• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA DIPLOMATIK INDONESIA TERHADAP CHINA DALAM MENYELESAIKAN POTENSI KONFLIK LANDAS KONTINEN NATUNA DI LAUT CHINA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UPAYA DIPLOMATIK INDONESIA TERHADAP CHINA DALAM MENYELESAIKAN POTENSI KONFLIK LANDAS KONTINEN NATUNA DI LAUT CHINA SELATAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA DIPLOMATIK INDONESIA TERHADAP CHINA DALAM MENYELESAIKAN POTENSI KONFLIK LANDAS KONTINEN

NATUNA DI LAUT CHINA SELATAN Nurul Fitri Zainia Ariffien1

NIM. 0702045011

Abstract

Sovereignty claims over almost all of South China Sea region by China could be turn into territorial potential conflicts with Indonesia. Because water territory of Natuna will get the spilled over effect from that claim. Although Indonesia is not one of the state claimants South China Sea, Indonesia has interests that must be maintained, political interests which related with regional stability that will be impacted directly to Indonesia also economic interests, especially at exclusive economic zone (EEZ) of Natuna.

Indonesia through zero draft code of conduct together with China creates mutual trust, prevent incidents, and manage the incidents if there is happen.

Declaration on The Conduct of The Parties in the South China Sea is a progressive effort in reducing the potential for conflict and the development of cooperation in the South China Sea.

Keywords: Natuna, Indonesian diplomacy Pendahuluan

Kepulauan Natuna merupakan wilayah Indonesia yang paling utara di Selat Karimata. Kepulauan Natuna terdiri dari pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung dengan wilayah maritim tiga negara, yaitu Malaysia, Singapura dan Vietnam (http://id.scribd.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013). Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Kawasan laut Natuna juga merupakan salah satu jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan menjadi lintasan laut internasional bagi kapal-kapal yang datang dari Samudera Hindia memasuki negara-negara industri di sekitar laut tersebut dan juga menuju Samudera Pasifik (http://regional.kompasiana.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013).

Akan tetapi, China selama ini mengklaim kedaulatan di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Dalam hal wilayah, China mengklaim 90% wilayah perairan Laut China Selatan seluas 3,6 juta kilometer persegi. Klaim itu didasari pada peta

1Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman. Email: fiza.geulis@gmail.com

(2)

kuno armada laut China pada abad kedua sebelum Masehi pada masa dinasti Qin dan dinasti Han. Kemudian dari tahun 960 sampai 1368, orang-orang China memperluas aktivitasnya ke perairanan pulau Zhongsha dan Nansha. Aktivitas- aktivitas China berlanjut terus sampai tahun 1911, dimana wilayah kegiatannya sudah mencakup semua pulau di Laut China Selatan (http://idu.ac.id, diakses pada tanggal 5 Mei 2013).

Pemerintah China di masa Perdana Menteri Zhou Enlai pada tahun 1949 juga menegaskan klaimnya dalam bentuk kebijakan yang dikenal dengan U-Shaped Line atau sering disebut batas sembilan garis putus-putus (nine dash lines) (http://www.kawasanperbatasan.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013). Batas ini merupakan garis demarkasi yang digunakan oleh pemerintah China yang mencakup fitur-fitur utama Laut China Selatan. Wilayah di dalam batas garis tersebut dianggap oleh pemerintah China sebagai wilayah kedaulatan China.

Persengketaan China di wilayah ini mencakup dua persoalan utama yaitu kedaulatan teritorial dan kedaulatan maritim. Kedaulatan teritorial membahas tentang kepemilikan wilayah daratan yang ada di daerah ini sementara persengketaan kedaulatan maritim berhubungan dengan penetapan batas yang diijinkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS III) 1982. UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil

(http://www.kawasanperbatasan.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013).

Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim di wilayah sengketa itu, akan tetapi Indonesia memiliki pula kepentingan di perairan tersebut. Selain kepentingan politik yang terkait dengan stabilitas kawasan, Indonesia mempunyai pula kepentingan ekonomi di Laut China Selatan, khususnya pada zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Untuk kepentingan pertama, stabilitas kawasan di Laut China Selatan akan berimplikasi langsung terhadap Indonesia. Meskipun bukan sebagai negara pengklaim, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan konflik di perairan itu akan berimplikasi langsung terhadap wilayah kedaulatan Indonesia di Laut Natuna dan sekitarnya.

