• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.2. Tujuan peulisan Tujuan penulisan referat ini adalah: 1. Memberikan pengetahuan mengenai Gangguan Somatoform

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1.2. Tujuan peulisan Tujuan penulisan referat ini adalah: 1. Memberikan pengetahuan mengenai Gangguan Somatoform"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani yaitu “soma” yang berarti tubuh.1 Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak adanya penjelasan medis yang adekuat.1 Gejala dan keluhan somatik yang terjadi cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial ataupun pekerjaannya.2 Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.2,3

Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Untuk hal tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik.2 Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalah diagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang.2

Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.4

1.2. Tujuan peulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah:

(2)

2. Meningkatakan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.

3. Memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.

1.3. Metode penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu pada beberapa literatur.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut DSM–IV, terminologi somatoform dikenal dengan somatic symptom disorder, di mana terdiri atas berbagai penyakit somatoform yaitu 1) Somatization disorder (gangguan somatisasi), 2) Hipokondriasis, 3) Pain disorder (kelainan nyeri), 4) Reaksi Konversi, dan 5) Gangguan Dismorfik Tubuh .

Gejala khas dari gangguan-gangguan mental tersebut adalah adanya keluhan nyeri atau gejala fisik lain yang berat, dan dengan tidak ditemukannya kondisi patologis yang mendasari setelah dilakukan pemeriksaan. Gangguan-gangguan tersebut yang kini menjadi satu jenis diagnosis somatic symptom disorder,memiliki kriteria diagnosis yang sama yaitu gejala menetap yang dikeluhkan pasien tentang fokus berlebihan terhadap kondisi medisnya sekurang-kurangnya selama 6 bulan, bahkan meskipun pasien tersebut memang sudah dikonfirmasi menderita penyakit tersebut

2.1 Gangguan Somatisasi

Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laoratorium. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasigejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena banyak keluhan dan banyaknya sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis). 1

2.1.1 Epidemiologi

Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2 persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar. 2

(4)

2.1.2 Etiologi

Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu psikososial, organic/biologic, genetic dan sitokine.

a. Faktor psikososial

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Formulasi psikososial penyebabnya melibatkan interpretasi gejala sebagai komunikasi sosial yang hasilnya adalah untuk menghindari kewajiban (pergi ke pekerjaan yang tidak disukai seseorang), untuk mengekspresikan emosi (kemarahan pada pasangan), atau untuk melambangkan perasaan atau kepercayaan (rasa sakit perut). Perspektif tingkah laku tentang gangguan somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan adat istiadat etnis dapat mengajarkan beberapa anak untuk melakukan somatisasi lebih banyak dari pada yang lain. Selain itu, beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami pelecehan fisik. Faktor sosial, budaya, dan etnis mungkin juga terlibat dalam pengembangan gejala.2

b. Faktor biologis

Beberapa penelitian menunjukkan adanya neuropsikologis untuk gangguan somatisasi. Studi ini menerangkan bahwa pasien memiliki karakteristik perhatian dan gangguan kognitif yang mengakibatkan persepsi dan penilaian kesalahan masukan somatosensori. Kelainan yang dilaporkan mencakup gangguan yang berlebihan, ketidak mampuan untuk terbiasa dengan rangsangan berulang, pengelompokkan konstruksi kognitif secara impresionistik, asosiasi parsial dan tidak langsung, dan kurangnya selektivitas. Seperti yang ditunjukkan dalam beberapa penelitian tentang potensi yang dapat ditimbulkan. Sejumlah penelitian pencitraan otak telah melaporkan penurunan metabolisme pada lobus frontal dan belahan nondominan.2

