• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Algoritme FIFO, PIE, dan RED terhadap Quality of Service pada Wireless Local Area Network

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Perbandingan Algoritme FIFO, PIE, dan RED terhadap Quality of Service pada Wireless Local Area Network"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas Ilmu Komputer

Universitas Brawijaya

2030

Perbandingan Algoritme FIFO, PIE, dan RED terhadap Quality of Service pada Wireless Local Area Network

Rayza Arfian1, Primantara Hari Trisnawan2, Kasyful Amron3

Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya Email: 1rayza.arfian@gmail.com, 2prima@ub.ac.id, 3kasyful@ub.ac.id

Abstrak

Salah satu produk dari kemajuan teknologi nirkabel adalah Wi-Fi dengan standar IEEE 802.11.

Teknologi Wi-Fi dapat ditemui pada fasilitas umum dalam bentuk Wireless Local Area Network (WLAN) dan kemudian berkembang menjadi public hotspot. Sebuah public hotspot tentu memiliki batasan dalam menampung paket yang datang dari klien dan jumlah klien yang tersambung. Paket yang ada di dalam antrean umumnya diproses sesuai dengan urutan datangnya paket tersebut.Hal tersebut dapat memberikan dampak terhadap Quality of Service atau kualitas pelayanannya. Pada penelitian ini dilakukan implementasi algoritme antrean pada WLAN untuk mengetahui pengaruhnya terhadap Quality of Service. Algoritme antrean yang digunakan adalah algoritme First-In-First-Out (FIFO), Proportional Integral controller Enhanced (PIE), dan Random Early Detection (RED). Lalu untuk standar Wi-Fi, digunakan IEEE 802.11b. Pada pengujian Packet Delivery Ratio, algoritme FIFO memberikan hasil yang lebih baik ketimbang PIE dan RED. Peningkatan dialami FIFO sebesar 0,7%

pada saat menggunakan 1000 paket sebagai kapasitas antreannya. Lalu pada pengujian End-to-End Delay, PIE dan RED memberikan rerata delay sebesar 0,9 detik pada setiap pengujian berbeda, lebih baik dari algoritme FIFO yang bisa mencapai 5 detik. Terakhir untuk pengujian throughput, semua algoritme yang diujikan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda hanya selisih 1-2 bps saja.

Kata kunci: WLAN, Quality of Service, FIFO, PIE, RED Abstract

One product of technological advancements in wireless network is Wi-Fi with the IEEE 802.11 standard.

Wi-Fi technology can be found in public facilities in the form of a Wireless Local Area Network (WLAN) and then turned into a public hotspot. A public hotspot surely has limitation either in accomodating a data packet or a number of clients connected. Data packets that are in the queue are generally processed according to the order in which the packets arrives. This can have an effect on Quality of Service. In this research, the implementation of the queue algorithm in the WLAN was carried out to determine its effect on Quality of Service. The queue algorithms are the First-In-First-Out (FIFO) algorithm, Enhanced Proportional Integral Control (PIE), Random Early Detection (RED). The Wi-Fi standard being used is IEEE 802.11b. In Packet Delivery Ratio, the FIFO algorithm provides better results than PIE and RED. FIFO experienced a 0,7% improvement when using 1000 packets as a queue capacity.

Then in the End-to-End Delay test, PIE and RED provide an average delay of 0,9 seconds on each test, better than the FIFO algorithm which can reach 5 seconds. Finally, in throughput all the algorithms tested give results that are not far with only 1-2 bps differences.

Keywords: WLAN, Quality of Service, FIFO, PIE, RED

1. PENDAHULUAN

Keberadaan public Wi-Fi atau Wi-Fi umum memudahkan siapa saja untuk dapat tersambung ke internet. Teknologi dibalik Wi-Fi umum ini adalah sebuah Wireless Local Area Network (WLAN) dimana memungkinkan 2 perangkat atau lebih untuk tersambung ke sebuah router

yang berperan sebagai akses poin dengan menggunakan teknologi Wi-Fi. Wi-Fi sendiri dikembangkan sejak tahun 1990-an dan menghasilkan sebuah standar berupa IEEE 802.11 WLAN. IEEE 802.11 memiliki beberapa standar berbeda dengan kecepatan data yang berbeda-beda juga. Lalu untuk mendapatkan

(2)

akses internet, router disambungkan lagi ke sebuah layanan penyedia internet.