Kedua, kepentingan ekonomi yaitu Laut China Selatan sebagai salah satu sumber pendapatan Indonesia, baik dari bidang minyak dan gas maupun perikanan.

Wilayah ZEE Indonesia di Laut China Selatan menyumbang kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan migas Indonesia, yaitu sekitar 30 persen. Anjungan- anjungan yang terdapat di ZEE Indonesia dikelola oleh beberapa perusahaan energi multinasional yang sebagian besar dari hasil gas alamnya langsung diekspor ke Singapura. Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia (http://id.scribd.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013). Wilayah ini bisa menjadi sumber perdebatan dan rawan konflik dengan China yang mendasari klaim wilayahnya pada sejarah dan garis batas maritim tradisional (batas maritim paling selatan).

Selain itu, Laut China Selatan mengandung pula potensi perikanan yang cukup besar bagi Indonesia. Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (2001),

(3)

potensi perikanan di Laut China Selatan adalah 1.057,05 ton, sedangkan produksi yang tergarap baru 379.90 ton atau tergolong wilayah underfishing (http://www.fkpmaritim.org, diakses pada tanggal 5 Mei 2013).

Berdasarkan peta China pada tahun 1947 yang menunjukkan 9 (sembilan) garis putus-putus tersebut meliputi wilayah P. Hainan sampai ke Pantai Kalimantan yang mencakup Teluk Tonkin, Kep. Paracel dan Kep.Spratly. Demikian pula pada tahun 1995 berdasarkan Peta China menunjukkan bahwa ladang gas Natuna berada dalam territorialnya, walaupun terletak lebih dari 1.000 mil sebelah selatan China. Selain itu China pernah menyatakan klaim terhadap sebagian Laut Natuna sampai ke perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat dan sekeliling Vietnam (http://judiono.wordpress.com, diakses pada tanggal 3 Mei 2013).

Kawasan Laut China Selatan yang berada di kawasan perairan Natuna sangat vital bagi China karena kawasan itu merupakan alur pelayaran penting sebagai penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi China yang berlangsung sangat pesat beberapa tahun terakhir ini juga membutuhkan sumber-sumber energi baru dari segala penjuru dunia guna mendukung kelangsungan segala macam kegiatan sektor riilnya.

Apabila China memaksakan klaimnya atas hampir seluruh perairan Laut China Selatan, hal ini akan menimbulkan ketegangan hubungan antara China dan negara-negara yang juga memiliki kepentingan serta wilayah klaimnya sendiri di Laut China Selatan. Situasi ini akan terus menciptakan ketidakpastian keamanan di kawasan dan meningkatkan kemungkinan akan terjadinya konflik terbuka di kawasan tersebut.

Melihat potensi ancaman yang ada, baik ancaman yang berasal dari militer maupun non militer maka Indonesia perlu mengambil langkah dalam sengketa Laut China Selatan. Langkah terpenting yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan diplomasi dengan China, baik pada jalur bilateral maupun multilateral. Indonesia perlu mendekati Cina dengan tujuan untuk membujuk negara itu untuk tetap mematuhi DOC (Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea) maupun TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) guna mencegah potensi konflik ini menjadi eskalasi konflik yang menggunakan kekuatan militer.

Melakukan diplomasi preventif diharapkan dapat menekan potensi konflik antara Indonesia dan China. Diplomasi preventif dilakukan sebagai upaya pencegahan agar perselisihan tidak semakin memanas dan menjadi konflik terbuka antar negara. Hal ini dengan cara mengadakan berbagai kerjasama antara Indonesia dan China baik dalam bidang ekonomi, militer maupun teknologi. Usaha-usaha ini diharapkan mampu menekan konflik yang terjadi di Laut China Selatan demi menjaga keamanan dan kepentingan Negara Indonesia.

