• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efikasi Prednisolon Oral 36 mg/hari dan 12mg/hari dalam Pengobatan Asma Persisten Sedang Eksaserbasi Akut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Efikasi Prednisolon Oral 36 mg/hari dan 12mg/hari dalam Pengobatan Asma Persisten Sedang Eksaserbasi Akut"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Korespondensi: dr. Oke Viska, Sp.P

Email: diana.rantung85@gmail.com; HP: 081277311778

Perbandingan Efikasi Prednisolon Oral 36 mg/hari dan 12mg/hari

dalam Pengobatan Asma Persisten Sedang Eksaserbasi Akut

Oke Viska, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia

Abstrak

Latar belakang: Usaha untuk menekan angka kekambuhan pasien asma eksaserbasi adalah penanganan yang optimal. Peranan steroid dalam menekan eksaserbasi tidak diragukan lagi, tetapi permasalahan timbul karena belum diketahui dosis efektif oral setelah pasien dipulangkan. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan apakah terapi 2 minggu prednisolon oral 36 mg/hari lebih efektif daripada 12 mg/ hari dalam pengobatan asma persisten sedang setelah eksaserbasi sedang sampai berat.

Metode: Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol di poliklinik asma RS Persahabatan pada Januari-Agustus 2008 dengan subjek sebanyak 98 dengan asma eksaserbasi akut yang terdaftar dan secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Sebanyak 79 subjek memenuhi kriteria inklusi. Tindak lanjut dilakukan selama 4 minggu setelah terapi 2 minggu dengan prednisolon oral.

Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kambuhan baik dalam 2 minggu (10,2% vs 22,5% p> 0,05) atau 6 minggu (25,6% vs 35,0% p> 0,05) antara dua kelompok. Selama 2 minggu pertama setelah dipulangkan, pasien yang menerima prednisolon oral 36 mg melaporkan secara signifikan lebih tinggi untuk rata-rata skor harian gejala sesak napas (9,95 ± 1,95 vs 9,02 ± 2,09, p<0,05), tetapi tidak ada perbedaan signifikan setelah 2 minggu. Tidak ada perbedaan signifikan dalam penggunaan β2-agonis dan arus puncak ekspirasi (APE) antara dua kelompok.

Kesimpulan: Prednisolon 36 mg/hari memberikan tingkat kekambuhan lebih rendah, gejala sehari-hari yang lebih baik dan penggunaan β2-agonis dan APE dari 12mg/hari pada asma persisten sedang setelah eksaserbasi akut, secara statistik tak bermakna. (J Respir Indo. 2014; 34: 139-48) Kata kunci: asma, prednisolon oral, kambuh.

Efficacy of 36 mg/day vs 12 mg/day Oral Prednisolone in Treatment

of Moderate Persistent Asthma Following Acute Exacerbation

Abstract

Background: Efforts to reduce the recurrence of asthma exacerbations is optimal handling. Steroid has a role in reducing exacerbations, but another problem arises due to uneffective oral dose after the patient is discharged. This study aimed to determine whether 2 weeks therapy of 36 mg/day dose of oral prednisolone is more effective than 12 mg/day in moderate persistent asthma treatment following acute asthma exacerbations.

Methods: This study was a randomized open-controlled trial at asthma clinic Persahabatan Hospital between January-August 2008 of which 98 subjects with acute asthma exacerbation moderate to severe were enrolled and randomly divided into two groups. A total of 79 subjects were able to qualify for inclusion. All patients were given 2 weeks therapy with oral prednisolone and were followed for 4 weeks.

Results: No differences were found in either relapse rate in 2 weeks (10.2% vs 22.5% p> 0.05) or 6 weeks (25.6% vs 35.0% p> 0.05) between the two groups. During the first 2 weeks after discharge, patients who received 36 mg of prednisolone reported average significantly higher daily scores for symptoms of shortness of breath (9.95 ± 1.95 vs 9.02 ± 2.09, p<0.05), but no significant difference after 2 weeks. No significant differences in the use of β2-agonists and peak expiratory flow rate (PEFR) between the two groups.

Conclusion: Thirty six mg/day oral prednisolone provide a lower recurrence rate, symptoms improvement compare with 12 mg/day in moderate persistent asthma after acute exacerbation, but no significant association in β2-agonist consumption and PEFR compare with 12mg/day. (J Respir Indo. 2014; 34: 139-48)

(2)

PENDAHULUAN

Asma masih menjadi salah satu masalah dan penyakit pernapasan yang paling sering ditemukan termasuk di Indonesia. Asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan tertinggi bersama-sama emfisema dan bronkitis kronik berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986. Pada SKRT 1992 asma bersama emfisema dan bronkitis kronik merupakan penyebab kematian ke 4 tertinggi atau sekitar 5,6%. Laporan World Health Organization (WHO) 2001 menunjukkan asma meru pakan salah satu penyebab kematian utama pada penyakit pernapasan, yaitu sebesar 0,3 % dari seluruh kematian di dunia.1,2

Kekambuhan asma setelah kunjungan ke instalasi gawat darurat (IGD) merupakan masalah tersendiri dalam penatalaksanaan asma. Penanganan dan penatalaksanaan yang komprehensif dapat menekan eksaserbasi dan kunjungan ke IGD.3,4

Selama ini belum banyak data di Indonesia yang melaporkan angka kekambuhan asma setelah dipulangkan dari IGD. Data dari Rumah Sakit Persahabatan tahun 1983 sebesar 21,9%, sedikit lebih tinggi dari yang dilaporkan kepustakaan luar negeri. Angka kekambuhan setelah dipulangkan 11% dalam 3 hari dan mencapai lebih dari 30% dalam beberapa minggu.5 Laporan lain menyebutkan 17% kekambuhan

dalam 2 minggu pertama, lebih dari sepertiga terjadi dalam 3 hari pertama dan lebih dari 50% dalam 6 hari pertama.6 Perbandingan antara yang kambuh dan yang

tidak, umumnya tidak berbeda dalam hal pemberian regimen obat, terapi yang diberikan di IGD dan hasil pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) awal dan akhir. Kekambuhan lebih banyak dipengaruhi keadaan pasien sebelumnya, seperti mempunyai riwayat kun-jungan ke IGD dalam setahun terakhir, pernah dirawat di rumah sakit karena asma, sehari-harinya atau sering menggunakan nebuliser di rumah, gejala timbul lebih dari 24 jam, mempunyai beberapa pencetus dan asma tidak terkontrol.3,6