Akses poin yang digunakan sebagai Wi-Fi hotspot (nama lain untuk Wi-Fi umum) memiliki keterbatasan dalam menampung jumlah klien dan manajemen paket. Akses poin akan bekerja tidak optimal ketika jumlah klien yang tersambung melebihi daya tampung yang disediakan. Ketika klien mentransmisikan paket ke akses poin secara bersamaan, probabilitas terjadinya tabrakan dan antrean cepat penuh sangatlah besar. Menurut Wu et al., (2015) jumlah klien yang banyak pada suatu tempat akan memberikan kinerja yang buruk. Selain itu, kinerja yang tidak optimal juga akan memengaruhi Quality of Service atau kualitas pelayan yang didapat.

Untuk mengatasi antrean dari kepenuhan yang disebabkan oleh paket yang terus berdatangan, maka akses poin akan membuang paket tersebut atau memberikan ruang dengan cara membuang paket-paket sebelumnya yang sudah masuk ke dalam antrean. Mekanisme membuang paket ketika antrean sudah penuh telah diatur oleh algoritme antrean. Contoh dari algoritme antrean adalah algoritme First-In, First-Out (FIFO) dimana paket diproses sesuai dengan urutan datangnya paket tersebut (Dordal, 2018).

Pada penelitian ini dilakukan implementasi algoritme antrean untuk mengetahui bagaimana Quality of Service yang didapat. Algoritme antrean diterapkan pada akses poin dan jenis transmisi yang digunakan adalah Wi-Fi dengan standar IEEE 802.11b. Untuk algoritme antrean yang digunakan terdapat algoritme FIFO, Random Early Detection (RED), dan Proportional Integral controller Enhanced (PIE).

2. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian terhadap penerapan algoritme antrean yaitu algoritme RED pernah dilakukan oleh Biddut et al., (2016) pada jaringan ZigBee.

Dari hasil penelitian yang didapat, dengan menggunakan algoritme RED nilai throughput yang didapat menjadi lebih besar ketimbang dengan tidak menggunakan RED. Lalu delay yang dihasilkan juga lebih kecil.

Lalu terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Chowdhurry et al., (2009) membahas tentang peran mekanisme RTS/CTS pada IEEE 802.11. Mekanisme RTS/CTS memberikan hasil yang baik dengan mendapatkan packet loss yang

lebih rendah ketimbang dengan tidak menggunakan RTS/CTS. Lain halnya pada saat pengujian dengan end-to-end delay, dimana hasil yang didapat lebih buruk saat menggunakan RTS/CTS.

3. DASAR TEORI 3.1. IEEE 802.11b

Standar IEEE 802.11 WLAN yang digunakan pada penelitian ini adalah standar IEEE 802.11b dengan spesifikasi laju data dapat mencapai 11 Mbps dan jangkauan frekuensi sebesar 2.4 sampai 2.485 GHz. IEEE 802.11 WLAN memiliki sebuah mekanisme untuk menangani collision atau tabrakan ketika terdapat lebih dari satu klien yang ingin mengirimkan paket. Mekanisme ini bernama CSMA. Selain itu terdapat mekanisme lain yang bernama RTS/CTS yang memiliki fungsi hampir sama dengan CSMA. Yang membedakannya adalah klien akan mengirimkan pesan RTS ke node tujuan terlebih dahulu dan baru kemudian akan mengirimkan paket data setelah node tujuan merespons dengan pesan CTS.

3.2. Algoritme First-In-First-Out

Algoritme First-In-First-Out (FIFO) adalah sebuah algoritme yang memproses paket berdasarkan urutan datangnya paket tersebut ke dalam antrean. Jika antrean dalam keadaan kosong, antrean dapat menampung paket yang baru datang. Namun ketika antrean tidak dapat menampung paket lagi, paket yang baru datang akan dibuang. Ini akan terus terjadi sampai antrean memiliki ruang untuk dapat menampung paket baru (Kurose & Ross, 2012).

3.3. Algoritme Random Early Detection Algoritme RED adalah algoritme antrean yang memberlakukan suatu kebijakan membuang paket ketika jumlah paket di dalam antrean hampir penuh atau sudah penuh. Untuk menentukan apakah paket akan dibuang atau tidak, algoritme RED membandingkan rata-rata besar antrean (avg) dengan batas maksimum (maxth) dan batas minimumnya (minth) (Floyd &

Jacobson, 1993).

