PERBEDAAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA DITINJAU DARI GENDER
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Izzati Khoirina B07211013
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
x INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender. Penelitian ini merupakan penelitian komparasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala perilaku prososial. Subjek penelitian diambil dengan persentase maksimum yakni 25% dari jumlah populasi sebanyak 267 orang remaja yang tinggal didesa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto, maka subjek yang diambil berjumlah 66 orang remaja yang terdiri dari 33 orang remaja perempuan dan 33 orang remaja laki-laki melalui teknik pengambilan sampling yaitu simple random sampling. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender.
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine differences in prosocial behavior of adolescents in terms of gender. This study is a comparative study using data collection techniques such as prosocial behavior scale. Subjects were taken wiyh the maximum percentage of 25% of total population of 267 teenagers who live in villages Brangkal Sooko Mojokerto, then the subjects were taken totaling 66 teenagers consisting of 33 girls and 33 boys, the sampling technique is simple random sampling. And the result showed that there are differences in prosocial behavior of adolescents in terms of gender.
v DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PENGESAHAN ...ii
HALAMAN PERNYATAAN ...iii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR TABEL ...vii
DAFTAR GAMBAR ...viii
DAFTAR LAMPIRAN ...ix
INTISARI ...x
ABSTRACT ...xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Keaslian Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial ... 10
1. Pengertian Perilaku Prososial ... 10
2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial ... 11
3. Teori-Teori Perilaku Prososial ... 13
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial ... 16
5. Perilaku Prososial pada Remaja ... 21
B. Gender ... 24
1. Pengertian Gender ... 24
2. Stereotip Gender ... 27
3. Perspektif Teoritis tentang Gender ... 28
C. Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari Gender ... 32
D. Kerangka Teoritis ... 34
E. Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan definisi Operasional ... 38
1. Variabel ... 38
2. Definisi Operasional ... 38
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 39
C. Teknik Pengumpulan Data ... 40
D. Validitas dan Reliabilitas ... 43
E. Analisis Data ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 46
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 47
1. Deskripsi Subjek ... 47
2. Reliabilitas Data ... 48
1. Uji Normalitas ... 49
2. Uji Homogenitas ... 50
3. Uji Hipotesis Mann-Whitney U ... 50
D. Pembahasan ... 51
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
vii DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Blue Print Perilaku Prososial ... 42
Tabel 2 : Blue Print Skala Perilaku Prososial (Valid) ... 44
Tabel 3 : Hasil Uji Reliabilitas ... 45
Tabel 4 : Deksriptif Statistik Skor ... 48
Tabel 5 : Deskriptif Statistik Rataan dan Std.Deviasi ... 48
Tabel 6 : Hasil Uji Reliabilitas ... 49
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain
di sekitarnya. Dalam kehidupannya, manusia pasti membutuhkan bantuan orang
lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti
halnya pada saat melihat orang yang kesusahan dijalan, maka orang yang
melihatnya akan senantiasa menolong orang tersebut walaupun orang tersebut
tidak saling mengenal satu sama lain.
Namun, dengan berkembangnya zaman pada saat ini, membuat rasa
kepedulian terhadap orang lain mulai menurun. Manusia pada zaman sekarang
lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada orang lain dan lebih menggunakan
konsep hidup menyenangkan diri sendiri dahulu baru orang lain. Oleh karena itu
manusia menjadi individu yang egois dan individual, tidak memperdulikan apa
yang dialami orang lain saat membutuhkan bantuan walaupun sebenarnya mampu
untuk membantunya.
Menurut Hamidah (2003, dalam Frisnawati 2012) banyak orang cenderung
egois dan berbuat untuk mendapatkan suatu imbalan (materi). Sikap ini
menimbulkan ketidak pedulian terhadap lingkungan sosialnya. Di kota–kota
besar, Individu menampakkan sikap materialistik, acuh pada lingkungan sekitar
dan cenderung mengabaikan norma–norma yang tertanam sejak dulu. Terutama
pada remaja-remaja zaman sekarang yang tidak lagi memperdulikan nilai–nilai
2
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Remaja tidak
termasuk golongan anak, tetapi remaja tidak pula termasuk golongan orang
dewasa. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa (Monks, 2006). Oleh karena
itu, masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak–kanak ke masa
dewasa. Remaja juga merupakan golongan masyarakat yang mudah terkena
pengaruh dari luar. Hal ini tampak pada kecenderungan untuk lebih
mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Jadi, tidaklah mengherankan
apabila di kota–kota besar nilai–nilai pengabdian, kesetiakawanan dan tolong
menolong mengalami penurunan sehingga yang nampak adalah perwujudan
kepentingan diri sendiri dan rasa individualis. Ini memungkinkan orang tidak lagi
mempedulikan orang lain dengan kata lain enggan untuk melakukan tindakan
prososial.
Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu
tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin
bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Faktor yang mempengaruhi perilaku prososial salah satunya yaitu gender.
Zahn–Waxler dan Smith (2000, dalam Retnaningsih, 2005) mengatakan, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan lebih banyak menunjukkan
perilaku prososial dan empati terhadap orang lain dibandingkan anak laki–laki.
Pada usia sekolah, dibandingkan anak laki–laki, anak perempuan mengalami
peningkatan perilaku prososial dan penalaran moralnya, yang menunjukkan lebih
3
dilakukan perempuan adalah memberi perawatan. Secara umum, peran sosial
perempuan cenderung menekankan bentuk perilaku prososial pengasuhan, seperti
merawat anak kecil, menghibur teman, atau berbicara dengan orang jompo di
klinik. Riset menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memberikan bantuan
personal kepada kawan dan cenderung memberi nasihat untuk mengatasi problem
personal. Studi–studi juga telah meneliti dukungan sosial, bantuan, nasihat dan
dorongan emosional kepada kawan dan relasi. Secara umum, perempuan lebih
mungkin ketimbang laki–laki untuk memberi dukungan sosial. Terakhir,
perempuan lebih mungkin ketimbang laki–laki untuk memberi perawatan pada
keluarga, mengambil tanggung jawab merawat anak dan orang tua (Taylor, 2009).
Namun berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan bahwa laki–laki
cenderung lebih banyak melakukan perilaku prososial daripada perempuan,
seperti ketika terjadi kecelakaan motor yang di serempet oleh bus mandala yang
terjadi dijalan raya Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto, kebanyakan
orang yang menolong korban kecelakaan tersebut adalah orang laki–laki padahal
tidak sedikit perempuan yang berada dilokasi kecelakaan tersebut. Dan dari data
yang terdapat pada koran Radar Mojokerto pada hari selasa tanggal 1 April 2014,
juga terdapat kecelakaan yang terjadi di Desa Sendi, Kecamatan Pacet. Pada
kejadian tersebut yang menjadi relawan SAR adalah seorang laki–laki bernama
Didik Sudarsono (rudi/niki, 2014). Selain menolong secara fisik laki–laki juga
bisa menolong seseorang secara psikis, dari hasil pembicaraan peneliti dengan
beberapa orang, menyatakan bahwa tidak sedikit laki–laki yang mampu
4
memberikan solusi–solusi untuk sebuah masalah baik secara personal atau
organisasi. Melihat fenomena tersebut dapat dijadikan bukti bahwa
kecenderungan melakukan perilaku prososial ada pada seorang laki–laki. Hal ini
juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Latane (1975, dalam Taylor,
2009), ditemukan secara konsisten menunjukkan bahwa laki–laki lebih cenderung
memberi pertolongan pada perempuan yang mengalami kesulitan, meskipun
perempuan pada semua umur mempunyai empati yang lebih tinggi daripada laki–
laki. Ada kalanya laki–laki lebih cenderung menolong perempuan seperti ketika
dijalan terlihat perempuan mengalami kesuliatan karena motor yang dikendarai
mogok, maka kebanyakan yang menolong adalah laki–laki dan ada kalanya
perempuan lebih cenderung menolong laki–laki seperti ketika mengerjakan tugas–
tugas sekolah atau kuliah laki–laki cenderung meminta bantuan pada perempuan
jadi kecenderungan berperilaku prososial tersebut tergantung pada suasana dan
kondisi lingkungan.
