• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, sesuai dengan rumusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, sesuai dengan rumusan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

97

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Wilayah Kabupaten Banyumas secara geografis terletak diantara 108ᵒ 39’ 17”-109ᵒ 27’ 15” BT dan 7ᵒ 15’ 05”-7ᵒ 37’ 10” LS. Wilayah Kabupaten Banyumas merupakan wilayah yang subur. Hal tersebut tak terlepas dari keberadaan Sungai Serayu yang membelah wilayah Banyumas menjadi dua bagian. Selain itu, keberadaan gunung Slamet juga mempengaruhi tingkat kesuburan tanah di wilayah Banyumas. Kabupaten Banyumas merupakan wilayah yang mempunyai bentuk permukaan tanah yang beragam, banyak pegunungan yang ada di Kabupaten Banyumas, tidak terkecuali di Kota Banyumas sendiri. Kota Banyumas sebagai pusat pemerintahan kabupaten dan karesidenan merupakan kota yang dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan. Dengan kondisi demikian maka Kota Banyumas menjadi sebuah kota yang wilayahnya cukup terisolir. Akses transportasi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam perkembangan Kota Banyumas. Perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto pada dasarnya merupakan sebuah proses yang panjang. Krisis ekonomi global yang terjadi pasca Perang Dunia I memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian di Hindia Belanda. Akibatnya pemerintah

(2)

kolonial Belanda pun mengalami defisit keuangan yang membuat mereka melakukan kebijakan penghapusan dan penggabungan daerah-daerah administrasi pemerintahan daerah untuk mengurangi pengeluaran keuangan mereka. Melalui staatblad tahun 1935 nomor 632 dituliskan keputusan Gubernur tanggal 31 Desember tahun 1935 tentang penghapusan wilayah Kabupaten Purwokerto. Dengan dihapuskannya status Kabupaten Purwokerto, maka kemudian wilayah Kabupaten Purwokerto berada dibawah naungan Kabupaten Banyumas, kecuali wilayah kecamatan Purworejo yang kemudian masuk kedalam wilayah Kabupaten Banjarnegara.

Pada akhir abad ke 19 dunia transportasi di Hindia Belanda, khususnya trasnportasi darat mengalami perkembangan dan modernisasi yang begitu pesat. Perkembangan transportasi di wilayah Karesidenan Banyumas pun tak lepas dari dampak modernisasi tersebut. Diawali pada tahun 1895 pemerintah kolonial Belanda menandatangani nota kesepakatan kerja sama dengan perusahaan trem swasta untuk memberikan ijin pengoperasian Serajoedal Stoomtran Maatshappij (SDS) mengeksploitasi wilayah lembah Sungai Serayu.Dengan nota kesepakatan kerja sama tersebut, maka kemudian dibangunlah jalur-jalur trem untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan di sekitar lembah Sungai Serayu. Pembangunan jalur trem ini bertujuan untuk mempercepat akses trasportasi darat terutama untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti tebu, kopi dan tembakau. Pembangunan jalur-jalur trem tersebut memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan ekonomi di

(3)

