• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Mahrus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Oleh: Mahrus"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Ke Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Magister.

Dosen Pembimbing: Dr. Zahruddin, Lc, M.Pd.

Oleh:

Mahrus 21190181000018

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2022

(2)

i

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :Mahrus

Tempat/TanggalLahir :Sampang 10 Januari 1993

Nim :21190181000018

Program Studi :Manjemen Pendidikan Islam

Judul Tesis :Analisis Pengambilan Kebijakan Pendidikan Masa Pandemi Covid-19 Dalam Rangka Efisiensi dan Efektivitas Pembelajaran di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati

Dosen Pembiming: Dr. Zahrudin, L.c.,M.Pd.

Dengan ini menyatakan tesis yang kami buat benar-benar karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis

Pernyataan ini kami buat sebagai syarat mennempuh ujian munnaqosyah.

Jakarta, 20 September 2021 Mahasiswa Ybs

Mahrus

NIM: 21190181000018

(7)

vi

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ... i

SURAT PERNYATAAN PRODI ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN SEMINAR HASIL TESIS ... iv

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

ABSTRAK ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

KATA PENGANTAR ... xiii

BAB I PENDHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU... 8

A. Konsep Kebijakan Pendidikan ... 8

B. Perumusan Kebijakan ... 12

C. Implementasi Kebijakan ... 14

D. Monitoring ... 16

E. Evaluasi Kebijakan ... 17

F. Efektivitas dan Efisiensi Pembelajaran ... 20

G. Kerangka Konseptual ... 23

H. Kajian Penelitian Terdahulu ... 24

BAB III METODE DAN JADWAL PENELITIAN ... 28

A. Metode Penelitian ... 28

1. Model Penelitian ... 28

2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

3. Unit Of Analysis ... 29

4. Fokus Penelitian ... 29

5. Metode Pengumpulan Data ... 29

6. Tekhnik Analisis Data ... 29

7. Pengecekan Keabsahan Data ... 31

B. Jadwal Penelitian ... 33

(8)

vii

BAB IV TEMUAN UMUM DAN KHUSUS DI SMPIT DAN

SMASIT MUSLIMAH SEJATI ... 34

A. Temuan Umum Penelitian ... 34

1. Letak Geografis SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati ... 34

2. Visi, Misi, dan Tujuan Lembaga SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati ... 34

3. Keadaan sekolah SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati... 36

4. Struktur Organisasi SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati... 37

5. Keadaan Guru SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati... 39

6. Keadaan Siswa SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati ... 39

B. Temuan Khusus/Pembahasan ... 41

1. Proses Perumusan Kebijakan Pendidikan SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati Dalam Menciptakan Kebijakan Berkeadilan Tanpa Kesenjangan ... 41

2. Proses Pengimplementasian Kebijakan Serta Melihat Faktor Penghambat dan Pendukung dalam pengimplementasiannya di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati... 55

3. Proses Evaluasi Kebijakan di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati ... 70

4. Tingkat Efektivitas Dan Efisiensi Pembelajaran Sebagai Bentuk Keberhasilan Dari Kebijakan Pendidikan di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati ... 87

BAB V PENUTUP ... 97

A. Simpulan ... 97

B. Saran ... 98

Daftar Pustaka ... 99

Lampiran ... 103

(9)

viii Daftar Tabel

Tabel 3.1 Jadwa Penelitian 33

Tabel 4.1 Kedaan Guru SMPIT 40

Tabel 4.2 Keadaan Guru SMAS-IT 40

Tabel 4.3 Keadaan Siswa SMPIT 41

Tabel 4.4 Keadaan Siswa SMAS-IT Muslimah Sejati 41

Tabel 4.5 Tim Penyusus Program Kerja 44

Tabel 4.8 Tim pelaksana Kebijakan 57

Tabel 4.9 Pelaksana Kebijakan 59

Tabel 4.10 Program Lembaga SMPIT 75

Tabel 4.11 Lporan pencapaian siswa SMPIT 77

Tabel 4.12 Laporan Semester Ganjil SMAS-IT 82

Tabel.4.13 Sampel SPP 93

(10)

ix Daftar Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 24

Gambar 4.1 Struktur Organisasi SMPIT 30

Gambar 4.2 Struktur Organisasi SMAS-IT 38

Gambar 4.3 Surat Edaran 49

Gambar 4.3 Gambar Proses Belajar-Mengajar 47

Gambar 4.4 Proses Belajar Mengajar 58

Gambar 4.5 Prosesi Acara Wisuda SMPIT 63

Gambar 4.6 Rapor Siswa 76

Gambar 4.7 Prosesi Acara Wisuda SMAS-IT 85

Gambar 4.8 Penyemprotan zat disinfektan 90

(11)

vi ABSTRAK

Mahrus (Nim: 21190181000018). Analisis Pengambilan Kebijakan Pendidikan Dalam Rangka Efisiensi Dan Efektivitas Pembelajaran Masa Pandemi Covid-19 Di Smpit Dan Smas-It Muslimah Sejati. Tesis: Program Magisterter Manajemen Pendidikan Islam (MMPI), Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana proses pengambilan kebijakan yang ditempuh oleh pihak SMPIT maupun SMAS-IT Muslimah Sejati, mulai dari proses formulasi, implementasi, hingga evaluasi kebijakan, yang nantinya berakhir pada nilai efektivitas dan efisiensi sebagai bentuk eksistensi lembaga. Untuk memenuhi hal tersebut peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Berdasarkan beberapa kajian terdapat temuan yang memuat kasus kebijakan dari dua lembaga terkait sisi kesamaan dan perbedaan mulai dari proses formulasi hingga sisi efektivitas dan efisiensi. Dalam proses formulasi keduanya mempunyai kebijakan yang berbeda antara daring dan luring, juga terdapat kelemahan dari sisi analisis dan alternatif.

Sedangkan dari segi implementasi terdapat kendala baik secara individu maupun lembaga, secara individu terdiri dari lemahnya motivasi dan adanya disintegritas sebagian guru dan staf, sedangkan dari sisi lembaga adalah mengurangnya pembiayaan secara signifikan dan keterbatasan sarana-prasarana. Evaluasi sendiri mempunyai kesamaan dalam sistem pelaksanaannya yaitu menggunakan model formatif sumatif. Adapun berdasarkan efektivitas dan efisiensi keduanya sama-sama mencapai nilai yang sama. Dari segi efektivitas sama-sama mampu mewisuda peserta didik 30 Juz Al-Quran, sedangkan dari segi efisiensi terdapat kekurangan pada pembiayaan dan ketergantungan aliran listrik dalam proses belajar mengajar.

Dengan ini peneliti berharap kepada segenap lembaga agar senantiasa membaca karya ini, karena dalam karya ini terdapat cara-cara bagaimana membuat kebijakan pendidikan.

Kata Kunci: Kebijakan, Pendidikan, dan Efektivitas dan Efisiensi

(12)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah mengalihaksarakan suatu tulisan ke dalam aksara yang lain. Sebagai contoh misalnya dari aksara Arab dialih aksarakan ke aksara Latin. Berikut ini adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1997 tentang Transliterasi Arab-Latin yang penulis gunakan dalam penulisan Tesisini.

A. Konsonan

ARAB NAMA LATIN KETERANGAN RUMUS*

ا Alif - - -

ة Ba’ B Be -

ت Ta’ T Te -

ث Ṡa’ Es dengantitik di atas 1e60 & 1e61

ج Jim J Je -

ح Ha’ Ha dengantitik di

bawah

1e24 & 1e25

خ Kha Kh Ka dan ha -

د Dal D De -

ذ Żal Ż Zetdengantitik di atas 017b & 017c

ر Ra’ R Er -

ز Zai Z Zet -

ش Sin S Es -

ش Syin Sy Es dan ye -

ص Ṣad Es dengantitik di bawah 1e62 & 1e63 ض Ḍaḍ De dengantitik di bawah 1e0c & 1e0d ط Ṭa Tedengantitik di bawah 1e6c & 1e6d

ظ Ẓa Zetdengantitik di

bawah

1e92 & 1e93

ع ‘Ain Komaterbalik di atas ʻ_

غ Gain G Ge -

ف Fa F Fa -

ق Qaf Q Qi -

ك Kaf K Ka -

(13)

viii

ل Lam L El -

م Mim M Em -

ى Nun N En -

و Wau W We -

ه Ha’ H Ha -

ء Hamzah ʼ Apostrof _’

ي Ya’ Y Ye -

*Rumus hanya dipergunakan untuk font yang tidak ada di daftar

keyboard Personal Computer (PC) yang berguna untuk mempermudah

dalam pencarian. Rumus dioperasikan dengan cara mengetik kode yang tersedia, lalu klik alt+x(kode pertama untuk huruf kapital dan kode kedua untuk huruf kecil).