Landasan Teori

1. Diplomasi dan Negosiasi

Diplomasi merupakan praktek bernegosiasi dalam Hubungan internasional antar negara melalui perwakilan-perwakilan resmi (diplomat). Kata diplomasi sendiri

(4)

biasanya terkait dengan diplomasi internasional yang mengurus berbagai hal kenegaraan seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan.

Definisi diplomasi menurut The Oxford English Dictionary adalah manajemen hubungan internasional melalui negosiasi, yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil; bisnis atau seni para diplomat. Menurut The Chamber’s Twentieth Century Dictionary, diplomasi adalah “the art of negotiation, especially of treaties between states; political skill.” (seni berunding/negosiasi, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara;

keahlian politik). Disini yang pertama menekankan kegiatannya sedangkan yang kedua meletakkan penekanan pada seni negosiasinya (Roy, 1991:2).

Sir Ernest Satow mendefinisikan diplomasi sebagai aplikasi intelijen dan taktik menjalankan hubungan resmi antara pemerintahan yang berdaulat, yang kadangkala diperluas dengan hubungan dengan negara- negara jajahannya.

Sejalan dengan Satow, Barston mendefinisikan diplomasi sebagai manajemen hubungan antar negara atau dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya (Djelantik, 2008:4). Menurut Ivo D. Duchacek : “Diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dengan

cara negosiasi dengan negara lain”

(http://internationalrelationsunjani.wordpress.com, diakses pada tanggal 6 Mei 2013).

Dalam hubungan diplomatik, terdapat beberapa tipe-tipe diplomasi yang dibedakan menurut metode yang digunakan. Tipe-tipe tersebut antara lain, Diplomasi Komersial, Diplomasi Demokratis, Diplomasi Totaliter, Diplomasi Melalui Konferensi, Diplomasi Diam-Diam, Diplomasi Preventif, Diplomasi Sumberdaya (Roy, 1991:3).

Dari beberapa definisi diatas, poin penting dari pengertian diplomasi adalah, pertama, unsur pokok dari diplomasi adalah negosiasi. Kedua, negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara. Ketiga, tindakan-tindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional dan sebisa mungkin dilaksanakan dengan jalan damai.

Secara terminologi negosiasi dapat didefinisikan sebagai: The process where interested parties resolve dispute, agree upon courses of action, bargain for individual or collective adventage, and/or attempt to craft outcomes which serve their mutual interests (proses perundingan dua pihak yang bertikai baik sifatnya individual maupun kolektif untuk mencari solusi penyelesaian bersama yang saling menguntungkan) (Jamil, 2007:89).

1. Delimitasi

I Made Andi Arsana (2007:1) mengatakan, delimitasi batas maritim antar negara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antar satu negara dengan negara lainnya di laut. Batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas merupakan hal yang penting bagi hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang efektif.

Sebuah negara pantai memiliki dua jenis zona maritim, yaitu zona nasional dan internasional. Zona maritim nasional meliputi perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea),

(5)

zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen (continental shelf). Sedangkan zona maritim internasional terdiri dari laut bebas (high seas), dan dasar laut dalam (deep seabed) (Arsana, 2007:25).

Menurut UNCLOS 1982, sebuah negara pantai baik itu negara benua (continental state) maupun Negara kepulauan (archipelagic state) seperti halnya Indonesia berhak mengklaim wilayah maritim tertentu yang diukur dari garis pangkalnya.

Wilayah maritim yang bisa diklaim tersebut meliputi perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) khusus untuk negara kepulauan, laut teritorial (territorial sea) sejauh 12 mil laut, zona tambahan (contiguous zone) sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif, ZEE ( exclusive economic zone, EEZ) sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen (continental shelf) (Luhulima, 2008:8).

Garis pangkal atau baselines adalah garis yang merupakan referensi pengukuran batas terluar laut wilayah dan zona yurisdiksi maritim lain sebuah negara pantai.

Garis pangkal juga merepresentasikan batas perairan pedalaman yang berada di sebelah dalam garis pangkal ke arah daratan (landward) (Luhulima, 2008:11).