Karesidenan Banyumas. Pengangkutan barang-barang hasil pertanian menjadi lebih cepat dan efisien. Pemerintah kemudian menginginkan pembangunan jalur trem dilakukan di wilayah Kota Banyumas. Pemerintah kolonial kemudian mengajukan permohonan kepada Serajoedal Stoomtran Maatshappij (SDS) untuk membangun jalur trem yang melewati Kota Banyumas. Dengan alasan kondisi medan yang sulit, karena Kota Banyumas dikelilingi bukit-bukit dan dilewati Sungai Serayu, pihak SDS menolak untuk melakukan pembangunan jalur trem tersebut. Sebab, jika pembangunan itu tetap dilakukan, maka hanya akan menimbulkan kerugian ekonomi. Tanpa adanya jalur trem di Kota Banyumas, kondisi Kota Banyumas khususnya lalu lintas di Sungai Serayu mulai sepi. Keadaan Kota Banyumas yang mulai sepi, kemudian diperparah dengan dibangunnya jalur kereta api Batavia-Vorstenlanden dan melalui Purwokerto yang dilakukan oleh perusahaan staatsporwegen (SS). Dengan dibangunnya jalur kereta api tersebut, maka dibangun pula stasiun di Purwokerto. Dengan kondisi tersebut maka pengusaha-pengusaha pemilik kantor-kantor dagang yang dahulu sangat bergantung terhadap trasnportasi di Sungai Serayu mulai memindahkan kantor-kantor mereka ke daerah Purwokerto yang telah memiliki akses transportasi lebih memadai. Lambat laun kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kejayaan Kota Banyumas. Kota Banyumas yang awalnya ramai dengan statusnya sebagai ibukota pemerintahan, lambat laun menjadi sepi. Kota Banyumas tidak lagi mampu mengikuti perkembangan dan modernisasi

(4)

trasnportasi, yang saat itu menjadi hal paling utama dalam perkembangan perekonomian daerah perkotaan. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa faktor modernisasi transportasilah yang kemudian menjadi faktor utama yang melatarbelakangi pemerintah kolonial memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto. Faktor kondisi geografis dimana Kota Banyumas merupakan wilayah yang cukup terisolasi karena dikelilingi pegunungan dan dilewati Sungai Serayu bukanlah menjadi faktor utama pemerintah kolonial Belanda memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Purwokerto. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan fakta yang terjadi bahwa Kota Banyumas nyatanya telah menjadi pusat pemerintahan yang cukup lama. Bahkan sebelum pemerintah kolonial Belanda membentuk Banyumas sebagai karesidenan pada tahun 1831. Demikian pula faktor krisis ekonomi global yang berdampak pula terhadap perekonomian di wilayah Banyumas. Faktor tersebut menurut penulis hanyalah sebagai faktor pendukung atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto. Namun demikian semua factor tersebut tidak bisa dipisahkan satu per satu, karena semua factor tersebut pada dasarnya juga saling berkaitan.

2. Rumusan masalah yang kedua adalah tentang bagaimana proses perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dapat diperoleh jawaban sebagai berikut. Kebijakan pemerintah kolonial untuk

(5)

memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto pada dasarnya merupakan sebuah proses yang panjang. Dalam catatan arsip yang ditulis oleh residen Banyumas W.Ch. Adrians disebutkan bahwa usul pemindahan pusat pemerintahan tersebut sudah muncul pada tahun 1896. Usulan tersebut disampaikan oleh Mullemeister. Usulan pemindahan tersebut berkaitan dengan kekosongan jabatan Bupati Purbalingga. Hampir seperempat abad kemudian tepatnya pada akhir tahun 1928-an wacana pemindahan pusat pemerintahan tersebut kembali muncul. Wacana tersebut muncul sebagai akibat dibukanya jalur rel kereta api Cirebon-Kroya yang melewati Purwokerto pada Januari 1928. Dengan dibukanya jalur kereta api tersebut, Kota Purwokerto menjadi semakin ramai, sebaliknya Kota Banyumas berangsur-angsur mulai sepi. Pada awal tahun 1930-an pada masa pemerintahan Residen W. Ch. Adrians wacana tentang penggabungan dan perpindahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto telah menjadi isu yang cukup hangat dikalangan pemerintahan. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi pemerintah kolonial Belanda yang saat itu sedang berusaha melakukan penghematan untuk menghadapi krisis ekonomi global. Selain itu, kondisi yang semakin ramai di Kota Purwokerto juga menjadi salah satu alasan yang sangat dipertimbangkan. Residen Banyumas W. Ch. Adrians pada 4 Februari 1933 menulis sebuah surat rahasia yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah terkait dengan rencana pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto. Dalam surat

(6)

tersebut dituliskan tentang dinamika yang terjadi di Banyumas ketika ada wacana pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto. Kemudian dalam surat tersebut juga dituliskan tentang pandangan dari W. Ch. Adrians terkait dengan pemindahan pusat pemerintahan tersebut.