(3)

Gambar 1 Diagram mekanisme algoritme RED Sumber:Diadaptasi dari (Kontothanasis, 2016)

Apabila rerata besar antrean kurang dari nilai batas minimum

(minth)

, maka paket yang baru datang tersebut dapat masuk ke dalam antrean. Paket baru akan dibuang apabila nilai avg lebih besar dari batas maksimumnya

(maxth)

. Namun apabila nilai

avg berada diantara batas minimum dan

batas maksimum, algoritme RED akan menghitung nilai probabilitas paket dapat dibuang. Jika probabilitasnya kecil, maka paket bisa masuk ke antrean. Sebaliknya apabila probabilitasnya besar maka paket akan dibuang. Ilustrasi cara kerja dari algoritme RED dapat dilihat pada Gambar 1.

3.4. Algoritme Proportional Integral Controller

Algoritme Proportional Integral controller Enhanced atau yang disingkat sebagai PIE adalah sebuah algoritme yang dirancang untuk mengatasi masalah bufferbloat (Pan et al., 2013).

Caranya adalah dengan mengontrol rerata latensi antrean dan menghitung probabilitas suatu paket akan dibuang. Probabilitas paket akan dibuang dihitung dengan mengalikan nilai alpha (α) dengan status latensi saat ini, begitu pula dengan nilai dan beta (β)

Beberapa komponen yang terdapat di dalam algoritme PIE turut membantu mencapai tujuan awal algoritme ini. Komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tinjauan desain algoritme PIE Sumber: Diadaptasi dari (Pan et al., 2013) 4. PERANCANGAN DAN PENGUJIAN

Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi ns-3.28. Perancangan ruang lingkup pengujian dapat dilihat pada bagian 4.1.

Kemudian metrik yang digunakan pada pengujian dapat dilihat pada bagian 4.2.

4.1. Perancangan

Perancangan pengujian dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan parameter yang digunakan. Jumlah node klien yang diujikan berjumlah 150, 170, 190, 210, 230, dan 250.

Klien tersambung ke akses poin melalui jaringan Wi-Fi yang menerapkan standar 802.11b.

Kecepatan laju datanya dibuat sebesar 11Mbps.

Pengujian akan dilakukan dengan menggunakan RTS/CTS dan tanpa menggunakan RTS/CTS.

Protokol yang digunakan adalah User Datagram Protocol (UDP). Selanjutnya, algoritme antrean diterapkan pada akses poin untuk mengatur datangnya paket dari klien. Kemudian, paket diteruskan ke server melalui sebuah kabel yang memiliki laju data sebesar 1Mbps.

Tabel 1 Skenario pengujian

Parameter Nilai

Standar Wi-Fi IEEE 802.11b Waktu Simulasi 500 detik

RTS/CTS TRUE dan FALSE Algoritme FIFO, PIE, dan RED Besar Paket 768 bytes

Interval Pengiriman

1 detik

Kapasitas

Antrean 100 dan 1000 paket

Selanjutnya adalah menentukan nilai dari setiap parameter yang dimiliki oleh algoritme antrean. Algoritme PIE memiliki parameter alpha (α) dan beta (β). Nilai alpha dibuat sebesar 0,125 sedangkan nilai beta dibuat sebesar 1,25.

(4)

Kemudian algoritme RED memiliki parameter MinTh yang mendefinisikan batas bawah dan MaxTh yang mendefinisikan batas atasnya.

MinTh dibuat sebesar 5 dan MaxTh dibuat sebesar 15

4.2. Pengujian

Pengujian dilakukan untuk mendapatkan hasil setelah akses poin dipasangkan algoritme antrean. Pada penelitian ini, algoritme antrean akan diujikan dengan menggunakan mekanisme RTS/CTS dan tanpa menggunakan mekanisme RTS/CTS. Lalu dihitung nilai packet delivery ratio, end-to-end delay, dan throughput-nya.

Setelah pengujian selesai dilakukan, kemudian langkah selanjutnya adalah menganalisis hasil yang didapat.

5. HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengujian Tanpa Mekanisme RTS/CTS Hasil pengujian berdasarkan packet delivery ratio untuk pengujian tanpa mekanisme RTS/CTS dapat dilihat pada Gambar 3. Grafik menunjukkan bahwa seiring bertambahnya jumlah node klien, packet delivery ratio mengalami penurunan. Tetapi dari ketiga algoritme antrean yang diuji, algoritme FIFO mendapatkan nilai packet delivery ratio sedikit lebih besar dibanding algoritme PIE dan RED.

Begitu juga pada saat kapasitas antreannya 1000 paket, algoritme FIFO mendapat peningkatan sebesar 0,7%.

Pengujian terhadap end-to-end delay dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Baik pada saat menggunakan 100 paket sebagai kapasitas antrean maupun 1000 paket, algoritme FIFO tetap mendapatkan nilai end-to-end delay yang lebih tinggi ketimbang dua algoritme lainnya.

Hal ini karena banyaknya paket didalam antrean sehingga memerlukan waktu agar semuanya dapat diproses dan diteruskan ke node server.

Berbeda dengan algoritme PIE dan RED yang dapat mengontrol paket didalam antreannya sehingga rerata delay yang didapat adalah 0,9 detik ketika menggunakan 100 atau 1000 paket.

Gambar 3 Pengujian packet delivery ratio

Gambar 4 Pengujian end-to-end delay dengan kapasitas antrean sebesar 100 paket

Gambar 5 Pengujian end-to-end delay dengan kapasitas antrean sebesar 1000 paket

Gambar 6 Pengujian throughput

Secara teori apabila dilihat dari hasil packet delivery ratio sebelumnya, algoritme FIFO seharusnya memiliki throughput yang lebih tinggi. Namun pada Gambar 6, terlihat bahwa grafik menunjukkan ketiga algoritme yang diuji memiliki hasil yang tidak jauh berbeda dengan selisih 1-2 bps saja. Justru pada skenario 150 node klien, algoritme PIE terlihat unggul pada saat kapasitas antreannya 1000.

(5)

5.2. Pengujian dengan Mekanisme RTS/CTS Pengujian terhadap packet delivery ratio dengan menggunakan mekanisme RTS/CTS dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan pengujian sebelumnya. Algoritme FIFO masih mendapatkan nilai yang cukup baik apalagi pada saat menggunakan 1000 paket sebagai kapasitas antreannya.

Gambar 7 Pengujian packet delivery ratio dengan RTS/CTS

Gambar 8 Pengujian end-to-end delay dengan kapasitas antrean sebesar 100 paket dengan

RTS/CTS

Gambar 9 Pengujian end-to-end delay dengan kapasitas antrean sebesar 1000 paket dengan

RTS/CTS

Gambar 10 Pengujian throughput dengan RTS/CTS

Pengujian terhadap end-to-end delay dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Baik pada saat menggunakan 100 paket sebagai kapasitas antrean maupun 1000 paket, algoritme FIFO tetap mendapatkan nilai end-to-end delay yang lebih tinggi ketimbang dua algoritme lainnya.

Algoritme PIE dan RED mampu mendapatkan end-to-end delay kurang dari 1 detik. Hal ini karena algoritme PIE dan RED dapat mengatur paket yang ada didalam antreannya dengan cara membuang secara acak paket yang ada.

Throughput yang didapat pada pengujian dengan menggunakan mekanisme RTS/CTS juga tidak jauh berbeda dengan pengujian sebelumnya. Grafik perbandingannya dapat dilihat pada Gambar 10. Nilai throughput akan terus berkurang seiring bertambahnya jumlah node klien.

6. KESIMPULAN

Dari pengujian yang telah dilakukan beserta dengan hasilnya, dapat dikatakan bahwa algoritme antrean memiliki dampak terhadap hasil Quality of Service walau tidak signifikan.

Dari ketiga algoritme yang diuji, algoritme FIFO lah yang terlihat lebih unggul pada sektor packet delivery ratio. Terutama pada saat menggunakan 1000 paket kapasitas antrean mengalami peningkatan pada packet delivery ratio sebesar 0,7%.

Kemudian untuk pengujian terhadap end- to-end delay, terjadi perbedaan yang jauh terutama pada algoritme FIFO karena memberikan hasil yang kurang apabila dibanding algoritme PIE dan algoritme RED.

