• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik. Kelompok etnik tersebut masing-masing mempunyai kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dalam keragaman etnik ini, pada umumnya masyarakat di Indonesia memiliki keterampilan menggunakan dua bahasa atau lebih, yakni bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI) sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah (BD) sebagai bahasa ibu. Masyarakat Indonesia akan menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan penutur etnik lain dan akan menggunakan bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan penutur intraetniknya.

Penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian secara sosiolinguistik disebut sebagai bilingualisme. Sementara itu, seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa disebut penutur bilingual atau multilingual. Istilah bilingualisme diungkapkan Nababan sebagai suatu kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain sedangkan bilingualitas adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan dua bahasa (1984: 27-29).

Dalam komunikasi yang terjadi di antara etnik yang beragam di Indonesia, bahasa yang selalu digunakan sehari-hari adalah BI yang merupakan bahasa nasional. BI digunakan di kantor, di pasar, di sekolah, di tempat-tempat umum, dan bahkan sering sekali juga dipakai di lingkungan rumah atau pada ranah keluarga.

(2)

Dalam peristiwa kontak bahasa pada masyarakat bilingual sering terdapat peristiwa-peristiwa kebahasaan yang merupakan objek kajian sosiolinguistik antara lain alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Alih kode dan campur kode merupakan gejala dalam bahasa yang memang tidak dapat dihindari oleh penutur bilingual. Alih kode yang merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain adalah gejala pemakaian bahasa karena perubahan situasi, sementara campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.

Dalam peristiwa campur kode maupun alih kode ketika terjadi kontak bahasa di antara penutur bilingual, kemungkinan terjadinya interferensi dalam bahasa selalu ada (Budiarsa, 2006). Kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual menyebabkan munculnya gejala interferensi, yaitu penyimpangan dalam bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. Salah satu penyebab terjadinya interferensi adalah kecenderungan penutur bilingual dalam memasukkan unsur-unsur sistem kedua bahasa yang dikuasainya ketika berbahasa. Hal seperti itu memang tidak dapat dihindarkan karena bagi masyarakat bilingual seperti masyarakat Indonesia, salah satu dampak dari percampuran bahasa ketika berinteraksi sering terjadi suatu gejala dalam bahasa yang salah satunya disebut interferensi bahasa sehingga ranah bahasa tidak memiliki hubungan yang jelas dengan penggunaan bahasa.

Penguasaan penutur bahasa terhadap lebih dari satu bahasa memungkinkan terjadinya penyimpangan norma-norma ataupun kaidah-kaidah bahasa yang dapat terjadi mulai dari tataran fonologi, leksikal sampai ke tataran sintaksis. Misalnya, penutur bahasa Indonesia yang berbahasa Inggris mengucapkan fonem /p/ bahasa Inggris pada kata-kata <Peter> dan <petrol> menjadi [pεtə] dan [pεtrol] padahal menurut kaidah pengucapan bahasa Inggris, kata-kata

(3)

tersebut seharusnya diucapkan dengan menggunakan aspirasi yang cara pelafalannya adalah [phitə] dan [phεtrol]. Penyimpangan realisasi bunyi aspirasi seperti itu pernah diteliti oleh Budiarsa (2006) dalam disertasinya yang mengkaji penutur multilingual bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Bali yang bekerja sebagai karyawan di hotel-hotel di Bali. Para penutur multilingual di hotel tersebut cenderung melafalkan konsonan bahasa Inggris beraspirasi [ph , th, kh] menjadi bunyi tanpa aspirasi. Penyimpangan itu disebabkan para penutur tersebut dipengaruhi BI yang tidak mengenal bunyi-bunyi aspirasi seperti dalam bahasa Inggris.

Penyimpangan realisasi bahasa diduga juga akan ditemukan dalam masyarakat Medan yang pada umumnya merupakan penutur bilingual. Salah satu etnik di kota Medan adalah etnik Batak Toba yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnik Jawa, Aceh, Minangkabau, Nias, Melayu, Tionghoa, dan sebagainya. Masyarakat etnik itu merupakan salah satu masyarakat pendatang (perantau) di Medan yang berasal dari daerah Tapanuli di Sumatera Utara. Seperti halnya masyarakat etnik lainnya, etnik Batak Toba memiliki bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba (selanjutnya disingkat BT). Hidup berdampingan dengan penutur etnik lain di kota Medan menyebabkan penutur BT dituntut untuk menggunakan BI agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat etnik lain di sekitarnya, meskipun pada saat lainnya penutur BT terlihat masih menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi dengan penutur BT lainnya.

Sebagai salah satu bahasa daerah dari berbagai bahasa daerah yang terdapat di Medan, BT memiliki pola ataupun kaidah-kaidah tersendiri dalam sistem bahasanya, misalnya pada aspek sintaksis, kalimat BT memiliki pola Verba-Objek-Subjek (VOS), seperti dalam kalimat berikut.

(1) Manjaha bukku do imana di jolo ni jabuna V O T S K

(4)

‘Dia membaca buku di depan rumahnya’ .

Pada kalimat (1) dapat dilihat bahwa verba manjaha ‘membaca’ mendahului objek bukku ‘buku’ yang di ikuti oleh partikel pemarkah topik (T) do, kemudian diikuti subjek imana ‘dia’ dan keterangan di jolo ni jabuna ‘di depan rumahnya’. Pola sintaksis BT tersebut berbeda dengan BI yang berpola kalimat S – V – O , seperti dalam kalimat berikut.

(2) Kami memancing ikan di sungai. S V O K

Kalimat BI tersebut dapat dianalisis menjadi S (kami) -V (memancing) - O (ikan), dan K (di kolam).

