• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

49

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) a. Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Klaten tahun 2012 sampai 2018 mengalami peningkatan. Namun dari segi pertumbuhan penduduk mengalami penurunan sehingga laju pertumbuhan turun dari 0,50 menjadi 0,35% per tahun (Tabel 3). Meskipun laju pertumbuhan penduduk turun, namun secara kuantitatif jumlah penduduk terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan pangan, terutama padi di setiap tahun meningkat sehingga menjadi tantangan dalam memenuhi kebutuhan padi yang pada umumnya melalui peningkatan produksi secara intensif. Pengelolaan pertanian (khususnya padi) selain menjaga pasokan ketersediaan pangan diharapkan tidak menurunkan kualitas lingkungan.

Tabel 3. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Klaten Tahun Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Pertumbuhan Penduduk (Jiwa)

Persentase

2012 1.143.676 5.703 0,50

2013 1.149.002 5.326 0,47

2014 1.154.028 5.026 0,44

2015 1.158.795 4.767 0,41

2016 1.163.218 4.423 0,38

2017 1.167.401 4.183 0,36

2018 1.171.411 4.010 0,35

Sumber : diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), 2013, 2014, 2015. 2016, 2017, 2018, 2019b

b. Usia Kerja dan Tingkat Pendidikan Masyarakat

Berdasarkan usia pencari kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Klaten dari tahun 2013 sampai 2018 mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pencari kerja setiap tahun meningkat. Ini mengandung konsekuensi selain peningkatan kebutuhan pangan juga membutuhkan lapangan pekerjaan. Sektor pertanian dapat berperan serta dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Mengingat kemajuan teknologi

(2)

50

yang berakibat pada perkembangan kehidupan inovasi di segala bidang memerlukan dukungan pendidikan. Dari segi pendidikan, masyarakat Kabupaten Klaten memiliki potensi untuk mudah menerima inovasi, karena sebagian besar (76,69%) adalah lulusan SLTA/SMK (Gambar 4).

Sumber : diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), 2019b

Gambar 4. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Klaten

c. Ketersediaan Tenaga Kerja Usia Produktif

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dewasa di Kabupaten mengalami kenaikan di tiap tahunnya, hanya saja persentase kenaikannya mengalami penurunan.

Hal ini memberikan gambaran mengenai ketersediaan tenaga kerja pada usia produktif untuk berkecimpung di bidang pertanian sehingga sangat mendukung pengembangan pertanian berkelanjutan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia yang mencukupi.

Tabel 4. Laju Pertumbuhan Penduduk Dewasa di Kabupaten Klaten Tahun Laki-laki Wanita Jumlah Kenaikan Persentase

2013 428.834 457.539 886.373 - -

2014 432.571 461.435 894.006 7.633 0,86

2015 436.179 465.193 901.372 7.366 0,82

2016 439.660 468.860 908.520 7.148 0,79

2017 443.005 472.407 915.412 6.892 0,76

2018 446.195 435.787 921.982 6.570 0,72

Sumber : diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019

(3)

51 2. Potensi Sumber Daya Alam (SDA)

a. Luasan Lahan Pertanian

Berdasarkan data Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (PKPP) Kabupaten Klaten, luas Kabupaten Klaten secara keseluruhan adalah 65.556 ha yang terbagi 50,44% (33.066 ha) adalah lahan sawah, 10,04% (6.581 ha) lahan bukan sawah, dan 39,52% (25.909 ha) adalah lahan bukan untuk pertanian. Berdasarkan hasil olah data (tabel 5) menunjukkan bahwa kecamatan yang mempunyai persentase luas lahan sawah yang terbesar adalah Kecamatan Polanharjo dan yang terkecil adalah kecamatan Kemalang. Sedangkan kecamatan yang mempunyai persentase luas lahan sawah berpengairan teknis terbesar adalah adalah Kecamatan Delanggu, Karanganom, dan Kebonarum dengan keseluruhan lahan sawahnya adalah berpengairan teknis. Lahan sawah yang berpengairan teknis sangat mendukung dalam pengembangan pertanian organik dengan terjaminnya pasokan air di setiap musim tanam dan menunjukkan kemudahan untuk mendapatkan pengairan untuk lahan sawah.

Tabel 5. Luas Lahan dengan Pengairan Teknis, Luas Sawah, dan Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Klaten (ha)

No. Kecamatan Pengairan Teknis (a)

Lahan Sawah (b)

Luas Wilayah

(c)

Persentase Luas Sawah

(b/c)

Persentase Luas Lahan Sawah Berpengairan Teknis

(a/b)

1 Polanharjo 1.435 1.821 2.384 0,764 0,788

2 Kebonarum 719 719 967 0,744 1,000

3 Wonosari 1.993 2.217 3.114 0,712 0,899

4 Karangdowo 1.310 2.047 2.923 0,700 0,640

5 Karanganom 1.681 1.681 2.406 0,699 1,000

6 Delanggu 1.296 1.296 1.877 0,690 1,000

7 Cawas 1.120 2.315 3.447 0,672 0,484

8 Juwiring 1.362 1.999 2.979 0,671 0,681

9 Wedi 699 1.554 2.438 0,637 0,450

10 Gantiwarno 633 1.625 2.564 0,634 0,390

11 Ceper 1.531 1.531 2.444 0,626 1,000

12 Ngawen 448 1.040 1.699 0,612 0,431

13 Jogonalan 702 1.571 2.670 0,588 0,447

(4)

52 No. Kecamatan Pengairan

Teknis (a)

Lahan Sawah (b)

Luas Wilayah

(c)

Persentase Luas Sawah

(b/c)

Persentase Luas Lahan Sawah Berpengairan Teknis

(a/b)

14 Kalikotes 117 750 1.298 0,578 0,156

15 Trucuk 965 1.908 3.381 0,564 0,506

16 Manisrenggo 157 1.509 2.696 0,560 0,104

17 Klaten Selatan 93 804 1.443 0,557 0,116

18 Tulung 506 1.737 3.200 0,543 0,291

19 Prambanan 962 1.240 2.443 0,508 0,776

20 Pedan 528 869 1.917 0,441 0,608

21 Klaten Tengah 84 292 892 0,327 0,288

22 Klaten Utara 305 305 1.038 0,297 1,000

23 Karangnongko 123 764 2.674 0,286 0,161

24 Bayat 129 815 3.943 0,207 0,158

25 Jatinom 41 603 3.553 0,170 0,068

26 Kemalang 54 54 5.166 0,011 1,000

Jumlah 18.993 33.066 65.556

Sumber : diolah dari Dinas PKPP Kabupaten Klaten, 2017

b. Produksi Padi

Tabel 6. Produksi Padi di Kabupaten Klaten tahun 2012-2018

Tahun Produksi Padi (ton)

2012 390.038

2013 380.268

2014 426.028

2015 425.622

2016 344.548

2017 374.116

2018 387.623

Rata-rata 389.749

Sumber : diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

Tabel 6 menunjukkan produksi padi di Kabupaten Klaten, yaitu rata-rata sebesar 387.749 ton tahun-1, dimana produksinya adalah fluktuatif dengan produksi padi yang tertinggi yaitu pada tahun 2014 yaitu sebanyak 426.028 ton dan yang terendah adalah

(5)

53

pada tahun 2016 yaitu sebanyak 344.548 ton. Pertanian padi sawah merupakan salah satu sumber utama dari dari emisi CH4 sehingga budidaya padi merupakan penyebab terjadinya pemanasan global (Mitra et al., 2017; Hutsch, 2001; Hussain et al., 2014 ).

