• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 8 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 8 Universitas Kristen Petra"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1. Budaya Organisasi

2.1.1. Pengertian Budaya Organisasi

Beberapa pengertian budaya organisasi, sebagai berikut:

1. Menurut Stephen P. Robbins (2006, p. 721) “Budaya organisasi adalah hal-hal yang mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu”.

2. Menurut Soedjono (2003, p. 22) “Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya”.

3. Menurut Koesmono (2005, p. 164) “Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu”.

4. Moorhead & Griffin (1992) mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat nilai yang diterima selalu benar yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima (dalam Darmawan, 2010, p. 35).

Tanpa mengecilkan atau mengurangi arti penting dari definisi-definisi budaya organisasi, peneliti merangkum definisi bahwa budaya organisasi adalah kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam organisasi yang mewakili norma- norma perilaku atau penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang diikuti oleh para anggota organisasi, dan yang dapat membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya.

(2)

2.1.2. Pembentukan Budaya Organisasi

Schein (1985) mengemukakan bahwa pembentukan budaya organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para pendiri organisasi (dalam Riani, 2011, p.

10). Prosesnya mengikuti alur berikut

1. Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai- nilai, perspektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada para karyawan.

2. Budaya muncul ketika para anggota berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal.

3. Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh menjadi seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan kepada generasi penerus.

Berikut ini adalah proses terbentuknya budaya organisasi:

Gambar 2.1. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi Sumber: Robbins (2006, p. 734)

Dari gambar 2.1, dapat dilihat bahwa budaya organisasi diturunkan dari filsafat pendiri organisasi yang ada, dimana kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam merekrut atau mempekerjakan

Filosofi organisasi yang dijumpai

Kriteria Seleksi

Manajemen Puncak

Sosialisasi

Budaya Organisasi

(3)

anggota organisasi. Dengan adanya tindakan dari manajemen puncak dapat menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dengan baik dan yang tidak. Tingkat kesuksesan dalam mensosialisasikan budaya organisasi tergantung pada kecocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi.

2.1.3. Fungsi Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006, p. 725) fungsi budaya organisasi yaitu:

1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.

2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.

4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.

5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

2.1.4. Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins (2006, p. 721) mengemukakan tujuh karakteristik primer dari budaya organisasi:

1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking)

Sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. Selain itu bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan risiko oleh karyawan dan membangkitkan ide karyawan.

2. Perhatian terhadap detail (Attention to detail)

Sejauh mana organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian.

(4)

3. Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation)

Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.

4. Berorientasi kepada manusia (People orientation)

Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi. Penerapan dalam organisasi bisa dilakukan dengan mendorong karyawan yang menjalankan ide-ide mereka, memberikan penghargaan kepada karyawan yang berhasil menjalankan ide-ide.

5. Berorientasi tim (Team orientation)

Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu untuk mendukung kerjasama. Penerapan dalam organisasi bisa dilakukan dengan adanya dukungan manajemen pada karyawan untuk bekerja sama dalam satu tim, dukungan manajemen untuk menjaga hubungan dengan rekan kerja di anggota tim lain.

6. Agresifitas (Aggressiveness)

Sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya. Penerapan dalam organisasi bisa dengan persaingan yang sehat antar karyawan dalam bekerja, karyawan didorong untuk mencapai produktivitas optimal.

7. Stabilitas (Stability)

Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan untuk dipertahankannya keadaan yang stabil sebagai kontras dari pertumbuhan. Penerapan dalam organisasi bisa dengan mempertahankan karyawan yang berpotensi, evaluasi penghargaan dan kinerja oleh manajemen ditekankan kepada upaya-upaya individual, walaupun senioritas cenderung menjadi faktor utama dalam menentukan gaji atau promosi.

(5)

2.2. Kepuasan Kerja Karyawan

2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja Karyawan

Beberapa pengertian kepuasan kerja karyawan sebagai berikut:

1. Dole & Schroeder (2001) mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya (dalam Koesmono, 2005, p. 170).

2. Menurut Soedjono (2005, p. 26) “Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap positif pekerja terhadap pekerjaan yang dihadapi dan lingkungannya.”

3. Robbins & Judge (2008, p. 40) mengemukakan bahwa “Kepuasan kerja (Job Satisfaction), yaitu suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya.”