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

ا Fatḥah A A

ا Kasrah I I

ا Ḍammah U U

Contoh:

َ ك

َ ب : َ ت

katabadan

َ ل : َ ئ َ س

su‘ila 2. VokalRangkap

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

يئ Fatḥah dan ya’ sakin Ai A dan I

ؤئ

Fatḥah dan wausakin Au A dan U

Contoh:

(14)

ix

َ فْي : َ ك

kaifadan

َ ل ْو ح:

ḥaula 3. VokalPanjang

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan Rumus

ا ى Fatḥah dan alif

Ᾱ Adengangaris di atas

100 & 101

يئ Kasrah dan

ya’

Ῑ I dengangaris di atas

12a & 12b

و ى Ḍammah dan wau

Ū U

dengangaris di atas

16a & 16b

Contoh:

لاق:

qāla

ليق:

qīla

َ ل َْو َ ق َ ي :yaqūlu

C. Ta’ Marbūṭah

1. Transliterasiuntukta’ marbūṭahhidup

Ta’ marbūṭah yang hidup atau yang mendapat harakat Fatḥah,

Kasrah, dan Ḍammah, transliterasinya adalah “T/t”.

2. Transliterasi untuk ta’ marbūṭahmati

Ta’marbūṭahyang mati atau mendapat harakat sakin,

transliterasinya adalah “h”.

Contoh : ةحلط

: ṭalḥaḥ

3. Transliterasi untuk ta’marbūṭahjika diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang “al-“ dan bacaannya terpisah

makata’marbutahditransliterasikan dengan “h”.

(15)

x

Contoh : لافطلااَةضور

: rauḍah al-aṭfāl

:

ةرونملاَةنيدملا

:al-Madīnah al Munawwarah

D. Huruf Ganda (SyaddahatauTasydid)

Transliterasi Syaddahatau Tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan tanda tasydīd ( ّ ), dalam transliterasi dilambangkan dengan huruf yang sama (konsonanganda).

Contoh : َ انب ر :rabbana

َ ل ز ن :nazzala

E. Kata Sandang AlifLam"لا”

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan denganhuruf

alif lamma’rifah"لا”. Namun, dalam transliterasi ini, kata sandang

dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah.

1. Kata sandang yang diikuti oleh hurufsyamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyahditransliterasikan sesuai dengan bunyi, yaitu"لا”diganti huruf yang sama dengan huruf yang mengikuti kata sandang tersebut.

Contoh : جرلا

:ar-rajulu

ةديسلا

:as-sayyidah

2. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah

(16)

xi

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyahditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Huruf sandang ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan tanda sambung (-). Aturan ini berlaku untuk kata sandang yang diikuti oleh huruf

syamsiyahmaupun kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah.

Contoh : ملقلا

:al-qalamu

ةفسلفلا

:al-falsafah

F. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzahyaitu menjadi apostrof (ʼ) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila

hamzahterletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan karena dalam

tulisan Arab ia berupa Alif.

Contoh : ئيش :syai’un

ترما :umirtu

ءونلا :an-nau’u

G. Huruf Kapital

Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasi huruf capital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan sebagainya seperti keterangan-keterangan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama diri tidak menggunakan huruf capital kecuali jika terletak di awal kalimat.

Contoh :

َ محمامو

لوسرلااد

(17)

xii

WamāMuhammadunillārasūl Al-Ghazālī

SyahruRamaḍān al-lazīunzilafīh al-Qurān

H. Lafẓ al-Jalālah(

الله

)

Aturan transliterasi huruf hamzahyaitu menjadi apostrof (ʼ) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila

hamzahterletak di awal kata, hamzah tidak di lambangkan karena dalam

tulisan Arab ia berupa Alif.

Adapun ta’ marbūtah di akhir kata yang bertemudenganLafẓ al-

Jalālahditransliterasikandenganhuruf “t”.

I. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah, dan kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah, atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia.

Kata, istilah, atau kalimat yang lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Quran dari al-Qurān, Sunah dari sunnah. Kata Al-Quran dan Sunnah sudah menjadi bahasa baku Indonesia, makaditulis seperti bahasa Indonesia. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasikan secara utuh.

Contoh :

Fīẓilāl al-Qurān As-Sunnah qabl at-tadwīn

(18)

xiii

KATA PENGANTAR

َنمحرلاَاللهَمسب ميحرلا

puji syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan nikmat iman, islam dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda nabi besar, sang revolusioener, dan reformer dunia, nabi Muhammad SAW. Mudah-mudah penulis dan pembaca senantiasa diakui sebagai umatnya. Amin.

Penulisan tesis ini merupakan tugas akhir yang diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk meraih gelar master. Namun dala perjalanannya mengalami lika-liku endala dan permasalah yang harus diselesaikan, namu al-hamdulillah berkat dukungan dan doa dari segenap teman-teman dan simpatisan, penulisa dapat menyelesaikan kendala dan permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan tesis ini baik dari segi materi maupun pemikiran. Ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.

Dr. Amany Lubis, M.A. beserta jajarannya.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Sururin, M.Ag. beserta jajarannya.

3. Ketua Program Magister Manajemen Pendidikan Islam, Dr.

Zahruddin, Lc., M.Pd.

4. Dosen Penguji, Dr. H. Nurrochim, M.M. beserta Dr. Jejen Musfah, M.A.

5. Seluruh dosen program Magister Manajemen Pendidikan Islam yang telah menyalurkan ilmunya kepada penulis baik yang tersurat maupun tersirat.

6. Bagian pihak SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian utmanya Ust. Mufid dan Ustadzah Humaidah.

7. Kepada kedua orang tua penulis dan kakak kandung yang senantiasa mendukung dan memotivasi untuk menyelesaikan program magister.

(19)

xiv

8. Kepada H. Candara Suprto yang telah memberikan bantuan materi untuk penulis.

9. Kepada segenap sahabat seperjuangan di kelas MMPI A yang telah saling memberikan pengalaman baik suka maupun duka.

10. Kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah penulis sebutkan, hanya doa terbaik, yang dapat penulis persembahkan untuk membalas semua kebaikan tersebut. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan balasan yang terbaik untuk semuanya. Amin.

Jakarta 03 Januari 2022

Penulis

Mahrus

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebijakan pendidikan merupakan hal yang sangat urgen dalam suatu lembaga demi keberlangsungan kegiatan belajar-mengajar secara efektif dan efisien, apalagi di masa pandemi seperti saat sekarang ini yang dikenal dengan covid-19, yang mampu menumbangkan dari berbagai sektor, utamanya sektor ekonomi dan pendidikan. Seorang pimpinan lembaga harus selektif dan mampu membaca situasi atau keadaan dalam rangka memberikan kebijakan kelembagaan agar kebijakan yang diberikan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang dan menjadi malapetaka bagi sebagian yang lainnya.

Dampak covid-19 yang menerpa masyarakat dari sisi ekonomi dan berdampak pada keberlanjutan pendidikan anak, hingga ada beberapa anak yang harus putus sekolah karena beberapa hal, sebagaimana yang terdapat dalam unggahan Detiknews pada tanggal 08 Maret 2021, berdasarkan berita yang telah beredar terdapat informasi yang dipublish oleh komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI), ada beberapa anak yang harus berhenti sekolah dikarenakan wali siswa sudah tidak mampu membiayai pendidikan anak akibat pandemi covid-19, oleh karenanya anak-anak mereka terpaksa bekerja untuk membantu orangtuanya demi kebutuhan hidup mereka. Selain dari itu banyak anak-anak yang berhenti sekolah karena tunggakan SPP yang semakin membengkak, sedangkan para wali siswa sudah tidak bisa bekerja lagi akibat dari PHK massal yang pada akhirnya anak-anak mereka harus berhenti sekolah. Berdasarkan laporan yang didapat oleh KPAI, rata-rata tunggakan SPP yang harus ditanggung oleh wali siswa adalah 6-11 bulan.

