ABSTRAK
PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA
Survei Pada Siswa-Siswa Kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman – Yogyakarta
Tadius Sudarna Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif
locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Penelitian dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kabupaten Sleman. Responden dalam penelitian ini sebanyak 373 siswa, dari total populasi sebanyak 10.476 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan
locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,003<α= 0,05); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,005 <α = 0,05); (3) ada pengaruh positif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,007 <α = 0,05).
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND SCHOOL CULTURE TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN
EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING ACHIEVEMENT
A Survey at 3th Grade Students ( IX) of Junior High Schools in Sleman Regency - Yogyakarta
Tadius Sudarna Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
This research was aimed to identify whether or not: (1) there was a positive influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there was a positive influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there was a positive influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.
This research was carried out at private and public Junior High Schools’ (“SMP”) in Sleman Regency. The respondents’ of the research were 373 students, from total population 10.476 students. The sample taking technique used was purposive sampling. The data collecting method used was questionnaire and documentation. The data analysis technique used was regression model developed by Chow.
The results of the data showed: (1) there was a positive and significant influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement(ρ =0,003<α= 0,05 ); (2) there was a positive and significant influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and the students learning achievement (ρ =0,005<α= 0,05); (3) there was a positive and significant influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement
=
ρ
( 0,007 <α = 0,05).
PENGARUH
LOCUS OF CONTROL
, KULTUR KELUARGA, DAN
KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI
BELAJAR SISWA
Survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta
di Kabupaten Sleman – Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Akuntansi
Oleh:
Tadius Sudarna
NIM: 021334021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ABSTRAK
PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA
Survei Pada Siswa-Siswa Kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman – Yogyakarta
Tadius Sudarna Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif
locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Penelitian dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kabupaten Sleman. Responden dalam penelitian ini sebanyak 373 siswa, dari total populasi sebanyak 10.476 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan
locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,003<α= 0,05); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,005 <α = 0,05); (3) ada pengaruh positif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,007 <α = 0,05).
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND SCHOOL CULTURE TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN
EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING ACHIEVEMENT
A Survey at 3th Grade Students ( IX) of Junior High Schools in Sleman Regency - Yogyakarta
Tadius Sudarna Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
This research was aimed to identify whether or not: (1) there was a positive influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there was a positive influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there was a positive influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.
This research was carried out at private and public Junior High Schools’ (“SMP”) in Sleman Regency. The respondents’ of the research were 373 students, from total population 10.476 students. The sample taking technique used was purposive sampling. The data collecting method used was questionnaire and documentation. The data analysis technique used was regression model developed by Chow.
The results of the data showed: (1) there was a positive and significant influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement(ρ =0,003<α= 0,05 ); (2) there was a positive and significant influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and the students learning achievement (ρ =0,005<α= 0,05); (3) there was a positive and significant influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement
=
ρ
( 0,007 <α = 0,05).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Baik, atas segala
berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Akuntansi, FKIP, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Keberhasilan penyusunan skripsi tidak lepas berkat bantuan, dukungan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan limpah terima kasih
kepada :
1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo JR, selaku Ketua Jurusan Pendidikkan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas sanata Dharma.
3. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Program
Studi Pendidikan Akuntansi
4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang
dengan sabar, tekun, dan setia membimbing dan mendampingi penulis selama
proses penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Dosen
Pembimbing II yang telah membantu dan membimbing penulis selama proses
penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Ig. Bondan Suratno, S.Pd.,M.Si., selaku Dosen Tamu yang turut
memberikan dukungan.
7. Para Kepala Sekolah SMP Negeri (SMP N. 2 Pakem, SMP N. 1 Mlati dan SMP
N. 4 Kalasan) dan SMP Swasta (SMP Budi Mulia-Minggir, SMP St.
Aloysius-Turi, SMP Muh. Godean dan SMP Karitas-Nandan) yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di sekolah-sekolah
yang Bapak/Ibu dan Bruder pimpin.
8. Para Bruder Budi Mulia yang telah memberi kepercayaan, dan juga anak-anak
Asrama Budi Mulia-Padon. “Trims mau mengerti aku”
9. Sahabat-sahabatku (Ning dan Edi) yang telah memotivasi dan memberi inspirasi
bagiku.