Dari beberapa penelitian yang ada, menjelaskan bahwa perempuan lebih
cenderung melakukan perilaku prososial. Selain itu, pada penelitian lainnya juga
dijelaskan bahwa laki–laki lebih banyak berperilaku prososial, namun pada
fenomena–fenomena yang terjadi, laki–laki cenderung lebih banyak melakukan
perilaku prososial. Hal tersebut juga terjadi pada remaja–remaja di Desa Brangkal
Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto, terutama anggota karang taruna didesa
Brangkal sebagian besar anggotanya didominasi oleh laki-laki, karang taruna
Brangkal mempunyai agenda baksos yaitu dengan turut membantu dalam kerja
5
tidak mampu baik dalam atau luar desa dan yang banyak membantu dalam
merencanakan atau melakukan kegiatan tersebut adalah laki-laki sedangkan
perempuan hanya sebagian kecil yang ikut andil dalam kegiatan tersebut.
Selain itu, di jalan raya Brangkal tersebut juga sering sekali terjadi
kecelakaan baik kecelakaan besar atau kecelakaan kecil dan yang selalu siap
menolong korban tersebut adalah warga dari desa Brangkal walaupun terkadang
kecelakaan tersebut ada diperbatasan desa. Dari permasalahan tersebut dan adanya
perbedaan pendapat dari beberapa penelitian yang ada tentang kecenderungan
berperilaku prososial apabila dilihat dari gender, maka peneliti ingin meneliti
tentang “Perbedaan Perilaku Prososial Remaja ditinjau dari Gender”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang dijadikan rumusan masalah
adalah “Apakah terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari
gender?”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku prososial
remaja ditinjau dari gender.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Sosial mengenai
6
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada masyarakat
terutama remaja agar tidak melihat pada gender seseorang ketika akan
melakukan perilaku prososial.
E. Keaslian Penelitian
Dari Hasil penelitian yang terdapat pada jurnal berjudul Perilaku Prososial
ditinjau dari Empati dan Kematangan Emosi oleh Asih & Shinta (2010)
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan skor prososial antara laki-laki dan
perempuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan stereotype tidak
menyebabkan perbedaan dalam perilaku prososial. Perilaku prososial antara
laki-laki dan perempuan tidak berbeda karena dalam hal-hal tertentu perempuan lebih
mudah memberikan pertolongan, namun pada situasi yang lain perempuan lebih
mudah bereaksi untuk memberikan pertolongan.
Berbeda dengan hasil penelitian Retnaningsih (2005) yang berjudul
Peranan Kualitas Attachment, Usia dan Gender pada Perilaku Prososial yang
menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam perilaku
berbagi dan menolong antara perempuan dan laki–laki ini, sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya. Menurut meta analisis terhadap sejumlah penelitian yang
dilakukan, perbedaan gender dalam perilaku prososial sangat tergantung pada
bentuk perilaku prososial yang ingin dilihat. Dan adanya perbedaan yang
signifikan dalam bekerjasama antara laki–laki dan perempuan cenderung lebih
tinggi dibandingkan laki–laki, kemungkinan dikarenakan masih kuatnya tuntutan
7
Dan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2010) pada jurnal
yang berjudul Intensi Perilaku Prososial Anak ditinjau dari Gaya Pengasuhan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan, terutama pada
pengasuhan otoritatif dengan pengasuhan otoriter, sedangkan pengasuhan permisif
indeferen dan pngasuhan permisif indugen berada di atas pengasuhan otoriter
namun masih dibawah pengasuhan otoritatif.
Pada jurnal penelitian yang berjudul Hubungan antara Intensitas Menonton
Reality Show dengan Kecenderungan Perilaku Prososial pada Remaja yang ditulis
oleh Fisnawati (2012), menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara antara intensitas menonton reality show dengan kecenderungan
perilaku prososial pada remaja.
Jurnal penelitian yang berjudul Kematangan Emosi, Religiusitas dan
Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit oleh Haryati (2013) mendapatkan hasil
penelitian sebagai berikut : Pertama, ada hubungan positif dan signifikan antara
kematangan emosi dan religiusitas dengan periaku prososial perawat di Rumah
Sakit. Kedua, ada hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi
dengan perilaku prososial perawat di Rumah Sakit. Ketiga, ada hubungan positif
dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial perawat di Rumah
Sakit.
Sedangakan hasil penelitian dari jurnal Hapsari & Herdiana (2013) dengan
judul Hubungan antara Self–Esteem dengan Intensitas Perilaku Prososial Donor
Darah pada Donor di Unit Donor Darah PMI Surabaya, diperoleh hasil tersebut
8
antara self-esteem dengan intensi perilaku prososial donor darah pada donor di
Unit Donor Darah PMI Surabaya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prot, Gentile, dan Anderson (2014)
dalam jurnal penelitian yang berjudul Long–Term Relations Among Prososial–
Media Use, Empathy, and Prososial Behavior menyatakan bahwa penggunaan
video game mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perilaku membantu, dan
hubungan antara penggunaan video game dengan perilaku menolong dimediasi
oleh sikap empati.
Jurnal penelitian yang berjudul Influence of Gender, Spiritual
Involvement/Belief and Emotional Stability on Prosocial Behavior among Some
Nigerian Drivers oleh Ayooluwa dan Oyetunji (2014), menyatakan penelitian ini
meneliti sejauh mana stabilitas emosional (Tinggi dan Rendah), keterlibatan
spiritual dan keyakinan (Tinggi dan Rendah) dan perbedaan jenis kelamin
(laki-laki dan Perempuan) mempengaruhi perilaku prososial antara driver di Ondo
Negara. Hasil dari menelitian ini menunjukkan bahwa driver yang mempunyai
keyakinan spiritual yang tinggi mempunyai perilaku prososial yang tinggi
dibandingkan dengan yang mempunyai tingkat keyakinan spiritual rendah.
Kestabilan emosi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
prososial. Namun, jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku
prososial antara Drivers. Tidak ada efek interaksi yang signifikan antara variabel–
variabel ini dan perilaku prososial.
Dan pada jurnal penelitian yang berjudul Prosocial Behavior in Different
9
menghasilkan bahwa lebih banyak orang akan membantu secara tidak langsung
dari pada langsung dan hanya beberapa orang tidak akan membantu dalam semua
situasi. Hal itu juga menunjukkan bahwa perilaku menolong akan berbeda dari
situasi ke situasi yang lain. Sedangkan tidak ada perbedaan yang ditemukan antara
laki-laki dan perempuan (menikah atau belum menikah) yang akan membantu
secara langsung maupun tidak langsung.
