• Tidak ada hasil yang ditemukan

J00382

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " J00382"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EKOFILOSOFI “DEEP ECOLOGY”:

MENGGUGAT PARADIGMA PEMBANGUNAN

Daru Purnomo1

A. Masih Adakah Kepedulian Lingkungan Hidup

Seiring dengan berakhirnya abad ke 20, masalah lingkungan menjadi hal yang utama. Serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan yang dalam waktu dekat akan segera menjadi tak dapat dikembalikan lagi (irreversible).

(Laporan worldwacht institute : State of the world,1997)

Setiap negara dan bangsa di setiap belahan bumi manapun berlomba – lomba

dan berusaha keras untuk mempertahankan hidup dengan mengelola, memanfaatkan,

dan menciptakan kemakmuran yang merata demi berlangsungnya kesejahteraan hidup

umat manusia. Pengeksplotasian sumber daya alam seperti gas, minyak bumi, aneka

tambang, sektor laut, dan sumber daya hayati yang nota bene tidak dapat diperbaharui

lagi menjadi suatu ancaman dan menjadi hal yang diperebutkan oleh umat manusia

demi alasan di atas. Dan hal ini menjadi mengerikan bila tidak diatur dengan kebijakan

yang tepat sehingga menjadi suatu isu penting bagi semua bangsa untuk

memikirkannya demi kelangsungan ras manusia di muka bumi ini. Satu hal yang

sekarang nampak didepan mata kita, adalah rusaknya tatanan lingkungan yang

disebabkan oleh kebijakan yang salah, dan entah kapan manusia menyadarinya untuk

bisa lepas dari penghancuran peradaban yang semakin mengancam.

Dalam tulisan ini akan mencoba melakukan perenungan kembali tentang

bagaimana seharusnya memahami kehidupan agar eksistensi mahkluk hidup tetap

berlangsung di muka bumi ini. Laporan worldwacht institute : State of the world di atas,

sebagaimana dikutip oleh Fritjof Capra (Capra, 1997 : 11) menandai babakan baru

bagaimana kehidupan harus dipahami, dijelaskan, dan dipecahkan, termasuk di

dalamnya masalah ekosistem. Apabila pada abad-abad sebelumnya kehidupan

dipahami sebagai krisis tunggal yang parsial, atomistik dan mekanistik, maka dalam

pemahaman Capra, saatnya sekarang kehidupan dipahami secara holistic ekologis,

(2)

dengan menempatkan manusia sebagaimana dalam suatu tatanan ekosistem. Dalam

pemikiran Capra, masalah-masalah dalam kehidupan tidak dapat dimengerti secara

terpisah. Masalah kehidupan merupakan masalah sistemik, artinya bahwa kehidupan

terdiri dari komponen-komponen yang semuanya saling terkait dan tergantung satu

dengan yang lain. Dicontohkan, kestabilan populasi dunia hanya mungkin bila

kemiskinan dikurangi di seluruh dunia. Kepunahan binatang dan spesies tumbuhan

khususnya di Negara-negara miskin dan sedang berkembang dalam skala

besar-besaran akan terus berlanjut, selama kemiskinan sebagai akibat jerat hutang yang

bertumpuk-tumpuk tidak terselesaikan.. Kelangkaan sumberdaya dan degradasi

lingkungan ditambah dengan pertambahan pesat populasi menimbulkan kerusakan

komunitas-komunitas lokal, kekerasan etnis dan suku (Capra, 1997 : 12).

Masalah lingkungan hidup menjadi agenda politik dunia dimulai sejak tahun

1980-an, dengan melahirkan paradigma pembangunan seperti yang sekarang dikenal

dengan istilah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Mula

pertama istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International

Union for the Conservation of Natur (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam

buku Building a Sustainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian sangat terkenal

melalui laporan World Commission on Environment and Development: “Masa Depan

Kita Bersama” (1987). Paradigma pembangunan berkelanjutan untuk kemudian

diadopsi sebagai agenda politik pembangunan semua negara di dunia melalui

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janerio (1992). Paradigma ini merupakan

babakan baru dalam startegi pembangunan, dimana orientasi (perspektif) ekologis

ditempatkan dalam dimensi penting pembangunan.