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia menerapkan garis pangkal kepulauan atau archipelagic baseline (Luhulima, 2008:21). Garis pangkal kepulauan ini merupakan sistem garis pangkal yang melingkupi kepulauan Indonesia dengan menghubungkan titik-titik terluar dari pulau terluar Indonesia.

Dalam perundingan batas laut, perundingan pulau-pulau terluar adalah sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar proyeksi klaim ke wilayah laut. Setelah penentuan titik ini dilakukan, maka tergantung pada posisi pulau-pulau terluar masing-masing Negara (Oegroseno, 2009:313).

2. Demarkasi

Demarkasi atau penegasan batas di lapangan merupakan tahapan selanjutnya setelah garis batas ditetapkan oleh Pemerintah Negara yang saling berbatasan.

Dalam konteks ini, perbatasan sudah didefinisikan secara teknis melalui pemberian tanda/patok perbatasan, baik perbatasan alamiah maupun buatan (artifisial). Hal itu sejalan dengan pengertian perbatasan itu sendiri (http://law.uii.ac.id, diakses pada tanggal 13 Juli 2013).

perbatasan mengandung pengertian sebagai pembatasan suatu wilayah politik dan wilayah pergerakan. Sedangkan wilayah perbatasan, mengandung pengertian sebagai suatu area yang memegang peranan penting dalam kompetisi politik antar dua negara yang berbeda. Sementara itu, menurut Starke secara konseptual, perbatasan Negara dibedakan antara perbatasan “alamiah” dan “buatan”.

Perbatasan alamiah menunjukkan garis yang ditentukan oleh alam, sampai garis mana suatu negara harus dianggap diperluas atau dibatasi dari, atau sebagai perlindungan terhadap negara lain. Perbatasan buatan terdiri dari tanda-tanda yang ditujukan untuk mengindikasi garis perbatasan imajiner, atau paralel dengan garis bujur atau garis lintang (http://law.uii.ac.id, diakses pada tanggal 13 Juli 2013).

Delimitasi dipengaruhi oleh kepentingan politik dan hukum dan hukum suatu negara sedangkan demarkasi bersifat teknis untuk mengkonstruksi hasil delimitasi agar dapat dikenali (http://www.tabloiddiplomasi.org, diakses pada tanggal 13 Juli

(6)

2013). Selanjutnya, melalui demarkasi, pihak aparat maupun masyarakat dapat mengenali hak-hak dan kewajiban ketika mereka berada didalam negaranya atau harus tunduk kepada hukum negara lain ketika mereka berada diluar wilayah negaranya.

Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah eksplanatif, yang menjelaskan tentang upaya diplomatik Indonesia dan China dalam menyelesaikan potensi konflik landas kontinen Natuna di Laut China Selatan. Data-data yang dipaparkan adalah telaah pustaka yaitu penelitian yang berdasarkan data serta informasi dari berbagai literatur seperti buku-buku, artikel, jurnal, majalah, media massa, media internet dan referensi lainnya. Tehnik analisis data adalah data kualitatif yang diperoleh melaui informasi dari berbagai literatur seperti buku-buku, artikel, jurnal dll.

Hasil Penelitian

Kawasan Laut China Selatan merupakan kawasan yang bernilai ekonomis, politik dan strategis dilihat dari posisi geografisnya yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sebagai jalur pelayaran perdagangan atau Sea Lane of Trade (SLOT) dan jalur komunikasi International atau Sea Lane of Communication (SLOC) (http://www.lemhannas.go.id, diakses pada tanggal 5 Januari 2014).

Dibidang perikanan, Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah perikanan yang terkaya di dunia yang mengandung berbagai jenis ikan serta sumber-sumber kekayaan mineral yang potensial. Cadangan minyak di Laut China Selatan diperkirakan sebesar 7,5 barrel dan saat ini produksi minyak bumi mencapai 1,3 juta barrel per hari. Cadangan minyak potensial di Kepulauan Spratly dan Paracel diperkirakan sampai 105 milyar barrel dan di seluruh Laut China Selatan sebanyak 213 milyar barrel (http://idu.ac.id, diakses pada tanggal 5 Mei 2013).