(5)

c. Genetika

Data genetik menunjukkan bahwa, setidaknya pada beberapa keluarga, gangguan transmisi somatisasi memiliki komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung berjalan dalam keluarga dan terjadi pada 10- 20% saudara wanita tingkat pertama dari pasien dengan gangguan somatisasi pertama kali.2 Dalam keluarga ini, kerabat laki-laki tingkat pertama rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi juga melaporkan tingkat konkordansi 29 persen pada kembar monozigot dan 10 persen pada kembar dizigotik, sebuah indikasi efek genetik. Saudara laki-laki dari wanita dengan gangguan somatisasi menunjukkan peningkatan risiko gangguan kepribadian antisosial dan gangguan terkait zat. Memiliki orang tua biologis atau orang tua angkat dengan salah satu dari ketiga gangguan ini meningkatkan risiko pengembangan gangguan kepribadian antisosial, gangguan zat, gangguan somatisasi.2

d. Sitokin

Sitokin adalah molekul pembawa pesan yang digunakan sistem kekebalan untuk berkomunikasi dalam dirinya sendiri dan dengan sistem saraf, termasuk otak. Contoh sitokin adalah interleukin, faktor nekrosis tumor, dan interferon. Beberapa percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa sitokin berkontribusi pada beberapa gejala penyakit nonspesifik, seperti hipersomnia, anoreksia, kelelahan, dan depresi. Hipotesis bahwa regulasi abnormal sistem sitokin dapat menyebabkan beberapa gejala yang terlihat pada gangguan somatoform sedang dalam penyelidikan.2

2.1.3 Diagnosis dan Gejala Klinis

Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan permulaan gejala terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama beberapa tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan

(6)

pemeriksaan fisik atau laboratorium. Kriteria DSM-IV mengenai gangguan somatisasi terdapat pada halaman berikut :

Kriteria Diagnostik DSM IV-TR : GANGGUAN SOMATISASI

A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.

B. Masing-masing criteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :

(1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi yag berbeda (cnt : kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama berkemih)

(2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (cnt: mual, kembung, muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang berbeda)

(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain nyeri(cnt: ketidakpedulian terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil)

(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)

C. Baik (1) atau (2) :

(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat, pengobatan)

(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium

D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan atau

(7)

2.1.4 Tatalaksana Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata

2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu

3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama

2. Buat jadwal regular ddengan interval waktu kedatangan yang memadai

3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik 1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas 2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi 3. Anti anxietas dan antidepressan

2.2 Hipokondriasis 2.2.1 Definisi

Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini bahwa dirinya sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang mengancam jiwanya. Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan pasien mengalami preokupasi pikiran berupa ketakutan akan memiliki penyakit akibat dari interpretasi yang salah terhadap gejala penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis mengacu pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada daerah hipokondrium.

2.2.2 Etiologi

Di dalam kriteria diagnostic hipokondriasis, DSM-IV-TR menunjukan bahwa gejala mencerminkan adanya kesalahan intrepretasi gejala tubuh. Sejumlah inti data menunjukkan bahwa orang dengan hipokondriasis memperkuat sensasi

(8)

somatiknya. Mereka memiliki ambang toleransi yang lebih rendah terhadap ketidaknyamanan fisik.

Teori kedua bahwa hipokondriasis dapat dimengerti dalam hal modal pembelajaran sosial. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai permintaan untuk masuk kedalam peran sakit yang diciptakan seseorang yang menghadapi masalah yang nampaknya tidak dapat diselesaikan.

Teori ketiga mengenai hipokondriasis adalah suatu bentuk gangguan jiwa lain diantaranya yang paling sering adalah gangguan depresif dan gangguan anxietas. Perkiraan 80% pasien dengan hipokondriasis memiliki gangguan anxietas atau depresi secara bersamaan.

Teori keempat, menyatakan keinginan agresif dan permusuhan terhadap orang lain dirubah menjadi keluhan fisik contohnya kemarahan, kekecewaan, dan kehilangan yang di alami pada masalalu di ekspresikan pasien sebagai kemarahan mereka saat ini dengan meminta tolong dan perhatian orang lain.

2.2.3 Gejala klinis dan Diagnosis

Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakitserius yang masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan hasil lab dengan hasil yang negatif. Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun seiring berjalannya waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain. Namun demikian, keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada umumnya ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi.

Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa

dirinya memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala tubuhnya.

B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan medis.

C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti yang ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder.

(9)

D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat.

E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan.

F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan obsesif-kompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain.

Spesifik bila:

Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien tidak menyadari bahwa penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan.

(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.)

2.2.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Perjalanan gangguan biasanya episodic yang berlangsung bulanan hingga tahunan yang dipisahkan oleh episode tenang. Prognosis yang baik dikaitkan dengan status social ekonomi yang tinggi, depresi dan ansietas yang responsive terhadap terapi, awitan gejala yang mendadak, tidak adanya gangguan kepribadian.

2.2.5 Penatalaksanaan

1. Pemeriksaan fisik secara komprehensif

Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk mengetahui diagnosis lain yang menjadi perancu hipokondriasis. Informasi kesehatan yang normal dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis.

2. Pendekatan Psikoterapi

Dapat berupa kelompok dan individu. Psikoterapi kelompok dengan memberikan dukungan social dan interaksi social yang dapat mengurangi

(10)

ansietasnya. Psikoterapi individu berupa psikoterapi yang berorientasi tilikan, terapi prilaku, terapi kognitif dan hypnosis.

3. Terapi farmakologis :

a. Anti-depresan (trisiklik, SSRI): dapat menstabilkan mood, mengatasi kecemasan pada hipokondriasis

b. Plasebo: beberapa penelitian membandingkan efek placebo dan pemberian obat-obatan anti-depresan dimana perbedaan respon pasien terhadap kedua obat tidak signifikan. Hal ini menunjukkan keberhasilan penggunaan placebo.

2.3 Gangguan Konversi

Gangguan konversi ditandai dengan adanya suatu gejala neurologis, contohnya paralisis, buta, dan parastesia yang tidak dapat dijelaskan dengan gangguan medis atau neurologis yang diketahui.

2.3.1 Epidemiologi

Insiden gangguan konversi mencapai 11-500 kasus setiap 100.000 jiwa. Rasio perempuan dibanding laki-laki pada pasien dewasa menurut penelitian adalah sedikitnya 2:1 dan paling tinggi 10:1, pada anak-anak juga terdapat predominasi terjadi pada anak perempuan. Gangguan konversi juga dikaitkan dengan komorbid gangguan depresi berat, gangguan ansietas,

d. F.45.3 Gangguan Disfungsi Otonomik Somatoform Kriteria diagnostik yang diperlukan :

- Ada gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas, yang sifatnya menetap dan mengganggu

- Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (tidak khas)

- Preokupasi dengan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius yang menimpanya, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan maupun penjelasan dari dokter

(11)

- Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari sistem/organ yang dimaksud

- Kriteria ke 5, ditambahkan :

F.45.30 = Jantung dan Sistem Kardiovaskular F.45.31 = Saluran Pencernaan Bagian Atas F.45.32 = Saluran Pencernaan Bagian Bawah F.45.33 = Sistem Pernapasan

F.45.34 = Sistem Genito-Urinaria F.45.38 = Sistem atau Organ Lainnya

e. F. 45.4 . Gangguan Nyeri Yang Menetap Definisi

Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis. Pasien sering wanita yang merasa mengalami nyeri yang penyebabnya tidak dapat ditemukan. Munculnya secara tiba-tiba, biasanya setelah suatu stres dan dapat hilang dalam beberapa hari atau berlangsung bertahun-tahun. Biasanya disertai penyakit organik yang walaupun demikian tidak dapat menerangkan secara adekuat keparahan nyerinya (Tomb, 2004).

Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Sedangkan pada nyeri somatoform, pasien malah bertindak sebaliknya.

Etiologi

Tidak diketahui

Epidemiologi

Terjadi pada semua tingkatan usia, di USA 10-15% pasien datang dengan keluhan nyeri punggung.

(12)

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri - Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis

- Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

- Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau bertahannya nyeri.

- Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).

- Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Contoh Penulisan Diagnosis Multiaksial Aksis I: gangguan somatoform, nyeri menetap Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II

Aksis III: tidak ada Aksis IV:

(13)

Tatalaksana

Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata

2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu

3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)

4. Jika nyerinya akut (< 6 bulan), tambahkan obat simptomatik untuk gejala yang timbul

5. Jika nyeri bersifat kronik (>6 bulan ), fokus pada pertahankan fungsi dan motilitas tubuh daripada fokus pada penyembuhan nyeri

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama

2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai

3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial

4. Nyeri kronik: pertimbangkan terapi fisik dan pekerjaan, serta terapi kognitif-behavioural

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik 1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas 2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi

3. Akut: acetaminophen dan NSAIDS (tidak dicampur) atau sebagai tambahan pada opioid

4. Kronik: Trisiklik anti depresan, acetaminophen dan NSAID 5. Pertimbangkan akupunktur

Prognosis :

Jika gejala terjadi < 6 bulan, cenderung baik, dan jika gejala terjadi > 6 bulan, cenderung buruk (cenderung menjadi kronik).

(14)

f. F.45.8 Gangguan Somatoform Lainnya Pedoman Diagnostik :

- Keluhan yang ada tidak melalui saraf otonom, terbatas secara spesifik pada bagian tubuh/sistem tertentu

- Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan

- Termasuk didalamnya, pruritus psikogenik, ”globus histericus”(perasaan ada benjolan di kerongkongan>>>disfagia) dan dismenore psikogenik

Tambahan DSM IV

Gangguan Konversi Definisi

Adalah suatu tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan atau kendala dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simptom fisik. Simptom-simptom itu tidak dibuat secara sengaja atau yang disebut malingering. Simptom fisik biasanya muncul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat, misalnya.2,4

Dinamakan gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simptom fisik. Gangguan ini sebelumnya disebut neurosis histerikal atau histeria dan memainkan peranan penting dalam perkembangan psikoanalisis Freud.

Menurut DSM, simptom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simptom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan, dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan indra pendengaran atau penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan (anastesi).2,4

(15)

Simptom-simptom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi sering kali tidak sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya konversi epilepsi, tidak seperti pasien epilepsi yang sebenarnya, dapat mempertahankan kontrol pembuangan saat kambuh; konversi kebutaan, orang yang penglihatannya seharusnya mengalami hendaya dapat berjalan ke kantor dokter tanpa membentur mebel; orang yang menjadi “tidak mampu” berdiri atau berjalan di lain pihak dapat melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.

Etiologi

- Teori psikoanalisis, (1895/1982), Breuer dan freud: disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran.

- Teori behavioral, Ullman & Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), terjadi karena individu mengadopsi simptom untuk mencapai suatu tujuan. Individu berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi.

Epidemiologi

Terjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada usia anak-anak (akhir) hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia 10 tahun dan setelah 35 tahun.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi

Ciri-ciri diagnostik dari gangguan konversi adalah sebagai berikut:

 Paling tidak terdapat satu simptom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.

 Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau kambuhnya simptom fisik terkait dengan munculnya

(16)

 Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simptom fisik tersebut atau berpura-pura memilikinya dengan tujuan tertentu.

 Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apa pun melalui landasan pengujian yang tepat.

 Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis.

 Simptom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang dengan gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap simptom-simptom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle indifference (“ketidakpedulian yang indah”).

Tatalaksana

Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata

2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu

3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama

2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai

3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial

4. Akut: yakinkan, sugesti pasien untuk mengurangi gejala

5. Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik), hipnoterapi, behavioural terapi

(17)

6. Kronik: Eksplorasi lebih lanjut mengenai konflik yang bersifat interpersonal pada pasien

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik 1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas 2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi 3. Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik)

Prognosis

Baik, jika onset awal ada faktor presipitasi yang jelas, intelegensia masih baik, segera dilakukan treatment. Prognosis buruk jika terjadi hal sebaliknya.