Usaha untuk menekan angka kekambuhan pasien asma eksaserbasi adalah penanganan yang optimal, baik saat pasien di IGD maupun saat di

rumah. Peranan steroid dalam menekan eksaserbasi tidak diragukan lagi, tetapi permasalahan timbul karena belum diketahui dosis efektif oral setelah pasien dipulangkan. Saat ini belum ada keseragaman pemberian steroid khususnya metilprednisolon pasien pascaeksaserbasi. Dosis metilprednisolon yang di-re ko men dasikan untuk mencegah kekambuhan asma pascaeksaserbasi adalah 30-40 mg per hari selama 1-2 minggu.7 Penelitian Husain8 menilai

dosis efektif metilprednisolon antara 12 mg (3 x 4 mg) dan 24 mg (3 x 8 mg) per hari yang dipantau selama 2 minggu setelah dipulangkan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna.Saat ini belum ada penelitian yang membandingkan penggunaan dosis metilprednisolon 12 mg (3 x 4 mg) dengan 36 mg (3 x 12 mg), dengan waktu pemantauan lebih dari 2 minggu. Penelitian ini bertujuan membandingkan efikasi penggunaan dosis metilprednisolon 3 x 12 mg dengan 3 x 4 mg serta menggunakan waktu pemantauan 6 minggu.

METODE

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak ter-kontrol dengan subjek penelitian merupakan semua pasien asma akut sedang dan berat pada asma persisten sedang yang datang ke IGD dan poliklinik asma RS Persahabatan yang memenuhi kriteria pene rimaan dan penolakan pada bulan Januari 2008 sampai dengan Agustus 2008. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu asma akut sedang-berat, asma persisten sedang, laki-laki dan perempuan berusia 15-55 tahun, bersedia ikut dan menandatangani surat perjanjian (inform consent), dan tidak merokok atau bekas perokok ringan. Kriteria eksklusinya yaitu sesak oleh karena selain asma penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), kardiovaskular atau sistemik, pasien sesak berat dengan manifestasi sianosis, bra-dikardia, silent chest penyakit paru lain atau pernah menjalani torakotomi serta pasien dalam keadaan hamil.

Subjek penelitian diambil dan dipilih secara

con-se cutive sampling, yaitu con-semua pasien yang meme nuhi

kriteria penerimaan disertakan sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi. Subjek yang sudah dipilih akan

(3)

dibagi secara acak ke dalam dua kelompok dengan menggunakan tabel acak. Subjek penelitian adalah pasien asma eksaserbasi yang datang ke IGD dan poliklinik asma RS Persahabatan yang didiagnosis sebagai serangan asma akut sedang atau berat pada asma persisten sedang. Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu napas, frekuensi jantung, terdapat mengi dan frekuensi napas), uji faal paru (APE), dan respons terapi.

Sebelum terapi diberikan, penilaian awal di-lakukan terhadap keadaan klinis dan faal paru (APE). Terapi inhalasi diberikan selang 20 menit dalam satu jam pertama dan setiap selang inhalasi dilakukan penilaian klinis dan pengukuran APE. Inhalasi yang diberikan saat serangan akut adalah fenoterol dan ipratropium bromida. Pasien yang telah ter-atasi serangannya diobservasi selama 1-2 jam. Setelah klinis dan tanda objektif membaik pasien dipulangkan. Pasien yang masih ada keluhan (APE < 70%) terapi dilanjutkan 1-3 jam dan ditambahkan steroid sistemik. Setelah pengamatan selesai dan tetap belum memberi respons optimal dilanjutkan dengan infus aminofilin dan diobservasi sampai 24 jam. Apabila perbaikan klinis dan objektif belum optimal maka pasien dirawat di ruangan.

Pasien yang memberikan respons positif langsung terhadap terapi maupun setelah observasi atau mendapat bolus dan drip aminofilin intravena, tetapi akhirnya memenuhi kriteria untuk dipulangkan akan dimasukkan dalam subjek penelitian. Pasien yang telah dimasukkan dalam subjek penelitian sebelum pulang akan dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama akan menerima metilprednisolon oral dosis 3 x 12 mg/hari sedangkan kelompok 2 sebagai kontrol menggunakan dosis 3 x 4 mg/hari selama 2 minggu. Setiap subjek penelitian juga akan menerima metilsantin dan agonis β2 berupa racikan teofilin (100-150 mg) dan (1-2 mg) salbutamol. Semua subjek juga akan tetap menggunakan kortikosteroid inhalasi sebagai pengontrol dan bila terdapat infeksi saluran napas maka akan diberikan antibiotik.

Pasien dipantau dan dievaluasi selama 6 minggu. Setiap minggu pasien diminta datang untuk

anamnesis ulang akan kemungkinan kekambuhan asma. Bila pasien tidak dapat datang pada jadwal yang telah ditentukan maka pasien akan dihubungi lewat telepon untuk mengatur jadwal ulang maksimal dua hari setelahnya. Penilaian yang dilakukan saat pasien datang kontrol tiap minggu adalah anamnesis ada tidak kekambuhan dalam 1 minggu terakhir, efek samping, pemeriksaan fisik, dan pengukuran APE. Pengisian kuesioner untuk penilaian skor gejala harian dan penggunaan agonis β2 dilakukan akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6.

