1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik kemanusiaan tahun 1999 di Maluku mengakibatkan terjadi banyak kerusakan, tidak hanya menyangkut kerusakan ekonomi, kerusakan bangunan atau kerusakan infrastruktur semata, namun juga terjadi kerusakan di dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Relasi-relasi sosial yang telah dibangun sejak berpuluh-puluh tahun lalu tiba-tiba menjadi renggang. Tembok-tembok pemisah mulai dirancang dan dibangun sedemikian rupa untuk meredam dan mematikan hubungan dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat, bahkan banyak masyarakat yang masih hidup dengan ketakutan dan kecurigaan karena konflik.
Dalam situasi seperti ini, muncul upaya-upaya rekonsiliasi yang bertujuan untuk menyembuhkan masyarakat Maluku dari konflik kemanusiaan yang terjadi. Upaya rekonsiliasi tersebut diprakasai oleh pemerintah Indonesia dan juga dari masyarakat Maluku sendiri. Dari pihak pemerintah di buat perjanjian Malino 21 untuk merekonsiliasi konflik di Maluku. Namun upaya tersebut gagal karena pendekatan dalam perjanjian
1 Novi Pinontoan, “Beta Meliput, Beta Berkisah, Beta Menangis” dalam Carita
Orang Basudara, eds by Jacky Manuputty dkk, (Ambon: Lembaga antar Iman Maluku,
2
Malino 2 bersifat top-down, yang mana perjanjian Malino 2 hanya menyentuh tokoh-tokoh akar rumput (tokoh agama dan tokoh masyarakat) dan tidak menyentuh masyarakat akar rumput yang secara langsung adalah pelaku dan korban konflik. Sehingga masyarakat akar rumput tidak merasa terikat dengan perjanjian Malino 2.
Dari masyarakat Maluku sendiri rekonsiliasi terbentuk melalui kearifan lokal yang terkristalisasi di dalam falsafah hidop orang
basudara2, seperti menghidupkan kembali panas-pela antar desa/kampong yang berkonflik, tetapi mempunyai hubungan pela3, dan juga mempraktekan nilai-nilai hidup positif yang terdapat di dalam falsafah
hidop orang basudara, seperti saling menyayangi dan menolong. Sebagai
masyarakat Maluku yang terikat dengan identitas Kemalukuannya, maka rekonsiliasi yang dilakukan dengan berbasis pada kearifan lokal Maluku berhasil menyembuhkan masyarakat Maluku dari konflik kemanusiaan yang terjadi.
Berdasarkan realitas rekonsiliasi dan pentingnya rekonsialiasi di Maluku yang berdampak pada penyembuhan masyarakat Maluku pasca konflik, maka proses rekonsiliasi menjadi salah satu prioritas utama yang
2 Pandangan hidup masyarakat Maluku, di mana dalam pandangan ini, tercipta
kehidupan yang harmonis antara satu individu dengan individu lainnya dan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya karena didasari rasa mengasihi, tolong menolong, sepenanggunan dan saling menghargai.
3
Hubungan persaudaraan dalam jaring laba-laba sosial (social web) masyarakat Maluku.
3
terus dilakukan di Maluku. Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai institusi keagaaman Kristen terbesar di Maluku berperan secara aktif dalam proses rekonsiliasi masyarakat. Bahkan Ketua Sinode GPM menginginkan supaya gereja dapat menjadi tempat membangun dan memelihara rekonsiliasi di Maluku. Karena itu, GPM perlu menjadi gereja orang basudara yang mampu merekonsiliasi manusia Maluku.4
Pernyataan ketua sinode GPM tentang GPM sebagai gereja orang
basudara adalah refleksi dari identitas Manusia Maluku yang hidup dalam jaring laba-laba sosial budaya. Manusia Maluku bertumbuh di dalam falsafah
hidop orang basudara sebagai sebuah paradigma hidup yang dibangun
berdasarkan kesadaran bersama manusia Maluku. Kesadaran bersama
falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah paradigma hidup dapat
ditemukan berkembang secara luas di dalam lagu-lagu rakyat dan relasi-relasi pela di Maluku.5
Artinya, secara sadar manusia Maluku menyadari bahwa manusia Maluku adalah manusia yang majemuk dan juga particular secara geografis, dan di dalam kesadaran akan perbedaan itu, muncul sebuah kesadaran bersama untuk saling menerima perbedaan yang ada. Karena itu, untuk membangun sebuah hidup yang baik di dalam perbedaan yang
4 Hasil percakapan penulis dengan Ketua Sinode GPM di Salib Putih, Salatiga,
tanggal 27 Januari 2017, pukul 20.00 WIB.
