumulasi data kesalahan subjek pada fase intervensi... 90
Tabel 11. Akumulasi data kesalahan subjek pada baseline-1 dan intervensi... 91
Tabel 12. Data kesalahan subjek pada baseline-2... ... 94
Tabel 13. Akumulasi data kesalahan subjek pada baseline-1 dan intervensi dan baseline-... ... 96
Tabel 14. Akumulasi data kesalahan subjek dalam praktek berbicara... 98
Tabel 15. Rangkuman hasil analisis visual dalam kondisi ... .... 99
xv
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Kerangka pikir ... 47 Gambar 2. Display frekuensi kesalahan dalam praktek berbicara pada
baseline-1.... ... 78 Gambar 3. Display frekuensi kesalahan dalam praktek berbicara pada
intervensi.... ... 90 Gambar 4. Display frekuensi kesalahan dalam praktek berbicara pada baseline-1
dan intervensi... ... 92 Gambar 5. Display frekuensi kesalahan dalam praktek berbicara pada
baseline-2.... ... 96 Gambar 6. Display frekuensi kesalahan dalam praktek berbicara pada
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Instrumen tes kemampuan berbicara... .116
Lampiran 2. Instrumen paduan observasi pencatatan frekuensi ...118
Lampiran 3. Instrumen observasi pelaksanaan intervensi ...119
Lampiran 4. Hasil tes lisan kemampuan berbicara ...120
Lampiran 5. Hasil observasi pencatatan frekuensi ...144
Lampiran 6. Hasil observasi selama sesi intervensi ...158
Lampiran 7. Rencana program pembelajaran ...173
Lampiran 8. Hasil perhitungan komponen-komponen pada fase baseline-1, intervensi, dan baseline-2... 178
Lampiran 9. Dokumentasi pelaksanaan pembelajaran ...181
Lampiran 10. Surat keterangan uji validitas instrumen dari Guru ...185
Lampiran 11. Surat keterangan uji validitas instrumen dari Dosen... .186
Lampiran 12. Surat izin penelitian FIP UNY ...187
Lampiran 13. Surat izin penelitian sekretariat daerah ...188
Lampiran 14. Surat izin penelitian BAPPEDA Bantul ...189
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu usaha untuk mengembangkan
aspek-aspek yang ada pada manusia. Aspek-aspek-aspek tersebut mencakup
pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Sebagaimana yang
terkandung dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2003: 4),
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. Jalur pendidikan dibagi menjadi tiga yaitu pendidikan formal atau
yang biasa dikenal dengan pendidikan dalam lingkup sekolah, pendidikan
luar sekolah, serta pendidikan informal atau pendidikan dalam lingkungan
keluarga. Melihat dari pernyataan tersebut, maka setiap anak memiliki hak
untuk mendapatkan pendidikan. Begitu juga dengan anak-anak
berkebutuhan khusus, mereka bebas memilih, akan mengikuti layanan
pendidikan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan, kemampuan dan jenis
kekhususan mereka. Salah satu bentuk layanan bagi anak berkebutuhan
2
Bahasa terutama dalam aspek bicara memiliki peran yang sangat
penting dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosial siswa.
Melalui bicara, seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya
kepada orang lain. Sardjono (2005: 33) mengungkapkan tiga persyaratan
minimal yang harus dipenuhi sehingga bicara dan bahasa seseorang
termasuk dalam kriteria baik dan normal, yaitu sebagai berikut:
1. Ucapan harus baik dan terang, dan organ-organ bicara harus pada posisi tepat.
2. Bahasa dan susunannya sesuai dengan grammar atau tata bahasa, yang dipergunakan dalam lingkungan hidup masing-masing pembicara.
3. Si pembicara, dengan pertolongan pendengarannya, dapat mengatur dan mengontrol bahasa yang sedang dipergunakan sehingga dapat dan mudah dimengerti oleh orang lain.
Berdasarkan kriteria kemampuan bicara yang telah disebutkan
pada paragraf di atas, anak yang akan diberikan perlakuan kurang mampu
mengucapkan suatu kata dengan artikulasi yang benar sehingga bicaranya
tidak sesuai dengan tata bahasa yang berlaku dan ucapannya menjadi sulit
untuk dipahami oleh orang lain. Anak tersebut juga belum mampu
menjelaskan suatu gambaran situasi ataupun keadaan sehingga percakapan
dan komunikasi terganggu.
Bahasa dan bicara merupakan salah satu modal dasar dalam
mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan menjadi
salah satu cara untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal orang lain,
mengungkapkan gagasan serta perasaannya. Salah satu pembelajaran
3
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini, diharapkan anak dapat
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, memiliki
intonasi yang sesuai, serta dapat memahami hal-hal yang diutarakan atau
diungkapkan oleh orang lain.
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
untuk anak autis (SMPLB-Autis) kelas VII, ruang lingkup mata pelajaran
bahasa Indonesia dalam kemampuan berbahasa mencakup deskripsi
situasi, adanya tanggapan pribadi, dan menggali informasi dari teks
dengan bantuan guru. Kompetensi yang ingin dikembangkan adalah aspek
berbicara dengan mengembangkan poin-poin dalam kemampuan
berbahasa.
Setiap orang tua tentu mengharapkan anaknya mampu berbicara
normal, mereka cenderung khawatir ketika anak belum mampu berbicara
atau menunjukkan tanda-tanda akan bicara. Kemampuan berbicara
dianggap penting sebagai modal untuk berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Chaplin (2005 : 46) “Autisme adalah gangguan
perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan
keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial." Kesulitan komunikasi adalah gangguan yang sangat
sering ditemukan pada anak autis. Menurut Handojo (2003 : 20), Sekitar
50% anak yang didiagnosa memiliki gejala autis akan mengalami
4
adanya media untuk meningkatkan kecakapan komunikasi anak autisme
dalam aspek berbicara dengan memperhatikan kemampuan yang lebih
dalam aspek visual learner.