Kabupaten Klaten dengan jumlah produksi padi rata-rata per tahun adalah 387.749 ton memerlukan perhatian yang lebih pada upaya mitigasi emisi gas CH4 sehingga mampu mengurangi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan dari usaha budidaya tanaman padi, salah satunya adalah penggunaan pupuk ramah lingkungan. Mengingat salah satu bahan pangan utama di Indonesia adalah padi (Dugan, 2015).

3. Ketersediaan Bahan Baku Sumber Daya Lokal a. Bonggol Pisang sebagai Bahan Baku MOL

Berdasar hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Klaten telah terbiasa menggunakan MOL dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang tersedia di sekitar dengan mempertimbangkan kemudahan mendapatkan dan diperoleh secara cuma-cuma, bahkan beberapa di antaranya merupakan bahan-bahan yang tidak termanfaatkan atau dibuang oleh masyarakat pada umumnya. Bahan baku yang sering digunakan adalah bonggol pohon pisang dan beberapa macam buah-buahan, seperti:

buah pepaya, nanas, mangga, dan sebagainya, namun mengingat pertimbangan kemanfaatan dari penggunaan bahan baku tersebut, bahwa untuk buah-buahan masih bisa dikonsumsi sebagai buah segar, maka agar mengutamakan buah yang busuk atau sisa tidak dimakan. Sedangkan untuk bonggol pisang memiliki keuntungan tersendiri, karena bagian tersebut adalah bagian dari pohon pisang yang tidak dimanfaatkan atau bahkan dibuang oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan bonggol pisang sebagai bahan baku pembuatan MOL.

Bonggol pisang mengandung nutrisi yang cukup tinggi dengan komposisi yang lengkap dengan kandungan pati 45,4% dan kadar protein 4,35%, selain itu kertersediaan gizi di dalamnya termasuk lengkap, yaitu: protein, karbohidrat, air, dan mineral-mineral penting yang lain (Munadjim, 1983; Suhastyo, 2011). Jenis mikroba yang terdapat pada bonggol pisang antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., dan Aspergilus nigger. Jenis mikroba tersebut sudah biasa melakukan dekomposisi bahan organik (Kesumaningwati, 2015). Suhastyo (2011) menyatakan bahwa mikroba pengurai bahan organik terletak pada bonggol pisang bagian luar maupun bagian dalam. Selain itu, adanya aktivitas

(6)

54

organisme yang lebih maksimum pada MOL bonggol pisang ditambah persediaan oksigen yang cukup dapat membuat terjadinya peningkatan unsur hara N baik nitrat maupun total (Rao, 1994).

Secara rata-rata Kecamatan Karangnongko merupakan penghasil pohon pisang terbesar di Kabupaten Klaten dengan jumlah 109.896 pohon dan yang terendah adalah kecamatan Kebonarum dengan jumlah 984 pohon. Gambar 5 menunjukkan bahwa Kecamatan Kemalang pernah mencatatkan jumlah pohon pisang terbanyak di tahun 2014 yaitu 226.000 pohon dan merupakan jumlah pohon pisang terbanyak di antara kecamatan yang lain dalam satu tahun. Secara keseluruhan, berdasarkan Dinas PKPP Kabupaten Klaten (2014-2019) jumlah pohon pisang di Kabupaten Klaten secara rata- rata adalah 881.855 pohon sehingga penggunaan bonggol pisang sebagai bahan baku MOL di Kabupaten Klaten sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam skala luas untuk memenuhi kebutuhan pupuk di kabupaten tersebut.

Hermawan (2012) menyatakan bahwa dalam setiap satu pohon pisang dapat menghasilkan kurang lebih berkisar 10 kg bonggol pisang sehingga berdasarkan hasil perhitungan data statistik diperoleh estimasi ketersediaan bonggol pisang sebagai bahan baku MOL di Kabupaten Klaten kurang lebih adalah 8.818,9 ton per tahun. Aini et al.

(2017) meneliti bahwa dengan memanfaatkan 5 kg bonggol pisang dapat diperoleh 10 l MOL sehingga potensi ketersediaan MOL dari bonggol pisang di Kabupaten Klaten adalah 17.637.120 l tahun-1. Jika diaplikasikan sebagai pupuk tanaman, maka per musim tanam akan tersedia 8.818.560 l MOL bonggol pisang. Dengan menggunakan dosis yang digunakan oleh Petani di Kabupaten Klaten sesuai rekomendasi dari Dinas PKPP Kabupaten Klaten sebanyak 25 l ha-1, maka ketersediaan MOL bonggol pisang sesuai estimasi yang dilakukan mampu mencukupi lahan pertanian seluas kurang lebih 352.742 ha. Gambar 6 memperlihatkan bahwa Kecamatan Karangnongko merupakan kecamatan dengan potensi ketersediaan MOL bonggol pisang yang tertinggi di antara kecamatan lainnya yang terdapat di Kabupaten Klaten.

(7)

55

Gambar 5. Jumlah Pohon Pisang di Kabupaten Klaten tahun 2014-2019

Sumber : diolah dari Dinas PKPP Kabupaten Klaten, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019

Gambar 6. Potensi Ketersediaan MOL Bonggol Pisang di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari Dinas PKPP Kabupaten Klaten, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019

(8)

56 b. Akar Bambu sebagai Bahan Baku PGPR

Pemanfaatan akar bambu sebagai bahan baku PGPR dikarenakan di dalam akar bambu terdapat beberapa mikroorganisme yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman dan menjaga kesuburan tanah. Di dalam PGPR mengandung Pseudomonas, Bacillus, Pantoea, Stenotrophomas, Acinetobacter, Serratia, dan Exiguobacterium.

Bakteri yang terdapat di dalam PGPR menghasilkan fitohormon dan meningkatkan nutrisi yang mendukung pertumbuhan tanaman. Pemanfaatan PGPR memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai biostimulan, pupuk hayati (biofertilizer) dan bioprotector (Bhattacharyya dan Jha, 2011; Santosa et al., 2018; Ryan et al., 2009).

Masyarakat di Kabupaten Klaten sering memanfaatkan akar bambu sebagai bahan baku pembuatan PGPR, masyarakat biasa memanfaatkannya dengan membiarkan tanah melekat di akar bambu. Tanaman bambu di Kabupaten Klaten sebagian besar ditemukan di sepanjang tepian sungai dan kebun, namun jarang ditemui di lahan.

Pemanfaatan akar bambu sebagai bahan baku pembuatan PGPR belum banyak dilakukan oleh masyarakat, akan tetapi sudah banyak yang memanfaatkannya sebagai bahan kerajinan. Berdasarkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Jawa Tengah (2015-2018), jumlah rata-rata pohon bambu yang ada di sebelas kecamatan di Kabupaten Klaten, yaitu Kecamatan Jatinom, Wedi, Karangnongko, Bayat, Gantiwarno, Cawas, Karanganom, Karangdowo, Kalten Utara, Trucuk, dan Ceper adalah sekitar 10.515 pohon (Gambar 7). Petani di Kabupaten Klaten bisa memperoleh kurang lebih rata-rata sebanyak 0,5 kg akar bambu dalam satu pohon bambu, dimana dari 0,5 kg akar bambu tersebut dapat menghasilkan 40 l PGPR sehingga diperoleh estimasi ketersediaan PGPR dari akar bambu di sebelas kecamatan di Kabupaten Klaten adalah 210.290 l tahun-1. Jika dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman akan tersedia 105.145 l PGPR per musim tanam. Dengan menggunakan dosis rekomendasi dari Dinas PKPP Kabupaten Klaten sebanyak 25 l ha-1, maka ketersediaan PGPR sesuai estimasi yang dilakukan mampu mencukupi lahan pertanian seluas kurang lebih 4.206 ha. Gambar 8 menunjukkan bahwa Kecamatan Ceper adalah kecamatan yang tertinggi yang mempunyai potensi ketersediaan PGPR akar bambu di antara 11 kecamatan lainnya di Kabupaten Klaten.

