• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB I"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari

ciptaan-Nya. Dalam kehidupan ini secara alamiah manusia mempunyai daya tarik

menarik antara satu individu dengan individu lainnya untuk dapat hidup

bersama dan menjalin perkawinan. Ada laki-laki dan ada perempuan yang

pada umumnya mempunyai harapan serta keinginan untuk menikah

(Walgito, 2004). Menurut Walgito (2004) dengan melaksanakan

perkawinan, maka salah satu segi ajaran agama dapat dipenuhi sebagai

makhluk hidup yang diciptakan secara berpasang-pasangan. Pernikahan

merupakan salah satu bentuk pertemuan antara dua insan yang berbeda

antara laki-laki dan perempuan, latar belakang antara kedua keluarga ini

bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat

sosial, tata krama, bahasa dan lain sebagainya.

Setiap manusia akan selalu mengalami transisi dalam kehidupannya.

Menikah dan membina rumah tangga merupakan salah satu aktivitas sentral

dari manusia untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia. Menurut

Suardiman (1991) pernikahan adalah suatu peristiwa penting dalam

kehidupan masyarakat. Pernikahan adalah hubungan antara seorang pria dan

(2)

dengan menurunkan keturunan. Pernikahan adalah awal kehidupan bersama

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Sebagaimana

diharapkan setiap orang, setiap pernikahan berlangsung hanya satu kali

seumur hidup. Dengan demikian suatu pernikahan diharapkan kekal dan

bahagia, seperti tujuan pernikahan yang dimaksud Undang-Undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 1 bahwa perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam kehidupan pernikahan terjadilah interaksi sosial antara suami

dan istri, karena pernikahan merupakan bentuk masyarakat terkecil yang

juga membutuhkan sosialisasi sebagaimana umumnya masyarakat luas yang

masing-masing anggotanya saling berinteraksi untuk menyesuaikan diri agar

kebutuhan/kepentingan dapat terpenuhi. Sosialisasi diperlukan karena

masing-masing pihak mempunyai latar belakang sifat/watak, pembawaan,

pendidikan, pandangan hidup, sosial ekonomi yang berbeda. Sama halnya

dalam suatu pernikahan sekalipun hanya terdiri dari dua orang yang tetap

dibutuhkan sosialisasi.

Dalam pernikahan tidak mudah untuk menciptakan keadaan yang

bahagia, karena nantinya akan muncul masalah-masalah dalam kehidupan

sehari-hari yang membutuhkan penyelesaian dengan tepat. Belakangan ini

banyak sekali terdengar kabar berita mengenai permasalahan yang dialami

(3)

ketidakcocokan hingga pemikiran yang tidak sejalan antara suami dan istri.

Bahkan tidak jarang perceraian menjadi jalan keluar yang sudah lazim

dilakukan oleh banyak pasangan, jangankan pada masyarakat awam, dalam

kehidupan selebriti kisah tentang permasalahan rumah tangga dan

perceraian justru menjadi konsumsi publik melalui berbagai media

pemberitaan di Indonesia, beberapa diantaranya adalah permasalahan yang

dialami oleh penyanyi Ayu Ting-Ting dengan suami yang berujung pada

perceraian, juga dialami oleh artis Christy Jusung, serta kasus perceraian

Farhat Abbas dengan Nia Daniati yang kini sedang menjadi sorotan publik

dan masih banyak lagi.

Pada kenyataannya dalam kehidupan pernikahan setiap orang

mengalami kesulitan untuk menghadapi permasalahan yang muncul tanpa

diketahui sebelumnya. Keterampilan dalam menyelesaikan permasalahan

yang ada menjadi kunci kelangsungan sebuah hubungan pernikahan, dapat

menyisihkan emosi dan rasa ingin menang sendiri. Bukan hal yang baru jika

sekarang ini dalam memilih pasangan hidup adalah keputusan yang mutlak

ada di tangan individu yang bersangkutan, berbeda dengan keadaan dahulu

dimana orang tua-lah yang menentukan pasangan/pendamping hidup bagi

anak-anaknya. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mendapatkan

pasangan hidup sesuai dengan yang diinginkan sendiri dan juga dapat

memilih serta menilai apakah seseorang dapat hidup bersama dengan

(4)

Pernikahan tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Perbedaan antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga tak jarang

memunculkan masalah dalam rumah tangga, karena dalam sebuah rumah

tangga tidak pernah terlepas dari masalah (www.bkkbn.go.id/2006).