Dari segi fonologis, apabila ditinjau dari cara pelafalannya, BT juga memiliki kaidah yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan karena tidak semua fonem atau bunyi dilafalkan seperti yang tertera dalam tulisannya. Banyak didapati asimilasi di antara suku kata yang satu dengan suku kata yang lain atau antara kata yang satu dengan kata yang lain. Kata somba ‘sembah’ akan dilafalkan sevagai [sobba], dengan pola /m+b/ → [bb], ende ‘lagu’ dilafalkan sebagai [edde] dengan pola /n+d/ → [dd]. Hal yang sama terdapat juga dalam persandingan antarkata, misalnya, pasingot hami ‘ingatkan kami’ yang pelafalannya adalah [pasiŋ0ttami], dengan polanya adalah jajaran fonem /t+h/ → [tt] atau bereng hamu ‘kalian lihat’ dengan jajaran fonem /ŋh/ → [kk] sehingga pelafalannya adalah [bεrεkkamu] . Terlihat bahwa dalam deretan kata tersebut terdapat perubahan bunyi fonem yang disebut asimilasi bunyi.

Keberadaan penutur etnik BT di Medan yang bilingual dan hidup berdampingan dengan berbagai etnik dan penutur bahasa yang berbeda sebagaimana telah disebutkan tadi diasumsikan mengalami fenomena interferensi yaitu adanya kecenderungan penutur BT di Medan untuk memasukkan unsur-unsur BI saat bertutur dalam BT. Kata-kata BT seperti partamparahan, raut,

(5)

dan gaol hampir-hampir tidak terdengar dalam percakapan masyarakat penutur BT di kota Medan. Mereka cenderung mengganti kata-kata itu dengan leksikal BI seperti asbak, pisau, dan pisang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa BI mengambil peranan yang sangat luas dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Medan, termasuk pada masyarakat BT sehingga diasumsikan bahwa mulai terjadi pergeseran bahasa BT di Medan karena penutur BT terlihat sering menggunakan BT daripada bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan sesama penutur BT. Kalau pun penutur tersebut menggunakan BT, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI di dalam tuturannya. Apabila suatu bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi dalam suatu masyarakat mulai ditinggalkan penuturnya dan menggantikannya dengan bahasa yang lebih dominan, maka ada kecenderungan akan terjadi pergeseran bahasa. Sebagaimana diungkapkan Siregar (1998:3) bahwa apabila bahasa yang biasa digunakan untuk fungsi tertentu sudah mulai ditinggalkan oleh suatu masyarakat bahasa, maka ada kemungkinan terjadi pergeseran bahasa (language shift) dalam masyarakat itu.

Penggunaan bahasa BT oleh masyarakat itu sendiri dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu penggunaan bahasa (1) dalam kehidupan sehari-hari: dalam keluarga, antartetangga sesuku, antarteman sesuku, (2) dalam upacara adat: perkawinan, kelahiran, kematian, dan (3) dalam upacara keagamaan (gereja): dalam berkhotbah, saat berdoa, meyampaikan pengumuman, dan sebagainya. Akan tetapi, apabila diperhatikan, penggunaan bahasa BT oleh masyarakat BT di Medan di dalam ketiga ranah pemakaian tersebut, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI. Bahkan, dalam beberapa acara etnik BT yang peneliti ikuti, seperti dalam acara natal Serikat Tolong Menolong (STM) marga, bahasa daerah ini cenderung tidak digunakan lagi karena acara disajikan dalam BI.

(6)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap tuturan BT , beberapa kalimat dalam tuturan berikut ini memperlihatkan adanya gejala interferensi dalam sistem BT berupa masuknya unsur BI yang mengakibatkan penyimpangan dalam sistem BT. Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh tuturan berikut.

(3) a. *Partangiangan di bulan depan di jabu keluarga amang L. Tobing.

kalimat tersebut seharusnya adalah sebagai berikut.

b. Partangiangan di bulan na ro di jabu ni keluarga perkumpulan pada bulan yang datang di rumah dari keluarga

amang L.Tobing bapak L.Tobing

‘Perkumpulan pada bulan depan di rumah keluarga bapak L.Tobing’

Dalam tuturan (3a) interferensi terjadi pada tataran frasa BT. Penutur seharusnya mengatakan na ro (BT), seperti dalam kalimat (3b). Hal itu merupakan contoh masuknya unsur BI ke dalam BT dalam bentuk kosakata. Masuknya unsur kosakata BI depan ke dalam BT pada contoh di atas dapat dikatakan merupakan penyimpangan, karena sebenarnya kata tersebut ada padanannya dalam BT, sehingga hal sedemikian merupakan bentuk interferensi negatif (negative interference). Selain itu pada tuturan di atas terlihat pula adanya penyimpangan terhadap kaidah BT karena penutur tidak menempatkan partikel ni ’dari’ pada frasa jabu keluarga sebab frasa tersebut seharusnya adalah jabu ni keluarga. Hal tersebut mungkin disebabkan penutur BT terpengaruh kaidah BI yang tidak meletakkan preposisi dari untuk menyatakan kepunyaan.

Interferensi dalam aspek fonologis adalah bilamana seorang bilingual mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi sistem bahasa kedua itu pada bunyi sistem bahasa pertama. Penyimpangan itu dapat dicontohkan terjadi dalam tuturan BT berikut.

(7)

(4) *Tuhor jolo kacang i [tuhor jolo kacaŋ i] padahal pengucapan yang benar dan sesuai kaidah BT adalah [tuhor jolo hassaŋ i]. Kata kacang dalam tuturan ini secara ortografis dalam BT adalah hansang.

Pada kalimat (4) tersebut terlihat adanya interferensi dari unsur BI pada tataran fonologis, kata kacang seharusnya diucapkan [hassang], tetapi bunyi [h] diucapkan [k] dan bunyi [s] dilafalkan [c] sehingga diucapkan [kacaŋ] seperti lafal dalam BI. Padahal dalam fonotaktik BT baku, fonem /k / tidak berposisi di awal kata dan BT baku juga tidak memiliki fonem /c/.

Dampak dari peristiwa interferensi berupa masuknya unsur BI disebabkan penguasaan penutur BT terhadap lebih dari satu bahasa (BT-BI) seperti contoh-contoh dalam tuturan di atas diasumsikan memungkinkan akan terjadinya pergeseran bahasa BT yang disebabkan terdapatnya campur aduk bahasa saat penutur berbahasa dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Apalagi dengan adanya pernyataan dalam dunia maya (internet) oleh seorang pemerhati BT, Charlie Sianipar, mengenai adanya duapuluh lima tanda kepunahan BT yang diantaranya adalah apabila orangtua tidak mau lagi mengajarkan bahasa BT kepada anak-anaknya di lingkungan keluarga, bila bahasa BT tidak lagi digunakan sebagai bahasa sehari-hari di dalam keluarga (www.gmail.co). Disamping itu, Sibarani dalam makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia (1997) mengungkapkan bahwa ada masyarakat bahasa (seperti masyarakat BT ) yang malu menggunakan bahasanya. Hal ini terutama dialami oleh generasi muda atau mahasiswa di kota-kota, misalnya kota Medan. Fenomena yang terjadi pada generasi muda tersebut mengindikasikan sikap mereka terhadap bahasa daerahnya sebagai identitas diri.

