K (Shor MENGG
KARAKTER rea Leprosul
GUNAKAN
DEPAR FAKUL
INST
SK
RISTIK TE la Miq.) PA N PROSES P
O
PUTRA F14
RTEMEN T LTAS TEKN
TITUT PER KRIPSI
ERMAL KA ADA BAHAN PENGERIN
OLEH:
PRATAM 4060402
2010 TEKNIK PE
NOLOGI PE RTANIAN B
AYU MERA N GITAR A NGAN LAP
MA
ERTANIAN ERTANIAN BOGOR
ANTI AKUSTIK PISAN TIPI
N N
IS
KARAKTERISTIK TERMAL KAYU MERANTI (Shorea Leprosula Miq.) PADA BAHAN GITAR AKUSTIK MENGGUNAKAN PROSES PENGERINGAN LAPISAN TIPIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
PUTRA PRATAMA F14060402
2010
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KARAKTERISTIK TERMAL KAYU MERANTI (Shorea Leprosula Miq.) PADA BAHAN GITAR AKUSTIK MENGGUNAKAN PROSES PENGERINGAN LAPISAN TIPIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
PUTRA PRATAMA F14060402
Dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1988 di Curup, Bengkulu
Disetujui, Bogor, Agustus 2010
Ir. Sri Mudiastuti, M. Eng Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Desrial, M. Eng Ketua Departemen Teknik Pertanian Tanggal Ujian : 21 Juli 2010
Putra Pratama F14060402. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) sebagai Bahan Baku Gitar Akustik Menggunakan Proses Pengeringan Lapisan Tipis. Dibawah bimbingan Sri Mudiastuti 2010.
ABSTRAK
Gitar adalah alat musik berdawai yang menghasilkan getaran yang beragam disebut bunyi atau suara. Kualitas suara yang dihasilkan gitar sangat tergantung pada karakteristik fisik, mekanis dan termal kayu gitar tersebut. Kayu gitar yang baik memiliki rentang suara yang bagus, penampang serat menarik serta awet.
Indonesia mempunyai banyak jenis kayu dan salah satu kayu yang tergolong baik untuk memenuhi karakteristik tersebut adalah kayu meranti (Shorea Leprosula Miq.). Para produsen dan pengrajin gitar menggunakan teknik pengeringan yang selama ini digunakan yaitu kiln dryer untuk jenis pengeringan udara dan matahari. Hal ini tanpa memperhatikan karakteristik termal sebagai kemampuan kayu Meranti yang spesifik didalam laju pengeringan yang terjadi.
Hasil pengeringan ini juga diharapkan akan menghasilkan kayu pada kadar air yang diinginkan tanpa merusak kayu itu. Kelemahan jenis pengeringan ini memerlukan waktu yang cukup lama dan membatasi hasil produksi gitar dari produsen dan pengrajin gitar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik termal dari pengeringan kayu meranti (Shorea Leprosula Miq.), dengan melakukan percobaan pengeringan pada berbagai suhu untuk mendapatkan kayu pada kadar air yang seimbang dalam waktu yang relatif singkat namun dengan kadar kerusakan minimal.
Kayu yang digunakan pada penelitian ini memiliki berat jenis 0,803 kg/m3, Cp 2,627 kJ/kg K, dan konduktivitas 0,153 W/m2. Penelitian dilakukan pada suhu 30 0C selama 48 jam, 50 0C selama 24 jam, 70 0C selama 18 jam dan 90 0C selama 12 jam untuk mendapatkan suhu terbaik untuk pengeringan. Dari hasil perbandingan didapat bahwa pengeringan terbaik adalah dengan suhu 30 0C dan tercepat adalah pengeringan 90 0C yang dapat menurunkan kadar air dari 90%
hingga 12% dalam waktu 12 jam. Dari tujuan yang ingin dicapai maka pengeringan terbaik untuk kayu sebagai bahan baku gitar akustik maka dipilih pengeringan 90 0C karena penggunaan energi yang lebih efisien serta pengeringan yang lebih cepat.
Dari hasil pengeringan 90 0C dibuat sebuah gitar, lalu diukur frekuensi nada yang dihasilkan. Pada penelitian ini digunakan nada C (123 Hz), F (87,3 Hz) dan G (196 Hz). Nada yang dihasilkan dibandingkan durasi dan amplitudonya dengan gitar kelas menengah standar pabrik Yamaha Indonesia tipe CG-101a. Gitar hasil penelitian menghasilkan durasi pada nada C sebesar 2,25 detik, nada F sebesar 1,8 detik dan nada G sebesar 2,2 detik. Sedangkan gitar Yamaha menghasilkan durasi pada nada C sebesar 0,88 detik, nada F sebesar 1,6 dan nada G sebesar 1,5 detik.
Dari segi amplitudo, gitar penelitian menghasilkan amplitudo pada nada C sebesar 1 mm, nada F sebesar 0,55 mm, dan nada G sebesar 0,7 mm. Sedangkan gitar Yamaha menghasilkan amplitudo pada nada C sebesar 0,8 mm, nada F sebesar 0,95 dan nada G sebesar 0,8 mm.Dari hasil perbandingan ternyata gitar hasil pengeringan ini memiliki durasi yang lebih panjang, namun amplitudo yang lebih pendek dari gitar Yamaha.
RIWAYAT HIDUP
Putra Pratama dilahirkan di kota Curup pada tanggal 18 Maret 1988. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Herman Dalil dan Refnis. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD 02 Centre Muara Aman pada tahun 2000.
Penulis melanjutkan pendidikan menengah di SLTP N 1 Lebong Utara dan lulus pada tahun 2003. Setelah itu melanjutkan ke SMA N 5 Kota bengkulu dan lulus tahun 2006. Tahun 2006, penulis masuk ke IPB melalui jalur SPMB dan kemudian pada tahun 2007 melalui seleksi sistem Mayor-Minor IPB penulis diterima di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Pada semester lima, penulis masuk bagian Lingkungan dan bangunan Pertanian (LBP) dengan dosen pembimbing akademik Ir. Sri Mudiastuti, M. Eng.
Pada tahun 2009, penulis melakukan Kegiatan Praktek Lapangan di PTPN VII unit Usaha Talo Pino Bengkulu dengan mengambil judul “Aspek Keteknikan Pertanian pada Proses Pengolahan Kelapa Sawit di PTPN VII Unit Usaha Talo Pino”. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Taknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) sebagai Bahan Baku Gitar Akustik Menggunakan Proses Pengeringan Lapisan Tipis”.
Selama di Perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa lembaga kemahasiswaan di IPB yaitu Himateta sebagai staf keteknikan (2008-2009), Persatuan Tenis Meja IPB sebagai ketua bagian Humas (2007-2009), dan Ikatan Mahasiswa Bumi Raflesia sebagai Staf Humas (2007-2008). Selain aktif di Lembaga kemahasiswaan, penulis pun pernah mendapatkan hibah DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan pada tahun 2008 dengan judul “ Jus pepaya Madu sebagai Minuman Kesehatan Alternatif”. Penulis pun pernah mendapatkan Beasiswa Bantuan Kemahasiswaan IPB (2008-2009).
Penulis pun pernah mengikuti dan memenangkan beberapa kompetisi, antara lain Finalis juara 3 Engineering Science Competition (2006), Juara 1 Tenis Meja tunggal Putra Fateta(2008), Juara 3 Tenis Meja Berregu Olimpiade Mahasiswa IPB (2008) dan juara 2 Musikalisasi Puisi Reds Cup Fateta (2009).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha kaya akan ilmu dan pengetahuannya, shalawat serta salam semoga tercurah pada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga serta sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) sebagai Bahan Baku Gitar Akustik Menggunakan Proses Pengeringan Lapisan Tipis”. Harapan besar penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam menambah khasanah keilmuan bagi penulis maupun para akademis lainnya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. Sri Mudiastuti, M.Eng selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan motivasi yang berharga bagi penulis.
2. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M. Si dan Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M. Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji dan banyak memberikan masukan kepada penulis.
3. Ayah, Ibu dan Adik-adik penulis tercinta yang telah memberikan dukungan dari kecil hingga saat ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan sesuatu yang lebih baik.
4. Bpk. Dani yang telah membantu proses pembuatan gitar hingga selesai dan terbentuk gitar yang memiliki rupa dan nada yang indah. Semoga bisnis yang dijalankan makin sukses lancar dan berkah.
5. Teman-teman TEP 42, 43, 44, 45 dan 46 yang telah mewarnai hari-hari perkuliahan dengan penuh rasa persahabatan dan kekeluargaan.
6. Seluruh dosen, jajaran rektorat, teman-teman dan organisasi di IPB yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Mohon Maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Juli 2010
DAFTAR ISI
RINGKASAN...
RIWAYAT HIDUP...
KATA PENGANTAR...