(9)

57

Gambar 7. Rata-rata Jumlah Pohon Bambu di Kabupaten Klaten

Sumber : Dinas LHK, Provinsi Jawa Tengah, 2015, 2016, 2017, 2018

Gambar 8. Potensi Ketersediaan PGPR Akar Bambu di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari Dinas LHK, Provinsi Jawa Tengah, 2015, 2016, 2017, 2018

c. Kotoran Hewan Ternak sebagai Bahan Baku Pupuk Kandang

Dari data BPS (2014-2019), menunjukkan bahwa rata-rata jumlah hewan ternak sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, dan ayam dewasa di Kabupaten Klaten secara berturut-turut adalah 50.673, 46.281, 23.377, 632, 273, dan 2.418.615 ekor (Tabel 7).

(10)

58

Tabel 7. Rata-rata Populasi Hewan Ternak di Kabupaten Klaten

No. Kecamatan Sapi Kambing Domba Kerbau Kuda Ayam

1 Prambanan 2.600 2.292 1.037 12 12 78.746

2 Gantiwarno 2.422 2.006 634 24 8 105.175

3 Wedi 2.231 1.223 653 25 8 73.119

4 Bayat 2.877 3.300 467 8 0 234.326

5 Cawas 1.979 1.962 374 3 1 59.786

6 Trucuk 1.823 2.005 735 8 0 65.907

7 Kalikotes 502 985 593 19 8 96.968

8 Kebonarum 683 937 565 21 6 62.513

9 Jogonalan 2.643 2.227 1.015 15 17 173.582

10 Manisrenggo 3.242 1.909 795 14 13 108.249

11 Karangnongko 4.061 2.959 749 27 12 79.075

12 Ngawen 971 1.039 1.311 27 14 90.619

13 Ceper 639 1.308 963 24 12 87.958

14 Pedan 1.149 1.971 931 20 16 75.316

15 Karangdowo 1.092 1.631 737 32 4 81.050

16 Juwiring 677 1.552 1.192 35 13 81.446

17 Wonosari 651 1.750 1.603 82 3 68.744

18 Delanggu 519 1.227 762 34 17 77.303

19 Polanharjo 442 839 1.499 88 16 102.497

20 Karanganom 771 1.056 1.381 32 15 92.326

21 Tulung 4.307 2.334 1.449 27 12 112.986

22 Jatinom 7.630 3.953 1.962 8 18 165.088

23 Kemalang 5.446 2.773 872 1 2 77.423

24 Klaten Selatan 514 1.022 327 26 16 77.616

25 Klaten Tengah 364 923 416 8 13 29.778

26 Klaten Utara 439 1.098 355 12 17 61.009

Total 50.673 46.281 23.377 632 273 2.418.605

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartatik dan Widowati (2006) menyatakan bahwa untuk sapi, kerbau, dan kuda dewasa dapat menghasilkan kotoran sebanyak kurang lebih 3 kg hari-1, kambing dan domba dewasa menghasilkan kotoran kurang lebih 1 kg hari-1, sedangkan ayam menghasilkan sekitar 200 g hari-1, maka dapat diperkirakan estimasi produksi kotorannya dalam waktu satu tahun di Kabupaten Klaten adalah 258.462 t. Apabila kotoran ternak tersebut dikomposkan, maka akan terjadi penyusutan sekitar 30-40%, maka akan diperoleh kompos pupuk kandang sebesar 103.385 t tahun-1 (Tabel 8). Potensi ketersediaannya di setiap musim tanam adalah

(11)

59

sekitar 51.692 ton pupuk kandang per musim tanam. Dengan menggunakan dosis rekomendasi dari Dinas PKPP Kabupaten Klaten adalah 5 ton ha-1, maka mampu mencukupi lahan pertanian kurang lebih 10.338 ha.

Tabel 8. Estimasi Kotoran Ternak Basah dan Kompos Pupuk Kandang yang Dihasilkan dari Beberapa Hewan Ternak di Kabupaten Klaten

No. Jenis Ternak

Jumlah Ternak (ekor)

Kotoran Ternak Basah (t tahun-1)

Penyusutan

Pengomposan 40%

(t tahun-1)

1. Sapi 50.673 55.487 22.195

2. Kambing 46.281 16.893 6.757

3. Domba 23.377 8.533 3.413

4. Kerbau 632 692 277

5. Kuda 273 299 120

6. Ayam 2.418.605 176.558 70.623

Jumlah 258.462 103.385

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kecamatan Jatinom adalah kecamatan yang memiliki ketersediaan kompos pupuk kandang tertinggi di Kabupaten Klaten (Gambar 9), sekaligus juga merupakan kecamatan yang tertinggi sebagai penyedia kompos pupuk kandang sapi, kambing, domba, dan kuda di Kabupaten Klaten. Adapun Kecamatan Polanharjo adalah penyedia kompos pupuk kandang kerbau tertinggi di Kabupaten Klaten. Sedangkan Bayat adalah kecamatan yang memiliki ketersediaan kompos pupuk kandang ayam yang tertinggi di Kabupaten Klaten. Kecamatan Klaten Tengah adalah yang terendah dalam penyediaan kompos pupuk kandang di Kabupaten Klaten, dan juga merupakan kecamatan yang terendah sebagai penyedia kompos pupuk kandang sapi, domba, dan ayam di Kabupaten Klaten. Polanharjo adalah kecamatan yang terendah sebagai penyedia kompos pupuk kandang kambing di Kabupaten Klaten.

Adapun Kemalang adalah kecamatan yang terendah sebagai penyedia kompos pupuk kandang kerbau di Kabupaten Klaten. Sedangkan Cawas adalah kecamatan yang terendah sebagai penyedia kompos pupuk kandang kuda di Kabupaten Klaten (Gambar 10-15).

(12)

60

Gambar 9. Sebaran Kompos Pupuk Kandang di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

Gambar 10. Sebaran Kompos Pupuk Kandang Sapi di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

(13)

61

Gambar 11. Sebaran Kompos Pupuk Kandang Kambing di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

Gambar 12. Sebaran Kompos Pupuk Kandang Domba di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

(14)

62

Gambar 13. Sebaran Kompos Pupuk Kandang Kerbau di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

Gambar 14. Sebaran Kompos Pupuk Kandang Kuda di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

(15)

63

Gambar 15. Sebaran Kompos Pupuk Kandang Ayam di Kabupaten Klaten

Sumber : diolah dari BPS, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019b

4. Pengaruh Beberapa Perlakuan Pemupukan terhadap Kesuburan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Metana (CH4)

a. Karakteristik Tanah Lahan Percobaan

Pengamatan dilakukan pada lahan yang digunakan untuk percobaan dengan menganalisis karakteristik tanah untuk mengetahui kondisi tanah pada saat dilakukan percobaan lapangan. Tanah diambil di lahan sawah percobaan di desa Bowan, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Tanah di lahan percobaan merupakan jenis regosol yang berasal dari bahan induk abu dan pasir vulkanik termedier (BPS, 2018).

