BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal manusia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya relief yang menggambarkan orang dengan gibbus pada peninggalan mesir kuno (Depkes, 2008). Bukti lainnya adalah penemuan kerusakan tulang vertebra toraks yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM. Pada tahun 1882, Robert Koch menemukan kuman penyebabnya yaitu semacam bakteri berbentuk batang. Penyakit ini kemudian dinamakan tuberkulosis dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya, tetapi yang paling banyak adalah organ paru (Amin dan Bahar, 2009).
Tuberkulosis paling sering menginfeksi sistem respirasi, baik berdiri sendiri ataupun bersamaan dengan TB pada organ lain, dimana TB paru memiliki persentase lebih dari 85% dari keseluruhan kasus TB di Hongkong (Wong, 2008). Pada penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan, yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80 % dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang mudah menular. Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit TB yang menyerang organ tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limpe, persendian tulang belakang, saluran kencing,susunan syaraf pusat dan perut. Pada dasarnya penyakit TB ini tidak pandang bulu karena kuman ini dapat menyerang semua organ-organ dari tubuh (Hiswani, 2002).
Tuberkulosis merupakan penyakit multiorgan dengan berbagai gejala dan manifestasi klinis yang merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi diseluruh dunia (Herchline, 2013). Pada Maret 1993, World Health Organization (WHO) mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (Amin dan Bahar, 2009).
Pada tahun 1997, kasus baru secara total diperkirakan 7,96 juta (rentang 6,3-11,1 juta) dengan 3,52 juta (44%) merupakan kasus menular (rentang 2,8-4,9 juta) dengan kuman positif (smear positive) dan sekitar 16,2 juta (12,1-22,5 juta) kasus tercatat sebagai pasien TB. Diperkirakan kematian berkisar 1,87 juta (1,4- 2,8 juta) setiap tahun dan angka kematian global sekitar 23% dan lebih dari 50% di Afrika karena angka kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Angka prevalensi secara global adalah 32% (1,86 juta orang). Sekitar 80% dari seluruh kasus TB terdapat di 22 negara dan lebih dari separuhnya berasal dari Asia Tenggara. Diperkirakan 1 kematian setiap 15 detik (lebih dari 2 juta per tahun). Tanpa pengobatan 60% kasus TB akan meninggal (Kusuma, 2007). Pada tahun 2005, 8,8 juta orang terinfeksi TB aktif dan 1,6 juta orang meninggal. Kasus tersebut banyak terjadi di Asia Tenggara dan Afrika (Jeoung dan Lee, 2008).
Pada tahun 2011, kasus TB baru paling banyak terjadi di Asia sekitar 60% dari kasus baru yang terjadi di seluruh dunia. Akan tetapi, Afrika Sub Sahara memiliki jumlah terbanyak kasus baru per populasi dengan lebih dari 260 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2011 (WHO, 2013). Jumlah kasus TB terbanyak adalah Asia Tenggara (35%), Afrika (30%), dan Pasifik Barat (20%). Berdasarkan data WHO pada tahun 2011, lima negara dengan insiden kasus TB terbanyak yaitu, India (2,0-2,5 juta), China (0,9-1,0 juta), Afrika Selatan (0,4-0,6 juta), Indonesia (0,4-0,5 juta), dan Pakistan (0,3-0,5 juta). India dan Cina masing-masing menyumbangkan 26% dan 12% dari seluruh jumlah kasus di dunia (WHO, 2012).
Di Indonesia, diperkirakan prevalensi TB untuk semua tipe TB adalah 565.614 kasus pertahun, 244 per 10.000 penduduk dan 1.550 per hari. Insidensi penyakit TB 528.063 kasus per tahun, 228 kasus per 10.000 penduduk dan 1.447 perhari. Insidensi kasus baru 236.029 per tahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647 per hari. Insidensi kasus TB yang mengakibatkan kematian 91.369 kasus per tahun, 30 kasus per 10.000 penduduk dan 250 kasus per hari (Depkes, 2010).
Di Sumatera Utara, terdapat penemuan kasus baru BTA (+) yaitu 14.158 kasus per tahun (Depkes, 2009). Di tahun 2011, case detection rate TB paru adalah 69,4 % dengan success rate 81,4% (Kemenkes RI, 2012). Mengingat tingginya kasus TB di
Indonesia, terutama Sumatera Utara, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk menilai prevalensi dan karakteristik penderita TB di Puskesmas Sukaramai Medan. 1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana prevalensi dan karakteristik penderita TB paru di Puskesmas Prapat Janji Asahan Periode Desember 2015 – Desember 2016.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik penderita TB paru di Puskesmas Prapat Janji Asahan Periode Desember 2015 – Desember 2016.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru berdasarkan umur 2. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru berdasarkan jenis
kelamin
3. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru berdasarkan tipe pasien
4. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru berdasarkan kategori pengobatan
5. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
1.4. Manfaat penelitian
1. Bagi Puskesmas Prapat Janji - Asahan, penelitian bermanfaat dalam menambah informasi data mengenai karakteristik penderita TB paru yang ada di tempat penelitian tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih tepat sesuai karakteristik masing-masing penderita yang datang berobat.
2. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan wawasan pengetahuan tentang prevalensi dan karakteristik penderita TB yang datang berobat ke Puskesmas Prapat Janji - Asahan.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini bermanfaat dalam penerapan pencegahan dan bermanfaat dalam mengenal penderita TB lebih dini dengan mengetahui karakteristik dari penderita TB sehingga dapat diobati sedini mungkin untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi.
4. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan informasi untuk penelitian sejenis selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru (Mario dan Richard, 2005).
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Depkes, 2007). 2.2. Etiologi dan Faktor Risiko TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013).
Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia daripada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya yang bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan lipid., mencakup asam mikolat (asam lemak rantai-panjang C78-C90), lilin dan fosfatida.Dipeptida muramil (dari peptidoglikan) yang membentuk kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa. Lipid dalam batas-batas tertentu bertanggung jawabterhadap sifat tahan-asam bakteri (Brooks, et al. 1996).
Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan : 1. Faktor host terdiri dari:
a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB.
b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.
c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko untuk terkena TB.
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki risiko untuk terkena TB.
e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak-anak (Horsburgh, 2009).
2. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko untuk terkena TB
dimana sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB (Horsburgh, 2009).
Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius (Kartasasmita, 2009).
2.3. Patogenesis TB paru
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagositatau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari (Price dan Standridge, 2006).
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant c. Berkomplikasi dan menyebar (Amin dan Bahar, 2009).
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas (Amin dan Bahar, 2009).
Gambar 2.1. Bagan Patogenesis TB (Depkes - IDAI, 2008)
2.4. Klasifikasi TB Paru
Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi: 1. TB Paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
2. TB Paru BTA Negatif
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI, 2011).
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes, 2007).
2.5. Gejala Klinis TB paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes, 2007).
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori.
1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari : a. Batuk produktif ≥ 2 minggu
b. Batuk darah c. Sesak nafas d. Nyeri dada 2. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa : a. Demam
b. Keringat malam c. Anoreksia
d. Berat badan menurun (PDPI, 2011). 2.6. Diagnosis TB paru
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya penjaringan suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif) (Depkes, 2002).
Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah
penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) (Depkes, 2002).
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (PDPI, 2011). Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar, 2009).
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah: 1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) (PDPI, 2011).
Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat serta pemeriksaan histopatologis (Kusuma, 2007).
Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011).
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru (Depkes, 2007).
Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru (Depkes, 2007) 2.7. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk :
a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas b. Mencegah kematian
c. Mencegah kekambuhan d. Mengurangi penularan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2007).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007).
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007).
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu : a. Kategori I
- TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. - Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE
atau 2 RHZE/ 4R3H3. b. Kategori II
- TB paru kasus kambuh.
Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi.
- TB paru kasus gagal pengobatan
Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2
RHZES/ 1 RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.
3. TB Paru kasus putus berobat. 1. Berobat ≥ 4 bulan
- BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).
- BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
2. Berobat ≤ 4 bulan - Bila BTA positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).
- Bila BTA negatif
Gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. c. Kategori III
- TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal.
- Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3. d. Kategori IV
- TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
e. Kategori V
- MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2006).
Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya :
1. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai.
2. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air mata, keringat, dan urine menjadi oranye.
3. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout.
4. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus.
5. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran akibat kerusakan saraf telinga dalam (Nardell, 2008).
Hasil Pengobatan
Merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA positif dan negatif. Dikategorikan menjadi :
a. Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan.
b. Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir pengobatan.
c. Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama dalam pengobatan.
d. Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
e. Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut-turut atau lebih.
f. Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui.
2.8. Komplikasi dan Prognosis
Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun dinding dada (Jeoung dan Lee, 2008).
Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak. Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi:
1. Lesi Parenkim
- Tuberkuloma dan thin-walled cavity. - Sikatriks dan destruksi paru.
- Aspergilloma.
- Karsinoma bronkogenik. 2. Lesi Saluran Nafas
- Bronkiektasis.
- Stenosis trakeobronkial. - Bronkolitiasis.