Kasus yang sama akibat Covid-19, berdampak terhadap ekonomi masyarakat dan keberlangsungan pendidikan peserta didik, juga bisa dilihat dalam unggahan CCN Indonesia pada tanggal 24 Desember 2020. Dalam unggahan tersebut terdapat informasi yang disampaikan oleh UNICEF bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat 938 anak telah putus sekolah akibat pandemi Covid-19, dari jumlah tersebut sebanyak 75%

anak-anak yang putus sekolah karena perekonomian wali siswa tidak terpenuhi, hingga pada akhirnya mereka tidak mampu mimbiayai kebutuhan sekolah anaknya.

Dampak Covid-19 dari sisi ekonomi lembaga sekolah, banyaknya lembaga sekolah utamanya sekolahan swasta yang vakum dan terbengkalai karena tidak mempunyai kemampuan secara finansial untuk merawat dan menjaga lembaga

(21)

2

dari berbagai elemen kerusakan. Hal ini dipicu karena pendapatan lembaga sekolah swasta yang hanya mengandalkan uang bulanan dari wali murid harus terpaksa vakum karena berbagai alasan, hingga pada akhirnya karyawan- karyawan mulai dari cleaning service, satpam, dan tata usaha harus berhenti karena sekolah sudah tidak mampu lagi memberikan insentif kepada para karyawan, sebagaimana yang diunggah oleh Liputan6 pada tanggal 3 Agustus 2020, di sana terdapat sebuah lembaga sekolah yang mana di setiap sisi ruang sekolah penuh dengan jangkrik, membuat lembaga sekolah menjadi kelihatan kumuh dan kotor.

Kasus lain yang berkaitan dengan ekonomi lembaga, sebagaimana terdapat pada lembaga SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati yang diungkap oleh Ust.

Mufid, S.Pd.I, “bahwa ekonomi lembaga mulai merosot dampak dari ketidak mampuan wali siswa membayar SPP secara kontan, hal demikian yang membuat para wali harus menyicil dan menunggak pembayaran SPP, namun masalah proses belajar-mengajar tetap berjalan sebagaimana mestinya”.

Adapun dampak pandemi Covid-19 terhadap pendidikan dalam proses belajar-mengajar, yaitu berdampak terhadap pengetahuan, emosional, etika dan moralitas siswa, karena dengan sistem pembelajaran yang diberlakukan semenjak awal tahun 2020 membuat siswa tidak bisa menyerap mata pelajaran secara utuh, tidak bisa berkomunikasi baik dengan teman maupun guru secara sempurna yang mengakibatkan jarak sosial antar mereka semakin renggang, dan tugas-tugas dikerjakan oleh wali siswa. Selain dari itu tugas-tugas yang membutuhkan bukti fisik seperti memfoto setiap kegiatan di rumah cukup dilakukan dalam waktu satu kali yang seharusnya dilakukan setiap hari, hal ini yang mengakibatkan moralitas anak semakin merosot karena membiasakan diri untuk berbohong, sebagaimana yang diunggah oleh Fuadi Zikri yang dimuat dalam berita Padangkita pada tannggal 04 Januari 2021, dalam kutipan tersebut menyebutkan bahwa selama sistem pembelajaran masa covid-19 diberlakukan terdapat kejanggalan-kejanggalan yang kurang elok, misal setiap kegiatan pembelajaran utamanya tugas yang diberikan oleh guru selalu dikerjakan oleh orangtua siswa, selain tugas yang dikerjakan oleh wali siswa, juga ada penurunan minat belajar anak, karena setiap anak yang melakukan pembelajaran daring pasti menggunakan hand phone (HP), yang mana dalam HP mereka terdapat game yang dapat memudarkan konsentrasi belajar mereka.

Kejadian lain dalam uggahan Detiknews pada 28 Agustus 2020, dalam unggahan tersebut memuat kejadian unjuk rasa di depan kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang yang tergabung dalam

(22)

3

aliansi forum silaturahmi orang tua sayang anak (FOROSA) dengan membawa tuntutan agar pembelajaran tatap muka dibuka kembali berdasarkan alasan sebagai berikut: 1. Guru tidak bisa menyampaikan pembelajaran secara maksimal kepada siswa, sedangkan wali siswa merasa tidak mempunyai kemampuan seperti guru untuk memberikan pembelajaran, 2) hafalan siswa banyak yang hilang, 3) anak-anak terlantar di rumah, karena ditinggal kerja oleh orang tuanya, dan 4) kerusakan mata pada anak.

Dampak Covid-19 selain pada sektor perekonomian dan pendidikan juga berdampak terhap keselamatan siswa, karena ada sebagian daerah hanya bisa menjangkau internet di tempat-tempat tertentu sebagaimana unggahan Tempo.com yang diunggah pada tanggal 25 November 2020 bertempat di kabupaten Solok. Dalam unggahan tersebut terdapat anak-anak sedang mengikuti pembelajaran online di tepi jalan raya dan tepi jurang yang dapat membahayakan nyawa mereka. Hal tersebut terjadi karena jaringan internet hanya bisa dijangkau di tepi jalan dan tepi jurang yang mereka singgahi selain dari itu karena keterbatasan mereka dalam perekonomian.

Kejadian seperti di atas harus benar-benar diperhitungkan baik oleh pihak lembaga, daerah maupun pusat, karena hal itu menyangkut masa depan anak- anak Indonesia, karena tanpa pendidikan yang matang Negara tidak akan pernah mengalami kemajuan, karena kemajuan Negara terletak di tangan generasi yang berpendidikan.

Berdasarkan kejadian tersebut pihak lemaga sekolah harus mempunyai kreativitas dan inovasi dalam membuat kebijakan, agar tercapailah cita-cita bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional harus mengakar di dalam hati pemangku kebijakan pendidikan, agar tujuan pendidikan tidak hanya menjadi fiksi bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Pihak lembaga sudah diberikan kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan, namun tetap ada sinkronisasi terhadap kebijakan daerah maupun pusat.

Kewenangan dalam membuat kebijakan sudah diatur sejak runtuhnya pemerintahan orde baru, mengingat setiap kebutuhan dan kekurangan hanya dapat dipahami oleh pihak lembaga. Kebijakan pendidikan di Indonesi dulunya

(23)

4

bersifat sentralistik, yang mana setiap keputusan ditentukan oleh kepala pusat, tidak bagi kepala daerah maupun kepala lembaga. Baru setelah runtuhnya orde baru, indonesia melakukan revolusi utamanya dalam kebijakan-kebijakan, yang dulunya bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik, yang artinya kebijakan bisa dibuat secara makro, meso, dan mikro. Perubahan tersebut bisa dilihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tentang Perimbangan Uang Pusat dan Daerah, bahwa pengelolahan pendidikan dilaksanakan secara desentralistik yang melibatkan masyarakat secara aktif, (Achadah 2019:79-80).

Seiring berjalannya waktu, kebijakan desentralisasi dalam dunia pendidikan melakukan pemantapan-pemantapan agar kebijakan yang bersifat meso maupun mikro bisa berjalan dengan baik di lingkungan daerah maupun lembaga. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, bab 1, pasal 1, bahwa wewenang kepemerintahan diserahkan oleh pemerintah kepada otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan berdasar sistem Negara Kesatuan Republik Indnosia.

Kebijakan pendidikan patut kiranya untuk dipelajari dengan tujuan dapat mengantarkan kehidupan anak bangsa dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain dari itu pendidikan merupakan cita-cita founding father dalam membangun Negara yang berkemajuan dan berkarakter. Hal tersebut ditunjang dengan ketentuan UUD 45 yang termaktub dalam pasal 31 ayat 1, yang berbunyi bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Berbicara tentang pentingnya pendidikan, diharapkan bagi setiap pemangku kebijakan pendidikan baik tingkat makro, miso, dan mikro bisa memberikan kebijakan pendidikan yang dapat dinikmati secara merata oleh setiap warga Negara. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-nisa’, yang bunyinya ِِّلدعلاب اومكحت نا سانلا نيب متمكح اذإو اهلهأ ىلإ تاناملأا اودؤت نأ مكرمأي الله نا مكظعي امعن الله نا

َِهب :ءاسنا{ اريصب اعيمس ناك الله نإ 58

} yang artinya “sesungguhnya Allah menyuruh

kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah Maha memberipengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan Maha melihat.” (Annisa’: 58). Berdasarkan ayat ini menunjukkan setiap pemangku kebijakan, agar dapat memberikan kebijakan yang melahirkan keadilan dari berbagai sektor. Maksud keadilan dari berbagai sektor bisa masuk dalam sistem keluarga, Negara, maupun sistem pendidikan dan lainnya. Dalam dunia pendidikan juga bisa ditujukan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi

(24)

5

pembelajaran. Namun pada kenyataannya kebijakan tentang sistem pembelajaran masa pandemi covid-19 melahirkan kesenjangan terhadap beberapa kalangan, baik kalangan ekonomi menengah ke atas maupun kalangan ekonomi menengah ke bawah, dan kalangan kota dengan pedalaman.