Saling mempengaruhi bahasa antaretnik pasti terjadi, pemungutan unsur bahasa lain akan memberi keuntungan; terkadang dapat pula memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan. Sebaliknya, bahasa penerima akan dirugikan apabila masuknya bahasa lain berdampak

(8)

mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi penyimpangan kaidah atau menimbulkan gejala interferensi. Dengan demikian terjadinya gejala interferensi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain sulit untuk dihindari atau dikendalikan.

Seperti halnya dalam BT, bunyi, kata, dan kalimat yang seharusnya menggunakan kaidah BT kemungkinan telah mengalami interferensi unsur BI sehingga diasumsikan bahwa bahasa BT di Medan mulai bergeser disebabkan adanya gejala interferensi BI terhadap BT dalam peristiwa penggunaan bahasa yang dikaitkan pula dengan sikap bahasa (languages attitude) penutur Batak Toba. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya interferensi di samping dapat pula menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab bergeser atau punahnya suatu bahasa sangat ditentukan oleh keputusan yang berdasarkan sikap bahasa dari masyarakat itu sendiri. Pendapat tersebut dipertegas Denes (1994:2) yang mengatakan bahwa terjadinya gejala interferensi tidak terlepas dari perilaku atau sikap bahasa penutur bahasa pertama.

Penelitian tentang BT di Medan telah dilakukan W.Keith Percival (1964) dalam disertasi berjudul A Grammar of The Urbanised Toba-Batak of Medan. Diungkapkannya bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antara penutur BT di Medan dengan masyarakat BT di pedesaan, antara lain dalam hal kolokasi (bahasa sehari-hari) dan bentuk gaya tuturannya. Selanjutnya diungkapkannya lebih jauh lagi bahwa pengaruh BI terhadap BT sangat meningkat setelah kemerdekaan Indonesia, terutama di kalangan penutur generasi muda yang telah mengenyam pendidikan sekolah menengah dan universitas.

Berdasarkan paparan hasil pengamatan di atas dan dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Percival terhadap penutur BT di Medan kurang lebih duapuluh delapan tahun lalu ini, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali bagaimana sebenarnya BT di Medan yang sekarang

(9)

digunakan penutur BT mengingat semakin meluasnya penggunaan BI di tengah masyarakat bilingual di kota Medan. Di samping itu kajian ini juga ingin mengetahui bagaimana sikap bahasa masyarakat penutur BT di Medan terhadap BT untuk lebih mendapatkan gambaran apakah memang mulai ada pergeseran sikap terhadap BT atau apakah BT masih tetap bertahan sebagai bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat BT walaupun mereka berada di perantauan (di Medan).

Gambaran sikap dan bagaimana bahasa BT di Medan digunakan oleh penutur bilingual BT-BI dapat digambarkan dalam bagan berikut.

GGambaran keberadaan

Gambar 1

Bagan Sikap Bahasa Penutur BT dan Interferensi

1.2 Rumusan Masalah

Masyarakat penutur BT di Medan yang hidup berdampingan dengan berbagai penutur bahasa dan daerah dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya umumnya menggunakan lebih dari satu bahasa (bilingual), yakni bahasa BT – BI. Kebilingualitasan ini menyebabkan penutur BT sering melakukan percampuran bahasa yang menimbulkan gejala interferensi dalam

Negatif Positif Inter-feren si S B i a k h a a p s a Fonologis Gramatikal Setia Sadar Bangga Bahasa BT di Medan Bahasa BT Baku K B o a n h t a a s k a Penutur Bilingual BT-BI di Medan Leksikal

(10)

tuturan-tuturannya saat berbahasa dalam BT yang sebenarnya bahasa daerah tersebut merupakan salah satu identitas masyarakat BT. Dalam BT di Medan nampaknya mulai terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kaidah BT baku mulai dari bunyi, kata, dan mungkin sampai pada tingkat kalimat. Penyimpangan ini merupakan akibat dari kontak bahasa yang terakumulasi melalui proses interferensi baik interferensi pada tataran bunyi (fonologi), kata (leksikon), maupun pada tingkat kalimat.

Berdasarkan adanya fenomena di atas, dibuat rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pola interferensi yang terjadi dalam bahasa BT di Medan?

2. Bagaimanakah sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa dan lamanya tinggal?

3. Bagaimanakah korelasi antara sikap bahasa penutur Batak Toba dengan interferensi? 4. Bagaimanakah bahasa Batak Toba di Medan sekarang ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk interferensi BI terhadap BT, sikap bahasa penutur BT, dan bagaimana bahasa Batak Toba di Medan sekarang ini,. Tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut.

1. Mencari pola interferensi BI dalam BT dan alasannya.

2. Mengukur sikap bahasa penutur BT terhadap BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa dan lamanya tinggal di Medan.

3. Mencari pola hubungan antara sikap penutur Batak Toba dengan interferensi. 4. Mendeskripsikan bahasa Batak Toba di Medan.

(11)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam beberapa hal berikut.