5 Izak Lattu, “Orality and Interreligious Relationships the Role of Collective
Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia”, PhD. Diss., Graduate Theological Union, 2014, 56-64.
4
ada, maka manusia Maluku secara bersama mengkonstruksikan sebuah paradigma hidup bersama berdasarkan kesadaran mereka untuk mencapai hidup yang baik dalam perbedaan mereka, dan paradigma hidup itu terus dipakai sebagai landasan dalam kehidupan masyarakat Maluku, seperti di daerah Wayame6 misalnya.
Bertolak dari kesadaran bersama tersebut, maka falsafah hidop
orang basudara dipahami sebagai perekat masyarakarat Maluku yang
majemuk dan particular. Abidin Wakano menjelaskan bahwa falsafah
hidop orang basudara merupakan budaya orang Maluku yang sangat
menghargai perbedaan, baik itu suku, agama maupun golongan dan persaudaraan ini bersifat proeksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung jawab terhadap yang lain.7 Lebih jauh Aholiab Watloly menegaskan bahwa, orang basudara adalah cara hidup yang menempatkan diri sesama anak negeri Maluku, baik yang berbeda pulau bahasa, maupun agama di dalam sebuah keutamaan hidup sebagai saudara sekandung anak negeri, untuk hidup saling melindungi (baku
kalesang), saling peduli (baku peduli), saling mengasihi (baku sayang)
6
Desa Wayame adalah salah satu desa di Kecamatan Teluk Ambon. Desa ini dikenal dengan monument hidup dari falsafah hidop orang basudara, karena ketika terjadi konflik kemanusiaan di Maluku, desa Wayame yang penduduknya begitu majemuk, baik dari segi sosial dan agama tidak berkonflik, melainkan hidup berdamai.
7 Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 6.
5
dan saling mendamaikan (baku bae).8 Falsafah hidup ini kemudian terbingkai di dalam pranata-pranata lokal masyarakat seperti: akta perjanjian pela-gandong, larvul-ngabal, kai-wait, bela dan ain ni ain.9
Karena itu, jika GPM ingin menjadi gereja orang basudara di Maluku yang mampu untuk merekonsiliasi manusia Maluku pasca konflik, maka teologi GPM mesti berpijak di atas pijakan hidop orang basudara yang adalah falsafah hidup manusia Maluku itu sendiri. Akan tetapi, GPM belum merumuskan falsafah hidop orang basudara untuk menjadi sebuah paham teologi yang dapat menjadi pijakan bagi GPM untuk menjadi gereja orang basudara di Maluku.
Beberapa pemikir telah menempatkan rekonsiliasi sebagai kebutuhan GPM dalam konteks Maluku pasca konflik kemanusiaan tahun 1999, salah satunya adalah pdt Jacky Manuputty dalam materi tentang peran gereja dalam resolusi konflik.10 Karena itu, muncul beberapa pikiran secara sporadis yang berbicara tentang kearifan lokal sebagai rekonsiliasi GPM, salah satunya adalah pdt Markus Takaria yang berbicara tentang relasi salam-sarane11 sebagai konsep atau pandangan hidup di mana orang
8 Aholiab Watloly, “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam
Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, (Ambon: Ralahalu Institut, 2012), 241.
9 Hubungan persaudaraan dalam jaring laba-laba sosial (social web) masyarakat
Maluku.
10 Jacky Manuputty, Peran Gereja Terhadap Resolusi Konflik, dalam kuliah
umum di auditorium fakultas teologi, 07/04/2017, 08.00 Wib.
11
Salam adalah sebutan bagi orang yang beragama Islam di Maluku, dan Sarane adalah sebutan bagi orang Kristen di Maluku.
6
maluku memahami hidup secara bersama.12 Dengan memahami hidup secara bersama, maka di situ akan terbentuk rekonsiliasi untuk membina relasi secara baik. Lebih jauh, Pdt. Markus Takaria mengakui bahwa
salam-sarane sebagai pandangan dunia yang mengandung nilai teologis
dapat dipakai sebagai dasar membangun teologi orang basudara sebagai teologi GPM.13
Sebagai institusi, GPM telah merumuskan banyak pemahaman tentang teologi GPM yang dapat dilihat dari pokok-pokok pengakuan iman GPM,14 tetapi belum ada yang secara serius membicarakan dan merumuskan falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah teologi GPM. Padahal, seperti yang sudah digambarkan sebelumnya, falsafah hidop
orang basudara sangat penting karena dapat merekonsiliasi kehidupan
sosial dan keagamaan di Maluku, serta dapat menampilkan wajah GPM yang lebih ramah dengan denominasi agama dan suku yang begitu plural di Maluku.