Kasus-kasus tersebut bisa menjadi cerminan bagi pemangku kebijakan utamanya dalam dunia pendidikan agar memberikan kebiajkan yang saling menguntungkan baik bagi pihak siswa, wali murid maupun sekolah agar tercipta efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Sedangkan efektivitas dan efisiensi bisa tercapai di tangan pemangku kebijakan yang kreatif dan inovatif, utamanya kepala sekolah sebagai lokomotif lembaga pendidikan.

Berbicara tentang efektivitas dan efisiensi, penulis berharap agar tidak ada pemborosan waktu, tenaga dan biaya dalam menjalankan kebijakan yang sudah ditentukan. Dari itu peneliti membuat gagasan dengan judul “Analisis Pengambilan Kebijakan Pendidikan Masa Pandemi Covid-19 Dalam Rangka Efisiensi dan Efektivitas Pembelajaran di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati” dengan harapan dapat mendongkrak berbagai kebijakan yang diambil oleh pemangku kebijakan, apakah kebijakan tersebut menguntungkan sepihak atau tidak.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas menunjukkan terdapat masalah- masalah yang teridentifikasi, masalah tersebut yaitu:

1. Kebijakan pendidikan yang kurang bersahabat terhadap masyarakat menengah ke bawah karena harus menambah biaya pembelajaran.

2. Adanya kesenjangan antara golongan miskin dan golongan kaya, dan antar yang di kota dan di pedesaan.

3. Kekurangan informasi dalam perumusan kebijakan.

4. Kurangnya nilai integritas dalam pelaksanaan kebijakan.

5. Efektivitas dan efisiensi pembelajaran semakin menurun.

6. Minat belajar siswa semakin menurun akibat harus selalu berpapasan dengan HP.

C. Batasan Masalah

Pembetasan masalah ini dilakukan untuk memberikan garis-garis tertentu dalam masalah penelitian, pembatasan masalah ditentukan berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

(25)

6

1. Penelitian ini berpacu pada pengambilan kebijakan pendidikan yang terletak di SMPITdan SMAS-IT Musliamah Sejati dalam rangka memuluskan proses belajar mengajar.

2. Proses pengambilan kebijakan yang dapat dinikmati oleh semua kalangan, utamanya SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati.

3. Penelitian ini mengkaji tentang pengambilan kebijakan pendidikan dari sisi formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan pendidikan dalam menciptakan kekondusifan pembelajaran.

4. Mengambil data darihasil kebijakan terkait efektivitas dan efisiensi pembelajaran selama masa pandemi covid-19.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan rangkaian latar belakang dan batasan masalah di atas, peneliti mendapatkan rumusan masalah yang dapat mendongkrak sistem kebijakan dalam satu lembaga sebagai berikut:

1. Bagaimana proses perumusan kebijaka yang dilalui oleh pengurus lembaga pendidikan SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati dalam menciptakan kebijakan berkeadilan tanpa kesenjangan?

2. Bagaimana proses pengimplementasian kebijakan Pendidikan di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati untuk mencapai tujuan kebijakan yang disepakati dan apa saja yang menjadi penghambat dan pendorong dalam pelaksanaannya agar tidak terjadi kesenjangan dalam pengimplementasian kebijakan?

3. Bagaimana langkah evaluasi kebijakan Pendidikan di SMPIT dan SMAS- IT Muslimah Sejati yang diambil untuk melihat apakah terdapat kesenjangan atau tidak?

4. Bagaimana efektivitas dan efisiensi pembelajaran tetap berjalan sebagai tanda eksistensi lembaga pendidikan masa pandemi covid-19 di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati?

E. Tujuan

Berdaskan rumusan masalah yang tercantum di atas, penulis harus memecahkan permasalah sebagai berikut:

1. Menjawab dan menjabarkan secara komprehensif bagaimana proses perumusan kebijaka yang dilalui oleh pengurus lembaga pendidikan SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati dalam menciptakan kebijakan berkeadilan tanpa kesenjangan.

2. Menemukan berbagai proses pengimplementasian kebijakan pendidikan di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati untuk mencapai tujuan kebijakan

(26)

7

yang disepakati dan apa saja yang menjadi penghambat dan pendorong dalam pelaksanaannya agar tidak terjadi kesenjangan dalam pengimplementasian kebijakan.

3. Menemukan model sebagai langkah evaluasi kebijakan Pendidikan di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejatiuntuk melihat apakah terdapat kesenjangan atau tidak.

4. Mengungkap efektivitas dan efisiensi pembelajaran sebagai tanda eksistensi lembaga pendidikan masa pandemi covid-19 di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati

F. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi lembaga SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati secara khusus dan negara pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis

1. Manfaat Teoritis.

a. Dapat memberikan sumbangan teori kepada kepala sekolah di SMPIT dan SMAS-IT Muslimah Sejati tentang bagaimana cara mengambil kebijakan pendidikan yang berkeadilan.

b. Menjadi acuan bagaimana cara menjalankan kebijakan dengan baik di SMP Muslimah Sejati.

c. Hasil penelitian ini dapat menjadi ilmu pengetahuan dan menjadi teori cara menjalankan tujuan lembaga saat adanya bencana.

2. Secara Praktis.

a. Bagi Kepala Sekolah

Menjadi panduan bagi kepala sekolah dalam merumuskan suatu kebijakan agar menjadi kebijakan yang berkeadilan.

b. Bagi Guru

Dapat memberikan gambaran bagimana aturan-aturan yang harus dipatuhi terkait kebijakan yang ditetpkan bersama di SMP dan SMAS-IT Muslimah Sejati dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

c. Bagi Sekolah

Sebagai masukan kepada kepala sekolah bagimana cara merumuskan kebijakan yang berkeadilan tanpa merugikan satu pihak dan eksistensi lembaga pendidikan tetap berjalan.

(27)

8 BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU A. Konsep Kebijakan dan Pendidikan

1. Definisi Kebijakan

Kebijakan yang merupakan tonggak utama dalam memantapkan eskistensi lembaga atau organisasi mempunyai dua pandangan, yaitu pandangan secara etimologi dan pandangan secara terminologi.

Berdasarkan pemahaman secara bahasa, kebijakan (policy) awal mulanya diambil dari bahasa Yunani, berasal dari kata “Polis” yang mempunyai arti kota (city) (Syafaruddin,iuuo 2008:75). Sebagian yang lain menjelaskan bahwa kebijakan berasal dari bahasa ingris yaitu dari kata

“policy” yang mempunyai arti mengurus permasalahan yang bersifat umum dan penekanannya terhadap tindakan, Hasbullah dalam (Majid, n.d.2018).

Lahirnya pemahaman kebijakan dari berbagai bahasa, menimbulkan banyak perspektif dari kalangan ahli kebijakan sesuai dengan bahasa yang mereka lihat.

Pemahaman kebijakan secara terminologi merupakan pengembangan pemahaman dari etimologi, pemahaman secara terminologi terlihat dari beberapa pendapat ahli kebijakan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abidin dalam (Syafaruddin, 2008:75), bahwa kebijakan merupakan keputusan pemerintah yang bersifat umum dan harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat.

Hainz Eulau dan Kenneth Prewit dalam(Dikson Silitonga, 2018) mengungkapkan bahwa kebijakan merupakan sebuah keputusan yang telah ditetapkan, dilakukan secara konsisten dan berulang, dan dipatuhi oleh pembuat dan pelaksana kebijakan. Sedangkan Koontz dan Donnel dalam (Arwildayanto, Dr. Arifin Suking, 2018), mengungkapkan bahwa kebijakan adalah seperangkat pernyataan atau pemahaman yang bersifat umum sebagai pedoman dan pemikiran dalam mengambil keputusan yang mengikat, juga dalam pengambilan keputusan mempunyai batasan-batasan tertentu. Kedua pemahaman yang berkaitan dengan konsep kebijakan di atas, menunjukkan bahwa dalam kebijakan terdapat keputusan, kepatuhan, kekonsistenan, mengikat, dan batasan.