Dari beberapa penelitian yang sudah ada tentang perilaku prososial, maka
peneliti tertarik untuk meneliti kembali tentang perbedaan perilaku prososial
apabila ditinjau dari gender. Namun yang membedakan antara penelitian–
penelitian yang sudah ada dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu dari
subjek penelitian, lokasi penelitian dan juga metode yang digunakan. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan alat
ukur berupa skala yang akan diberikan kepada beberapa subjek yang berusia
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perilaku Prososial
1. Pengertian Perilaku Prososial
Sears, Jhonathan, Anne (1994), berpendapat perilaku prososial
adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan
sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku
prososial merupakan bagian dari kehidupan sehari–hari. Tingkah laku
prososial adalah tindakan yang memiliki sifat–sifat positif bagi orang lain.
Psikolog biasanya menggunakan istilah tingkah laku yang mementingkan
orang lain, selain istilah itu tindakan yang membantu orang lain juga
menunjukkan bantuan yang diberikan pada orang lain tanpa mengharapkan
keinginan–keinginan untuk diri sendiri.
Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi
prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang
lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang
melakukan tindakan tersebut. Istilah altruisme sering digunakan secara
bergantian dengan prososial, tapi altruisme yang sebenarnya adalah hasrat
untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri
(Sarwono, 2002).
Selain itu, William (1996, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2001)
membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang
11
penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara
material maupun psikologis.
Taylor (2009) mengungkapkan bahwa perilaku prososial mencakup
setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang
lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial dipengaruhi oleh
tipe relasi antar–orang, antara lain keran suka, merasa kewajiban, memiliki
pamrih, atau empati, seseorang biasanya lebih sering membantu orang
yang dikenal daripada orang yang tidak dikenal. Meskipun demikian,
memberi pertolongan kepada orang asing juga bukanlah hal yang jarang
terjadi.
Menurut Baron & Byrne (2005), tingkah laku prososial adalah
suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus
menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan mungkin bahkan mlibatkan suatu resiko bagi orang
yang menolong.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mengambil sebuah pengertian
bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong tanpa
mengharapkan imbalan yang dapat menguntungkan orang lain dan
dimotivasi oleh kepentingan sendiri, sehingga memiliki sifat–sifat positif
bagi orang lain baik secara fisik maupun secara psikis.
2. Aspek–Aspek Perilaku Prososial
Menurut Mussen (1989, dalam Asih, 2010) menyatakan bahwa
12
berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan duka. (2)
Kerjasama, kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi
tercapainya suatu tujuan. (3) Menolong, kesediaan untuk menolong orang
lain yang sedang berada dalam kesulitan. (4) Bertindak jujur, kesediaan
untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang. (5)
Berderma, kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang
miliknya kepada orang yang membutuhkan.
Bringham (1991, dalam Asih, 2010) menyatakan aspek–aspek dari
perilaku prososial adalah : (1) Persahabatan, kesediaan untuk menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. (2) Kerjasama, kesediaan
untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapai suatu tujuan. (3)
Menolong, kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada
dalam kesulitan. (4) Bertindak jujur, kesediaan untuk melakukan sesuatu
seperti apa adanya, tidak berbuat curang. (5) Berderma, kesediaan untuk
memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang
membutuhkan.
Jadi, aspek–aspek perilaku prososial adalah berbagi, kerjasama,
menolong, bertindak jujur, menderma, dan persahabatan. Dan aspek–aspek
yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Mussen antara lain: berbagi, kerjasama, menolong,
13
3. Teori–teori Perilaku Prososial
Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas. Ia dapat
mencakup segala bentuk tindakan yang dilakukan atau di rencanakan
untuk menolong orang lain, tanpa memerdulikan motif–motif si penolong.
Beberapa teori untuk menjawab pertanyaan diatas telah di kemukakan oeh
para ahli.
a. Teori Sosiobiologi
Teori ini mengemukakan bahwa keputusan untuk menolong
merupakan bagian dari warisan genetik seseorang yang evolusioner,
oleh karena itu teori ini disebut juga teori evolusi. Teori ini digagas
pertama kali oleh Charles Darwin. Darwin (dalam Mahmudah, 2011)
mengemukakan bahwa kelinci akan membuat keributan dengan kaki
belakangnya untuk memperingatkan hewan lain tentang adanya
predator.
Menurut Batson (1999, dalam Taylor, 2009) pendapat bahwa
tindakan membantu orang lain secara genetik adalah bagian dari sifat
manusia merupakan pendapat yang masih kontroversial. Belum jelas
bagaimana teori ini bisa diaplikasikan untuk manusia. Meskipun
demikian, teori ini menunjukkan kemungkinan bahwa pemeliharaan
diri tidak selalu merupakan motif utama. Disposisi ke arah sikap
mementingkan diri dan agresi mungkin berdampingan dengan
14
b. Teori Sosiokultural
Donald Campbell juga menamai teori ini dengan teori evolusi
sosial yaitu perkembangan histori kultur manusia. Campbell (dalam
Sears, dkk., 1994) mengemukakan bahwa evolusi genetik bisa
membantu menjelaskan beberapa perilaku prososial dasar seperti
pengasuhan orang tua, namun tidak berlaku untuk contoh ekstrim
seperti aksi membantu orang asing yang sedang kesulitan. Menurut
pandangan ini, secara bertahap dan selektif masyarakat manusia
mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang
menunjang kesejahteraan kelompok tersebut. Karena pada umumnya
bermanfaat bagi masyarakat, perilaku prososial menjadi bagian dari
aturan atau norma sosial. Tiga norma yang penting bagi perilaku
prososial adalah :
1) Norma tanggung jawab sosial
Norma tanggung jawab sosial menentukan bahwa seharusnya
seseorang membantu orang lain yang bergantung pada seseorang.
2) Norma saling ketimbal balikan
Norma timbal balik menyatakan bahwa seseorang harus menolong
orang yang menolong seseorang tersebut.
3) Keadilan sosial
Kelompok manusia juga mengembangkan norma keadilan
15
prinsip ini, dua orang yang memberikan andil yang sama dalam
suatu tugas harus menerima ganjaran yang sama.
c. Teori Belajar
Teori belajar menjelaskan bahwa perilaku sosial dapat
disebabkan oleh adanya proses belajar. Dalam masa perkembangan,
misalnya anak mempelajari norma masyarakatnya tentang tindakan
menolong. Hal ini juga diungkapkan oleh Fischer (dalam Sears, dkk.,
1994) bahwa anak akan membantu dan member labih banyak bila anak
tersebut mendapatkan ganjaran karena melakukan perilaku prososial.
Dalam konteks pembelajaran ini, hal yang penting adalah
faktor efek reward. Albert Bandura mengaplikasikan pendekatan ini ke
perilaku sosial dengan nama social learning theory (teori belajar
sosial). Terdapat tiga mekanisme umum pada terjadinya proses belajar,
yaitu asosiasi atau pengkondisian klasik, reinforcement (penguatan),
dan observational learning (belajar observasional).
Orang juga belajar melalui modeling yaitu mengamati orang
lain yang memberi pertolongan seperti seorang anak yang sering
melihat orang tua memberikan pertolongan kepada orang lain yang
membutuhkan maka anak tersebut akan melakukan hal yang sama
seperti apa yang dilakukan oleh orang tua tersebut (Taylor, 2009).