Data yang diperoleh diolah melalui program komputer. Analisis deskriptif untuk masing-masing variabel. Penilaian perbedaan angka kekambuhan diantara kedua kelompok perlakuan digunakan uji X2 (Chi-square test). Kemaknaan statistik skor gejala

harian, pemakaian agonis β2 harian dan fungsi paru (APE) dilakukan uji t independen. Batas kemaknaan yang digunakan adalah 0,05 (Bila p < 0,05 dinyatakan bermakna) dan data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL

Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2008 dan diselesaikan pada Agustus 2008. Salah satu kendala yang dihadapi adalah pasien tidak datang kontrol kembali sehingga pasien tersebut dikeluarkan dari penelitian dan diganti dengan sampel yang baru. Alasan yang dikemukakan pasien umumnya adalah tidak sempat karena kesibukan, berada di luar kota, pasien sudah merasa lebih nyaman atau merasa sembuh sehingga merasa tidak perlu datang kembali dan masalah finansial. Pasien umumnya berasal dari poliklinik asma sebanyak 58 orang (73,4%) dan sisanya 21 orang (26,6 %) dari IGD. Salah satu penye-babnya adalah karena jumlah pasien yang menolak partisipasi atau mengalami drop out sebagian besar berasal dari pasien IGD. Umumnya pasien yang menolak atau drop out tersebut bukan pasien yang kontrol teratur di poliklinik asma RS Persahabatan. Pasien poli asma umumnya lebih suka datang di poli klinik asma dibandingkan ke IGD, kecuali di luar jam kerja. Hal ini menyebabkan penelusuran riwayat perjalanan penyakit lebih mudah diperoleh

(4)

karena pasien sudah mempunyai status rawat jalan sebelumnya. Sebagian besar penentuan derajat berat asma pasien diambil patokan dari kartu rawat jalan.

Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai perhitungan statistik adalah 86 sampel, tetapi dalam pelaksanaan hanya mencapai 79 sampel. Keseluruhan sampel yang disertakan dalam penelitian sebanyak 98 pasien, tetapi 19 orang di antaranya

drop out. Sampel dibagi dua secara random dan

hingga akhir penelitian jumlah masing-masing adalah 40 sampel untuk kelompok metilprednisolon 3x4 mg dan 39 untuk 3x12 mg. Sebanyak 79 pasien yang di amati pasien laki -laki sebanyak 17 orang (21,5%) dan perempuan 62 orang (78,5%). Kelompok metil-prednisolon 3x4mg terdiri atas 9 sampel laki-laki dan 31 sampel perempuan. Kelompok metilprednisolon 3x12 mg masing-masing terdiri atas 8 laki-laki dan 31 perempuan. Uji statistik dengan uji X2 atau

Chi-square menunjukkan distribusi pasien menurut jenis

kelamin terhadap dosis steroid tidak menunjukkan perbedaan yang berbeda bermakna (p = 0,113). Umur pasien rata-rata 41,82 tahun, umur tertinggi 55 tahun, dan terendah 18 tahun sedangkan tinggi badan rata-rata 156,63 sentimeter (cm), tertinggi 176 cm dan terendah 143 cm. Berat badan rata-rata 57,01 kilogram (kg), terberat 89 kg dan terendah 35 kg. Data umur, tinggi, dan berat badan berdistribusi normal sehingga dilakukan uji statistik t tes independen yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kedua kelompok.

Pengamatan dilakukan terhadap kekam-buhan, skor gejala harian, skor penggunaan agonis β2, dan pemeriksaan APE pada kedua kelompok.

Kekambuhan diamati 2 kali, yaitu dalam 2 minggu dan dalam 6 minggu. Skor gejala harian dan penggunaan agonis β2 dinilai di akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6 penelitian. Pada penelitian ini pengukuran APE pertama kali dilakukan sesaat sebelum dilakukan tatalaksana eksaserbasi. Pengukuran dilakukan 3 kali dan diambil nilai tertinggi. Pengukuran APE ke-2 dilakukan setelah tatalaksana eksaserbasi sebe lum pasien dipulangkan. Pengukuran APE yang ke-3 setelah pasien kontrol pada akhir minggu 1, pengu-kuran APE yang ke-4 pada akhir minggu ke-2 dan seterusnya hingga pengukuran APE yang terakhir pada akhir minggu ke-6 atau akhir penelitian.

Angka kekambuhan pada kedua kelompok

Pada setiap kunjungan pasien selain dilakukan pengukuran nilai APE juga dilakukan anamnesis ulang untuk melacak serangan ulang sesak napas atau kunjungan ke klinik untuk mencari pertolongan. Pada akhir penelitian (6 minggu) terdapat 24 pasien (30,4%) melaporkan telah terjadi kekambuhan, 14 orang (35,0%) dari kelompok dosis 3x4 mg, dan 10 orang (25,6%) dari kelompok dosis 3x12 mg. Absolut

risk reduction (ARR) dengan pemberian dosis 3 x 12

mg dibandingkan dosis 3x4 mg adalah 9,4%, relative

risk reduction (RRR) adalah 26,8% sedangkan number needed to threat (NNT) adalah 11. Jumlah

kekambuhan 6 minggu pada kelompok dosis 3 x 4 mg lebih tinggi dibandingkan kelompok dosis 3x12 mg, tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 0,509). Data kekambuhan kedua kelompok dalam 6 minggu terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kekambuhan dalam 6 minggu dan 2 minggu pengamatan pada kedua kelompok.