Dari observasi yang dilakukan di Sekolah Khusus Autis Bina
Anggita pada tanggal 19 Agustus sampai dengan 23 Agustus 2014
mengenai pengembangan kemampuan berbicara anak disekolah,
ditemukan bahwa kemampuan berbicara anak masih rendah sehingga perlu
ditemukan inovasi-inovasi metode ataupun media baru yang dapat
mengembangkan komunikasi pada anak. Berdasarkan observasi awal yang
dilaksanakan, bahwa belum ada media yang efektif untuk melatih
kemampuan berbicara pada anak autis dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita. Hal ini terbukti saat
pelaksanaan semester dua tahun 2013/2014. Nilai Bahasa Indonesia di
bawah nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 65. Anak sudah
memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata, tetapi belum
memiliki inisiatif untuk memulai dan melakukan suatu percakapan
sederhana dan sulit dalam menjelaskan suatu situasi. Anak masih sering
mengulang pertanyaan yang diberikan kepadanya. Anak berbicara dengan
intonasi yang belum sesuai, misalnya meminta bantuan dengan nada yang
tinggi dan masih berbicara tanpa gesture dengan ekspresi yang datar. Hal
ini mempengaruhi nilai mata pelajaran bahasa Indonesia yang lebih
rendah daripada mata pelajaran lain. Karena itu, dirasa perlu untuk
5
tidak diperbaiki akan berdampak negatif pada perkembangan pola pikir
sehingga anak terlambat memperoleh kesempatan dalam mengembangkan
pengetahuannya dan menyalurkan inspirasinya.
Salah satu alternatif media pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia adalah
dengan gambar seri. Media gambar seri dinilai efektif dalam proses
pembelajaran. Media gambar seri merupakan serangkaian gambar yang
terdiri dari 2 hingga 6 gambar yang menceritakan suatu kesatuan cerita
yang dapat dijadikan alur pemikiran anak dalam mengarang, setiap gambar
dapat dijadikan paragraf. Dalam penggunaan media gambar seri
diharapkan anak dapat tertarik dan antusias dalam mengkuti kegiatan
pembelajaran khususnya dalam berbicara baik berwujud percakapan,
bercerita, maupun menjelaskan suatu kejadian. Karena dengan media
gambar seri sebagai alat peraga akan menumbuhkan ide-ide atau gagasan
anak yang tertuang dalam cerita yang disampaikan. Dengan demikian
anak akan tertarik dengan media tersebut, sehingga dapat menarik
perhatian dan minat serta semangat anak untuk bercerita. Media gambar
seri juga membantu anak untuk memperoleh kemudahan didalam
bercerita.
Gambar seri dipilih sebagai media yang akan digunakan karena
gambar bersifat konkrit, gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu,
media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan dengan
6
tanpa memerlukan peralatan khusus. Maka dari itu, penggunaan media
gambar dapat membantu anak untuk memusatkan perhatian terhadap
materi yang disampaikan, memacu anak untuk mulai berbicara, melakukan
percakapan sampai menjelaskan suatu situasi.
Sebelumnya, peneliti bermaksud untuk mengakomodasi kebiasaan
anak autis yang cenderung monoton terhadap suatu kegiatan dengan
membuat alternatif media pembelajaran. Kegiatan tersebut dilakukan
menggunakan gambar tentang hewan laut. Media gambar dipilih karena
anak sangat menyukai gambar. Anak diberi salah satu gambar yaitu
gambar ikan paus dan diminta menjelaskan ciri-ciri ikan paus. Anak
mampu menjelaskan bentuk, warna, suara dan tempat hidup ikan paus.
Namun, ketika ditanya mengenai bagaimana ikan paus bernapas, anak
belum mampu menjelaskannya. Selanjutnya, peneliti bermaksud
mengembangkan kemampuan bicara anak terutama dalam aspek deskripsi
situasi dan kondisi menggunakan media gambar seri.
Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan media gambar seri
dalam meningkatkan kemampuan berbicara anak telah dilakukan oleh Sri
Suratmi (2013). Hasil penelitian tersebut menyatakan adanya peningkatan
kemampuan berbicara anak Kelas I SDLB Negeri Boyolali. Dalam
penelitian ini, yang subjek penelitian adalah anak tunagrahita. Pada
penelitian selanjutnya, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian
7
gambar seri terhadap kemampuan bicara anak belum pernah dilakukan
pada siswa di kelas tersebut.
Berdasarkan penjelasan permasalahan dan hasil penelitian di atas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan eksperimen pada siswa autis kelas
VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita dalam bentuk penelitian
dengan subjek tunggal. Dengan formulasi judul “Pengaruh Media Gambar
Seri dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia terhadap Kemampuan
Berbicara Bagi Anak Autis Kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah antara lain :
1. Aspek visual learner belum dikembangkan secara optimal pada siswa.
2. Anak sudah memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata
tetapi belum memiliki inisiatif untuk memulai dan melakukan suatu
percakapan sederhana.
3. Anak masih mengalami kesulitan dalam menjelaskan suatu situasi.
Ketika diminta menjelaskan mengenai keadaan desa yang terkena
banjir, anak akan cenderung diam saja atau bahkan handflapping.
4. Anak masih sering mengulang pertanyaan yang diberikan kepadanya.
Selain itu, anak berbicara dengan intonasi yang belum sesuai, misalnya
meminta bantuan dengan nada yang tinggi dan masih berbicara tanpa
8
5. Nilai bahasa Indonesia anak masih dibawah KKM.
6. Media gambar seri yang ada belum dioptimalkan penggunaannya
dalam kegiatan belajar mengajar terutama dalam aspek berbicara.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka dalam penelitian ini penulis
membatasi masalah pada nomor 3, 4 dan 6, yaitu anak mengalami
kesulitan dalam melakukan percakapan sederhana dan menjelaskan suatu
situasi sehingga membutuhkan media pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan berbicara anak.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebelumnya, maka rumusan masalah
sebagai berikut : “Apakah ada pengaruh penggunaan media gambar seri
terhadap kemampuan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
pada siswa autis kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita?”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh penggunaan media gambar seri terhadap
kemampuan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa
9 F. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia
pendidikan pada umumnya. Adapun manfaat teoritis dan praktis adalah
sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini nanti secara teoritis diharapkan dapat
memberikan sumbangan kepada pembelajaran mutu pendidikan
Bahasa Indonesia melalui media gambar.
b. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai dudukan bagi,
penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, meningkatkan kemampuan siswa sehingga dapat
mengembangkan potensi diri secara optimal, terutama dalam hal
berbicara dan bercerita pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
selanjutnya.
b. Bagi guru, dapat digunakan sebagai bahan masukan bahwa media
gambar dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam
kegiatan pembejaran Bahasa Indonesia.
c. Bagi sekolah, memberikan masukan kepada kepala sekolah dalam
usaha perbaikan proses pembelajaran, sehingga berdampak pada
10 G. Definisi Operasional
1. Media Gambar Seri
Media gambar seri merupakan sejumlah gambar yang
menggambarkan suatu peristiwa yang telah terjadi dan menunjukkan
adanya kesinambungan antara gambar yang satu dengan yang lainnya.