DAFTAR ISI...
DAFTAR TABEL...
DAFTAR GAMBAR...
DAFTAR LAMPIRAN...
BAB I PENDAHULUAN...
iii iv v vi viii
ix xi 1
A. Latar belakang... 1
B. Tujuan... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3
A. Kayu Meranti... 3
B. Sifat Umum Kayu... 4
C. Karakteristik Termal Kayu ... 6
1. Panas Jenis... 6
2. Konduktivitas Panas... 7
3. Difusivitas panas... 7
D. Pengeringan Kayu... 8
1. Pengeringan Matahari... 8
2. Pengeringan Mekanis... 9
E. Cacat-cacat Pengeringan Kayu... 12
F. Teori Pengeringan... 14
G. Kadar Air Kesetimbangan dan Konstanta Pengeringan... 16
1. Kadar Air Kesetimbangan... 16
2. Konstanta Pengeringan... 18
H. Model Pengeringan Lapisan Tipis... 19
I. Proses Pindah Panas pada Pengering... 21
1. Pindah Panas Radiasi... 21
2. Pindah Panas Konveksi... 21
3. Pindah Panas Konduksi... 23
J. Energi dan Efisiensi Pengeringan... 24
K. Alat Musik Gitar... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 27
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan... 27
B. Bahan... 27
C. Alat... 27
D. Tahapan Penelitian... 29
1. Persiapan Peralatan... 29
2. Persiapan Bahan... 29
3. Pengukuran Sifat Panas... 30
4. Pengukuran Berat dan Kadar Air... 31
5. Kadar Air Kesetimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (K) 31 6. Pengukuran Kualitas Suara... 31
E. Paramater Yang Diukur... 32
1. Sifat Fisik... 32
2. Lama Pengeringan... 33
3. Karakteristik Nada... 33
F. Rancangan Percobaan... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 37
A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.)... 37
B. Karakteristik Pengering... 37
1. Suhu ... 37
2. Kelembaban (RH)... 39
3. Pindah Panas pada Alat Pengering... 40
C. Energi dan Efisiensi Pengeringan... 43
B. Lama dan Laju Penurunan Kadar Air... 44
C. Kadar Air Kesetimbangan... 46
D. Model Kadar Air Kesetimbangan... 46
E. Konstanta Pengeringan... 47
F. Analisis Suara Gitar... 47
1. Durasi Nada... 48
2. Amplitudo... 51
G. Analisa Statistik Penelitian... 54
BAB V KESIMPULAN... 57
DAFTAR PUSTAKA... 58
LAMPIRAN... 60
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik beberapa jenis kayu... 26
Tabel 2. Suhu dan lama pengeringan... 33
Tabel 3. Tabulasi data percobaan... 35
Tabel 4. Analisis varians rancangan percobaan... 35
Tabel 5. Nilai pindah panas pada percobaan... 40
Tabel 6. Energi dan efisiensi pengeringan pada tiap percobaan... 43
Tabel 7. Hubungan suhu dan RH pada percobaan... 45
Tabel 8. Hubungan suhu, RH, kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada setiap perlakuan pengeringan... 46
Tabel 9. Persamaan model henderson pada berbagai percobaan... 47
Tabel 10. Konstanta pengeringan pada berbagai percobaan... 47
Tabel 11. Analisis varians penurunan kadar air di tiga rak pada pengeringan 30 0C... 54
Tabel 12. Uji DMRT kadar air di tiga rak pada pengeringan 30 0C... 54
Tabel 13. Analisis varians penurunan kadar air di tiga rak pada pengeringan 50 0C... 54
Tabel 14. Uji DMRT kadar air di tiga rak pada pengeringan 50 0C... 55
Tabel 15. Analisis varians penurunan kadar air di tiga rak pada pengeringan 70 0C... 55
Tabel 16. Uji DMRT kadar air di tiga rak pada pengeringan 70 0C... 55
Tabel 17. Analisis varians penurunan kadar air di tiga rak pada pengeringan 90 0C... 55
Tabel 18. Uji DMRT kadar air di tiga rak pada pengeringan 90 0C... 56
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pohon Meranti... 3
Gambar 2. Penampang Kayu... 4
Gambar 3. Posisi Air Dalam Kayu... 5
Gambar 4. Grafik radiasi matahari harian... 9
Gambar 5. Grafik Psikrometrik Proses Pengeringan dalam Pengering... 15
Gambar 6. Kurva Pengeringan... 15
Gambar 7. Kurva karakteristik Pengeringan... 16
Gambar 8. Gitar akustik dan bagiannya... 25
Gambar 9. Bahan kayu meranti yang dikeringkan... 27
Gambar 10. Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian (a) kalorimeter, (b) Kemtherm Thermal Conductivity Meter, (c) Oven kayu Tanifuji, (d) Hybrid Recorder Yokogawa (e) Klem, (f) timbangan digital dan peralatan lain... 28
Gambar 11. Skema tahapan penelitian... 29
Gambar 12. Skema penempatan Mikropon... 32
Gambar 13. Grafik perbandingan suhu pada berbagai perlakuan suhu percobaan... 38
Gambar 14. Grafik perbandingan kelembaban hasil pengukuran pada berbagai percobaan... 39
Gambar 15. Pemetaan distribusi suhu pada pengeringan (a) 30 0C, (b) 500C, (c) 70 0C, (d) 90 0C... 42
Gambar 16. Grafik penurunan kadar air pada berbagai perlakuan suhu... 44
Gambar 17. Grafik laju penurunan kadar air pada berbagai perlakuan suhu... 44
Gambar 18. Gitar hasil pengeringan 90 C ... 46
Gambar 19. Perbandingan durasi nada gitar 90 C (atas) dan gitar standar Yamaha (bawah) pada nada C (123 Hz)... 49
Gambar 20 Perbandingan durasi nada gitar 90 oC (atas) dan gitar standarYamaha (bawah) pada nada F (87,3 Hz)... 50 Gambar 21 Perbandingan durasi nada gitar 90 C (atas) dan gitar standar
Yamaha (bawah) pada nada G (196 Hz)... 50 Gambar 22. Grafik perbandingan durasi nada gitar hasil pengeringan dan
Yamaha... 51 Gambar 23. Perbandingan amplitudo nada gitar 90 C (atas) dan gitar
standar Yamaha (bawah) pada nada C (123 Hz)... 52 Gambar 24. Perbandingan amplitudo nada gitar 90 C (atas) dan gitar
standar Yamaha (bawah) pada nada G (196 Hz)... 52 Gambar 25. Perbandingan amplitudo nada gitar 90 C (atas) dan gitar
standar Yamaha (bawah) pada nada F (87,3 Hz)... 53 Gambar 26. Grafik perbandingan amplitudo gitar hasil penelitian dan gitar
Yamaha pada nada F, C dan G... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Produksi Kayu Bulat oleh Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan... 61
Lampiran 2. System pengeringan kayu Meranti... 61
Lampiran 3. Perhitungan Thermal Properties Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) 62 Lampiran 4. Data Heat Transfer Pada Percobaan... 65
Lampiran 5. Perhitungan Heat Transfer pada Percobaan... 66
Lampiran 6. Perhitungan Analisis Heat Transfer dalam pengeringan... 67
Lampiran 7. Penurunan Berat Sample pengeringan 30 oC... 68
Lampiran 8. Penurunan Berat Sample pengeringan 50 oC... 68
Lampiran 9. Penurunan Berat Sample pengeringan 70 oC... 68
Lampiran 10. Penurunan Berat Sample pengeringan 90 oC... 69
Lampiran 11. Penurunan Berat Sample pengeringan Matahari... 69
Lampiran 12. Penurunan Kadar Air pengeringan 30 oC... 69
Lampiran 13. Penurunan Kadar Air pengeringan 50 oC... 70
Lampiran 14. Penurunan Kadar Air pengeringan 70 oC... 70
Lampiran 15. Penurunan Kadar Air pengeringan 90 oC... 70
Lampiran 16. Penurunan Kadar Air pengeringan Matahari... 71
Lampiran 17. Laju Pengeringan pengeringan 30 oC... 71
Lampiran 18. Laju Pengeringan pengeringan 50 oC... 71
Lampiran 19. Laju Pengeringan pengeringan 70 oC... 72
Lampiran 20. Laju Pengeringan pengeringan 90 oC... 72
Lampiran 21. Laju Pengeringan Matahari... 72
Lampiran 22. Perhitungan C dan N... 73
Lampiran 23. Data Psikrometrik pada pengeringan 30oC... 74
Lampiran 24. Data Psikrometrik pada pengeringan 50oC... 75
Lampiran 25. Data Psikrometrik pada pengeringan 70oC... 76
Lampiran 26. Data Psikrometrik pada pengeringan 90oC... 76
Lampiran 27. Perbandingan durasi nada gitar hasil pengeringan 90 C dan Yamaha... 77 Lampiran 28. Perbandingan amplitudo nada gitar hasil pengeringan 90 C dan Yamaha. 77
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Beberapa kelompok kayu yang sering digunakan untuk pembuatan gitar antara lain adalah maple, ashwood, basswood, rosewood dan mahogany. Jenis kayu Indonesia yang tergolong kayu yang baik untuk pembuatan gitar adalah kayu meranti (Shorea Leprosula Miq.) yang termasuk dalam golongan kayu mahogany dengan produksi di Jawa barat berkisar 38,4 m3/ Ha /tahun. Kayu merupakan salah satu komoditi yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari, dipergunakan untuk bahan baku pelbagai keperluan seperti konstruksi bangunan, alat rumah tangga, isolator, dan lebih spesifik untuk bahan baku alat musik. Fungsi kayu sebagai bahan baku alat musik merupakan komoditi primer, yang tak tergantikan seperti bahan gitar, biola dan gendang hanya dari kayu.