3. KomplikasiVaskular
- Trombosis dan vaskulitis. - Dilatasi arteri bronchial. - Aneurisma rassmussen. 4. Lesi Mediastinum
- Kalsifikasi nodus limfa. - Fistula esofagomediastinal. - Tuberkulosis perikarditis. 5. Lesi Pleura
- Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax. - Fistula bronkopleura.
- Pneumotoraks. 6. Lesi dinding dada
- TB kosta.
- Tuberculous spondylitis.
- Keganasan yang berhubungan dengan empyema kronis (Kim et al, 2001). Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu, keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya. Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang meninggal, dimana faktor risiko terjadinya kematian diduga akibat BMI yang rendah, kurangnya respon terhadap terapi dan keterlambatan diagnosa (Herchline, 2013).
Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus non-MDR dan non-XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi dengan sistem DOTS memiliki tingkat kekambuhan 0-14 %. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi (Herchline, 2013).
2.9. Pencegahan TB
Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan terhadap pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan terputus. Tiga topik dibawah ini merupakan topik yang penting untuk pencegahan TB :
1. Proteksi terhadap paparan TB
Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk menurunkan paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar terdapat di bangsal TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat paparan berulang dari pasien yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan transmisi antara lain :
a. Cara batuk
Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, dan efektif dalam mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus menggunakan sapu
tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk atau bersin tidak terjadi penularan melalui udara.
b. Menurunkan konsentrasi bakteri - Sinar Matahari dan Ventilasi
Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi yang baik dapat mencegah transmisi kuman TB dalam ruangan.
- Filtrasi
Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang tersedia. - Radiasi UV bakterisidal
M.tuberculosis sangat sensitif terhadap radiasi UV bakterisidal. Metode radiasi ini sebaiknya digunakan di ruangan yang dihuni pasien TB yang infeksius dan ruangan dimana dilakukan tindakan induksi sputum ataupun bronkoskopi.
c. Masker
Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran kuman lewat udara. Jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk tidak terkontrol disarankan menggunakan masker setiap saat. Staf medis juga disarankan menggunakan masker ketika paparan terhadap sekret saluran nafas tidak dapat dihindari.
d. Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan TB:
- Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk pengobatan fase intensif, jika diperlukan.
- Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan TB ke pasien lain.
- Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa memakai masker.
- Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya tidak ditempatkan di ruangan yang dihuni oleh pasien yang immunocompromised, seperti pasien HIV, transplantasi, atau onkologi. 2. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)
BCG merupakan vaksin hidup yang berasal dari M.bovis. Fungsi BCG adalah melindungi anak terhadap TB diseminata dan TB ekstra paru berat (TB meningitis dan TB milier). BCG tidak memiliki efek menurunkan kasus
TB paru pada dewasa. BCG diberikan secara intradermal kepada populasi yang belum terinfeksi.
a. Tes Tuberkulin
Neonatus dan bayi hingga berusia 3 bulan tanpa adanya riwayat kontak dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes tuberkulin sebelumnya.
b. Vaksinasi Rutin
Pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, WHO merekomendasikan pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin, terutama saat baru lahir.
Pada bayi baru lahir hingga usia 3 bulan, dosisnya adalah 0,05 ml sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan 0,1 ml.
3. Terapi Pencegahan
Tujuan terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi TB menjadi penyakit, karena penyakit TB dapat timbul pada 10 % orang yang mengalami infeksi TB. Kemoprofilaksis dapat diberikan bila ada riwayat kontak dengan tes tuberkulin positif tetapi tidak ada gejala atau bukti radiologis TB. Obat yang digunakan biasanya adalah isoniazid (5 mg/kg) selama 6 bulan. Jika memungkinkan, dilakukan dengan pengamatan langsung.
Kelompok yang mendapat profilaksis, yaitu : - Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru
Bayi yang sedang mendapat ASI dari ibu dengan TB paru, sebaiknya mendapat isoniazid selama 3 bulan. Setelah 3 bulan, dilakukan tes tuberkulin. Jika hasil negatif maka diberikan vaksinasi, jika positif maka dilanjutkan isoniazid selama 3 bulan lagi. Jika terdapat adanya bukti penyakit, maka perlu diberikan pengobatan penuh.
- Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin negatif, tampak sehat, tanpa riwayat BCG, sama seperti di atas.
- Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin positif (tanpa riwayat BCG). - Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6 bulan. - Anak dengan gejala dan pemeriksaan yang menunjukkan TB diberikan
- Anak dengan gejala, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan TB, diberikan profilaksis isoniazid (Wieslaw et al, 2001).