Demi menjawab kebutuhan GPM untuk menjadi gereja orang
basudara di Maluku, maka penting untuk memikirkan suatu teologi orang basudara yang dibangun berdasarkan falsafah hidop orang basudara itu
12 Markus Takaria, Teologi Orang Basudara: Salam-Sarane Sebagai Panggilan
Agama-Agama di Maluku dalam Delapan Dekade GPM, (Salatiga: Satya Wacana
University Press, 2015), 294.
13 Ibid, 294. 14
BPH Sinode GPM, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM (Ambon: Percetakan GPM, 2006).
7
sendiri. Karena selama ini semua pemikiran tentang falsafah hidop orang
basudara telah menjadi bagian dari refleksi bergereja di Maluku, tetapi
belum terdapat usaha untuk merumuskan falsafah tersebut ke dalam suatu bangunan berpikir keilmuan sebagai suatu teologi.
Tesis ini adalah upaya membangun sebuah teologi lokal GPM berdasarkan fasafah hidop orang basudara. Penulis akan memakai beberapa pikiran dari tokoh-tokoh seperti, Clemens Sedmark tentang teologi lokal sebagai pintu masuk untuk merancang teologi orang
basudara, dan juga didukung oleh R.J. Schreiter, dan C.S. Song, karena
teologi orang basudara adalah sebuah teologi lokal, bukan teologi kontekstual. Meskipun teologi lokal dan teologi kontekstual sama-sama membicarakan teologi yang sesuai dengan konteks tertentu, tetapi menurut Preman Niles yang dikutip Izak Lattu dalam tulisan Kekristenan Poliponik, teologi lokal sangat memperhatikan konteks lokal sebagai sumber dan inti dari proses berteologi itu sendiri,15 sedangkan teologi kontekstual hanya berusaha mengkontekskan sumber dan inti teologi warisan barat dengan konteks lokal tertentu. Bagi Clemens Sedmak, teologi itu harus berbicara mengenai identitas dan kehidupan kita sebagai
15 Izak Lattu, Kekristenan Poliponik: Mendialogkan Teologi dan Budaya Lokal
dalam Theologia: Jurnal Teologi Interdisipliner (Volume IV, No 1, Bulan Agustus, Tahun 2009), 97.
8
ciptaan Tuhan. Karena itu, teologi harus berbicara tentang hidup.16 Di satu sisi, hidup manusia, baik itu individu dan kelompok, terbentuk di dalam kekompleksan situasi lokal manusia itu sendiri. Karena itu, untuk mendapat suatu pemahaman dan penghayatan manusia, baik itu individu maupun kelompok terhadap Tuhan, maka teologi itu harus berangkat dari kekompleksan situasi lokal manusia itu hidup, karena jika tidak demikian, maka iman kita adalah iman fidex ex auditu (iman yang kita dengar dari orang lain)17 dan karena iman kita adalah iman yang kita dengan dari orang lain, maka manusia, entah itu individu maupun kelompok akan teralienasi dari pemahaman dan penghayatan mereka terhadap Tuhan itu sendiri.
Dalam diskursus teologi, banyak teolog yang berbicara mengenai berteologi yang sesuai dengan konteks, salah satunya adalah Bevans dalam bukunya model-model teologi kontekstual. Namun, Bevans hanya sampai pada tataran bagaimana untuk dapat menyesuaikan teologi dengan konteks tertentu, dan tidak berupaya untuk membangun sebuah teologi yang berakar dari kekompleksan lokal manusia itu sendiri.
John Titaley di dalam buku religiusitas alinea ketiga menunjukan bahwa pemahaman dan penghayatan individu maupun kelompok kepada
16 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 7.
17
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung mulia, 2006), 37.
9
Tuhan harus bertolak dari kekompleksan lokal individu maupun kelompok itu sendiri, sehingga dalam tataran Indonesia misalnya, Pancasila menurut John bukan saja merupakan ideologi, tetapi Pancasila juga adalah sebuah teologi lokal masyarakat Indonesia dalam memahami dan menghayati Tuhan yang telah memberikan kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia dan juga memberikan kesetaraan. Karena itu, dalam tataran Maluku,
falsafah hidop orang basudara mesti menjadi sebuah teologi lokal GPM
untuk membantu masyarakat Maluku dalam memahami dan menghayati Tuhan yang tidak terbatas itu dalam karya-Nya bagi masyarakat Maluku.