Rerata delay yang didapat dengan menggunakan FIFO adalah 1 detik dan bisa tembus 5 detik pada saat menggunakan 1000 paket. Berbeda dengan PIE dan RED yang konsisten dengan rerata delay 0,9 detik baik dengan menggunakan 100 paket maupun 1000 paket sebagai kapasitas antreannya.

Untuk pengujian terhadap throughput, hasil

(6)

yang didapat oleh ketiga algoritme yang diuji baik menggunakan 100 paket atau 1000 paket sebagai kapasitas antreannya tidak berbeda terlalu jauh. Selisihnya hanya 1-2 bps saja.

Pengujian dengan menggunakan mekanisme RTS/CTS juga memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Tujuan dilakukannya pengujian ini adalah untuk mengatasi apabila terjadi hidden terminal. Hasil yang didapat pada pengujian packet delivery ratio menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan pengujian tanpa menggunakan mekanisme RTS/CTS pada saat jumlah node klien ada diatas 210. Untuk algoritmenya, algoritme FIFO tetap memiliki nilai lebih tinggi. Untuk pengujian end-to-end delay, algoritme PIE dan algoritme RED mendapatkan hasil jauh lebih baik yaitu berada dibawah 1 detik.

7. DAFTAR PUSTAKA

Biddut, M.J.H., Islam, N., Arif, M.F.H. &

Rahman, M.S., 2016. On the Analysis of RED Algorithm in ZigBee Network for Queue Management. In 5th International Conference on Informatics, Electronics and Vision (ICIEV). Dhaka, 2016.

IEEE.

Chowdhury, S.A. et al., 2009. Performance study and simulation analysis of CSMA and IEEE 802.11 in Wireless Sensor Networks and limitations of IEEE 802.11. In Proceedings of 2009 12th International Conference on Computer and Information Technology (ICCIT 2009). Dhaka, 2009. IEEE.

Dordal, L.P., 2018. An Introduction to Computer Networks. [Online] Available at:

https://intronetworks.cs.luc.edu/current/

ComputerNetworks.pdf [Accessed 23 April 2018].

Floyd, S. & Jacobson, V., 1993. Random Early Detection Gateways for Congestion Avoidance. IEEE/ACM Transactions on Networking, 1(4), pp.392-413.

Kontothanasis, N., 2016. Network Fashion.

[Online] Available at:

https://www.networkfashion.net/rando m-early-detection-red/ [Accessed 1 July 2018].

Kurose, J.F. & Ross, K.W., 2012. Computer Networking: A Top-Down Approach (6th Edition). Pearson.

Pan, R. et al., 2013. PIE: A Lightweight Control Scheme to Address the. In 2013 IEEE

14th International Conference on High Performance Switching and Routing (HPSR). Taipei, 2013. IEEE.

Wu, T.-E., Deng, D.-J. & Chen, K.-C., 2015.

Quality of Experience in Dense CSMA Networks. In 2015 IEEE International Conference on Communication Workshop (ICCW). London, 2015.

IEEE.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa semakin sesuai harga yang ditawarkan laptop merek Acer maka akan semakin tinggi juga keputusan pembelian dari konsumen untuk membeli laptop merek

Ada tiga macam tumor tulang yaitu yang bersifat lunak, ganas dan yang memiliki lesi di tulang (berlubangnya struktur karena jaringan akibat cedera atau penyakit). Selain itu ada

Laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur pada periode triwulan III-2009 diperkirakan mengalami pertumbuhan yang positif, yaitu sebesar 0,47% (y-o-y) dibandingkan dengan

Proses analisis data tersebut dilakukan berdasarkan data lapangan dan sekunder yang dilakukan pada setiap satuan pemetaan, meliputi 10 parameter yaitu: kemiringan lereng,

Untuk hipotesis menggunakan uji statistik perbedaan dua rata-rata diperoleh rata-rata hasil belajar dengan kedua media tersebut identik dengan sebesar -0,731

Justeru, Harmony Centre @ An- Nahdhah berperanan sebagai pusat penyebaran Dakwah Islamiyyah, pusat kefahaman tentang Islam sebenar, pusat asas pengetahuan Islam, pusat

Akan tetapi, efisiensi alokatif (harga) yang ditunjukkan oleh rasio antara biaya operasional dan pendapatan kotor, penggunaan benih nilam hasil kultur jaringan dengan

Laboratorium Patologi Klinik, Program Studi DIV Analis Kesehatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang Indonesia 50273. Gmail: