• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI PONDOK PESANTREN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI PONDOK PESANTREN"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITASDENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI PONDOK PESANTREN

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Psikologi

SKRIPSI

Disusun Oleh:

Nadia Islah Delvianti 15000117120051

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2020

(2)

„HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI PONDOK PESANTREN‟

„Nadia Islah Delvianti‟

„15000117120051‟

„Fakultas Psikologi‟

„Universitas Diponegoro‟

„nadia.isdel@gmail.com‟

„ABSTRAK‟

‗Tinggi rendahnya seseorang melakukan perilaku prososial tidak terlepas dari adanya faktor internal seperti religiusitas yang tertanam dalam diri masing-masing.‘ ‗Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan perilaku prososial pada santri pondok pesantren.‘ ‗Populasi penelitian ini berjumlah 183 santri Pondok Pesantren Kyai Galang Sewu dengan sampel sebanyak 127 santri.‘ ‗Penelitian ini menggunakan teknik Simple Random Sampling.‘ ‗Data dikumpulkan menggunakan skala religiusitas (59 aitem, α = 0,967), dan skala perilaku prososial (39 aitem, α = 0,917).‘ ‗Analisis data menggunakan metode analisis non parametrik Spearman Rho dengan nilai koefisien rxy = 0,604 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05).‘ ‗Berdasarkan hasil analisis tersebut, terbukti bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial, yang artinya semakin tinggi religiusitas, maka semakin tinggi pula perilaku prososial.‘ ‗Kemudian sebaliknya, semakin rendah religiusitas, maka semakin rendah perilaku prososial.‘

„Kata Kunci: Religiusitas, Perilaku Prososial, Santri.‘

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesantren merupakan sebuah kata yang secara etimologi yang berasal dari kata

―santri‖. Lalu pembentukan kata pesantren dari kata ―santri‖ mendapat awalan pe- dan memiliki akhiran –an. Akibat yang ditimbulkan oleh awalan dan ibuhan pada kata santri yang berubah menjadi pesantren memiliki makna murid atau ―shastri‖ . Imam Zarkasyi (dalam Wirosukarto, 1996) menjelaskan mengenai apa itu pesantren. Pesantren menurut beliau adalah sebuah institusi yang bergerak di bidang pendidikan agama islam yang dengan sistem pondok atau berupa asrama. Dalam pesantren ini yang menjadi tokoh sentral adalah seorang kyai. Didalam pesantren memiliki kegiatan belajar mengajar terkait agama islam yang mana kegiatan utamanya adalah para santri dibimbing oleh para kyai. Tempat yang menjadi pusat kegiatan yang ada dipesantren adalah masjid.

Abdurrahman Mas‘ud (dalam Ismail, 2000) mendefinisikan pesantren sebagai tujuan para santri untuk memfokuskan waktu yang dia miliki untuk hisor hidup dan medapatkan pengetahuan. Nurcholish Madjid (2002) beliau menjelaskan elemen pokok yang ada didalam pesantren. Pesantren menurut beliau ada lima elemen wajib yaitu kyai, pondok,santri,masjid, dan kitab-kitab pengajaran terkait islam klasik.

Bicara mengenai pesantren tentunya tidak terlepas dari santri. Santri adalah seorang yang sedang mencari ilmu pengetahuan tentang agama di sebuah pesantren.

Penyebutan santri kepada seseorang tak lepas dari kaitan memiliki kiai (Jailani, 1994).

Santri adalah mereka yang berguru pada kyai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan terkait agama dan mereka akan berkelompok tinggal di pondok pesantren. Adanya santri dalam suatu pesantren adalah elemen yang tidak boleh terlewat, jikalau tidak ada kehadiran dari pada santri maka tidak dapat berlangsungnya kehidupan yang ada di pesantren. Komponen lain yang tidak boleh terlewat adalah kyai. Seorang tidak dapat disebut kyai jikalau tidak memiliki minimal seorang santri. Dalam kehidupan pesantren, memiliki 2 macam santri yaitu, santri kalong dan santri mukim. Santri mukim merupakan para santri yang tinggal menetap dipesantren dan mereka biasanya orang yang merantau

(4)

mencari ilmu. Santri mukim yang telah tinggal lama dalam pesantren akan di beri beberapa tanggung jawab. Tanggung jawab mereka dapat berupa membantu sang kyai dalam mengajar para santri yang lebih muda mengenai kitab-kitab baik dasar maupun menengah. Tanggung jawab lain ialah mengurus keperluan sehari-hari dari pesantren Sementara santri kalong adalah santri yang merupakan warga sekitaran daerah pesantren dan tetap tinggal dirumah mereka bukan dipesantren. Mereka yang disebut santri kalong ialah mereka yang hanya mengikuti pelajaran yang diberikan di pesantren dan mereka berangkat dan pulang dari rumah masing-masing (Nasution, 1993).

Pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren bersifat tradisional. Sistem pengajaran yang dimiliki oleh pesantren memiliki perbedaan dengan lembaga pendidikan lain. Perbedaan yang terdapat pada pesantren dapat dilihat dari kehidupan yang ada didalam pondok pesantren yang penuh akan ajaran agama Islam. Hal lain yang menjadi pembeda adalah kehidpan yang penuh disiplin oleh nilai, aturan dan norma yang ada di agam a Islam yang kental. Hal ini membuat para santi dan santriwati terbiasa menerima ajaran terkait banyak hal yang berkenaan dengan agama Islam. Sebagaimana yang dikutip oleh Oepen (1988) terdapat beberapa prinsip dinamika pendidikan santri di pondok pesantren antara lain; memiliki kebersamaan yang tinggi, kesederhanaan, memiliki kemampuan untuk mengelola diri dan rasa hormat kepada orang yang lebih tua, memiliki kebebasan yang terpimpin, mandiri, cinta kepada ilmu dan memiliki kebijaksanaan menurut ajaran islam.

Latar belakang yang berbeda-beda di setiap individu yang kemudian menyatu dapat memiliki pontensi terjadinya konflik yang terbuka. Belum lagi interaksi yang terjadi adalah interaksi yang memerlukan proses yang banyak dan sulit untuk dipahami . Dalam berinteraksi sering beberapa dari kita menilai individu lain, menyimpulkan karakter kepribadiannya, memikirkan sebab-sebab perilakunya, tidak menyukai atau menyukainya, dan saling membawa pengaruh dan terpengaruh (Alwi, 2014). Interaksi yang kompleks ini juga terjadi di kehidupan santri pondok pesantren yang tinggal bersama-sama dalam suatu pondok dan menjalani hari-hari bersama teman-teman santri lainnya.

(5)

Meski demikian, memiliki kebersamaan yang tinggi menjadi salah satu ciri dinamika pendidikan dan pergaulan dalam lingkup pesantren. Didalam pesantren terdapat prinsip yang unik dan menarik. Prinsip terkait kewajiban yang kita lakukan dan hak yang kita miliki. di pondok pesantren para santri diharuskan menjalankan hal yang menjadi kewajiban mereka terlebih dahulu. Terkait pemenuhan hak diri mereka, mereka wajib mendahulukan hak atau kepentingan yang dimiliki oleh orang lain sebelum pemenuha hak yang mereka miliki. Kolektivisme yang terjadi diakibatkan oleh penanaman yang mereka lalui seperti pembuatan tata tertib. Tata tertib yang mereka buat baik kegiatan belajar maupun tata tertib pada kegiatan lain. Kolektivisme dapat terbentuk dengan mudah didasarkan pada kesamaan yang mereka miliki dan keterbatasan terkait fasilitas di kehidupan dalam pondok pesantren (Oepen, 1988). Dari kolektivisme ini akan terbentuk suatu perilaku dimana individu senantiasa senang membantu orang lain, dalam ilmu psikologi perilaku tersebut disebut perilaku prossosial.

Perilaku prososial ialah sebuah tindakan menolong dari seseorang kepada orang lain dan orang yang memberi pertolongan sering kali tidak menerima manfaat langsung dari pertolongan yang telah ia berikan (Baron dan Branscombe, 2012). Perilaku prososial bisa didefinisikan sebagai bentuk kesukarelaan atau perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan membuahkan hasil yang baik atau memiliki manfaat bagi penerima (the recipient), tidak terikat apakah hal tersebut membawa nilai atau tidak, memiliki dampak maupun tidak atau akan membawa keuntungan bagi pemberi (the donor) (Grusec, Davidov, & Lundell, 2002).―Brigham (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2009) Berpendapat bahwa perilaku prososial memiliki makna berupa peningkatan kesejahteraan bagi individu lain. Perilaku prososial ini termasuk kelebihan yang dimiliki manusia.

Kelebihan ini dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial yang baik tehadap individu maupun kelompok tanpa mengetahui latar belakang terkait budaya atau latar belakang suatu bangsa dengan tanpa imbalan.