4. Menurut Luthans (2006) kepuasan kerja karyawan adalah perasaan positif yang terbentuk dari penilaian karyawan terhadap pekerjaannya berdasarkan persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaannya, yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja sudah memenuhi apa yang dianggap penting.

5. Locke & Hudson (1999) mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan merujuk kepada sikap umum karyawan terhadap pekerjaan keseluruhan atau terhadap setiap aspek yang berkaitan dengan perlakuan yang diterima karyawan di tempat kerjanya (dalam Triyanto & Santosa, 2009, p. 6).

Tanpa mengecilkan dan mengurangi arti penting dari definisi-definisi kepuasan kerja karyawan, peneliti merangkum definisi bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sebuah kesenangan atau perasaan emosi yang positif dari seseorang atas hasil dari penilaian seorang terhadap pekerjaannya dan dari pengalaman-pengalaman yang diterima di tempat kerjanya.

2.2.2. Indikator Kepuasan Kerja Karyawan

Menurut Luthans (2006) ada lima indikator yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, yaitu:

(6)

1. Pembayaran, seperti gaji dan upah

Semua pegawai, sekalipun itu yang berstatus kontrak, menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan secara adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapannya. Apabila gaji yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu dan standar pengupahan komunitas, maka kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan kerja karyawan. Namun seringkali yang terjadi harapan tidak sesuai dengan kenyataan, apalagi pada mereka yang berstatus pegawai kontrak dimana pembayaran yang diberikan tidak termasuk di dalamnya tunjangan-tunjangan, sehingga membuat mereka tidak mapan dalam perekonomian.

2. Pekerjaan itu sendiri

Kebanyakan pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan mereka untuk dapat mengunakan kemampuan dan keterampilannya, kebebasan dan umpan balik berupa pernyataan tentang betapa baik mereka bekerja. Karakteristik seperti ini membuat pekerjaan akan terasa jauh lebih menantang. Pekerjaan yang kurang menantang, akan lebih cepat menimbulkan perasaan jenuh dan bosan. Tetapi pekerjaan yang sangat susah dilakukan dan terlalu menantang justru akan menimbulkan perasaan gagal dan frustasi.

3. Rekan kerja

Bagi kebanyakan pegawai, bekerja juga menciptakan suatu kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama rekan lain dan melebarkan lingkungan sosial.

Bekerja juga berarti pemenuhan kebutuhan manusia akan interaksi sosial dengan sesama. Sehingga tidaklah mengejutkan apabila lingkungan sosial di tempat kerja sangat kondusif, maka akan tercipta kepuasan kerja karyawan yang tinggi.

4. Promosi

Promosi terjadi pada saat seorang karyawan berpindah ke posisi yang lebih tinggi di organisasi tersebut, termasuk bertambahnya tingginya tanggung jawab dan jenjang organisasionalnya. Hal ini juga yang diinginkan para pegawai kontrak, termasuk peningkatan status mereka menjadi pegawai permanen. Pada saat dipromosikan, umumnya karyawan menghadapai

(7)

tuntutan peningkatan kemampuan dan keahlian serta tanggung jawab.

Sebagian besar pegawai sangat menantikan promosi dan merasa sangat positif ketika mendapatkannya. Promosi juga merupakan suatu sarana bagi organisasi untuk mendayagunakan kemampuan dan juga keahlian pegawainya setinggi mungkin.

5. Pengawasan kerja (supervisi)

Supervisi mempunyai peran yang sangat penting bagi manajemen dan para karyawan, hal ini dikarenakan supervisi berhubungan dengan karyawan secara langsung dan dapat mempengaruhi mereka dalam melakukan pekerjaannya.

Pada umumnya karyawan lebih menyukai apabila mempunyai supervisi yang adil, terbuka dan mau berinteraksi dengan karyawan. Dengan supervisi yang sesuai dengan kriteria kebanyakan karyawan, maka peluang untuk menciptakan kepuasan kerja karyawan akan lebih tinggi.

2.2.3. Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan

Menurut Robbins (2006, p. 108) ada empat cara yang biasa digunakan dalam mengungkapkan ketidakpuasan karyawan, yaitu:

1. Keluar: Meninggalkan pekerjaan dan mencari pekerjaan baru.

2. Suara: Ada upaya secara aktif dan konstruktif memperbaiki kondisi, dengan memberikan saran perbaikan, membahas masalah dengan atasan, dan sebagian bentuk kegiatan perserikatan.