Untuk menghasilkan suara gitar yang baik, perlu dipilih kayu yang baik, yaitu kayu yang memiliki rentang suara yang bagus, memiliki permukaan dengan serat lingkar tahun yang bagus, tersedia di areal produksi dan memiliki kadar air yang seimbang. Perbedaan mikro klimat menghasilkan kadar air keseimbangan yang berbeda di tiap daerah. Di Eropa kadar air optimalnya adalah 7%, dan daerah tropis Indonesia untuk alat musik adalah 14%.(Rietz & Page, 1971; Prayitno, 1994; Marsoem, 1999)
Kayu gitar yang terlalu basah akan berubah bentuk sehingga resonansi suara akan berubah-ubah, begitu juga kayu yang terlalu kering akan menyerap uap air dari udara sehingga serat kayu akan mengembang dan merusak bentuk dan sambungan pada gitar. Oleh karena itu perlu pengeringan dan perlakuan yang tepat dan khusus pada setiap lokasi yang berbeda.
Teknologi pengeringan yang digunakan saat ini adalah pengeringan alami, namun memerlukan waktu yang relatif lama untuk menghasilkan kadar air yang diinginkan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengeringan lapisan tipis dengan memperhatikan thermal properties kayu meranti agar didapat kayu dengan kadar air yang diinginkan dengan waktu yang lebih singkat.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui suhu yang tepat untuk pengeringan kayu meranti (Shorea Leprosula Miq.).
2. Menganalisis pindah panas yang terjadi selama proses pengeringan.
3. Menentukan lama pengeringan yang diperlukan dari masing-masing suhu.
4. Mengetahui konstanta pengeringan kayu meranti.
5. Mengukur kualitas resonansi yang dihasilkan dari gitar yang dibuat dari proses pengeringan yang dilakukan.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.)
Meranti merah (Shorea Leprosula Miq.) adalah nama sejenis kayu pertukangan yang populer dalam perdagangan. Meranti merah tergolong kayu keras berbobot ringan sampai berat-sedang. Berat jenisnya berkisar antara 0,3 – 0,86 pada kandungan air 15%. Kayu terasnya berwarna merah muda pucat, merah muda kecoklatan, hingga merah tua atau bahkan merah tua kecoklatan (Ika Heriansyah, 2002)
Gambar 1. Pohon Meranti
Menurut kekuatannya, meranti merah dapat digolongkan dalam kelas kuat II-IV, sedangkan keawetannya tergolong dalam kelas III-IV. Kayu ini tidak begitu tahan terhadap pengaruh cuaca, sehingga tidak dianjurkan untuk penggunaan di luar ruangan dan yang bersentuhan dengan tanah. (Dorthe Joker, 2002)
Meranti merah (Shorea Leprosula Miq.) adalah kayu komersial di asia tenggara. Kayu ini sering digunakan untuk berbagai keperluan. Kayu ini lazim dipakai sebagai kayu konstruksi, panel kayu untuk dinding, loteng, sekat ruangan, bahan mebel dan perabot rumahtangga, mainan, peti mati dan lain-lain. Kayu meranti merah-tua yang lebih berat biasa digunakan untuk konstruksi sedang sampai berat, balok, kasau, kusen pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, serta untuk membuat perahu (Ika Heriansyah, 2002).
B. Sifat Umum Kayu
Kayu merupakan hasil hutan yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai dengan kemajuan teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat yang tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan lain. Pemilihan dan penggunaan kayu untuk suatu tujuan pemakaian, memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat kayu (Dept.
Kehutanan RI, 2007).
Gambar 2. Penampang kayu Sifat-sifat umum kayu, antara lain:
1. Berasal dari pohon yang senantiasa vertikal.
2. Komposisi kimia dari setiap jenis kayu terdiri dari tiga komponen penting, yaitu Sellulosa, Hemisellulosa dan Non karbohidrat (lignin).
3. Kayu bersifat anisotropik artinya bahan kayu menunjukkan perbedaan dalam sifat-sifat pada ketiga bidang orientasinya.
4. Kayu mempunyai sifat higroskopis artinya mempunyai kecenderungan untuk mengisap uap air.
Arti mempunyai sifat higroskopis kayu, yaitu dapat menyerap atau melepaskan air atau kelembaban. Kelengasan kayu jadi petunjuk, untuk kualitas dan sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu udara sesaat.
Makin lembab udara di sekitarnya, akan makin tinggi pula kelengasan kayu, hingga mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dengan masuknya air ke dalam kayu itu,maka berat kayu akan bertambah. Selanjutnya masuk dan keluarnya air dari kayu menyebabkan kayu itu basah atau kering. Akibatnya kayu itu akan mengembang atau menyusut (Dumanauw, 2003).
Perubahan-perubahan kadar air sangat besar pada permukaan kayu, di mana perubahan-perubahan kadar air berlangsung cepat. Di bagian dalam kayu mengalami perubahan kadar air. Proses yang terjadi lambat, sebab waktu yang dibutuhkan oleh air untuk berdifusi dari atau ke bagian luar kayu lebih lama.
(Dumanau, 2003).
Air terletak di dua bagian besar pori-pori kayu sebagai berikut:
1. Free water (air bebas), terletak didalam pori-pori kayu, mengisi serat kayu yang berbentuk seperti pipa-pipa yang tersusun searah. Air bebas ini sangat mudah menguap karena tidak mengandung banyak zat dan sel pohon. Air bebas pada beberapa jenis kayu lunak bisa menguap melalui proses pengeringan alami, sedangkan untuk beberapa kayu keras hanya bisa melalui pengeringan mekanis.
2. Bound Water (air terikat), mengandung lebih banyak selulosa dan kimia lain.
Air terikat ini terletak di antara pori-pori sekaligus memperkuat ikatan antar pori. Apabila air terikat ini menguap maka kayu akan mengalami penyusutan.
(Dept. Kehutanan RI, 2007).
Gambar 3. Posisi air dalam kayu
Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeluaran air dari dalam kayu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Faktor yang berhubungan dengan kayu, diantaranya:
a. Struktur anatomi b. Berat jenis kayu c. Ukuran tebal kayu
d. Kadar air awal dan kadar air akhir permintaan
2. Faktor luar kayu, diantaranya:
a. Suhu
b. Kelembaban c. Sirkulasi udara
d. Cara penumpukan kayu
Dalam sebuah sampel potongan kayu umumnya terdapat dua kadar air kayu yang berbeda, yaitu kadar air rendah pada permukaan kayu dan kadar air yang tinggi pada bagian dalam kayu. Di antara kedua titik berlainan itu terdapat peralihan kadar air yang berangsur-angsur menaikkan atau menurunkan kadar air..
Dalam arah longitudinal atau arah memanjang dari kayu) gerakan air dalam bentuk uap lebih mudah keluar, karena struktur sel yang berbentuk tabung (buluh) (Dumanauw, 2003).
Salah satu usaha untuk mencegah dan membatasi penyusutan kayu ialah dengan membuat kayu pada kadar air keseimbangan kayu dengan lingkungannya, atau batas kandungan air kayu yang terendah.
C. Karakteristik Termal Kayu
Karakteristik termal atau sifat panas adalah sifat fisik bahan yang berhubungan dengan panas. Thermal properties terdiri dari panas jenis, konduktivitas panas dan difusivitas panas.
1. Panas Jenis
Setiap bahan memerlukan panas yang berbeda untuk menghasilkan kenaikan suhu tertentu. Perbandingan antara banyaknya panas yang diberikan Q dengan kenaikan suhu ΔT disebut kapasitas panas benda tersebut (Sears, 1950) atau dengan rumus:
Kapasitas Panas =
∆ ... (1) Besarnya kapasitas panas benda berbeda-beda, kapasitas panas benda dihitung dalam tiap satuan massa sehingga menghasilkan nilai spesifik yang disebut Kapasitas Panas Jenis (Specific Heat Capacity) dan diberi simbol Cp.