Fenomena perilaku prososial dapat terlaksana atau ditemui di setiap lapisan masyarakat. Fenomena ini juga dengan mudah ditemui dikalangan santri. Conger (dalam Arwanti, 1996) memberikan gambaran bahwa seseorang yang berada di usia 17-21 tahun atau masa remaja akhir hingga 18 – 25 tahun masa emerging adults banyak diantara mereka yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Seorang individu yang telah

(6)

mencapai usia tersebut diharapkan sudah memiliki kematangan moral. Kematangan moral yang telah dimiliki oleh seorang individu tidak hanya tentang menghindari dari perilaku tidak baik, namun memiliki motivasi dan kesadran dalam hal melakukan tindakan bersifat positif.

Berdasarkan hasil pengamatan dan tanya jawab yang penulis lakukan di lingkungan pondok pesantren Kyai Galang Sewu pada tanggal 28 september 2020 memperoleh informasi bahwa sebagian santri memang memiliki perilaku prososial yang tinggi dan cenderung menerapkan perilaku religius. Bentuk perilaku prososial yang dilakukan oleh para santri adalah penerapan perilaku gotong royong, menolong dan membantu satu sama lain, hormat terhadap ustad mereka merupakan perilaku sopan santun yang dapat terlihat dan pergaulan yang terjadi antar santri begitu sehat. Bentuk perilkau religius yang dapat dilihat dari santri adalah serangkaian ibadah yang ada di dalam konteks agama Islam berupa pelaksanaan shalat berjamaah oleh santri, dzikir bersama hingga tadarus Al Quran bersama.

Perilaku prososial yang rendah juga bisa dilihat dari perilaku para santri. Penulis menemukan bahwa terdapat santri dengan kecenderungan perilaku prososial rendah.

Fenomena terkait rendahnya perilaku prososial yangrendah tidak memiliki cerminan ajaran Islam yang telah diberikan kepada santri. Terkait tata aturan yang ada dan diterapkan untuk mengikat para santri guna melatih kedisiplinan dalam beribadah dan diharapkan para santri tidak keluar dari jalan agama. Kenyataannya dilapangan terkait perilaku prososial para santri yang memiliki perilaku prososial kurang baik adalah acuh terhadap kebersihan dari lingkungan sekitar, adanya tindakan perundungan kepada santri baru, pencurian barang milik orang lain, tidak peduli pada teman-teman yang bukan golongannya. Contoh tindakan prososial yang telah dicontohkan tersebut merupakan wujud dari ketidaksesuaian terkait ilmu yang para santri dapat.

Selain itu peneliti juga mengamati bahwa beberapa santri lebih memprioritaskan perhatian mengenai diri sendiri dari pada teman-teman atau orang di sekitarnya. Santri cenderung tidak mudah untuk mengulurkan tangan menawarkan bantuan. Mereka akan mencari banyak alasan walaupun mereka sendiri sebenarnya memiliki kekuatan untuk memberikan pertolongan. Santri juga cenderung memilih dalam menolong seseorang,

(7)

bila dihadapkan pada dua situasi di mana sesuatu peru untuk dibantu, maka santri lebih mengutamakan untuk memberikan bantuan pada sesuatu yang membawa keuntungan baginya. Sehingga kesimpulan terkait perilaku prososial pada santri pondok pesantren kyai galang sewu masih cenderung rendah.

Clarke (dalam Alwi, 2014) Mendefinisikan terkait tindakan prososial yang sering diartikan sebagai egois apabila didukung oleh self interest misalnya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, menghindari diri dari perasaan bersalah, menimbulkan perasaan lebih nyaman dan untuk menghindarkan dari perasaan bersalah. Menurut Eisenberg (dalam Muryadi & Matulessy, 2012) suatu tingkah laku dapat disebut perilaku prososial diukur melalui 3 indikator yakni, (a) melakukan suatu hal dengan ikhlas dan sukarela (b) kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan banyak orang, dan (c) Segala hal yang dilakukan tidaklah bertujuan untuk dijadikan sebagai media untuk memberikan kepuasan pada diri sendiri.

Baron dan Branscombe (2012) memberikan penjelasan terkait orang yang menolong kita memiliki kemiripan yang sama dengan kita yang ditolong. Terkait dengan menolong, empati menjadi hal yang paling berperan penting, disaat elemen emosional dari rasa empati akan lebih berpengaruh daripada komponen kognitif (akurasi empati) dalam kegiatan menolong. Selain itu, keinginan untuk menolong bisa datang dari sebuah ucapan terima kasih (Baron & Branscombe, 2012). Grant dan Gino (2010) dalam penelitiannya mengungkapkan peningkatan keinginan untuk menolong yang datang dari sebuah ucapan terima kasih akan membuat individu yang telah melakuakn pertolongan lebih membawa nilai secara sosial. penjelasan terkait hal tersebut dapat dijelaskan ke dalam dua hal (1) penyampaian ucapan terima kasih akan menimbulkan perasaan yang berkenaan dengan harga diri seeorang , merasa memiliki kompetensi dalam melakukan suatu hal yang mampu menolong orang lain dan mampu bertindak secara efektif (2) timbulnya rasa benilai untuk orang lain (self-worth)dan apabila kondisi tersebut tercipta maka akan menimbulkan peningkatan kecenederungan terlibat dalam perilaku prososial yang lebih lanjut.

Selanjutnya penelitian lainnya mengenai perilaku prososial dilakukan oleh Asih dan Pratiwi (2010). Penelitian yang membahas ―Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati

(8)

dan Kematangan Emosi‖ ini memiliki responden tenaga pengajar SMA di lingkup Universitas Semarang yang menggunakan metode pengambil sampel non random sampling. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa empati, jenis kelamin, kematangan emosi memiliki hubugnan yang erat dengan perilaku prososial. Faktor dengan pengaruh paling signifikan dalam penelitian tentang perilaku prososial adalah empati, maka dari itu memberikan perilaku prososial perlu diberikan secara bijak oleh para tenaga pendidik.

French, Niu, dan Purwono (2016), dalam penelitiannya ―Popularity of Indonesian Adolescents: Do the Findings from the USA Generalize to a Muslim Majority Developing Country?‖ mengambil jumlah responden sebanyak 452 siswa muslim kelas 7 (usia 13 tahun) dan kelas 10 (16 tahun) di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Kecenderungan dan tingkat popularitas sosial dalam penelitian ini memiliki hubungan yang baik dengan perilaku prososial dengan jumlah teman yang kita miliki. kesimpulannya adalah tingkat perilaku prososial seorang remaja dipengaruhi oleh seberapa banyak dia dikenal dan disukai oleh teman-temannya.

Penelitian lain yang serupa dilakukan oleh Ruth (2017) dalam bentuk penelitian eksperimen lapangan yang berjudul ―Heal the World: A field experiment on the effects of music with prosocial lyrics on prosocial behavior‖. 87 pria dan 169 wanita dari total keseluruhan peserta 256 yang berusia diantara 21-30 tahun berada dikisaran 43%. Dari 123 orang yang terdiri dari 67% wanita dan sisanya pria masuk pada kelompok lagu prososial dan 133 orang dari 65% wanita dan sisanya pria masuk kedalam kelompok musik netral. Percobaan menghasilkan temuan bahwa ternyata partisipan yang mendengar musik prososial signifikan lebih memilih kopi ogranik dengan penjualan 38%

daripada musik netral (18,4%). Sedangkan dalam kelompok partisipan musik prososial, pemberian tip tidak jauh berbeda dengan kelompok netral. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku sehari-hari merupakan dampak dari perilaku prososial.

Aridhona (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingginya perilaku prososial adalah akibat dari tingginya moral remaja. Remaja dengan tindakan prososial menandakan adanya moral yang berkembang. Tingginya moral seorang remaja menandakan remaja tersebut memiliki tingkat religiusitas yang tinggi pula. Disamping itu, pengoptimalan fungsi diri pada remaja dapat mulai dikembangkan. Hubungan yang

(9)

signifikan dan perilaku positif antara perilaku prososial dan moral sangatlah erat dengan religiusitas dalam penelitian ini.

Selanjutnya penelitian Muzakkir (2013) menyebutkan adanya relasi erat antara sikap prososial dan religiusitas. Pernyataan tersebut dibuktikan melalui responden dengan hasil kognitif keberagamaan berupa (38,66%) responden berada pada kategori sedang dan (28,87%) responden menunjukan hasil yang cenderung tinggi, kemudian dalam keterlibatan behavioral keberagaman terdapat (54,44%) responden yang tergolong dalam kategori yang sangat tinggi, serta keikutsertaan konsekuensional atau aspek afektif keberagamaan berada pada kategori sedang cenderung tinggi (38,14%) memiliki perilaku prososial yang berada pada kategori sedang (40,72%) cenderung tinggi (20,11%).

Berikutnya penelitian Haryati (2013) dengan judul ―Kematangan Emosi, Religiusitas, dan Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit‖ menunjukan bahwa kematangan emosi dan relisiusitas erat hubungannya dengan perilaku prososial para tenaga medis di rumah sakit. Disisi lain, peneliti menunjukan hubungan positif yang sangat pesat terjadi antara kematangan dengan perilaku prosisial nampak pada perawat di rumah sakit. Pada akhirnya, peneliti membuktikan bahwa perilaku prososial tenaga medis di rumah sakit erat hubungannya dengan religiusitas yang positif dan signifikan. Yang berarti tingginya religiusitas tenaga medis berpengaruh pada perilaku prososial para perawat rumah sakit tersebut.