Pemahaman (Majid, n.d.2018), kebijakan merupakan serangkaian perumusan keputusan pemerintah sebagai pedoman tingkah laku anggota masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang di dalamnya terdapat tujuan, rencana, dan program untuk dilaksanakan.

(28)

Sedangkan Wahab dalam (Arwildayanto, Dr. Arifin Suking, 2018), mengatakan bahwa kebijakan merupakan bagian dari perencanaan untuk menghasilkan sebuah keputusan yang berhubungan dengan biaya, personalia, dan jadwal untuk mencapai tujuan, dan dapat dilakukan oleh sejumlah aktor yang terdiri dari pemimpin, bawahan, pemerintah, dan swasta dalam suatu kegiatan tertentu. Secara kontekstual senada dengan ungkapan Freed M. Frohock dalam (Kamars, 2017), bahwa kebijakan adalah pola kerja untuk menyelesaikan konflik atau masalah yang saling berbenturan dan mempersiapkan insentif dalam mengajak orang lain untuk bekerja sama.

Berdasarkan teori-teori di atas menunjukkan bahwa kebijakan mempunyai beberap komponen penting yang di antaranya, yaitu: a) perencanaan, b) perumusan, c) tujuan, d) aturan tertulis, e) konsisten, f) berulang, g) alternatif, h) pemecahan masalah, dan, i) berpola.

Dengan adanya komponen penting dalam sebuah kebijakan, maka sangat penting kiranya dalam pembuatan kebijakan dilakukan dengan sangat hati- hati, karena hasilnya akan dilakukan bersama, baik pembuat maupun pelaksana. Karena pada dasarnya membuat kebijakan adalah proses belajar memecahkan permasalahan, sebagaimana yang diungkap oleh (Natesan &

Marathe, 2015) bahwa kebijakan sebagai upaya masyarakat mempelajari suatu problem dan berusaha untuk memecahkan permasalahan tersebut dari hasil kajiannya.

2. Definisi Pendidikan

Pendidikan sebagai sarana untuk menciptkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas bisa dipahami dari berbagai pandangan para ahli.

Penulis di sini akan mencoba menjelaskan pemahaman pendidikan secara komprehensip dari berbagai literasi.

Pendidikan secara bahasa berasal dari kata “paedagogie”, diambil dari bahasa Yunani yang merupakan gabungan dari kata “Pais” yang artinya anak, dan kata ”again” yang mempunyai arti membimbing, jadi jika diambil pemahamannya bahwa kata “paedagogie” mempunyai arti bimbingan untuk anak, Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam (Sholichah, 2018). Selain itu pendidikan dikenal dengan kata education diambil dari bahasa ingris yang merupakan gabungan dari kata to educate, yang artinya mengasuh atau mendidik, (Suryadi, 2018).

Seiring dengan berjalannya waktu, para ahli pendidikan memahami pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman, karena tuntutan zaman inilah

(29)

pengertian pendidikan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan individu, masyarakat, dan Negara.

Pendidikan menurut Abdullah dalam (Sholichah, 2018), adalah sebuah proses yang dibangun oleh masyarakat untuk membawa para generasi baru menuju kehidupan berkemajuan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam rangka menggapai tingkat kemajuan tertinggi.

Sedangkan menurut K. Hadjar Dewantar dalam (Haryanti, 2019), bahwa pendidikan adalah membentuk peserta didik sebagai manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi- tingginya.

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam (Budiarti et al., 2017), bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana proses belajar mengajar berjalan dengan efektif dan efisien dan menciptakan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri dalam rangka mendapatkan kekuatan spiritual keagamaan pengendalian diri, berkepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa pendidikan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan diri, masyarakat dan Negara. Karena pada dasarnya, pendidikan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dan Negara pada umumnya. Sebagaimana yang diungkapkan Hanushek dalam (Johnes et al., 2017), bahwa pendidikan mempunyai hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya majunya negara terletak di tangan generasi yang berpendidikan.

Hal senada diungkapkan oleh (Johan & Harlan, 2014), bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia baik yang muda maupun yang tua, atau laki-laki dan perempuan semuanya akan bersenggolan dengan pendidikan, karena pendidikan tidak mengenal batasan usia dan gender. Oleh karena itu tidak ada kata terlambat bagi setiap insan di dunia ini untuk mengenyam pendidikan, karena dalam pendidikan tidak ada kata kadaluwarsa. pendidikan merupakan jembatan bagi setiap individu menuju masa depan yang lebih baik, pendidikan sebagai sarana untuk membentuk negara lebih maju karena tanpa pendidikan negara akan tertinggal dari negara-negara lain yang berpendidikan tinggi, dan pendidikan sebagai pemecah masalah.

(30)

Hal demikian selaras dengan pendapat(Aryani et al., 2021) Bahwa pendidikan adalah suatu upaya yang disediakan oleh lembaga pendidikan untuk membentuk generasi selanjutnya menuju masa depan lebih cerah.

Maka dari itu lembaga pendidikan membutuhkan perbaikan manajemen kelembagaan dan manajemen pengajaran.

3. Definisi Kebijakan Pendidikan.

Pentingnya pengelolaan pendidikan secara otonom mulai disadari oleh masyarakat, di saat akhir-akhir pemerintahan orde baru. Hal tersebut tergambar saat seteleh runtuhnya orde baru pemerintah pusat mulai mencanangkan untuk membuat peraturan terkait otonomi daerah utamanya pengelolaan pendidikan. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tentang Perimbangan Uang Pusat dan Daerah. Dalam UU tersebut terdapat ungkapan bahwa pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara desentralistik dan melibatkan masyarakat secara aktif, (Achadah, 2019).

Legalitas terkait desentralisasi pengelolaan pendidikan semakin diperkuat dan dirumuskan dari tahun ke-tahun sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, bab 1, pasal 1, bahwa wewenang kepemerintahan diserahkan oleh pemerintah kepada otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengelolaan secara desentralistik dilakukan bukan tanpa alasan, akan tetapi konsep desentralisasi tersebut diajukan karena para pakar pendidikan menganggap bahwa lingkungan sekolahlah yang paham terkait kebutuhan, kekurangan, dan kelebihan dari lingkungan sekolah.

Pemahaman ini memberikan kesempatan kepada kepala sekolah untuk memberikan kebijakan dalam rangka menginterpretasikan kebijakan dari tingkat miso maupun makro demi eksistensi lembaga.

Kebijakan pendidikan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu kebijakan dan pendidikan yang mana keduanya sudah dibahas secara rinci.

Kebijakan pendidikan dapat dipahami sebagai keputusan tertulis yang harus dipatuhi oleh pembuat dan pelaksana kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan individu dan masyarakat.

Hasbulla dalam (Arwildayanto, Dr. Arifin Suking, 2018), mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan merupakan hasil proses perumusan dari langkah strategis yang merupakan turunan dari visi, misi,

(31)

tujuan, dan sasaran pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan di dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Hal tersebut didukung dengan pernyataan Tilaar dan Nugroho (Majid, 2018), kebijakan pendidikan adalah hasil keseluruhan proses dan perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang merupakan jabaran dari visi dan misi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat dengan kurun waktu yang ditentukan. Artinya kebijakan pendidikan merupakan hasil akhir dari keseluruhan perumusan yang tertuang dalam visi dan misi pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan.

Sedangkan menurut Parsojo dalam (Arwildayanto, Dr. Arifin Suking, 2018), kebijakan pendidikan adalah sebuah pertimbangan yang berdasarkan sistem nilai dan faktor situasional. Pandangan ini mengandung alternatif yang lebih mengutamakan nilai dan keadan lingkungan dalam menetapkan sebuah keputusan sebagai kebijakan pendidikan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan meruapakan sebuah proses perumusan beberapa alternatif dalam menentukan keputusan dan menjadi aturan yang harus dipatuhi bersama serta bisa berubah sesuai dengan situasi yang ada dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. intinya kebijkan pendidikan lahir sebagai garis-garis yang harus dilewati dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat untuk mencapai sebuah tujuan.

Konsep kebijakan pendidikan disusun untuk mempertahankan karakteristik lembaga atau Negara, hal ini sejalan dengan ungkapan (Saroj Mallik, 2020), dalam penelitiannya di India, bahwa kebijakan pendidikan dirancang untuk mempertahankan warisan budaya, sejarah, tradisi, dan nilai-nilai kenegaraan. Maka dari itu dalam pengambilan kebijakan harus ada keseriusan mulai dari perumusan, pengimplemntasian, dan pengevaluasian.