Tanah regosol mempunyai tekstur tanah yang kasar, cenderung gembur, kaya unsur hara, mempunyai kemampuan menyerap air yang tinggi serta mudah terkena erosi (https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah-regosol) sehingga cocok untuk usaha budidaya tanaman. Hasil analisis laboratorium tanah yang dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta disajikan pada Tabel 9.

(16)

64

Tabel 9. Analisis Kandungan Kimiawi Tanah Lahan Percobaan

No. Variabel Satuan Hasil Kategori

1. N total % 0,26 Sedang

2. P tersedia ppm 8,98 Sangat rendah

3. K tertukar me % 0,28 Sangat rendah

4. C.Organik % 1,4 Rendah

5. BO % 2,42 -

6. pH - 6,31 Agak masam

7. C/N - 5,33 Rendah

Sumber : Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, UNS, 2019

Hasil analisis juga memperlihatkan kandungan nitrogen (N) tergolong rendah, rendahnya N bisa disebabkan karena bahan organik yang terdapat dalam tanah rendah.

N dalam tanah sebagian besar berasal dari mineralisasi bahan organik. Dekomposisi bahan organik akan diikuti oleh mineralisasi N menjadi ammonium (NH4+

) (Foth, 1994). Kondisi tanah dengan pH yang rendah juga menghambat perubahan ammonium menjadi nitrat, hal ini juga dipengaruhi oleh kandungan oksigen di dalam tanah atau aerasi tanah. Kandungan P dalam tanah tergolong sangat rendah, hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik dalam tanah yang merupakan sumber hara, baik itu hara makro maupun mikro. Kandungan kalium (K) dalam tanah sangat rendah, hal ini kemungkinan disebabkan karena unsur K yang sebagian besar terdapat pada mineral primer mengalami pelapukan dan banyak tercuci oleh air hujan maupun air irigasi (Winarso, 2005). Pengaruh pengelolaan lahan secara organik tanpa menggunakan masukan (input) kimia secara berturut-turut pada 2 (dua) musim tanam terakhir kemungkinan berpengaruh pada rendahnya kandungan hara dalam tanah. Hal ini terjadi karena penggunaan pupuk organik sebelumnya belum mampu meningkatkan kandungan hara dalam tanah sehingga perlu dilakukan secara kontinu.

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kondisi tanah adalah agak masam dengan pH 6,31 sehingga diperlukan penambahan kapur pada tanah dengan tingkat keasaman yang cukup tinggi. Hanxi et al. (2019) meneliti bahwa penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan pH rata-rata tahunan kurang lebih 0,04, sedangkan pupuk NPK dapat menurunkan sekitar 0,07. Oleh karena itu penggunaan pupuk organik dapat membantu mengurangi kemasaman tanah. Kemudian analisis tanah menunjukkan bahwa nilai C/N rasio pada tanah lahan percobaan yang digunakan dalam penelitian

(17)

65

adalah 5,33 dan tergolong dalam kriteria rendah. Rasyidin (2004) menyatakan bahwa rasio nilai C dan N menunjukkan kemampuan untuk melepaskan unsur hara, semakin rendah nilai C/N maka akan semakin mudah untuk melepaskan hara, sedangkan Hasibuan (2006) berpendapat bahwa ketersediaan N yang rendah ditunjukkan dengan nilai C/N yang tinggi.

b. Analisis Kandungan Pupuk Hayati (MOL Bonggol Pisang dan PGPR Akar Bambu)

Karakteristik dari pupuk hayati yang digunakan dalam penelitian diuji di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang hasilnya disajikan pada Tabel 10. Unsur hara N, P,dan K yang terdapat dalam kedua jenis pupuk hayati tersebut masih masih tergolong rendah menurut ketentuan Peraturan Kementerian Pertanian (2019) mengenai persyaratan teknis minimal pupuk organik, pupuk hayati, dan pembenah tanah sehingga memerlukan upaya untuk menentukan komposisi bahan baku yang optimal guna memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tanaman. Supriyadi (2008) mengemukakan bahwa tanah yang memiliki bahan organik dengan nilai nisbah C/N kecil (<25) menunjukkan dekomposisi berjalan cepat, sedangkan bahan organik dengan nilai nisbah C/N tinggi (>25) akan menyebabkan akumulasi bahan organik. Nisbah C/N adalah salah satu indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan organik tanah, makin tinggi tingkat dekomposisinya maka makin kecil nisbah C/N (Indranada, 1994). Hasil analisis menunjukkan bahwa pupuk hayati yang digunakan dalam penelitian ini, baik itu MOL bonggol pisang dengan nilai 13,89 dan PGPR akar bambu dengan nilai 5,70 menunjukkan sudah terdekomposisi dengan baik. Nilai C/N dari MOL bonggol pisang lebih tinggi dari PGPR akar bambu, hal ini dimungkinkan karena bahan organik dalam MOL bonggol pisang lebih tinggi daripada PGPR akar bambu.

Tabel 10. Analisis Kandungan Kimiawi Pupuk Hayati (MOL Bonggol Pisang dan PGPR Akar Bambu)

Jenis Pupuk Hayati

N total (%)

P total (%)

K total (%)

C. Organik (%)

BO (%) pH C/N

MOL PGPR

0,09 0,10

0,64 0,58

0,37 0,28

1,25 0,57

2,15 0,99

4,92 3,86

13,89 5,70 Sumber : Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, UNS, 2019

(18)

66

Hasil analisis kandungan kimia dari MOL bonggol pisang dan PGPR akar bambu yang digunakan dalam penelitian menunjukkan bahwa pH masing-masing tergolong asam. Nilai pH dari MOL bonggol pisang lebih rendah dari PGPR akar bambu, hal ini kemungkinan karena akar bambu mempunyai kandungan serat yang tinggi sehingga apabila diuraikan oleh mikroba akan menghasikan asam organik lebih banyak dibanding bonggol pisang yang memiliki kandungan serat lebih sedikit.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lusy et al. (2017) menyatakan bahwa perbedaan kandungan serat mempengaruhi nilai pH bahan.

Sedangkan hasil analisis laboratorium mengenai jumlah mikroba yang terkandung dalam pupuk hayati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 11.

Berdasarkan standar kelayakan yang ditetapkan oleh Peraturan Kementerian Pertanian (2019) mengenai persyaratan teknis minimal pupuk organik, pupuk hayati, dan pembenah tanah menyatakan bahwa total fungi dan bakteri yang terdapat dalam sebuah pupuk hayati harus sebanyak 105 ml-1 CFU dan 108 ml-1 CFU. Berdasar ketentuan tersebut, kandungan fungi dan bakteri yang terdapat dalam pupuk hayati (MOL bonggol pisang dan PGPR akar bambu) dalam penelitian ini sudah memenuhi ketentuan tersebut.

Hanya saja pada MOL bonggol pisang tidak ditemukan adanya bakteri pelarut kalium.

Oleh karena itu kombinasi penggunaan MOL bonggol pisang dan PGPR akar bambu dapat saling melengkapi untuk mendukung pertumbuhan tanaman.