Namun sejarah mencatat, hingga dewasa ini agenda politik pembangunan

berkelanjutan belum sepenuhnya berjalan baik. Problem-problem serius seperti

kelangkaan sumberdaya alam, pencemaran sungai, pencemaran udara, kebakaran

hutan, pencurian kayu, kerusakan terumbu karang, pencemaran pesisir dan laut,

perdagangan satwa liar menunjukkan betapa terabaikannya aspek lingkungan hidup

dalam keseluruhan proses pembangunan. Hal ini belum termasuk gangguan penyakit

dan menurunnya kualitas kehidupan manusia akibat kerusakan dan pencemaran

(3)

itu menurut Sonny Keraf (Keraf, 2001 : 1) disebabkan oleh tidak dipahaminya

paradigma itu secara benar, dan di dalam kenyataannya pembangunan selama ini

telah kembali lagi ke arah paradigma developmentalism.

Selama ini dunia cenderung menganut teori pertumbuhan modern dan teori

modernisasi relative yang optimistic, sehingga tidak ambil pusing dan

mempermasalahkan tentang isu-isu kelangkaan dan kerusakan lingkungan tersebut.

Hal ini berbeda dengan kelompok klasik yang mengganggap masalah kelangkaan dan

kerusakan lingkungan sebagai keprihatinan utama dan harus ditangani serius apabila

tidak ingin peradaban manusia menjadi hancur. Dalam perkembangannya,

membuktikan bahwa kelangkaan absolute benar-benar ada, dan ini tentunya akan

mengakibatkan “batas pertumbuhan” (Brookfield, 1975). Memang yang jadi masalah

adalah membuktikan batas seperti apa untuk pertumbuhan macam apa, dan dalam

perspektif waktu yang bagaimana kelangkaan itu terjadi. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut masih dipersoalkan oleh kelompok optimistic, walaupun mungkin telah dijawab

dengan cara yang tidak memuaskan, namun tidak ada alas an untuk mengingkari,

menutupi, ataupun mengabaikan bahwa isu kelangkaan dan kerusakan lingkungan

adalah nyata. Transisi dari developmentalism yang antroposentris ke paradigma

pembangunan berkelanjutan yang ekosentris hingga sekarang belum kelihatan dan

masih sebatas wacana saja.

Menurut Sonny Keraf (Keraf, 2001, 2), paradigma pembangunan

berkelanjutan adalah soal moral politik pembangunan. Dalam hal ini paradigma

pembangunan bukanlah sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, dan

bukan pula tentang pembangunan ekonomi, tetapi sebagai etika politik tentang konsep

pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya

dijalankan. Kekeliruan pemahaman atau bias pemahaman akan hal ini menyebabkan

cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud. Lalu, mengapa pula

krisis ekologi semakin menjadi-jadi seperti sekarang ini ? karena selain hal di atas,

ternyata pembangunan yang dijalankan selama ini tetap saja mengacu pada

pertumbuhan ekonomi sebagaimana diajarkan oleh paham developmentalism.

Akibatnya, terjadilah pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara

(4)

Bias pemahaman paradigma pembangunan berkelanjutan dan jebakan orientasi

pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan implikasi

timbulnya ketidakadilan bagi lingkungan hidup menjadi landasan dalam penulisan ini.

Dengan menggunakan perspektif ekofilosofi Deep Ecology, tulisan ini berusaha

memberikan penjelasan pemikiran bagaimana seharusnya lingkungan hidup menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan kehidupan manusia secara

utuh.

B. Ekofilosofi Deep Ecology : Cara Baru Memandang Lingkungan

Banyak ideology atau isme yang berkaitan dengan lingkungan yang akhirnya

berkembang menjadi politik suatu Negara. Salah satu isme yang muncul menjadi politik

lingkungan itu adalah Movementisme. Dalam ideology ini, tema ekologi yang disebut

ekofilosofi atau ekosofi menjadi salah satu alat untuk memahami lingkungan saat ini.