B. Perumusan Kebijakan Pendidikan.

Perumusan kebijakan merupakan sebuah rangkain kegiatan mengumpulkan informasi untuk dianalisis dan menyusun beberapa alternatif dalam rangka memecahkan permasalah sebagai sebuah keputusan.

Agustino dalam (Misna et al., 2015), mengungkapkan bahwa perumusan kebijakan merupakan hal yang menentukan kemajuan dan kemunduran lembaga pendidikan di masa yang akan datang. Perumusan kebijakan juga tidak boleh dilakukan secara serampangan. Sebagaimana yang diuangkapkan

(32)

oleh Winarno dalam (Misna et al., 2015), bahwa perumusan kebijakan adalah salah satu tahap yang krusial dalam kebijakan, sehingga banyak sekali dari perumus kebijakan mengalami kegagalan dalam menyelesaikan permaslahan yang dihadapi.

Menurut (Azis, 2017), perumusan kebijakan adalah serangkaian kegiatan mengumpulkan dan menganalisis informasi dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi, mencari berbagai macam alternatif kebijakan, dan mencari dukungan untuk melakukan negosiasi hingga mencapai sebuah kebijakan. Hal ini senada dengan pernyataan Jams Anderson yang dikutip oleh Subarsono (Fauzi & Dewi Rostyaningsih, 2018), bahwa perumusan kebiajakan merupakan sarana untuk melakukan pengembangan dan pilihan alternatif dalam rangka memcahkan masalah serta menentukan siapa saja yang akan menjadi aktor dalam perumusan kebijakan.

Beberapa teori perumusan kebijakan di atas bisa disimpulkan bahwa dalam perumusan kebijakan terdapat nilai-nilai kehati-hatian, mengumpulkan informasi, sarana analisa, alternatif, aktor, pemecahan masalah dan keputusan.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa perumusan kebijakan merupakan agenda yang sangat kompleks yang akan berdampak terhadap eksistensi organisasi. Maka dari itu Wahyudi Kumartomo (Sholehuddin, 2020), menyampaikan, dalam membuat sebuah kebijakan harus menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan, karena hasil dari sebuah kebijakan, akan membatasi langkah orang lain. Pembuatan kebijakan juga harus mempunyai nilai-nilai keadilan, agar hasil kebijakan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Pembuatan kebijakan juga tidak boleh bertujuan untuk menjatuhkan orang lain dan setiap pembuatan kebijakan harus ada nilai-nilai inovasi.

Patto dan Sawicki yang dikutip oleh Nawawi dalam (Misna et al., 2015), mengungkapkan bahwa perumusan kebijakan harus melalui beberapa tahap sebagai berikut:

a. Mencari gejala permasalahan.

b. Menentukan permaslahan yang akan dipecahkan.

c. Mengumpulkan berbagai fakta dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan.

d. Merumuskan tujuan yang akan dicapai.

e. Menentukan biaya dan manfaat dari permasalahan yang akan diatasi.

Hal yang hampir senada diuangkapkan oleh (Syahrir., 2015), bahwa dalam pembuatan kebijakan terdapat beberapa tahapan yang terdiri dari:

1. Mencari permasalahan yang membutuhkan intervensi kebijakan,

(33)

2. Mencari akar penyebab permasalahan,

3. Mencari solusi yang dapat memecahkan permasalahan, dan

4. Mengevaluasi dan menentukan opsi yang paling layak untuk dilakukan dan mempertimbangkan akibat dari kebijakan tersebut.

Dunn dalam (Rokim, 2019), mengungkapkan bahwa perumusan kebijakan harus melalui beberapa tahap yang terdiri dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

ungkapan Dunn menunjukkan bahwa dalam perumusan kebijakan harus dilakukan secara tertib dan teratur agar menjadi kebiajakan yang benar-benar bermutu.

Ungkapan Dunn yang termaktub di atas, selaras dengan pandangan Egomwam dalam (Goddey Wilson, Ph.D and Prof. Prof. Alafuro Epelle, 2018), bahwa dalam perumusan kebijakan terdiri dari, 1) perumusan tujuan, 2) identifikasi masalah, 3) penetuan agenda, 4) mencari alternatif sesuai dengan konsekuensi masing-masing, dan 5) pengambilan keputusan yang nantinya akan menjadi aturan dan pedoman.

Berdasarkan beberapa rancangan teori yang dimuat, menunjukkan bahwa dalam perumusan kebijakan terdapat beberapa langkah penting agar kebijakan membawa dampak positif bagi organisasi, yaitu: 1) mengumpulkan informasi dengan tujuan dapat memahami masalah yang pada akhirnya bisa memecahkan permasalan, 2) mengandung tujuan yang jelas, 3) memiliki banyak alternatif dengan tujuan dapat meminimalisir kegagalan kebijakan.

C. Implementasi Kebijakan Pendidikan.

Implementasi kebijakan merupakan turunan dari proses perumusan pengambilan kebijakan, di mana implementasi kebijakan ini adalah sebagai proses pelaksanaan dengan tujuan mencapai cita-cita dari kebijakan itu sendiri.

Dwijowijoto dalam (Syafaruddin, 2008), berpandangan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan sebuah cara yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan.

Menurut Van Meter yang dikutip Arif Rahman (Solichin, 2015), bahwa implementasi kebijakan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh individu, kelompok masyarakat, Negara, atau swasta untuk mencapai sebuah tujuan kebijakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan.

Adapun model implemnatasi kebijakan berdasarkan teori Edward yang dikutip oleh (Aminah et al., 2021), bahwa model implementasi kebijakan untuk menganalisis penanganan kebijakan pendidikan terdapat empat variabel, yang

(34)

di antaranya yaitu: 1) struktur birokrasi, 2) komunikasi, 3) sumber daya, dan 4) sikap.

Untuk mempermudah penanganan model implementasi kebijakan ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan oleh pelaku kebijakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh James E. Anderson dalam (Fatmawati, 2019), bahwa implementasi kebijakan mencakup empat aspek pokok, yaitu: 1) siapa saja yang terlibat, 2) administrasi, 3) kepatuhan, 4) pengaruh dan dampak. Sejalan dengan pendapat Edward III dalam(AKIB, 2010), bahwa komponen penting yang nantinya lahir sebagai masalah dan prakondisi suatu kebijakan terdiri: 1) komunikasi, 2) sumber daya, 3) sikap birokrasi atau pelaksana, dan 4) struktur organisasi.

Selain dari empat aspek di atas, juga penting kiranya bagi pemangku kebijakan untuk memahami pilar-pilar dalam pengoperasian kebijakan. Pilar pengoperasian kebijakan menurut Arif Rohman (Solichin, 2015), terdapat tiga pilar utama: 1) pengorganisasian, yaitu berkaitan dengan penataan sumber daya, unit, dan metode untuk mencapai tujuan, 2) interpretasi, berkaitan dengan penafsiran kebijakan agar menjadi pemahaman yang tepat, diterima, dan dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi, 3) aplikasi, yaitu berkaitan dengan konsistensi lembaga dalam menyediakan perlengkapan, pelayanan, dan pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan program.

Beberapa pilar di atas sangatlah penting untuk dipertahankan dan dikelola oleh pemangku kebijakan utamanya kepala sekolah dengan cara memahami faktor pendukung dan penghambat demi tercapainya sebuah kebijakan. Faktor pendukung dalam kebijakan, bisa dipahami sebagai sarana yang dapat mengantarkan suksesnya kebijakan, sedangkan faktor penghambat adalah sesuatu yang dapat menggagalkan suksesnya kebijakan.

Faktor pendukung dalam pelaksanaan kebijakan menurut Sabatir dan Mazmanian (Fatmawati, 2019), bahwa dalam pelaksanaan kebijakan terdapat lima faktor pendukung, lima faktor tersebut yaitu: 1) program harus benar- benar dari hasil kajian teori dan sesuai dengan sasaran untuk mencapai tujuan, 2) undang-undang yang dibuat tidak boleh bermakna dua, artinya setiap peraturan yang dibuat harus jelas dan lugas, 3) pelaku kebijakan harus mempunyai kemampuan manajerial, politik dan mempunyai komitmen terhadap tujuan yang ditetapkan, 4) program yang dibuat harus satu kata dengan pemangku kepentingan, perumus undang-undang dan pengadilan, 5) setiap kebijakan yang direduksi oleh waktu dengan adanya kebijakan darurat

(35)

yang berdampak sosial harus berdasarkan teori perundang-rundangan dan didukung oleh publik.