Tabel 11. Analisis Mikrobia MOL Bonggol Pisang dan PGPR Akar Bambu Jenis Pupuk

Hayati Mikroba Jenis Mikroba Kerapatan Mikroba (CFU ml-1)

MOL Fungi

Bakteri

Total fungi Total bakteri

Bakteri pelarut Kalium

Azotobacter (Bakteri Penambat N non simbiotik)

Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)

4,3 × 106 6,1 × 108

0 3,7 × 103 7,3 × 105

PGPR Fungi

Bakteri

Total fungi Total bacteria

Bakteri Pelarut Kalium

Azotobacter (Bakteri Penambat N non simbiotik)

Bakteri pelarut Fosfat (BPF)

7,0 × 105 4,0 × 1010 7,0 × 102 7,5 × 105 3,5 × 104 Sumber : Laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah, Fakultas Pertanian, UNS, 2019

CFU : Colony Forming Unit

(19)

67

Keberadaan mikroba dalam pupuk hayati berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi ke dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman dan mendegradasi residu toksik (Rahmi, 2014). Bakteri pelarut Kalium yang terdapat pada PGPR mampu menyediakan kalium tersedia bagi tanaman yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman (Angraini, 2015). Azotobacter selain dapat mensubstitusi hara khususnya nitrogen juga menghasilkan zat pengatur tumbuh dan senyawa fungisida yang dapat mencegah pertumbuhan cendawan yang dapat menekan pertumbuhan dan produksi tanaman. Kandungan Azotobacter dalam pupuk hayati berpotensi mengurangi aplikasi pupuk nitrogen (Widiyawati et al., 2014). Pada tanah masam, sebagian besar P yang diberikan akan membentuk senyawa yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Kandungan bakteri pelarut Fosfat (BPF) pada pupuk hayati sangat bermanfaat karena merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang dapat memperbaiki penyediaan P pada tanah masam (Roni et al., 2013).

c. Tinggi Tanaman

Hasil analisis statistik pada Tabel 12 menunjukkan bahwa beberapa perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman pada usia 14, 21, 28, 35, 44, 50, 57, 64, 70, dan 80 hst. Perlakuan dengan PK memberikan hasil tinggi tanaman yang tertinggi di antara perlakuan pemupukan lainnya pada usia tanaman 14, 21, 28, 35, 44, 50, 57, 64, dan 70 hst. Adapun pada usia 80 hst, perlakuan dengan pukan adalah mempunyai hasil tinggi tanaman yang tertinggi di antara perlakuan pemupukan lainnya.

Tabel 12. Pengaruh Beberapa Pemupukan terhadap Tinggi Tanaman

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 44 hst 50 hst 57 hst 64 hst 70 hst 80 hst

Kontrol 18a 22,2a 32,9a 38,8a 43,8a 49,3a 53,8a 57,3a 63,1a 79,5a

PK 19,9b 25,8c 37b 50,6c 53,9b 64,3b 70b 72,9c 78c 87,9b

Pukan 20b 24,7bc 36,5c 40,8ab 45,3a 52,3a 55,4a 62,7b 72,2b 94,5c

PHL 19,3ab 25,6c 34,5ab 40,2ab 44,2a 51,7a 54,6a 63b 71,2b 91,5bc

PKom 18,4ab 24,0b 35,2ab 41,7b 46,8a 53a 56,3a 61,7b 68,8b 87,9b

Keterangan: Kontrol=tanpa pemupukan; PK=Pupuk Kimia; Pukan=Pupuk Kandang; PHL=Pupuk Hayati Lokal+Pupuk Kandang; PKom=Pupuk Hayati Komersial+Pupuk Organik Komersial; hst=hari setelah tanam

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Anova (P>0,05)

(20)

68

Tinggi tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara N, P, dan P2O5 yang dibutuhkan untuk mensintesis asam amino dan protein, terutama pada titik tumbuh tanaman untuk percepatan pertumbuhan tanaman, termasuk pembelahan dan perkembangan sel sehingga menyebabkan peningkatan tinggi tanaman (Gardner, 1991).

Peran utama unsur hara N bagi tanaman adalah untuk menstimulasi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, seperti: batang, daun, dan tunas, maka pemakaian pupuk dapat menstimulasi pertumbuhan batang tanaman padi. Penambahan hara N dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman (Lingga dan Marsono, 2000; Ibrahim, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2012) menunjukkan bahwa jenis dan dosis dari pupuk yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap respon tanaman padi, yaitu terhadap pertumbuhan tanaman, terutama tinggi tanaman.

Jumlah mikroorganisme yang tinggi di dalam tanah mempunyai hubungan yang positif dengan kesuburan tanah, dimana tanah yang subur mempunyai kandungan 10- 100 juta mikroorganisme (Mulyono, 2012). Kandungan mikroorganisme yang ada dalam pupuk MOL dan PGPR dalam penelitian ini mampu meningkatkan jumlah mikroorganisme yang berada di dalam tanah sehingga mempengaruhi tingkat kesuburan tanah, karena kemampuan mikroorganisme untuk mengikat unsur hara dan dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman.

d. Jumlah Anakan Total

Tabel 13. Pengaruh Beberapa Pemupukan terhadap Jumlah Anakan Total

Perlakuan Jumlah Anakan Total

14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 44 hst 50 hst 57 hst 64 hst 70 hst 80 hst

Kontrol 3,5a 7,0a 12,0a 18,3ab 25,3a 21,5a 19,3a 17,3a 15,0a 11,8a

PK 5,8c 13.3c 19,3d 25,3c 47,0b 38,0b 33,5b 28,3b 25,3b 20,3b

Pukan 5,3bc 9,3b 15,0bc 21,8bc 29,8a 27,0a 24,0a 20,5a 16,3a 14,5a

PHL 3,3a 8,5ab 16,8cd 21,0abc 29,8a 27,5a 25,0a 21,0a 18,0a 14,3a

PKom 4,3ab 7,0a 12,8ab 17,0a 25,8a 23,3a 21,8a 19,3a 17,0a 13,5a

Keterangan: Kontrol=tanpa pemupukan; PK=Pupuk Kimia; Pukan=Pupuk Kandang; PHL=Pupuk Hayati Lokal+Pupuk Kandang; PKom=Pupuk Hayati Komersial+Pupuk Organik Komersial; hst=hari setelah tanam

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata menurut uji Anova (P<0,01)

Hasil analisis statistik pada Tabel 13 menunjukkan bahwa beberapa perlakuan pemupukan berbeda sangat nyata terhadap jumlah anakan total pada usia 14, 21, 28, 35,

(21)

69

44, 50, 57, 64, 70, dan 80 hst. Perlakuan dengan PK mempunyai hasil jumlah anakan total yang tertinggi di antara perlakuan pemupukan lainnya pada usia tanaman 14, 21, 28, 35, 44, 50, 57, 64, 70, dan 80 hst.

Perlakuan dengan menggunakan PHL mempunyai pengaruh yang lebih rendah terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan total dibanding dengan perlakuan menggunakan pupuk kimia bisa dijelaskan dari hasil observasi yang dilakukan oleh Purnomo et al. (2011) disebabkan karena beberapa hal, antara lain: rendahnya difusi yang terjadi dalam perlakuan pupuk PHL, rendahnya unsur hara yang terkandung dalam PHL, dan rendahnya dosis pemakaian PHL. Penggunaan pupuk kimia dalam tanah meningkatkan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga dapat mempercepat pertumbuhan dan perkambangan tanaman. Unsur hara N dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, yaitu pada tinggi tanaman dan jumlah anakan (Sutejo, 2002; Doberman dan Fairhust, 2000).

e. Jumlah Biji per Malai

Hasil analisis statistik pada Tabel 14 menunjukkan bahwa beberapa perlakuan pemupukan berbeda nyata terhadap jumlah biji per malai pada usia 86, 93, dan 99 hst.

