• Tidak ada hasil yang ditemukan

index.php option=com docman&task=doc &gid=299&Itemid=112.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "index.php option=com docman&task=doc &gid=299&Itemid=112."

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

Kemiskinan Pengangguran dan Setengah Pengangguran

Keterkaitan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan dalam hal ini akan didekati dengan

melihat hubungan antara kemiskinan dan pengangguran dan antara kemiskinan dan

setengah pengangguran. Pemilihan indikator pengangguran dan setengah pengangguran

didasari pada kenyataan bahwa kedua indikator tersebut terkait langsung dengan tingkat

pendapatan. Seseorang yang menganggur tentunya tida memiliki pendapatan dari

pekerjaan, sementara setengah pengangguran berkaitan erat dengan rendahnya jam kerja

dan pendapatan. Kajian hubungan antara kemiskinan dan pengangguran telah dilakukan

para peneliti. BPS (2007b), misalnya, telah melakukan kajian hubungan tersebut melalui

kajian konsistensi antara data kemiskinan dan data pengangguran.

Secara teoritis, tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat pengangguran. Dalam

hal ini ketika tingkat pengangguran mengalami kenaikan maka secara otomatis tingkat

kemiskinan akan meningkat. Hubungan yang positif antara kemiskinan dan pengangguran

tersebut ditemukan di beberapa negara. Di Korea, misalnya, Park (2002) menemukan

hubungan yang sangat kuat antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Ketika

tingkat pengangguran naik, maka tingkat kemiskinan juga naik dan ketika tingkat

pengangguran menurun maka tingkat kemiskinan juga ikut turun.

Akan tetapi perubahan antara tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan tidak selalu

sejalan seperti yang ditemukan pada penelitian di negara lain. Misalnya, Bob DeFina seperti

dikutip oleh Robert DeFina (2002) berdasarkan penelitian di Amerika Serikat menemukan

bahwa kemiskinan tidak memiliki korelasi yang kuat dengan pengangguran. Defina lebih

lanjut menyatakan bahwa keterkaitan antara pengangguran dan kemiskinan sangat

dipengaruhi oleh bagaimana kemiskinan itu diukur.

Di sisi lain, hubungan yang tidak kuat antara kemiskinan dan pengangguran kemungkinan

juga disebabkan oleh lemahnya pengukuran tingkat pengangguran. Hal ini dibuktikan oleh

Son dan Kakwani (2006) berdasarkan penelitian mereka dengan menggunakan data Brazil.

Dengan memodifikasi pengukuran tingkat pengangguran konvensional mereka menemukan

bahwa korelasi antara tingkat pengangguran dan kemiskinan menjadi signifikan, sementara

berdasarkan ukuran pengangguran konvensional1 hubungan antara pengangguran dan

kemiskinan terlihat tidak signifikan. Bagaimana pola hubungan antara kemiskinan dan

1 Tingkat pengangguran konvensioanl diukur hanya berdasarkan penduduk angkatan kerja yang tidak bekerja

(2)

2 | P a g e

pengangguran di Indonesia? Berdasarkan data publikasi BPS, hubungan antara tingkat

pengangguran dan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak mengikuti pola seperti yang

ditemukan di Korea. Fakta yang terjadi adalah pada level nasional ketika tingkat

pengangguran meningkat, tingkat kemiskinan justru menurun atau sebaliknya (lihat Gambar

4.8). Hubungan tersebut diperkuat oleh hubungan antara tingkat kemiskinan dan tingkat

pengangguran pada level kabupaten/kota (lihat Gambar 4.9) yang memperlihatkan adanya

kecenderungan bahwa kabupaten/kota yang memiliki tingkat pengangguran yang lebih

tinggi memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Jadi dalam kasus Indonesia, hubungan

antara pengangguran dan kemiskinan tidak selalu searah sesuai asumsi teori ekonomi yang

ada, tetapi memiliki hubungan yang terbalik.

Fenomena tersebut mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Orang yang mampu

menganggur dalam sebuah rumahtangga dapat mengindikasikan bahwa rumahtangga

tersebut memiliki pendapatan yang cukup untuk menyokong penganggur. Dalam kaitanya

dengan kemiskinan, penganggur yang ada di rumahtangga tersebut tidak secara otomatis

menjaid miskin karena ada anggota keluarga lain yang memiliki pendapatan yang cukup

untuk mempertahankan keluarganya hidup berada di atas garis kemiskinan. Sebuah

ilustrasi yang digambarkan dalam studi yang dilakukan BPS (2007b) kiranya menarik untuk

disajikan. Dalam studi tersebut diilustrasikan sebagai berikut:

”Rumahtangga Ucok di kota Medan mempunyai anngota rumahtangga sebanyak 4 orang dan rata-rata pengeluaran per bualn 600 ribu rupiah, maka pengeluaran per kapitanya 150 ribu rupiah. Jika digunakan GK [Garis Kemiskinan] Provinsi Sumatra Utara untuk daerah perkotaan tahun 2004 sebesar 142.966 rupiah, maka rumahtangga tersebut dikategorikan tidak miskin. Konsekuensinya seluruh anggota rumahtangga juga menjadi penduduk tidak miskin. Jika dalam rumahtangga Ucok ada dua orang yang mencari kerja maka jumlah pengangguran bertambah menjadi dua orang namun penduduk miskin tidak berkurang dua orang, karena dua orang tersebut masih menjadi bagian rumahtangga tidak miskin. Sebaliknya, jika rumahtangga Ucok termasuk rumahtangga miskin, maka jumlah pengangguran di dalam rumahtangga tersebut juga tidak menambah jumlah penduduk miskin” (BPS 2007b, hal 35-36).