1. Bagi ilmu linguistik, kajian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian kebahasaan di Indonesia, sementara bagi ilmu sosiolinguistik, kajian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang interferensi dan sikap bahasa penutur berdasarkan ciri sosial. 2. Bagi masyarakat Batak Toba, temuan kajian ini merupakan informasi yang

sangat bermanfaat untuk tetap mempertahankan bahasa BT sebagai identi- titas penutur dan kekayaan budaya bangsa serta menjaga kualitas BT stan- dar tetap terpelihara agar tidak mengalami pergeseran dan tidak terancam punah.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini mencakupi dua bidang kajian, yaitu kajian struktural dan sosiolinguistik. Penelitian berangkat dari data empiris yang diperoleh dari perekaman tuturan BT dalam berbagai situasi di kota Medan. Hasil perekaman tuturan dijadikan sebagai data primer penelitian untuk mengetahui apakah terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tuturan BT yang mengakibatkan timbulnya gejala interferensi dalam BT. Selanjutnya dari data primer diambil tuturan-tuturan yang dijadikan sebagai variabel linguistik dalam penelitian untuk mencari data interferensi oleh penutur BT yang selanjutnya dikorelasikan dengan sikap bahasa penutur BT. Penelitian dibatasi pada interferensi tuturan BI ke dalam BT oleh penutur BT di Medan pada aspek fonologis, gramatikal, dan leksikon untuk menemukan pola BT yang sekarang digunakan di Medan. Berdasarkan gejala interferensi, akan dilihat pula sikap penutur BT di Medan terhadap bahasa BT berdasarkan ciri sosial: usia, jenis kelamin, lamanya tinggal, dan pemakaian bahasa.

(12)

Selanjutnya hasil tes interferensi yang diujikan kepada responden akan dikorelasikan dengan sikap bahasa penutur BT. Dengan demikian hasil dalam penelitian ini akan mendeskripsikan bahasa BT di kota Medan.

1.6 Etnik dan Bahasa Batak Toba 1.6.1 Etnik Batak Toba

Suku Batak merupakan salah satu etnik yang terdapat di Sumatera. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lagi menempati bagian Timur laut Tapanuli yaitu daerah Simalungun dan yang lain bermukim di sebelah barat laut Danau Toba yakni tanah Karo. Etnik Batak terdiri dari beberapa sub-etnik, masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Menurut pembagian linguistik bahasa Batak dapat dibedakan atas lima bahasa yang berbeda satu dengan lain yaitu:

(1) Bahasa Batak Toba, (2) Bahasa Batak Karo, (3) Bahasa Batak Simalungun, (4) Bahasa Batak Pak-pak-Dairi, dan (5) Bahasa Angkola-Mandailing.

(13)

Gambar 1.2. Peta Etnik Batak Di Sumatera

1. Batak Toba (Tapanuli): mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah menggunakan bahasa Batak Toba.

2. Batak Simalungun: mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun.

3. Batak Karo: mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak Karo

4. Batak Mandailing: mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing

5. Batak Pakpak: mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak.

Bahasa BT digunakan di daerah atau distrik Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Habinsaran dan Uluan (pembagian daerah ini didasarkan atas pembagian distrik pada waktu pemerintahan Hindia Belanda). Pembagian distrik yang dilakukan pada masa Hindia Belanda itu tidak sama lagi dengan masa sekarang ini, karena sejak awal tahun 2000-an telah terjadi pemekaran kabupaten, sehingga nama kabupaten tidak lagi identik dengan Distrik pada masa pemerintahan Hindia Belanda tersebut.

(14)

Masyarakat BT mempunyai budaya yang selalu melekat pada dirinya sendiri dan merupakan ciri diri etnik BT yang disebut dengan marga. Marga selalu lebih ditonjolkan daripada namanya. Namanya selalu tetap diikuti oleh marga dan apabila orang Batak ingin memperkenalkan dirinya kepada orang lain dia lebih dulu menyebutkan marga, karena dari marga-lah seseorang dapat ditelusuri siapa dia dan darimana asalnya. Maka apabila seorang etnik BT memperkenalkan dirinya dengan menggunakan marga ‘X’ dapat diketahui darimana asalnya, karena setiap marga mempunyai daerah asal marga tersebut yang disebut dengan Bona ni Pasogit. Daerah asal (Bona ni Pasogit) ini dapat dikatakan sebagai asal daerah dimana nenek moyang mereka (leluhur) tinggal di sana mempunyai daerah kekuasaan/tanah. Hal ini dapat diperhatikan apabila seseorang mau berkenalan dengan orang lain. Seseorang pertama sekali akan menanyakan marga atau memberitahukan marga-nya. Orang akan bertanya : ”Aha do marga muna, amang? ” (Bapak marga apa?) dan lawan bicara akan memberitahukan marga-nya dengan mengatakan “Marga ‘X’ do ahu” (Saya marga ‘X’). Tujuan seseorang menanyakan marga-nya adalah untuk mengetahui darimana asalnya. Misalnya, seseorang yang bermarga Siahaan sudah tentu berasal atau mempunyai Bona Pasogit (kampung halaman) di Balige, walaupun dia sudah dilahirkan atau dibesarkan di perantauan, karena dari Baligelah asal marga Siahaan. Selain itu orang Batak menanyakan marga seseorang bertujuan untuk mengetahui bagaimana dia harus memanggil lawan bicaranya itu apakah mereka marhulahula, marboru, atau marsabutuha. Apabila orang yang ditemui adalah hulahula-nya maka orang tersebut dipanggil dengan sebutan tulang/nantulang, bila yang dijumpai boru-nya maka dipanggil dengan sebutan amangboru/namboru, bila yang ditemui adalah dongan sabutuha maka dipanggil dengan sebutan ompung/amangtua/amanguda/haha/anggi/ito.

(15)

Setiap marga etnik BT memiliki daerah sendiri-sendiri, dimana marga yang lain yang berada di sana dianggap sebagai pendatang (paisolat). Pada umumnya marga yang datang ke satu daerah marga orang lain pada waktu dulu adalah merupakan boru dari orang yang mempunyai daerah/lokasi tersebut.

Dalam sistem kekerabatan etnik BT, marga lebih dekat daripada kesamaan asal daerah tempat tinggal. Sistem kekerabatan yang berlaku pada etnik BT adalah menurut garis keturunan ayah yang disebut patrineal. Garis keturunan seorang laki-laki akan diteruskan oleh putranya dan menjadi punah kalau tidak ada anak laki yang dilahirkan. Dengan perkataan lain laki-laki itulah yang membentuk kekerabatan secara turun menurun, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan karena dia kawin dengan laki-laki dari kelompok patrineal yang lain. Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai marga yang sama dengan ayahnya, tetapi setelah anak perempuan kawin dengan sendirinya ia masuk ke lingkungan marga suaminya. Berdasarkan marga seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang disebut dengan dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang merupakan unsur yang tak terpisahkan yang dianggap sebagai dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh warga masyarakat Toba yaitu hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru ‘pihak marga yang menerima anak perempuan’.