Media gambar seri yang digunakan dalam penelitian ini adalah
serangkaian gambar yang terdiri dari 6 hingga 8 gambar pada setiap
tema. Tema yang digunakan adalah banjir bandang, demam berdarah,
kecelakaan lalu lintas, kehujanan, hilangnya pesawat Air Asia dan
karnaval di Malioboro. Ukuran gambar seri yang digunakan adalah
12x9 cm tiap gambar dengan bahan krungkut yang kemudian
dilaminating. Penggunaan media gambar seri dimulai dengan
persiapan rangkaian gambar seri yang mudah dimengerti alurnya oleh
anak. Kemudian gambar-gambar tersebut ditempelkan pada sebuah
papan dengan pemberian petunjuk atau arahan dari guru. Selanjutnya,
anak diminta memberikan penjelasan tentang rangkaian cerita dari
media gambar seri yang tersedia. Mulai dari komentar atau hasil
diskusi anak, guru mulai menjelaskan materi sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai.
2. Kemampuan berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan
11
berbicara anak autis kelas VII SMPLB Sekolah Khusus Autis Bina
Anggita dengan materi percakapan sederhana khususnya dalam
pelafalan bunyi vokal dan konsonan, ketepatan intonasi, dan
penggunaan suku kata yang sesuai serta materi pembelajaran mengenai
situasi khususnya dalam penjelasan dari penggambaran sebuah situasi.
Ada 8 soal dari 3 indikator penilaian dalam menjelaskan sebuah
kejadian yaitu (1) menyebutkan tema atau judul dari sebuah kejadian
dengan pengucapan yang tepat; (2) memberikan penjelasan awal
secara singkat mengenai sebuah kejadian dengan urutan yang benar
dan lancar; (3) menjelaskan kronologi/ proses terjadinya sebuah
kejadian secara runtut dan jelas. Pengukuran terhadap kemampuan
berbicara tersebut ditunjukkan dengan frekuensi kesalahan dalam
menjelaskan sebuah kejadian yang terjadi semakin berkurang.
3. Anak Autis
Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan yang
ditunjukkan dengan adanya hambatan dalam interaksi sosial,
komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya
perilaku stereotip pada minat dan aktivitas serta selalu memberikan
respon untuk pengalaman sensori, dan dapat dideteksi sebelum usia 3
tahun. Dalam penelitian ini difokuskan pada gangguan bahasa anak
autis. Kemampuan berbicara anak autis ditingkatkan melalui media
gambar seri. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak autis
12
penelitian merupakan anak autis yang mampu membaca dan menulis
serta telah memahami dan mampu melaksanakan instruksi dari orang
13 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian tentang Anak Autis 1. Pengertian Anak Autis
Istilah autisme diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner pada
tahun 1943. Secara etimologis kata “Autisme” berasal dari kata “auto”
dan “isme”. Auto berarti diri sendiri, sedangkan isme berarti suatu
aliran/paham. Dengan demikian autism diartikan sebagai suatu paham
yang hanya tertarik pada dunianya sendiri (Yosfan Azwandi, 2005: 14).
Perilaku yang dilakukan penyandang autisme semata-mata karena adanya
dorongan dari dirinya sendiri dan seakan-akan tidak tertarik terhadap
stimulus dari orang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Siegel (dalam
Bandi Delphie, 2009: 27) yang menyatakan bahwa:
Autism is a developmental disorders that effects many aspects of how a child sees the world and learns from his or her experiences. Children with autism lack the usual desire for social contact. The attention and approval of others are not important to them in the usual way. Autism is not an absolute lack of desire for affiliation, but relative one.
Artinya, “autism” merupakan sebuah gangguan perkembangan
pervasif yang berpengaruh terhadap bagaimana anak memandang dunia
dan belajar dari pengalaman-pengalamannya. Anak autis tidak memiliki
hasrat dalam berhubungan sosial. Anak autis tidak menganggap penting
atensi dan persetujuan orang lain. Anak autis tidak memiliki
14
untuk bergabung dengan orang lain, kecuali jika dirinya sendiri yang
menginginkannya.
Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan
perkembangan terutama pada aspek dalam perilaku, bahasa, serta
interaksi sosial. Menurut Eisenberg dan Kanner (dalam Achenbach,
1982: 424) pengenalan autis ditunjukkan dengan dua symptom utama,
yaitu (1) Isolasi diri yang ekstrim, muncul sejak tahun pertama kehidupan
dan (2) Obsesi untuk melakukan gerakan yang monoton.
Sedangkan menurut Individual with Disabilities Education Act/IDEA
(Hallahan dan Kauffman, 2009:425) mendefinisikan autism sebagai :
A developmental disability affecting verbal and nonverbal communication and interaction, generally evidence before age 3, that affects a child’s performance. Other characteristics often associated with autism are engagement in repetitive activities and steorotyped movement, resistanced to environmental change or change in daily routines, and unusual responses to adversely affected primaly because the child has serious emotional disturbance.
Berdasarkan pengertian yang disebutkan diatas, autis dapat
dikatakan sebagai gangguan perkembangan pada komunikasi verbal dan
nonverbal, interaksis sosial yang secara umum terjadi sebelum usia tiga
tahun. Karakteristik lain yang sering muncul pada anak autis yaitu
adanya keterikatan dengan aktivitas repetitif dan steorotip, menolak pada
perubahan aktivitas sehai-hari dan respon yang tidak bisa karena anak
autis memiliki masalah emosi yang serius. Secara garis besar anak autis
mengalami gangguan komunikasi, interaksi sosial dan juga pola perilaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Kate Wall (2004 :7) menyatakan
15
from properly understanding what they see, hear and otherwise sense.
This results in severe problem of social relationshiops, communication
and behavior.