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Karakteristik: 1. Umur
2. Jenis kelamin 3. Tipe pasien
4. Hasil pemeriksaan dahak 5. Kategori Pengobatan
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Prevalensi dan Karakteristik Penderita TB Paru
3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Umur
Merupakan lamanya hidup penderita TB paru yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai yang tercatat dalam rekam medis di Puskesmas Prapat Janji -Asahan. Dikategorikan menjadi :
a. Remaja awal (12-16 tahun) b. Remaja akhir (17-25 tahun) c. Dewasa awal (26-35 tahun) e. Dewasa akhir (36-45 tahun) f. Lansia awal (46-55 tahun) g. Lansia akhir (56-65 tahun) h. Manula ( >65 tahun) 3.2.2. Jenis Kelamin
Merupakan jenis kelamin penderita TB paru sesuai yang tercatat dalam rekam medis di Puskesmas Prapat Janji - Asahan. Dikategorikan menjadi:
a. Laki-laki b. Perempuan 3.2.3. Tipe Pasien
Merupakan seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan mikroskopis (BTA) dan pemeriksaan radiologi sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan, sesuai yang tercatat dalam rekam medis di Puskesmas Prapat Janji - Asahan. Dikategorikan menjadi :
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
d. Pengobatan setelah default adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
e. Pengobatan setelah gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3.2.4. Hasil Pemeriksaan Dahak
Merupakan hasil pemeriksaan tiga spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu pasien suspek TB secara mikroskopis sesuai yang tercatat dalam rekam medis di Puskesmas Prapat Janji - Asahan. Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala IUATLD dikategorikan menjadi :
a. 1+ : ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang
b. 2+ :ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, minimal dibaca 50 lapang pandang
c. 3+ : ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang
d. Negatif : tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang (Depkes, 2002).
3.2.5. Kategori Pengobatan
Merupakan pengkategorian pasien sesuai dengan kasus penderita dan panduan pengobatannya. Kategori pengobatan ini diperoleh dari informasi yang terdapat dalam rekam medis pasien. Kategori pengobatan dikategorikan menjadi :
a. Kategori I
- TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. - Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE atau 2
RHZE/ 4R3H3. b. Kategori II
Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi
• TB paru kasus gagal pengobatan
- Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). - Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2
RHZES/ 1 RHZE.
- Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
- Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE. • TB Paru kasus putus berobat.
1. Berobat ≥ 4 bulan
- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).
- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2. Berobat ≤ 4 bulan
- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).
- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan.
d. Kategori III
TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal. Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE /4 R3H3.
e. Kategori IV
TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
f. Kategori V
MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2006).
3.3 Variabel dan Alat Ukur
VARIABEL ALAT
UKUR
CARA UKUR
HASIL UKUR SKALA
UKUR Umur Data rekam
medis Melihat rekam medis 1. Remaja awal (12-16 tahun) 2. Remaja akhir (17-25 tahun) 3. Dewasa awal (26-35 tahun) 4. Dewasa akhir (36-45 tahun) 5. Lansia awal (46-55 tahun) 6. Lansia akhir (56-65 tahun) 7. Manula ( >65 tahun) Ordinal
Jenis kelamin Data rekam medis Melihat rekam medis 1. Laki-laki 2. Perempuan Nominal Tipe pasien Data rekam
medis Melihat rekam medis 1. Kasus baru 2. Kambuh 3. Pindahan 4. Setelah default 5. Setelah gagal Nominal
Hasil pemeriksaan dahak Data rekam medis Melihat rekam medis 1. 1+ 2. 2+ 3. 3+ 4. Negatif Nominal Hasil pengobatan Data rekam medis Melihat rekam medis a. Sembuh b.Pengobatan lengkap c.Meninggal d. Gagal e.Default/drop out f. Pindah Nominal Kategori pengobatan Data rekam medis Melihat rekam medis a. Kategori I b. Kategori II c. Kategori III d. Kategori IV e. Kategori V Nominal BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif dengan disain penelitian cross sectional retrospective, dimana pengambilan data dilakukan hanya sekali saja dengan menggunakan data yang berasal dari rekam medis dan formulir pelaporan TB-01 dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik penderita TB paru di Puskesmas Prapat Janji Asahan periode Desember 2015 – Desember 2016.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Prapat Janji Asahan. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan Puskesmas Kecamatan Buntu Pane Asahan merupakan
salah satu UPT Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data akan dilakukan pada Desember 2016, dengan kegiatan sebagai berikut : melakukan survei awal, konsultasi proposal, seminar proposal penelitian, perbaikan proposal, pengumpulan data, analisa data, seminar hasil penelitian, dan perbaikan laporan hasil penelitian.