Istilah Deep Ecology, sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi

ekologi ‘mendalam’ untuk membedakan dengan Shallow Ecology (ekologi ‘dangkal’)

(Lihat, Capra, 1997 : 17). Deep Ecology adalah sebuah aliran filsafat yang didirikan oleh

filsuf Norwegia, Arne Naess di awal tahun 70 an. Aliran filsafat ini berkembang sangat

pesat dan sekarang menjadi terkenal. Naess melihat bahwa kelompok gerakan ekologi

“dangkal” (Shallow Ecology Movement), menekankan pada pendapat bahwa

pencemaran lingkungan dan penguasaan sumberdaya harus ditentang dan dilawan

demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat industri. Kelompok ini oleh

Naess dianggap sebagai suatu gerakan ekologi dangkal karena hanya mementingkan

kelompok Negara industri dan bukan seluruh ekosfer. Sehingga interpretasi Negara

industri berkaitan dengan lingkungan membolehkan mengekspor pencemaran ke

Negara lain (Negara berkembang) dan mendirikan industri yang banyak menggunakan

sumberdaya alam di Negara berkembang. Sebagai contoh disini adalah DDT yang

sudah dilarang di USA sejak tahun 1968, dimana teknologi memproduksi DDT justru di

ekspor ke Negara berkembang. Padahal DDT adalah salah satu dari sepuluh

insektisida organochlorin yang dilarang di USA sejak tahun 1968 (ludvik, 1980).

Pelarangan ini terjadi setelah musibah yang dilaporkan Carson (1962) dengan buku

(5)

berbahayanya peptisida bagi kehidupan mahkluk hidup. Sebagai tandingan terhadap

gerakan itu, maka muncullah gerakan ekologi mendalam (Deep Ecology Movement)

yang berusaha untuk mengubah paradigma secara radikal berkaitan dengan

bagaimana memahami, menjelaskan, dan memperlakukan lingkungan sebagai satu

kesatuan integral dalam proses kehidupan.

Sebagai sebuah aliran filsafat baru, paradigma Deep Ecology berbeda dalam

memandang dunia jika dibanding dengan aliran filsafat sebelumnya, yaitu Ekologi

‘Dangkal’ (Shallow ecology). Paradigma baru ini dapat dikatakan sebagai suatu

pandangan dunia yang holistik. Dunia dipahami sebagai suatu keseluruhan yang

terpadu ketimbang suatu kumpulan bagian-bagian yang terpisah-pisah. Ia juga bisa

disebut sebagai suatu pandangan ekologis. Istilah ekologis ini dipahami dalam arti luas,

yakni kesadaran yang mendalam yang mengakui kesaling-tergantungan fundamental

semua fenomena dan fakta bahwa, sebagai individu dan masyarakat semuanya terlekat

dalam dan bergantung secara mutlak pada proses siklis alam. Dalam pemikiran

paradigma deep ecology, maka penilaian terhadap lingkungan hidup yang berupa

sumberdaya alam hayati, tidak hanya memperhatikan faedah atau manfaat langsung

pada manusia, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana memahami hak keberadaan

(eksistensi) mahkluk hidup yang lain. Ekosistem dipahami sebagai suatu system

jaringan keseluruhan makhluk hidup dan manusia termasuk di dalamnya.

Dalam pemaknaan Deep Ecology, sifat holistik tidak berhenti pada pengertian

hubungan fungsional antar bagian-bagian, di mana pada masing-masing bagian terjadi

saling ketergantungan. Lebih dari pada itu segera perlu ditambahkan adanya faktor

keterhubungan dengan basis lingkungan alamiah dan basis sosialnya. Ketika berpikir

tentang sepeda motor misalnya, persepsi yang muncul tidak hanya sebatas pada

sepeda motor sebagai suatu keseluruhan fungsional dan karena itu mengerti

kesaling-tergantungan bagian-bagiannya. Pandangan Deep Ecology mengenai sepeda motor

mencakup pandangan holistik, tetapi segera ditambahkan persepsi tentang

bagaimana sepeda motor tersebut terlekat dalam lingkungan alamiah dan

sosialnya-dari mana didapat bahan mentahnya, bagaimana sepeda motor tersebut diproduksi

secara massal, bagaimana pemakaiannya mempengaruhi lingkungan alamiah dan

(6)

Berbeda “ekologi dangkal” yang bersifat antropocentris, atau berpusat pada

manusia, di mana manusia berada di atas atau di luar alam — manusia adalah sumber

nilai dan alam dipandang bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai guna. Ekologi

‘dalam’ tidak memisahkan manusia atau apapun dari lingkungan alamiahnya.