Seseorang melakukan perilaku prososial berdasarkan pada
beberapa teori, yang pertama yaitu teori sosiobiologi atau disebut juga
16
sosiokultural atau teori evolusi sosial yang artinya segala perilaku ada
karena kultural atau budaya, dan yang ketiga yaitu teori belajar
merupakan teori yang menekankan pada efek reward (imbalan) dan
punishment (hukuman), selain itu proses belajar juga dilakukan
melalui modeling (mengamati orang lain dan kemudian diikuti).
4. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
prososial di dalam masyarakat, antara lain seperti yang diungkap oleh
Sears, dkk. (1994) bahwa faktor yang mempengaruhi tingkah laku
prososial, yaitu :
a. Faktor situasi, meliputi :
1) Kehadiran orang lain
Kehadiran orang lain kadang–kadang dapat menghambat
usaha untuk menolong, karena kehadiran orang yang begitu banyak
menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung jawab.
2) Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk
membantu. Keadaan lingkungan fisik ini meliputi : cuaca, ukuran
kota dan derajat kebisingan.
3) Tekanan waktu
Penelitian Darley dan Batson (1999) membuktikan bahwa
kadang–kadang seseorang berada dalam keadaan tergesa untuk
17
tindakan menolong, karena memperhatikan keuntungan dan
kerugian.
b. Faktor karakteristik penolong, meliputi :
1) Kepribadian
Kepribadian tiap individu berbeda–beda, ada yang
mempunyai kebutuhan tinggi untuk dapat diakui oleh
lingkungannya, dan ada yang mempunyai kebutuhan untuk
menjadi pengasuh.
2) Suasana hati
Bila suasana hati yang buruk menyebabkan seseorang
memusatkan perhatian pada diri sendiri dan kebutuhan diri sendiri,
maka keadaan itu akan mengurangi kemungkinan untuk membantu
orang lain.
3) Rasa bersalah
Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila
seseorang melakukan sesuatu yang di anggap salah.
4) Distress diri dan rasa empatik
Distress diri adalah reaksi pribadi seseorang terhadap
penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya,
atau perasaan apapun yang di alami.
Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap
orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak
18
c. Faktor orang yang membutuhkan pertolongan, meliputi :
1) Menolong orang yang disukai
Sebenarnya rasa suka individu terhadap orang lain
dipengaruhi oleh beberapa factor seperti daya tarik fisik dan
kesamaan.
2) Menolong orang yang pantas ditolong
Individu lebih cenderung menolong orang lain bila individu
yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berbeda diluar kendali
orang tersebut.
Jadi faktor yang mempengaruhi perilaku prososial ada tiga, yaitu
faktor situasi, faktor karakteristik penolong, dan faktor orang yang
membutuhkan pertolongan.
Menurut Sarwono (2002) mengungkapkan bahwa faktor–faktor
yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu :
a. Pengaruh faktor situasional
1) Bystander
Orang–orang yang berada disekitar kejadian mempunyai
peran sangat besar dalam memengaruhi seseorang saat
memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada
19
2) Daya tarik
Seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki
daya tarik) akan memengaruhi kesediaan orang untuk memberikan
bantuan.
3) Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan
pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidak beruntungan
korban adalah di luar kendali korban.
4) Ada model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong
dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada
orang lain.
5) Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa–gesa cenderung tidak
menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar
kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang
memerlukannya.
6) Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejellasan
bahwa korban benar–benar membutuhkan pertolongan, korban
memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, dan
bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan
20
b. Pengaruh Faktor dalam Diri
1) Suasana hati
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya
untuk menolong. Emosi positif secara umum dapat meningkatkan
tingkah laku menolong, dan sebaliknya emosi negative atau
seseorang yang sedang sedih kemungkinan menolong lebih kecil.
2) Sifat
Karakteristik seseorang dapat mempengaruhi
kecenderungan menolong orang lain. Beberapa penelitian
membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik seseorang
dengan kecenderungan untuk menolong.
3) Jenis kelamin/gender
Peranan gender (jenis kelamin) terhadap kecenderungan
seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan
bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung terlibat
untuk menolong dalam situasi yang membahayakan, misalnya
menolong kebakaran. Sedangkan perempuan cenderung menolong
pada situasi yang bersifat member dukungan emosi, merawat, dan
mengasuh. Jadi, laki–laki dan perempuan mempunyai
kecenderungan masing-masing untuk memberikan pertolongan
21
4) Tempat tinggal
Orang yang tinggal didaerah pedesaan cenderung lebih
penolong daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan.
5) Pola asuh
Pola asuh yang demokratis secara signifikan memfasilitasi
adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang
mau menolong.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang faktor–faktor yang
meempengaruhi perilaku prososial diatas, terdapat dua faktor yaitu faktor
situasional yang terdiri dari bystander, daya tarik, atribusi terhadap
korban, ada model, desakan waktu, sifat kebutuhan korban. Dan juga
faktor dalam diri antara lain suasana hati, sifat, jenis kelamin/gender,
tempat tinggal, pola asuh. Dari beberapa faktor tersebut peneliti
memfokuskan penelitian ini pada fakor gender karena dalam menolong
seseorang akan melihat situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan,
oleh karena itu faktor gender berpengaruh dalam hal menolong.
5. Perilaku Prososial pada Remaja
Remaja merupakan suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi
kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa
dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa
sama, atau paling tidak sejajar (Ali & Asrori, 2006). Gunarsa dan Gunarsa
(1991) membatasi usia remaja antara 11–21 tahun. Rentang usia tersebut
22
a. Usia 11–15 tahun merupakan masa persiapan fisik atau masa
pubertas.
b. Usia 15–18 tahun merupakan masa persiapan diri atau masa remaja
tengah.
c. Usia 18–21 tahun merupakan masa persiapan dewasa atau masa
remaja akhir.
Dari uraian diatas, dapat diambil pengertian bahwa remaja adalah
masa transisi dari anak–anak menjadi dewasa yang berlangsung dari usia
11–21 tahun. Kategori remaja yang dipakai dalam penelitian ini adalah
remaja tengah yang dalam teori ditunjukkan pada usia 15–18 tahun. Pada
masa ini mereka cenderung untuk memilih teman yang sifat–sifatnya sama
dengan dirinya.
Selain dalam hal memilih-milih teman, remaja juga cenderung
berfikir dua kali untuk menolong orang lain karena pada umumnya remaja
mempunyai sifat yang egois, berbeda halnya pada masa anak-anak atau
dewasa. Pada masa anak-anak, seorang anak berperilaku prososial
berdasarkan reward dan panisment yang diberikan oleh orang tua atau
berdasarkan pada model yang dilihatnya, sedangkan pada masa dewasa,
seseorang akan merasa lebih mempunyai tanggung jawab dalam
berperilaku menolong orang lain.
Walaupun remaja seringkali digambarkan sebagai seseorang yang
egois atau mementingkan diri sendiri, namun tingkah laku prososial pada
23
penggalangan dana untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
Selain itu, banyak organisasi-organisasi remaja di Indonesia yang
bertujuan untuk menghimpun tenaga remaja dan menyalurkan ke dalam
kesibukan yang produktif yaitu dengan memberikan sumbangan dalam
pembangunan negara, juga berfungsi sebagai pengembangan sikap sosial
remaja (Monks, 2006).