Perlakuan dengan PHL mempunyai hasil jumlah biji per malai yang tertinggi di antara perlakuan pemupukan lainnya pada usia tanaman 86 dan 93 hst. Sedangkan perlakuan dengan PK mempunyai hasil jumlah biji per malai yang tertinggi di antara perlakuan pemupukan lainnya pada usia tanaman 99 hst.

Tabel 14. Pengaruh Beberapa Pemupukan terhadap Jumlah Biji per Malai

Perlakuan Jumlah Biji Malai

86 dat 93 dat 99 dat

Kontrol 5,5ab 6,5a 9,3a

PK 3,8a 9,3bc 14,0b

Pukan 6,0ab 7,5ab 9,8a

PHL 7,8b 10.3c 12,3b

PKom 4,3a 7,0a 9,5a

Keterangan: Kontrol=tanpa pemupukan; PK=Pupuk Kimia; Pukan=Pupuk Kandang; PHL=Pupuk Hayati Lokal+Pupuk Kandang; PKom=Pupuk Hayati Komersial+Pupuk Organik Komersial; hst=hari setelah tanam

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji Anova (P<0,05)

(22)

70

Peningkatan aktivitas mikroorganisme mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik berlangsung optimal. Di dalam MOL bonggol pisang terjadi aktivitas maksimal dari mikroorganisme dan tercukupinya ketersediaan oksigen sehingga mampu meningkatkan kandungan hara N, baik nitrat maupun N total (Kesumaningwati, 2015).

Hara N biasanya tersedia dalam bentuk nitrat maupun ammonium, sedangkan nitrat di dalam tanah lebih mudah terserap daripada ammonium. Fitohormon di dalam MOL, seperti gibberellin, sitokinin, dan auksin dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, disamping itu mampu meningkatkan aktivasi dan penambahan unsur hara bagi tanaman (Purnomo et al., 2016; Purwasasmita, 2009).

Pemberian PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan padi, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashrafuzzaman et al. (2009) di lahan sawah padi menunjukkan bahwa sebagian besar hasil isolasi bakteri berpengaruh signifikan terhadap tinggi tanaman, panjang perakaran, dan substansi kering yang menghasilkan batang dan akar benih padi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PGPR memberikan keuntungan dalam mendukung peningkatan produksi padi.

f. Berat 1000 Biji dan Berat Gabah Panen

Tabel 15. Pengaruh Beberapa Pemupukan terhadap Berat 1000 Biji dan Berat Gabah Panen

Perlakuan Berat 1000 Biji (g) Berat Gabah Panen (ton ha-1)

Kontrol 29,08a 4,00a

PK 28,37a 3,88a

Pukan 29,97a 4,30a

PHL 30,63a 4,07a

PKom 30,26a 4,22a

Keterangan: Kontrol=tanpa pemupukan; PK=Pupuk Kimia; Pukan=Pupuk Kandang; PHL=Pupuk Hayati Lokal+Pupuk Kandang; PKom=Pupuk Hayati Komersial+Pupuk Organik Komersial; hst=hari setelah tanam

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Anova (P>0,05)

Hasil analisis statistik pada Tabel 15 menunjukkan bahwa beberapa perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata terhadap berat 1000 biji padi. Perlakuan dengan PHL mempunyai hasil yang tertinggi terhadap berat 1000 biji padi di antara perlakuan pemupukan lainnya. Setianingsih (2009) meneliti bahwa kandungan asam fenol dalam

(23)

71

MOL bonggol pisang mampu memberikan kecukupan beberapa nutrisi, seperti Al, Ca, dan Fe yang sangat dibutuhkan dalam proses pembungaan dan pembentukan biji pada pertumbuhan tanaman. Menurut Waluyo et al. (1990), meskipun ukuran maksimal dari suatu biji tanaman dipengaruhi oleh genetiknya, pembentukan ukuran aktual dari sebuah benih juga dipengaruhi kondisi lingkungannya pada saat proses pengisian biji. Oleh karena itu kegiatan dalam pertanian, termasuk pengelolaan tanah, pengaturan waktu tanam, dan sistem irigasi sangat penting.

Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa beberapa perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata terhadap berat panen padi. Perlakuan dengan pukan mempunyai hasil yang tertinggi terhadap berat panen padi di antara perlakuan pemupukan lainnya.

Pupuk kandang dari kotoran sapi lokal mengandung 3 jenis mikroba, yaitu:

Actinomycetes, Lactobacillus, dan Aspergillus sp. Mikroba tersebut mampu melakukan proses dekomposisi yang dapat memperbaiki struktur kimia, fisika, dan biologi tanah, karena nutrisi yang terkandung dalam bahan organik agar dapat diserap oleh tanaman, maka harus didekomposisikan lebih dahulu. Penggunan pupuk kandang membuat tanah lebih subur dan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan akar (Idham et al., 2016; Novizan, 2005). Budiastuti et al. (2012) meneliti penggunaan pupuk kandang dari kotoran ayam, sapi, dan kambing untuk mensuplai kandungan gizi pada tanaman melon organik. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pupuk kandang dari kotoran sapi adalah yang paling potensial mensuplai kandungan gizi bagi tanaman.

Hasil berat gabah panen dengan perlakuan menggunakan MOL bonggol pisang, PGPR akar bambu dan kompos pupuk kandang masih lebih rendah dari rata-rata produktivitas padi di Kabupaten Klaten sekitar 5,7 ton ha-1 maupun secara nasional sekitar 5,15 ton ha-1. Hal ini kemungkinan karena pemberian pupuk kurang optimal dan kondisi tanah yang miskin kandungan hara sehingga perlu dilakukan percobaan variasi dosis pupuk dan pemakaian secara kontinu. Akan tetapi hasil berat gabah panen masih lebih tinggi dari perlakuan menggunakan pupuk kimia sehingga mempunyai peluang untuk mensubstitusi atau mengurangi penggunaan pupuk kimia tersebut.

g. Emisi Gas Metana (CH4) pada Beberapa Perlakuan Pemupukan

Gambar 16 memperlihatkan bahwa Emisi gas CH4 dari beberapa perlakuan pemupukan lebih tinggi dari kontrol pada pengamatan di usia 31 dan 61 hst, namun

(24)

72

pada usia 91 hst, kontrol adalah yang tertinggi dibanding dengan perlakuan pemupukan.

Pada usia 31 hst, emisi gas CH4 yang tertinggi adalah pada perlakuan menggunakan PK dan yang terendah adalah pada kontrol. Emisi gas CH4 pada PK adalah 0,456 mg m-2 menit-1, 0,450 mg m-2 menit-1 pada pukan, 0,264 mg m-2 menit-1 pada PHL, 0,187 mg m-

2 menit-1 pada PKom, dan 0,110 mg m-2 menit-1 pada kontrol. Emisi gas CH4 pada usia 61 hst, yang tertinggi adalah pada perlakuan menggunakan PKom dan yang terendah adalah pada kontrol. Emisi gas CH4 pada PKom adalah 0,217 mg m-2 menit-1, 0,151 mg m-2 menit-1 pada PHL, 0,150 mg m-2 menit-1 pada Pukan, 0,143 mg m-2 menit-1 pada PK, dan 0,080 mg m-2 menit-1 pada kontrol. Emisi gas CH4 pada usia 91 hst, yang tertinggi adalah pada kontrol dan yang terendah adalah pada perlakuan menggunakan pukan.