Wilayah pemerintahan Karesidenan Banyumas pada sekitar tahun 1930-an mengalami beberapa perubahan. Hal ini diakibatkan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, terutama untuk merespon kondisi ekonomi yang pada saat itu mengalami krisis yang luar biasa. Krisis ekonomi global yang mengakibatkan bangkrutnya keuangan pemerintah kolonial. Bahkan di wilayah karesidenan Banyumas, beberapa pabrik gula mengalami kebangkrutan, dan terpaksa harus ditutup. Dengan kondisi tersebut pemerintah kolonial Belanda berusaha melakukan penghematan dalam pengeluaran kas negara. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan melakukan penyusutan jumlah daerah-daerah pemerintahan. Baik itu daerah setingkat kecamatan maupun kabupaten. Strategi yang digunakan adalah dengan melakukan penghapusan atau penggabungan wilayah-wilayah tersebut. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mengeluarkan peraturan yang tertulis dalam staatsblad tahun 1934 nomor 682 yang menjelaskan keputusan Gubernur nomor 22 tanggal 13 Desember 1934. Dalam staatsblad tersebut dijelaskan bahwa pemerintah diharuskan melakukan penghematan, sehingga kemudian mulai tanggal 1 Januari 1935 dilakukan perubahan pembagian wilayah

(7)

administrasi di Karesidenan Banyumas. Wilayah Kabupaten Banyumas, yang didalamnya terdapat distrik Banyumas kemudian digabung dengan wilayah distrik Sokaraja. Sebagai akibat dari penggabunan tersebut maka kemudian status kecamatan Somagede dan kecamatan Kalibagor dihapuskan, dan muncul distrik baru yaitu distrik Sumpiuh. Melalui staatblad tahun 1935 nomor 632 dituliskan keputusan Gubernur tanggal 31 Desember tahun 1935 tentang penghapusan wilayah Kabupaten Purwokerto. Dengan dihapuskannya status Kabupaten Purwokerto, maka kemudian wilayah Kabupaten Purwokerto berada dibawah naungan Kabupaten Banyumas, kecuali wilayah kecamatan Purworejo yang kemudian masuk kedalam wilayah Kabupaten Banjarnegara.

Peristiwa perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto merupakan sebuah peristiwa yang besar. Oleh karena itu pemerintah di Banyumas mulai dari Residen sampai Bupati dan pegawai-pegawai lainnya telah menyiapkan upacara yang meriah untuk merayakan pindahnya bupati Banyumas ke Purwokerto. Peristiwa upacara perpindahan tersebut pun dikabarkan oleh beberapa surat kabar di Jawa Tengah. Seperti surat kabat Djawa Tengah dan surat kabar Matahari. Ada yang menarik dari sumber surat kabar dan sumber foto yang penulis peroleh. Yaitu tentang perbedaan informasi yang ada baik yang tertulis di surat kabar dengan informasi yang ada di foto maupun informasi yang penulis peroleh dari buku yang penulis baca. Pada surat kabar Djawa Tengah (11 Januari 1937) dan

(8)

Matahari (9 Januari 1937) diberitakan bahwa upacara peresmian pemakaian kantor kabupaten yang baru di Kota Purwokerto sekaligus perpindahan bupati ke Purwokerto dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 1937. Sedangkan dari sumber foto yang penulis peroleh dapat dilihat dengan jelas bahwa perayaan upacara perpindahan pusat pemerintahan tersebut dilaksanakan pada tahun 1937. Dimana pada tanggal 7 Januari tersebut diadakan pawai dan arak-arakan oleh masyarakat Banyumas dan Purwokerto. Dengan data tersebut maka penulis berpendapat bahwa upacara perpindahan pusat pemerintahan tersebut memang dilakukan pada tanggal 6 Januari, kemudian pada tanggal 7 Januari baru diadakan perayaan atas peristiwa perpindahan pusat pemerintahan tersebut.