Adapun kondisi yang biasanya melibatkan perilaku prososial oleh
remaja adalah emosi empati atau simpati terhadap orang lain yang
membutuhkan atau adanya hubungan yang dekat antara si pemberi dan
penerima. Selain itu, timbal balik juga mendorong remaja melakukan
sesuatu yang remaja tersebut ingin orang lain juga melakukan hal yang
sama terhadap remaja tersebut. Remaja juga merupakan individu yang
yang dipengaruhi oleh orang lain terutama teman sebaya termasuk dalam
hal menolong, dalam suatu penelitian menemukan bahwa pertolongan
yang datang dari luar, terutama dari teman-teman, akan membantu orang
yang terluka melihat suatu masalah dengan lebih jelas dan kemudian mau
memaafkan.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Emerson
bahwa pengertian mengenai yang baik, buruk, lebih baik, dan lebih buruk
tak lebih dari sekedar menolong atau menyakiti. Dengan mengembangkan
kapasitas remaja dalam empati dan perilaku prososial, Amerika menjadi
sebuah negara yang berisi orang-orang baik yang menolong daripada
24
Berdasarkan pembahasan diatas, maka peneliti menyatakan bahwa
perilaku prososial pada remaja adalah suatu tindakan menolong tanpa
mengharapkan imbalan yang dapat menguntungkan orang lain dan
dimotivasi oleh kepentingan sendiri yang dilakukan oleh remaja usia 11–
21 tahun dan dipengaruhi oleh adanya hubungan dekat antara si pemberi
dan penerima, hubungan timbal balik, dan juga tekanan dari teman sebaya,
sehingga mempunyai sifat–sifat yang positif bagi orang lain baik secara
fisik maupun secara psikis.
B. Gender
1. Pengertian gender
Menurut Baron & Byrne (2003) gender adalah atribut, tingkah
laku, karakteristik kepribadian, dan harapan yang berhubungan dengan
jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku.
Taylor, (2009) menyatakan bahwa gender adalah salah satu
kategori paling dasar dalam kehidupan sosial. Proses mengkategorisasikan
orang dan sesuatu menjadi maskulin atau feminim dinamakan gender
typing (penjenisan gender). Proses ini biasanya secara otomatis, tanpa
banyak pemikiran mendalam. Petunjuk tentang gender dapat dengan
mudah dikenali dari karakteristik fisik seperti rambut di wajah, dada, atau
gaya busana. Orang biasanya menampilkan gendernya sebagai bagian
utama dari presentasi diri.
Menurut Fakih (2001) gender dibangun berdasarkan konstruksi
25
dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan. Pembelajaran tersebut
dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan dikontruksikan secara sosial
atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Adapun inti dari
pembelajaran sosial itu adalah menempatkan laki–laki dan perempuan
dalam wilayah yang berbeda, sehingga dicitrakan dalam penampilan
berbeda pula. Laki–laki dicitrakan dalam sifat maskulin sementara
perempuan dalam penampilan feminin. Pembelajaran sosial tersebut
merupakan konstrusi sosial yang secara terus menerus terjadi dalam kurun
waktu yang sangat lama dan terjaddi dalam semua bidang kehidupan.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender
dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya laki–
laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Artinya secara
biologis alat–alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara laki–laki dan
perempuan.
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu sifat
yang melekat pada kaum laki–laki maupun perempuan yang dikonstrusi
secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sedangakn laki–laki
dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri
26
yang emosional, lemah lembut, keibuan, dan ada juga perempuan yang
kuat, rasional, perkasa (Fakih, 2001).
Istilah jenis kelamin dan gender sering kali digunakan bergantian,
namun pada hakikatnya kedua istilah tersebut berbeda. Jenis kelamin
didefinisikan sebagai istilah biologis berdasarkan perbedaan anatomi dan
fisik antara laki–laki dan perempuan. Gender merujuk pada segala sesuatu
yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah
laku, kecenderungan, dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi
seorang laki–laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada. Barbara
Mackoff menyatakan “…perbedaan terbesar antara perempuan dan laki–
laki adalah dalam cara kita memperlakukan mereka”. Seluruh atribut
lainnya mungkin berdasarkan determinan biologis (seperti ada atau tidak
adanya kumis).
Setiap orang memiliki identitas gender (gender identity) yaitu
bagian kunci dari konsep diri dalam label sebagai “laki–laki” atau
“perempuan”. Pada sebagian besar orang, jenis kelamin biologis dan
identitas gender berkorespondensi, walaupun proporsinya kecil dalam
populasi, identitas gender mereka berbeda dari jenis kelamin mereka.
Walaupun telah lama diyakini bahwa perbedaan paling nyata antara laki–
laki dan perempuan adalah faktor biologis, berbagai penelitian
menunjukkan secara meyakinkan bahwa berbagai karakteristik tipikal
maskulin dan feminin ternyata dipelajari. Teori skema gender (gender
27
untuk mengorganisasikan informasi tentang self atas dasar definisi budaya
pada atribut laki–laki dan perempuan yang sesuai (Baron & Byrne, 2003).
2. Stereotip Gender
Menurut Waters dan Ellis (2001, dalam Widyatama, 2006) gender
merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan
identifikasi tidak hanya orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara,
sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti maskulinitas atau feminitas.
Berbagai perbedaan itu akhirnya memunculkan stereotip tertentu yang
disebut dengan stereotip gender. Selain itu, Soemandoyo juga menyatakan
bahwa kata stereotip berarti citra baku. Citra baku merupakan gambaran
atau imajinasi yang seolah–olah menetap, khas, dan tidak berubah–ubah.
Stereotip gender juga bisa diartikan sebagai gambaran laki–laki
dan perempuan yang khas, tidak berubah–ubah, klise, seringkali timpang,
dan tidak benar. Stereotip tersebut bersumber dari pola piker manusia.
Menurut Baron & Byrne (2003) stereotip gender adalah keyakinan
tentang atribut khas laki–laki dan perempuan. Semua stereotip, apakah
berdasarkan jenis kelamin, bangsa, suku bangsa, atau pengelompokan
lainnya, memberikan gambaran mengenai ciri–ciri dari anggota suatu
kategori sosial. Di samping itu, terdapat suatu pembedaan yang bermanfaat
antara stereotip budaya dan pribadi.
a. Stereotip budaya
Keyakinan tentang jenis kelamin yang dikomunikasikan
28
stereotip budaya. Riset yang dilakukan oleh Deaux & LaFrance (1998,
dalam Sears, dkk., 1994) menunjukkan bahwa pria umumnya dinilai
lebih tinggi ketimbang wanita dalam hal ciri–ciri yang berhubungan
dengan kompetensi dan keahlian, seperti kepemimpinan, objektivitas,
dan independensi. Sebaliknya, wanita biasanya dinilai lebih tinggi
dalam ciri–ciri yang berhubungan dengan kehangatan dan ekspresi,
seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
b. Stereotip pribadi
Stereotip pribadi adalah keyakinan unik seseorang tentang
atribut kelompok orang, seperti kelompok perempuan dan laki-laki.
Individu membentuk stereotip pribadi, paling tidak melalui dua cara
yang berbeda, yaitu :
1) Cara dimana individu berpikir tentang gender adalah dalam
hubungannya dengan sifat–sifat kepribadian umum yang
merupakan kekhasaan masing–masing jenis kelamin. Pada
umumnya seseorang memiliki keyakinan mengenai gambaran
menyeluruh yang membedakan laki-laki dan perempuan.