Terdapat lebih kurang 300 marga penting dalam sejarah marga Batak, marga yang satu dengan lain saling berhubungan dalam konteks dalihan na tolu. Solidaritas marga dalam kenyataannya semakin luas lagi dari hanya sekedar dongan sabutuha. Solidaritas primordial etnik BT ini menjadi sangat luas mencakup keseluruhan etnik BT yang dipandang bersaudara dalam konteks sistem kekerabatan masyarakat BT. Berdasarkan konteks sistem kekerabatan, masyarakat BT menganggap perkawinan semarga merupakan suatu hal yang memalukan atau

(16)

tabu, karena satu marga dianggap merupakan masih satu darah. Hal inilah yang mendasari bahwa perkawinan satu marga dianggap sangat memalukan dan diharamkan dalam adat perkawinan BT. Apabila suatu saat terjadi perkawinan satu marga dalam suatu keluarga BT, maka keluarga tersebut akan dikeluarkan dari sistem peradatan dan tidak diperbolehkan terlibat dalam setiap kegiatan adat, artinya keluarga tersebut dikucilkan dari pergaulan dalam masyarakat. Biasanya keluarga tersebut akan disuruh keluar dari kampung asal dan hidup terasing di tempat yang tidak seorangpun mengenal mereka. Dengan demikian keutuhan marga selalu dijaga dengan cara (1) dilarang kawin satu marga, (2) membentuk kumpulan marga, (3) membubuhkan marga setelah nama, dan (4) mengajarkan kepada anak tentang garis keturunan (tarombo) sehingga anak kelak dapat mengetahui partaromboan menurut marganya. Setiap marga juga mempunyai nomor, misalnya marga Siahaan nomor empat belas, nomor lima belas dan seterusnya yang biasanya dengan penomoran tersebut orang Batak mengetahui bagaimana sapaannya terhadap orang semarga tersebut.

Setiap orang Batak terutama yang tinggal menetap di tempat kelahirannya Tanah Batak, dapat menuturkan tanpa kesalahan enam sampai delapan bahkan kadang-kadang lebih garis keturunan nenek moyangnya (Siahaan, 2005 : 70). Semua orang tahu dimana garis keturunannya dalam marga, demikian juga saling hubungan antara keturunan termasuk keluarga ibunya. Sistem kekerabatan ini dapat diurut sedemikian jauhnya, berkat marga yang dimiliki etnik BT ini. Bagaimana asal mulanya dan sejak kapan marga mulai digunakan di lingkungan etnik BT, tidak diketahui secara tepat, tetapi yang pasti bahwa marga sudah memegang peranan yang sangat penting sejak diselenggarakan upacara persembahan kurban kepada roh leluhur .

Masyarakat BT juga sangat erat dengan kehidupan kumpulan Serikat Tolong Menolong (STM) Hal ini dilakukan juga di perantauan, termasuk di kota Medan. Etnik BT ini membentuk

(17)

kelompok-kelompok marga yang disebut STM yang berfungsi untuk mempererat hubungan yang satu dengan yang lain dalam kelompok marga, baik di saat suka maupun duka. Dalam kelompok STM bisa diketahui struktur kekeluargaan, sehingga diketahui sistem sapaan yang satu dengan lainnya, walaupun mereka ada yang lahir di perantauan dan ada di Bona ni Pasogit. Sampai saat inipun, sistem kekerabatan yang demikian kental masih dapat terlihat di dalam kehidupan etnik BT meskipun mereka berada di perantauan atau di luar daerah asal tempat mereka dilahirkan.

1.6.2 Adat Istiadat

Kehidupan suku BT tidak dapat terlepas dari adat istiadat. Suku BT sangat kental dengan adat dan ini merupakan identitas masyarakat BT. Sebagaimana disebutkan Siahaan (1982) bahwa adat istiadat yang didasari struktur sosial dalihan na tolu merupakan jati diri masyarakat BT. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara adat seperti (1) acara kelahiran, (2) acara perkawinan, (3) acara kematian, (4) acara memasuki rumah baru, dan sebagainya. Dalam kegiatan acara tersebut, masyarakat BT masing-masing mengambil perannya dalam pelaksanaan pesta/acara tersebut, ada yang berperan sebagai hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru ‘pihak marga yang menerima anak perempuan’.

1.6.3 Sistem Religi

Menurut Koentjaraningrat (dalam Irmawati, 2008 : 49) tanah Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama. Agama Islam dan agama Kristen Protestan masuk ke daerah orang Batak sejak permulaan abad ke-19. Orang Batak mengenal kepercayaan Kristen sejak tahun 1861 (Simanjuntak, 1986). Agama Islam disiarkan oleh orang Minangkabau kira-kira tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Selatan, seperti Mandailing dan Angkola.

(18)

Agama Kristen disiarkan di daerah Toba dan Simalungun (Batak Utara) oleh organisasi penyiar agama dari Jerman, yaitu Organisasi Reinische Missions Gesselschaft kira-kira sejak tahun 1863. Mayoritas etnik BT beragama Kristen Protestan. Walaupun orang BT sebagian besar sudah beragama Kristen, banyak konsep-konsep asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di antara penduduk daerah pedesaan. Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi Na Bolon) ’Tuhan Semesta Alam’.

Orang Batak dahulu masih percaya kepada mitos bahwa manusia Batak pertama berasal dari dewa yang turun dari kayangan di puncak Dolok Pusuk Buhit. Di tempat inilah mula-mula turunan si raja Batak ‘mamompari’ dengan kebudayaannya sendiri. Dahulu orang Batak mempunyai kepercayaan animisme, totemisme, yang menguasai tingkah laku dan cara hidup masyarakat Batak. Semua hal itu dicerminkan berupa pelahiran kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan kosmos dengan bahasa yang digubah sedemikian rupa sehingga berlainan dari bahasa BT sehari-hari.