Maksud dari pendapat di atas yaitu, autisme adalah cacat
perkembangan seumur hidup yang mencegah individu dalam memahami
apa yang mereka lihat, dengar dan sebaliknya perasa. Atau dengan kata
lain anak cenderung melakukan hal-hal yang berlawanan dengan akal
sehatnya. Hal ini menyebabkan masalah kompleks pada hubungan sosial,
komunikasi dan perilaku.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut anak dengan
gangguan perkembangan dengan gejala-gejala seperti di atas, diantaranya
anak dengan autism, anak autistik, anak dengan autisme, dan anak autis. Bandi Delphie (2009: 27) menyatakan bahwa akhiran “sm” tidak biasa
digunakan pada Bahasa Indonesia sehingga digunakan istilah autisme
atau autismdan karena huruf “sm” dianggap sulit untuk diucapkan, maka
autisme diganti dengan autis.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
pervasif dalam bentuk gangguan autistik dengan beberapa gejala utama
berupa gangguan dalam kemampuan berbahasa dan berbicara,
kemampuan berkomunikasi, perilaku, dan interaksi sosial. Selain itu,
adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas serta selalu
memberikan respon untuk pengalaman sensori, dan dapat dideteksi
16
termanifestasi dalam bentuk gejala-gejala yang sangat variatif. Oleh
karena itu, setiap anak autis memiliki karakteristik dan kekhasannya
masing-masing yang membedakannya dari anak autis lain.
2. Diagnosis Gangguan Autistik
Penegakan diagnosis gangguan autistik dilakukan dengan mengacu
kepada beberapa kriteria tertentu. Ada beberapa kriteria berstandar
internasional yang sering digunakan untuk mendiagnosis gangguan
autistik pada anak, dua diantaranya yaitu ICD -10 (International
Classification of Disease) tahun 1993 dan DSM-V (Diagnostic and
Statistic Manual) tahun 2011.
ICD-10 dan DSM-V memuat serangkaian kriteria yang apabila
terpenuhi sebagian atau seluruhnya mengindikasikan bahwa anak
memiliki kecenderungan untuk mendapatkan diagnosis gangguan
autistik. Kriteria tersebut terdiri dari beberapa kategori gangguan
kualitatif, baik dari aspek bahasa dan komunikasi, perilaku, dan interaksi
sosial. Berikut kriteria diagnostik untuk gangguan autistik pada DSM-V
(Diagnostic and Statistic Manual) tahun 2011 dalam American
Psychiatric Assosiation (2013: 50) :
a. Persistent deficits in social communication and social interaction across multiple contexts, as manifested by the following, currently or by history (examples are illustrative,not exhaustive; see text): 1) Deficits in social-emotional reciprocity, ranging, for
example, from abnormal social approach and failure of normal back-and-forth conversation; to reduced sharing of interests, emotions, or affect; to failure to initiate or respond to social interactions.
abnor-17
malities in eye contact and body language or deficits in understanding and use of gestures: to a total lack of facial expressions and nonverbal communication.
3) Deficits in developing, maintaining, and understanding relationships, ranging, for example, from difficulties adjusting behavior to suit various social contexts; to difficulties in sharing imaginative play or in making friends; to absence of interest in peers.
b. Restricted, repetitive patterns of behavior, interests, or activities, as manifested by atleast two of the following, currently or by history (examples are illustrative, not exhaustive; see text):
1) Stereotyped or repetitive motor movements, use of objects, or speech (e.g., simplemotor stereotypies, lining up toys or flipping objects, echolalia, idiosyncratic\ phrases).
2) Insistence on sameness, inflexible adherence to routines, or ritualized patterns of verbal or nonverbal behavior (e.g., extreme distress at small changes, difficulties with transitions, rigid thinking patterns, greeting rituals, need to take same route or eat same food every day).
3) Highly restricted, fixated interests that are abnormal in intensity or focus (e.g., strong attachment to or preoccupation with unusual objects, excessively circum scribed or perseverative interests).
4) Hyper- or hyporeactivity to sensory input or unusual interest in sensory aspects of the environment (e.g., apparent indifference to pain/temperature, adverse response to specific sounds or textures, excessive smelling or touching of objects, visual fascination with lights or movement).
c. Symptoms must be present in the early developmental period (but may not becomefully manifest until social demands exceed limited capacities, or may be masked by learned strategies in later life). d. Symptoms cause clinically significant impairment in social,
occupational, or other im portant areas of current functioning. e. These disturbances are not better explained by intellectual
disability (intellectual developmental disorder) or global developmental delay. Intellectual disability and autism spectrum disorder frequently co-occur; to make comorbid diagnoses of autism spectrum disorder and intellectual disability, social communication should be below that expected for general developmental level.
Maksud dari pendapat di atas, kriteria diagnostik bagi anak autis
dapat dilihat dari 1) kurangnya komunikasi sosial dan interaksi sosial di
dalam beberapa konteks; 2) pembatasan perilaku, pola perilaku yang
18
perkembangan awal (tapi mungkin tidak \terwujud sampai tuntutan sosial
melebihi kapasitas yang terbatas, atau mungkin ditutupi oleh strategi
belajar di kemudian hari); 4) gejala yang menyebabkan gangguan klinis
yang signifikan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau area penting
lainnya saat berfungsi; 5) gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan oleh
ketidakmampuan intelektual (intelektual disability).
Berdasarkan kriteria DSM-V tersebut, saat ini anak masih
menunjukkan beberapa gejala yang mengarah pada gangguan autistik,
diantaranya yaitu:
a. Anak memiliki ekspresi wajah yang datar.
b. Anak gagal dalam mengembangkan hubungan persahabatan dengan
teman sebayanya.
c. Anak belum memiliki timbal balik sosial maupun emosional yang
cukup dengan orang lain.
d. Anak mampu berkomunikasi secara verbal melalui bicara.
e. Anak masih kurang mampu dalam memulai dan mempertahankan
komunikasi dengan orang lain.
f. Anak suka mengulang-ulang jingle iklan di televisi.
g. Anak memiliki minat yang sangat tinggi terhadap benda-benda hasil
kemajuan teknologi seperti laptop, ipad, dan handphone canggih.
h. Anak memiliki kebiasaan berdehem walaupun tidak sedang sakit
tenggorokan.
Terkait dengan point (b) dan (c), adanya diagnosis gangguan
19
memang muncul dengan gejala yang muncul sebelum usia tiga tahun
dan bukan disebabkan oleh gangguan rett dan gangguan disintegratif
masa kanak-kanak. Ditegakkannya diagnosis autistik pada anak
melatarbelakangi keberadaan anak di Sekolah Khusus Autis Bina
Anggita Yogyakarta. Kesalahan diagnosis terhadap gangguan autistik
masih sering terjadi. Hal ini dikarenakan gangguan autistik seringkali
disertai dengan beberapa kondisi penyerta seperti hiperaktivitas,
epilepsi, dan ketunagrahitaan. Selain itu, karakteristik dari anak autis itu
memiliki variasi yang sangat tinggi. Setiap anak autis memiliki
kekhasan dan keunikan tersendiri yang membedakannya dengan anak
autis lain. Kondisi tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap
sulitnya melakukan klasifikasi pada gangguan autistik itu sendiri.