Berbagai aspek dari dalam maupun luar diri seseorang memberikan pengaruh terhadap perilaku prososial. Religiusitas dapat menjadi faktor yang menyebabkan perilaku prososial muncul. Hal ini didukung oleh pernyataan Batson dan Brown (dalam Khoeriyah, 2018), bahwa kadar religiusitas seseorang individu menjadi faktor penyebab utama perilaku saling membantu orang lain, sedangkan individu yang tidak kenal dengan agama menunjukan hal sebaliknya. Tindakan saling tolong menolong antar individu kerap dilakukan oleh individu yang aktif dalam melaksanakan ibadah karena individu tersebut ingin menolong individu lain yang membutuhkan.

Myer (dalam Muryadi & Matulessy, 2012) juga mengungkapkan hal yang senada yakni perilaku prososial memilili pengaruh yang besar terhadap religiusitas. Pernyataan Myer bahwa perasaan aman dan dapat perlindungan yang muncul dari individu yang

(10)

religius memiliki pengaruh terhadap pembentukan perilaku prososial seseorang. Norma- norma dan nilai-nilai yang diinternalisasi tiap individulah yang menjadi faktor penyebab perilaku prososial tiap individu. Ajaran agama dan lingkungan sosial berperan penting dalam pembentukan norma dan nilai tiap individu.

Religiusitas sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku prososial juga diperkuat oleh penelitian Rizaq (2019) yang berjudul ―Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Prososial Siswa kelas XII MA Al Asror Gunungpati Semarang tahun Pelajaran 2018/2019‖. Berdasarkan penelitian ini, perilaku prososial yang positif dan signifikan erat hubungannya dengan perilaku prososial, dimana religiusitas memiliki presentase sebanyak 96% sedangkan perilaku prososial memiliki presentase sebanyak 80%.

Religiusitas memiliki asal kata religi dalam bahasa Latin yakni ―religo‖ yang berakar dari kata religure yang artinya mengikat Gazalba (dalam Ghufron, 2012).

Dengan demikian dapat diartikan bahwa tiap individu yang religius atau beragama pada dasarnya akan senantiasa mengerjakan semua ajaran dan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh agamanya masing-masing. Semua aturan tersebut bertujuan agar individu atau kelompok memiliki hubungan yang erat dengan tuhan, manusia, dan semua makhluk hidup. Ketika istilah religi muncul, maka keberagamaan atau religiusitas akan muncul pula. Fetzer (dalam Farhah, 2011) menuturkan bahwa tingkatan intensitas dekatnya seorang penganut agama melaksanakan kegiatan beragamanya sehari-hari (daily spiritual experience), makna beragama dalam hidup penganutnya, mengekspresikan keagamaan dalam sebuah nilai, percaya dengan ajaran agamanya, memaafkan, beribadah, agama yang digunakan sebagai coping, mendapatkan dukungan umat sesama agamanya, mendapatkan sejarah keberagaman, dan meyakini keperyaan dalam agamanya.

Glock dan Stark (dalam Jalaludin, 2004) memaparkan, religiusitas pada umumnya meliputi perasaan, keyakinan, dan perilaku yang dilakukan secara sadar sepenuhnya seperti yang diajarkan dalam agamanya dengan melakukan bermacam ibadah wajib maupun sunah serta aktualisasi keagamaan dalam diri setiap individu. Nashori (dalam Reza, 2013) memaparkan bahwa religiusitas merupakan tingkatan pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan intensitas seseorang dalam menghayati agama yang dipercayainya..

(11)

Siti Gazalba mendeskripsikan agama atau religi merupakan perilaku kerohanian manusia yang hubungannya meliputi segalanya hingga dengan seluruh alam semesta, yang artinya hakikat dari semuanya. Religi memiliki hubungan yang erat dengan kudus karena pencarian nilai dan makna sesuatu sangatlah berbeda dengan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya. Kebergantungan manusia pada kudus yang memiliki kekuatan yang jauh lebih kuat daripada manusia dan diluar kontrolnya, maka untuk bisa mendapatkan pertolongannya manusia harus menjalankan kewajiban dalam ajarannya dan juga berusaha (Jalaludin, 2012). Terdapat lima dimensi yang menggambarkan religiusitas seseorang, antara lain dimensi pengalaman, dimensi ritual dan prakter, dimensi kepercayaan, dimensi pengetahuan dan dimensi konsekuensi. Tingginya religiusitas seseorang dapat membantu untuk menuntun dan menghayati peran manusia sebagai makhluk intelektual dalam menjalani ibadah kepada Tuhan-Nya.

Penelitian yang dilakukan oleh Arli dan Lasmono (2015) mengenai religiusitas dengan alasan orang menjadi relawan menjelaskan bahwa tingkatan religiusitas personal ekstrinsik dan intrinsik (dua dari tiga alat ukur religiusitas, dimensi yang lain adalah religiusitas sosial ekstrinsik) seeorang yang tinggi condong memiliki penyebab ―other oriented‖ atau orientasi yang terdapat keuntungan ketika terlibat dalam suatu kegiatan.

Walau demikian religiusitas tidak berdampak pada sujap saling tolong menolong satu sama lain.

Kemudian berdasarkan penelitian French dkk (2013) mengenai hubungan orang tua dan anak, tingkat religiusitas, dan adaptasi sosial pada remaja muslim di Indonesia.

Penelitian ini terdiri dari 296 responden remaja berusia 13,3 – 16,9 tahun. Alat ukur untuk mengetahui kadar perilaku prososial yang digunakan adalah alat ukur dari Eisenberg dkk (2001), sementara alat ukur untuk religiusitas dikembangkan oleh Purwono (2010). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa religiusitas erat hubungannya dengan hubungan sosial yang melibatkan anak dan orang tua yang dapat mempengaruhi perilaku prososial anak. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa religiusitas erat hubungannya dengan relasi sosial antara anak dan orang tua dalam mempengatuhi perilaku prososial anak. Apabila penelitian dari Arli dan Lasmono (2015) yang telah dijabarkan sebelumnya dijadikan pembanding, ternyata terbukti bahwa religiusitas

(12)

memberikan pengaruh perilaku prososial yang digunakan sebagai mediator orang tua dengan anak.

kemudian penelitian Guo, Liu, dan Tian (2018) mengenai religiusitas dan perilaku prososial pada tingkat nasional menunjukkan bahwa a) religiusitas nasional tidak terkait dengan world giving indeks (indeks pemberian dunia) tetapi berhubungan positif dengan membantu orang asing dan berhubungan negatif dengan donasi uang, b) produk domestik bruto perkapita memoderasi hubungan antara religiusitas nasional, uang donasi, waktu sukarela, dan membantu orang asing. Lebih lanjut diketahui bahwa di negara-negara yang kurang makmur, agama berfungsi secara efisien dalam mempromosikan perilaku prososial. Sementara di negara maju secara ekonomi fungsinya mungkin telah digantikan oleh faktor lain yang terkait dengan perkembangan sosial dan peradaban.

Selanjutnya penelitian serupa dilakukan oleh Batara, Franco, Quiachon, &

Sembrero (2016) mengenai pengaruh konsep dasar keagamaan pada perilaku prososial terhadap ingroup dan outgroup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengutamaan konsep religius khususnya konsep dasar spiritual dapat meningkatkan perilaku prososial.

Namun, tidak ada efek signifikan yang ditemukan pada kategorisasi sosial yang menyiratkan bahwa peserta Filipina memperoleh perilaku prososial terlepas dari kategori sosial (baik itu ingroup maupun outgroup) dari target bantuan. Penelitian ini berkontribusi sebagai literatur yang lebih jauh tentang dasar agama dan pengaruhnya terhadap perilaku prososial.

Kemudian penelitian yang dilakukan Pazhoohi, Pinho, dan Arantes (2017) menjelaskan tentang hubungan perilaku prososial dan hari raya keagamaan: studi eksperimen. Penelitian ini menguji efek dari hari keagamaan, efek yang sebelumnya tidak pernah diteliti sebelumnya pada perilaku prososial. Secara khusus, penelitian ini melakukan dua kali percobaan dengan setting ekologis di Portugal. Penelitian ini menguji apakah perilaku prososial akan meningkat pada hari keagamaan dibanding hari biasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dampak terkait gender dimana wanita pada hari keagamaan lebih cenderung melakukan perilaku prososial daripada ketika hari non agama. Sementara pria tidak mengubah perilaku mereka.