2) Cara kedua yang digunakan orang berpikir mengenai gender adalah
dengan mengembangkan gambaran–gambaran tentang bermacam–
macam tipe laki-laki dan perempuan.
3. Perspektif Teoritis tentang Gender
Penyebab perbedaan gender dalam hal kemampuan matematika
29
menolong orang atau dalam tindak kekerasan fisik. Empat perspektif
umum tentang asal usul pada gender berdasarkan pada faktor biologi,
sosialisasi, peran sosial, dan stuasi sosial.
a. Biologi
Perbedaan gender dipengaruhi oleh faktor biologis. Jelas ada
perbedaan fisik dalam perkembangan otot dan tinggi badan. Dalam hal
kemampuan mengasuh anak dan memberi ASI. Dampak dari
hormonseks, baik pada janin maupun orang dewasa, dan perbedaan
seks di otak, telah menjadi topik penelitian yang menarik. Para
psikolog evolusioner menyatakan bahwa evolusi genetik juga
mempengaruhi perbedaan gender dalam perilaku manusia.
b. Sosialisasi
Perspektif sosialisasi menekankan pada banyaknya cara orang
mempelajari tentang gender dan mendapatkan perilaku “sesuai jenis
kelamin” sejak awal kanak–kanak. Gagasan yang penting disini adalah
masyarakat mempunyai ekspektasi dan standar berbeda–beda untuk
perilaku pria dan wanita. Seiring dengan pertumbuhan anak, mereka
mempelajari pelajaran gender ini melalui proses penguatan dan
modeling.
Pengaruh lainnya adalah teman sebaya, teman sekelas, dan
saudara. Salah satu ciri paling menonjol dari masa kanak–kanak adalah
30
perempuan dan menghindari berkumpul dengan anak berjenis kelamin
lain.
Menurut perspektif sosialisasi, beragam pengalaman sosial
yang dialami anak perempuan dan laki–laki itu akan menyebabkan
banyaknya perbedaan gender dalam sikap minat, keahlian, dan
personalitas, bahkan hingga ke masa dewasa.
c. Peran Sosial
Perspektif ketiga menyatakan bahwa perilaku orang sangat
dipengaruhi oleh peran social. Kehidupaan orang dewasa ditata
berdasarkan berbagai peran seperti anggota keluarga, pekerja, dan
anggota komunitas atau masyarakat. Ide utamanya disini adalah bahwa
banyak peran social yang penting didefinisikan secara berbeda untuk
wanita dan pria. Dalam keluarga, orang biasanya punya ekspektasi
berbeda untuk ibu dan ayah, untuk suami dan istri, dan anak
perempuan dan anak laki–laki. Dalam dunia pekerja, peran
okupasional (pekerjaan) sering didasarkan dapa jeniss kelamin :
perawat, juru ketik, dan guru TK atau SD biasanya adalag wilayah
perempuan; pengobatan, konstruksi, dan guru olahraga SMA biasanya
adalah wilayah laki-laki.
Menurut teori peran sosial, perbedaan perilaku perempuan dan
laki-laki terjadi karena dua jenis kelamin itu menempati peran sosial
31
menyesuaikan diri dengan norma yang disosialisasikan dengan peran
spesifik dan berperilaku yang tepat secara sosial.
d. Situasi Sosial
Pengaruh lain terhadap perilaku adalah konteks sosial saat ini.
Tekanan sosial juga mempengaruhi laki-laki dan perempuan. Dalam
sebuah studi, sekelompok mahasiswa dibuat percaya bahwa mereka
akan berinteraksi dengan seorang perempuan yang sangat diinginkan
(menarik, terbuka, gaul, dan suka bertemu lak-laki) atau perempuan
yang kurang diinginkan (tidak peduli pada penampilan, tubuh tidak
aduhai, dan tidak suka bertemu laki-laki). Selain itu, setengah dari
mahasiswa itu diyakinkan bahwa perempuan ini menganut keyakinan
tradisional tentang peran gender; setengah mahasiswa lainnya
diyakinkan bahwa perempuan itu menganut pandangan nontradisional.
Ketika perempuan itu diinginkan, mahasiswa itu cenderung
menyesuaikan diri dengan sikap si perempuan: mereka
mendeskripsikan dirinya sebagai laki-laki tradisional saat bertemu
perempuan tradisional dan sebagai laki-laki nontradisional saat
bertemu perempuan nontradisional. Ketika si perempuan dianggap
tidak menarik, tidak ada perbedaan dalam presentasi diri si mahasiswa.
Dengan kata lain, laki-laki cenderung menyesuaikan diri dengan sikap
32
Jadi, berdasarkan pembahasan tersebut peneliti dapat mengambil
keismpulan bahwa faktor yang mendasari tentang asal usul pada gender
adalah faktor biologi, sosialisasi, peran sosial, dan stuasi sosial.
C. Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari Gender
Perilaku prososial adalah kategori yang lebih luas, mencakup
setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang
lain, terlepas dari motif si penolong (Taylor, 2009).
Secara umum, perilaku prososial diaplikasikan pada tindakan yang
tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat risiko tertentu
(Baron & Byrne, 2005).
Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku prososial salah
satunya yaitu gender. Zahn–Waxler dan Smith (2000, dalam Retnaningsih,
2005) mengatakan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
perempuan lebih banyak menunjukkan perilaku prososial dan empati
terhadap orang lain, dibandingkan anak laki–laki.
Gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan
jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan
atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki–laki dan
perempuan dalam kebudayaan yang ada.
Kecenderungan menolong pada seorang laki–laki dan perempuan
sebenarnya bisa dilihat sesuai dengan bantuan yang dibutuhkan. Sesuai
33
mungkin untuk memberi bantuan pada tindakan yang dianggap heroik
seperti menyelamatkan orang tenggelam atau menyelamatkan seseorang
yang diserang. Kekuatan fisik dan training olahraga mungkin
mempengaruhi perbedaan jenis kelamin ini. Dalam setting yang lebih
umum, laki-laki juga lebih mungkin ketimbang perempuan untuk
membantu orang asing yang sedih atau tertekan. Laki-laki lebih senang
membantu korban perempuan, apalagi jika ada yang melihat aksinya.
Tetapi dalam hal lain, laki-laki dan perempuan sama–sama
menunjukkan keberanian luar biasa dalam membantu orang lain. Menurut
Eagly & Crowley (1986, dalam Taylor, 2009) Bentuk pertolongan penting
lainnya adalah memberikan perawatan. Secara umum, peran sosial
perempuan cenderung menekankan bentuk perilaku prososial pengasuhan,
seperti merawat anak kecil, menghibur teman, atau berbicara dengan orang
jompo di klinik. Riset menemukan bahwa perempuan lebih cenderung
memberi bantuan personal kepada kawan dan cenderung memberi nasihat
untuk mengatasi problem personal. Meski ada banyak pengecualian,
laki-laki dan perempuan cendrung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan
yang berbeda–beda.
Jadi, dalam berperilaku prososial juga diperlukan peran gender
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhinya, karena dalam situasi
tertentu diperlukan kemampuan dan keterampilan yang tidak semua orang
bisa melakukannya seperti ketika melihat seorang perempuan dipinggir
34
laki untuk menolong perempuan tersebut karena kebanyakan laki–laki
memiliki keterampilan dalam hal mesin.