Cp = K M = ∆ =
∆ ... (2)
Panas jenis suatu bahan didefinisikan sebagai perbandingan antara kapasitas panas jenis bahan itu dengan panas jenis air. Karena besarnya kapasitas panas jenis air adalah 1 kal/gr oC maka nilai panas jenis air sama dengan nilai kapasitas panas jenisnya. Akan tetapi karena didefinisikan sebagai perbandingan maka nilai tersebut hanya berupa bilangan tanpa satuan sehingga nilainya sama dalam tiap satuan. Berdasarkan definisi tersebut maka kapasitas panas suatu benda sama dengan hasil kali massa benda itu dengan kapasitas panas jenisnya ( Sears, 1950).
2. Konduktivitas Panas
Konduktivitas panas adalah karakteristik suatu bahan yang mnunjukkan kemampuan bahan tersebut dalam mengkonduksikan panas. Pindah panas konduksi merupakan perpindahan energi di dalam bahan tanpa pergerakan bahan itu sendiri. Konduksi terjadi ketika ada perbedaan suhu dalam bahan padat (atau fluida statis). Aliran panas konduksi terjadi dari temperatur yang lebih tinggi menuju temperatur yang lebih rendah, karena suhu yang lebih tinggi memiliki energi molekul yang lebih tinggi atau pergerakan molekul yang lebih banyak. Energi disalurkan dari bagian berenergi tinggi menuju ke bagian yang berenergi lebih rendah melalui milekul yang berdekatan.
Konduktivitas panas λ didefinisikan sebagai jumlah panas Q yang ditransmisikan melalui ketebalan bahan L tegak lurus permukaan A karena perbedaan suhu ΔT pada kondisi stabil dan ketikan pindah panas hanya dipengaruhi oleh perbedaan suhu. Konduktivitas panas dihitung dengan persamaan berikut:
λ = Q × L / (A × ΔT) ... (3) 3. Difusivitas panas
Difusifitas panas didefinisikan sebagai laju perambatan panas secara difusi dalam suatu bahan (Mohsenin, 1980). Dalam hubungannya dengan sifat panas yang lain difusivitas merupakan perbandingan dari konduktivitas panas K dengan kapasitas panas volumetrik Cw, dimana kapasitas panas volumetrik merupakan hasil kali antara massa jenis ρ dengan panas jenis Cp, sehingga difusivitas panas α dapat dirumuskan sebagai berikut:
α = ρ
... (4) Dengan diketahuinya nilai difusivitas panas bahan maka akan diketahui laju panas yang didifusikan keluar dari bahan sehingga akan dapat diduga waktu yang diperlukan untuk suatu proses perlakuan panas.
D. Pengeringan Kayu
Pengeringan kayu adalah proses pengeluaran air yang terdapat dalam kayu merupakan suatu rangkaian kegiatan penggergajian (industri primer) dan industri sekunder (Dephutbun RI, 1998). Metode pengeringan yang biasa digunakan saat ini adalah pengeringan alami atau pengeringan matahari dan pengeringan mekanis.
1. Pengeringan Matahari
Pengeringan matahari adalah pengeringan yang menggunakan energi surya sebagai sumber energi panasnya. Prinsipnya adalah mengumpulkan energi panas untuk mencapai suhu tertentu dan suhu ini digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam kayu (Rasmussen, 1961).
Pengeringan matahari sangat tergantung pada jumlah radiasi yang diterima oleh bangunan pengering (Jansen,1995). Nilai rata-rata intensitas radiasi yang dipancarkan ke permukaan bumi melalui atmosfer untuk daerah khatulistiwa sebesar 1353 W/m2 (Kamaruddin et al, 1998) dan selanjutnya dapat kita sebut radiasi ekstraterestrial. Menurut Tiwari (1998) fluktuasi nilai radiasi ekstraterestrial ini berkisar antara 1350 hingga 1440 W/m2. Radiasi yang selanjutnya menentukan adalah besarnya radiasi langsung pada daerah terestrial dimana bangunan tersebut berada. rata-rata radiasi terestrial normal sebesar 781,6 W/m2. Hasil perhitungan total, besarnya intensitas radiasi matahari yang diterima oleh bangunan sebesar 757 W/m2. Besarnya nilai radiasi harian dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 4. Grafik radiasi matahari harian 2. Pengeringan mekanis
Pengeringan mekanis adalah pengeringan yang menggunakan bahan bakar atau listrik sebagai sumber panasnya (Rasmussen, 1961). Pengeringan tipe ini menggunakan pemanas untuk menaikkan suhu lalu mengalirkan udara panas tersebut menggunakan kipas atau blower. Pengeringan mekanis dapat menurunkan kadar air lebih cepat daripada pengeringan alami, namun peralatan yang digunakan relatif lebih mahal.
Pada pengeringan alami, kondisi cuaca sangat menentukan kecepatan kayu mengering. Sedangkan pada pengeringan mekanis ketiga faktor pengeringan, yaitu: suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara dapat diatur sehingga kayu dapat mengering dengan cepat dan bisa mencapai kadar air di bawah 12% (Dephutbun RI, 1998).
Dengan adanya pengeringan akan diperoleh keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Berat kayu akan berkurang, sehingga biaya pengangkutan berkurang (Rietz &
Page, 1971; Prayitno, 1994)
2. Penyusutan yang menyertai pengeringan terjadi sebelum kayu digunakan sebagai produk akhir. Perubahan kadar air seimbang yang kecil akan meminimumkan penyusutan dan pengembangan kayu dalam pemakaiannya sebagai produk akhir sehingga mencegah retak dan pecah yang mungkin terjadi (Rietz & Page, 1971;
Prayitno, 1994; Marsoem, 1999)
3. Hampir sernua sifat mekanika kayu akan naik. Kekuatan pukul (impact bending) 0
200 400 600 800 1000 1200
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Global Radiation (W/m2)
Pukul Penyinaran (jam) global radiation (Iti)
kayu yang sudah dikeringkan akan sama atau sedikit lebih kecil dibanding kayu basah. Kekuatan geser, tarik, lengkung dan elastisitas akan naik sekitar 3% 6%
setiap 1% penurunan kadar air setelah melewati titik jenuh serat. Keadaan ini disebabkan karena kayu sudah dikeringkan mempunyai jumlah massa dinding sel kayu yang lebih besar dan lebih banyak dibanding kayu basah pada volume yang sama (Brown & Bethel, 1965, Rietz & Page, 1971; Prayitno, 1994)
4. Umur pakai kayu akan bertambah karena kemungkiman serangan mikrobia pembusuk dan cendawan penyebab noda akan sulit hidup pada kayu dengan kadar air dibawah 20% (Brown & Bethel, 1965; Rietz & Page, 1971; Prayitno, 1994) 5. Kayu yang dikeringkan mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap serangan
serangga perusak kayu (Prayitno, 1994; Hadikusumo, 1994)
6. Kekuatan sambungan sambungan yang terbuat dari paku dan baut akan lebih besar pada kayu kering daripada kayu basah (Rietz & Page, 1971)
7. Kayu yang sudah dikeringkan mempunyai sifat lebih baik untuk perekatan dan penggunaan akhir (Rietz & Page, 197 1; Prayitno, 1994)
8. Kayu yang sudah dikeringkan mempunyai sifat lebih baik untuk perlakuan bahan kimia, pengawet dan penghambat kebakaran (Rietz & Page, 1971; Prayitno, 1994) 9. Kayu yang sudah dikeringkan mempunyai sifat permesinan lebih baik karena
dapat dipotong pada ukuran tepat dengan permukaan yang halus (Prayitno, 1994) 10. Kayu yang sudah dikeringkan mempunyai sifat isolasi listrik dan isolasi panas
yang lebih baik daripada kayu basah (Rietz & Page, 1971; Prayitno, 1994)
Menurut (Hadikusumo, 1994), kecepatan pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kayu, tebal kayu, kadar air awal, kayu dalam batang (kayu gubal dan kayu teras) dan keadaan lingkungan (suhu, kelembaban, kecepatan angin)
1. Jenis kayu. Kayu yang ringan biasanya lebih cepat kering daripada kayu tebal.
Dimana kecepatannya dipengaruhi oleh struktur dan sifat kayunya (Brown dan Bethel,1965).
2. Tebal kayu. Makin tebal kayu maka akan semakin lama waktu pengeringan.
Hal ini karena. waktu yang dibutuhkan air untuk bergerak dari dalam ke permukaan. kayu akan lebih lama dari kayu yang lebih tipis di bawah keadaan atmosfer yang sama (Brown dan Bethel, 1965).