(13)

Selanjutnya penelitian Preston & Ritter (2013) berjudul ―Different Effects of Religion and God on Prosociality with The Ingroup and Outgroup” berasumsi bahwa agama dan Tuhan adalah konsep berbeda yang menghasilkan asosiasi berbeda pada setiap individu. Secara khusus, penelitian ini memeriksa pengaruh Tuhan dan agama pada prososialitas terhadap ingroup dan outgroup. Penelitian ini menemukan bahwa konsep agama meningkatkan prososial terhadap anggota ingrup, konsisten dengan afiliasi ingrup, sedangkan konsep ketuhanan meningkatkan prososialitas terhadap anggota outgroup, konsisten dengan perhatian manajemen dan kesan moral.

Berikutnya penelitian yang berjudul ―Pro-Social Behavior: Contributions of Religiosity, Empathic Concern, and Spirituality” oleh Roth (2017). Hasil studi tersebut memiliki tujuan untuk menyelidiki relasi antara empati, perilaku antisosial, religiusitas, dan spiritualitas sebagai variabel penyebab perilaku prososial. Penelitian ini juga mempertimbangkan pengaruh variabel lain seperti usia, jenis kelamin, keyakinan agama, dan etnis dalam sampel Katolik mahasiswa Bolivia. Sebuah model konseptual awal dari perhatian empatik diusulkan berdasarkan variabel yang diteliti. Sementara hubungan antara religiusitas dan perilaku pro-sosial tidak terbukti sangat baik, hasilnya menunjukkan hubungan yang kuat antara perilaku pro-sosial, empati, dan spiritualitas, mengungkapkan bagaimana variabel-variabel ini berkontribusi untuk menjelaskan perilaku tersebut. Keluaran dari proses pemodelan menunjukkan (diverifikasi melalui bobot standar) bahwa setidaknya tiga dari empat variabel laten yang dimasukkan dalam model menunjukkan pengaruh yang relevan terhadap perilaku pro-sosial (empati, religiusitas, dan spiritualitas). Perilaku antisosial diberhentikan sebagai sumber penjelasan variabel endogen. Meskipun model tersebut tampaknya dapat diterima, beberapa penyesuaian diperlukan untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif tentang empati — kerangka konseptual yang pro-sosial.

Studi dari Sinaga (2014) mempertegas pendapat bahwa perilaku prososial dan religiusitas pada mahasiswa prodi bimbingan dan konseling memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Kemudian didapatkan hasil analisis yang membuktikan bahwa perilaku prososial dan religiusitas memiliki koefisien relasi sebesar rxy = 0,537 dengan signifikansi p = 0,000 < 0,05. Kesimpulannya adalah perilaku prososial dan religiusitas mahasiswa prodi Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana

(14)

memiliki hubungan yang positif dan signifikan sehingga hipotesis dari penelitian bisa diterima. Korelasi antara dua variabel menunjukan hubungan yang positif, hal ini berarti tingkatan hubungan religiusitas mahasiswa dengan perilaku prososial mahasiswa berlangsung sejalan.

Disisi lain, penelitian Saputro (2014) menunjukan siswa yang beragama Nasrani juga menunjukan bahwa perilaku prososial dan religiusitas memiliki hubungan yang baik.

Pernyataan demikian telah terbukti dari penghitungan uji hipotesis bahwa terdapat hubungan yang besarnya 0,941 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Hingga pada akhirnya bisa disimpulkan bahwa kadar religiusitas remaja memiliki progres yang sejalan dengan perilaku prososial yang dimiliki.

Senada dengan penelitian di atas, Dewi & Widya (2012) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa siswa SMAN dan MAN di Jepara memiliki hubungan yang sejalan antara perilaku prososial dengan religiusitas. Pernyataan tersebut telah terbukti data yang diperoleh berupa hasil koefisien korelasi (r) sebesar 0,485; p=0,001 (p<0,05).

Data variabel religiusitas terhadap intensitas perilaku prososial sebesar 23,5% yang ditunjukkan oleh koefisien determinan (r2) sebesar 0,235.

Hasil serupa ditemukan oleh Yahya & Abidin (2018) yang meneliti mengenai relasi antara perilaku prososial dengan religiusitas murid MAN. Kadar korelasi pada penlitian ini membuktikan bahwa variabel religiusitas dengan variabel intensi prososial mempunyai hubungan yang positif dan signifikan. Hubungan positif nampak dari kedua variabel ini yakni p = .000 (p < .05), yang menunjukan bahwa tingginya religiusitas seseorang berbanding lurus dengan perilaku prososialnya.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Ellyana & Noviekayati (2015) berjudul

―Religiusitas, Pola Asuh Otoriter, dan Perilaku Prososial Remaja di Pondok Pesantren‖

menunjukkan bahwa religiusitas dan pola asuh yang cenderung otoriter memiliki hubungan dengan perilaku prososial, tetapi secara parsial antara religiusitas dengan perilaku prososial serta ada hubungan negatif antara kecendrungan pola asuh otoriter dengan perilaku prososial tidak memiliki hubungan.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti beranggapan bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan sebab perilaku prososial bisa meliputi berbagai macam hal dan juga

(15)

tindakan yang dilakukan tanpa memandang siapa yang akan ditolong. Dalam interaksi sosial, perilaku prososial besar sekali manfaatnya. Oleh karena itu, perilaku prososial merupakan bagian dari norma sosial. Menurut Sears dkk (2004), terdapat tiga norma yang paling penting, yaitu tanggung jawab sosial, saling keterbalikan dan keadaan sosial.

Kadar religiusitas juga menjadi faktor terbentuknya perilaku prososial. Nashori (dalam Reza, 2013) menjelaskan bahwa religiusitas merupakan tingkatan pengetahuan dan kokohnya keyakinan agama, rutin beribadah dan berkaidah dalam semua menghayati keyakinan agama yang dipercayai. Kesadaran akan kepatuhan dalam keberagamaan sesuai dengan yang diajarkan di pondok pesantren.

Selain itu, hal lain yang menjadi urgensi penelitian ini yaitu perilaku prosisal adalah perilaku yang seharusnya dapat dilakukan oleh semua pihak terutama oleh santri pondok pesantren yang sehari-harinya diajarkan nilai keberagamaan yang kuat di mana nilai-nilai agama tersebut mendorong pada kebaikan untuk menolong sesama. Sehingga karena berdasarkan observasi awal peneliti menemukan bahwa perilaku prososial para santri di pondok pesantren ini masih cenderung rendah, peneliti merasa perlu untuk menelusuri lebih dalam tentang relasi antara perilaku prososial dengan religiusitas yang terjadi di dalam pondok pesantren. Gap penelitian adalah menjadikan pelajar di pesantren sebagai subjek penelitian, dimana pada penelitian-penelitian lain masih jarang ditemui.

Dari bermacam fenomena yang telah terjadi peneliti memutuskan untuk membuat penelitian ilmiah tentang ―HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI PONDOK PESANTREN”

B. “Rumusan Masalah”

Rumusan masalah yang dirumuskan yang sesuai yaitu, ―Apakah ada hubungan antara religiusitas dengan perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Kyai Galang Sewu?‖

C. Tujuan Penelitian

Untuk bisa mendapatkan hasil secara esmpiris yang berkaitan antara religiusitas dengan perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Kyai Galang Sewu.

(16)

D. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap studi ini mampu bermanfaat bagi pembaca, antara lain:

1. Manfaat Teoritis:

Mampu memperluas wawasan ilmiah di berbagai macam bidang psikologi.

2. Manfaat Praktis:

a. Memberikan tambahan wawasan dan pengalaman langsung mengenai perilaku prososial dan religiusitas yang dimiliki santri-santri.

b. Bisa dijadikan acuan bagi peneliti lainnya tentang relasi antara religiusitas dengan perilaku prososial pada santri.

c. Hasil studi ini juga dapat dipergunakan untuk tambahan informasi kepada pemerintah atau instansi terkait mengenai hubungan antara antara religiusitas dengan perilaku prososial pada santri.

(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial

Chaplin (1995) mengungkapkan bahwa perilaku adalah sesuatu yang individu alami termasuk reaksi yang diamati. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk tindakan yang seorang atau lebih individu tersebut hadir untuk menolong individu atau orang lain, berdasarkan kegiatan menolong tersebut si penolong tersebut tidak mendapat manfaat apapun (Baron dan Branscombe, 2012). Perilaku prososial juga didefinisikan sebagai sebuah tindakan yang berlandaskan kesukarelaan yang menggambarkan tindakan penuh kesadaran yang disengaja agar penerima dapat menerima hasil yang bermanfaat atau hasil yang positif (the recipient), dengan mengacuhkan terkait nilai dari tindakan tersebut, dampak dari tindakan tersebut atau tindakan tersebut dapat memberikan keuntungan untuk pemberi (the donor) (Grusec, Davidov, & Lundell, 2002).

Perilaku prososial adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk menolong orang lain tanpa berharap imbalan secara tidak langsung dalam kegiatan tolong menolong.