Berbeda halnya jika seseorang melihat anak kecil yang menangis
mencari ibunya karena terpisah ketika jalan–jalan di sebuah super market,
maka kecenderungan perempuan untuk menolongnya karena selain
mempunyai rasa empati yang lebih tinggi daripada laki–laki, perempuan
juga mempunyai jiwa pengasuhan sehingga seorang anak akan lebih
nyaman dengan perempuan.
D. Kerangka Teoritis
Menurut Baron & Byrne (2005) perilaku prososial adalah suatu
tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus
menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang
yang menolong.
Dalam melakukan perilaku prososial, seseorang tentunya akan
melihat situasi dan kondisi dirinya oleh karena itu peran gender
berpengaruh dalam melakukan perilaku prososial.
Adapun yang dimaksud dengan gender menurut Baron & Byrne
(2005) adalah atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian, dan harapan
yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya
yang berlaku.
Perbedaan stereotype laki-laki dan perempuan menyebabkan
35
Eisenberg dan Lennon (1989, dalam Asih, 2010) menyatakan bahwa anak
perempuan lebih mudah merasa tidak enak jika melihat orang lain
mengalami kesusahan sehingga perempuan lebih cenderung melakukan
perilaku prososial. Namun dari hasil penelitian Latane (2000, dalam
Taylor, 2009), ditemukan secara konsisten menunjukkan bahwa laki–laki
lebih cenderung memberi pertolongan pada perempuan yang kesusahan,
meskipun perempuan pada semua usia mempunyai empati yang lebih
tinggi daripada laki–laki.
Selain itu, dari hasil observasi peneliti menemukan bahwa dalam
hal emosional perempuan lebih sensitif seperti ketika melihat teman yang
kesusahan perempuan lebih cepat tanggap daripada laki-laki. Tetapi dalam
hal fisik, laki-laki lebih dominan berperilaku prososial seperti ketika
terjadi kecelakaan dijalan, sebagian besar yang menolong adalah laki-laki.
Dalam pengamatan Golberg (1995, dalam Sarwono, 2002)
menemukan bahwa lebih dari 6300 orang pejalan kaki di Boston dan
Cambridge, Amerika Serikat, ternyata 1,6% menyumbang kepada
peminta-minta jalanan. Di antara para penyumbang itu, laki-laki lebih
banyak daripada perempuan.
Sebagaimana dijelaskan pada salah satu teori perilaku prososial
yaitu teori sosiokultural atau teori evolusi sosial yakni perkembangan
historis kultur manusia. Dimana masyarakat perlahan–lahan dan secara
selektif mengembangkan keterampilan dan keyakinan yang meningkatkan
36
bagi masyarakat, maka perilaku tersebut menjadi bagian dari aturan dan
norma sosial. Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh laki–laki atau
perempuan tersebut juga dipengaruhi oleh budaya yang berlaku.
Dari penjelasan diatas maka dapat digambarkan kerangka berfikir
sebagai berikut :
Gambar 1. Gambaran Perilaku Prososial Remaja ditinjau dari Gender.
Bagan diatas merupakan gambaran tentang perilaku prososial
ditinjau dari gender. Jadi perilaku prososial di pengaruhi oleh faktor
gender/jenis kelamin. Perilaku
Prososial
Pengaruh faktor situasional
Pengaruh faktor dalam diri
Bystander
Daya tarik
Atribusi terhadap korban
Ada model
Desakan waktu
Sifat kebutuhan korban
Suasana hati
sifat
Pola asuh Tempat tinggal Jenis
[image:45.595.135.513.232.588.2]
37
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas peneliti mengajukan hipotesis sebagai
38 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
Variabel–variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah :
a. Variabel terikat (Y), yaitu Perilaku Prososial
b. Variabel bebas (X), yaitu Gender
2. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional variabel–variabel yang akan diteliti
adalah :
a. Perilaku Prososial
Perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan orang lain
yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri tanpa mengharapkan sesuatu
dari orang lain dan mempunyai dampak psitif yang tidak secara langsung
didapatkan oleh si penolong baik secara fisik maupun psikologis.
Perilaku prososial tersebut dapat diukur dengan menggunakan
skala perilaku prososial yang dilihat dari aspek-aspek perilaku prososial
antara lain berbagi (sharing), menolong (helping), kerjasama
39
b. Gender
Gender merupakan atribut, tingkah laku, karakteristik, dan harapan
yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis dalam budaya yang
berlaku. Yang dimaksud gender pada penelitian ini yaitu jenis kelamin.
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
Menurut Hadi (2000) populasi merupakan sejumlah penduduk atau
individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama.
Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini adalah remaja di desa
Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto yang berusia 15–18 tahun
karena kesediaan remaja desa tersebut dalam menolong korban kecelakaan
yang terjadi disekitar desa tersebut, selain itu pada usia tersebut individu
masih labil dalam berperilaku sehingga dalam berperilaku prososial pun
individu akan berfikir terlebih dahulu untung ruginya oleh karena itu peneliti
memilih usia tersebut sebagai subjek penelitian. Jumlah remaja tersebut dalam
satu desa adalah 267 orang dengan jumlah remaja laki-laki sebanyak 143 dan
remaja perempuan sebanyak 124.
Menurut Hadi (2000) sampel adalah sejumlah penduduk yang
jumlahnya kurang dari populasi. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini
adalah peneliti mengambil jumlah subjek sebanyak 25% dari populasi yang
ada yaitu 66 orang remaja, karena menurut Arikunto (2002) menyatakan
bahwa apabila subjek kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga
penelitiannya termasuk penelitian populasi, selanjutnya apabila populasinya
40
mengambil persentase maksimal yaitu 25% karena semakin banyak subjek
yang diambil maka sedikit kemungkinan terjadi kesalahan dalam
mengeneralisasikan suatu perilaku. Selain itu, peneliti juga mengelompokkan
subjek menjadi dua kelompok yaitu remaja laki–laki dan perempuan dengan
jumlah yang sama yaitu 33 orang remaja laki–laki dan 33 orang remaja
perempuan, dengan menyamakan subjek laki-laki dan perempuan maka akan
lebih mudah untuk mengeneralisasikan perilaku dari kedua kelompok tersebut.
Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling
(sampel dipilih secara acak). Teknik tersebut dilakukan agar hasil penelitian
mendapatkan data yang dapat mengeneralisasikan keadaan populasi yang ada.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala
yaitu suatu metode penelitian dengan menggunakan kumpulan pernyataan–
pernyataan yang harus dijawab oleh subjek. Skala yang digunakan merupakan
skala likert, skala ini digunakan untuk mengukur sikap masyarakat dan juga
menggunakan aitem pilihan berbentuk multiple choice dengan lima alternatif
jawaban, karena semakin banyak alternative jawaban yang diberikan maka
akan mengaburkan suatu perbedaan yang diinginkan.
Berkenaan dengan pilihan tengah ini kiranya ada dua hal yang patut
diperhatikan :
1. Silang pendapat mengenai perlu-tidaknya menyediakan pilihan tengah
dipicu oleh kekhawatiran sementara orang yang berpendapat bahwa bila
41
tengah atau netral disediakan maka kebanyakan subjek akan cenderung
untuk menempatkan pilihannya di kategori tengah tersebut, sehingga data
mengenai perbedaan diantara responden menjadi kurang informatif.
