• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah RPR2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "makalah RPR2"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pemeriksaan RPR

Oleh:

Kelompok II

1.

Luh Putu Risca Dana Paramitha

P07134011012

2.

Ni Luh Putu Arista Apriyanti

P07134011014

3.

I Wayan Sritama Satya Nugraha

P07134011016

4.

Made Rai Novi Kartika

P07134011018

5.

I Putu Aditama Dewantara

P07134011020

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

2013

(2)

PEMERIKSAAN RPR (RAPID PLASMA REAGIN)

I. TUJUAN

1. Untuk mengetahui cara pemeriksaan RPR terhadap sampel serum.

2. Untuk dapat mendeteksi adanya antibodi non-treponemal (reagin) pada

sampel serum secara kualitatif dan semi kuantitatif.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan RPR ini adalah metode flokulasi secara kualitatif dan semi kuantitatif.

III. PRINSIP

Reaksi flokulasi secara imunologis yang terjadi antara antibodi non-treponemal ( reagin ) pada serum dengan antigen spesifik terhadap sifilis pada reagen RPR Carbon.

IV. DASAR TEORI

4.1.Sifilis

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri

Treponema pallidum yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat sehingga dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Seseorang yang pernah terinfeksi sifilis tidak akan kebal dan dapat terinfeksi kembali ( Anonim, tt ).

Penularan melalui kontak seksual, melalui kontak langsung dan kongenital sifilis (melalui ibu ke anak dalam uterus). Penyakit sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, saraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang di

(3)

kandungnya. Sehingga menyebabkan kelainan bawaan pada bayi tersebut.

Sifilis sering disebut sebagai “Lues Raja Singa” ( Anonim, 2010 ).

Penyakit sifilis memiliki empat stadium yaitu primer, sekunder, laten dan tersier. Tiap stadium perkembangan memiliki gejala penyakit yang berbeda – beda dan menyerang organ tubuh.

1. Stadium Dini ( Primer )

Tiga minggu setelah infeksi, timbul lesi pada tempat masuknya

Treponema pallidum. Terjadi afek primer berupa penonjolan – penonjolan kecil yang erosif, berukuran 1-2 cm, berbentuk bulat, dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tampak meradang, dan bila diraba ada pengerasan. Dalam beberapa hari, erosi dapat berubah menjadi ulkus berdinding tegak lurus ( Anonim, tt ).

2. Stadium Sekunder

Pada umumnya bila gejala sifilis stadium II munculm stadium I sudah sembuh. Waktu antara sifilis I dan II umumnya antara 6-8 minggu. Kadang – kadang terjadi masa transisi, yakni sifilis I masih ada saat timbul gejala stadium II.

Sifat yang khas pada sifilis adalah jarang ada rasa gatal. Gejala konstitusi seperti nyeri kepala, demam, demam, anoreksia, nyeri pada tulang, dan leher biasanya mendahului, kadang – kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit. Kelainan kulit yang timbul berupa bercak – bercak atau tonjolan – tonjolan kecil. Sifilis stadium II seringkali disebut sebagai The Greatest Immitator of All Skin Diseases karena bentuk klinisnya menyerupai banyak sekali kelainan kulit lain. Selain pada kulit, stadium ini juga dapat mengenai selaput lendir dan kelenjar getah bening di seluruh tubuh ( Anonim, tt ).

(4)

3. Stadium Laten

Lesi yang khas adalah gumma yang dapat terjadi 3-7 tahun setelah infeksi. Gumma umumnya satu, dapat multipel. Gumma dapat timbul pada semua jaringan dan organ, termasuk tulang rawan pada hidung dan dasar mulut. Gumma juga dapat ditemukan padaorgan dalam seperti lambung, hati, limpa, paru – paru, testis dan sebagainya. Kelainan lain berupa nodus di bawah kulit, kemerahan dan nyeri ( Anonim, tt ).

4. Stadium Tersier

Termasuk dalam kelompok penyakit ini adalah sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis ( pada jaringan saraf ). Umumnya timbul 10 – 20 tahun setelah infeksi primer ( Anonim, tt ).

Diagnosis Laboratorium untuk Penyakit Sifilis :

1. Pemeriksaan mikroskopis terhadap Treponema pallidum pada sekret

uretra.

2. Pemeriksaan serologis

 VDRL ( Veneral Disease Research Laboratory ) slide test atau RPR (

Rapid Plasma Reagin ) merupakan uji penapisan.

 FTA-ABS ( Fluorescent Treponemal Antibodi Absorption Test ) dan

Microhemaagglutination Assay for Antibodies to Treponema Pallidum

(TPHA).

4.2.Pemeriksaan RPR ( Rapid Plasma Reagin)

Tes RPR (Rapid Plasma Reagin) adalah suatu tes untuk mengetahui

ada atau tidaknya antibodi terhadap kuman Treponema pallidum. Antibodi

terhadap sifilis mulai terbentuk pada akhir stadium pertama, tetapi kadarnya amat rendah dan seringkali memberi hasil yang negative pada uji serologis. Biasanya IgM terbentuk lebih dahulu, baru diikuti oleh IgG (Anonim, 2010).