3. Kesetiaan: Menunggu secara pasif tetapi optimis dalam perbaikan kondisi, yang meliputi mempercayai perusahaan untuk melakukan hal yang baik dan membela perusahaan dari kritikan.

4. Pengabaian: Secara pasif membiarkan keadaan semakin memburuk, meliputi absen, terlambat, penurunan kinerja, melakukan banyak kesalahan.

2.2.4. Dampak Ketidakpuasan Kerja Karyawan

Menurut Robbins (2006, p. 105) ada beberapa hal yang yang mungkin timbul dalam ketidakpuasan karyawan dalam bekerja, yaitu:

(8)

1. Menurunnya produktivitas

Jika karyawan menunjukkan keengganannya dalam melakukan suatu pekerjaan yang dihadapkan pada suatu ketimpangan antara harapan dan kenyataan yang diperoleh, maka ketelitian dan rasa tanggung jawab terhadap hasi kerjanya cenderung menurun. Perusahaan yang mempunyai karyawan yang sebagian besar dari karyawannya merasa puas cenderung lebih efektif kinerjanya daripada organisasi yang lebih sedikit karyawan yang merasa puas.

2. Absensi

Karyawan yang tidak masuk kerja mempunyai berbagai alasan, tetapi karyawan yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya lebih memanfaatkan kesempatan untuk tidak masuk kerja. Banyak sedikitnya karyawan yang masuk kerja cenderung dapat mencerminkan ketidakpuasan dalam bekerja.

3. Pengunduran diri

Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya akan bertahan lama di dalam perusahaan, sedangkan karyawan yang tidak puas akan pekerjaannya akan meninggalkan perusahaan dan mencari pekerjaan baru.

2.3. Organizatinal Citizenship Behavior

2.3.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior

Beberapa pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai berikut:

1. OCB adalah perilaku individu yang bersifat bebas, tidak secara langsung atau explisit diakui oleh sistem reward formal, dan memberi kontribusi pada keefektivitasan dan keefisiensian fungsi organisasi (Organ, Podsakoff, &

MacKenzie, 2006).

2. Robbins & Judge (2008, p. 40) mengemukakan bahwa "OCB merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif."

3. Cohen & Col (2004) mengemukakan bahwa OCB adalah perilaku yang bersifat sukarela dan tidak wajib yang tidak didefinisikan dalam deskripsi tugas resmi seorang karyawan, tetapi dapat memberikan kontribusi terhadap

(9)

peningkatan efektifitas pelaksanaan tugas dan peran dalam organisasi (dalam Nezakati, Asgari, Karimi & Kohzadi, 2010, p. 48).

4. Somech & Drach-Zahavy (2004) mengemukakan bahwa perilaku anggota perusahaan yang melebihi dari gambaran peranan yang diharapkan perusahaan, tetapi merupakan hal yang penting bagi kelangsungan perusahaan, disebut OCB (dalam Syahril & Widyarini, 2007, p. 41).

Tanpa mengecilkan arti penting dari definisi-definisi OCB, peneliti merangkum definisi bahwa OCB adalah perilaku sukarela dari individu yang bukan merupakan tindakan terpaksa, yang melebihi deskripsi pekerjaan formal yang bertujuan untuk memajukan organisasi dengan tidak mengharapkan imbalan atau tidak diakui sistem penghargaan formal, dan dapat memberikan kontribusi kepada keefektifan dan keefisienan organisasi.

2.3.2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior

Pembangunan dimensi ini berdasarkan konsep awal dari Organ (1988), yang kemudian dikembangkan lagi oleh Podsakoff, Mackenzie, Moorman, dan Fetter (dalam Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006, p. 251), yaitu:

1. Altruism

Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

2. Courtesy

Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah- masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.

3. Civic Virtue

Perilaku yang mengindikasikan tanggungjawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggungjawab yang diberikan

(10)

organisasi kepada seseorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

4. Conscientiousness

Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi menjangkau jauh di atas dan jauh ke depan dari panggilan tugas.