3. Kadar air awal. Kadar air awal mula mula di dalam kayu segar akan berpengaruh terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan air untuk bergerak dari dalam ke permukaan. kayu akan lebih lama daripada kayu yang lebih tipis di bawah keadaan atmosfer yang sama (Brown dan Bethel, 1965)
4. Potongan papan. Potongan papan atau arah penampang berpengaruh terhadap keluarnya air dari dalam kayu. Hal ini berkaitan dengan struktur sel kayunya.
Sebagian besar kadar air akan dikeluarkan nelalui penampang melintang daripada melalui penampang radial dan tangensial ( Brown dan Bethel,1965). Hal ini disebabkan karena sel-sel pembuluh tersusun dalam seri yang sejajar dengan sumbu pohon, dan pori pori kayu terclapat pada penampang melintang.
5. Letak kayu dalam batang (kayu Gubal dan Kayu Teras). Kayu teras kurang permeabel terhadap cairan bila dibandingkan kayu gubal sehingga lebih lambat mengering (Rietz dan Page, 197 1)
6. Keadaan Lingkungan (Suhu, Kelembaban, dan Kecepatan Angin).
Menurut Martelli dalam Hadikusumo (1986), bahwa dalam pengeringan kayu syarat utama yang harus dipenuhi yaitu cukup energi dan kelembaban untuk untuk mengeluarkan air terutama air yang terdapat dalam dinding sel, dan sirkulasi udara yang cukup sehingga panas yang dihantarkan dapat merata mengenai seluruh permukaan kayu dari setiap tumpukan. Sirkulasi udara yang normal untuk mengeringkan kayu sekitar 2 in per detik. Kecepatan udara yang kurang dari 1,5 m per detik dapat menyebakan kayu mengering sangat lambat.
a. Suhu udara
Menurut Prayitno (1994), suhu udara berhubungan. dengan kemampuan udara untuk menerima dan menahan molekul uap air yang tetap dalam udara dan kemudian keluar dari udara dalam bentuk embun. Semakin tinggi suhu udara maka semakin banyak molekul uap air yang mampu diterima dan ditahan dalam udara menurut Yudidobroto (1980). Fungsi dari suhu udara tinggi atau panas dalam proses pengeningan kayu akan menaikkan tekanan udara dalam kayu dan menguapkan air yang terdapat di permukaan kayu. Pengaruh suhu udara terhadap proses proses pengeringan adalah semakin tinggi suhu udara dalam alat pengering, makin cepat penguapan air dari dalam kayu.
b. Kelembaban relatif
Menurut Vlasov et al (1968) dan Prayitno (1994), kelembaban relatif adalah perbandingan antara tekanan uap dalam udara dengan tekanan uap dalam keadaan jenuh, yang dinyatakan dalam persen pada suhu yang sama. Pengaruh kelembaban relatif terhadap pengeringan kayu adalah semakin rendah kelembaban udara di sekitar kayu yang dikeringkan, proses pengeringan akan semakin cepat.
c. Sirkulasi udara
Menurut Prayitno, (1994) terdapat 2 kelompok sirkulasi udara yaitu sirkulasi udara internal dan sirkulasi udara eksternal. Sirkulasi udara internal adalah sirkulasi udara, yang membawa panas dari permukaan radiator ke permukaan kayu. Sirkulasi udara eksternal adalah sirkulasi udara, yang membawa udara segar dari luar alat pengering dan membawa udara jenuh air keluar dari alat pengering.
Menurut Yudodibroto (1980), fungsi dari panas di dalam proses pengeringan kayu adalah untuk menaikkan tekanan udara dan uap di dalam kayu dan menguapkan air yang terdapat dipermukaan kayu. Semakin tinggi temperatur maka semakin cepat penguapan air dari dalam kayu. Semakin rendah kelembaban udara sekitar udara sekitar kayu yang dikeringkan maka proses pengeringan kayu akan semakin cepat. Fungsi udara adalah sebagai medium pembawa panas di dalam proses pengeringan kayu. Dengan semakin cepatnya sirkulasi udara, maka proses pengangkutan kelembaban di permukaan kayu akan semakin cepat.
Kecepatan angin yang tinggi akan mempercepat pengeringan. Menurut Yudodibroto (1981), dengan dicapainya suhu yang relatif lebih tinggi dalam alat pengeringan kayu yang menggunakan tenaga, radiasi matahari maka mungkin sekali pengeningan kayu didalamnya, dapat terlaksana lebih cepat daripada pengeringan alami Jika kelembaban relatif udara dapat diturunkan dan sirkulasi udara dapat disempurnakan.
E. Cacat-cacat Pengeringan Kayu
Cacat-cacat pengeringan. yang sering terjadi digolongkan menjadi 3 kelas, yang didasarkan pada penyebabnya yaitu penyusutan, cendawan, dan bahan bahan kimia di dalam kayu, dan ini terjadi pada. pengeringan alami maupun buatan.
Penyusutan terjadi jika pengeringan dilakukan di bawah titik jenuh serat. Menurut Hadikusumo (1994), retak yang terjadi pada kayu yang dikeringkan disebabkan
oleh pengeringan yang terlalu cepat. Pengeringan yang terlalu cepat akan menyebabkan lapisan kayu baglan luar menjadi kering, sementara lapisan kayu bagian dalam lapisan masih basah. Karena kering, lapisan luar menyusut tetapi dihalangi oleh lapisan dalam yang masih basah. Apabila pengeringan terlalu cepat gaya yang terjadi karena penyusutan ini sering lebih besar danipada kekuatan kayu itu sendiri sehingga terjadi retak. Masing-masing jenis kayu berbeda ketahanannya dalam menghadapi retak pada kondisi pengeringan yang sama.
Pelengkungan pada kayu yang dikeringkan disebabkan oleh adanya perbedaan penyusutan pada kedua permukaan kayu atau pada kedua sisi kayu.
Pelengkungan memangkuk biasanya mudah dihindari dengan cara penumpukan yang baik dengan menggunakan ganjal-ganjal yang lurus dan tebalnya seragam.
Pelengkungan yang lain adalah pelengkungan membusur. Pelengkungan ini terjadi karena adanya penyusutan pada arah longitudinal yang terjadi pada papan yang mengandung kayu juvenil dan papan yang mengandung kayu reaksi. Kayu reaksi terdapat pada batang yang miring tumbuhnya.
Penyusutan arah longitudinal pada kayu reaksi dan kayu juvenil jauh lebih besar daripada kayu dewasa dan kayu normal, sehingga papan yang mengandung kaya juvenil atau kayu reaksi akan membusur pada pengeringan. Untuk menghindari keretakan dengan melabur kedua ujung papan kayu dengan larutan kimia (flinkote) (Martawijaya,1976). Cendawan menimbulkan cacat berupa noda, busuk dan lapuk yang terjadi pada suhu dan kelembaban yang menguntungkan dalam pengeringan. Akibat yang ditimbulkan antara lain perubahan warna kayu dan berkurangnya kekuatan kayu. Cara menghindarinya adalah mengeringkan kayu sampai di bawah 20% kadar airnya, atau menyemprot zat kimia.
Menurut Hadikusumo (1994), retak yang terjadi pada kayu yang dikeringkan disebabkan oleh pengeringan yang terlalu cepat. Pengeringan kayu yang terIalu cepat akan menyebabkan lapisan kayu bagian luar menjadi kering, sementara lapisan kayu bagian dalam lapisan masih basah. Karena kering, lapisan luar manyusut tertapi dihalang halangi oleh lapisan dalam yang masih basah.
Apabila pengeringan terlalu cepat, gaya yang teriadi karena penyusutan im sering lebih besar dari daripada kekuatan kayu itu sendiri sehingga terjadi retak.
Pelengkungan pada kayu yang dikeringkan disebabkan oleh adanya perbedaan penyusutan pada kedua permukaan kayu atau pada kedua sisi kayu.
Menurut Hadikusumo (1986), tindakan pengeringan kayu yang cepat dilaksanakan akan dapat menghindarkan kayu dari serangan cendawan pewarna seperti blue stain. Jamur pewarna kayu akan berkembang mengikuti bagian kayu yang sukar kering, sebab udara dan kadar air pada bagian tersebut berada dalam keadaaan yang optimum bagi perturnbuhannya. Menurut Supriana (1976), tindakan pertama yang harus dilakukan untuk mencegah serangan bluestain pada kayu gergajian adalah dengan mengeringkannya dengan cepat.
F. Teori Pengeringan
Hall (1957) menyatakan pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia. Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air bahan ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Agar suatu bahan dapat menjadi kering, maka udara harus memiliki kandungan uap air atau kelembaban nisbi yang lebih rendah dari bahan yang akan dikeringkan.