B. Rumusan Masalah
Untuk menjawab kebutuhan penelitian di atas, maka rumusan pertanyaan penelitian adalah:
1. Bagaimana Pemahaman masyarakat Maluku tentang falsafah hidop
orang basudara?
2. Apa kandungan nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang
basudara.
3. Bagaimana masyarakat Maluku memaknai falsafah hidop orang
10
C. Tujuan Penelitian
1. Dapat menemukan dan mendiskripsikan pemahaman masyarakat Maluku tentang falsafah hidop orang basudara.
2. Dapat menemukan kandungan nilai yang terkandung di dalam
falsafah hidop orang basudara.
3. Dapat menemukan dan mendeskripsikan secara jelas bagaimana masyarakat Maluku memaknai penggunaan falsafah hidop orang
basudara dalam kehidupan sosial dan kehidupan beragama, dan
dari semua pemahaman yang telah dideskripsikan, penulis akan mengkonstruksikan sebuah paham teologi orang basudara sebagai teologi lokal manusia Maluku dan terkhususnya GPM.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mahasiswa dan mahasiswi dalam proses perkuliahan, terutama dalam bidang teologi lokal. Secara praksis dapat menjadi landasan teologi GPM dalam menjawab kebutuhan GPM untuk menjadi gereja orang basudara di Maluku, serta dapat menampilkan wajah GPM yang lebih ramah dengan kehidupan sosial dan keagamaan di Maluku.
11
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif: penulis akan mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.18 Di dalam mengeskplorasi serta memahami makna tersebut, penulis akan menghasilkan data deskriptif (gambaran sebagaimana di lapangan), berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati, agar dapat mamahami sikap, pandangan, perasaan serta perilaku baik individu atau sekelompok orang. Penelitian ini juga akan dilakukan melalui studi pustaka (mendapatkan literatur-literatur dan teks-teks Alkitab yang berbicara mengenai orang-orang basudara) dan dilanjutkan dengan studi lapangan untuk mendapatkan pemaknaan dan pemahaman masyarakat Maluku tentang falsafah hidop
orang basudara.
Tempat dan lokasi penelitian akan penulis lakukan di Maluku, dan yang menjadi sumber data primer di dalam penelitian adalah informan dan yang menjadi sumber data sekunder di dalam penelitian adalah Alkitab serta sumber-sumber pustaka lainnya yang berbicara tentang falsafah
18
John. W. Creswell, Research Design “Pendekatan Metode Kualitatif,
12
hidop orang basudara. Adapun cara pengambilan data, penulis akan
lakukan dengan cara wawancara, observasi dan studi pustaka. Dalam hal ini, penulis akan melakukan wawancara dan observasi secara partisipatif, yaitu menyamakan diri dengan orang atau masyarakat yang akan diteliti,19 sehingga penulis dapat mendapatkan informasi yang mendalam tentang pemahaman dan pemaknaan masyarakat Maluku tentang falsafah hidop
orang basudara.
Untuk mengalisa data sebagai hasil penelitian, maka teknik yang digunakan adalah analisa data kualitatif. Teknik analisa ini bertujuan memaparkan secara tepat fungsi, peran dari persoalan yang sementara dibahas, sehingga dapat memberikan fakta mengenai objek penelitian. Sementara metode analisa yang dipakai adalah metode deskriptif.
2. Cara Penyajian
Tulisan ini disajikan dalam enam bab yaitu; bab I pendahuluan, bab II landasan teori teologi lokal, bab III sejarah singkat GPM, bab IV
falsafah hidop orang basudara, bab V falsafah hidop orang basudara
sebagai sebuah teologi lokal GPM, VI penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
19
W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), 116.
13
Pada bab I ada beberapa hal yang akan dibahas yaitu; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritik, dan metode penelitian. Di dalam metode penelitian, penulis membaginya kedalam beberapa bagian, mengingat metode yang digunakan adalah kualitatif maka pembagiannya adalah; jenis penelitian, waktu penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, defenisi operasional dan cara penyajian. Bab II berisikan landasan teori teologi lokal. Bab III berisikan sejarah singkat GPM, organisasi GPM, dan teologi GPM, bab IV berisikan pemahaman falsafah hidop
orang basudara, bab V berisikan falsafah hidop orang basudara yang
dikonstruksikan sebagai sebuah teologi lokal GPM, bab VI penutup, di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran. Di samping itu, dalam setiap bab penulis tambahkan pengantar dan kesimpulan yang dapat menjadi pedoman dalam membaca setiap bab.