Wilayah Laut China Selatan memiliki peran dan arti geopolitik yang sangat besar karena menjadi titik temu negara China dengan tetangga-tetangganya terutama yang berada dalam wilayah ASEAN dalam hal sejarah, masalah teritorial, keamanan dan juga hal-hal seperti sumber daya alam dan energy security. Bagi China, lautan ini sangat penting bukan hanya karena banyaknya jenis ikan tapi juga kekayaan lainnya yang dapat mendukung perkembangan ekonomi, politik dan pertahanan keamanannya. Oleh karena itu China menuntut Laut China Selatan sebagai bagian dari kedaulatan negaranya.

Latar belakang sejarah dan penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan sebagai alasan bagi China untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut China Selatan. Hal ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan powernya melalui aksi provokatif terhadap negara- negara pengklaim lainnya. Seperti terlihat dalam kebijakannya sejak awal era 1970-an hingga sekarang China secara intensif telah menunjukkan simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak jarang terlihat agresif dengan melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi perairan Laut China Selatan guna mempertahankan sumber-sumber potensial barunya yang dapat

(7)

mendukung kepentingan nasionalnya (http://ejournal.unisri.ac.id, diakses pada tanggal 20 Februari 2014).

Kepentingan China di kawasan Laut China Selatan juga sampai merambah pada kawasan Natuna. Klaim China yang berdasarkan peta garis Sembilan mencakup wilayah ZEE Kepulauan Natuna yang merupakan wilayah kedaulatan Indonesia.

Seperti kawasan Laut China Selatan, kawasan perairan Natuna juga memiliki kekayaan sumber daya alam yaitu gas dan minyak yang sangat diperlukan oleh China. Selain itu, China sangat bergantung pada perairan Natuna, karena perairan ini merupakan pintu masuk dari jalur Laut China Selatan menuju ke Samudera Hindia, dimana hal tersebut sangat penting bagi ekspor barang-barang China.

Dalam strategi pertahanan China yang dikenal sebagai Offshore Defense, dikenal pembagian zona pertahanan yang disebut sebagai “two island chains”. The first island chain merupakan garis tanpa putus yang melingkupi Kepulauan Kuril, Jepang, Kepulauan Ryukyu, Taiwan dan Indonesia (Pulau Kalimantan hingga Pulau Natuna Besar). Dari cakupan geografis itu tergambar dengan jelas bahwa Laut China Selatan merupakan bagian dari the first island chain yang sangat strategis bagi China (http://www.fkpmaritim.org, diakses pada tanggal 5 mei 2013).

Landas kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6. Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari daratan kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah dibawahnya (http://www.tu.bphn.go.id, diakses pada tanggal 10 Januari 2014).

Salah satu masalah penting dari klaim China adalah garis demarkasi. Garis tersebut tidak kontinyu dan tidak ada peta yang bisa menunjukkan seperti apa bentuknya apabila dibuat menyambung. Karena tidak pernah ada penjelasan dari pihak China, maka tidak ada yang tahu arti dan tujuan sebenarya pembuatan garis tersebut dalam konteks strategi. Beberapa ahli mengatakan bahwa 9 dash line ini tidak bisa disahkan sebagai perbatasan teritorial karena tidak sesuai dengan hukum internasional yang mengatakan bahwa perbatasan teritorial harus stabil dan terdefinisi dengan baik (http://idu.ac.id, diakses pada tanggal 5 Mei 2013). Garis tersebut tidak stabil karena dengan mudah bisa berubah dari sebelas menjadi sembilan garis tanpa alasan jelas dan tidak terdefinisi dengan baik karena tidak memiliki koordinat geografis spesifik dan tidak menjelaskan bentuknya apabila semua garis tersebut dihubungkan.

Keamanan kawasan di Laut China Selatan memiliki keterkaitan erat dengan keamanan nasional Indonesia, baik pada aspek politik, ekonomi maupun pertahanan dan keamanan. Pada aspek politik, apabila Indonesia bersama negara-

(8)

negara ASEAN lainnya tidak mampu menata sengketa di perairan itu secara damai, maka akan berdampak negatif terhadap keamanan nasional Indonesia.