Variabel Dosis Kambuh Tidak kambuh p ARR/RRR

Kekambuhan dalam 6 minggu 3x12 mg 10(25,6%) 29(74,4%) 0,509 9,4%/26,8% 3x4 mg 14 (35%) 26(65,0%) Total 24(30,4%) 55(69,6%) Kekambuhan dalam 2 minggu 3x12 mgt 4(10,2%) 35(89,8%) 0,244 12,3%/54,7% 3x4 mg 9(22,5%) 31(77,5%) Total 13(16,4%) 66(83,6%)

(5)

Jumlah kekambuhan dalam 2 minggu pertama pada kelompok 3x12 mg adalah 4 orang (10,2 %) dan 10 orang (22,5 %) pada kelompok 3x4 mg dengan ARR 12,3%, RRR 54,7% dan NNT 8. Perbedaan angka kekambuhan dalam 2 minggu pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,244).

Minggu terjadinya kekambuhan

Dua puluh empat pasien yang mengalami ke kam buhan selanjutnya dikelompokkan menurut minggu terjadinya kekambuhan. Hasil menunjukkan bahwa kekambuhan tersering terjadi pada minggu ke-1 yaitu sebanyak 7 pasien (29,2%) diikuti minggu ke-2 sebanyak 6 pasien (25%). Secara keseluruhan kekambuhan total kedua kelompok yang terjadi dalam dua minggu pertama adalah 13 orang (54,2%). Kekambuhan pada minggu ke-3, ke-4 dan ke-6 masing-masing adalah 3 pasien (12,5%) dan paling sedikit minggu ke-5 yaitu 2 pasien (8%).

Rerata skor gejala harian

Penilaian skor gejala harian dilakukan 3 kali yaitu di akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6. Data rerata skor gejala harian dua kelompok yang diperoleh selanjutnya diuji dengan uji t independen. Rerata skor gejala harian kedua kelompok menunjukkan angka tertinggi pada akhir minggu ke-2 lalu menurun di akhir minggu ke-4 dan 6. Perbedaan rerata skor gejala harian pada akhir minggu ke-2 (skor gejala minggu 2) menunjukkan kelompok 3x12 mg lebih baik dan bermakna secara statistik (p=0,045). Rerata skor gejala harian akhir minggu ke-4 (skor gejala minggu 4) dan akhir minggu ke-6 (skor gejala minggu 6) kelompok 3x12 mg juga sedikit lebih baik dibandingkan kelompok 3x4 mg dan perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,945 dan 0,946).

Rerata skor pemakaian agonis β2

Pemeriksaan skor penggunaan agonis β2 pada tiap pasien dilakukan pada akhir minggu ke-2, 4 dan 6. Hasil menunjukkan bahwa rerata skor kelompok 3x12 mg lebih baik daripada kelompok 3x4 mg walaupun tidak bermakna secara statistik. Perbedaan rerata skor penggunaan agonis β2 paling besar terjadi pada akhir minggu ke-2 (3,03±0,74 vs 2,80±0,82 ; p = 0,205). Rerata skor penggunaan agonis β2 pada akhir minggu ke-4 dan ke-6 menunjukkan perbedaan yang lebih kecil (Tabel 3).

Rerata nilai APE pada kedua kelompok

Hasil pengukuran APE pada saat eksaserbasi (APE eksaserbasi) dan setelah tatalaksana eksa-serbasi sebelum pasien pulang (APE pulang) menunjukkan rerata APE kelompok 3x4 mg lebih tinggi, tetapi tidak bermakna secara statistik (p=0,564 dan p = 0,875). Rerata APE setelah dipulangkan menunjukkan kelompok 3x12 mg memiliki rerata APE lebih baik dibandingkan 3 x 4 mg. Selisih rerata APE terbesar adalah selisih pada akhir minggu ke-2 kelompok 3x12 mg lebih baik (297,03± 71,52) dibandingkan kelompok 3x4 mg (276,41± 68,61), namun tidak bermakna secara statistik (p=0,204). Rerata nilai APE setelah minggu ke-2 menurun pada kedua kelompok dan menunjukkan kelompok 3x12 mg lebih baik dibandingkan 3x4 mg tetapi tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).

Tabel 2. Minggu terjadinya kekambuhan.

Minggu Frekuensi Persen Persentase Persen kumulatifvaliditas

1 7 8,6 29,2 29,2 2 6 7,4 25 54,2 3 3 3,7 12,5 66,7 4 3 3,7 12,5 79,2 5 2 2,5 8 87,5 6 3 3,7 12,5 100 Total 24 29,6 100

Tabel 3. Rerata skor gejala harian dan skor pemakaian agonis β2 pada kedua kelompok.

Skor gejala 3 x 12mg 3 x 4 mg P

Rerata skor harian Minggu 2 9,95±1,95 9,02±2,09 0,045

Minggu 4 7,97±2,42 7,95±1,68 0,945

Minggu 6 7,92±1,38 7,90±1,65 0,946

Rerata skor pemakaian agonis β2 Skor β2 mg ke-2 3,03±0,74 2,80±0,82 0,205

Skor β2 mg ke-4 2,67±0,70 2,62±0,84 0,811

(6)

Tabel 4. Rerata nilai APE pada kedua kelompok.

3 x 12 mg 3 x 4 mg p APE eksaserbasi 143,33±33,43 147,75±34,23 0,564 APE pulang 259,74±64,99 262,00±62,27 0,875 APE minggu ke-1 279,44±71,59 268,72±64,90 0,489 APE minggu ke-2 297,03± 71,52 276,41± 68,61 0,204 APE minggu ke-3 291,39±73,80 274,36±67,11 0,299 APE minggu ke-4 285,41±75,08 272,31±66,98 0,424 APE minggu ke-5 283,89±70,28 274,32±67,15 0,554 APE minggu ke-6 282,70±72,52 273,59±64,34 0,564

Gambar 1. Rerata nilai APE pada kedua kelompok.

Efek samping yang terjadi

Pengamatan terhadap efek samping menun-jukkan keluhan yang timbul semua adalah keluhan pencernaan. Subjek yang mengalami efek samping berupa perih di ulu hati, kembung, dan mual se-banyak 9 orang (11,3%) terutama dari kelompok dosis 3x12 mg sebanyak 6 orang (15,3%) sedangkan dari kelompok 3x4 mg 3 orang (7,5%). Semua subjek yang mengeluh mual tersebut dapat diatasi keluhannya dan melanjutkan penelitian.