Satu hal yang menarik dari proses perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto ini adalah proses pemindahan pendopo Si Panji. Pendopo Si Panji merupakan simbol pemerintahan kabupaten Banyumas. Masyarakat Banyumas secara turun-temurun mempercayai bahwa pendopo Si Panji merupakan bangunan yang sakral. Terutama pada bagian ke empat tiang utama penyangga bangunan pendopo tersebut, yang masyarakat umumnya menyebutnya dengan saka guru. Pemindahan pendopo Si Panji ke Kota Purwokerto dilakukan tanpa menyeberangi Sungai Serayu. Artinya harus memutar menyusuri Sungai Serayu melalui Wonosobo terus ke utara sampai Karesidenan Pekalongan hingga kemudian sampai di Purwokerto. Masyarakat berkeyakinan, bahwa

(9)

memindahkan pendopo Si Panji ke Purwokerto dengan menyeberangi Sungai Serayu merupakan sebuah pantanagan dari leluhur-leluhur.

3. Rumusan masalah yang ketiga adalah tetang bagaimana kondisi Kota Banyumas pasca perpindahan pusat pemerintahan ke Kota Purwokerto. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat diperoleh jawaban sebagai berikut. Pasca peristiwa perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto, Kota Banyumas sebagai pusat pemerintahan terdahulu semakin mengalami kemunduran. Perekonomian di Kota Banyumas seolah tidak pernah berkembang pesat lagi sebagaimana Kota Purwokerto. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto tahun 1937 menjadi sebuah titik balik bagi perekonomian di Kota Banyumas. Perekonomian di Kota Banyumas seolah menjadi “mati suri” tidak pernah berkembang lagi. Walaupun kemunduran perekonomian di Kota Banyumas sudah mulai dirasakan sejak berkembangnya trasnsportasi darat tepatnya sejak dibangunnya jalur trem dan kereta api yang melewati Kota Purwokerto. Namun demikian, dengan dipindahnya pusat pemerintahan kabupaten, karesidenan serta simbol sakral pemerintahan Kabupaten Banyumas yaitu pendopo Si Panji, semakin mempertegas keterpurukan perekonomian Kota Banyumas. Kota Banyumas seolah berubah menjadi kota yang tidak memiliki arti yang penting lagi bagi pemeritah kolonial. Hal tersebut dikarenakan kantor-kantor perusahaan baik milik pemerintah maupun kantor-kantor

(10)

perusahaan swasta semakin tegas meninggalkan Kota Banyumas dan berpindah ke Purwokerto yang dianggap mempunyai prospek perekonomian lebih baik. Dengan semakin sepinya aktifitas pemerintahan, maka hal tersebut mengakibatkan semakin sepinya pula aktifitas ekonomi di Kota Banyumas. Pasar di Kota Banyumas yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pusat perekonomian Kota Banyumas pun semakin sepi. Aktifitas perekonomian yang sebelumnya banyak pula melibatkan orang-orang non pribumi, setelah Banyumas tidak lagi menjadi pusat pemerintahan maka aktifitas perekonomian di pasar lebih banyak melibatkan orang-orang pribumi. Sehingga aktifitas perekonomian di pasar Banyumas pun tidak pernah berkembang pesat sepeti halnya yang terjadi di Kota Purwokerto. Perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto yang terjadi pada tahun 1937 memberikan dampak yang besar terhadap kondisi pemerintahan yang ada di Kabupaten Banyumas. Pasca peristiwa perpindahan pusat pemerintahan tersebut pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan sebuah kebijakan tentang wilayah pemerintahan Kabupaten Banyumas. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Juni 1937. Kebijakan tersebut tertuang dalam staatsblaad no. 343 tahun 1937 dan menerangkan bahwa wilayah pemerintahan Kabupaten Banyumas terdiri dari: Distrik Banyumas, yang membawahi daerah Banyumas, Sokaraja, Kebasen dan Patikraja, Distrik Sumpiuh, yang membawahi daerah Sumpiuh, Kemranjen, dan Tambak, serta Distrik Purwokerto yang membawahi daerah