5. Sportsmanship

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportsmanship akan meningkatkan iklim yang positif di antara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

2.3.3. Manfaat Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) mengemukakan bahwa OCB mampu meningkatkan efektifitas sebuah organisasi dan membimbing organisasi tersebut menuju ke kesuksesan. Dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. OCB dapat mendorong produktivitas karyawan (rekan kerja). Karyawan yang menolong rekan kerja lain tentunya akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya.

2. OCB dapat mendorong produktivitas manajer. Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektifitas unit kerja.

3. OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya untuk tujuan yang lebih spesifik. Karyawan yang menampilkan concentioussness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting.

(11)

4. OCB dapat lebih meningkatkan kemampuan organisasi untuk mempertahankan karyawan yang berkualitas dengan membuat lingkungan kerja menjadi tempat yang nyaman. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan keeil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.

5. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang.

6. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi tersebut.

7. OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja dengan mengurangi keragaman variasi dari masing-masing anggota organisasi. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan eara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.

8. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja. Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok. Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.

(12)

2.4. Perusahaan Keluarga

2.4.1. Pengertian Perusahaan Keluarga

Beberapa pengertian perusahaan keluarga, sebagai berikut:

1. Perusahaan keluarga menurut Ward & Arnoff (2002) adalah "Suatu perusahaan dinamakan perusahaan keluarga apabila terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi keuangan perusahaan." (dalam A. B.

Susanto, Wijarnako, H. Susanto, & Mertosono, 2007, p. 5)

2. “Perusahaan keluarga merupakan suatu fenomena tersendiri dalam dunia bisnis” (A. B. Susanto, Wijarnako, H. Susanto, & Mertosono, 2007, p. 3).

Perusahaan keluarga dicirikan terutama dengan kepemilikan dan keterlibatan yang signifikan dari keluarga dalam manajemen. Dengan sendirinya anggota keluarga akan mengantisipasi bahwa kepemimpinan dan pengawasan dilakukan oleh keluarga dan akan diturunkan kepada generasi penerus.

Pengambilan keputusan dan kebijakan, penyusunan strategi dan kegiatan bisnis sehari-hari dilakukan oleh keluarga.

Tanpa mengecilkan arti penting dari definisi-definisi perusahaan keluarga, peneliti merangkum definisi bahwa perusahaan keluarga adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh anggota keluarga dan dalam penyusunan strategi, pengambilan keputusan dan kebijakan, serta kegiatan di perusahaan dilakukan oleh anggota keluarga tersebut.

2.4.2. Jenis Perusahaan Keluarga

Menurut A. B. Susanto, Wijarnako, H. Susanto, & Mertosono (2007, p. 4) dalam terminologi bisnis ada dua jenis perusahaan keluarga, yaitu :

1. Family Owned Enterprise (FOE)

“Yaitu perusahaan yang dimiliki keluarga tetapi dikelola oleh eksekutif profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Dalam hal ini keluarga berperan sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam operasi di lapangan agar pengelolaan perusahaan berjalan dengan profesional. Dengan pembagian peran ini, anggota keluarga dapat mengoptimalkan diri dalam fungsi pengawasan”

(13)

2. Family Business Enterprise (FBE)

“Yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga pendirinya. Jadi baik kepemilikan maupun pengelolaan dipegang oleh pihak yang sama, yaitu keluarga. Perusahaan keluarga tipe ini dicirikan oleh dipengangnya posisi- posisi kunci dalam perusahaan oleh anggota keluarga”. Di Indonesia, kebanyakan perusahaan keluarga adalah FBE, yang dimana para anggota keluarga menjadi pengelolanya.

2.4.3. Keuntungan dan Kerugian Keterlibatan Keluarga dalam Perusahaan Menurut Ward (2002) melibatkan keluarga dalam perusahaan dapat menyebabkan beberapa keuntungan dan kerugian (dalam A. B. Susanto, Wijarnako, H. Susanto, & Mertosono, 2007, p. 12). Keuntungan keterlibatan keluarga dalam perusahaan antara lain:

1. Antara seorang dan yang lain telah mengenal karakter dan kepribadian masing- masing, sehingga dapat memudahkan komunikasi.

2. Rasa kebersamaan dalam memiliki perusahaan dapat menjadi pendorong motivasi karena setiap keuntungan yang diperoleh perusahaan akan menjadi milik mereka.

3. Membuat mereka tetap terikat erat pada bisnis dalam keadaan susah dan senang. Penurunan keuntungan bisnis dapat menyebabkan karyawan bukan anggota keluarga mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan, tetapi seorang anak bagaimanapun juga enggan meninggalkan perusahaan.