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan uji klinis bersifat acak terkontrol dengan memberikan dosis total metil pred-nisolon oral 36 mg (3 x 12 mg) sehari pada kelompok perlakuan dan 12 mg (3x4 mg) pada kelompok kontrol atau metilprednisolon oral dosis tinggi dan dosis rendah selama 2 minggu. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menilai efikasi pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg sehari dibandingkan 3 x 4 mg dalam menekan angka kekambuhan pasien asma pascaeksaserbasi. Tujuan lain adalah mengetahui pengaruh dosis metilprednisolon oral terhadap skor gejala harian, skor penggunaan agonis β2 harian serta APE tiap minggu. Selain itu, diamati pula minggu terjadinya

kekambuhan dan efek samping yang terlihat pada pasien.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Agar hasil yang diperoleh mendekati nilai objektif maka kriteria inklusi sampel penelitian dibatasi pada asma persisten sedang yang mengalami serangan akut sedang atau berat agar kriteria subjek yang ikut lebih homogen. Sampel lebih banyak berasal dari poliklinik asma dibandingkan IGD. Hal ini disebabkan pasien eksaserbasi di IGD banyak yang menolak partisipasi dan drop out karena umumnya bukan pasien tetap poliklinik asma RS Persahabatan. Selain itu pasien tetap poliklinik asma justru lebih menyu kai mencari pertolongan di poliklinik asma, kecuali bila terjadi eksaserbasi di luar jam kerja. Hal ini memudahkan pelaksanaan penelitian karena pasien yang datang di poliklinik asma umumnya dapat ditelusuri cacatan rekam medisnya dan relatif lebih lengkap dibandingkan catatan yang ada di IGD. Jumlah total drop out pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 19 orang (19,4 %). Data pasien juga menun-jukkan dari 19 pasien drop out sebagian besar yaitu 14 orang (73,7 %) adalah pasien yang diambil dari IGD.

Sampel yang memenuhi kriteria inklusi se-banyak 98, tetapi yang tidak drop out dan mengikuti penelitian hingga memiliki data cukup untuk diolah berjumlah 79 orang. Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 17:62. Perbandingan tersebut sesuai dengan proporsi pasien asma di masyarakat, pada usia pascapubertas pasien asma banyak dite-mukan pada perempuan.1,12 Sebaliknya, pada usia

anak-anak penderita laki-laki lebih banyak diban-dingkan perempuan.11 Selain itu, peneliti juga

men-dapatkan bahwa pasien laki-laki umumnya sibuk sehingga lebih sedikit yang mau berpartisipasi karena tidak punya cukup waktu luang ikut penelitian yang memerlukan kontrol tiap minggu. Hal tersebut juga menyebabkan jumlah drop out pasien laki-laki (13 orang) lebih banyak daripada perempuan (6 orang). Perbedaan proporsi jenis kelamin pada kedua kelom-pok tidak berbeda bermakna. Perbandingan rerata berat, umur dan tinggi badan pada kedua kelompok yang diteliti tidak berbeda bermakna. Hasil data dasar

300 290 280 270 260 250 240 pulang mgg 1 mgg 2 mgg 3 mgg 4 mgg 5 mgg 6 Kunjungan APE L/mnt 3x12 mg 3x4 mg

(7)

yang tidak berbeda bermakna tersebut menunjukkan kedua kelompok dapat disebandingkan.

Kekambuhan pada dua kelompok diamati pada 2 minggu serta 6 minggu penelitian dan data yang diperoleh diuji dengan uji chi-square. Menurut Emmerman11 terdapat variasi diantara para ahli

untuk menentukan periode waktu pengamatan yang tepat untuk menentukan kekambuhan. Periode yang lebih singkat (kurang dari 2 minggu) akan banyak dipengaruhi oleh proses eksaserbasi yang mungkin masih berlangsung dan fungsi paru yang belum pulih sepenuhnya, sedangkan periode yang lebih lama (lebih dari 2 minggu) dipengaruhi oleh kemungkinan eksaserbasi akibat pajanan baru.12 Atas dasar

per-tim bangan tersebut, maka penulis mengamati kekam-buhan di dua periode pengamatan yaitu 2 dan 6 minggu. Pada penelitian ini angka kekambuhan yang didapat selama observasi 6 minggu setelah di-pulangkan pada kelompok dosis 3 x 12 mg adalah 25,6% sedangkan kelompok dosis 3 x 4 mg adalah 35,0%. Hasil ini menunjukkan bahwa dosis 3 x 12 mg mg memiliki angka kekambuhan yang lebih rendah dengan absolute risk reduction (ARR) 9,4% dan

relative risk reduction (RRR) 26,8%. Perhitungan

sta tistik menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak ber-makna. Angka kekambuhan 6 minggu secara kumulatif pada penelitian ini adalah 30,4%. Emmerman11

menya-takan bahwa kekambuhan setelah lebih dari dua minggu dapat mencapai lebih dari 30%. Hasil ARR 9,4% menunjukkan dosis tinggi metilprednisolon oral mampu menekan risiko absolut kekambuhan sebesar 9,4% dibandingkan dosis rendah. Number needed to threat (NNT) pada kekambuhan 6 minggu adalah 11 yang berarti setiap pemberian dosis tinggi metilprednisolon oral terhadap 11 pasien akan mengurangi kekambuhan 1 pasien.