1.6.4 Gaya Hidup Merantau

Etnik BT dikenal dengan gaya hidup merantau. Gaya hidup seperti ini disebut dengan ‘mangaranto’ dan orangnya disebut ’pangaranto’. Kata mangaranto itu sendiri memiliki konsep umum marserak yaitu menyebar ke seluruh wilayah marga sendiri dan apabila tidak memungkinkan lagi perluasan wilayah berlangsung ke daerah-daerah yang tanahnya belum dimiliki oleh marga lain, daerah-daerah mana kemudian dapat dijadikan areal pertanian dan perkampungan. Dalam perkembangan selanjutnya orang BT menyebar ke berbagai daerah di luar wilayah budaya sendiri. Perkampungan yang dibuka sendiri (atau dengan anggota keluarga atau

(19)

teman sekampung) dan tinggal di daerah lain biasanya dianggap sebagai perluasan kampung induk.

Dewasa ini perkataan marserak mengandung pengertian yang luas. Selain mengandung arti menyebar (pindah dari kampung halaman ke luar wilayah budaya sendiri) marserak mengandung arti mobilitas ekonomi dan sosial. Dalam percakapan sehari-hari ditemukan beberapa perkataan yang mengandung maksud seperti yang disebutkan di atas, diantaranya ada yang disebut manombang, mangaranto, marjalang, marlompang, mangombo, mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak (Purba dan Purba, 1997).

Umumnya orang-orang yang disebut pangaranto dalam konsep umum marserak pada awalnya adalah kaum laki-laki yang belum kawin (berkeluarga). Mereka meninggalkan desanya pergi ke kota-kota di luar Tapanuli Utara untuk memperoleh pekerjaan di luar sektor pertanian. Sebutan tersebut dewasa ini sudah lebih luas, diberikan kepada yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga, yang bekerja di luar sektor pertanian, termasuk pegawai yang alih tugas dari daerah sendiri. Orang-orang yang pada awalnya bertujuan untuk melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja di daerah lain disebut juga pangaranto. Selain itu kemajuan zaman yang berkembang dengan cepat dan kebutuhan hidup yang semakin banyak dan beraneka menyebabkan pola hidup penduduk harus disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka itu yang mungkin sangat sulit untuk dipenuhi jika tetap tinggal dan bekerja di kampungnya. Tidak jarang anggota atau satu keluarga meninggalkan desanya pindah ke daerah lain. Usaha untuk mencari sumber kehidupan yang lebih baik dibanding dengan di daerah sendiri pada umumnya disebut mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak (Purba, O.H.S dan Purba Elvis,1997). Gerak penduduk yang demikian biasanya dilakukan untuk tujuan menetap. Mereka pindah tidak hanya ke sektor

(20)

pertanian tetapi juga di berbagai aktivitas yang dapat memberikan pendapatan dan meningkatkan status sosialnya.

Keberadaan masyarakat penutur BT di Medan dimulai sekitar tahun 1915 saat pembangunan jalan berkembang dengan cepat dari daerah perkebunan di daerah pesisir Timur menuju Siantar, Parapat, Porsea, dan Balige. Hal tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat BT untuk berimigrasi keluar daerahnya. Migrasi ini pertama-tama ditujukan pada daerah Simalungun sesudah masa revolusi. Bruner dalam Siahaan (2000) menyebutkan bahwa motivasi migrasi masyarakat BT adalah disebabkan kurangnya perkembangan ekonomi di tanah leluhurnya, sementara itu kota Medan memberikan bermacam kesempatan kerja, kesejahteraan yang lebih baik, dan semangat hidup.

Kondisi di pesisir Timur berkembang dengan pesat setelah dibangun hubungan jalan ke daerah Tapanuli. Di sini arus barang dan pedagang berdatangan. Hal ini berlangsung sampai tahun 1940 yang menyebabkan pesisir Timur menjadi wadah kehadiran suku BT bersamaan dengan kelompok-kelompok lain seperti Batak Karo, Simalungun, Mandailing, Asahan, Batubara, nelayan suku Melayu, pedagang-pedagang Minangkabau, pedagang, dan nelayan Aceh, tenaga kerja suku Jawa, tenaga kerja petani sayur dan pedagang Cina, dan lain-lain.

Kelompok-kelompok ini tinggal menetap yang walaupun tidak bercampur baur satu dengan lainnya, tetapi telah mengalami persentuhan sosial sehingga dalam melakukan komunikasi atau kontak bahasa dengan sesama kelompok etniknya dan etnik lainnya, masyarakat BT di Medan harus menggunakan bahasa Indonesia (BI) dan BT secara bergantian. Oleh karena itulah masyarakat BT dapat disebut sebagai penutur dwibahasawan (bilingual) sebagaimana disebutkan Weinreich (1953:121) the practice of alternately using two languages.

(21)

Berdasarkan data terakhir BPS tahun 2000, jumlah masyarakat BT di Medan hampir 365.758 jiwa (sekitar 19,20 % dari 2 juta jiwa populasi masyarakat Medan). Jumlah masyarakat BT yang tinggal di Medan tersebut berada di posisi kedua setelah etnik Jawa (628.898 jiwa). Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, jumlah tersebut pastilah telah semakin bertambah melihat semakin derasnya arus mobilisasi yang terjadi di kota Medan. Masyarakat tersebut menyebar di berbagai kecamatan di kota Medan antara lain di kecamatan Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Petisah, Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan Labuhan, Medan Deli, Medan Helvetia, Medan Sunggal, dan di beberapa kecamatan lainnya di kota Medan (Lihat Lampiran).

1.6.5 Bahasa Batak Toba

Bahasa BT yang digunakan oleh masyarakat penutur di pulau Sumatera mulai bagian timur, utara, dan selatan Danau Toba, dan di pulau Samosir termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa BT itu sendiri merupakan salah satu dari lima sub bahasa Batak yaitu bahasa Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak-Dairi, dan Batak Angkola-Mandailing. Masyarakat penutur masing-masing sub bahasa Batak disebut sesuai dengan sub bahasanya, misalnya penutur sub bahasa BT disebut suku BT, penutur sub bahasa Batak Karo disebut suku Batak Karo, dan seterusnya.