Indonesia berkepentingan untuk mengendalikan eskalasi konflik agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Sengketa Laut China Selatan yang berubah menjadi konflik akan menyerap sumberdaya nasional Indonesia yang tidak sedikit guna mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk menyangkut stabilitas kawasan pada aspek diplomatik.

Upaya Diplomasi Indonesia

Sejauh ini, belum ada perundingan untuk menetapkan garis batas ZEE antara China dan Indonesia di perairan Natuna. Hal ini dikarenakan antara China sendiri dengan negara-negara ASEAN lainnya yang mengklaim kedaulatan di wilayah Laut China Selatan belum mencapai kesepakatan. Namun Indonesia tetap melakukan upaya diplomatik dengan China agar sengketa wilayah Laut China Selatan tidak meluas ke wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna.

Menlu Indonesia Marty Natalegawa dan Menlu China Yang Jiechi sepakat untuk mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan.

Mengimplementasikan secara penuh dan efektif dari Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC), yaitu membangun rasa saling percaya, meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan (http://www.bbc.co.uk, diakses pada tanggal 12 Mei 2014).

Selain upaya-upaya penyelesaian konflik oleh ASEAN, Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN telah berperan sebagai mediator untuk memfasilitasi penyelenggaran sebuah lokakarya, yaitu; Managing Potential Conflicts in the South China Sea Workshop sejak tahun1989 untuk mengelola potensi konflik di kawasan laut China Selatan melalui upaya pengembangan confidence building measures (tersedia dalam http://cil.nus.edu.sg, diakses pada tanggal 12 Mei 2014).

Dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai. Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia (http://jakartabeat.net, diakses pada tanggal 12 Mei 2014).

Ada tiga poin penting yang menjadi tujuan zero draft code of conduct yang diusulkan oleh Marty, yakni untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden, dan mengelola insiden jika insiden itu terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan langkah-langkah konkrit yang mengatur kapal-kapal perang untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden dan mengelola insiden. Secara prinsip tiga target utama dari code of conduct yang telah diusulkan Marty pada September 2012 lalu itu telah disetujui dalam pertemuan antara menteri luar ASEAN dan China di Beijing pada Agustus 2013.

Keberhasilan Indonesia bersama ASEAN serta China dalam upaya penyelesaian masalah Laut China Selatan dengan terciptanya Declaration on The Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002 dianggap sebagai salah satu implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium). Doktrin tersebut merujuk pada suatu kondisi

(9)

yang ditandai oleh hubungan antar negara yang mengedepankan kemitraan dan berlandaskan keyakinan bahwa sangat dimungkinkan dikembangkan suatu tatanan internasional yang baru yang bersifat win-win dan bukan zero-sum (http://www.tabloiddiplomasi.org/, diakses pada tanggal 12 Mei 2014). Hal ini berarti tidak ada kekuatan dominan tunggal di kawasan dan berbagai negara berinteraksi secara damai dan menguntungkan.

Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea pada tahun 2002 merupakan sebuah langkah yang memberikan gambaran cukup jelas mengenai penyelesaian masalah dengan mekanisme kerjasama sesuai dengan Doktrin Natalegawa. Ada beberapa poin yang perlu dicatat sehubungan dengan deklarasi tersebut. Pertama, deklarasi tersebut adalah langkah awal dalam penyelesaian konflik dengan kode etik. Deklarasi tersebut juga membuat pihak- pihak yang terlibat di konflik Laut China Selatan harus menerapkan prinsip yang terkandung di dalam ASEAN Treaty of Amity and Cooperation sebagai basis kode etik internasional di kawasan Laut China Selatan.