Angka RRR 26,8% menunjukkan bahwa bila kita menggunakan dosis tinggi metilprednisolon oral, risiko relatif dapat dikurangi hingga 26,8% atau lebih dari seperempat kekambuhan dibandingkan bila meng gunakan dosis rendah. Namun, hal ini memer-lukan sampel yang jauh lebih besar untuk dilakukan generalisasi terhadap populasi. Angka kekam buhan 2 minggu pada kelompok dosis 3x12 mg ad alah

10,2% (4 orang) dan kelompok 3x4 mg 22,5% (9 orang) dengan angka kekambuhan kumulatif adalah 16,4%. Uji statistik chi-square menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak bermakna (p=0,224). Husain8 pada

penelitian sebelumnya mendapatkan kekambuhan pada dosis metilprednisolon oral 3x4 mg adalah 25,6%, dosis 3x8 mg 17,9% dan kumulatif 21,7%. Penelitian lain dengan menggunakan prednison oral (dosis median 40 mg/hari selama 5-7 hari) dilakukan oleh Emmerman11 mendapatkan angka kekambuhan 2

minggu sebesar 17%. Perbedaan hasil ini disebabkan pene litian tersebut multisenter dan memasukkan semua tingkat eksaserbasi dan klasifikasi asma.

Ab-solut risk reduction pada penelitian ini adalah 12,3%

berarti lebih besar dibandingkan AAR kekambuhan 6 minggu. Relative risk reduction yang tinggi (54,7%) menunjukkan bahwa pemberian metilprednisolon oral dosis tinggi (3x12 mg) dapat menekan lebih dari setengah jumlah kekambuhan dibandingkan dosis rendah. Hal ini memerlukan penelitian dengan sampel jauh lebih besar untuk dapat digeneralisasikan pada populasi. Number needed to threat pada kekambuhan 2 minggu adalah 8 yang berarti setiap pemberian dosis tinggi metilprednisolon oral terhadap 8 pasien akan mengurangi kekambuhan 1 pasien.

Pengamatan terhadap minggu terjadinya ke-kam buhan menunjukkan keke-kambuhan tersering ter jadi pada minggu ke-1, yaitu sebanyak 29,2% (7 pasien) diikuti minggu 2 25,0% (6 pasien) lalu minggu ke-3, ke-4 ,ke-6 masing-masing 12,5% dan ke-5 8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan kekambuhan minggu pertama tertinggi dibandingkan minggu sesudahnya.6,9,11,13

Kekambuhan pada minggu pertama tertinggi diduga akibat belum selesainya masa pemulihan yang rata-rata berlangsung satu minggu.10

Hasil pengamatan terhadap skor gejala harian meliputi penilaian terhadap keluhan batuk, sesak, gejala malam dan keterbatasan aktivitas di-modifikasi dari kuesioner asthma control test (ACT). Modifikasi dibuat untuk memudahkan penerapan poin yang berhubungan dengan gejala pada ACT yaitu poin 1,2 dan 3 selain itu perlu dilakukan perubahan karena ACT diperuntukkan evaluasi bulanan dan

(8)

bukan 2 minggu seperti yang dilakukan penulis. Hasil pengamatan skor gejala harian pada kedua kelompok menunjukkan bahwa kelompok dosis 3x12 mg memiliki rerata lebih baik daripada dosis 3x4 mg yaitu minggu ke-2 (9,95±1,95 vs 9,02±2,09), minggu ke-4 (7,97±2,42 vs 7,95±1,68) dan minggu ke-6 (7,92±1,38 vs 7,90±1,65). Hasil ini kemudian diuji dengan uji t independen dan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata skor gejala harian antara kedua kelompok pada minggu ke-2 (p=0,045) sedang-kan pada minggu ke-4 dan ke-6 tidak bermakna (p=0,945 dan 0,946). Hasil pengamatan terhadap gejala harian asma ini sesuai dengan penelitian lain. Rowe16 melakukan penelitian metaanalisis untuk

mempelajari pengaruh kortikosteroid baik oral, in-halasi atau parenteral ternyata secara bermakna memperbaiki gejala harian dibandingkan dengan plasebo. Sementara itu penelitian Chapman14 tidak

menemukan perbedaan bermakna skor gejala harian pada pemberian prednison oral dosis 40 mg/ hari dengan tappering dibandingkan plasebo tetapi skor gejala kelompok prednison lebih baik. Levy15

melaporkan perbaikan skor gejala asma pada pasien pascaeksaserbasi dengan memberikan prednisolon oral dan tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang menggunakan inhalasi flutikason. Secara teori kortikosteroid akan mengurangi proses inflamasi selama eksaserbasi dan masa pemulihan sehingga akan memperbaiki gejala pascaeksaserbasi dan faal paru.15,16 Hal ini menerangkan mengapa perbedaan

rerata skor gejala harian pada minggu 2 lebih besar dan bermakna secara statistik mengingat bahwa metilprednisolon oral pada penelitian ini diberikan hingga 2 minggu.

Salah satu keluaran sekunder yang digu-nakan untuk menilai efikasi dosis metilprednisolon oral pada penelitian ini adalah penggunaan agonis β2 harian baik yang berupa tablet, kapsul, sirop maupun inhalasi. Skor yang digunakan juga diambil menggunakan kuesioner asthma control test (ACT) poin ke 4 dengan sedikit modifikasi. Pengamatan dilakukan seperti untuk skor gejala harian yaitu pada akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6. Hasil rerata

skor pada kedua kelompok kemudian diuji dengan menggunakan uji t independen. Hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Hasil rerata skor penggunaan agonis β2 harian dalam 3 kali pengamatan tersebut menunjukkan kelompok dosis 3 x 12 mg sedikit lebih baik daripada dosis 3 x 4 mg terutama pada 2 minggu pertama. Rowe 16 pemberian kortikosteroid

menu runkan penggunaan agonis β2 harian secara bermakna dibandingkan plasebo. Penelitian Chapman14

juga menunjukkan pemberian steroid oral prednison dosis 40 mg/hari memperbaiki skor penggunaan agonis β2 harian secara bermakna dibandingkan plasebo. Penelitian metaanalisis yang dilakukan Edmond dkk.17 mendapatkan bahwa skor penggunaan agonis

β2 harian kelompok steroid oral tidak berbeda bermakna dengan kelompok steroid inhalasi. Secara teori peng-gunaan agonis β2 tergantung gejala yang dialami pasien. Pada penelitian ini skor gejala harian yang berbeda bermakna pada 2 minggu pertama ternyata tidak diikuti perbedaan bermakna skor penggunaan agonis β2 harian. Hal ini kemungkinan disebabkan sebagian pasien secara psikologis sudah terbiasa dengan dosis dan jadwal penggunaan agonis β2 harian yang sudah dijalaninya sejak lama.