Berdasarkan hubungan kedekatan antara kelima bahasa Batak tersebut, terdapat tiga kelompok pembagian bahasa-bahasa Batak yaitu kelompok I adalah bahasa Batak Toba dan bahasa Batak Angkola Mandailing, Kelompok II adalah hanya bahasa Batak Simalungun, dan Kelompok III adalah bahasa Batak Karo dan bahasa Pakpak-Dairi. Artinya, bahasa BT dekat

(22)

dengan bahasa Angkola-Mandailing, dan bahasa Batak Karo dekat dengan bahasa Batak Pakpak-Dairi, sedangkan bahasa Batak Simalungun berada di tengah-tengah.

Sibarani (1997:2) mengungkapkan dua alasan mengapa masing-masing subsuku tersebut memiliki bahasanya sendiri, pertama, diantara subsuku pemakai bahasa itu sudah terdapat hambatan komunikasi atau hampir tidak terdapat lagi saling pemahaman (mutual intelligibility). Kedua, tiap-tiap suku itu mendukung dan menyatakan bahwa bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasanya sendiri.

Bahasa BT mempunyai tulisan tersendiri yang disebut dengan aksara BT yang berbentuk silabis yang disebut juga dengan bentuk abjad Devanagari yaitu satu tanda merupakan satu suku kata. Bentuk abjad daerah lainnya yang ada di Indonesia adalah aksara Jawa di Jawa, aksara Lampung di Sumatera Selatan, aksara Bugis di Sulawesi.

Namun aksara BT ini sudah jarang digunakan dan orang yang menguasainya sudah sangat minim. Menurut Kozok (1999 ) dan Parkin (1978 ) aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Dalam perjalanan waktu yang cukup panjang, aksara India Palawa asli berubah bentuk, menurunkan aksara Jawa Kuno atau Kawi hingga kepada aksara Batak. Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf. Menurut Tideman (1931) orang Batak pertama yang menggunakan tulisan Batak ialah Datu Tala di Babana berasal dari Borbor.

Pakar bahasa yang pertama mendalami surat Batak (tulisan) Batak adalah Herman Neubronner van der Tuuk yang dijuluki orang Batak Si Pandortuk dari Belanda. Pada tahun 1852-1857, van der Tuuk tinggal di Barus dan mempelajari bahasa dan tulisan Batak. Tahun 1854 dia berhasil mengumpulkan 2500 lembar folio berupa cerita rakyat yang dituliskannya sendiri atau disuruhnya dituliskan oleh orang Batak sendiri. Selanjutnya data yang

(23)

dikumpulkannya sebagian dituangkannya dalam buku bacaan dan tata bahasa. Hanya dalam waktu yang singkat yaitu tahun 1855 van der Tuuk telah menerbitkan Over Schrift en Uttspraak der Tobasche Taal (Perihal tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba).

Perkembangan tulisan Batak Toba tidak terlepas dari peranan gereja melalui dua orang pendeta perintis, Nommensen (1862) dan Johannsen yang memberikan khotbah pada setiap acara ibadah di Lembah Silindung. Sampai pada penerbitan alkitab Padan Na Imbaru (Perjanjian Baru) dalam Aksara Batak, peranan kedua pendeta ini sangat besar dalam usaha pembakuan dan penyebarluasan bahasa BT, disamping peranan para guru dari sekolah guru (Sikola Tinggi) Pansur na Pitu. Karena semakin banyak orang Batak yang bisa membaca, mulailah alkitab Perjanjian Baru terjemahan Nommensen diterbitkan dalam huruf Latin atas kerjasama lembaga Alkitab di Negeri Belanda dan Inggris sehingga seiring berjalannya waktu, kebanyakan orang Batak tidak menguasai lagi tulisan Batak (lihat Siahaan, 2005, Irmawati, 2007).

Demikianlah sejarah perjalanan panjang perkembangan tulisan akasara Pallawa BT sampai pada akhirnya menjadi aksara Latin yang digunakan masyarakat BT sekarang sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas sehari-hari.

Menurut Siahaan (1982), bahasa BT digunakan suku BT dalam kehidupan seharí-hari yaitu:

a. dalam kehidupan keluarga: suami-isteri, orang tua - anak, antarsaudara. b. interaksi sosial: tetangga sesuku, perkumpulan marga

c. kegiatan kerohanian (gereja): berkhotbah, berdoa. d. adat istiadat, dan sebagainya.

(24)

Asumsi dalam penelitian ini adalah bahwa gejala interferensi sebagai salah satu masalah dalam peristiwa kebahasaan penutur bilingual disebabkan adanya kecenderungan penutur untuk memasukkan unsur-unsur kedua bahasa yang dikuasainya saat berbahasa. Gejala interferensi ini diasumsikan terjadi juga dalam BT di Medan karena penutur BT yang bilingual BT-BI cenderung memasukkan unsur-unsur kedua bahasa secara bergantian saat berbahasa. Kemungkinan BT mengalami interferensi BI dimulai dari tingkat bunyi, kata, bahkan sampai pada tingkat kalimat.

Berdasarkan asumsi tentang adanya gejala interferensi dalam tuturan-tuturan BT yang mungkin terjadi di Medan yang akan dihubungkan pula dengan sikap bahasa penutur, maka dirumuskan empat hipotesis sebagai pegangan sementara sebagai berikut.

1. Terdapat interferensi BI terhadap BT baik pada tataran fonologis, gramatikal, maupun leksikal.

2. Terdapat perbedaan sikap bahasa penutur BT berdasar ciri sosial dengan variabel jenis kelamin, usia, lamanya tinggal, dan pemakaian bahasa.

3. Terdapat sikap bahasa yang positif penutur Batak Toba di Medan terhadap bahasa BT. 4. Terdapat korelasi yang signifikan antara sikap penutur BT di Medan dengan interferensi

bahasa dalam BT.

1.8 Klarifikasi Istilah

Berdasarkan deskripsi sebelumnya dapat dirumuskan beberapa istilah yang dipakai dalam kajian BT di Medan, baik yang sudah jelas-jelas dikemukakan dalam paparan tersebut maupun yang masih tersamar. Sebagian dari rumusan ini diharapkan sekaligus dapat mengklarifikasi ruang lingkup kajian yang digarap.