3. Karakteristik Anak Autis`
Anak-anak autis tidak atau belum dapat berkomunikasi dengan
intensif karena kognitif yang masih kurang, namun juga dapat
berkomunikasi akan tetapi mengarah ke bahasa non verbal seperti bahasa
tubuh dengan teriak, menangis dsb. Keinginan anak autisme untuk
berkomunikasi dengan orang lain, bilamana anak memiliki sebuah
keinginan. Jika kita memperhatikan kemampuan bicara anak autis, maka
sebagian anak tidak memilikinya. Sementara itu, yang lainnya hanya
dapat mengeluarkan suara gema dan tidak jelas dari tenggorokan mereka
20
Secara lebih rinci Prasetyono D.S. (2008: 59) menjelaskan mengenai
karakteristik pada tiga aspek utama dalam gangguan perkembangan anak
dengan hambatan autisme yaitu komunikasi, interaksi sosial dan perilaku,
sebagai berikut:
a. Komunikasi
Anak autis menunjukkan kualitas komunikasi yang tidak normal, dengan ciri-ciri berikut ini:
1) Perkembangan bicaranya terlambat atau sama sekali tidak berkembang.
2) Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
3) Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
4) Bahasa tidak lazim yang diulang-ulang atau steorotip.
5) Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif dan biasanya permainannya kurang variatif.
b. Interaksi Sosial
Adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial dan ditandai dengan hal-hal berikut ini:
1) Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi facial, postur dan gerak tubuh untuk berinteraksi secara layak.
2) Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, di mana mereka bisa berbagi, aktivitas dan interes bersama.
3) Ketidakmampuan untuk berempati dan membaca emosi orang lain.
4) Ketidakmampuan secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu secara bersama-sama.
c. Perilaku
Aktivitas, perilaku serta interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan steorotip. Hal ini ditunjukkan dengan ciri-ciri berikut ini:
1) Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal.
2) Adanya suatu kelekatan pada suatu rutinitas atau ritual yang tidak berguna.
3) Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, misalnya mengepak-ngepakkan lengan, menggerak-gerakkan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
21
5) Menunjukkan emosi yang tidak wajar, tempramen tantrum (mengamuk dengan tidak terkendali), tertawa dan menangis tanpa sebab, dan rasa takut yang tidak wajar.
6) Gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium atau menggigit-gigit benda, serta tidak suka dipeluk atau dielus.
Secara umum, anak autis memiliki pola perilaku yang tidak wajar
yang dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu perilaku yang berlebihan
dan perilaku yang berkekurangan. Menurut Prasetyono D.S. (2008: 26) “umumnya, perilaku yang berkekurangan adalah gangguan bicara”.
Kondisi ini terjadi pada anak yang menjadi subjek dalam penelitian ini.
Anak mengalami gangguan bicara yaitu suara terputus-putus atau
terengah-engah (artikulasi) serta mengalami kesulitan dalam melakukan
percakapan sederhana dan menjelaskan suatu situasi. Hal ini didukung
oleh Tin Suharmini (2009: 73) yang menyatakan bahwa “kurang lebih 50
% anak-anak autis ini mengalami hambatan dalam berbahasa dan berbicara”.
Anak autis memiliki IQ yang bervariasi. Ada anak autis yang
memiliki IQ normal, di atas rata-rata anak normal dan di bawah rata-rata
anak normal. Menurut Mourice dan Siegel (dalam Yuwono, 2012 : 23),
fakta ditemukan bahwa 70%-80% anak autistik itu memiliki tingkatan
Mental Retardation. Kebanyakan masuk dalam kategori mild hingga
moderate mental retardasi yang ada, meskipun hanya sedikit saja yang
masuk sebagai mental retardasi kategori berat.
Hal ini mempengaruhi kemampuan intelegensi anak yaitu normal
sampai di atas rata-rata, dan terlihat berkemampuan tinggi. Kebanyakan
22
menguasai subyek yang mereka sukai pernah pelajari. Namun, mereka
lemah dalam hal pengertian dan pemikiran abstrak, juga dalam
pengenalan sosial. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan
akademis, khususnya dalam kemampuan membaca dan mengerti apa
yang dibaca, menyelesaikan masalah, kecakapan berorganisasi,
pengembangan konsep, membuat kesimpulan dan menilai. Ditambah
pula, mereka sering kesulitan untuk bersikap lebih fleksibel. Pemikiran
mereka cenderung lebih kaku. Mereka juga sering kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan, atau menerima kegagalan yang
dialaminya, serta tidak siap belajar dari kesalahan-kesalahanya (Attwood,
1998 : 17).
Anak autis memiliki indera yang sama seperti anak pada umumnya.
Namun terkadang dalam gerakan motoriknya anak ada yang cenderung
hipoaktif maupun hiperaktif. Hal ini terjadi, karena adanya gangguan/
kerusakan pada sistem saraf otaknya, sehingga rangsangan/ stimulus
yang diberikan lingkungan berjalan salah sehingga respon anak kadang
tidak sesuai. Sebagian anak autis sangat peka terhadap stimulus yang ada
misalnya suara. Anak autis sebenarnya bukan mengalami gangguan
mental, akan tetapi anak tersebut hidup di dalam dunianya sendiri
sehingga orang di sekitarnya yang belum tau tentang autis akan mengira
bahwa anak tersebut mengalami gangguan mental. Anak acuh terhadap
lingkungan di sekelilingnya dan sering melakukan gerakan-gerakan aneh
23
terkekeh tanpa ada alasan. Namun, perkembangan mental anak biasanya
lebih terlambat daripada anak umumnya.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak autis kelas VII di
Sekolah Khusus Autis Bina Anggita dengan jenis kelamin laki-laki dan
berusia 16 tahun. Berdasarkan hasil observasi, mengenai pengembangan
kemampuan berbicara anak disekolah, ditemukan bahwa kemampuan
berbicara anak masih rendah. Anak sudah memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan kata-kata, tetapi belum memiliki inisiatif untuk memulai
dan melakukan suatu percakapan sederhana dan sulit dalam menjelaskan
suatu situasi. Saat anak diberi perintah sederhana, anak dapat
melakukannya dengan baik. Dalam mengidentifikasi bagian-bagian tubuh
ia sudah mahir dan langsung tanggap saat diberi instruksi. Lebih jauh
lagi, anak sudah dapat mendeskripsikan ciri-ciri rambut. Anak sudah
memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata, tetapi belum
memiliki inisiatif untuk memulai dan melakukan suatu percakapan
sederhana dan sulit dalam menjelaskan suatu situasi. Anak masih sering
mengulang pertanyaan yang diberikan kepadanya. Anak berbicara
dengan intonasi yang belum sesuai, misalnya meminta bantuan dengan
nada yang tinggi dan masih berbicara tanpa gesture dengan ekspresi yang
datar. Hal ini mempengaruhi nilai mata pelajaran bahasa Indonesia yang
lebih rendah daripada mata pelajaran lain. Nilai Bahasa Indonesia
dibawah nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 65. Anak
memiliki ketertarikan dengan media gambar yang telah mampu membaca
24
instruksi dari orang lain. Oleh sebab itu, digunakan media gambar seri
yang penggunaannya dapat disesuaikan dan dimengerti oleh anak.