Selama proses pengeringan terjadi dua proses yaitu proses pindah panas dan pindah massa air yang terjadi secara simultan. Panas dibutuhkan untuk menguapkan air bahan yang akan dikeringkan. Penguapan terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara di sekelilingnya. Proses pindah panas diperlukan untuk memindahkan massa uap air dari permukaan ke udara. Pindah panas terjadi karena tekanan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari pada di udara. Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap, air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan bahan dan pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air karena perbedaan tekanan pada bagian dalam dan bagian luar (Henderson dan Perry, 1976). Proses pengeringan bahan oleh udara pengering di dalam ruang pengering dapat dilihat pada grafik psikrometrik berikut.
G
b
b
p d p b p d
Gambar 5. G Kada bahan terseb 1976). Pada bebas dan se
Pada pengeringan dapat diliha perpindahan bahan (Broo pengeringan dibatasi oleh
Grafik Psikro ar air suatu but, baik ber a proses pen
etelah air beb
Gam a proses pe n konstan da
at pada Gam n air interna
oker et al, 1 n yang kemu
h kadar air kr AB
C Berat D
ometrik Pros bahan men rupa air beb geringan, ya bas maka pe
mbar 6. Kurv engeringan an laju peng
mbar 7. Laj al labih keci 974). Laju p udian diikuti
ritis (critica
ses Pengerin nunjukkan ju bas maupun ang pertama enguapan sel
va pengering terdapat du eringan men aju pengerin
il dari perp pengeringan i oleh laju p l moisture co E Waktu
ngan di dalam umlah air y
air terikat ( a mengalami lanjutnya terj
an (Hall, 195 ua laju pen nurun. Grafi ngan konstan
indahan uap n konstan ter pengeringan ontent) (Hen
m Ruang Pen yang dikandu
(Henderson i penguapan rjadi pada air
57) ngeringan, ik laju peng n terjadi ka p air pada p rjadi pada a n menurun. P
nderson, 197
ngering.
ung dalam dan Perry, n adalah air
r terikat.
yaitu laju eringan ini arena gaya
permukaan awal proses Periode ini 76).
Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada biji-bijian umumnya kadar air ketika pengeringan dimulai lebih kecil dari kadar air kritis, sehingga pengeringan yang terjadi adalah proses pengeringan menurun.
Laju pengeringan semakin lama akan semakin menurun (Gambar 3).
Besarnya laju pengeringan berbeda pada setiap bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah:
1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan.
2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktifitas termal dan emisivitas termal.
3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal 4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu
Gambar 7. Kurva karakteristik pengeringan (Hall, 1957) dimana:
A-B adalah periode pemanasan B-C adalah laju pengeringan konstan C adalah kadar air kritis
C-D adalah periode penurunan laju pengeringan pertama D-E adalah periode penurunan laju pengeringan kedua
E
D
C B
A
Laju Penurunan KA
Kadar Air Laju pengeringan
menurun
Laju pengeringan tetap
G. Kadar Air Kesetimbangan Dan Konstanta Pengeringan 1. Kadar Air Kesetimbangan
Kadar air keseimbangan merupakan kadar air suatu bahan pada saat bahan tersebut mengalami tekanan uap air yang seimbang dengan lingkungannya (Heldman dan Singh, 1981). Pada saat terjadi keseimbangan kadar air, jumlah air yang menguap sama dengan jumlah air yang diserap oleh bahan. Konsep kadar air keseimbangan diperlukan dalam analisis sistem penyimpanan dan pengeringan hasil pertanian, karena kadar air keseimbangan menentukan tingkat kadar air minimum yang dapat dicapai pada suatu kondisi pengeringan tertentu. Kadar air keseimbangan suatu bahan merupakan sifat spesifik yang besarnya dipengaruhi oleh kelembaban relatif dan suhu lingkungan, jenis bahan dan tingkat kematangan bahan (Manalu, 2001).
Penurunan kadar air suatu bahan yang diletakkan di dalam suatu ruang dengan kelembaban relatif rendah dan suhu tinggi disebut desorpsi. Sebaliknya bila suatu bahan yang relatif kering menyerap air dari lingkungan yang mempunyai kelembaban relatif lebih tinggi dan suhu rendah, dikatakan bahwa bahan tersebut mencapai kadar air keseimbangannya melalui adsorpsi. Proses ini disebut juga sorpsi isotermis (Henderson dan Perry, 1976).
Ada perbedaan yang nyata antara kadar air desorpsi dan adsorpsi pada kondisi suhu dan RH yang sama yaitu bahwa kadar air keseimbangan desoprsi lebih tinggi dari pada kadar air keseimbangan adsorpsi. Fenomena ini disebut histerisis (Christensen, 1974 di dalam Manalu, 2001).
Plot antara kadar air dan RH pada suhu tertentu dikenal sebagai kurva kadar air keseimbangan pada suhu tetap atau sorpsi isotermis. Untuk produk pertanian kurvanya berbentuk sigmoid (berbentuk S) (Manalu, 2001)
Menurut Brooker et al., (1981) ada dua cara atau metode untuk menentukan kadar air keseimbangan yaitu metode statis dan dinamis. Pada metode statis bahan dibiarkan dalam keadaan tenang untuk mencapai keseimbangannya, biasanya dipergunakan larutan kimia untuk menjaga kemantapan RH lingkungannya. Untuk mencapai keseimbangan diperlukan waktu beberapa hari. Pada metode dinamis ada mekanisme pergerakan udara, cara ini lebih cepat, akan tetapi memikili kendala pada pengendalian RHnya.
Metode dinamis pada umumnya dipakai pada analisis pengeringan sedangkan metode statis untuk analisis penyimpanan.
Kadar air keseimbangan merupakan fungsi dari kelembaban relatif (RH) dan suhu mutlak (T), dimana hubungan antara Me, RH dan T dinyatakan sebagai berikut (Henderson dan Perry, 1976):
1 exp ... ... (5) Penjabaran Rumus diatas menghasilkan rumus berikut:
ln ( ln ( 1-RH )-1) = ln c + ln T + n ln Me ... (6) Untuk bahan kayu, U.S. Forest Products Laboratory menyatakan bahwa kadar air kesetimbangan merupakan fungsi dari suhu dan RH sebagai berikut:
Me = 1800/W
[
K KH K K K HK KH K K K H
]
... (7) Dimana:Me = Kadar Air (%) T = Suhu (oF) H = RH (/100)
dan
W = 330 + 0.452T + 0.00415T2 ... (8) K = 0.791 + 0.000463T - 0.000000844T2 ... (9) K1 = 6.34 + 0.000775T - 0.0000935T2 ... (10) K2 = 1.09 + 0.0284T - 0.0000904T2 ... (11) 2. Konstanta Pengeringan
Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas. Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam). Makin tinggi nilai konstanta pengeringan makin cepat suatu bahan membebaskan airnya.
Konstanta pengeringan (k) merupakan fungsi dari difusifitas dan geometri bahan dan merupakan penyederhanaan dalam memecahkan persamaan difusi. Konstanta pengeringan bervariasi terhadap suhu mengikuti persamaan Arrhenius (Brooker et al., 1981) sebagai berikut:
... (12) Menurut Henderson dan Perry (1976) untuk menghitung konstanta pengeringan digunakan rumus berikut:
e-kt ... (13) Dimana A merupakan koefisien yang tergantung dari bentuk partikel, yang besarnya sekitar 8π-2 atau 0,810569 untuk benda berbentuk lempeng.
Penjabaran persamaan (13) menghasilkan persamaan berikut:
k = ...(14) H. Model Pengeringan Lapisan Tipis
Pengeringan lapisan tipis didefinisikan sebagai pengeringan satu lapis bahan yang terbuka terhadap udara pada suhu dan RH konstan (Ban, 1974). Sedangkan menurut Henderson dan Perry (1976) pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan dimana seluruh bahan tersebut dapat menerima langsung aliran udara pengering yang melewatinya dengan kelembaban relatif dan suhu konstan.
Luikov (1966) dalam Broker dan Arkema telah mengembangkan model matematik dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses pengeringan lapisan tipis sebagai berikut:
= K M K θ K P = K M K θ K P
= K M K θ K P ... (15) Dimana K11, K22, dan K33 adalah koefisien fenomena dan nilai K yang lain menunjukkan koefisien penggandaan. Hasil penggandaan adalah kombinasi dari efek kadar air, suhu, energi dan pindah massa total.