Sebenarnya, kekhawatiran tersebut kurang bearalasan karena :
a. Kecenderungan subjek untuk memilih pilihan tengah lebih disebabkan
kalimat dalam aitem itu sendiri yang tidak cukup sensitif untuk
memancing respon yang berbeda dari subjek.
b. Kalau pilihan tengah tidak disediakan, sedangkan subjek memang
benar-benar merasa dirinya berada diantara “ya” dan “tidak” atau di
antara “setuju” dan “tidak setuju”. Apabila subjek memilih “setuju”
berarti subjek menjawab tidak benar, memilih “tidak setuju” pun
berarti subjek berbohong.
c. Belum ada bukti empirik yang mendukung kekhawatiran tersebut.
2. Pilihan tengah harus diwujudkan sebagai N (Netral) atau “tidak
menentukan pendapat”. Jangan memberikan pilihan tengah R (Ragu-ragu)
karena respon yang diinginkan adalah respon yang diyakini oleh subjek
(Azwar, 2013).
Alat ukur atau skala pada penelitian ini terdiri dari satu skala sikap
yang dilihat dari aspek-aspek perilaku prososial menurut mussen (1989, dalam
Asih, 2010), yaitu berbagi (sharing), menolong (helping), kerjasama
(cooperating), bertindak jujur (honesty), berderma (donating). Berikut adalah
blue print penyusunan skala dari variabel perilaku prososial, yang didalamnya
[image:51.595.135.523.151.556.2]
42
Tabel 1
Blue Print Perilaku Prososial
Aspek Indikator Aitem F (%)
Berbagi Menolong Kerjasama Bertindak jujur Berderma
a. Merasa puas ketika sudah membantu b. Merasa senang ketika
sudah membantu c. Peka terhadap situasi yang
ada
a. Menawarkan sesuatu b. Meringankan beban orang
lain
a. Mengerjakan tugas secara bersama- sama b. Saling membantu ketika
kesusahan
c. Menyelesaikan masalah bersama-sama a. Berkata apa adanya b. Menjawab pertanyaan
secara tegas
c. Tidak mementingkan untung-rugi
a. Menyumbangkan barang ataupun uang pada orang yang kesusahan
b. Memberikan barang pada orang yang
membutuhkan
F 15, 23
23.3% 13.4% 23.3% 23.3% 16.7% UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF 8, 32 1, 25 16, 42 9, 33, 41 2, 26, 58 17, 43 10, 52 3, 27 18, 44 11, 47 4, 28 19, 45 12, 48 29, 51, 57 20, 46, 54
5, 59 30, 56 13, 37 6, 38 21, 49, 53 14, 50, 34 31, 39, 35 22,36, 60
7, 55 24, 40
Jumlah 60 100%
Skala perilaku prososial terdiri dari : SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N
(Netral), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju) berupa pernyataan
yang berbentuk favorable dan Unfavorable. Pemberian skor untuk pernyataan
Favorable, yaitu : SS memperoleh skor 4, S memperoleh skor 3, N
43
Unfavorable, yaitu SS memperoleh skor 0, S memperoleh skor 1, N
memperoleh skor 2, TS memperoleh skor 3, STS memperoleh skor 4.
D. Validitas dan Reliabilitas
Dalam penelitian ini perlu diadakannya pengujian instrumen sebelum
melakukan pengujian hipotesis yaitu pengujian validitas dan reliabilitas.
Pengujian tersebut dengan menggunakan program SPSS for windows dengan
melihat kaidah: nilai koefisien corrected item total correlation lebih dari atau
sama dengan 0,3 yang artinya apabila nilai korelasi lebih dari atau sama
dengan 0,3 maka item tersebut mempunyai tingkat kevalidan yang cukup,
namun apabila nilai korelasi kurang dari 0,3 maka item mempunyai tingkat
kevalidan yang kurang.
Hasil dari uji validitas yang dilakukan pada hari rabu tanggal 24 Juni
2015 di Desa Brangkal Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto dengan 60
aitem yang sudah diberikan pada 100 orang remaja didesa Brangkal yang
bukan termasuk anggota karang taruna namun dengan kriteria usia yang sama
yaitu antara usia 15-18 tahun, maka terdapat 38 aitem yang dinyatakan valid
yaitu aitem nomor 1, 2, 3, 9, 13, 14, 15, 17, 18, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30,
31, 32, 33, 34, 35, 37, 39, 40, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 56, 57, dan
58.
Berikut adalah blue print penyusunan skala dari variabel perilaku
prososial yang dinyatakan valid, didalamnya terdapat indikator dari setiap
[image:53.595.115.516.153.572.2]
44
Tabel 2
Blue Print Skala Perilaku Prososial (Valid)
Dimensi Indikator Aitem F (%)
Berbagi Menolong Kerjasama Bertindak jujur Berderma
a. Merasa puas ketika sudah membantu b. Merasa senang ketika sudah
membantu
c. Peka terhadap situasi yang ada
a. Menawarkan sesuatu
b. Meringankan beban orang lain
a. Mengerjakan tugas secara bersama- sama b. Saling membantu ketika
kesusahan
c. Menyelesaikan masalah
a. Berkata apa adanya
b. Menjawab pertanyaan secara tegas
c. Tidak mementingkan untung-rugi
a. Menyumbangkan barang ataupun uang pada orang yang kesusahan
b. Memberikan barang pada orang yang membutuhkan
F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF 15, 23 32 1, 25 42 9, 33 2, 26, 58
17, 43 52 3, 27 18, 44 47 48 29, 51, 57
46
30, 56 13, 37
21, 49, 53 14, 34 31, 39, 35
24, 40 23.3% 13.4% 23.3% 23.3% 16.7%
Jumlah 60 100%
Setelah pengujian validitas maka selanjutnya dilakukan pengujian
reliabilitas dengan menggunakan SPSS for windows, dengan menggunakan
kaidah: (1) Aitem tersebut dapat dinyatakan kurang reliabel jika memiliki
nilau koefisiensi kurang dari 0,30. (2) Aitem tersebut dinyatakan reliabel jika
memiliki nilai koefisiensi antara 0,30-0,70. Dan (3) Aitem tersebut dinyatakan
45
[image:54.595.127.514.264.532.2]Hasil uji reliabilitas skala perilaku prososial sebagai berikut :
Tabel 3
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Koefisien reliabilitas N of Items
Perilaku Prososial .903 38
Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.903 yaitu lebih besar
dari 0.30 sehingga dapat dinyatakan aitem tersebut valid artinya semua aitem
tersebut sangat reliabel sebagai instrument pengumpulan data. Dikatakan
sangat reliabel karena nilai koefisiensi lebih dari 0.70.
E. Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan dianalisis dengan
program SPSS 16.0 menggunakan analisis Uji Mann-Whitney U untuk dua
sampel independent.
Uji Mann-Whitney U digunakan untuk menguji hipotesis komparatif
dua sampel independent bila datanya berbentuk ordinal.
Bila datanya berbentuk interval (sebenarnya dapat menggunakan
t-test), namun bila asumsi t-test tidak terpenuhi (seperti data harus berdistribusi
normal, dan lain-lain), maka dapat menggunakan uji Mann-Whitney U
(Muhid, 2012).
Sebelum melakukan analisis data, juga perlu adanya uji asumsi yakni
uji normalitas dan uji homogenitas dengan menggunakan program SPSS Uji
Kolmogorov-Smirnov. Karena data yang diperoleh berupa angka-angka dan
46 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi subjek
Karang taruna merupakan organisasi yang beranggotakan para pemuda
dan merupakan wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh atas dasar
kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat
khususnya generasi