Dalam kemampuan meniru untuk motorik kasar, anak dapat
menirukan gerakan-gerakan seperti lompat, tepuk tangan, toss,
melambaikan tangan, mengangguk, menggeleng dan lain-lain.
Kemampuan motorik halusnya pun tidak terlalu mengalami kesulitan.
Hanya saja, anak masih memerlukan arahan ketika menulis, terkadang
tulisannya besar dan terkadang tulisannya kecil. Dalam pembelajaran
mewarnaipun, subjek masih perlu pengembangan. Ini dikarenakan dalam
menggambar anak masih belum dapat mewarnai satu arah. Anak sudah
mampu dalam hal menulis, berhitung, menggambar, mewarnai.
Dalam bidang matematika, anak tidak begitu mengalami kesulitan.
Ia sudah mampu berhitung sampai ke angka ratusan. Namun, anak masih
kesulitan ketika diminta mengerjakan soal pengurangan yang didalamnya
mengandung sistem pinjam dan pada penjumlahan yang didalamnya
menggunakan sistem simpan dengan bilangan empat angka. Selain itu,
anak sudah dapat membaca dengan baik, namun pengucapan kalimatnya
juga kurang jelas. Anak masih memerlukan arahan ketika menulis,
terkadang tulisannya besar dan terkadang tulisannya kecil. Anak sudah
mampu dalam hal menyebutkan ciri-ciri dengan diberikan satu clue.
Misalnya menyebutkan tentang ciri-ciri bunga, gajah, gelas, kupu-kupu,
25 B. Kajian Tentang Kemampuan Berbicara
1. Pengertian Kemampuan Berbicara
Berbicara merupakan proses berbahasa lisan untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan, merefleksikan pengalaman, dan
berbagi informasi (Ellis, 1989). Para pakar mendefinisikan kemampuan
berbicara secara berbeda-beda. Muglrave (Henry Guntur Tarigan, 2008:
16) berpendapat bahwa:
“Bicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan
yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrument yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak, baik bahasa pembicaraannya maupun para penyimaknya.”
Maksud dari pendapat diatas bahwa berbicara adalah suatu alat/
kemampuan untuk mengungkapkan dan mengutarakan gagasan, pikiran
maupun perasaan sesuai dengan kebutuhan pendengarnya. Surono (2006 :
396) menambahkan bahwa berbicara adalah komunikasi verbal secara
lisan antara penutur dan mitra tutur yang bisa juga dengan media lisan,
audio, dan visual.
Dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan suatu kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan. Berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan
gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. Kemampuan berbicara adalah
kata-26
kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran,
gagasan dan perasaan.
Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan
anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang
dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa
diekspresikan melalui bicara yang mengacu pada simbol verbal. Selain itu
bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik.
Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti
gestikulasi, gestural atau pantomim.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara
Menurut Tarmansyah (1996 : 50) faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan berbahasa dan bicara diantaranya kondisi jasmani dan
kemampuan motorik, kesehatan umum, kecerdasan, sikap lingkungan,
sosial ekonomi, kedwibahasaan dan neurologi. Ketujuh faktor yang
mempengaruhi keterampilan berbicara dan bahasa tersebut diuraikan
sebagai berikut:
a. Kondisi jasmani dan kemampuan motorik
Kondisi jasmaniah anak meliputi kondisi fisik sehat, tentunya
mempunyai kemampuan gerakan yang lincah, dan penuh energi. Anak
mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda disekitarnya,
kemudian benda tersebut diasosiasikan anak menjadi sebuah
pengertian. Baik tidaknya keadaan biologis anak memberikan
27
keterampilan berbicaranya. Anak yang mempunyai kondisi fisik yang
normal akan mempunyai kemampuan berbicara yang lebih dari anak
yang kondisi fisiknya terganggu. Kemampuan motorik anak juga
berpengaruh terhadap proses pelaksanaan penelitian ini. Dalam
penggunaan media gambar seri, anak mampu memilih tema,
mengambil gambar seri, mengurutkannya sesuai dengan peristiwa
yang akan diceritakan.
b. Kesehatan umum
Kesehatan secara umum menujang perkembangan setiap anak
termasuk di dalamya kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara.
Anak yang berpenyakit tidak mempunyai kebebasan dalam mengenal
lingkungan sekitarnya secara utuh sehingga anak kurang mampu
mengekspresikannya. Namun anak yang sehat akan mampu mengenali
lingkungan dan mampu mengekspresikan secara utuh dalam bentuk
bahasa dan berbicara.
Lebih lanjut Tarmansyah (1996: 53) mengatakan “…. adanya
gangguan pada kesehatan anak, akan mempengaruhi dalam
perkembangan bahasa dan bicara. Hal ini terjadi sehubungan dengan
berkurangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dari
lingkungan. Selain itu, mungkin anak yang kesehatannya kurang baik
tersebut menjadi berkurang minatnya untuk ikut aktif melakukan
kegiatan penelitian ini, sehingga menyebabkan kurangnya input yang
28
pengertian anak mengenai peristiwa di dalam gambar seri yang akan
diceritakan.
c. Kecerdasan
Kecerdasan pada anak autis meliputi fungsi mental intelektual. Anak
yang memiliki intelegensi tinggi akan mampu berbicara lebih awal
sedangkan anak yang memiliki intelegensi rendah akan terlambat
dalam kemampuan berbahasa dan berbicara. Selain itu, kecerdasan
anak juga berpengaruh terhadap proses pemahamahan anak mengenai
gambar seri yang akan diceritakan atau dijelaskan oleh anak.