Masalah yang terjadi dalam rumah tangga menimbulkan perselisihan, untuk

mengatasinya diperlukan penyelesaian yang tepat sehingga tidak

menimbulkan perselisihan yang lebih panjang. Dalam hal ini pendidikan

memiliki peran yang penting, dimana pendidikan mempengaruhi pola pikir

seseorang. Sebagian orang sering menganggap perbedaan tingkat

pendidikan antara dirinya dengan pasangan merupakan hal wajar dan tidak

masalah, padahal hal ini tentu akan menjadi permasalahan dimana pola pikir

kedua belah pihak yang berbeda tingkat pendidikan adalah berbeda satu

sama lain.

Pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis dalam mempengaruhi

seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu (Sri Harini, 1994). Hal

ini karena pendidikan merupakan gejala universal, dimana ada manusia,

disana ada pendidikan. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu

keharusan, karena pendidikan adalah merupakan suatu kekuatan yang

dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang akan mempengaruhi

perkembangan fisik, mental, sosial, emosi serta etik.

Dalam kehidupan pernikahan seringkali ditemukan istilah kecocokan,

kecocokan yang dimaksud disini adalah kecocokan yang mencakup banyak

(5)

beberapa hal, diantaranya adalah aspek emosi, aspek intelektual dan aspek

spiritual. Untuk memiliki hubungan yang baik seluruh aspek ini harus

terpenuhi, satu aspek saja tidak terpenuhi, dua aspek yang lain tidak bisa

menggantikannya. Aspek intelektual/pemahaman menjadi aspek yang

sangat mempengaruhi dalam suatu hubungan, dimana faktor yang ada

didalamnya adalah kebiasaan, tabiat, watak dan tingkat pendidikan kedua

belah pihak, serta dimensi psikologis yang dapat diamati melalui gejala

tingkah laku dengan menggunakan pengetahuan dan intelektualitas.

Aspek intelektual didapatkan seseorang dari pendidikan formal

maupun non formal. Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang

direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau

masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku

pendidikan. (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Pendidikan adalah segala

perbuatan yang etis, kreatif, sistematis, dan intensional, dibantu oleh metode

dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tertentu.

Dan definisi lain dikemukakan oleh Carter V. Good (dalam Djumransjah,

2006) pendidikan adalah: (a) proses perkembangan kecakapan seseorang

dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya; dan

(b) proses sosial di mana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang

terpimpin (misalnya sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial

dan mengembangkan pribadinya.

Pendidikan diyakini sangat berpengaruh terhadap kecakapan, tingkah

(6)

oleh pendapat Kartini Kartono (1989) bahwa dalam lingkungan pendidikan,

perkembangan intelektual remaja akan semakin berkembang sesuai dengan

tingkat pendidikannya, sebab pendidikan formal yang diperoleh di

lingkungan sekolah mengajarkan individu lebih bertanggung jawab dan

untuk mengembangkan intelektualnya melalui pengetahuan yang diajarkan

secara umum. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat

tanggung jawabnya dan semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka

semakin rendah pula tanggung jawabnya. Dilihat dari segi intelektual,

pemikiran dan pemahaman seorang yang berpendidikan rendah tentu sangat

berbeda dengan seorang yang berpendidikan tinggi, pola pemikiran dan

refleks tanggap terhadap sesuatu hal-pun pastilah juga berbeda. Ini

menjadikan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting dalam interaksi

keluarga. Namun sayangnya tidak semua orang bisa beruntung mengenyam

pendidikan formal hingga tingkat yang tinggi.

Hal ini akan menjadi lebih rumit ketika dalam satu kehidupan

pernikahan seorang istri memiliki pendidikan lebih tinggi dari pada suami,

tentunya hal ini akan menjadi permasalahan bagi kedua belah pihak,

terutama tentang pandangan masa depan kehidupan pernikahan nantinya

(Sri Harini, 1994). Namun, tidak semua orang menyadari akan hal ini,

banyak diantara perempuan yang memiliki pasangan dengan perbedaan

tingkat pendidikan menganggap hubungan pernikahan dengan perbedaan

(7)

kedudukan di rumah tetap saja sama, sebagai suami/istri, bukan direktur,

pesuruh dan lain sebagainya. Sedangkan bagaimana setiap pihak

memandang masa depan pernikahan dengan sudut pandang masing-masing

berdasarkan pada kemampuan berfikir dan pola pemikiran yang berbeda

tentunya akan menghasilkan buah pemikiran yang berbeda pula. Apa

sebenarnya yang diharapkan dari sebuah hubungan pernikahan merupakan

hal yang patut diketahui sebelumnya, apakah nantinya akan mendapatkan

kehidupan yang lebih baik dan bahagia dalam pernikahan atau sebaliknya

bersama dengan seseorang yang berbeda latar belakang pendidikan dengan

dirinya.