Berdasarkan ilustrasi tersebut jelas bahwa pengangguran dan kemiskinan tidak berkaitan

secara langsung karena bukan variabel yang komplemen. Di samping itu, fakta

menunjukkan bahwa di daerah perkotaan ada sebagain orang yang secara sukarela

menganggur karena sedang menunggu untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan

keahlian/pendidikan mereka, dan mereka belum tentu miskin karena mungkin mereka

bagian dari rumahtangga kelompok pendapatan menengah ke atas. Secara konsep atau

metodologi, tidak adanya keterkaitan langsung antara pengangguran dan kemiskinan juga

disebabkan karena angka pengangguran dihitung secara individu berdasarkan data

(3)

3 | P a g e

Gambar Hubungan antara kemiskinan dan pengangguran, Indonesia, 2000-2006

Sumber: BPS (2007b)

Gambar Hubungan antara Kemiskinan dan Pengangguran Tingkat Kabupaten/Kota,

Jawa-Bali, 2007

Penjelasan lain adalah bahwa rumahtangga miskin hampir tidak mungkin menjadi

penganggur (Oshima 1990). Pernyataan Oshima tersebut dapat dipahami mengingat di

negara berkembang seperti Indonesia tidak terdapat jaminan sosial bagi penganggur,

sehingga orang miskin untuk bertahan hidup mau tidak mau harus bekerja meskipun hanya

beberapa jam seminggu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Todaro (1977) yang

menyebutkan bahwa mereka yang berada dalam keadaan miskin adalah mereka yang tidak

bekerja secara teratur atau terus menerus, atau yang bekerja paruh waktu saja. Frances 0,00

5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

Tingkat Pengangguran

T

in

g

ka

t Kem

is

ki

n

(4)

4 | P a g e

and Streeten (1981) lebih tegas lagi menyatakan bahwa pengangguran bukanlah ukuran

yang memuaskan bagi kemiskinan, karena umumnya orang yang menganggur keadaannya

lebih baik, sementara umumnya orang yang benar-benar miskin justru tidak menganggur.

Merujuk pada pernyataan Todaro di atas, tampaknya setengah pengangguran (yang diukur

berdasarkan jam kerja)2 memiliki hubungan yang posistif dengan kemiskinan. Tingkat

setengah pengangguran yang tinggi mengindikasikan tingkat kemiskinan yang tinggi pula.

Hubungan yang posistif antara tingkat setengah pengangguran dan tingkat kemiskinan

terlihat pada Gambar 5.10. Jadi untuk kasus Indonesia, setengah pengangguran lebih

sensistif untuk mengukur kemiskinan dibandingkan dengan pengangguran.

Grafik Hubungan antara Kemiskinan dan Setengah Pengangguran Tingkat

Kabupaten/Kota,

Jawa-Bali, 2007

2 Mereka yang bekerja kurang dari jam kerja normal (35 jam per minggu) dikategorikan sebagai setengah

penganggur. 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

Tingkat Setengah Pengangguran

Ti

ng

k

at

K

em

isk

in

a

Gambar

Gambar Hubungan antara kemiskinan dan pengangguran, Indonesia, 2000-2006
Grafik Hubungan antara Kemiskinan dan Setengah Pengangguran Tingkat

Referensi

Dokumen terkait

Materi buku pada bab ini menjelaskan mengenai cara penelaahan RKA-KL yang terkait dengan hal-hal baru dalam pengalokasian anggaran 2010 dan beberapa penyempurnaan. Namun

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana. dengan pidana penjara paling lama 3

mengalami peningkatan, namun demikian masih terjadi disparitas terutama. pada beberapa wilayah seperti Papua , NTT

Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa mayoritas korban perdagangan orang baik anak- anak maupun dewasa korbanya didominasi perempuan sepertiu ditunjukkan pada tabel 7.2 anak

Meskipun tidak berbanding lurus pendidikan dan jabatan namun latar belakang pendidikan merupakan faktor penting bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan tertentu..

yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai.. kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu

- Setiap LPTK mendapatkan kunjungan pendampingan sebanyak 4 kali per tahun oleh pendamping dari UPI/UNY/UM (1 orang narasumber Lesson Study untuk workshop, dan 3 kali

Peserta NUEDC tingkat Kopertis adalah mahasiswa dari Peruguruan Tinggi Swasta di wilayahnya untuk menentukan 2 (dua) tim terbaik di masing-masing Kopertis yang