Seseorang yang memiliki perilaku prososial akan lebih memntingkan menolong orang terdekatnya ketimbang hanya melakukan sesuatu terkait dirinya sendiri. Tindakan prososial ini merupakan sebuah gabungan antara pengorbanan pribadi dan kepuasan batin setelah memberikan pertolongan. Kombinasi yang hadir akibat pengorbanan diri dari si penolong dan dan kepuasan dari kegiatan setelah menolong seseorang tersebut dapat terjadi dimuali dari tingkatan yang relatif aman dan rendah hingga ke tingkat yang sangat rumit dan sangat membahayakan (Staub, Baron & Byrne, dalam Dayakisni & Hudaniah 2015).

Perilaku prososial adalah tingkah laku yang disebabkan oleh kontak sosial, sehingga perilaku prososial dapat dimaknai sebagai sebuah tindakan yang direncanakan dan dilaksanakan guna memberikan pertolongan kepada orang lain tanpa menambahkan tujuan lain dari penolong. Perilaku prososial yang datang dari

(18)

motivasi dalam diri si penolong dan kemunculan hal tersebut juga diiringi oleh tidak berharap imbalan apapun atas apa yang sudah dilakukan. Perilaku prososial ini mempunyai derajat pengorbanan yang tidak rendah, perilaku ini memiliki motif sukararela untuk memberikan pertolongan kepada orang lain dan tidak menginginkan balasan atas perbuatan menolong yang telah dia lakukan. (Rahman, 2014).

Perilaku prososial adalah bentuk tingkah laku yang mengutungkan bagi penerima pertolongan karena sang penolong tidak memerlukan imbalan. Staub, Baron, dan Byrne (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2015) mengungkapkan perilaku prososial mencakup tindakan dalam batasan yang luas seperti mengubah keadaan fisik seseorang atau psikologi seseorang yang membutuhkan bantuan menjadi lebih baik karena telah mendapatkan bantuan baik secara material ataupun psikologis sehingga perilaku prososial tujuan utamanya yakni menyejahterakan orang lain.

Perilaku prososial adalah satu dari sekian banyak perilaku yang timbul melalui kontak sosial, sehingga perilaku prososial merupakan suatu aktifitas yang dilakukan seseorang atau direncanakan oleh seseorang bertujuan guna menolong orang lain dan mengindahkan motif yang datang dari si penolong. Tindakan menolong orang lain datang dari dalam diri dan diikuti oleh tidak mengharapkan imbalan untuk dirinya.

Tindakan prososial dapat didefinissikan sebagai seorang penolong yang mengorbankan dirinya untuk orang lain yang bersifat sukarela dan tidak berharap mendapatkan imbalan. (Gusti & Margaretha, 2010).

Wrighsman dan Deaux (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2015) mengungkapkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan yang memberikan kesan positif guna menyejahterakan individu lain berupa bantuan secara fisik maupun psikologis.

Perilaku ini memiliki kecenderungan untuk menolong lebih kepada orang lain daripada diri sendiri.

Wiliam (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2015) mengungkapkan perilaku prososial yang membawa tujuan untuk mengubah kondisi baik fisik maupun psikologis ke pada orang yang ditolong untuk membuat orang yang ditolong merasa lebih baik.

Berdasarkan pendapat Wiliam di atas terdapat dua macam tujuan perilaku prososial yaitu pertama untuk diri sendiri dan yang kedua untuk orang lain. Tujuan yang mengarah ke diri sendiri lebih ditekankan melalui perasaan berharga dan bahagia

(19)

karena telah memberikan pertolongan kepada orang lain, serta tidak adanya rasa bersalah karena tidak sanggup memenuhi hasrat untuk membantu orang lain.

Sementara tujuan dari penerima tindakan ini adalah bentuk pemenuhan hasrat untuk orang yang ditolong.

Brigham (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2015) menjelaskan terkait perilaku prososial yang bertujuan mendukung kesejahteran yang ditujukan pada pihak lain.

Perilaku prososial membuat pengorbanan pribadi dan kepuasan yang timbul setelahnya menjadi hal yang terlibat dalam melakukan tindakan ini . Sedangkan menurut Desmita (2010) perilaku prososial ialah suatu tindakan yang membawa nilai positif dan memberikan keuntungan yang dapat membuat keadaan seseorang dapat menjadi lebih baik dan didasarkan pada tindakan sukarela. Keuntungan dalam pelaksanaan perilaku prososial ini tidak dirasakan oleh si pemberi bantuan.

Terkait hal yang sudah diuraikan oleh para ahli, kesimpulan yang bisa diambil ialah perilaku prososial merupakan bentuk pemberian pertolongan kepada orang lain dan memberikan keuntungan untuk orang yang menerima pertolongan tersebut. Bagi orang yang memberikan pertolongan, orang tersebut tidak secara langsung merasakan manfaat dari paa yang telah dia lakukan pada orang lain bahkan bisa menimbulkan resiko bagi yang memberikan pertolongan.

2. Aspek Tindakan Prososial

Eisenberg ―& Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009: 175)‖mengungkapkan hal-hal yang menjadi aspek dari perilaku prososial adalah:

1.) Berbagi (Sharing)

Berbagi adalah kondisi ketika individu bersedia untuk menyalurkan perasaannya kepada orang lain, perasaan yang bersifat suka atau duka. Kegiatan berbagi dilakukan ketika seseorang terlihat menderita atau kesulitan sebelum diberikan tindakan yang berupa dukungan emosional maupun fisik.

2.) Kerjasama (Cooperative)

Kerjasama adalah kondisi ketika individu bersedia untuk melakukan suatu tugas bersamaan dengan orang lain guna menggapai suatu hal yang ingin dituju bersama. Kerjasama meliputi kegiatan yang memberikan keuntungan bagi berbagai pihak, masing-masing pihak memberikan sesuatu pada pihak lain, pihak

(20)

satu menolong pihak lain, dan menyenangkan untuk dilakukan oleh satu sama lain.

3.) Menyumbang (Donating)

Menyumbang adalah kondisi ketika individu bersedia untuk melakukan tindakan yang menunjukkan empati kepada sesama manusia. Kegiatan ini merupakan pemberian barang kepemilikan kita kepada orang lain sedang butuhkan atau sedang terkena musibah. Barang yang kita berikan bersifat sukarela dan tulus dari hati untuk menolong mereka akibat dari datangnya rasa empati.

4.) Membantu (Helping)

Membantu adalah kondisi di mana individu bersedia untuk melakukan tindakan sukarela memberikan pertolongan kepada seseorang tanpa mempertimbangkan keuntungan atau kerugian dari kegiatan memberi bantuan kepada orang yang ditolong. Kegiatan membantu dapat meliputi memberitahu, memberikan tawaran bantuan kepada yang membutuhkan, hingga melakukan hal yang dapat membantu kemudahan dari kegiatan yang sedang dilakukan oleh orang lain.

5.) Bertindak jujur (Honesty)

Sebuah perilaku yang dilakukan oleh individu yang dapat dilihat dengan penyampaian perkataan dan pelaksanaan perbuatan yang sesuai dengan keadaan.

Penyampaian ini dilakukan secara apa adanya tanpa memberikan pengurangan atau memberikan imbuhan atas hal apa yang terjadi lalu disampaikan kepada orang lain. Bentuk lain dari perilaku yang jujur adalah tidak melakukan kecurangan yang ditujukan kepada orang lain atau mencurangi orang lain.

6.) Kedermawanan (Generosity)

Secara sadar kita mendermakan apa yang kita miliki kepada orang yang lebih butuh. Pemberian hal yang kita punya bersifat sukarela dan datang dari hati serta empati. Tidak mengharapkan apapun sebagai timbal baliknya.

Carlo & Randall (2002) memberikan penjelasan terkait apa saja aspek perilaku prososial:

a. Altruistic Prosocial Behavior

(21)

Suatu kegiatan di mana seseorang memberikan motivasi dan membantu orang lain yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dan kesejahterannya.

Tindakan ini didasari oleh rasa-rasa simpati dalam diri individu yang kemudian diinternalisasikan melalui nilai yang kita anut atau norma bisa juga terkait prinsip pribadi guna memberikan bantuan kepada orang lain.

b. Compliant Prosocial Behavior

Suatu kegiatan di mana seseorang bersedia menolong orang lain karena adanya permintaan dari orang yang akan ditolong baik permintaan secara langsung maupun melalui simbol.

c. Emotional prosocial behavior

Kegiatan di mana seseorang bersedia untuk membantu orang lain yang berlandaskan adanya ikatan empati selaku manusia pada saat terjadi suatu hal.

d. Public Prosocial Behavior

Kegiatan di mana seseorang bersedia mengulurkan bantuan kepada orang lain namun tindakan menolong tersebut harus dilakukan di depan khalayak ramai.

Tujuan dari dilakukannya perilaku ini adalah untuk memperoleh kebanggaan, pengakuan hingga kehormatan dari orang lain yang akan berpengaruh pada peningkatan harga diri si penolong.

e. Anonymous and Dire Prosocial Behavior

Kegiatan di mana seseorang memberikan pertolongan secara tersembunyi.

Pemberian pertolongan kepada orang yang sedang membutuhkan tanpa orang tersebut mengetahui sebelumnya. Sementara dire prosocial behavior merupakan kegiatan di mana seseorang memberikan bantuan pertolongan kepada orang yang ada didalam keadaan krisis dan mendesak.