Kedua, deklarasi ini menciptakan basis legal terhadap penyelesaian konflik di Laut China Selatan. Pihak-pihak yang terlibat di dalam deklarasi tersebut harus memiliki komitmen untuk melakukan afirmasi kembali terhadap Charter PBB dan UN Convention on the Law of the Sea 1982, TAC, dan berbagai hukum internasional lainnya yang mengakui prinsip-prinsip hukum internasional yang mengakomodasi hubungan antar negara. Ketiga, deklarasi ini memberikan syarat kepada negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk menyelesaikan persoalan di Laut China Selatan dengan kebiasaan yang baik dan menjunjung tinggi perdamaian. Poin keempat pada deklarasi ini menjelaskan “The Parties concerned undertake to resolve their territorial and jurisdictional disputes by peaceful means, without resorting to the threat or use of force, through friendly consultations and negotiations by sovereign states directly concerned…”.

Dari beberapa poin diatas, ASEAN bersama dengan China memang sudah melakukan upaya ke arah pengembangan mekanisme penyelesaian konflik Laut China Selatan dengan damai. Para pihak di dalam deklarasi tersebut memiliki komitmen untuk melakukan eksplorasi berbagai cara untuk membangun kepercayaan yang berbasis kesetaraan dan penghormatan yang mutual. Hingga saat ini, ASEAN bersama China sedang melakukan upaya yang lebih kongkrit dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan dengan mengupayakan suatu jalan bagi pembentukan “Code of Conduct of the Parties in South China Sea”.

Selanjutnya adalah tinggal bagaimana Indonesia sebagai mediator bisa secara konsisten meyakinkan negara-negara yang bersengketa mau menerapkan code of conduct sebagai cara dalam menyelesaian konflik.

Penutup

1. Kesimpulan

Upaya diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap China mendapat tanggapan yang baik dari China. Walaupun sampai saat ini sengketa wilayah di Laut China Selatan masih belum terselesaikan, namun peran Indonesia dapat

(10)

diakui keberhasilannya yang terus mengajak China dan juga negara-negara lain yang berkonflik agar dapat menahan diri dalam konflik tersebut serta dapat berpatisipasi dalam satu forum, mendorong diskusi dan dialog, dan juga menjajaki berbagai kemungkinan dan cara bekerjasama di bidang-bidang yang menjadi perhatian bersama.

Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) merupakan langkah awal dalam penyelesaian konflik dengan kode etik. Dalam deklarasi ini semua negara yang berkonflik termasuk China setuju untuk menjaga stabilitas regional, bekerja sama dan menyelesaikan konflik secara damai.

Draf awal kode etik atau zero draft code of conduct Laut China Selatan yang diusulkan Indonesia bertujuan untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden, dan mengelola insiden jika insiden itu terjadi. Selain itu Perspektif baru Kebijakan Luar Negeri yang dynamic equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di Laut China Selatan. Dynamic Equilibrium merupakan perspektif luar negeri Indonesia yang dianggap telah terimplementasi cukup baik dengan terciptanya Declaration on The Conduct of The Parties in the South China Sea.

Melihat dari kepercayaan yang diberikan baik oleh China maupun negara besar lainnya seperti Amerika Serikat kepada Indonesia, Indonesia harus terus melanjutkan upaya-upaya yang selama ini telah dijalankan agar potensi konflik dapat terus ditekan sampai dihasilkannya jalan keluar yang dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh negara-negara yang bersengketa.

2. Saran

Upaya diplomatik yang dilakukan Indonesia dan China dalam mengatasi potensi konflik landas kontinen di Kepulauan Natuna belum dapat dilakukan secara maksimal karena konflik territorial di Laut China Selatan sendiri begitu kompleks antara China dan beberapa negara ASEAN dan masih belum mencapai jalan keluar yang mapan. Penulis menyarankan agar Indonesia terus berpartisipasi serta mendorong China dan negara-negara yang bersengketa agar konflik territorial di kawasan Laut China Selatan dapat menemukan jalan keluar demi keamanan di kawasan Laut China Selatan terutama keamanan bagi Indonesia di perairan Kepulauan Natuna.

Referensi Buku

Arsana, I Made Andi, 2007, Batas Maritim Antar Negara, Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jamil, Mukhsin, 2007, Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, Semarang: Walisongo Mediaton Centre (WMC).