Titer antibodi ini terus meningkat dan mencapai puncaknya pada stadium kedua untuk selanjutnya menurun sedikit demi sedikit pada stadium

(5)

laten dan menunjukkan titer yang agak rendah (tetapi masih positif) pada sifilis stadium lanjut (laten sifilis). Pada stadium lanjut ini, IgM telah menurun, bahkan kadangkala menghilang dan hanya IgG yang masih terus bertahan. Keadaaan semacam ini tentunya hanya terjadi pada penderita sifilis yang tidak diobati. Pemberian antibiotika (Penicilline) akan menurunkan titer antibodi tersebut setelah waktu tertentu yang tergantung dari stadium penyakitnya. Dalam hal ini antibodi nonspesifik (VDRL) dan IgM spesifik dapat menurun sampai menghilang (negative) dalam waktu tertentu setelah pengobatan sedangkan IgG-spesifik akan bertahan terus selama hayat dikandung badan walaupun telah mendapatkan pengobatan yang intensif dan berhasil ( Anonim, 2010 ).

Dari segi imunoassai, suatu infeksi dengan Treponema pallidum akan

menimbulkan 2 jenis antibodi sebagai berikut ( Anonim, 2010 ) :

1. Antibodi non-treponemal atau reagin sebagai akibat dari sifilis atau

penyakit infeksi yang lain. Antibodi ini baru terbentuk setelah penyakit menyebar ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan kerusakan jaringan.

2. Antibodi treponemal yang bereaksi dengan Treponema pallidum dan Strains

lainnya. Dalam golongan antibodi ini dapat dibedakan 2 jenis antibodi yaitu:

 Group Treponemal antibodi, yaitu antibodi terhadap antigen somatic

yang dimiliki oleh semua Treponemal.

 Antibodi terponemal yang spesifik, yaitu antibodi terhadap antigen

spesifik dari Treponema pallidum.

Keterbatasan uji RPR ini:

1. Penyakit akibat infeksi treponema non-venereal, misalnya frambusia

yang disebabkan T. pertenue dan paktek yang disebabkan T. carateum

secara serologic tidak dapat dibedakan dari syphilis dengan menggunakan uji ini.

(6)

2. Hasil negatif palsu mungkin terjadi pada 20% - 30% penderita syphilis laten. Hal ini disebabkan karena pada penderita syphilis laten, titer antibodi non-treponemal seringkali rendah. Jadi jika secara klinis dugaan kuat syphilis laten hendaknya dilakukan uji treponemal seperti TPHA, TPI, ataupun FTA-ABS.

3. Hasil reaktif palsu dapat dijumpai pada beberapa penyakit akut dan

kronik, misalnya lepra lepromatosa, malaria, mononukleosus infeksiosa dan lupus eritematosus sistemik (SLE). Pada kasus-kasus yang meragukan, sebaiknya diagnosis defiritif didasarkan atas hasil uji berulang kali.

4. Hasil positif semu ini dapat juga terjadi pada orang hamil, para

penderita penyakit autoimmune, para pemakai narkotika dan para pemakai obat-obat anti hipertensi.

5. Uj serologic pada syphilis congenital seringkali sulit ditafsirkan.

Antibodi IgG yang terdapat dalam darah ibu hamil penderita syphilis, baik non-treponemal, dapat menembus plasenta, sehingga uji serologic pada neonatus dapat berhasil reaktif. Pada umumnya antibodi yang berasal dari ibu dapat menghilang dalam waktu 6 sampai 12 bulan.

V. ALAT DAN BAHAN

a. Alat

1. Slide aglutinasi (background putih)

2. Mikropipet 50 l

3. Stand mikropipet

4. Ependorf

b. Bahan

1. Serum

2. RPR Test Kit merk  Shield (e.d : Desember 2013 ; suhu

(7)

 Reagen RPR Carbon

 Control positive Syphilitic

 Control negative Syphilitic

 Needle

 Dispersing vial

3. Yellow tip

4. Buffer saline

VI. CARA KERJA

a. Metode Kualitatif

1) Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan di atas meja kerja.

2) Semua komponen dikondisikan pada suhu ruang terlebih dahulu.

3) Reagen dan control (positive dan negative) yang akan digunakan

dalam pemeriksaan dihomogenkan.

4) Reagen RPR Carbon dipindahkan dari botol reagen ke dispersing

vial yang ada dalam RPR Test Kit merk  Shield Diagnostic.

5) Needle dipasangkan pada ujung dispersing vial yang telah berisi

reagen RPR Carbon.

6) Sebanyak 1 tetes reagen RPR Carbon diteteskan pada

masing-masing slide aglutinasi background putih.