Pengeringan buatan berada pada suatu kondisi yang mengizinkan penyederhanaan persamaan pengeringan Luikov. Contohnya, penurunan kadar air karena perbedaan tekanan hanya signifikan saat suhu bahan berada diatas suhu yang digunakan pada pengeringan biji-bijian. Hal ini berarti pengaruh tekanan
dapat dihilangkan dari sistem persamaan Luikov. Oleh karena itu, persamaan pengeringan Luikov dimodifikasi menjadi:
= K M K θ
= K M K θ...(16) Dua persamaan diatas telah digunakan pada pengeringan beberapa jenis bahan termasuk jagung (Husain et al.,1972). Dari pengeringan tersebut dapat disimpulkan bahwa efek penggandaan suhu dan kadar air dalam analisis pengeringan bahan hanya diperlukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu, persamaan fenomena dapat diubah menjadi:
= K M
= K θ ...(17) Karena gradien tekanan total dan suhu dapat diabaikan dalam praktek pengeringan (Broker et al., 1974) maka persamaan (10) dapat disederhanakan menjadi:
= K M ... (18) Pada umumnya pergerakan air dalam bahan dapat dianggap berlangsung secara difusi, maka koefisien K11 disebut koefisien difusifitas (D).
Dengan menganggap nilai D konstan dan difusi berlangsung dari pusat ke permukaan maka persamaan (11) dapat dinyatakan sebagai:
= D [ + ] ... (19) Kondisi awal : M (r,0) = M(in)
Kondisi batas: M (r0,t) = Me(eq)
Dimana c = 0 untuk benda lempeng tak berhingga, gabungan untuk badan silinder dan c = 2 untuk benda berbentuk bola dan r adalah jari-jari atau setengah ketebalan bahan.
Untuk menghitung konstanta pengeringan digunakan persamaan Henderson dan Perry seperti tercantum pada persamaan (13).
I. Proses Pindah Panas pada Pengering
Panas yang masuk ke dalam bangunan pengering berasala dari lingkungan dan akan dikeluarkan kembali ke lingkungan. Perpindahan panas ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan di dalam dan luar bangunan. Hal yang demikian akan membuat terjadi pergerakan fluida antara di dalam dan di luar untuk menyeimbangkan energi.
Soegijanto (1999) menyatakan bahwa bangunan akan mendapatkan perolehan panas dan mengeluarkan atau kehilangan panas ke lingkungan sekitarnya, perolehan dan pengeluaran panas dapat terjadi melalui peristiwa perpindahan panas. Proses pindah panas yang terjadi pada bangunan tersebut terjadi melalui beberapa jenis pindah panas, yaitu radiasi, konveksi dan konduksi.
1. Pindah Panas Radiasi
Radiasi adalah proses transfer energi melalui gelombang elektromagnet.
Radiasi tidak merambat pada suatu material dan terjadi pada ruang hampa.
Radiasi merupakan bagian dari energi yang dapat dinilai berdasarkan besarnya suhu. Saat energi radiasi mengelilingi setiap bagian atau seluruh partikel maka akan terjadi perpindahan panas. Besarnya energi radiasi bergantung pada suhu permukaan dari pertikel tersebut.
Tiwari (1998) menyatakan bahwa persamaan besarnya perpindahan panas karena radiasi digambarkan oleh persamaan berikut:
Q = ε σ T4 ...(20) Keterangan:
ε = Emisivitas permukaan benda
σ = Konstanta Stevan-Boltsman, 5,67 x 10-8 W/m2K4 T = Suhu permukaan luar, K
Q = Pindah panas radiasi, W/m2 2. Pindah panas konveksi
Konveksi adalah transfer panas dari satu bagian fluida ke beberapa bagian lain dengan suhu rendah dari pencampuran partikel fluida. Pergerakan fluida dapat terjadi karena adanya paksaan ataupun secara alami. Apabila pergerakan fluida disebabkan oleh perbedaan tekanan maka kondisi itu disebut konveksi paksa (Tiwari, 1998).
Davies, Morris (2004) pada proses percepatan sentrifugal gravitasi perlu digantikan posisinya sesuai dengan posisi fluida, gaya gaya pergerakan akibat viskositas ini dapat diabaikan. Pada dua plat dengan perbedaan perubahan suhu yang kecil dimana salah satu plat diberikan pendinginan maka akan menyebabkan terhambatnya pergerakan dari aliran udara pada posisi tersebut, sehingga kondisi ini disebut Rayleigh Number.
Q = h A ΔT ...(21) Keterangan:
Q = Pindah panas konveksi, W/m2 h = Koefisien pindah panas A = Luas Permukaan, m2
ΔT = Perbedaan suhu permukaan bahan dengan udara, K.
Untuk konduktivitas panas konveksi (h) pada permukaan vertikal (v) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah.
a. Hubungan karakteristik udara menggunakan Reynold Number (Re)
Re =ρ V ... (22) b. Hubungan pindah panas dan pergerakan udara menggunakan Prandtl Number (Pr)
Pr = ...(23) c. Hubungan gaya angkat hidrostatik fluida pada konveksi menggunakan Grashof Number (Gr)
Gr = ∆ = ∆ ...(24) d. Pindah panas pada konveksi paksa (Tiwari, 1998) menggunakan Nusselt Number (Nu)
Nu = 0,8 (Re Pr)0,25 K ...(25) e. Koefisien pindah panas pada bidang vertikal (Tiwari, 1998) menggunakan rumus
K =
[
√
]
1/4...(26)f. Koefisien konveksi pada bidang vertikal dengan kecepatan udara laminer (Hollman, 1992) menggunakan rumus
h = 1,42
(
∆)
1/4...(27) Keterangan:Re = Reynold Number Pr = Prandtl Number Gr = Grashof Number
ρ = Massa jenis udara, kg/m3 v = Kecepatan Udara, m/s x = Tebal bahan, m
μ = Viskositas dinamis, kg/m2s Cp = Panas jenis, W/m2K
K = Konduktivitas Panas, W/m2K
β = Koefisien volumetrik ekspansi panas g = akselarasi grafitasi, m/s2
ΔT = Perbedaan suhu udara dan bahan, K 3. Pindah Panas Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas yang merambat dari material satu ke material lain atau merambat dari satu partikel ke partikel lain. Pindah panas konduksi biasanya terjadi pada daerah lantai dan lapisan dinding. Besarnya perpindahan panas karena konduksi digambarkan oleh persamaan berikut:
Q = - K = ( T1 – T2 ) ...(28) Keterangan:
Q = Pindah panas Konduksi, W/m2 T = Suhu, K
X = Jarak antar material, m K = Thermal conductivity, W/m2C S = Ketebalan material, m
T1 = Suhu Udara, K T2 = Suhu Material, K
J. Energi dan Efisiensi Pengeringan
Energi pengeringan adalah energi yang digunakan untuk memanaskan bahan dan menguapkan air dari bahan. Energi pengeringan merupakan penjumlahan antara energi yang digunakan untuk memanaskan bahan (Q1) dan energi untuk menguapkan air dari bahan (Q2), dimana:
Q1 = mww Cpw (Tw – Ta) ... (29) Q2 = mu Hv ... (30) Mu = mww ... (31) Dengan:
Mww = Massa kayu basah, kg Mi = Kadar air awal kayu, %bb Mf = Kadar akhir awal kayu, %bb Cpw = Panas Jenis kayu, kJ/kg K Tws = Suhu Permukaan kayu, oC Ta = Suhu pengering, oC
Hv = panas laten penguapan pada Tk, kJ/kg K
Efisiensi pengeringan adalah perbandingan antara energi pengeringan dengan energi yang diberikan oleh sistem pengering (kipas dan pemanas).
Perhitungan efisiensi pengeringan berguna untuk pendugaan pengeringan dan pemilihan alternatif alat pengering. Efisiensi pengeringan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Esp = 100% ... (32) Dimana:
Esp = Efisiensi pengeringan, %
Qu = Energi total yang digunakan untuk memanaskan dan menguapkan air selama pengeringan berlangsung, Joule
Qt = Energi yang diberikan oleh sistem pengering. Joule
Energi yang diberikan pengering (Qt) adalah penjumlahan energi yang digunakan untuk memutar kipas (Qk) dan energi alat pemanas heater (Qh).
Qt = Qk + Qh
K. A
a b G s d
J l m p
G
Dimana:
Qk = 3.6 P Qh = 3.6 P Dengan:
Pk = Day Ph = Day Δt = Wak Alat Musik Gitar a atau sebuah bergetar. Gi Gitar akustik senar gitar y dalam ruang
Suara Jenis kayu listrik adala menjadi arus penguat dan
Suara Getaran ters
Pk Δt ...
Ph Δt...
a kipas, Wat a pemanas h ktu pengering
Gitar adalah alat m
plektrum (a itar bisa ber k adalah jen yang dialirk g suara.
di dalam ru akan memp ah sejenis gi
s listrik yang n loud speake gitar dihasi sebut meram
...
...
tt
heater, Watt gan, Jam.
musik berdaw alat petik gita
rupa gitar a nis gitar dim kan melalui
Gambar 8. G ang suara in engaruhi su itar yang m g akan dikua er. (Simon,1
ilkan dari s mbat dengan
...