Benar-benar melihat dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah tetapi sebagai

suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama

lain secara fundamental (system). Ekologi ‘dalam’ mengakui nilai intrisink semua

mahluk hidup dan memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaringan

kehidupan.

Menurut Arne Naess, (Dikutip oleh Sessions, 1985 : 74), ekologi ‘dalam’ dicirikan

oleh pertanyaan-pertanyaan paradigmatik, yakni pertanyaan-pertanyaan mendalam

tentang fondasi-fondasi utama pandangan dunia dan cara hidup yang bersifat modern,

ilmiah, industrial, berorientasi pertumbuhan dan materialistis. Semua pertanyaan

mendasar ini kembali dipertanyakan dari perspektif ekologis : dari perspektif hubungan

kita satu sama lain, dengan generasi-generasi masa depan dan dengan jaringan

kehidupan di mana kita adalah bagiannya.

Ekologi ‘dalam’ sebagaimana dinyatakan Capra (Capra, 1997 : 18), pada

akhirnya tidak lain adalah kesadaran spiritual dan religius, yaitu ketika jiwa manusia

dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan sesuatu rasa memiliki,

dari rasa keberhubungan kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan.

Menutup uraian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa paradigma lama, Ekologi

‘Dangkal’ didasarkan pada nilai-nilai antroposentris (berpusat pada manusia),

sedangkan paradigma baru, yakni Ekologi ‘Dalam’ didasarkan pada nilai-nilai ekosentris

(berpusat pada bumi/alam atau ekosfer). Ekologi ‘dalam’ merupakan padangan dunia

yang mengakui nilai-nilai yang melekat pada kehidupan nonmanusia, mengakui

eksistensi semua makhluk. Semua mahluk hidup adalah anggota komunitas-komunitas

ekologis yang terkait bersama dalam suatu jaringan yang saling bergantung.

Terganggunya salah satu anggota komponen komunitas akan menyebabkan

terganggunya system secara keseluruhan.

(7)

Krisis lingkungan hidup sebagai tantangan global umat manusia pada awal abad

21 telah menggugah kesadaran baru untuk merenungkan kembali tentang cara

memperlakukan alam dan lingkungan sebagai tempat serta sumber kehidupan.

Alih-alih demi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang terjadi

justru krisis lingkungan hidup yang pada akhirnya umat manusia itu sendiri yang akan

menjadi korbannya. Berbagai bencana: perang, banjir, penyakit, kelaparan, konflik,

yang selalu mewarnai dalam setiap pemberitaan menjadi bukti bahwa dampak dari

krisis lingkungan sudah terjadi dan ada didepan mata kita.

Upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia di satu sisi dan krisis

lingkungan hidup di pihak yang lain, mengajak untuk memikirkan kembali secara

mendasar, adakah yang salah dalam memperlakukan lingkungan hidup demi

mengejar kesejahteraan umat manusia, adakah yang salah dalam startegi

pembangunan yang selama ini dijalankan ?

Tidak dapat disangkal bahwa, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi

semua negara berkembang adalah kemiskinan dari sebagian besar rakyatnya. Untuk

mengatasi masalah besar ini, memang pembangunan ekonomi merupakan sebuah

keharusan. Sampai di sini tampaknya tidak ada logika yang salah, namun secara

mendasar justru tepat di titik inilah persoalan mulai muncul. Pertanyaan fundamental

dapat diajukan: apakah makna kemiskinan itu ? benarkah model pembangunan

ekonomi yang dipakai mampu mengangkat masyarakat dari kemiskinan secara

bermakna ? haruskah demi pembangunan ekonomi, lingkungan hidup mesti

dikorbankan ? Samapai batas manakah kebutuhan manusia tercukupi ?