(11)

Purwokerto, Kebumen, Kembaran dan Subang. Dengan kebijakan yang tertuang dalam staatsblaad no. 343 tahun 1937 tersebut maka secara sah Kota Banyumas tidak lagi berstatus sebagai ibu kota kabupaten maupun ibu kota karesidenan. Kota Banyumas hanya berstatus sebagai distrik dan sebagai ibu kota Kecamatan Banyumas. Meskipun kantor Kareseidenan Banyumas pada tahun 1937 masih berada di Kota Banyumas, akantetapi hal tersebut terjadi hanya karena kantor karesidenan yang ada di Kota Purwokerto belum selesai pemabangunannya. Sehingga Residen Banyumas saat itu H.G.F. van Huls tidak bisa langsung bersama-sama Bupati Banyumas R.A.A Soedjiman Gandasoebrata pada 6 Januari 1937 langsung pindah ke Kota Purwokerto. Residen Banyumas selama pembangunan gedung karesidenan belum selesai masih tetap tinggal di Kota Banyumas. Pasca perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto, pemerintahan di Kota Banyumas dipimpin oleh seorang camat. Tempat yang digunakan sebagai kantor pemerintahan adalah bekas kompleks pemerintahan kabupaten. Secara fisik tidak terjadi perubahan yang berarti terhadap kompleks kantor pemerintahan.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anastasius Daliman. (2001). Sistem Politik dan Administrasi Pemerintah Hindia-Belanda. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kab. Banyumas. (2002). Banyumas dalam Angka, Purwokerto: Anyar Offset.

Bambang S. Purwoko. (2012). Sejarah Banyumas. Purwokerto: Graha Ilmu.

Budiono Herusatoto. (2008). Bayumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta: LKiS.

Gallion B. Arthur dan Eisner Simon Faia, APA, AICP. (1996). The Urban Pattern, City Planning and Design, Fift Edition. (Terjemahan Ir. Sussongko dan Ir. Januar Hakim). Buku Pengantar Perancangan Kota, Desain dan Perencanaan Kota, Edisi Lima Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Gootschalk Louis. (1975). Understanding history. Terj. Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Hasan Shadily. (1984). Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Helius Sjamsuddin. (2012). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. I Gede Widja. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam

Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Jurusan Pendidikan Sejarah. (2006). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY.

Kaswadi Harjosewoyo. (2010). Patikraja Sedjarahmu Tempoe Doeloe hingga era Reformasi. Banyumas: tanpa keterangan penerbit.

(13)

Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Nugroho Notosusanto. (1971). Norma-Norma dan Penelitian Sejarah. Jakarta: Dephankam.

_______ (1978). Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer Suatu Pengalaman. Jakarta: Yayasan Idayu.

Sri Margana dan M. Nursam. (2010). Kota-kota di Jawa, Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: Ombak.

Sugeng Priyadi. (2007). Sejarah Intelektual Banyumas. Yogyakarta: Aksara Indonesia.

Soerjono Soekanto. (1986). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Sutherland Heather. (1983). Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan.

Soegeng Wijono dan Sunardi. (2006). Banjoemas Riwajatmoe Doeloe. Purwokerto: Daya Mandiri Production.

Wikantiyoso Respati. (Tanpa Tahun). Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota. Yogyakarta: Perpustakaan UGM.

R. Wirjaatmadja dan R. Poerwasoepradja. (1932). Babad Banjoemas. Banjoemas: tanpa penerbit.

ARTIKEL DALAM BUKU

Prima Nurahmi Mulyasari. (2010). “Runtuhnya Suatu Kejayaan: Kota Banyumas 1900-1937”. Dalam Sri Margana dan M. Nursam. KotaKota di Jawa, Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: Ombak. hlm. 19-33.

KARYA TULIS ILMIAH

Dina Dwikurniarini. 1999. “Epidemi di Karesidenan Banyumas Tahun 1870-1940”. Tesis. Jurusan Sejarah FIB UGM.