(25)

Yang pertama perlu ditegaskan adalah perihal bahasa BT yang merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh penutur etnik BT dalam berkomunikasi dengan penutur BT lainnya, baik dalam keluarga, tetangga, dan lingkungan sosial bernuansa kedaerahan. Penutur Batak Toba yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mereka yang lahir di daerah asal (bona ni pasogit), tinggal menetap di Medan ≥ lima tahun, dan merupakan penutur BT yang berdomisili di kota Medan. Selain itu penutur yang dimaksudkan dalam kajian ini merupakan komunitas bilingual BT dan BI.

Bilingualisme mengacu kepada penguasaan dan penggunaan dua bahasa atau lebih secara berganti-ganti, yang mengacu kepada orang yang menguasai bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2); penguasaan B2 itu dapat merujuk kepada yang produktif dan reseptif atau kepada penguasaan yang reseptif saja (dwibahasawan pasif)

Sebuah masyarakat tutur diasumsikan mempunyai sejumlah ranah kebahasaan, ranah itu merupakan konstelasi antara partisipan, topik, dan lokasi. Tuturan BT yang memperlihatkan gejala interferensi diperoleh dari berbagai situasi dalam empat ranah, yaitu ranah keluarga, tetangga, keagamaan, dan adat. Ranah ketiga pertama dari keempat ranah tersebut diambil dari Parasher dalam Sumarsono (1993), sementara itu digunakannya ranah adat dalam penelitian ini mengingat bahwa kegiatan adat merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari masyarakat BT. Sehingga terdapat istilah dalam masyarakat bahwa masyarakat BT itu hanya hidup untuk kegiatan adat saja, sebab bila mengikuti suatu acara adat, baik adat perkawinan, kelahiran, kematian, mereka harus hadir dari pagi sampai malam hari bahkan ada juga yang berhari-hari pelaksanaannya, misalnya acara adat untuk orang yang meninggal.

Dalam masyarakat bilingual seperti masyarakat etnik BT di Medan, kemungkinan terjadinya gejala interferensi selalu ada karena ketika berbahasa ada kecenderungan mereka

(26)

untuk memasukkan unsur-unsur kedua bahasa yang dikuasainya (BT dan BI) secara bergantian. Interferensi yang dimaksudkan di dalam kajian ini adalah interferensi yang sesuai dengan konsep Weinreich (1968) berdasarkan bukunya Languages in Contact yaitu interferensi pada aspek fonologi, gramatikal, dan leksikal.

Konsep sikap bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori sikap bahasa (languages attitude) Anderson (1974) yang menyebutkan bahwa sikap merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Sikap bahasa penutur ditandai oleh tiga ciri seperti yang diungkapkan Garvin dan Mathiot (1968) di dalam kertas kerja mereka berjudul ’The Urbanization of the Guarani Language: A Problem in Language and Culture’ yakni kesetiaan bahasa, sikap kebanggaan bahasa, dan sikap kesadaran terhadap norma-norma bahasa.

1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian disertasi ini terdiri atas sembilan bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang membahas ihwal latar belakang, masalah, tujuan, manfaat penelitian, batasan penelitian, penutur dan bahasa BT, asumsi dan hipotesis penelitian, klarifikasi istilah, dan sistematika penulisan. Bab kedua memuat kajian tentang interferensi, sikap bahasa, dan bahasa BT yang berisikan kajian terdahulu tentang interferensi, sikap bahasa, dan kajian tentang BT serta kesimpulan. Bab ketiga berupa kerangka teori yang berisikan konsep bilingualisme, konsep kontak bahasa, interferensi dan jenisnya, konsep tentang sikap bahasa dan ciri-cirinya serta kesimpulan. Bab keempat berisikan kajian tentang perbandingan sistem bahasa BT yang memuat tentang sistem fonologi BT, morfologi BT, sintaksis BT, sistem BI yang memuat fonologi BI, Morfologi BI, dan sintaksis BI. Selanjutnya dideskripsikan pula perbandingan sistem BT dengan

(27)

BI, serta kesimpulan. Bab kelima memuat metodologi penelitian yang memuat metode dan pendekatan, pengumpulan data, dan pengolahan data. Bab keenam memuat interferensi dalam BT yang memuat interferensi aspek fonologis, gramatikal, dan leksikal serta kesimpulan. Bab ketujuh merupakan sikap bahasa penutur BT dan interferensi yang memuat sikap bahasa berdasarkan variabel, signifikansi sikap bahasa penutur BT, kecenderungan sikap bahasa penutur BT, interferensi terhadap BT, korelasi sikap bahasa dengan interferensi, serta simpulan dan diakhiri dengan interpretasi dan pembahasan. Bab kedelapan memuat deskripsi bahasa BT di Medan. Bab kesembilan merupakan penutup yang terdiri atas simpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat latar belakang bahwa elektroda EWTh-2 memiliki hasil kekuatan tarik yang besar setelah dilakukan penelitian perbandingan dan dengan melihat bahwa setiap

Integrated Peripherals Power Management Setup PnP/PCIConfigurations CMOS Setup Utility-Copyright (C) 1984-2010 Award Software PC Health Status Load Fail-Safe Defaults Load

penulis bahas dalam skripsi ini “Tinjauan Mas{lah{ah Mursalah terhadap Jual Beli Jangkrik dengan Sistem Takaran di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali”, dan

Melihat carta dan / atau tayangan tentang peredaran darah manusia Mendata contoh penyakit yang berhubungan dengan sistem peredaran darah yang biasa dijumlai dalam

(Faktor fundamental yang terdiri dari : nilai buku, keuantungan dan PER saham secara serempak atau simultan tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham properti di

Penelitian ini telahmendeskripsikan (1) Implementasi pendekatan saintifik pada tiga sekolah dasar negeri wilayah gugus Bardimman unit pendidikan kecamatan Cilongok pada mata

Radio merupakan salah satu sumber informasi dan hiburan selain televisi dan surat kabar, radio bersifat auditif berbeda dengan televisi yang bersifat audio visual yang lebih

Ahmad yani 2016, dengan judul “Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada dinas perhubungan provonsi Jawa Barat.” Berdasarkan hasil penelitian ini analisis