Sedangkan kerugian apabila melibatkan keluarga dalam kegiatan perusahaan, yaitu:

1. Adanya anggota keluarga yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan keuntungan diri sendiri tanpa adanya keinginan untuk saling bekerjasama dalam memajukan perusahaan sehingga akan berdampak negatif dan menjadi kerugian bagi perusahaan keluarga tersebut.

2. Adanya konflik internal yang terjadi di dalam keluarga juga dapat menjadi kerugian tersendiri bagi perusahaan.

(14)

2.4.4. Struktur Perusahaan Keluarga

Michael Friedman dan Scott Friedman (1994) menjelaskan empat macam struktur perusahaan keluarga yaitu (dalam A. B. Susanto, Wijarnako, H. Susanto,

& Mertosono, 2007, p. 139):

1. Kepemilikan tunggal (sole propiertorship) atau Usaha Dagang

Perusahaan dikelola oleh pemiliknya sendiri. Kepemilikan ini tunggal bukan badan hukum yang terpisah dari pemiliknya. Oleh karena itu pemilik bertanggung jawab sepenuhnya atas semua hutang dan kewajiban bisnisnya.

2. Perkongsian umum (general partnership) atau Firma

Merupakan asosiasi sukarela dari dua atau tiga orang, perusahaan, atau badan hukum yang setuju untuk bekerja sama, berbagi keuntungan dan kerugian serta pengawasan untuk tujuan bisnis. Untuk membentuk perkongsian ini tidak dituntut langkah-langkah formal seperti rapat-rapat, dokumen-dokumen yang perlu disiapkan dan ditandatangani.

3. Perkongsian terbatas (limited partnership) atau CV

Merupakan badan hukum yang diciptakan di bawah undang-undang.

Perkongsian terbatas dibentuk berdasarkan persyaratan-persyaratan menurut hukum setempat. Setiap perkongsian terbatas harus mempunyai sekurang-kurangnya satu mitra umum dan satu mitra terbatas yang tidak harus perorangan, tetapi juga bisa perusahaan. Mitra terbatas mempunyai otoritas manajerial yang terbatas dalam kegiatan perkongsian. Mitra terbatas bertanggung jawab atas kewajiban perkongsian hanya sebatas investasinya di bisnis itu. Sedangkan mitra umum dari perkongsian terbatas mempunyai tanggung jawab pribadi tak terbatas untuk kewajiban- kewajiban perkongsian umum.

4. Perusahaan (corporation) atau Perseroan Terbatas

Korporasi ini dimiliki oleh para pemegang saham. Pemegang saham perusahaan tidak mempunyai tanggung jawab pribadi untuk hutang-hutang perusahaan atau tanggung jawab lain di luar nilai investasinya di perusahaan.

(15)

2.5. Hubungan Antar Konsep

2.5.1. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behavior

Menurut Organ (1995) & Sloat (1999) mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan faktor yang memicu terjadinya OCB (dalam Ahdiyana, 2011, p. 3). Menurut Siders et.al. (2001) OCB dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan (internal) dan faktor yang berasal dari luar karyawan (eksternal), faktor yang berasal dari dalam diri karyawan misalnya moral, rasa puas, sikap positif, dan faktor yang berasal dari luar karyawan misalnya sistem manajemen, sistem kepeminpinan, dan budaya organisasi (dalam Pantja Djati, 2009, p. 3). Budaya organisasi merupakan suatu sistem dari kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai bersama dalam organisasi dan diterapkan sebagai panduan kerja karyawan. Karyawan yang memiliki sikap positif terhadap budaya organisasi cenderung menyesuaikan diri terhadap situasi sosial, yaitu budaya organisasi itu sendiri. Budaya organisasi yang kuat juga mempunyai dampak yang besar pada perilaku para anggota organisasi tersebut.

Sehingga nilai-nilai dari organisasi tersebut akan dipegang teguh dan diterapkan oleh seluruh anggota organisasi.