(11)

Luhulima, C.P.F., 2008, Perbatasan Wilayah Laut Indonesia di Laut China Selatan: Kepentingan Indonesia di Perairan Natuna, Jakarta: LIPI Press.

Oegroseno, Arif Havas, 2009, Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia, Jurnal Hukum Internasional (Journal of International Law) Volume 6 Nomor 3, Jakarta: DIKTI.

Roy, S.L., 1991, Diplomasi, Jakarta: CV. Rajawali.

Internet

Bara Konflik di Laut China Selatan, tersedia dalam http://jakartabeat.net, diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Dinamika Di Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Indonesia, tersedia dalam http://www.fkpmaritim.org, diakses pada tanggal 5 mei 2013

Documents on ASEAN and The South China Sea, tersedia dalam http://cil.nus.edu.sg, diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Indonesia-Cina sepakat pelihara stabilitas di Laut Cina Selatan, tersedia dalam http://www.bbc.co.uk, diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Kabupaten Natuna, pulau kaya tapi miskin, tersedia dalam http://regional.kompasiana.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013

Kawasan Perbatasan, Memahami China Sebagai Kekuatan Baru Kawasan, tersedia dalam http://www.kawasanperbatasan.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013

Kebijakan Pertahanan Indonesia dan Sengketa Laut China Selatan, tersedia dalam http://www.fkpmaritim.org, diakses pada tanggal 5 Mei 2013

Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan, tersedia dalam http://ejournal.unisri.ac.id, diakses pada tanggal 20 Februari 2014

Ketahanan Nasional di Kawasan Pulau Natuna Wilayah Kepri, tersedia dalam http://id.scribd.com, diakses pada tanggal 5 Mei 2013

Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional, tersedia dalam http://www.lemhannas.go.id, diakses pada tanggal 5 Januari 2014

(12)

Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Landas Kontinen, tersedia dalam http://www.tu.bphn.go.id, diakses pada tanggal 10 Januari 2014

Manuver Politik China Dalam Konflik Laut China Selatan, tersedia dalam http://idu.ac.id, diakses pada tanggal 5 Mei 2013

Mencermati Sengketa Teritorial Laut Cina Selatan, tersedia dalam http://judiono.wordpress.com, diakses pada tanggal 3 Mei 2013

Menlu RI: Hubungan Indonesia-China Berada Pada Level Tertinggi, tersedia dalam http://www.tabloiddiplomasi.org/, diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Natalegawa: ASEAN ‘Needs Blueprint, tersedia dalam http://asiasociety.org, diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, tersedia dalam http://www.tabloiddiplomasi.org, diakses pada tanggal 13 Juli 2013

Pelaksanaan Asas Uti Possidetis Dalam Penentuan Titik Patok Perbatasan Darat Indonesia dengan Malaysia, tersedia dalam http://law.uii.ac.id, diakses pada tanggal 13 Juli 2013

Tinjauan Umum Diplomasi, tersedia dalam

http://internationalrelationsunjani.wordpress.com, diakses pada tanggal 6 Mei 2013

World War Spratly Oil, tersedia dalam http://www.globalsecurity.org, diakses pada tanggal 5 Januari 2014

Referensi

Dokumen terkait

untuk setiap contoh yang diperiksa. e) Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku. f) Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam lemari pengeram dan

Pembiayaan musyarakah merupakan pembiayaan di mana terdapat perjanjian antara para pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu,

Dewan Kehormatan adalah Dewan pengawas Kode Etik Tenaga Kependidikan yang terdiri dari unsure tenaga kependidikan, unsure persyarikatan Muhammadiyah, dan unsur lain

Sesuai dengan penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi

Untuk mengajarkan mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar dapat dilaksanakan dengan berbagai metode, namun dilihat dari kenyataan di lapangan saat ini dalam

Mekanisme inferensi adalah rangkaian prosedur yang digunakan untuk menguji pangkalan pengetahuan dengan cara yang sistematik pada saat menjawab pertanyaan, persoalan

Ameliorasi keracunan Fe yakni tambahkan kapur untuk mencegah keracunan Fe pada lahan kering yang digenangi (dosis kapur berkisar antara 500 – 2.000 kg/ha,