Gangguan Dismorfik Tubuh Definisi

Gangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder) ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. Orang dengan gangguan ini terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, seperti menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan, menarik diri secara sosial atau bahkan diam di rumah saja, sampai pada pikiran-pikiran untuk bunuh diri. Orang dengan gangguan dismorfik tubuh sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci, atau menata rambut secara kompulsif, dalam rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikan. Contoh lain, seseorang merasa wajahnya seperti piringan, terlalu rata, sehingga tidak mau difoto. Mereka dapat melakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan yang “rusak” tersebut.

Pada gangguan dismorfik tubuh, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka. Membuatnya bisa berlama-lama berkaca di depan cermin memandang bentuk tubuh yang dianggapnya kurang, sering pasien mendatangi spesialis bedah dan kecantikan.

(18)

Tidak Diketahui

Epidemiologi

Muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia sosial, gangguan kepribadian (Phillips & McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh

- Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut menjadi berlebihan. - Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

- Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).

Tatalaksana

Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata

2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu

3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)

4. Khususnya menghindari pembedahan Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama

2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai

3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial

(19)

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik 1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas 2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi

3. Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriacal dengan SSRI (Fluoxetine 60-80 mg/ hari) dibandingkan dengan obat lain

Prognosis Bervariasi

Pendekatan Penanganan

Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan somatoform adalah sebagai berikut:

- Penanganan Biomedis

Pada penanganan biomedis dapat digunakan antidepresan yang terbatas dalam menangani hipokondriasis yang biasanya disertai dengan depresi.

- Terapi Kognitif-Behavioral

Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stres, dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seseorang. Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya.2,4,5

Terapi kognitif-behavioural, untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral, terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.2,4

(20)

BAB III KESIMPULAN

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik.

Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya.

Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi: gangguan somatisasi, gangguan somatoform tak terperinci, gangguan hipokondriasis, disfungsi otonomik somatoform, gangguan nyeri somatoform menetap, gangguan somatoform lainnya, dan gangguan somayoform YTT. Sedangkan pada DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Gangguan Somatoform. Jakarta: FKUI.

2. Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavior Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.p: 631-651

3. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka

Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia : Gangguan Somatoform. Ikatan

Dokter Indonesia Cabang Jakarta Barat.

4. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan

Jiwa di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI : Jakarta :2001

5. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.

6. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga University Press : Surabaya

7. Nevid, J.S., dkk. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta:2005

Referensi

Dokumen terkait

Jika nilai kejelasan, Menjalankan Tugas Secara professional dan Tidak Berpihak, menghargai komunikasi, konsultasi dan kerjasama, mengutamakan pencapaian hasil, meningkatkan

masyarakat dalam pendidikan, yang berarti juga bertentangan dengan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS).. Pada kasus best practice ini, kita akan

Menjelaskan ikatan-ikatan kimia yang terlibat pada interaksi obat reseptor (ikatan kovalen, hidrogen, ion, dipol, van der Waals, dan hidrofob) dan peran ikatan

Penelitian ini dilanjutkan dengan melakukan uji sensitivitas pada obat yang resisten terhadap itrakonazol pada konsentrasi 4 µg/ml

Menurut Handoko (1993: 218) gaji adalah “pemberian pembayaran finansial kepada karyawan sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilaksanakan dan sebagai motivasi

Publikasi Statistik Daerah Kecamatan Astanaanyar Kota Bandung 2015 diterbitkan untuk melengkapi publikasi-publikasi statistik yang sudah terbit secara rutin setiap

Realitanya adalah bahwa Lembaga Keuangan Islam umumnya masih menggunakan tingkat suku bunga sebagai tolok ukur (Ayub, 2009:678-680) 2. Tingkat suku bunga masih dijadikan rujukan

Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolic tulang yang ditandai oleh menurunnya massa tulang,oleh karena berkurangnya massa matriks dan mineral tulang disertai