2.5.2. Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan Terhadap Organizational Citizenship Behavior

Organ & Ryan (1995) mengatakan aspek kepuasan kerja karyawan merupakan prediktor utama bagi munculnya perilaku OCB (dalam Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006, p. 76). Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya menginginkan penghargaan atas hasil pekerjaan yang telah dilakukannya, ingin memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja, dan mau melanjutkan pekerjaan dalam organisasi tersebut. Karyawan menginginkan organisasinya menjadi tempat kerja yang baik dan nyaman. Dengan demikian, maka karyawan juga secara sukarela membantu rekan kerja yang berhubungan dengan pekerjaannya, memberikan dukungan pada rekan kerja dalam organisasi sebagai bentuk penghargaan dari kinerja. Di dalam kepuasan kerja karyawan, karyawan yang merasa lebih puas dengan kondisi pekerjaannya maka akan lebih

(16)

ingin melakukan pekerjaannya melebihi pekerjaan yang telah ditugaskan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya.

Kepuasan kerja karyawan merupakan faktor yang dapat memunculkan OCB, pernyataan ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Hasanbasri (2007) bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB. Penelitian yang lain juga telah dilakukan oleh Gunara A., Ali M., & Haerani S. (2011) bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewargaan organisasional. Hal ini menunjukkan bahwa, jika kepuasan kerja karyawan semakin tinggi maka perilaku OCB cenderung semakin baik.

(17)

2.6. Kerangka Berpikir

Gambar 2.2. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Karyawan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Perusahaan Keluarga

di Surabaya.

Sumber: Data Sekunder Diolah

Budaya Organisasi Kepuasan Kerja Karyawan

Dimensi OCB (Podsakoff, MacKenzie,

Moorman, dan Fetter, 1990)

Karakteristik Budaya Organisasi (Robbins, 2006):

1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko 2. Perhatian terhadap detail 3. Berorientasi kepada hasil 4. Berorientasi kepada

manusia

5. Berorientasi tim 6. Agresifitas 7. Stabilitas

Indikator Kepuasan Kerja Karyawan (Luthans, 2006):

1. Pembayaran, seperti gaji dan upah

2. Pekerjaan itu sendiri 3. Rekan kerja

4. Promosi

5. Pengawasan kerja (supervisi)

1. Altruism 2. Courtesy 3. Civic virtue 4. Conscientiousness 5. Sportsmanship

(18)

2.7. Hipotesa

Hipotesa yang diajukan untuk menjawab perumusan masalah yang diajukan di bab pertama, yaitu:

Ho: Tidak ada pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja karyawan secara parsial dan simultan terhadap OCB pada perusahaan keluarga di Surabaya.

H1: Ada pengaruh budaya organisasi secara parsial terhadap OCB pada perusahaan keluarga di Surabaya.

H2: Ada pengaruh kepuasan kerja karyawan secara parsial terhadap OCB pada perusahaan keluarga di Surabaya.

H3: Ada pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja karyawan secara simultan terhadap OCB pada perusahaan keluarga di Surabaya.

Gambar

Gambar 2.1. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi  Sumber: Robbins (2006, p. 734)
Gambar 2.2. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Karyawan  terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Perusahaan Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Manusia dalam beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta

Telah diketahui bahwa pada hipertensi terjadi kerusakan iskhemik pada substansia alba yang dikenal dengan leukoaraiosis sehingga terjadi disfungsi pada bagian yang

Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka penulis akan menyimpulkan sebagai berikut: Strategi dilakukan Pubic Relations Hotel Century Park Jakarta dalam menjalankan program

Sejalan dengan apa yang telah diuraiakan diatas, menurut keterangan Abdul Roni, langkah untuk memperoleh hak atas tanah terkait tanah timbul (aanslibbing) pada prisipnya sama

merugikan secara material namun jika untuk pasien BPJS merugikan material.Jika pasien BPJS mendapatkan kamar yang tidak sesuai dengan kelas BPJS nya maka hal tersebut

Adanya spesi asam asetat dan natrium asetat sebagai larutan buffer dalam media uji serta kondisi media uji di atas suhu kamar menyebabkan potensi asam glutamat 8 ppm dalam

Isolat bakteri penambat N non-simbiotik pada sampel tanah HTA1 memperlihatkan bentuk, tepian dan elevasi yang berbeda-beda dengan warna koloni yang didominasi oleh

2 benda langit apa yang tampak pada malam hari 3 bagaimana bentuk awan pada siang hari. 4 bagaimana keadaan langit saat ada bintang 5 mengapa malam hari masih