Dari latar belakang tersebut didapatkan permasalahan bagaimana

optimisme terhadap kehidupan pernikahan pada pasangan menikah dengan

tingkat pendidikan istri lebih tinggi. Belakangan ini telah banyak penelitian

tentang pernikahan yang telah dilakukan, diantaranya penelitian Indah

Syarif Kurniawati (2010) tentang Perbedaan Kesejahteraan Psikologis pada

Istri yang Mengalami Pernikahan Remaja dan Istri yang Mengalami

Pernikahan Dewasa Awal, juga pada penelitian Ishak Boty Buifena (2008)

tentang Pemahaman Jemaat GKI Salatiga terhadap Perkawinan Beda

Agama dalam Sorotan Tata Gereja GKI. Dan ternyata permasalahan tentang

optimisme istri terhadap pernikahan dengan perbedaan tingkat pendidikan

belum pernah diteliti, hanya saja peneliti menemukan penelitian Rita

Suwartiningsih (1997) tentang Perbedaan Tingkat Pendidikan Istri

(8)

tersebut juga membahas tentang tingkat pendidikan istri, namun tidak

menyinggung mengenai optimisme pada pernikahan, dengan demikian

penulis merasa tertarik untuk meneliti apakah perbedaan tingkat pendidikan

dalam hubungan pernikahan mempengaruhi pandangan optimisme seorang

istri pada kehidupan pernikahan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi masalah dalam

penelitian ini adalah : Bagaimana optimisme seorang istri yang memiliki

tingkat pendidikan lebih tinggi daripada suami terhadap kehidupan

pernikahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui optimisme seorang istri yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi daripada suami terhadap kehidupan

pernikahan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1) Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pendidikan,

(9)

kehidupan pernikahan pada pasangan menikah dengan tingkat

pendidikan istri lebih tinggi. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk

menentukan alternatif bantuan terhadap pihak yang membutuhkan dan

berada pada posisi yang serupa. Menguji teori Seligman (1991) yang

menyatakan bahwa individu yang optimis terlihat dari beberapa aspek

tertentu.

2) Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bekal

pengetahuan kepada penulis mengenai optimisme terhadap kehidupan

pernikahan pada pasangan menikah dengan tingkat pendidikan istri

lebih tinggi.

1.5 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Meliputi Latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Dalam bab ini diuraikan tentang optimisme, pernikahan, optimisme

terhadap pernikahan, tingkat pendidikan dan temuan penelitian

yang relevan.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisi tentang jenis penelitian, karakteristik subjek

penelitian, jumlah subjek penelitian, definisi operasional variabel

(10)

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang persiapan dan pelaksanaan penelitian,

pengumpulan data, interpretasi data, dan hasil pembahasan

penelitian.

Bab V Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Publikasi tentang CIDR untuk sinkronisasi estrus pada kambing PE, prediksi waktu ovulasi berdasarkan pengukuran kadar LH dan perkembangan folikel selama masa estrus

Jika ada politisi mengatakan , “a a tidak korupsi itu juga fakta erita da e pu ai nilai berita, entah yang dikatakan politisi itu benar atau salah. Yang jelas ada

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain

Pada tahun 2008, UNICEF ( United Nations Children’s Fund) menyatakan bahawa terdapat sebuah negara yang mempunyai jangka hayat yang paling tinggi iaitu negara Jepun. Hal

Secara umum, teori agensi dan teori sinyal yang digunakan dalam penelitian ini berhasil membuktikan bahwa konflik keagenan akan berkurang jika corporate governance

kepala madrasah menunjuk perwakilannya untuk mengikuti kegiatan tersebut tanpa di pungut biaya. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan

Berdasarkan Surat Penetapan Pelaksana Pengadaan Langsung Nomor Nomor: 050/10/PnL-21/01/C.B.002/409.108/2017, tanggal 27 Juli 2017, untuk Pekerjaan Pemeliharaan

Dari banyaknya faktor yang menyebabkan seseorang mengalami insomnia atau gangguan tidur, pada penelitian ini penulis lebih mengkhususkan pada faktor psikologisnya