• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks Guru Pendidikan Jasmani *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Paradoks Guru Pendidikan Jasmani *"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Paradoks Guru Pendidikan Jasmani

* Ali Maksum1

(FIK Universitas Negeri Surabaya)

Abstrak

Kualitas guru diyakini sebagai salah satu faktor penting dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Sayangnya, hal tersebut masih jauh dari apa yang diharap-kan, bahkan bersifat paradoks. Hasil penelitian yang dilakukan di tiga kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Padang menunjukkan bahwa kompetensi guru pendidikan jasmani ada dalam kondisi kritis, tidak saja tiadanya peningkatan yang signifikan, melainkan seiring masa kerja justru mengalami degradasi kompetensi. Semakin lama masa kerja, semakin turun kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian maupun sosial.

Kata Kunci: Kualitas Guru, Kompetensi, Pendidikan Jasmani, Paradoks

PENDAHULUAN

Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujud-kan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkem-bangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Sementara itu, pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.

Tujuan utama diterapkannya program sertifikasi guru , termasuk terhadap guru pendidikan jasmani, adalah meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan semakin meningkat. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman, 2007; Rink, 2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik (Siedentop & Tannehill, 2000). Keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sejumlah negara, misalnya Singapura, Korea Selatan,

*Artikel ini sebagian besar ditulis berdasarkan hasil penelitian Komnas Penjasor terkait dengan kompetensi guru penjas tahun 2007. Terima kasih kepada Bapak Sofyan Hanif, Adang Suherman, dan Suroto atas kontribusinya.

Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya, Anggota Komnas Penjasor; email: alymaks@yahoo.com.

(2)

2

Jepang, dan Amerika Serikat, berusaha mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas (www.pmptk.net). Salah satu kebijakan yang dikembangkan adalah intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai dengan melaksanakan sertifikasi guru.

Sebagaimana rencana pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), program sertifikasi diberlakukan untuk semua guru, baik guru yang berstatus pegawai negeri sipil maupun guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (swasta). Sampai saat ini, ada sekitar 2,3 juta guru di Indonesia (www.pmptk.net). Terhadap jumlah guru tersebut, pemerintah melalui Depdiknas secara bertahap akan melakukan sertifikasi guru, dimulai tahun 2007 sebanyak 190.450 guru, terdiri atas 20.000 guru SD dan SMP yang sudah didaftar pada tahun 2006 dan 170.450 guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang didaftar pada tahun 2007. Program tersebut diharapkan rampung pada tahun 2015 (www.sertifikasiguru.org). Sasaran program sertifikasi guru ini adalah semua guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 28 ayat (2) yaitu minimal sarjana atau diploma empat (S1/D-IV) yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan.

Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan komitmen pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, untuk mengimplementasikan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005, yakni mewujudkan guru yang berkualitas dan profesional. Pertanyaannya, sampai sejauh mana program sertifikasi mampu menjadi instrumen untuk meningkatkan kompetensi guru? Adakah jaminan bahwa ketika guru lolos sertifikasi

dengan sendirinya adalah guru yang berkualitas? Tidak mudah untuk

menjawab pertanyaan tersebut. Mengingat banyak variabel yang mempengaruhinya, mulai dari sistem dan mekanisme sertifikasi, asesor, hingga gurunya sendiri sebagai pihak yang akan dinilai. Portofolio sendiri sebagai model penilaian acapkali membuka peluang terjadinya manipulasi dokumen.

Lalu, apa yang dapat digunakan sebagai parameter untuk melihat kualitas guru? Rink (1993) dan Siedentop (1991) berpendapat bahwa salah satu indikator penting dari kualitas guru adalah sampai sejauhmana guru mampu melaksanakan proses pembelajaran secara efektif. Efektivitas pembelajaran pada dasarnya merupakan cerminan dari efektivitas pengelolaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya. Targetnya adalah siswa belajar. Sementara itu, pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan proses interaksi pedagogis antara guru, siswa, materi, dan lingkungannya. Makin efektif

(3)

3

proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran yang dilakukan guru tersebut.

Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani secara efektif, seorang guru harus mampu memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekadar terfokus pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi utama guru pada saat melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions occupy most of the attention of physical educators as they teach: managing students, directing and instructing students, and monitoring/supervising students

Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar, mengarahkan formasi atau peralatan, meme-lihara rutinitas baik yang bersifat akademis maupun non akademais termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing and instructing students

meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok, dan kegiatan penutup. Monitoring merujuk pada perilaku observasi guru terhadap siswa secara pasif, sedangkan supervising merujuk pada perilaku guru yang ditujukan untuk memelihara siswa tetap aktif belajar seperti mengarahkan, mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial (behavioral interactions) maupun penampilan belajar siswa (skill interactions).

Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut, “identifying outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the learning environment, monitoring the learning environment, developing the content, and evaluating”.

Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun keduanya sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembel-ajaran Pendidikan Jasmani. Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu pada saat menjalankan siklus

Movement Task-Student Response to Task hingga fungsi lainnya seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan pendapat yang kedua lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan (identifikasi hasil belajar dan perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal mengingat siklus

Movement Task-Student Response to Task merupakan bagian kritis dari proses pembelajaran sehingga fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar (teaching skills) yang pokok seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.

(4)

4

Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui, apa yang diyakini, minat, keterampilan, dan kepribadian gurunya itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Ring (1993) mengenai fungsi mengajar yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekadar terfokus pada “perilaku” mengajarnya itu sendiri.

Sungguh pun efektivitas pengajaran menjadi kata kunci dari kualitas guru pendidikan jasmani, tidak berarti kompetensi lain diabaikan begitu saja. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, terdapat tiga kompetensi lain yang juga perlu dipertimbangkan, yakni kompetensi profesionalisme, kepribadian, dan sosial. Bagaimana kompetensi riil guru pendidikan jasmani di sekolah terkait dengan empat kompetensi tersebut? Tulisan ini akan berusaha memaparkannya. Data diolah berdasarkan hasil penelitian Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga terhadap para guru pendidikan jasmani di tiga kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, dan Padang.

PEMBAHASAN Kompetensi Pedagogik

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi ini diukur dengan proporsi alokasi waktu belajar gerak (active time allotment) dan proporsi jumlah siswa dalam aktivitas belajar gerak (student’s direct engagement). Proporsi alokasi waktu belajar gerak adalah alokasi waktu yang disediakan guru bagi siswa untuk melakukan aktivitas gerak. Sedangkan proporsi jumlah siswa dalam aktivitas belajar gerak adalah jumlah siswa yang terlibat langsung dalam aktivitas belajar gerak per jumlah siswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata proporsi waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40%. Angka tersebut sangat boleh jadi termasuk dalam katagori baik. Namun demikian apabila dianalisis berdasarkan masa kerja terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin menurun kompetensi pedagogisnya. Guru pendidikan jasmani yang memiliki masa kerja 10 tahun ke atas kompetensi peda-gogisnya lebih rendah dibanding dengan mereka yang mengajar 5 tahun ke bawah.

Kondisi yang demikian sudah barang tentu merupakan suatu ironi. Lazimnya, masa kerja berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk melakukan suatu aktivitas,

(5)

5 42,942,6 51,7 50,8 0 10 20 30 40 50 60

waktu aktif belajar jml siswa aktif

Masa Kerja <5 thn Masa Kerja >10 thn

Gambar 1: Waktu Aktif Belajar dan Jumlah Siswa Aktif (%) dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani

semakin banyak pula pengalaman yang didapatkan. Meskipun hasil penelitian ini bersifat paradoks, tetapi sebenarnya tidak terlalu mengejut-kan apabila dikonfirmasi dengan hasil penelitian lain yang serupa. Penelitian yang dilakukan oleh Suherman (2007) menyatakan bahwa masa kerja berbanding terbalik dengan kesungguhan guru dalam menjalankan tugas pedagogisnya.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hal ini bisa terjadi? Ada beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan. Pertama, kurang efektifnya mekanisme evaluasi dan supervisi pelaksanaan pembel-ajaran di sekolah. Seperti diketahui bahwa tidak semua dinas pendidikan memiliki tenaga supervisi dibidang pendidikan jasmani. Kalau pun ada, acapkali tenaga yang dimiliki tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Sehingga guru pendidikan jasmani di sekolah kurang mendapatkan umpan balik sebagaimana yang diharapkan. Longgarnya sistem tersebut seolah memberikan peluang bagi guru untuk melakukan tugas tidak sebagaimana standar yang dituntut.

Analisis lain yang dapat dikemukakan adalah dari sisi kualitas pengalaman yang diperoleh. Bisa jadi seorang guru berpengalaman mengajar selama 10 tahun, tetapi pertanyaannya, betulkah peng-alaman guru yang bersangkutan 10 tahun? Atau jangan-jangan dia yang punya pengalaman satu tahun, namum diulang sepuluh kali. Artinya, tidak ada kemajuan yang signifikan selama kurun waktu tersebut terkait dengan profesionalismenya, kecuali hanya sekadar bersifat rutinitas. Jika ini yang terjadi, maka bisa dipahami apabila tidak ada perubahan pengalaman yang mengarah pada perbaikan, yang terjadi justru degradasi.

(6)

6

Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang berisi tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh pada saat pre-service training dan in-service training. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi profesional pada saat pre-service, yakni ketika mereka ada di perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang, yakni sebesar 52,78% dan hanya 5,56% yang menyatakan memadai.

52,78 41,67 5,56 5,56 0 10 20 30 40 50 60 sangat kurang

cukup m em adai Tidak Tahu

Gambar 2: Materi Perkuliahan yang diterima Guru pada saat

Pre Service Training

Kondisi tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Jika pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan sebagai bekal menjalankan profesi guru masih jauh dari apa yang diharapkan, bisa dibayangkan bagaimana mereka dapat menjalankan tugas secara profesional. Sudah barang tentu, hal ini menjadi catatan penting bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene

mencetak calon-calon guru.

Minimnya pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training

tampaknya juga berpengaruh pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11% menyatakan bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara profesional. Mereka yang

(7)

7

menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78% yang menyatakan sangat layak.

36,11 55,56 2,78 5,56 0 10 20 30 40 50 60

Tidak Layak Cukup Layak Sangat Layak Tidak Tahu

Gambar 3: Keyakinan Guru dalam Melaksanakan Tugas Mengajar

Ketika mereka ditanya bekal apa saja yang dirasa kurang? Sebesar 22,73% menyatakan kekurangan dalam bidang keilmuan; 27,27% merasa kurang dalam hal teaching skill; dan 25% menyatakan kekurangan dalam hal s ubstansi cabang olahraga. Logikanya, ketika bekal matakuliah dari

22,73 27,27 25 15,91 9,09 0 5 10 15 20 25 30

Keilmuan teaching skill cabor lainnya tidak tahu

Gambar 4: Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat di Perguruan Tinggi

(8)

8

perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang, mestinya para guru diberi kesempatan seluas-luasnya untuk akses terhadap upaya peningkatan kompetensi profesionalnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Justru dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa 83,33% mereka menyatakan sangat kurang mendapatkan akses. Sebanyak 13,89% menyatakan cukup dan 0% menyatakan memadai. Ironi memang! Tetapi itulah realitas yang terjadi. 83,33 13,89 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

sangat kurang cukup memadai

Gambar 5: Aksesabilitas guru Pendidikan Jasmani Terhadap Pelatihan

Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian merujuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang menyedihkan adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi kepribadian. Semakin lama masa kerja, semakin menurun kompetensi kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua aspek, mulai dari kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi.

Tampaknya, hasil ini linier dengan kompetensi pedagogis sebagaimana dikemukakan di atas. Hal ini semakin meneguhkan bahwa mereka, dalam hal ini guru pendidikan jasmani, kurang mendapatkan pembinaan yang memadai. Perlu diberi catatan di sini bahwa guru pendidikan jasmani merupakan komunitas dengan ciri khusus. Komunitas tersebut memiliki solidaritas yang tinggi, ikatan moral yang longgar, dan

(9)

9 0 1 2 3 4

Kejujuran Disiplin Terbuka Etos kerja Inovasi

Masa kerja <5 thn Masa kerja >10 thn

Gambar 6: Perbedaan Kompetensi Kepribadian Antara Masa Kerja ≤5 Tahun dan ≥10 Tahun

pragmatis. Solidaritas tanpa diikuti bim-bingan moral memiliki kecen-derungan untuk melahirkan tindakan-tindakan yang dari perspektif kepribadian kurang terpuji. Misalnya karena alasan pertemanan rela melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kejujuran, kedisiplinan, dan keterbukaan. Demikian juga dengan semangat pragma-tisme yang mengedepankan prinsip ”pokoknya jalan” pada gilirannya cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap etos kerja dan inovasi.

Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk ber-komunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi sosial? Sebagaimana yang terjadi pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada kompetensi sosial. Penjelasan yang dibe-rikan pada kompetensi kepribadian dapat juga diterapkan pada konteks kompetensi kepribadian.