Sedangkan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan menurut Arif Rohman (Fatmawati, 2019), yaitu: 1) perumusan kebijakan yang ambigu, 2) ketidakmampuan personil pelaksana, dan 3) sistem organisasi yang kurang sehat.

Berdasarkan pemahaman di atas menunjukkan bahwa dalam implementasi kebijakan bisa sukses dan juga bisa gagal. Kesuksesan bisa dicapai jika pelaksana kebijakan bisa mengendalikan faktor penghambat yang dapat menggagalkan tujuan organisasi. Adapun faktor penghambat yang bisa membuat kebijakan alfa adalah: 1) ketua kelompok yang tidak mempunyai kemampuan manajerial, 2) rendahnya kemampuan sumber daya manusia (SDM), 3) aturan yang tidak jelas, dan 4) kurangnya biaya.

Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan utamanya dalam sektor pendidikan agar proses pembelajaran dan tujuan pendidikan tidak statis dan selalu melahirkan perubahan. Upaya tersebut didukung dengan ungkapan (Zhang et al., 2020), terkait implementasi kebijakan pendidikan saat pandemi di Cina, bahwa dalam implementasi kebijakan terdapat sebuah upaya sebagai berikut: 1) Pengintegrasian, 2) memberikan training, 3) melihat kemungkinan- kemungkinan yang terdapat dalam pelajaran online, 4) merumuskan pedoman sebagai transisi dari online ke ofline, 5) menyusun rencana terkait program pembelajaran setelah pendemi.

D. Monitoring Kebijakan.

Monitoring merupakan sebuah kegiatan pemantauan yang dilakukan antara tahap implemntasi dan evaluasi kebijakan dengan tujuan dapat menemukan berbagai problem dalam proses kegiatan dan memperbaiki kesalahan-kesalan yang dihadapi. Monitoring menurut pendapat Kurwanto (Prijambodo, 2014:10) merupakan proses pengamatan kegiatan saat program sedang berlangsung, serta sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai macam kesalahan agar dapat menyelesaikan program dengan baik dan benar sampai akhir kegiatan.

Adapun monitoring berdasarkan pendapat Kumala (Dyah Ayu Megawaty, et. al.,2020:98) adalah sebuah langkah untuk mengkaji kegiatan apakah sudah sesuai dengan perencanaan yang disepakati, mengidentifikasi permasalahan yang ada, melakukan penilaian pola kerja agar sesuai dengan

(36)

tujuan, dan memahami relevansi antara kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh standar kemajuan.

Berdasrkan beberapa teori di atas menunjukkan bahwa dalam proses monitoring terdapat beberapa komponen yang di antaranya adalah: 1) pengamatan, 2) pengidentifikasian, 3) Perbaikan, dan 4) penilaian. Empat langkah yang terdapat dalam kegiatan monitoring merupakan sebagai sarana bagi pihak manajemen agar kegiatan yang sudah tersusun bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Monitoring sendiri terbagi menjadi dua bagian, yang di antaranya adalah 1) Monitoring dari aspek proses, yaitu dilakukan untuk memantau sebuah kegiatan apakah proses kerja sudah dilakukan dengan baik apa tidak?, 2) monitoring dari aspek hasil, yaitu dilakukan untuk mengamati perkembangan hasil dari parogram yang direncanakan (Prijambodo, 2014:15).

Adapun proses monitoring meliputi tiga tahap, yang di antaranya adalah: 1) menetapkan standar pelaksanaan, 2) pengukuran pelaksanaan, dan 3) menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar rencana, (Sunarno Sastro Atmodjo, 2021:149)

E. Evaluasi Kebijakan Pendidikan.

Evaluasi kebijakan merupakan langkah akhir dalam pengendalian kebijakan, karena dengan adanya evaluasi dapat melihat kekurangan dan kelebihan dari sebuah kebiajakan yang telah ditetapkan. Sebagaimana ungkapan (Firdaos & Ahmad, 2018), bahwa evaluasi dapat memberikan informasi terkait pencapain kebijakan dan sebagai alat administrasi bagi pembuat kebijakan.

Dey yang dikutip Mulyadi dalam (Sholehuddin, 2020), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah alat untuk menilai secara luas terkait efektivitas program negara atau organisasi baik terdiri dari dua variabel atau lebih yang mempunyai tingkat efektivitsa yang relatif.

Jones dalam (Dikson Silitonga, 2018), mengungkapkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan menilai dari hasil proses suatu program. Ungkapan tersebut tidak jauh berbeda dengan ungkapan Winarno dalam (Dikson Silitonga, 2018), bahwa evaluasi kebijakan adalah sebuah estimasi dan penilaian dari sebuah kebiajkan yang mencakup substansi, implementasi, dan akibat sebuah kebijakan. Begitu juga ungkapan Dunn tentang konsep evaluasi kebijakan dalam (Sabdaningtiyas, 2018), bahwa evaluasi kebijakan sebagai alat pemeriksaan, pemeringkatan, dan penilaian untuk menganalisis hasil kebijakan.

(37)

Berdasarkan teori di atas menunjukan bahwa dalam evaluasi kebijakan terdapat beberapa unsur yang dapat memberikan informasi akurat dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan sebuah kebijakan, unsur-unsur yang terdapat dalam teori tersebut yaitu:

1. Unsur kegiatan, 2. Unsur penilaian, 3. Unsur kinerja, dan 4. Unsur sebab-akibat.

Unsur-unsur yang terdapat dalam evaluasi kebijakan bisa dicapai dengan baik, jika pelaksanaan evaluasi disusun dengan baik sesuai dengan teori model- model evaluasi. Menurut Kaufan dan Tomas yang dikutip oleh Arikunto dalam (DEWANTARA, 2020), bahwa macam model eavaluasi terdapat beberapa macam yang di antaranya yaitu:

1. GOAL ORIENTED EVALUATION MODEL.

Model ini terpacu pada tujuan program, apakah pencapaian dari sebuah program sudah sangat baik apa tidak. Program evaluasi ini dilakukan secara berkesinambungan, artinya dilaksanakan secara terus menerus tidak berhenti pada satu titik.

2. GOAL FREE EVALUATION MODEL

Model ini lebih pada pelaksanaan program, apakah terlaksana dengan baik apa tidak, sambil lalu mencatat hal yang positif atau negatif berkaitan dengan kebijakan berdasarkan evaluasi.

3. FORMATIF SUMMATIF EVALUATION MODEL.

Model ini dilakukan berdasarkan dua arah, yaitu dilakukan saat berlangsungnya program kebijakan dan dilaksanakan setelah usainya program kebijakan.

4. COUNTENANCE EVALUATION MODEL.

Model ini dilakukan dengan cara mengkomparasikan hasil dari program kebijakan yang satu dengan yang lainnya.

5. RESPONSIF EVALUATION MODEL.

Model ini lebih mengacu pada pendekatan kualitatif, artinya melihat nilai yang telah dicapai berdasarkan dengan keadaan realita, tidak dengan cara mengukur suatu program melalui angka-angka.

6. DISCREPANCY MODEL.

Model ini dibentuk untuk melihat suatu kesenjangan yang ada dalam suatu kebijakan, apakah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan apa tidak.

(38)

7. CSE-UCLA EVALUATION MODEL.

Model ini mempunyai tahapan-tahapan dalam evaluasi yang di antaranya yaitu: a. need assesment, b. program planning, c. formatif evaluation, dan d. summative evaluation

8. CIPP EVALUATION MODEL

Model ini merupakan kepanjangan dari context, input, process, product, yang mana dalam model tidak bertujuan untuk membuktikan melainkan untuk memperbaiki kekurang-kekurang.

Robert Stake dalam (Dikson Silitonga, 2018), terdapat tiga tahap dalam evaluasi kebiajakan, yaitu: 1) antecedent, 2) transaction, dan 3) outcome.

Tahapan yang disebut oleh Robert Stak memberikan arahan bagaimana cara melakukan evaluasi dengan rapi dan terarah. Beberapa model evaluasi yang telah disodorkan oleh para pakar kebijakan di atas juga didorong dengan berbagai macam pendekatan dalam mensukseskan tujuan model dari evaluasi kebijakan.

Adapun pendekatan dari model kebijakan bisa kita lihat sebagai berikut:

1. Evaluasi Semu.

Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan valid dengan metode deskriptif terkait dengan hasil kebijakan, tanpa harus menanyakan nilai kebijakan pada masing-masing individu atau kelompok, karena teori ini beranggapan bahwa nilai akan tampak dengan sendirinya dari hasil evaluasi.