4.3. Populasi Dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medik penderita TB paru. Sedangkan populasi terjangkau adalah seluruh data rekam medik penderita TB paru di Puskesmas Prapat Janji periode Desember 2015- Desember 2016 di Asahan.
4.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru yang datang berobat ke Puskesmas Prapat Janji Asahan periode Desember 2015 - Desember 2016. Besar sampel penelitian ini dengan metode total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sebagai sampel penelitian. Pengambilan sampel adalah berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Adapun kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini adalah: a. Kriteria Inklusi
Data rekam medis yang mencakup hal berikut : - Penderita TB paru
b. Kriteria Eksklusi
Data rekam medis yang mencakup hal berikut : - Penderita TB ekstra paru
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan pada rekam medik pada penderita TB paru berdasarkan karakteristiknya di Puskesmas Prapat Janji Asahan periode Desember 2015 - Desember 2016. Semua rekam medik penderita TB paru dikumpulkan dan dilakukan pencatatan/tabulasi sesuai dengan jenis variabel yang akan diteliti.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan bantuan SPSS ver.17 (Statistical Package for the Social Sciences version 17) dan kemudian dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi dan dilakukan pembahasan sesuai dengan pustaka yang ada.
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
5.1.1. Data Geografis
Puskesmas Prapat janji merupakan salah satu dari 25 (Dua Puluh Lima) kecamatan dan 22 Puskesmas yang ada di wilayah Kabupaten Asahan, berjarak 19 km dari kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, dengan luas ± 15.719 Ha, terdiri dari 9 Desa dan 72 dusun, dengan temperatur 24o C – 31o C.
Ketinggian dari permukaan laut 16 – 72 M, terdiri dari musim kemarau dan musim hujan, dengan keadaan tanah liat merah, tanah liat putih bercampur pasir halus, keadaan alam terdiri dari dataran rendah dan sedikit berbukit.
kecamatan yakni :
- Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Setia Janji
- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Tinggi raja dan Kecamatan Pulo Bandring.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Tinggi Raja
- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Bandar Pasir Mandoge Luas Wilayah ± 15.719 Ha, terdiri dari 9 Desa dan 72 dusun.
5.1.2. Data Demografi
Jumlah penduduk Kecamatan Buntu Pane pada Tahun 2015 adalah sebanyak 23.822 orang yang terdiri dari 11.879 berjenis kelamin pria dan 11.943 berjenis kelamin perempuan. Jika di lihat dari luas wilayah, maka luas wilayah Kecamatan Buntu Pane ± 15.719 Ha.
5.1.3. Wilayah Kerja Puskesmas
Dalam melaksanakan kegiatannya, Puskesmas Prapat janji melayani penduduk di 9 desa dan 72 dusun :
Buntu Pane : 3795 Jiwa
Sionggang : 2248 Jiwa
Lestari : 1902 Jiwa
Karya Ambalutu : 1210 Jiwa
Ambalutu : 2801 Jiwa
Perkebunan Sei Silau : 1149 Jiwa Sei Silau Timur : 5238 Jiwa
Mekar Sari : 2536 Jiwa
Prapat Janji : 2943 Jiwa
5.1.4. Sumber Daya Kesehatan Puskesmas
Sumber daya manusia di Puskesmas Sirait terdiri dari:
1. Dokter umum = 2 orang
2. Bidan = 24 orang
3. Sarjana Perawat = 2 orang
4. Perawat = 1 orang
6. Farmasi = 0 orang
7. Petugas gizi = 1 orang
8. Kesehatan Lingkungan = 0 orang
9. Tamat SMA = 1 orang
Jumlah total keseluruhan = 31 orang. 5.1.5. Kelengkapan Obat – obatan
Tabel 5.1 Kelengkapan Obat – Obatan Di Puskesmas N
o. Nama Obat
No
. Nama Obat
1. Alat Suntik 1 ml 67. IV.Catheter no 22 G 2. Alat Suntik 2,5 ml 68. IV.Catheter no 24 G
3. Alat Suntik 3 ml 69. Kalsium Laktas tablet 500 mg
4. Alat Suntik 5 ml 70. Kapas Absorben bungkus 250 gram
5. Albendazol syr 71. Kapas Absorben bungkus
500 gram
6. Alkohol swab 72. Kaptopril tablet 12,5 mg
7. Ambroksol Sirup 15 mg 73. Kasa 18 x 22cm 8. Ambroksol tablet 30 mg 74. Kasa Kompres 40/40
9. Aminophilin Ampul inj 75. Kasa Pembalut Hidrofil 4mx3 cm
10 .