7) Sebanyak 1 tetes (50 l) serum diteteskan pada daerah lingkaran

dari slide aglutinasi background putih. Penetesan dilakukan secara tegak lurus. (Hal yang sama juga dilakukan pada control positive dan control negative).

8) Reagen RPR Carbon dan serum dihomogenkan dengan bagian

datar dari pipet pengaduk dispossible hingga batas daerah lingkaran pada slide pemeriksaan. (Hal yang sama juga dilakukan pada kontrol positive dan kontrol negative).

9) Slide aglutinasi background putih digoyangkan selama 8 menit

(8)

Interpretasi Hasil :

Laporan hasil cukup dengan menyebutkan non-reaktif, reaktif lemah atau reaktif

a. REAKTIF : Bila tampak gumpalan/flokulasi sedang atau besar

b. REAKTIF LEMAH : Bila tampak gumpalan/flokulasi

kecil-kecil

c. NON REAKTIF : Bila tidak tampak gumpalan /

flokulasi

10) Hasil yang memberi hasil reaktif atau reaktif lemah kemudian

dilanjutkan ke pemeriksaan semi kuantitatif.

b. Metode Semi – Kuantitatif

1) Alat, bahan dan reagen yang digunakan pada uji RPR disiapkan.

2) Seluruh komponen pemeriksaan dikondisikan pada suhu ruang.

3) Larutan buffer saline diteteskan pada lingkaran 1 – 5 pada slide

pemeriksaan menggunakan pipet penetes dispossible. Tetesan larutan saline tidak diratakan terlebih dahulu.

4) Sampel serum diteteskan sebanyak 50 µL dengan mikropipet pada

lingkaran slide aglutinasi pertama.

5) Penghomogenan dilakukan dengan menaik turunkan larutan

sampel sebanyak 5 – 6 kali menggunakan mikropipet. Diusahakan tidak menimbulkan gelembung/busa pada saat penghomogenan.

(9)

Larutan dari lingkaran slide aglutinasi pertama diambil sebanyak 50 µL lalu dipindahkan ke lingkaran slide aglutinasi kedua. Perlakuan ini diulang pada lingkaran slide aglutinasi 3, 4, dan 5 sehingga terbentuk pengenceran :

Lingkaran

uji 1 2 3 4 5

Pengenceran 1 : 2 1 : 4 1 : 8 1 : 16 1 : 32

6) 50 µL campuran pada lingkaran 5 ( pada pengenceran 1 : 32 )

diambil dengan mikropipet lalu dibuang.

7) Sebanyak 1 tetes reagen RPR Carbon diteteskan pada

masing-masing slide aglutinasi yang telah ditetesi serum yang telah diencerkan.

8) Reagen RPR Carbon dan serum dihomogenkan dengan bagian

datar dari pipet pengaduk dispossible hingga batas daerah lingkaran pada slide aglutinasi.

9) Slide aglutinasi digoyangkan selama 8 menit dan diamati flokulasi

yang terbentuk.

Interpretasi hasil :

Pengenceran terakhir yang masih menunjukkan adanya flokulasi merupakan titer antibodi.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. tt. Gejala Sifilis. http://gejalasifilis.com/. Diakses pada tanggal 20 April

2013.

Anonim. 2010. Sefilis. http://www.doktersehat.com/seputar-sifilis-si-raja-singa/.

Diakses pada tanggal 20 April 2013.

Anonim. 2010. Pemeriksaan RPR.

http://www.sodiycxacun.web.id/2010/10/pemeriksaan-syphilis-rpr-test.html. Diakses pada tanggal 20 April 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Reaksi spesifik antara Ab 3 dengan antigen virus rabies merupakan indikasi bahwa pada serum kelinci telah terbentuk antibodi yang mirip atau sama dengan Ab 1 dan mampu

Reaksi spesifik antara Ab 3 dengan antigen virus rabies merupakan indikasi bahwa pada serum kelinci telah terbentuk antibodi yang mirip atau sama dengan Ab 1 dan mampu

Tipe III juga melibatkan reaksi IgG dan IgM antibodi, tetapi berbeda dari reaksi tipe II, antibodi yang diarahkan terhadap antigen terdistribusikan secara luas

Reaksi alergi terdiri dari 2 mekanisme yaitu antigen dari donor dan antibodi dalam serum orang sakit bereaksi, antibodi dalam serum donor yang secara pasif ditransfer pada

Hasil uji HI menunjukkan reaksi silang baik serum ayam maupun itik pasca vaksinasi AI H5N1 clade 2.3.2 dengan antigen clade 2.1.3 terjadi dengan titer antibodi rendah,

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadal salmonella thypi dalam serum klien dengan thypoid juga terdapat

Prinsip pemeriksaan tes widal adalah serum pada pasien dengan demam tifoid atau demam enterik terdapat antibodi yang dapat terjadi reaksi aglutinasi dengan antigen pada Salmonella Typhi