(14)

Prima Nurahmi Mulyasari. 2006. “Dari Ibu Kota Kabupaten ke Ibu Kota Karesidenan: Purwokerto 1900-1942”. Skripsi. Jurusan Sejarah FIB UGM.

Purnawan Basundoro. 1999. “Transportasi dan Eksploitasi Ekonomi di Karesidenan Banyumas Tahun 1830-1940”. Tesis. Program Pascasarjana UGM.

ARSIP

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Staatsblad tahun 1929 no. 242. tentang Pembentukan Pemerintahan, Desentralisasi Kabupaten-Kabupaten Jawa Tengah, Petunjuk Kabupaten-Kabupaten Banyumas menjadi Kota Mandiri, Batavia: 1929.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Staatsblad tahun 1935 no. 631. tentang Pembentukan Pemerintahan, Desentralisasi Kabupaten-Kabupaten Jawa Tengah, Peraturan hukum publik akibat-akibat dari penghapusan Kabupaten Purwokerto dan penggabungan wilayah itu dengan Kabupaten Banyumas, yang mana kabupaten dari distrik Purworejo digabung dengan Kabupaten Banjarnegara. Batavia: 1935. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Staatsblad tahun 1935 no. 632. Tentang Urusan Dalam Negeri Jawa Tengah, Setelah prnunjukan administrasi pembagian provinsi Jawa Tengah sehubungan dengan penghapusan Kabupaten Karanganyar, Batang,dan Purwokerto. Batavia: 1935.

H.G.F. van Huls, Memorie van Overgave Residen van Banjoemas 1936, microfilm seri 2e reel 6, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). J. J Helsdingen, “Memori Residen Banyumas, 14 Mei 1928 ” Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah), Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977.

M. J. van der Pauwert. 1925. Memori Residen Banyumas, 24 Oktober 1925 ” Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah), Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977.

W. Ch. Adrians, Memorie van Overgave Residen van Banjoemas 1933, microfilm seri 2e reel 6, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

(15)

SURAT KABAR

_______ (1937). Regent Poerwokerto, Oepatjara Pemakean Kaboepaten Jang Baroe Dibikin Betoel. Djawa Tengah. Senen, 11 Janoeari 1937, hlm. 2.

_______ (1937). Regent Poerwokerto, Oepatjara Pemakean Kaboepaten Jang Baroe Dibikin Betoel. Matahari. Sabtu, 9 Januari. 1937, hlm. 2.

INTERNET

http://www.banjoemas.com/20/11/13/ibukotabanyumas.html) 11/22/13. http:// eyang-nardi.blogspot/25/5/14.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Penetapan Calon Kepala Daerah di Kabupaten Boalemo yaitu tercantum dalam isi Peraturan

dekat Sungai Pepe, tentang pemeliharaan infrastruktur bangunan sungai revetment (pelindung tebing) Sungai Pepe, kondisi daya tahan bangunan revetment

Berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan kondisi bahwa tidak semua PUS yang ada di wilayah kerja PKB mampu dikunjungi oleh PKB

Oleh ka l rena l itu diharapkan kepa l da l peserta l didik yang awalnya memiliki sikap penyendiri cukup tinggi rasa tidak percaya diri sekarang sudah rendah agar

Dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang diembankan kepada Presiden sebagai Mandataris Majelis Permusyawratan Rakyat Sementara (yang bertindak selaku MPR)

Implikasi politik hukum judicial review pasal 256 UUPA (Undang- Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 terhadap kondisi sosial politik di Aceh yaitu Pemilukada

1) Program pelatihan bagi petugas dan narapidana untuk menjamin dapat terlaksananya program yang diterapkan oleh lembaga pemasyarakatan sebagai pengayoman maka para

Faktor pendukung dalam penggunaan metode Takrir dalam menghafal al-Qur’an yaitu: dapat menguatkan hafalan sebelum berganti kedalam hafalan baru, lebih memahami dalam pembacaan