Gugatan di atas bersifat mendasar dan dapat diberi jawaban beragam,

bergantung pada rezim paradigma mana orang melihatnya. Kemiskinan misalnya,

ketika ia dipahami dari paham materialisme, maka maknanya hanya sebatas sebagai

kemiskinan material-ekonomis. Reduksionis model paham materialisme dengan

demikian menafikan dimensi-dimensi lain dari kemiskinan itu, yakni dimensi spiritual,

sosial-budaya dan lingkungan. Akibatnya penanganan masalahnyapun menjadi sangat

dangkal, sebatas menyangkut pembangunan aspek material-ekonomis dengan

melupakan penanganan aspek spiritualitas, aspek sosial budaya sembari melakukan

(8)

Model pembangunan developmentalism yang bertumpu pada manusia sebagai

pusat perhatian (antroposentris) berangkat dari pemahaman materialisme demikian itu.

Orientasi pembangunan yang mengejar pertumbuhan material-ekonomis

menumbuhkan pola produksi dan konsumsi yang berlebihan dengan akibat alam

menjadi objek eksploitasi yang berlebihan pula. Ironisnya pola produksi dan konsumsi

macam ini ternyata semakin terpenuhi semakin menjadi tak terpuaskan. Ini berarti

semakin banyak kekayaan alam dieksploitasi – semakin rakus dan tamak manusia,

maka semakin hancur lingkungan hidup.

Meniru gaya negara-negara maju dalam melakukan produksi dan konsumsi yang

berlebihan, maka negara-negara berkembang pun menerapkan model serupa. Tak ayal

dengan dalih untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju, maka negara-negara

berkembang dengan giat melakukan pembangunan dengan ukuran keberhasilan

bersifat ekonomi-materi. Kemajuan lalu dimaknai sebagai kemajuan ekonomi dan

materi semata. Keterbelakangan suatu negara pun dipahami dalam kerangka

keterbelakangan ekonomi materi ini. Tak mengherankan jika kemudian negara-negara

berkembang memilih beramai-ramai mengejar ketertinggalannya dari negara-negara

maju dengan memacu pertumbuhan ekonomi, yang tidak lain berarti menggenjot

eksploitasi sumberdaya alamnya. Strategi pembangunan dengan segala indikatornya

yang diterapkannya-pun seakan-akan sama, dengan alasan telah ada bukti

(Negara-negara maju saat ini).

Menyadari kelemahan pembangunan model developmentalism yang hanya

mengukur kemajuan berdasarkan keberhasilan ekonomi-materi, dimunculkanlah

gagasan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut

Sachs (1974:9) “…. Ecodevelopment adalah suatu gaya pembangunan yang dalam setiap

kawasan ekologi, membutuhkan solusi khusus bagi masalah tertentu di kawasan tersebut

berdasarkan data cultural dan data ekologi serta kebutuhan jangka panjang dan mendesak.

Karena itu, pembangunan berwawasan ekologi dilaksanakan berdasarkan criteria

pembangunan yang dihubungkan dengan setiap kasus tertentu, dan penyesuaian diri terhadap

lingkungan memainkan peranan penting”. Pembangunan berkelanjutkan ingin

mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek

(9)

lingkungan (Keraf, 2001 : 2). Pesan yang terkandung dalam model pembangunan ini

adalah bahwa pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan harus dipandang

saling terkait satu sama lain, dan karena itu unsur-unsur dari kesatuan yang terkait ini

tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan yang lain. Dengan demikian

tidak ada lagi dasar pembenaran bahwa demi kemajuan ekonomi boleh mengorbankan

aspek sosial budaya dan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan bertumpu pada pemahaman yang holistik dan

integratif terhadap ketiga aspek pembangunan. Hal ini disebabkan karena model

pembangunan developmentalism ternyata menimbulkan kerugian yang besar dari sisi

sosial budaya dan lingkungan. Kehancuran sosial budaya dan lingkungan telah

menyebabkan negara dan masyarakat membayar mahal, tidak saja dalam hitungan

finansial melainkan juga dalam bentuk kehancuran sosial budaya dan kekayaan sumber

daya alam dan lingkungan (Keraf, 2001 :3). Transisi dari developmentalism ke

ekosentism dalam penguasaan alam harus: (1) menguntungkan semua orang, tidak

hanya sekelompok kecil penguasa; (2) memelihara keseimbangan dialektis ekologi

alam dalam harmoni dengan kebutuhan manusia, dan (3) dicirikan oleh pemahaman

teoritis dan apresiasi estetis terhadap alam.