Hasil penelitian ini tampaknya juga semakin memperkuat tesis penulis yang didasarkan pada pengalaman selama beberapa kali melakukan training, baik terhadap komunitas guru pendidikan jasmani maupun komunitas guru lain, bahwa “budaya” guru pen-didikan jasmani kurang mendukung, dan pada tingkat tertentu justru menghambat kemajuan profesi guru pendidikan jasmani itu sendiri. Saya agak hati-hati menggunakan kata “budaya”, sebab khawatir diterjemahkan secara kaku. Pengertian budaya dalam tulisan ini lebih mengacu pada kebiasaan yang

(10)

10 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Ket elad anan Ket aata n Kom unik asi Ker jasa ma Tang gung Jaw ab Masa kerja <5 thn Masa kerja >10 thn

Gambar 7: Perbedaan Kompetensi Sosial Antara Masa Kerja ≤5 Tahun dan ≥10 Tahun

berinti pada pola pikir dan tingkah-laku. Guru pendidikan jasmani umumnya memiliki kemampuan berpikir yang kurang tinggi, atau dengan kata lain daya abstraksinya lemah. Hal ini tercermin dari kemampuan analisis terhadap masalah yang dihadapkan kepadanya. Pola berfikirnya linier dan kurang adanya kreatifitas dalam mencari solusi. Tugas-tugas yang dilakukan lebih sekadar sebagai upaya menggugurkan kewajiban daripada upaya menyempurkan kemampuan yang dimiliki. Kerjasama yang terjadi bukan sebagai upaya pertukaran ide kritis dan pengalaman sehingga diperoleh best practice, tetapi lebih sebagai upaya mendapatkan tiruan, plagiarism, kolusi, dan bentuk-bentuk lain yang kontraproduktif terhadap kualitas dan progresivitas.

KESIMPULAN

Mengkaji tentang bagaimana kualitas guru pendidikan jasmani di sekolah sebenarnya bukan hal baru, sudah banyak seminar digelar termasuk hasil-hasil penelitian dikemukakan. Apa yang ingin ditegaskan pada bagian akhir tulisan ini, dan sekaligus sebagai kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa kompetensi guru pendidikan jasmani ada dalam kondisi kritis, tidak saja tiadanya peningkatan yang signifikan, melain-kan seiring masa kerja justru mengalami degradasi kompetensi, baik dalam kompetensi pedagogis, profesional, kepribadian, dan sosial.

Terkait dengan kesimpulan tersebut perlu direkomendasikan hal-hal sebagai berikut.

1. Perlu dilakukan penyegaran kompetensi pedagogik, terutama kepada mereka yang memiliki masa kerja cukup lama. Langkah ini dapat dilakukan oleh Depdiknas, misalnya melalui PMPTK yang memiliki

(11)

11

kewenangan meningkatkan kompetensi guru dalam jabatan (in-service training).

2. LPTK sebagai penyedia layanan guru perlu memperbaiki diri, baik dari sisi kurikulum maupun sistem pengajaran. Langkah ini difokus-kan terutama pada kelompok matakuliah substansi keilmuan dan

teaching learning process.

3. Perlu adanya peningkatan aksesabilitas bagi para guru yang sudah mengajar untuk meningkatkan kompetensi profesi-onalnya. Akses bisa diperluas melalui bentuk pelatihan, seminar, lokakarya, sampai pada peningkatan tingkat kesarjanaan.

4. Perlu adanya penyegaran kompetensi kepribadian dan sosial, terutama bagi guru yang memiliki masa kerja relatif lama. Hal ini juga dapat dilakukan oleh PMPTK melalui program-program yang terencana dan sistematis.

5. Perlu adanya program peningkatan penyediaan sumber belajar bagi para guru dalam rangka optimalisasi motivasi belajar. Kuat dugaan rendahnya kompetensi, khususnya kompetensi pedagogis dan profesional, diantaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sumber-sumber belajar yang tersedia seperti buku yang dapat diperoleh dengan mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Ary, D., Jacobs, L.C., dan Razavieh, A. (1990). Introduction to Research in Education. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Bucher, C. A. dan Krotee, M. L. (1993). Management of Physical Education and Sport. Tenth Edition. Toronto: Mosby.

Buschner, C. A. (1994). Teaching Children Movement Concepts and Skills: Becoming a Master Teacher. Champaign, IL: Human Kinetics. Covaleskie, J. F. (1994). The Educational System and Resistence to

Reform: The Limit of Policy. Dalam Educational Policy Analysis Archives [Online], Vol 2 (4). Tersedia: http://epaa-.asu/epaa/v2n4.-html [04 Maret 2002]

Crum, B. (2003). The Identity Crisis of Physical Education – to Teach or not to Be, That is the Question. Makalah pada SPEF Conference, Bandung.