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan atau
intelegensi berpengaruh terhadap kemampuan berbicara dan
pemahaman gambar seri yang digunakan.
d. Sikap lingkungan
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara
anak adalah lingkungan bermain baik dari tetangga maupun dari
sekolah. Oleh karena itu lingkungan sangat mempengaruhi bahasa
anak, maka lingkungan darimana pun bagi anak hendaklah lingkungan
yang dapat menimbulkan minat berkomunikasi anak. Proses perolehan
bahasa anak diawali dengan kemampuan mendengar kemudian meniru
suara yang didengar dari lingkungan. Proses semacam ini, anak tidak
akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan yang pernah didengarnya. Oleh
29
dari pengalaman yang pernah didengarnya. Kemudian
berangsur-angsur ketika anak mampu mengekspresikan pengalaman, baik dari
pengalaman mendengar, melihat, membaca dan diungkapkan kembali
dalam bahasa lisan.
e. Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi perkembangan bahasa
dan bicara. Hal ini dikarenakan sosial ekonomi seseorang memberikan
dampak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa dan
berbicara. Makanan dapat mempengaruhi kesehatan. Makanan yang
bergizi akan memberikan pengaruh positif untuk perkembangan sel
otak. Perkembangan sel otak inilah yang akhirnya digunakan untuk
mencerna semua rangsangan dari luar sehingga rangsangan tersebut
akan melahirkan respon dalam bentuk berbahasa dan berbicara.
Gambaran tersebut menujukkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang
tinggi dapat memenuhi kebutuhan makan anaknya yang memadai.
f. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan atau bilingualism adalah kondisi dimana seseorang
berada di lingkungan orang lain yang menggunakan dua bahasa atau
lebih. Kedwibahasaan pada anak ditunjukkan dengan penggunaan
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kondisi demikian dapat
mempengaruhi atau memberikan akibat bagi perkembangan bahasa
dan berbicara anak pada penelitian ini. Penelitian ini difokuskan
30
kemampuan berbicara bahasa Indonesia. Tentunya anak harus
menggunakan bahasa Indonesia dalam menjelaskannya. Meskipun ada
anggapan bahwa anak autis dapat belajar bahasa yang berbeda
sekaligus, namun jika dalam penggunaannya bersamaan dan bahasa
yang digunakan berbeda, maka hal ini dapat mempengaruhi
perkembangan bahasa dan bicara anak.
g. Neurologi
Neuro adalah syaraf, sedangakan neurologis dalam berbicara adalah
bentuk layanan yang dapat diberikan kepada anak untuk membantu
mereka yang mengalami gangguan bicara. Oleh karena itu gangguan
berbicara penyebabnya dapat dilihat dari keadaan neurologisnya.
Beberapa faktor neurologis yang mempengaruhi perkembangan
bahasa dan bicara anak meliputi:
1. Bagaimana struktur susunan syarafnya.
2. Bagaimana fungsi susunan syarafnya.
3. Bagaimana peranan susunan syarafnya.
4. Bagaimana syaraf yang behubungan dengan organ bicaranya.
Dalam penelitian ini, peneliti belum dapat menguraikan mengenai
susunan syarafnya karena membutuhkan pemeriksaan medis.
3. Kriteria Penilaian Kemampuan Berbicara pada Anak Autis
Menurut Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 2008: 28) dalam
mengevaluasi kemampuan berbicara, pada prinsipnya harus
31
a. Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal dan konsonan) diucapkan dengan tepat?
b. Apakah pola-pola intonasi, naik turunnya suara, serta tekanan suku kata memuaskan?
c. Apakah ketetapan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang digunakannya?
d. Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?
e. Sejauh manakah kewajaran atau kelancaran atapun ke-nativespeaker-an yang tercermin bila seseorang berbicara?
Berdasarkan kriteria penilaian kemampuan berbicara yang
dikemukakan oleh Brooks tersebut, penelitian akan difokuskan pada item
a, b, dan d. Item a juga dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan
lafal dengan jelas. Item b dapat diartikan kemampuan menggunakan
pola-pola intonasi yang tepat. Sedangkan item d dapat diartikan dengan
menggunakan susunan kata-kata yang tepat.
4. Perkembangan Bicara dan Bahasa Anak Autis
Anak-anak autis tidak atau belum dapat berkomunikasi dengan
intensif karena kognitif yang masih kurang, namun juga dapat
berkomunikasi akan tetapi mengarah ke bahasa non verbal seperti bahasa
tubuh dengan teriak, menangis dsb. Keinginan anak autisme untuk
berkomunikasi dengan orang lain, bilamana anak memiliki sebuah
keinginan. Jika memperhatikan kemampuan bicara anak autis, maka
sebagian anak tidak memilikinya. Sementara itu, yang lainnya hanya dapat
mengeluarkan suara gema dan tidak jelas dari tenggorokan mereka
(Maulana, 14 : 2007).
Gangguan komunikasi bisa disebabkan oleh gangguan pada masalah
32
pendengaran sehingga tidak bisa mendengar kata apalagi mengingat
kata-kata dengan jelas, tidak memahami arti kata-kata-kata-kata dan mengasosiasikan
dengan situasi, dan lingkungan tidak mendukung anak untuk termotivasi
berbicara atau mengembangkan kemampuan bicaranya (Jamila, 29 : 2007).
Bila penyebabnya adalah gangguan pemrosesan suara atau kata termasuk
gangguan motorik mulut, biasanya di dalam terapi bicara akan ditangani
dengan pendekatan tertentu dilihat dari kebutuhan anak, pendekatan
tersebut dapat berupa blowing atau oral motorik yang lain. Bila
penyebabnya karena gangguan pendengaran, lebih banyak belajar melalui
visual.
Kemampuan komunikasi mereka bervariasi tergantung pada kapasitas
intelektual dan derajat keparahan autis yang dimilikinya. Perkembangan
komunikasinya juga akan berbeda bagi setiap anak autis. Beberapa anak
autis mampu berkembang secara verbal, yaitu anak autis yang mengalami
keterlambatan berbahasa masih mampu meniru ucapan dan membeo
(echolalia) dan menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana
namun kosa katanya terbatas dan sederhana, sedangkan pada anak
autis yang tidak mengalami keterlambatan perkembangan bahasa,dapat
berbicara tentang suatu topik yang disukainya secara mendalam. Oleh
karena itu perlu adanya metode untuk meningkatkan kecakapan
komunikasi anak autisme dengan memperhatikan kemampuan yang lebih
33 C. Kajian tentang Media Pembelajaran
1. Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin, medium yang secara harfiah
berarti “tengah”, “perantara”, atau “pengantar”. Media adalah perantara
atau pengantar pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan
(Sanjaya, 2012: 65). Sedangkan pembelajaran adalah proses
penyampaian informasi. Media pembelajaran adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke
penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan
minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses pembelajaran yaitu
belajar mengajar. Pustaka Aect (1979 : 45) mengatakan bahwa “media
adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi.”