...
wai yang dim ar). Bunyiny akustik atau
ana suara ya sadel dan je
Gitar akustik ni akan beres uara yang di mengubah bu atkan kemba
998).
senar yang m n adanya per
...
...
mainkan den ya dihasilkan listrik, atau ang dihasilk embatan tem
k dan bagian sonansi terha ihasilkan ole unyi atau ge ali dengan m
menggetarka rsentuhan an
...
...
ngan jari-jem n dari senar- u gabungan
an berasal d mpat pengika
nnya
adap kayu b eh gitar aku etaran dari menggunakan
an udara di ntar udara. G
...(33) ..(34)
mari tangan -senar yang keduanya.
dari getaran at senar ke
badan gitar.
ustik. Gitar senar gitar n perangkat
isekitarnya.
Getaran ini
berupa gelombang bunyi. Gelombang bunyi terdiri dari molekul-molekul udara yang bergetar maju-mundur. Tiap saat, molekul-molekul itu berdesakan di beberapa tempat, sehingga menghasilkan wilayah tekanan tinggi, tapi di tempat lain merenggang, sehingga menghasilkan wilayah tekanan rendah. Gelombang bertekanan tinggi dan rendah secara bergantian bergerak di udara, menyebar dari sumber bunyi. Gelombang bunyi ini menghantarkan bunyi ke telinga manusia lalu diartikan oleh indera pendengar (Simon, 1998).
Gelombang bunyi yang dihasilkan dari getaran senar akan dipantulkan oleh badan gitar berupa kayu. Pemantulan gelombang ini akan menyebabkan terjadinya gema. Kejernihan suara tergantung kemampuan medium untuk menyerap dan memantulkan suara. Medium suara dapat berupa udara, cairan ataupun benda padat.(Simon, 1998). Pada alat musik gitar, medium pemantul suara adalah kayu badan gitar berupa kayu, oleh karena itu kejernihan suara tergantung pada kemampuan kayu untuk menyerap dan memantulkan suara.
Tiap jenis kayu memiliki kemampuan pemantulan yang berbeda untuk selang frekuensi yang berbeda. Setiap jenis musik memiliki keperluan rentang suara tertentu, seperti musik rock biasa dimainkan dengan nada yang tinggi, musik klasik dengan rentang suara yang panjang dari frekuensi rendah hingga menengah dan musik bass memerlukan kayu dengan rentang suara yang rendah namun keras.
Tabel 1. Karakteristik beberapa jenis kayu
No Nama Kayu Treble Mid Bass Berat Kekerasan
1 Alder 6 7 6 sedang Sedang
2 Meranti 5 7 8 berat Sedang
3 White ash 8 5 7 berat Rendah
4 Maple 7 6 5 berat Berat
5 Padauk 8 5 5 berat Keras
6 Koa 6 8 7 berat Keras
7 Rosewood 5 8 6 berat Keras
8 Basswood 6 6 5 ringan Lembut
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2010.
Pengukuran kadar air dilaksanakan di Laboratorium Kekuatan Bahan Departemen Teknik Pertanian, Laboratorium Pindah Panas dan Massa dan Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian FATETA IPB.
B. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu meranti yang sudah digergaji berupa papan. Ukuran kayu gergajian adalah tebal, lebar dan panjang berturut-turut adalah 5mm, 50 mm dan 150 mm.
Gambar 9. Bahan kayu meranti yang dikeringkan.
C. Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum pengeringan kayu ini adalah sebagai berikut:
1. Oven kayu merk Tanifuji TG-112D, dengan suhu operasi hingga 300 0C, beroperasi secara otomatis, memuat 5 rak, dengan dimensi panjang, lebar dan tinggi berturut-turut 125 cm, 66 cm dan 70 cm (gambar a)
2. Recorder hybrid merk Yokogawa tipe MV 1000 dengan 24 titik input, memori penyimpanan 200 MB, rentang pengukuran hingga 75 hari berturut- turut,penyimpanan data dalam flask memory USB dan tampilan layar digital (gambar d)
3. Timbangan digital Merk AND tipe HL-100 dengan kapasitas timbangan maksimal 100gram, ketelitian hingga 0,01 gram, beroperasi dengan 6 batang baterai AA dan adaptor, suhu 10 - 40 0C, RH 85 %, berfungsi untuk mengukur berat sampel kayu selama pengeringan (gambar f)
4. Thermal Conductivity Meter merk Kemtherm QTM D3, untuk mengukur konduktivitas panas kayu (gambar b)
5. Kalorimeter plastik, berfungsi untuk mengukur panas jenis kayu (gambar c) 6. Pipa U dengan ketelitian 1mm, untuk mengukur tekanan udara di dalam oven 7. Termometer bola basah dan bola kering
8. Obeng, dengan berbagai macam ukuran untuk memasang termokopel pada recorder
9. Penggaris dan jangka sorong, unuk mengukur dimensi sampel 10. Lilin dan korek api, untuk melapisi sampel pengukuran berat jenis 11. Selotip, untuk menempelkan peralatan pada oven
12. Ganjal dari kayu,untuk menopang sampel
13. Gelas ukur, berfungsi untuk menghitung laju penguapan
14. Plastik berfungsi untuk menyimpan contoh uji kayu yang telah dipotong agar air yang dikandung kayu tidak cepat keluar.
15. Klem, untuk menjepit kayu yang akan disambung (gambar e)
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
Gambar 10. Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian (a) Oven kayu Tanifuji, (b) Kemtherm Thermal Conductivity Meter, (c) kalorimeter, (d) Hybrid Recorder Yokogawa (e) Klem, (f) timbangan digital dan peralatan lain.
D. T
p p
Tahapan Pe Kegi peralatan, p penurunan k
1. Persi
ukur 2. Persi
kayu samp seban 13 c poton
Ko
enelitian iatan penelit persiapan b kadar air .
iapan peralat Persiapan pada oven, iapan bahan Sampel y u hasil gergaj
pel kayu be nyak 5 poto m x 7 cm ng dan samp onduktivitas
panas
tian terdiri ahan, pengu
Gambar tan
n peralatan t dan pengece
yang digunak aji sebanyak erukuran pan ong untuk pe x 2 cm unt pel untuk pe Pengukuran
panas
Panas spes
dari empat ukuran sifa
11. Tahapan
erdiri dari k ekan alat.
kan terdiri d 500gram un njang, lebar engukuran b
tuk uji kond engeringan b M
Persiap
persi
sifat
sifik Be
tahapan, ya at panas ba
n penelitian
alibrasi alat
dari empat je ntuk penguku r dan tebal berat jenis, s duktivitas p berukuran 15
Meranti
pan peralatan
iapan bahan
rat jenis
aitu tahapan ahan dan p
ukur, pemas
enis jenis, ya kuran sifat te
2 cm x 2cm ampel kayu anas kayu s 5 cm x 5 cm
Pengukuran air
Pengamatan fisik
Pembuatan
Pengukuran k suara
n persiapan pengukuran
sangan alat
aitu serbuk ermal kayu, m x 2 cm berukuran sejumlah 5 m x 0,5 cm
kadar
n cacat
gitar
kualitas
3. Pengukuran sifat panas kayu
Pengukuran sifat panas kayu terdiri dari 3 proses, yaitu pengukuran konduktivitas panas, pengukuran panas spesifik dan pengukuran berat jenis.
a. Konduktivitas panas
Pengukuran konduktivitas panas dilakukan dengan menggunakan Thermal Conductivity Meter dengan sampel berukuran panjang lebar dan tebal 13 x 7 x 2 cm, arus 0,5 mA dan pemanasan selama 15 menit.
b. Pengukuran panas spesifik
Tahapan pengukuran panas spesifik sebagai berikut:
1. Isilah gelas ukur dengan 50 ml air panas dan 50 ml air dingin lalu timbang massa air tersebut.
2. Ukur suhu air pada kedua gelas ukur sebelum dimasukkan ke kalorimeter.
3. Aduk selama 1 menit agar tercampur merata.
4. Catatlah suhu pada saat 3 menit, 6 menit, 9 menit, 12 menit dan 15 menit hingga konstan. Lalu masukkan ke rumus untuk mendapatkan konstanta kalorimeter (C).
5. Untuk menghitung panas spesifik kayu menggunakan metoda yang sama, namun air panas diganti dengan serbuk kayu.
c. Pengukuran berat jenis
Berat jenis ditentukan dengan rumus
...(35) ρ = berat jenis (kg/m3)
m = berat sampel (kg) v = dimensi sampel
Untuk melakukan pengukuran berat jenis, berat dan dimensi sampel diukur lalu sampel dilumuri dengan lilin yang dipanaskan.
Sampel yang telah dilumuri lilin dimasukkan dalam air dan dihitung perubahan muka airnya. Perubahan muka air adalah volume sampel dan lilin, lalu kurangkan dengan volume lilin. Untuk mendapatkan