Aminophilin tablet 200 mg 76. Ketoconazole tablet 200 mg
11 .
Amitriptilin tablet 25 mg 77. Klindamisin kapsul 150 mg 12
.
Amoksisilin Sirup 125 mg/5ml
78. Klorampenikol Salep Mata 1 % tube
13 .
Amoksisilin tablet 500 mg 79. Klorampenikol Sirup 14
.
Antasida doen tablet 80. Klorampenikol tablet 250 mg 15 . Antibakteri Salep Kombinasi tablet 81. Klorfeniramin Maleat (CTM) tablet 4 mg 16 .
Aqua Pro Injeksi ampul 82. Kloroquin sirup
. mg (hcl) 18
.
Asam mefenamat tablet 500 mg
84. Kodein tablet 20mg 19
.
Asiklovir krim 5% 85. Kotrimoksazol Dewasa tab 20
.
Asiklovir tablet 400 mg 86. Kotrimoksazol Syrup 21
.
Azytromicin tablet 500 mg 87. Lidocain 2% + Epineprin 22
.
Catgut/Benang Bedah no 2/Set
88. Lidocain Inj 2 % ampul 23 . Catgut/Benang Bedah no 3/set 89. Lisol 10 % botol 24 .
Cefadroxyl cap 500 mg 90. Loperamid tablet 2 mg 25
.
Cefadroxyl sirup 125 mg 91. Loratadine tablet 10 mg 26
.
Cefadroxyl sirup 250 mg 92. Masker 27
.
Cefixime capsul 100 mg 93. Metampiron (Antalgin) tablet 500mg
28 .
Cetirizine sirup 94. Metil Prednisolon tablet 4 mg 29 . Ciprofloxacin tablet 500 mg 95. Metoclopramid tablet 10 mg 30 .
CO. Amoxiclav tablet 96. Metronidazole tablet 500 mg
31 .
Dexametasone ampul
injeksi
97. Natrium Bicarbonat tablet 500 mg 32 . Dexametasone tablet 0.5 mg 98. Natrium Diclofenak 25 mg 33 .
Diltiazem HCL tablet 99. Natrium Klorida Infus 0,9% 34
.
Domperidone drop 10
0.
Obat Batuk Hitam Syrup 35
.
Domperidone sirup 10
1.
Omeprazole Kapsul 20 mg 36 Domperidone tablet 10 10 Papaverin tablet 40 mg
. mg 2. 37 . Epineprin (Adrenalin) Ampul Injeksi 10 3. Paracetamol tablet 500 mg 38 . Eritromisin Syrup 200mg/5ml 10 4. Parasetamol Sirup 39 . Etakridin larutan 0.1% 10 5. PCT Drop 40 . Etanol 70 % 10 6. Piracetam 1200 mg 41 .
Etil Klorida Spray 10
7. Pirantel Sirup 42 . Famotidin Tab 10 8. Pirantel Tablet 43 . Fenilbutazon 200 mg 10 9. Povidone Iodine 10 % 300 ml 44 .
Fenobarbital ampul inj 11 0. Prednison tablet 5 mg 45 . Fitomenadion (Vit.K) ampul Inj 11 1. Propanolol tablet 10 mg 46 .
Fitomenadion (Vit.K) tablet 10 mg
11 2.
Propiltiurasil (PTU) tablet 100 mg
47 .
Foley Kateter No.14 11
3.
Ranitidine Ampul inj 48
.
Foley Kateter No.16 11
4.
Ranitidine tablet 150 mg 49
.
Foley Kateter No.18 11
5.
Ringer Lactat Infus 50 . Furosemid 40 mg 11 6. Salisil Bedak 2 % 51 .
Furosemide ampul Inj 11 7. Sianokobalamin (Vit B12) Ampul Inj 52 . Garam Oralit 11 8. Silk No. 3/0 53 . Gentian Violet 1 % 11 9. Stera 10 cc 54 . Glukosa Infus 5 % 12 0. Stera 20 cc
. 1. 56 . Haloperidol 1,5 mg 12 2. Tetraxiclin kapsul 500 mg 57 . Hand scoon S/L 12 3. Tiamfenicol kapsul 500 mg 58 . Handscoon no 7 12 4.
Tiamin (Vit.B1) ampul inj 59
.
Handscoon no 8 12
5.
Tiamin (Vit.B1) tablet 50 mg
60 .
Hidrokortison Krim 2,5 % 12 6.