Pada penelitian ini dilakukan pula APE pada kedua kelompok sebagai salah satu tujuan sekunder. Pengukuran rerata nilai APE saat se rangan dan sesaat sebelum pasien dipulangkan menun jukkan tidak terdapat perbedaan bermakna. Pengukuran nilai APE kedua kelompok pada saat sebelum tatalaksana diberikan maupun setelah tata laksana menunjukkan peningkatan yang tidak berbeda bermakna. Pengukuran APE selanjutnya dilakukan tiap akhir minggu setelah pasien dipulang kan, pasien akan melakukan pengu-kuran APE sebanyak 6 kali. Pengupengu-kuran dilakukan pada tiap hari ke-7 setelah pasien dipulangkan atau paling lambat dua hari setelahnya. Hasil rerata nilai APE minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-6 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, tetapi rerata nilai APE kelompok 3x12 mg secara konsisten lebih baik daripada kelompok 3x4 mg. Husain8 juga mene mukan

(9)

prednisolon dosis lebih tinggi tetapi tidak bermakna secara statistik. Suatu studi metaanalisis yang dilakukan Rodrigo12 menyatakan bahwa pemberian

steroid oral, parenteral maupun inhalasi pada asma akut akan meningkatkan APE secara bermakna dibandingkan plasebo dan hal yang sama dinyatakan Rowe.16 Rodrigo12 juga menyatakan peningkatan

dosis steroid dengan dosis medium atau tinggi meningkatkan APE dibandingkan dosis rendah, tetapi secara statistik tidak bermakna. Penelitian Webb18 dengan menggunakan 3 dosis pred nisolon

oral berbeda yaitu dosis rendah, sedang, dan tinggi menemukan terdapatnya hubungan bermakna ke-naikan dosis dengan keke-naikan APE. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pemberian steroid akan mengurangi inflamasi selama eksaserbasi sehingga memperbaiki faal paru.9,10,14,18

Angka kejadian efek samping merupakan hal yang juga perlu diamati pada terapi steroid sistemik. Secara teoritis penggunaan steroid jangka pendek relatif aman dibandingkan jangka panjang. Kepustakaan menyatakan bahwa penggunaan steroid oral kurang dari 3 minggu tidak menyebabkan supresi adrenal yang berarti sehingga tidak memerlukan

tappering off.10,15,18 Efek samping penggunaan jangka

pendek umumnya adalah efek samping minor dan segera menghilang saat terapi dihentikan.15

Kelu-han yang tersering diantaranya adalah keluKelu-han pencernaan akibat iritasi lambung seperti kembung, mual dan perih di ulu hati.

Pada penelitian ini angka kejadian efek samping pencernaan terjadi pada 9 orang (15,3 %) yaitu 6 orang dari kelompok 3x12 mg dan 3 orang (7,5 %) dari kelompok 3x4 mg. Semua subjek yang mengalami keluhan pencernaan diberi terapi proton

pump inhibitor (PPI) omeprazol 2x20 mg, bila perlu

metoklopropamid 3x1 tablet dan semua melanjutkan penelitian. Penelitian sebelumnya oleh Husain8

mene-mukan efek samping pencernaan lebih besar yaitu 15,7 %. Studi metaanalisis yang dilakukan Rowe16

menemukan bahwa efek samping jarang sekali terjadi (3 %). Diaz19 mengatakan bahwa penggunaan steroid

jarang menimbulkan efek samping pada pasien tanpa riwayat penyakit dasar saluran cerna atas dan

dihindari penggunaan berbarengan dengan obat anti in flamasi non-steroid (NSAID). Angka kejadian efek samping pencernaan 11,3 % menunjukkan bahwa penggunaan dosis tinggi metilprednisolon oral selama 2 minggu meningkatkan efek samping keluhan pen-cernaan dua kali dibandingkan dosis rendah.

Salah satu kelemahan penelitian ini adalah tidak diperhitungkannya berbagai faktor yang di duga dapat mempengaruhi kekambuhan pasca eksa-serbasi. Em merman13 menyatakan bahwa berbagai

faktor seperti riwayat kunjungan ke IGD satu tahun terakhir, lama gejala eksaserbasi sebelum berkunjung ke IGD, penggunaan berbagai macam obat asma termasuk menggunakan nebuliser di rumah, peng-gu naan steroid inhalasi dosis tinggi, kontrol tidak teratur, dan memiliki pencetus asma multipel ber-hubungan dengan mening katnya kekambuhan pasca-eksaserbasi dan disebut faktor risiko tinggi. Penulis mengu sulkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penga ruh dosis metilprednisolon oral pada pasien asma pasca eksaserbasi dengan riwayat berbagai faktor tersebut.

KESIMPULAN

Pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg selama 2 minggu menurunkan angka kekambuhan dalam 2 dan 6 minggu pascaeksaserbasi pada pasien asma persisten sedang dibandingkan 3x4 mg, tetapi secara statistik tidak bermakna. Pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg selama 2 minggu memberikan skor gejala asma harian lebih baik secara bermakna pada 2 minggu pascaeksaserbasi pada pasien asma persisten sedang dibandingkan 3x4 mg, tetapi tidak bermakna pada 4 dan 6 minggu pascaeksaserbasi. Pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg selama 2 minggu memberikan skor penggunaan agonis β2 lebih baik dan nilai APE lebih tinggi pada pasien asma persisten sedang pascaeksaserbasi dibandingkan 3x4 mg tetapi secara statistik tidak bermakna. Sebaiknya digunakan metilprednisolon oral dosis 3x4 mg pada pasien asma persisten sedang pascaeksaserbasi karena tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada angka kekambuhan, skor gejala harian,

(10)

skor penggunaan agonis β2,dannilai APE pada kedua kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar CA, Soewarta DKS, Mangunnegoro H. Asma di unit gawat darurat. J Respir Indo. 1996;4:147-52.