Namun setelah lebih dari dua dekade model pembangunan berkelanjutan

dijalankan, pada akhirnya menuai kritik juga. Ada empat alasan mengapa model

pembangunan berkelanjutan harus dikritisi (lihat Keraf, 2001 : 15) :

Pertama, watak developmentalisme tidak ditinggalkan sama sekali, malah justru

diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan itu. Dengan

paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonversi dan yang

diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri, bukan alam atau ekologi;

Kedua, Paradigma pembangunan berkelanjutan tetap mendasarkan pada pandangan

antroposentris, yaitu cara pandang yang menganggap alam sekedar

sebagai alat pemenuhan kebutuhan material manusia;

Ketiga, Paradigma pembangunan berkelanjutan mengasumsikan bahwa manusia bisa

menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Hal ini

(10)

misteri yang dalam arti tertentu sulit diprediksi, termasuk daya dukung dan

ambang batas toleransinya;

Keempat, Paradigma pembangunan berkelanjutan justru bertumpu pada ideologi

materialisme yang tak diuji secara kritis, tetapi diterima begitu saja sebagai

benar.

Melihat kelemahan-kelemahan dari model pembangunan berkelanjutan, ada

ajakan untuk meninggalkan saja model pembangunan demikian itu, dengan

menerapkan kebijakan yang lebih radikal. Kebijakan radikal ini dilakukan dengan cara

melakukan perlindungan terhadap semua spesies, subspesies, keberanekaragaman

hayati, komunitas dan ekosistem sedapat yang dapat dilakukan. Kepunahan dan

kematian tentu tidak dapat dihindari, tetapi janganlah menambah kepunahan dan

kematian itu dengan tindakan manusia itu sendiri. Manusia tentu saja berhak untuk

memanfaatkan warisan alam, tetapi hendaknya itu dilakukan dengan penuh

kehati-hatian, agar tidak terjadi kepunahan pada kekayaan alam yang ada.

Kebijakan demikian itu dapat dijalankan manakala manusia mengakui

keterikatannya dengan lingkungan alam dan mempertimbangkan nilai lain, selain nilai

ekonomi. Mewarisi warisan alam adalah memberi prioritas pada nilai lain selain nilai

ekonomis; nilai keindahan alam (estetika); nilai penghormatan akan apa yang ada dan

yang tidak diciptakan sendiri dan lebih dari itu (religius), nilai dari kehidupan itu sendiri

(eksistensi), sebuah fenomena (sebagai sumber pengetahuan, pendidikan dan

pengajaran), yang bahkan sampai sekarang melalui akal budi manusia tidak mampu

dijelaskan.

D. Keadilan Lingkungan : Penutup

Pembangunan merupakan upaya manusia untuk melakukan perubahan guna

mencapai kesejahteraan. Namun sejalan dengan terjadinya perubahan terdapat

dampak positif dan dampak negatif yang menyertainya. Kemajuan tehnologi, industri

dan komunikasi adalah satu hal yang membawa berkah bagi peningkatan

kesejahteraan ekonomi material manusia, namun di sisi lain kemajuan tersebut juga

harus ditebus dengan harga yang sangat mahal karena rusaknya lingkungan sosial

(11)

Pendekatan developmentalis yang bertumpu pada paham materialisme terbukti hanya

mampu memberi kesejahteraan yang bersifat fisik-ekonomis dengan meminggirkan

dimensi kesejahteraan yang lain. Pendekatan developmentalis terbukti mengabaikan

dimensi sosial-budaya dan spriritual sembari menguras lingkungan alam secara

habis-habisan.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diunggulkan untuk

menggantikan paradigma pembangunan sebelumnya, tampaknya juga tidak mampu

berbuat banyak untuk memberikan perhatian kepada lingkungan hidup. Walaupun

paradigma ini berusaha untuk mengintegrasikan dan memberikan bobot yang sama

dimensi-dimensi pembangunan, yaitu ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup,

namun toh orientasi kebijaksanaanya tetap menomor-satukan pembangunan

(ekonomi), bukan pada dua aspek pembangunan yang lain. Akibatnya tetap saja, alam

lingkungan semata dipandang sebagai objek yang siap dieksploitasi atas nama

kesejahteraan manusia.