Emisi gas CH4 pada PK adalah 0,024 mg m-2 menit-1, 0,017 mg m-2 menit-1 pada PKom, 0,010 mg m-2 menit-1 pada PHL, 0,008 mg m-2 menit-1 pada pukan, dan 0,025 mg m-2 menit-1 pada kontrol.

Gambar 16. Fluks Gas CH4 pada Beberapa Perlakuan Pemupukan

Keterangan: Kontrol=tanpa pemupukan; PK=Pupuk Kimia; Pukan=Pupuk Kandang; PHL=Pupuk Hayati Lokal+Pupuk Kandang; PKom=Pupuk Hayati Komersial+Pupuk Organik Komersial; hst=hari setelah tanam

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Emisi gas CH4 pada usia 91 hst di setiap perlakuan adalah yang terendah daripada pada usia 31 dan 61 hst. Hal ini kemungkinan bisa terjadi dikarenakan pada awal musim tanam terjadi dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroorganisme dalam tanah melalui ekstrudat akar sebagai penyedia

(25)

73

kebutuhan oksigen untuk kelangsungan hidupnya dan membentuk senyawa untuk kebutuhan substrat bakteri methanogen yang akan menyebabkan terjadinya produksi CH4 (Setyanto et al., 2004; Wenlin et al., 2014).

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa pola emisi CH4 di setiap perlakuan pemupukan terdapat perbedaan. Di setiap perlakuan terlihat bahwa emisi CH4 tinggi pada 31 hst dan menurun di 61 dan 91 hst, hanya pada perlakuan dengan menggunakan PKom saja yang meningkat pada 61 hst. Puncak emisi CH4 adalah teramati pada 31 dan 61 hst, yaitu pada fase vegetatif pertumbuhan padi dan menurun pada 91 hst, yaitu pada fase generatif pertumbuhan padi, hal ini kemungkinan terjadi karena rendahnya proses transfer CH4 dari tanah menuju udara dan sedikit terjadinya proses produksi yang dilakukan oleh bakteri metanogen (Setyanto et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa semakin mendekati fase generatif, hasil fotosisntesa digunakan untuk membentuk bunga atau buah sehingga eksudat akar mengecil, sumber karbon semakin kecil. Padahal eksudat akar ini yang dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk menghasilkan CH4. Sedangkan nilai konsentrasi emisi CH4 yang didapatkan positif pada 31, 61, dan 91 hst menunjukkan terjadinya proses pelepasan gas CH4 ke udara (Hou et al., 2000). Fluks CH4 meningkat setelah penanaman dan berubah banyak pada saat musim pertumbuhan padi, biasanya nilai maksimum pada saat 30-60 hst. Dari hasil penelitian oleh Trinh et al. (2017) menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi penggunaan NPK plus kompos di lahan padi sawah menghasilkan emisi metana yang cukup tinggi (14-72 mg C/m2h).

Asri (2010) melaporkan bahwa bertambahnya jumlah anakan berpengaruh pada bertambah pula jumlah aerenkim yang menyebabkan peningkatan fluks CH4. Hal ini bisa juga karena berkurangnya gas CH4 yang keluar melalui batang padi yang berasal dari tanah menuju atmosfer sehingga jumlah anakan mempunyai peran penting dalam pengaturan transportasi dan emisi CH4 (Bhattacharyya et al. 2019). Pada fase pertumbuhan padi terjadi penambahan jumlah anakan hingga terjadi penurunan mendekati fase pembungaan. Secara keseluruhan dari hasil percobaan dari perlakuan pemupukan memperlihatkan pada 91 hst adalah titik terendah dari fluks CH4. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jiang et al. (2016) yang melaporkan bahwa bentuk anakan yang besar (panjang) berpengaruh pada produksi padi yang tinggi dengan emisi CH4 yang rendah. Selain itu juga kemungkinan karena hasil dari proses fotosintesa yang tidak optimal dapat mempengaruhi peningkatan produksi eksudat akar

(26)

74

yang secara tidak langsung juga mempengaruhi produksi biji padi (Setyanto et al., 2004).

Gambar 17. Emisi Gas CH4 dalam 1 Musim Tanam di Beberapa Perlakuan Pemupukan

Keterangan: Kontrol=tanpa pemupukan; PK=Pupuk Kimia; Pukan=Pupuk Kandang; PHL=Pupuk Hayati Lokal+Pupuk Kandang; PKom=Pupuk Hayati Komersial+Pupuk Organik Komersial; hst=hari setelah tanam

Gambar 17 menunjukkan emisi CH4 dalam 1 (satu) musim tanam dengan urutan secara berturut-turut adalah pupuk kimia>pupuk kandang>pupuk hayati lokal plus>pupuk hayati dan organik komersial sebesar 1,952, 1,884, 1,001, dan 0,954 kali lebih besar dari tanpa pemupukan (kontrol). Uji ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total emisi CH4 selama 1 musim tanam. Pada saat padi berusia 31 dan 61 hst menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap emisi gas CH4 yang dihasilkan, sedangkan pada saat usia 91 hst menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap emisi gas CH4 yang dihasilkan. Tingginya total emisi CH4 yang berasal dari penggunaan pupuk kandang menurut Zhang et al. (2018) dikarenakan pada pupuk kandang terdapat cukup banyak bakteri metanogen yang kemungkinan dapat meningkatkan pembentukan gas CH4, terutama jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus. Kim et al., (2014) melaporkan bahwa dalam pupuk kandang dari kotoran sapi mengandung C organik dalam bentuk senyawa terurai yang tinggi. Oleh karena itu penggunaan pupuk kandang dari kotoran sapi yang dikombinasikan dengan pupuk

(27)

75

hayati (MOL dan PGPR) mampu menurunkan emisi CH4 dikarenakan penambahan pupuk hayati bisa mengurangi dosis pupuk kandang yang digunakan.

Emisi gas CH4 juga dipengaruhi oleh beberapa mikroorganisme di dalam tanah, yaitu bakteri metanogen dan metanotrof, sebagian besar terdiri dari Actinobacteria, Acidobacteria, Proteobacteria, Planctomycetes, Euryarchaeota, Thaumarchaeota, Bathyarchaeota, dan Chloroflexi (Vaskmaa et al., 2017). Pelepasan gas CH4 terjadi pada keseimbangan jaringan dari aktivitas bakteri metanogen dan metanotrof (Ding et al., 2019). CH4 terbentuk melalui proses dekomposisi katalisasi karbon organik oleh mikroba metanogen pada kondisi anaerob di dalam tanah, hal tersebut sebagai penyediaan bahan organik bebas yang dapat memperkaya kandungan substrat karbon bagi bakteri metanogen (Akram et al., 2018; Lu et al., 2000). Aktivitas mikroba tanah di lahan padi berpengaruh pada emisi CH4 yang disebabkan karena tahapan pertumbuhan padi dan penambahan pupuk N (Zhu et al., 2018).

5. Karakteristik dan Persepsi Responden a. Hasil Survey Klasifikasi Usia Petani

Gambar 18 menunjukkan bahwa usia responden yang terbanyak adalah >46 tahun (60,29%), kemudian 26-45 tahun (38,97%) dan yang paling sedikit adalah kisaran usia 12-25 tahun (0,74%). Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi pihak terkait untuk dapat dapat meningkatkan semangat generasi muda agar tertarik berkecimpungan di bidang pertanian.