2. Evaluasi Formal.

Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang valid dan akurat berdasarkan metode deskriptif terkait hasil pelaksanaan kebijakan sesuai dengan sasaran yang ditentukan secara formal. Pandangan ini beranggapan bahwa untuk melihat hasil atau nilai setiap kegiatan kebijakan, diukur dengan sasaran yang sudah ditentukan secara formal berdasarkan ketentuan kebijakan pendidikan.

3. Evaluasi Keputusan Teoritis.

Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang valid dan akurat berdasarkan metode deskriptif terkait hasil pelaksanaan kebijakan secara eksplisit diinginkan oleh stakeholder. Pelaksanaan teori ini dilakukan dengan menentukan sasaran dan tujuan secara tersembunyi yang ditentukan oleh para stakeholder, William Dunn dalam(Arwildayanto, 2018).

Selain dari memahami model dan pendekatan dalam evaluasi kebijakan patut kiranya para pemangku kebijakan atau stakeholder memahami berbagai

(39)

fungsi-fungsi dari kebijakan itu sendiri, karena dengan memahmi fungsi dari evaluasi kebijakan akan membuat para pemangku kebijakan bisa memposisikan dirinya dalam berbagai situasi yang dihadapi.

Fungsi-fungsi evaluasi kebijakan, yaitu bisa memberikan koreksi terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan yang sudah berlalu, dan dapat memberikan arahan untuk memantapkan kebijakan di masa yang akan datang.

Menurut (Sabdaningtiyas, 2018), fungsi evaluasi dalam kebijakan terdapat empat macam fungsi, yaitu: 1) ekplanasi, maksudnya memberikan penjelasan terkait keadaan fenomena alam sehingga dapat menentukan variabel sebuah kebijakan, 2) kepatuhan, maksudnya untuk melihat apakah sebuah tindakan yang dilakukan anggota organisasi sesuai dengan prosedur kebijakan yang telah ditetapkan, 3) audit, maksudnya untuk melihat apakah setiap standar atau output kebijakan sudah benar-benar sampai pada sasaran kebijakan, dan 4) akuntansi, maksudnya untuk melihat akibat sosial ekonomi dari hasil kebijakan.

Berbagai fusngsi di atas, sebagai pedoman bagi pemangku kebijakan dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan, membentuk suatu sistem yang dapat dipertanggung jawabkan, sekaligus dapat menilai hasil kebijakan dengan baik. Adapun posisi yang harus ditekuni oleh pemangku kebijakan agar upaya menilik hasil pelaksanaan kebijakan berdasarkan akurasi informasi, menurut Patton dalam (Mayne & Rist, 2006) yaitu, seorang evaluator harus memposisikan dirinya sebagai hakim, auditor, peneliti, konsultan, fasilitator, anggota tim, kolaborator, fasilitator, pemberdayaan, pendukung, dan penyintesis.

Sepuluh posisi ini bisa dilakukan oleh evaluator sesuai dengan situasi organisasi.

Pemahaman terkait posisi evaluator itu penting, karena evaluator mempunyai fungsi yang cukup strategis untuk keberlangsungan lembaga di masa yang akan datang. Adapun fungsi evaluator menurut Lakoff dan Johnson dalam (Glass, 1997), 1) mempunyai wewenang untuk mempertimbangkan pendefinisian kebijakan yang akan diambil dan menilai siapa yang memberikan pendefinisian, 2) mempunyai kontribusi wawasan kualitatif, dan 3) berfungsi untuk menafsirkan kebijan dan hasil kebijakan.

F. Efektivitaas dan Efisiensi Proses Pembelajaran Dari Hasil Kebijakan Pendidikan

Pemerintah pusat memberikan kebijakan agar setiap lembaga pendidikan harus melakukan kegiatan belajar dari rumah Work from hom untuk menghindari penyebaran pandemi covid-19, karena yang seperti kita ketahui penyebaran covid-19 menurut WHO dalam (Mustakim, 2020), yaitu penyebarannya melalui

(40)

kontak fisik dengan orang lain, dengan cara menyerang tenggorokan, sistem pernafasan, dan paru-paru tanpa ditemui obatnya. Penyebaran seperti ini membuat Kemendibud Nadim Makarim memberikan kebijakan yang tercantum dalam Surat Edarannya Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Corona Virus Disease (Covid-19), menghimbau agar setiap lembaga pendidikan melaksanakan pembelajaran dari rumah untuk memutus rantai penyebaran covid-19. Peraturan pemerintah pusat di atas menuntut kepala sekolah memberikan interpretasi dalam melakukan pengkajian untuk membuat sebuah kebijakan agar proses belajar mengajar tetap berjalan efektif dan efisien.

Interpretasi kepala sekolah terkait dengan kebijakan pendidikan terdapat rancangan biaya yang dianggarkan, sarana yang dipersiapkan, dan waktu yang dibutuhkan agar proses pembelajaran tetap berjalan dan mencapai cita-cita pendidikan nasional.

Hal tersebut sejalan dengan ungkapan (Zahruddin et al., 2018) bahwa pendidikan dan pembiayaan adalah dua komponen yang tidak bisa dipisahkan.

Karena pendidikan tidak dapat berjalan tanpa pembiayaan dan pembiayaan dapat menunjang berjalannya proses pendidikan.

Pembiayaan sendiri dalam proses belajar mengajar terdapat biaya langsung dan tidak langsung, biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan belajar mengajar, seperti pembelanjaan sarana prasarana, biaya transport, gaji guru dan lain-lain, sedangkan biaya tidak langsung adalah berupa keuntungan dan kesempatan yang hilang untuk mendapatkan penghasilan selama siswa belajar, dalam artian baiaya tidak langsung adalah waktu yang kita lewatkan untuk belajar, (Hayati & kadri, 2019).

Pembahasan yang berkaitan dengan biaya dan waktu, maka perlu kiranya membahas tentang konsep efektivitas dan efisiensi. Efektivitas menurut Sondang Siagian dalam (Ghofur, 2019), adalah pemanfaatan sumber daya dan sarana dengan jumlah tertentu secara terencana untuk menghasilkan barang dari hasil jasa kegiatan yang dijalankan. Dalam artian efektivitas adalah keberhasilan mencapai sebuah sarasaran dengan jangka waktu yang ditentukan, semakin mendekati keberhasilan sebuah sasaran maka semakin tinggi tingkat efektivitasnya. Di sisi lain (Ashari, 2019), mengungkapakan bahwa efektivitas adalah pencapaian keberhasilan sesuai dengan tujuan.

Sedangkan efesiensi berkaitan dengan ukuran banyaknya biaya dengan pencapaian. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Mulyamah dalam (Ghofur, 2019), yaitu sebuah ukuran membandingkan banyaknya penggunaan yang

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1  Skema Pengambilan Data
Gambar 4.1  Struktur Organisasi  Staf Guru  No  Nama  1  Badrut TF, MA  2  M. Andre, S.Pd.I
Tabel 4.3  Keadaan Siswa SMPIT
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data penelitian pelaksanaan praktek general cleaning public area section yang sesuai dengan SOP pada tahap pelaksanaan menunjukan bahwa rata- rata capaian kompetensi

Kegiatan monitoring dalam divisi partnership juga bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji apakah sistem partnership yang dijalankan dengan para management sudah sesuai atau belum

Dampak negatif Covid-19 menuntut UMKM menyusun ulang strategi bisnisnya untuk mengakomodasi efek pandemi (Kraus et al., 2020; Rapaccini et al., 2020). Pemerintah sudah

Status gizi disebut seimbang atau gizi baik bila jumlah asupan nutrisi sesuai dengan yang dibutuhkan, sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipersentasikan dalam bentuk

Rencana Kerja Pembangunan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Tahun 2021 2.. Media/sarana

Hubungan antara Adversity Quotient dan Dukungan Sosial dengan Intensi untuk Pulih dari K etergantungan narkotika alkohol psikotropika dan zat adiktif (napza)

Almady’s List |Kata-Kata Bijak Richard Denny dalam Buku Succeed for Yourself 11 Ingatlah untuk memusatkan pikiran pada apa yang Anda inginkan, lebih daripada yang tidak.

Value Stream Mapping (VSM) digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi pemborosan dari aliran keseluruhan dalam rantai pasok untuk mencari akar permasalahan. Value