Menurut Cepi Riyana dan Rudi Susilana (dalam Werdi Santoso dkk,
2011 :6) alasan pokok pemilihan media dalam pembelajaran, karena
didasari atas konsep pembelajaran sebagai sebuah sistem yang di
dalamnya terdapat suatu totalitas yang terdiri atas sejumlah komponen
yang bertujuan untuk mencapai tujuan dalam kegiatan pembelajaran.
Media Pendidikan merupakan seperangkat alat bantu atau pelengkap
yang digunakan oleh guru atau pendidik dalam rangka berkomunikasi
dengan siswa atau peserta didik (Sudarwan, 2010 : 7). Heinich dan
Russel (1996 : 23) mengartikan media sebagai saluran untuk komunikasi.
Media berasal dari bahasa latin yang berarti “antara”, digunakan untuk
34
Dari batasan-batasan itu dapat dirumuskan bahwa media adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga
dapat membantu serta mendorong terjadinya proses belajar terutama pada
pemahaman konsep pembelajaran pada diri siswa.
2. Klasifikasi Media Pembelajaran
Seels & Glasgow dalam Azhar Arsyad (2011 : 33) Media dibagi ke
dalam dua kategori luas, yaitu media tradisional dan media teknologi
mutakhir.
a. Media Tradisional
1) Visual diam yang diproyeksikan meliputi proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, dan filmstrips.
2) Visual yang tak diproyeksikan meliputi gambar, poster, foto, charts, grafik, diagram, pameran, papan info, dan papan-bulu. 3) Audio meliputi rekaman piringan, pita kaset, reel, dan cartridge. 4) Penyajian Multimedia meliputi slide plus suara (tape) dan
multi-image.
5) Visual dinamis yang diproyeksikan meliputi film, televisi dan video
6) Cetak meliputi buku teks,modul, teks terprogram,workbook, majalah ilmiah, berkala, lembaran lepas (hand-out).
7) Permainan meliputi teka-teki, simulasi dan permainan papan. 8) Realita meliputi model, specimen (contoh) dan manipulatif
(peta,boneka).
b. Media Teknologi Mutakhir
1) Media Berbasis Telekomunikasi a) Telekonferen
Telekonferen adalah suatu teknik komunikasi dimana kelompok-kelompok yang berada di lokasi geografis berbeda menggunakan mikrofon dan amplifier khusus yang dihubungkan datu dengan lainnya sehingga setiap orang dapat berpartisipasi dengan aktif dalam suatu pertemuan besar dan diskusi.
b) Kuliah Jarak Jauh
35 2) Media berbasis Mikroprosesor
a) Computer-assisted intruction
b) Sistem Tutor Intelligen
c) Interaktive Video
d) Hypermedia
e) Compact video disk
Lingkungan sekitar juga dapat digunakan sebagai media
pengajaran selain media yang telah disebutkan diatas. Karena pada
dasarnya media-media yang telah disebutkan sebelumnya bertujuan
untuk memvisualkan data, fakta, gagasan, info, peristiwa dalam bentuk
tiruan sebenarnya supaya dapat dibahasa di dalam kelas.
Media gambar seri yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
media media tradisional yang berfokus pada visual. Media visual
dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Visual
dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan
dukungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Gambar seri
yang digunakan dalam penelitian ini berisi tentang kejadian-kejadian
nyata yang dibentuk menjadi beberapa gambar yang
berkesinambungan. Jadi, selain anak mampu menjelaskan sebuah
peristiwa, anak juga dapat memperoleh beberapa informasi terkini.
3. Fungsi dan Kegunaan Media Pembelajaran
Media memiliki fungsi dan kegunaan yang sangat penting untuk
membantu kelancaran proses pembelajaran dan efektifitas pencapaian
36 a. Fungsi Media Pembelajaran
Menurut Kemp dan Dayton (1985 : 28), media pembelajaran
dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan
untuk perorangan, kelompok, atau kelompok pendengar yang
besar jumlahnya, yaitu (1) memotivasi minat atau tindakan, (2)
menyajikan informasi, dan (3) memberi instruksi.
Untuk tujuan informasi, media pembelajaran dapat digunakan
dalam rangka penyajian informasi dihadapan kelompok peserta
didik. Isi dan bentuk penyajian bersifat amat umum, berfungsi
sebagi pengantar, ringkasan laporan, atau pengetahuan latar
belakang.
b. Kegunaan Media Pembelajaran
Berbagai kegunaan atau manfaat media pembelajaran telah
dibahas oleh banyak ahli. Arief S. Sadiman, dkk. (2011 : 17-18)
menyampaikan kegunaan-kegunaan media pendidikan secara
umum sebagai berikut :
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual.
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, seperti :
a) Objek atau benda yang terlalu besar untuk ditampilkan langsung diruang kelas dapat diganti dengan gambar, foto, slide, realita, film, radio, atau model.
b) Objek atau benda yang terlalu kecil yang tidak tampak oleh indera dapat disajikan dengan bantuan mikroskop, film, slide, atau gambar.
c) Kejadian langka yang terjadi di masa lalu atau terjadi sekali dalam puluhan tahun dapat ditampilkan melalui rekaman video, film, slide disamping secara verbal. d) Objek atau proses yang amat rumit seperti peredaran
37
e) Kejadian atau pecobaan yang dapat membahayakan dapat disimulasikan dengan media seperti komputer, film, dan video.
f) Peristiwa alam seperti terjadinya letusan gunung berapi atau proses yang dalam kenyataan memakan waktu lama seperti proses kepompong menjadi kupu-kupu dapat disajikan dengan teknik-teknik rekaman seperti time-lapse untuk film, video, slide atau simulasi komputer. 3) Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi
dapat mengatasi sifat pasif anak didik. Dalam hal media pendidikan berguna untuk meingkatkan kegairahan belajar ; memungkinkan peserta didik belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya ; dan memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara peserta didik dengan lingkungan dan kenyataan.
4) Memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dari persepsi peserta didik terhadap isi pelajaran. 5) Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan
pengalaman kepada peserta didik tentang peristiwa-peristiwa di