Gambar 18. Klasifikasi Kelompok Usia Responden

(28)

76 b. Hasil Survey Jenis Kelamin Petani

Gambar 19 menunjukkan keterwakilan gender pada responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah ada 41 orang wanita dan 95 orang laki-laki. Hal ini memberikan gambaran bahwa 30,15% dari total responden adalah wanita dan 69,85%

adalah laki-laki.

Gambar 19. Jenis Kelamin Responden

c. Hasil survey Tingkat Pendidikan Petani

Gambar 20. Jenjang Pendidikan Responden

Gambar 20 memperlihatkan bahwa sebagian besar dari responden adalah berpendidikan SLTA/SMK (50,74%), kemudian yang terbanyak selanjutnya berturut- turut adalah berpendidikan S1 (21,32%), SLTP (18,38%), D3 (5,15%), SD (3,68%), S2 (0,74%). Hal ini menunjukkan bahwa untuk tingkat pendidikan dari responden cukup

(29)

77

berkompeten dalam hal ilmu pengetahuan yang dimiliki dan diharapkan mampu menerima teknologi baru yang berkembang di bidang pertanian.

d. Hasil Survey Jenis Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan sangat berpengaruh pada sistem pengelolaan lahan yang diterapkan oleh petani, dimana petani dengan kepemilikan lahan sewa kemungkinan akan lebih mengutamakan produksinya dan mengabaikan kondisi pencemaran yang terjadi di lahan garapannya. Sedangkan bagi petani sebagai pemilik lahan kemungkinan akan lebih peduli pada kondisi pencemaran lahan dan tidak hanya mengejar keuntungan produksi saja. Gambar 21 menunjukkan bahwa responden dengan status lahan sewa (56,62%) lebih tinggi dibanding dengan status lahan milik sendiri (34,56%).

Gambar 21. Kepemilikan Lahan

e. Hasil Survey Ketersediaan Sumber Daya Lokal

Gambar 22 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa ketersediaan bahan baku lokal untuk pembuatan MOL dan PGPR (pohon pisang dan pohon bambu) adalah cukup mudah didapatkan di lokasi sekitar rumahnya (92,65%).

Bonggol pisang dari pohon pisang milik sendiri lebih banyak daripada yang diperoleh dari pohon pisang milik tetangga. Pohon bambu lebih banyak diperoleh dari tetangga dan yang memperoleh dari milik sendiri lebih sedikit sehingga untuk ketersediaan pohon pisang dan pohon bambu perlu diperluas dengan melakukan peremajaan melalui penanaman di sekitar pekarangan rumah, kebun, tepian sungai, lahan sawah, dan lokasi- lokasi lainnya yang dapat diakses secara mudah.

(30)

78

Gambar 22. Ketersediaan Bahan Baku Lokal di Sekitar Rumah dan Akses untuk Memperoleh Pohon Pisang dan Pohon Bambu

f. Hasil Survey Kepemilikan Hewan Ternak

Gambar 23. Kepemilikan Ternak

Gambar 23 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden selain bertani juga memelihara ternak (54,41%), dengan jenis ternak terbanyak berturut-turut adalah kambing, ayam, sapi, dan kerbau sehingga kotoran hewan ternak sebagai bahan baku pembuatan pupuk kandang bisa didapatkan dari buangan limbah dari peternakan yang dikelola oleh petani.

(31)

79 g. Kemudahan Memperoleh Air

Gambar 24. Kemudahan Mendapatkan Air dan Asal Sumber

Gambar 24 menunjukkan bahwa sebagian besar responden manyatakan cukup mudah mendapatkan air (94,85%), mayoritas berasal dari sungai, kemudian secara berurutan berasal dari mata air, sumur serta sungai + sumur.

h. Pertimbangan Menggunakan Sumber Daya Lokal dalam Pengelolaan Pertanian

Gambar 25 menunjukkan bahwa pertimbangan dari sebagian besar responden menggunakan sumber daya lokal dalam pengelolaan pertanian berturut-turut adalah dikarenakan: (1) biaya murah, (2) mudah memperoleh bahan baku, (3) ramah lingkungan, (4) efektif dan efisien, (5) praktis, (6) hasil meningkat, (7) mengurangi biaya produksi, (8) hasil meningkat, (9) tanah lebih gembur, dan (10) tahan penyakit.

Gambar 25. Pertimbangan Responden Menggunakan Sumber Daya Lokal dalam Pengelolaan Pertanian

(32)

80

6. Keuntungan Ekonomi dari Pemanfaatan Sumber Daya Lokal Melalui Pengelolaan Pertanian Organik

Gambar 26. Alokasi Pengeluaran untuk Pembelian Pupuk dan Pestisida

Gambar 26 memperlihatkan bahwa kebutuhan setiap responden dalam mengalokasikan biaya untuk membeli kebutuhan pupuk dan pestisida adalah berbeda- beda. Sebagian besar responden mengeluarkan biaya antara 100-500 ribu rupiah untuk kebutuhan pupuk dan pestisida, namun ada juga yang bikin sendiri. Penggunaan sumber daya lokal untuk bahan baku pupuk dan pestisida sangat membantu petani mengurangi biaya masukan (input) produksi yang dikeluarkan sehingga mampu menghemat pengeluaran yang selama ini membebani petani. Bahkan ada responden yang mengeluarkan biaya sekitar 1,5-2 juta rupiah masing-masing untuk kebutuhan pembelian pupuk dan pestisida.

Tabel 16 memperlihatkan perhitungan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli bahan-bahan pembuatan pupuk ramah lingkungan (MOL bonggol pisang, PGPR akar bambu dan pupuk kandang) yang digunakan dalam penelitian ini (beberapa bahan diperoleh secara gratis karena berupa limbah). Secara keseluruhan perkiraan biaya yang dikeluarkan adalah kurang lebih Rp. 56.000,00. Besaran biaya tersebut cukup terjangkau oleh petani jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk kimia. Hal ini terbantu karena beberapa bahan diperoleh secara cuma- cuma yang dapat menghemat pengeluaran biaya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam studi geografi yang bersifat human oriented maka manusia dan kegiatan manusia selalu menjadi fokus analisis dalam keterkaitannya dengan lingkungan biotik, abiotik

Sebuah aktifitas Customer Relations Officer (CRO) dalam perusahaan didefinisikan sebagai integrasi dari strategi penjualan, pemasaran, dan pelayanan yang

Dari seluruh analisis data berdasarkan Correlation Matrix a dapat diketahui ada lima faktor yang mempengaruhi Quality of Work Life (QWL) yakni faktor kondisi

128 Walaupun mayoritas jawaban responden menyatakan setuju terhadap dimensi ini, namun jika diperhatikan sebanyak 6, 30 % yaitu 72 responden menyatakan ragu- ragu bahwa

Kedua, faktor lingkungan seperti latar belakang siswa, pengalaman keluarga, dan situasi keuangan keluarga siswa juga mempengaruhi kemajuan membaca siswa. Orang tua

Argument dengan di perkuat pada status yang di tulis dalam postingannya dan foto ini pun bersifat rhematic simbol atau simbol rheme yakni tanda yang dihubungkan

Berdasarkan pengamatan pada Tabel 4.32 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa persepsi responden terhadap dimensi directive dari variabel Gaya Kepemimpinan berada

Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga yang dapat menyebabkan siswa mengalami kesulitan belajar diperoleh data dengan presentase paling tinggi sebesar 96%, seperti dukungan