Tawaran paradigma ekologi ‘dalam’ (deep ecology) mencoba untuk mengatasi

kebuntuan cara berpikir dan bertindak manusia atas nama pembangunan untuk

kesejehateraan umat manusia. Ekologi ‘dalam’ yang berpandangan holistik-ekologis

memandang capaian kesejahteraan tidak berdasar pada kemajuan ekonomi semata.

Tolok ukurnya adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan

ekologis, sosial budaya dan ekonomi secara integratif. Gaya hidup yang dibangun tidak

lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang berlebihan, tetapi

sikap kesederhanaan tetapi kaya makna. Barangkali kita memang harus belajar lagi

pada kearifan para leluhur dan nenek moyang kita, yang hidup dalam kekayaannya

bersama alam tanpa merusak alam.

Barangkali benar juga apa yang dikatakan Capra di atas, bahwa kesadaran

ekologis tidak lain adalah kesadaran spiritual dalam essensinya yang paling dalam.

Kesadaran ekologis sebenarnya sudah ada sejak nenek moyang kita, dasar etika

melalui agama pun telah mengajarkan pada kita. Dalam system nilai agama Hindu atau

Budha mengajarkan, dimana manusia hanyalah sebagai bagian dan mungkin bahkan

bukan yang sangat penting dari tata alam semesta. Dalam agama Kristen dipahami

(12)

sebagai wakil pembari mandate (Tuhan), artinya manusia boleh saja memanfaatkan,

menguasai alam tetapi ketatawian alam haruslah ditempatkan sebagai tanggung jawab

pelaksana mandate. Demikianhalnya dalam agama Islam mengajarkan hendaknya

manusia memiliki rasa syukur, sabar, adil, taat dan qonaat sebagai upaya

mengendalikan diri dari hawa nafsu serakah dalam memanfaatkan lingkungan hidup.

Bahan Bacaan:

Brookfield,H. 1975. Interdependent Development, Metheun, London

Capra, Fitjof, 2001. Jaring-Jaring Kehidupan : Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Fajar Pustaka Baru.

Croall,, Stephen dan W. Rankin, 1991. Ecology for Beginners, Icon Books Ltd., Cambridge.

Daldjoeni,N;dan A.Suyitno, 1985. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Alumni, Bandung.

Hettne, Bjorn, 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Keraf, Sonny, 2001. Pembangunan Berkelanjutan Atau Berkelanjutan Ekologi, dalam Hukum dan Lingkungan Hidup Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta.

Redclift,M. 1987. Sustainable Development: Exploring the Contradictions. Methuen, London and new York.

Sachs, I. 1974. Ecodevelopment. Ceres 17 No.4: 17-21.

Salim, Emil, 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES: Jakarta

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Gaung pemerintah dalam upaya mewujudkan cita-cita pembangunan nasional kian menjadi perhatian. Pembangunan diarahkan kepada kemajuan kualitas manusia. IPM sebagai tolok ukur

Sejak pukul enam petang itu orang berdatangan. Tuju- an orang itu tidak lain alun-alun kerajaan. Perhatian rakyat tertuju ke pusat kota, yaitu alun-alun. Walaupun demikian,

Selain itu prioritas pembangunan selama tahun 2013 dengan program pembangunan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada peningkatan kesejahteraan melalui berbagai upaya

Arah pembangunan yang bertumpu pada upaya pencapaian pembangunan manusia (SDM), peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur, serta upaya untuk meningkatkan

Kebijakan dan politik pendidikan menekankan pada pengembangan sumber daya manusia yang menjadi pusat perhatian semua sektor dan subsektor pembangunan nasional menunjukkan

Korten sendiri menyebut bahwa dalam model pembangunan yang berpusat pada manusia, harus ditekankan pada pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada

Kebudayaan ini berkembang sebagai hasil interaksi manusia dengan sesama manusia, dengan alam sekitar dan dengan penciptanya (perkecualian untuk budaya materialisme barat yang

Basis Penilaian Gagasan praktis Klasik -antroposentris -manusia sebagai subjek moral (person) -kebaikan terhadap hewan merupakan kebaikan pada manusia itu sendiri (Kant)