Tramadol ampul inj 61 . Hyocine N-BotilBromide tablet 10 mg 12 7. Tramadol tablet 62 . Ibuprofen Sirup 12 8. Trihexipenidil tablet 2 mg 63 . Ibuprofen tablet 400 mg 12 9. Urin Bag 64 . Infuset Anak 13 0. Zink Drop 65 . Infuset Dewasa 13 1. Zink tablet 20 mg 66 . IV.Catheter no 20 G 5.2. Hasil Penelitian
5.2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan Puskesmas Prapat Janji di Kecamatan Buntu Pane. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan Puskesmas Kecamatan Buntu Pane Asahan merupakan salah satu UPT Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.
5.2.2. Deskripsi Karakteristik Responden
mengunjungi Puskesmas Prapat janji Asahan periode Desember 2015 – Desember 2016. Karakteristik responden pada penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok Umur Frekuensi %
Remaja Awal 2 16,7 Remaja Akhir 1 8,3 Dewasa Awal 1 8,3 Dewasa Akhir 2 16,7 Lansia Awal 3 25 Lansia Akhir 2 16,7 Manula 1 8,3 Total 12 100,0
Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa mayoritas penderita TB paru adalah kelompok umur lansia awal yaitu sebanyak 3 penderita (25%).
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi %
Perempuan 2 16,3
Total 12 100,0
Pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa mayoritas penderita TB paru adalah laki-laki yaitu sebanyak 10 orang (83,3%).
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak
Hasil Pemeriksaan Dahak Frekuensi %
Negatif 2 16,7
1+ 2 16,7
2+ 5 41,6
3+ 3 25
Total 12 100,0
Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa mayoritas penderita TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak adalah 2+ yaitu sebanyak 5 orang (41,6%).
5.3. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis Puskesmas Prapat janji Asahan periode Desember 2015 – Desember 2016, diperoleh data mengenai prevalensi dan karakteristik penderita tuberkulosis paru. Pada tabel 5.1 diketahui bahwa mayoritas penderita TB paru adalah lansia awal (46-55 tahun) yaitu sebanyak 3 orang (25%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15 – 50) tahun (Hiswani, 2002). Panjaitan (2010), mengungkapkan bahwa penderita tuberkulosis paru dewasa yang dirawat di RSU dr. Soedarso Pontianak umumnya berada pada usia yang masih produktif (18-59 tahun), yaitu sebanyak 35 orang (77,8%) subjek.
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit kronis yang dapat menyerang semua lapisan usia; selain menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi, juga dapat merugikan secara ekonomi karena hilangnya jam kerja. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa.
Penyakit TB paru sebagian besar terjadi pada orang dewasa yang telah mendapatkan infeksi primer pada waktu kecil dan tidak ditangani dengan baik. Usia dewasa dan diikuti usia tua merupakan kelompok yang paling sering terkena TB di Amerika Serikat pada tahun 2008. Jumlah kasus TB paling tertinggi mengenai usia 25 sampai dengan 44 tahun (33% dari semua kasus), diikuti usia 45 sampai dengan 64 tahun (30% dari semua kasus). Pada usia tua di atas 65 tahun berkisar 19%. Sedangkan sisanya berada pada usia antara 15 sampai dengan usia 24 tahun (11%) dan usia 14 tahun kebawah (6%) (CDC, 2009). Keadaan ini diduga ada hubungannya dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan sebagai tenaga kerja produktif yang memungkinkan untuk mudah tertular dengan kuman TB setiap saat dari penderita, khususnya dengan BTA positif. Mobilitas dan interaksi sosial yang lebih tinggi pada orang usia 15-50 tahun, yang harus bekerja untuk memperoleh pemasukan guna memenuhi kebutuhan keluarga, memungkinkan mereka untuk terinfeksi dari orang lain menjadi lebih tinggi. Meningkatnya kebiasaan merokok pada usia muda di negara-negara miskin juga menjadi salah satu faktor banyaknya kejadian tuberkulosis paru pada usia produktif (Godoy et al, 2001).
Dari tabel 5.2 didapatkan bahwa mayoritas penderita TB paru adalah laki-laki yaitu sebanyak 10 orang (83,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian Gustafon et al (2004), yang menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita, dimana hal ini mungkin berhubungan dengan interaksi sosial laki laki lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga kemungkinan transmisi TB lebih besar. Menurut R.E. Watkins dan A.J. Plant (2006), hal ini dikarenakan kebiasaan merokok pada laki-laki.
Dari tabel 5.3 didapatkan bahwa mayoritas hasil pemeriksaan dahak penderita TB paru adalah 2+ yaitu sebanyak 5 orang (41,6%). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Rasmin et al (2006), dimana didapatkan sebanyak 227 orang (86%) yang memiliki BTA positif. Berdasarkan teori Crofton (2002), pasien TB paru yang
memiliki sputum BTA positif adalah orang yang sangat infektif menularkan infeksi TB kepada orang lain.
Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh WHO (2012) yang menyebutkan bahwa persentase dari kasus baru TB paru yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA (+) relatif rendah di wilayah Rusia (31%), Zimbabwe (40%), Myanmar (41%), Afrika Selatan (47%), Ethiopia(47%) dan Kenya (48%).
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.Kesimpulan
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas penderita tuberkulosis paru dari masing-masing karakteristik sebanyak 12 sampel adalah kelompok umur lansia awal (25%), laki-laki (83,3%), pemeriksaan dahak 2+ (41,6%).
6.2.Saran
1. Kepada peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan tidak hanya mengenai prevalensi tuberkulosis paru. Tetapi, mencari lebih jauh hubungan antara setiap karakteristik tersebut dengan kejadian tuberkulosis paru. 2. Kepada instansi kesehatan terkait diharapkan tetap mempertahankan dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan menyesuaikan tipe penderita dan mengelompokkannya sesuai dengan kategori pengobatan yang terbaru.
Kepada praktisi medis, agar dapat melakukan tindakan promotif dan preventif sehingga kejadian tuberkulosis paru tidak lagi menjadi masalah kesehatan di masyaraka
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam:Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI; 2230-2239
Brooks, et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick and Adelberg. Jakarta; EGC: 302-304
Center For Disease Control and Prevention (CDC). 2009. Reported Tuberculosis in the United States, 2008. Atlanta, GA: U.S. Departmentof Health and Human Services
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2002. Clinical Tuberculosis. England: TALC IUATLD
Depkes RI, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Cetakan 8
DepkesRI, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi 2, Cetakan I
Depkes - IDAI, 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI, 2010. Situasi Epidemiologi TB Indonesia. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Available from:
http://tbindonesia.or.id/pdf/Data_tb_1_2010
Godoy P, Nogues A, Alseda M, et al, Risk Factors Associated to Tuberculosis Patients With Positive Sputum Microscopy. Gac Sanit 2001;15:506–12
Gustafon, P., et al, 2004. Tuberculosis in Bissau: Incidence and Risk Factor In An Urban Community in Sub-Saharan Africa. International Journal of Epidemiology 33(1): 24-28.
Herchline, T.E., 2013. Tuberculosis. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview.
Hiswani, 2002. Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi
Masalah Kesehatan Masyarakat. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3718.
Horsburgh, C.R., 2009. Epidemiology of Tuberculosis. Available from: www.uptodate.com
Isbaniyah, et al, 2011. Tuberkulosis. Dalam: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI
Jeong, Y.J., Lee, K.S., 2008. Pulmonary Tuberculosis : Up-To-Date Imaging and Management. American Journal of Roentgenology : 191 (3).Available from: http://www.ajronline.org/doi/full/10.2214/AJR.07.3896
Kartasasmita, C.B., 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2) ; 124-125
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Lingkungan, 2013. Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2012.
Kim, H.Y., 2001. Thoracic Sequelae and Complications of Tuberculosis. Radio Graphics. 21 (4) ; 839-856.
Kusuma, C., 2007. Diagnostik Tuberkulosis Paru. Sari Pediatri : 8 (4) ; 143-151 Mario, C.R.& Richard, J.O., 2003. Tuberculosis. Dalam: Kasper, D., L., et al.
Harrison Principles of Internal Medikine. Ed 16. Mc Graw-Hill.
Nardell, E.A., 2008. Tuberculosis. Available from:
http://www.merckmanuals.com/home/infections/tuberculosis_and_leprosy /tuberculosis.html.
Panjaitan, F., 2012. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Rawat Inap di Rumah Sakit Umum DR. Soeroso Pontianak Periode September-November. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Putra, A.K., 2010. Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah Dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500
Price, S.A., Standridge, M.P., 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S.A., Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC;852-861
Rasmin, et al, 2006. Profil Penderita Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan Januari-Juli 2005. Jurnal Respirologi Indonesia.27 (1): 402-408.
Wieslaw,J.,et al, 2001. TB Manual National Tuberculosis Programme Guidelines.Availablefrom: www.euro.who.int/data/assets/.../E75464.pdf Wong, P.C., 2008. Current Management of Pulmonary Tuberculosis. Medical
Buletin. 13 (12); 24-26
World Health Organization (WHO). 2013. Tuberculosis. Available from: www.who.co.id
World Health Organization (WHO). 2012. Global Tuberculosis Report. Availablefrom:(www.who.int)