Brigham C.J (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) menjelaskan aspek apa saja yang ada di perilaku prososial:

a. Altruisme

Altruisme merupakan suatu kondisi di mana seseorang memiliki rasa ikhlas guna menolong orang lain. Pemberian pertolongan ini bersifat sukarela yang artinya

(22)

atas kemauan diri dari penolong. Pemberian pertolongan ini juga tidak menginginkan imbalan atau keuntungan apapun.

b. Murah hati

Murah hati ada di sebuah kondisi ketika seseorang memiliki kesediaan untuk bersikap memberikan sebagian yang dimilikinya kepada orang lain.

c. Persahabatan

Persahabatan ialah suatu keadaan di mana seseorang memiliki kemauan menjalin relasi yang dekat dan intens kepada orang lain.

d. Kerjasama

Kerjasama ialah suatu keadaan di mana seseorang memiliki kesediaan untuk melaksanakan tugas dengan orang lain secara bersama-sama demi terciptanya suatu tujuan.

e. Berbagi

Berbagi merupakan suatu kondisi di mana seseorang memiliki kesediaan untuk membagikan apa yang dirasakannya baik keadaan sulit ataupun suka kepada orang lain.

Berkaitan paparan di atas, dapat disimpulkan aspek perilaku prososial meliputi:

berbagi dengan orang lain (sharing), kerja sama (cooperative), kegiatan menyumbang (donating), membantu (help), penyampaian secara jujur (honesty), dan kedermawanan (generosity).

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009) mengungkapkan bahwa hal yang menjadi dasar bagi individu untuk melakukan tindakan prososial adalah terkait nilai yang ada masyarakat dan norma yang berlaku di masyarakat, salah satu bentuknya adalah penegakan terkait hal yang benar dan adil karena hal tersebut bersifat wajib.

Ajaran agama yang didapat seseorang dan pelajaran yang individu dapatdi lingkungan sosial merupakan asal dari datangnya nilai dan norma yang mereka anut. Faktor lain yang juga bisa menjadi faktor tambahan yang dapat menjadi faktor penentu dalam perilaku prososial adalah :

1. Faktor Personal

(23)

a. Self-gain

Harapan yang ada pada diri seseorang untuk mendapatkan sesuatu seperti sebuah pengakuan atau pujian yang datang dari individu lain atau guna menghindar dari kehilangan terhadap sesuatu seperti takut jika dikucilkan.

b. Personal value dan norms

Tindakan prososial yang dipahami atau diyakini oleh seorang individu tidak datang dengan sendirinya. Tindakan prososial akan berkaitan dengan norma dan nilai yang dimiliki atau didapat oleh individu selama melakukan tindakan sosialisasi. Dari kegiatan sosialisasi yang telah dilakuakn oleh individu tersebut akan memiliki kaitan terhadap tindakan prososial yang akan dilakukan. Salah satu bentuk dari tindakan prososial adalah individu merasa memiliki sebuah kewajiban guna menegakan keadilan dan kebenaran dan juga terdapat norma timbal balik.

c. Empati

Sebuah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang mana mereka mampu merasakan apa yang sedang orang lain rasakan atau orang lain perbuat.

Kemampuan empati seseorang memiliki hubungan terkait pengambilan peran.

Penyampaian dari rasa empati yang kita miliki dapat disampaikan baik secara verbal atau non verbal.

2. Faktor Situasional

a. Hubungan Interpersonal

Semakin dekat hubungan antara orang yang memberikan pertolongan dengan orang yang ditolong. Maka, pemberian pertolongan akan semakin cepat dan mendalam kepada orang yang tersebut. Orang akan memberiakan pertolongan secara mendalam dan cepat selain datang dari kedekatan yang ada diantara individu tersebut juga terkait adanya kejelasan terkait hubungan yang terjalin diantara keduanya.

b. Pengalaman terkait memberikan pertolongan dan suasana dari hati penolong Pengalaman yang bersifat positif akan mendorong orang untuk melakukan tindakan prososial. Sebaliknya, jika seseorang pernah mengalami tindakan yang bersifat negatif atau pahit. Maka, individ tersebut akan memikirkan

(24)

berulang kali dan cenderung menghindar dari perilku prososial tersebut.

Suasana hati seseorang juga membawa pengaruh kepada memberikan pertolongan kepada orang lain. Suasana hati yang senang akan membawa seseorang lebih mudah menolong orang lain. Sedangkan, suasana hati dari seseorang yang sedang merasakan sedih akan memilih untuk menghindari memberikan orang lain sebuah pertolongan.

c. Sifat Stimulus

Stimulus yang bersifat jelas akan memberikan dampak berupa meningkatnya kesiapan terkait bereaksi ketika mendapat stimulus untuk memberikan bantuan. Apabila stimulus yang menghasilkan sedikit perilaku prososial makan hal tersebut disebabkan oleh stimulus yang diterima oleh individu tersebut tidak jelas.

d. Derajat kebutuhan yang ditolong

Keinginan orang untuk menolong orang lain juga terdapat pada kadar butuh pertolongan orang tersebut. Orang yang memiliki kadar butuh pertolongan yang tinggi biasanya akan diberikan prioritas ketika diberikan pertolongan.

Orang yang memiliki kadar prioritas untuk ditolong juga akan memiliki kemungkinan pertolongan yang besar dilihat dari bagaimana dia membutuhkan pertolongan.

e. Tanggung Jawab

Tingkat tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap orang akan membawa dampak pada tanggung jawab dia untuk menolong orang lain. Apabila ia merasa tanggung jawab yang ia miliki terhadap memberikan pertolongan kepada orang lain bersifat abu-abu. Ia tidak akan memberikan pertolongan pada orang lain dikarenakan sifat dari tanggung jawab menolong tersebut dan rasa tanggung jawab dari masing-masing diri individu.

f. Biaya yang harus dikeluarkan

Dalam menolong orang lain juga harus mempertimbangkan biaya yang diberikan untuk menolong orang lain. Seseorangan akan dengan mudah memberikan pertolongan pada orang lain apabila biaya yang dikeluarkan untuk menolong rendah. Namun, bukan berarti jika biaya yang dikeluarkan

(25)

tinggi dalam memberikan pertolongan kepada orang lain membuat kita tidak melakukan tindakan prososial. Tindakan tolong menolong akan tetap terjadi walaupun mungkin dengan pertimbangan lain.

g. Norma timbal balik

Seseorang yang pernah ditolong oleh orang lain akan cenderung memiliki keinginann untuk meolong orang lain. Keinginan yang muncul ini berasal dari rasa ingin membalas pertolongan atau melakukan hubungan timbal balik.

Membalas jasa dari sang penolong merupakan salah satu wujud tanggung jawab moral yang terjadi pada seseorang yang pernah menerima pertolongan.

h. Karakter dari sebuah kepribadian

Individu yang memiliki kecenderungan dalam melaksanakan perilau prososial akan memiliki karatereristik kepribadian. Bentuk-bentuk karakteristik seseorang tersebut dapat berupa : memiliki tingkat tanggung jawab tinggi, tingginya harga diri yang ia miliki, kontrol diri yang baik, memiliki keseimbangan tingkat moral, dan mereka adalah individu yang tidak terlalu membutuhkan persetujuan yang bukan dari diri merekaterhadap keputusan atau hal-hal apa yang hendak mereka perbuat.

Pemaparan oleh Myers (2012) terkait hal yang menjadi pengaruh pada diri individu untuk melakukan tindakan memberi pertolongan yang didasarkan kepada sifat yang memberikan pertolongan, yaitu:

a. Sifat dan kepribadian individu

Didasarkan pada peneliti yang sudah melakuakn penelitian kepribadian dapat ditarik beberapa hal. Para peneliti mendapati perbedaan individu dalam perilaku memberikan pertolongan dan perbedaan yang ditemui akan bertahan selamanya.

Para peneliti dari penelitiannya telah mengumpulkan banyak petunjuk tentang jaringan sifat dari individu yang menjadi penentu tingkat kesediaan individu untuk memberikan pertolongan. Kepribadian dari individu juga dapat memberikan pengaruh tentang bagaimana individu tersebut bereaksi ketika menghadapi suatu situasi.

b. Gender

(26)

Gender memberikan beberapa pengaruh pada setiap tindakan pertolongan.

Perempuan lebih cenderung melakukan pertolongan di situasi yang aman menurut mereka. Para perempuan juga biasaya akan terlibat sebagai sukarelawan dalam pemberian bantuan. Sedangkan untuk para laki-laki akan memberikan pertolongan di saat situasi yang ada memiliki potensi berbahaya. Para pria terhitung lebih sering melakukan pertolongan pada situasi yang berketerbalikan dengan perempuan.

c. Kepercayaan religius

Orang dengan kepercayaan religius cenderung memiliki sifat menolong yang dalam jangka waktu yang lebih panjang ketimbang orang yang tidak memiliki kepercayaan religius.