2. Mahadevan M, Jin A, Manning P, Lim TK. Emer-gency department asthma: compliance with an evidence-based management algorithm. Ann Acad Med Singapore. 2002.31(4):419-24.

3. Rabe KF, Vermeire PA, Soriano JB, Maier WC. Clinical Management of asthma in 1999: the asthma insights and reality in Europe (AIRE) study. Eur Respir J. 2000;16:802-7.

4. Taylor DM, Aubie TE, Calhoun WJ, Mosesso VN. Current outpatient management of asthma shows poor compliance with international consensus guidelines. Chest. 2000;116:1638-45.

5. Farid M. Penilaian berat serangan asma akut untuk menen tukan indikasi rawat di Rumah Sakit Persahabatan. Tesis: Bagian Pulmonologi FKUI. 1983.

6. Miller KE. Assessing relapse potential in patients with asthma. AAFP 1999;60(3):979-80.

7. Lanes SF, Garret JE. Systemic corticosteroid. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thomson NC eds. Asthma. 4th edition. London: Arnold; 2000. p. 323-4. 8. Husain B, Yunus F, Wiyono WH. Angka kekam-buhan asma pascaeksaserbasi akut setelah pem-berian metilprednisolon serta faktor-faktor yang mempengaruhi. J Respir Indo. 2004;24:52-64. 9. Rodrigo C, Rodrigo G. Treatment of acute

asthma. Chest. 1994;106:1071-6.

10. Clark TJH, Cagnani CB, Bousquet J, Busse WW, Fabbri L, Grouse L, et al. Asthma management program. In: Global initiative for asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. NHBLI, WHO. 2002. p.95-132.

11. Emmerman CL, Woodruff PG, Cydulka RK, Gibbs MA, Pollack CV, Cammargo CA. Prospective multi center study of relapse following treatment for acute asthma among adult presenting to the emergency department. Chest. 1999;115:919-27. 12. Lederle FA, Pluhar RE, Joseph AM, Niewoehner

DE. Tapering of corticosteroid therapy following exacerbation of asthma. A randomized, double-blind, placebo controlled trial. Arch Intern Med. 1987;147:2201-3.

13. Barr RG, Woodruff PG, Clark S, Camargo CA. Sudden onset asthma exacerbations: clinical fea-tures, responsse to therapy and 2 weeks follow up. Eur Respir J. 2000;15:266-73.

14. Chapman Kr, Verbeek PR, White JG, Rebuck AS. Effect of a short course of prednisone in the prevention or early relapse after the emergency room treatment of acute asthma. N Engl J Med. 1991;324:788-94.

15. Levy ML, Stevenson C, Maslen T. Comparison of short courses of oral prednisolone and fluticasone proprionate in the treatment of adults with acute exacerbations of asthma in primary care. Thorax. 1996;51:1087-92.

16. Rowe BH, Spooner C, Ducharme F, Bretzlaff J, Bota G. Corticosteroid for preventing relapse following acute exacerbations of asthma. Cochrane Data Base Of Systematic reviews 2007, Issue 3. 17. Edmonds ML, Camargo CA, Brenner BE, Rowe BH.

Replacement of oral corticosteroids with inhaled corticosteroids in the treatment of acute asthma following emergency department discharge. A meta-analysis. Chest. 2002;12:1798-805.

18. Webb JR. Dose responss of patients to oral corticosteroid treatment during exacerbations of asthma. Br Med J. 1986;292:1046-7.

19. Diaz SH, Rodriquez LAG. Steroids and risk of upper gastrointestinal complications. Am J Epidemiol. 2001;153:1089-93.

Gambar

Tabel 1.  Kekambuhan dalam 6 minggu dan 2 minggu pengamatan pada kedua kelompok.
Tabel 3. Rerata skor gejala harian dan  skor pemakaian agonis β 2  pada kedua kelompok.
Tabel 4. Rerata nilai APE pada kedua kelompok.

Referensi

Dokumen terkait

”coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah bapak yang lalu, apa yang bapak lakukan kalau perasaan marah itu muncul?”, dan jangan lupa cara mengatasi seperti yang

12 Cukup mampu melakukan pengawasan walau kadang terjadi 9 Kurang mampu melakukan pengawasan, sering terjadi kesalahan 6 Tidak mampu melakukan pengawasan karena kadang terjadi

Penelitian ini merupakan studi kasus penerjemah tuna netra. Tujuannya adalah untuk 1) mengidentifikasikan dan mendeskripsikan proses, strategi dan pendekatan

Pendamping desa, dalam rangka memfasilitasi tumbuhnya ketaatan dan kepastian hukum dalam tata kehidupan di desa, akan lebih mudah mewujudkannya jikalau dapat mengembangkan

tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah dilakukan Terapi SSBM 0,003 (&lt;0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada terdapat pengaruh terapi Slow Stroke Back

Ada juga ketika yang lain serius untuk belajar dan mengerjakan tugas, ada yang ramai agar dapat menarik perhatian guru.”58 Pernyataan di atas juga diperkuat dengan adanya

Inflasi tahun kalender ibukota provinsi di Pulau Jawa tertinggi terjadi di Kota Serang sebesar 0,73 persen, diikuti Kota Surabaya sebesar 0,62 persen, Kota

Setelah melakukan ketiga pengujian tersebut terhadap kedua model penelitian, maka kesimpulannya adalah kedua model penelitian menggunakan random effect model