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi: Panduan KTSP. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/publikasi/ [27 April 2006]

(12)

12

Depdiknas (2007). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.-go.id/[12 Desember 2007]

Depdiknas (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]

Depdiknas (2007). Meningkatkan kompetensi guru. [Online]. Tersedia dalam http://www.pmptk.net/ [12 Desember 2007]

Disman, R. K. (1990). Determinants of Participation in Physical Activity

in Exercise, Fitness, and Health, edited by Claude Bouchard, et al. Champaign, IL: Human Kinetics.

Dunkin, M, dan Biddle, B. (1974). The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Ennis, C. D., Mueller L. K. dan Hooper, L.M. (1990). “The Influence of Teacher Value Orientations on Curriculum Planning within the Parameters of Theoretical

Framework”. Research Quarterly for Exercise and Sport.

61 (4).

Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1990). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Inc.

Freeman, W. H. (2001). Physical Education and Sport in a Changing Society. Boston: Allyn and Bacon.

Graham, G., Holt, S. A., Parker, M. (1993). Children Moving, A Reflective Approach to Teaching Physical Education. California: Mayfield. Komnas Penjasor (2007). Kompetensi dan Sertifikasi guru pendidikan

jasmani. Laporan Penelitian. Jakarta: Komnas Penjasor - Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

Maksum, A. (2008). Kualitas guru pendidikan jasmani di sekolah: Antara harapan dan kenyataan. Makalah disampaikan dalam Simposium Tahunan Penelitian pendidikan yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, tanggal 12-14 Agustus 2008 di Jakarta.

(13)

13

Metzler, M. W. (2000). Instructional Models for Physical Education.

Bosto: Allyn & Bacon.

Pate, R. R. dan Trost, S. G. (1998). “How to Create a Physically Active Future for American Kids”. American College of Sport Medicine, Health & Fitness. 2 (6).

Rink, J. E. (1993). Teaching Physical Education for Learning. Second Edition. Toronto: Mosby.

Rink, J. E. (2002). Teaching Physical Education for Learning. Fourth Edition. New York: Mc Graw Hill.

Siedentop, D. (1990). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. California: Mayfield Publishing Company.

Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education.

California: Mayfield Publishing Company.

Siedentop, D. (1994). Quality PE through Positive Sport Experiences: Sport Education. Illinois: Human Kinetics.

Suherman, A. (2007). Teacher’s curricullum value orientations dan implikasinya pada pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan jasmani. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Tinning, R. et al. (2001). Becoming a Physical Education Teacher: Contemporary and Enduring Issues. Australia: Prentice Hall.

Korespondensi untuk artikel ini dapat dialamatkan ke Sekretariat Journal of Physical Education and Sport

Departemen Pendidikan Olahraga FPOK UPI. Jln. Dr. Setiabudi Nomor 229 Bandung. Phone: (022) 70902870 / (022) 70902867 Hp. 081321994631; 081395402906. e-mail: pgsdpenjas_fpok@upi.edu atau ke

Ali Maksum FIK Universitas Negeri Surabaya email: alymaks@yahoo.com.

Research Journal of Physical Education

Gambar

Gambar 1: Waktu Aktif Belajar dan Jumlah Siswa Aktif (%) dalam  pembelajaran Pendidikan Jasmani
Gambar 4: Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat   di Perguruan Tinggi
Gambar 5: Aksesabilitas guru Pendidikan Jasmani   Terhadap Pelatihan
Gambar 6: Perbedaan Kompetensi Kepribadian Antara   Masa Kerja ≤5 Tahun dan ≥10 Tahun
+2

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu gangguan produksi air mata adalah dry eye syndrome atau sindrom mata kering, yaitu suatu kondisi dimana berkurangnya fungsi air mata sehingga tidak

Pre-flight service artinya suatu aktivitas yang dilakukan untuk melayani penumpang yang diberikan sebelum keberangkatan di bandar udara asal, in-flight service adalah

Suatu perusahaan yang mempunyai RMC yang berdiri sendiri dan terpisah dari Komite Audit akan membuat anggota komite lebih fokus secara penuh pada berbagai proses

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.. dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Pada penelitian ini pengumpulan data juga dilakukan dengan menggunakan angket kuesioner dimana yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner game online dan kuesioner

Berdasarkan realita tersebut maka sangat perlu dilakukan kajian perubahan konsep PKL, terutama perubahan orientasi usaha PKL sebelum, saat dan sesudah terjadi krisis mone- ter,

ƒ 3’ Teacher asks the staff to read Dialogue A, while teacher explains difficult words which are not understood by the staff.. ƒ 10’ Teacher asks the staff to practice Dialogue

Untuk mengatasi persoalan tersebut pada penelitian ini akan dirancang suatu lampu penerangan darurat ( Compact Emergency Lamp) dengan mengunakan lampu hemat energi (