Dari penjelasan yang diatas ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi faktor untuk mempengaruhi perilaku prososial dari diri seseorang berasal dari faktor situasional dan faktor personal yang satu di antaranya ialah faktor religiusitas.

B. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas

Religi atau religion didasari dari relegare atau relegere yang berasal dari bahasa Latin. Kata tersebut memiliki arti ― berhati-hati‖ dan berpedoman secara kuat pada norma. Hal ini memiliki makna bahwa religi meliputi keyakinan, nilai dan norma hidup yang wajib ditaati dan dijaga penuh perhatian agar tidak menyimpang. Kata relegare, memiliki makna ―mengikat‖. Makna mengikat ini mengarah pada mengikatkan dirinya pada suatu zat yang suci dan bersifat gaib. Diyakini bahwa zat suci yang bersifat gaib yang dipercayaain telah menuliskan gambaran garis kehidupan manusia. Zat ini selain dipercaya sebagai pemilik kuasa yang besar juga memiliki kekuatan untuk memberikan dampak pada kehidupan manusia. Dengan penjelasan terkait religi memiliki kesimpulan ― keyakinan kepada suatu zat yang memiliki kekuatan gaib dan bersifat suci yang dipercaya mampu menggariskan terkait jalan hidup serta mampu memberikan dampak pada kehidupan manusia, sebagai manusia yang mempercayai hal tersebut maka diharuskan untuk menjalankan dan mematuhi segala aturannya secara hati-hati. Mematuhi nilai dn norma yang ada secara cermat.

(27)

Hal tersebut dilakukan serta merta dalam rangka menjalankan kehendak yang sudah digariskan dari zat yang suci dan memiliki kekuatan gaib tersebut. (Muhaimin &

Jusuf, 2005).

Agama atau religi dijabarkan oleh Siti Gazalba (dalam Jalaludin, 2012) sebagai sebuah kecenderungan dari rohani yang ada di manusia yang telah memiliki hubungan berkaitan dengan alam semesta meliputi nilai, makna dan hakikat dari seluruh aspek kehidupan. Religi bertujuan untuk menelisik terkait nilai dan makna terkait suatu hal yang memiliki perbedaan secara keseluruhan dari segala bidang yang dirasakan oleh panca indera.

Siti Gazalba mendeskripsikan agama atau religi adalah sebuah kecenderungan terkait rohani pada manusia yang memiliki hubungan terkait alam semesta, nilai yang menjadi penentu segalanya, makna yang terakhir, hakikat yang dapat diambil setelah segala hal terjadi. Religi adalah keadaan yang digunakan untuk mencari nilai dan mencari makna terkait suatu hal. Religi dalam artian ini adalah suatu hal yang berkaitan dengan sesuatu yang suci atau kudus. Hal ini biasanya terjadi akibat berbedanya dari suatu hal yang biasa kita temui. Diakui oleh manusia keberadaan zat tersebut, dan manusia akan bergantung kepada zat kudus secara mutlak, yang dimaknai sebagai suatu zat uang memeiliki kekuatan diluar dari kontrol yang dimiliki oleh manusia serta kekuatan diatas manusia. (Jalaludin, 2012).

Menurut Thohir (1986) religiusitas adalah dorongan jiwa dari diri individu yang memiliki akal dengan kesadaran penuh terkait kehendak dan pilihan yang dia buat sendiri berdasarkan peraturan yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagian dunia dan kebahagian akhirat. Sedangkan menurut Darajat (1973) religiusitas adalah suatu bentuk terkait pikiran manusia, terkait perasaan yang dimiliki dan motivasi dari diri individu guna mendorong manusia untuk melakukan perilaku beragama.

Suroso (2001) mengungkapkan bahwa tingkat religiusitas dapat diketahui dari tingkat pengetahuan, tingkat pelaksanaan, tingkat keyakinan yang dianut dan tingkat penghayatan terhadap agama Islam. Religiusitas merupakan suatu bentuk keberanekaragaman yang memiliki banyak sisi ataupun dimensi. Religiusitas tidak hanya terkait dengan bagaimana individu dalam melakukan sebuah ritual keagamaan (beribadah) namun aktivitas lain yang didasari oleh kekuatan supranatural. Dilihat

(28)

dari penjelasan diatas, religiusitas dapat disimpulkan sebagai kemampuan individu dalam pelaksanaan aspek terkait keyakinan agama yang ada didalam kehidupan beribadah dan juga terkait kehdiupan sosisl individu.

Adapun menurut Jalaludin Rakhmat (2005) religiusitas adalah keadaan yang terjadi didalam diri seseorang yang membuat seseorang tersebut akan melakukan segala tingkah lakunya sesuai dengan tingkat ketaatan terhadap agama . Sejalan dengan Jalaludin, Hardjana (2005) juga mendefinisikan religiusitas sebagai perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali kepada Tuhan.

Chaplin dengan lebih dalam menjelaskan terkait religi. Menurutnya religi adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini terdiri dari mengandung tentang kepercayaan dan keyakinan. Dua hal tersebut dapat dilihat dari sikap yang kita lakukan dalam kegiatan upacara keagamaan yang memiliki kaitan dengan tuhan.

Mangunwijaya memberikan tambahan penjelasan, menurutny areligiusitas adalah aspek personal dari individu yang menganut agama, hal ini mencakup tentang bagaimana individu memiliki kedalaman rasa yang totalitas yang bersumber dari dalam diri. Religiusitas adalah penekanan rasa pasrah dan rasa hormat kepada Tuhan dan dari dalam diri menghayati hal tersebut.

Spranger (dalam Dister, 1989) religiusitas adalah suatu bentuk keyakinana yang dirasakan oleh individu dan individu tersebut meyakini bahwa ada sebuah kekuatan tertinggi yang dia jadikan tempat bernaung dan hanya kepada yang dia anggap Tuhan dia berserah dan bergantung. Drajat (dalam Jalaludin, 2011) mengenalkan istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience).

Kesadaran agama merupakan keadaan dimana tingkat kesadaran beragama tiap orang dalam melakukan introspeksi diri atau dapat disampaikan sebagai bentuk aspek mental dari sebuah aktivitas agama. Pengalaman agama adalah sebua hal yang berkaitan dengan perasaan individu terkait kesadaran agama, yaitu sebuah perasaan yang dapat membawa individu kepada sebuah keyakinan yang dapat dihasilkan dikarenakan sebuah tindakan.

Kesimpulan yang bisa diambil adalah religiusitas dapat diartikan sebagai keadaan dari diri individu yang mampu memberikan dorongan dalam tingkah laku, bagaimana

(29)

bersikap dan bagaimana pengambilan tindakan yang benar sesuai ajaran agama yang dianut.

2. Aspek Religiusitas

Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2011) menjelaskan bahwa dimensi religiusitas dikategorikan sebagai berikut:

a. Dimensi terkait keyakinan (Ideologis)

Dimensi terkait keyakinana merupakan sebuah tingkatan yang menilai bagaimana sikap individu dalam menghadapi perkara dogmatis terkait agama yang dianutnya, hal ini biasanya terkait dengan tingkat percaya individu kepada penciptanya, terkait adanya surga dan neraka serta adanya figur malaikat. Setiap agama memiliki sebuah keinginan kepada seluruh umatnya yaitu terkait dengan ketaatan.

Didalam setiap agama yang dipercayai oleh individu yang menjadi perkara penting didalamnya adalah kemaun untuk menaati ketentuan yang diterapkan kepercayaan agama yang ia anut. Dimensi keyakinan sifatnya doktriner yang wajib dipatuhi bagi individu yang menjadi penganut dari agama tersebut. Dimensi keyakinan akan dengan sendirinya menuntuk untik melakukan praktik terkait beribadah yang sesuai dengan nilai Islam.

b. Dimensi Praktik Agama (Ritualistik)

Dimensi praktik agama adalah sebuah tingkatan yang mana individu mengerjakan ritual yang menjadi kewajiban yang ada didalam ajaran agamanya.

Dalam dimensi ini akan mencakup tentang pemujaan, ketaatan, dan hal yang menunjukan komitmen dari individu sebagai seseorang yang menganut suatu agama. Bentuk dari dimensi ini berupa masyarakat sebagai pengikut dari suatu agama yang berperilaku menlaksanakan ritual yang berkenaan dengan agamanya.

Dimensi parktik yang ada di dalam agama Islam dilaksanakan dengan melakuakn ibadah shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa, berangkat haji atau praktik terkait muamalah lainnya.

c. Dimensi Pengalaman (eksperiensial)

Dimensi ini adalah sebuah dimensi yang berkaitan dengan pengalaman yang pernah dialami oleh individu atau perasaan yang pernah dirasakan oleh

(30)

individu. Hal-hal yang menjadi contoh terkait dimensi ini adalah bagaimana seorang individu bisa merasakan kedekatan kepada Tuhannya, merasa doa yang dia panjatkan dikabulkan, merasakan ketakutan jika melakuakan sebuah dosa, merasa Tuhan menyelamatkannya dan lain sebagainya.

d. Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual)

Dimensi ini akan menjelaskan terkait bagaiman pemahaman individu terkait ajaran agama yang ia anut. Mengetahui ajaran agama akan berkaitan dengan kitab suci dari sebuah agama. Hal yang menjadi hal dasar individu yang beragama adalah mengetahui hal pokok terkait hal-hal dasar mengenai keyakinan, ritual-ritual, kitab suci dari agama tersebut dan tradisi apa saja yang dimiliki.

Dalam Islam dimensi ini akan berisi pengetahuan tekait isi dari AlQuran, ajaran yang wajib diimani (percaya) dan yang dilaksanakan, dan terkait hukum Islam.

e. Dimensi terkait pengamalan yang dimiliki atau terjadi (Konsekuensi)

Dimensi ini akan berkaitan dengan mengukur perilaku individu dalam melakukan suatu hal yang mendapat motivasi dari ajaran agama yang ia anut kedalam kehidupan bersosialnya. Salah satu bentuk dari hal ini adalah apakah individu tersebut memberikan pertolongan pada orang yang sedang kesusahan, membesuk orang yang dia kenal atau tetangga yang sedang dilanda musibah berupa sakit, menyumbangkan harta yang dia punya dan lain-lain.

Sedangkan menurut Fetzer menyertakan bahwa ada 12 dimensi religiusitas antara lain:

a. Daily spiritual experiences

Daily spiritual experiences bisa diartikan sebagai cara pandang mengenai bagaimana dampak beragama dalam kehidupan sehari-hari. Daily experiences dalam kasus tersebut didefinisikan menjadi bagaimana pandangan seseorang yang kaitannya berhubungan langsung dengan tuhan dalam berkehidupan sehari-hari, maka dari itu daily spiritual experience cenderung mengarah ke cara pandang kognitif individu.

b. Meaning

(31)

Meaning merupakan hal yang erat kaitanya dengan tingkat religiusitas seseorang atau yang kerap diartikan sebagai religion-meaning, yang mana dianggap sebagai tingkatan seseorang setiap individu ketika mencari makna hidup sesuai dengan agama yang dianut dalam hidupnya.

c. Value

Kualitas kepercayaan setiap individu terhadap nilai yang ada di dalam hidup, diantaranya adalah mengajarkan tentang nilai cinta, saling menolong, saling melindungi, dan sebagainya.

d. Konsep Belief

Belief yang berarti keimanan, yaitu dimana kepercayaan yang diyakini seseorang diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.

e. Forgiveness

Sebuah tindakan saling memaafkan, tujuannya untuk mengampuni tindakan salah yang dilakukan orang lain dan memberinya rasa kasihan, kebaikan, dan cinta. Forgiveness memiliki empat macam dimensi turunan, diantaranya adalah pengakuan dosa, merasa diampuni oleh Tuhan, merasa dimaafkan oleh orang lain dan memaafkan diri sendiri.

f. Private Religious Practice

Sebuah ritual agama yang dipelajari oleh penganutnya seperti: kegiatan ibadah sehari-hari, mempelajari kitab suci, dan bermacam kegiatan yang berfungsi meningkatkan tingkat spiritualitas penganutnya.

g. Religious/Spiritual Coping

Merupakan coping stress atau cara menganggulangi stress seseorang dengan cara melakukan ritual beragama.

h. Religious Support

Hubungan sosial yang terjadi antara sesama pemeluk ajaran keagamaan.

i. Commitment

Tingkat religiusitas seseorang dalam mementingkan ajaran agama yang dianutnya serta tingkatan kontribusinya terhadap agama yang dianut.

j. Organizational Religiousness

(32)

Sebuah ukuran seberapa sering seorang individu terlibat dalam kegiatan keagamaan di lingkungan masyarakat sekitarnya.

C. Hubungan antara Religiusitas dengan Perilaku Prososial

Menurut (Baron & Branscombe, 2012), sebuah tindakan saling tolong menolong dengan orang lain tanpa berharap imbalan disebut perilaku prososial. Perilaku prososial bisa didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dilakukan secara sengaja untuk memberikan manfaat bagi penerima, terlepas seberapa berartinya tindakan bagi penerima, penolong tidak mengharapkan imbalan apapun (the donor) (Grusec, Davidov, & Lundell, 2002).

Hal ini sesuai dengan penelitian Haryati (2013) yang berjudul ―Kematangan Emosi, Religiusitas, dan Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit‖ yang memaparkan bahwa dalam lingkungan rumah sakit terdapat hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dan religiusitas dengan perilaku prososial perawat di rumah sakit.

Selain itu, studi ini juga menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku prososial perawat di rumah sakit. Yang terakhir, penelitian ini juga membuktikan bahwa adanya hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial perawat di rumah sakit. Yang berarti semakin tinggi religiusitas perawat tersebut, maka akan semakin tinggi juga perilaku prososial yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit tersebut.

Aspek yang mempengaruhi perilaku prososial dalam setiap individu bisa berasal dari luar maupun dalam diri. Religiusitas merupakan faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku prososial. Batson dan Brown (dalam Khoeriyah, 2018) memaparkan bahwa perilaku tolong menolong cenderung dimiliki oleh individu yang beragama, bukan berasal dari individu yang tidak beragama. Individu yang taat menjalankan ajaran agama cenderung akan melakukan tindakan menolong orang lain karena keinginan untuk menolong sesamanya sangat besar.

Segala hal mengenai religiusitas tentunya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebab pedoman yang mengatur norma-norma kehidupan setiap umat manusia

(33)

mengacu pada norma-norma yang tertanam di agama masing-masing. Agama dan religiuistas menjadi hal yang sangat esensial di lingkungan masyarakat Indonesia karena digunakan sebagai panduan hidup dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu yang telah memasuki usia dewasa seharusnya telah mampu untuk mengembangkan rasa tanggung jawab diri terhadap apa yang dipilihnya termasuk tanggung jawab terhadap norma agama yang ia pegang. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Jalaludin (2012) bahwa tingkat religiusitas individu berhubungan dengan agama yang dipercayainya.

Haryati (dalam Khoeriyah, 2018) menemukan bahwa tinggi rendahnya perilaku prososial seseorang sangat berhubungan dengan religiusitas individu tersebut. Sebab religiusitas terwujud dalam setiap sisi kehidupan individu sehingga religiusitas memiliki peranan yang cukup besar terhadap penganutnya.

Menurut Glock dan Stark (dalam Jalaludin, 2012), religiusitas meliputi seluruh keyakinan, perasaan, dan perilaku yang dilakukan secara sadar dengan menjalankan ajaran agama yang mencakup ibadah wajib maupun ibadah sunah. Religiusitas menurut Nashori (dalam Reza, 2013) merupakah parameter seberapa tingginya pengetahuan, seberapa kokok keyakinan, seberapa rutin pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan keseriusan tokoh dalam menghayati agama yang dianut.

―Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2014) juga memperkuat adanya hubungan positif antara religiusitas dengan perilaku prososial mahasiswa program studi bimbingan dan konseling. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis data yang memperoleh hasil koefisien korelasi antara religiusitas dengan perilaku prososial sebesar rxy = 0,537 dengan signifikansi p = 0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial pada mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana, yang berarti hipotesis penelitian diterima.‖Arah hubungan kedua variabel adalah hubungan positif, artinya semakin tinggi skor religiusitas mahasiswa maka akan semakin tinggi pula skor perilaku prososial mahasiswa, begitupula sebaliknya semakin rendah religiusitas mahasiswa maka akan semakin rendah pula perilaku prososial mahasiswa.

Referensi

Dokumen terkait

Percobaan pemanfaatan karbon aktif untuk menurunkan kadar zat warna Vertigo Blue 49 pada limbah industri tekstil dilakukan dengan menggunakan 10 gram karbon aktif dimasukkan ke

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi minyak ikan sebagai sumber vitamin-mineral pada level 100 ml dalam ransum babi landrace fase

terkumpul akan dilakukan tahap pemeriksaan (Examination) berdasar bukti-bukti yang ada pada alerts Intrusion Detection System (IDS) Snort dan capture pada Wireshark,

Terdapat 5 faktor yang dimasukkan dalam model fungsi produksi frontier stochatik dan diduga berpengaruh terhadap tingkat produksi yaitu bibit, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk

Pengetahuan higiene tenaga pengolah makanan di Instalasi Gizi dari hasil penelitian 5 dari 10 orang yang diteliti sudah mengetahui bagaimana seharusnya seorang tenaga

Warung Nasional dua dengan jam operasional jam 7.00 – 17.00 merupakan cabang dari Warung Nasional satu, dimana rumah makan ini menjual masakan khas Jawa seperti

Suatu varietas tahan yang dapat digunakan mengendalikan virus tungro di suatu daerah endemis harus memiliki beberapa sifat, yaitu tahan terhadap vektor serangga, tahan terhadap

Pelelangan Umum dengan Pascakualifikasi untuk pekerjaaan Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Rujukan Regional RSUD Kardinah Tahun Anggaran 2015 tersebut dinyatakan