10.Teman-teman PAK A’02 dan juga bagi siapa saja yang telah memberi dukungan,
dan dorongan kepada penulis sehingga penulis menjadi semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, sumbang
saran dari pembaca, penulis harapkan. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca.
Yogyakarta, 3 April 2007
Tadius Sudarna
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Locus of Control... 9
B. Kultur Keluarga ... 15
C. Kultur Sekolah ... 18
D. Kecerdasan Emosional... 22
E. Prestasi Belajar... 24
F. Kerangka Teoritik ... 31
G. Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 39
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 39
D. Variabel Penelitian dan pengukurannya ... 40
E. Populasi dan sampel 1. Populasi ... 46
2. Sampel ... 46
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 47
F. Tehnik Pengumpulan Data... . 47
G. Uji Coba Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas ... 48
2. Uji Reliabilitas ... 52
H. Tehnik Analisa Data 1. Deskripsi data... 53
2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas... 53
b. Uji Linieritas ... 54
3. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 55
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data... 58
1. Deskripsi Responden penelitian... 58
2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 58
a) Locus of Control ... 61
b) Kultur Keluarga ... 62
c) Kultur Sekolah ... 67
d) Kecerdasan Emosional... 73
e) Prestasi Belajar... 74
B. Analisa Data... 75
1. Pengujian Prasyarat Analisa Data ... 75
2. Pengujian Hipotesis ... 76
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 91
1. Pengaruh Locus of Control pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ... 91
2. Pengaruh Kultur Keluarga pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ... 93
3. Pengaruh Kultur Sekolah pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ... 95
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 98
B. Keterbatasan Penelitian... 100
C. Saran ... 100
Daftar Pustaka ... 103
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 106
Lampiran 2 Validitas dan Reliabilitas ... 113
Lampiran 3 Data Variabel Penelitian ... 121
Lampiran 4 Distribusi Frekuensi ... 177
Lampiran 5 PAP Tipe II ... 215
Lampiran 6 Kuder-Richardson 20 ... 222
Lampiran 7 Normalitas dan Linieritas... 224
Lampiran 8 Regresi ... 226
Lampiran 9 Daftar Tabel Statistik ... 237
Lampiran 10 Surat Ijin Penelitian ... 241
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian yang dilakukan UNDP (United Nation Development Program)
dalam laporan HDI (Human Development Index) menyebutkan bahwa mutu
pendidikan Indonesia pada tahun 1999 adalah peringkat ke-109 dari 174 negara,
kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Matabaca
Vol 3 No 9 Mei 2005 hal 1). Salah satu masalah pendidikan yang tak
henti-hentinya dibicarakan adalah sistem pendidikan yang belum mampu membangun
generasi yang dapat mengatasi tantangan perubahan zaman seperti krisis
ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Berbagai kalangan menyoroti, bahkan
mempertanyakan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya masalah prestasi
belajar.
Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap seseorang
dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Pada umumnya orang
menilai prestasi belajar dengan berfokus pada indikator prestasi akademis pada
setiap bidang studi. Namun beberapa pihak menambahkan indikator lain,
misalnya prestasi bidang kesenian, olahraga, kepemimpinan, keterampilan, dan
kualitas kepribadian siswa. Keberhasilan belajar umumnya dikaitkan dengan
tinggi atau rendahnya intelligence quotient (IQ) siswa. Oleh banyak kalangan praktisi pendidikan, IQ dipandang sebagai penentu keberhasilan proses belajar.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga pendidikan yang mempergunakan
tes IQ dalam menyeleksi calon siswa.
Namun dewasa ini telah timbul kesadaran baru bahwa keberhasilan
seseorang tidak semata-mata diukur dari IQ saja, tetapi oleh tingkat kecerdasan
emosional (EQ) seseorang. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman, 2001:512). Semakin
tinggi kecerdasan emosional seseorang, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan
seseorang dalam belajar.
Derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
tersebut di atas diduga kuat berbeda pada orientasi locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda. Locus of control adalah suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Cakupan
dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus of control
eksternal. Pada siswa yang memiliki locus of control internal, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat akan lebih
tinggi dibandingkan pada siswa dengan locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa dengan locus of control internal mempunyai tingkat keyakinan diri yang lebih tinggi akan hasil dari apa yang dilakukannya, mampu mengontrol
tujuan hidupnya, dan mempunyai orientasi hidup yang jelas. Hal ini berbeda
dengan siswa dengan locus of control eksternal yang cenderung lebih
Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/keluarga
yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Pada
siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga akan lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga bercirikan power distance besar. Hal demikian disebabkan pada kultur keluarga dengan power distance kecil, siswa mempunyai ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, otoritas orang tua
berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Sedangkan pada
kultur keluarga dengan power distance besar bercirikan sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga
kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga
yang bercirikan individualism. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur collectivism tinggi mempunyai demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama, mampu
mengelola keuangan, kebutuhan untuk berkomunikasi, merasa bersalah jika
melanggar peraturan dan keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga.
Sedangkan pada kultur keluarga yang bercirikan individualism memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity,
derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga
yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur masculinity mempunyai dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan
hasrat untuk hidup lebih baik. Sedangkan pada kultur keluarga yang bercirikan
femininity memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang
berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur uncertainty avoidance yang lemah mampu menyikapi situasi ketidakpastian sebagai sesuatu yang wajar, tidak cemas menghadapi persoalan hidup dan mempunyai
feleksibilitas dalam penetapan aturan keluarga. Sedangkan pada kultur keluarga
bercirikan uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Kultur sekolah diduga kuat juga menjadi pembeda derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur sekolah adalah suatu
nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
siswa. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan
lebih tinggi dibandingkan dengan power distance besar. Hal demikian
siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua
arah (di kelas), peran orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam
sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan
dengan proses pembelajaran sekolah. Sedangkan pada kultur sekolah yang
bercirikan power distance besar memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism,
derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga
kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari sekolah yang
bercirikan individualism. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism mempunyai kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain,
sikap positif dalam mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi. Sedangkan pada
kultur sekolah yang bercirikan individualism memiliki karakteristik sebaliknya. Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity,
derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga
kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pada sekolah yang bercirikan
femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan masculinity siswa mampu menciptakan suasana kompetisi di kelas, berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru dalam mengajar. Sedangkan pada
berasal dari sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa dengan uncertainty avoidance yang lemah memiliki tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru, kejelasan guru dalam
menerangkan dan adanya kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua.
Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Penelitian ini berusaha menganalisis dan menguji apakah variabel
moderating locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda memberi pengaruh terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar. Berdasarkan uraian dan persoalan di atas, maka penulis
mengambil judul “PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR
KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR”. Penelitian
ini merupakan survei pada siswa SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Batasan Masalah
Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar
anak di sekolah, diantaranya locus of control, motivasi belajar, sarana dan prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur
sekolah dan sebagainya. Secara khusus penulis dalam penelitian ini bermaksud
untuk menyelidiki secara lebih spesifik bagaimana pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional
C. Rumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?
2. Apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?
3. Apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar siswa?
D. Tujuan Penelitian:
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan
antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak
sekolah untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada siswa bahwa sifat,
sikap dan perilaku siswa berbeda, maka pihak sekolah harus memberikan
2. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian yang bisa
memajukan pendidikan di Indonesia dan mutu pendidikan bisa semakin
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Locus of Control
1. Pengertian Locus of Control
Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter yaitu suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan seseorang
mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Ia membagi locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu yang mempunyai locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh
dari dirinya, dari apa yang ia lakukan, dan ia mampu mengontrol tujuan
hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Namun ketika individu percaya bahwa
mereka hanya mempunyai sedikit kendali atas apa yang terjadi, percaya
bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari takdir,
kesempatan, keberuntungan dan nasib, mereka diklasifikasikan sebagai
individu dengan locus of control eksternal.
Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar sosial (social learning theory). Ini berarti bahwa locus of control
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar mempunyai
pengaruh yang dominan dalam pembentukan pribadi menjadi individu
dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan locus of control eksternal.
Gibson, et al (1996:161) menyebutkan letak kendali (locus of control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku
mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri mereka. Sebagian orang
percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka sendiri. Tetapi
sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka sebagai korban dari takdir,
mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh
keberuntungan atau kesempatan. Robbins (1999:42) menggarisbawahi apa
yang dikatakan oleh Rotter bahwa tempat kendali (locus of control)
dibedakan menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Orang yang percaya
bahwa dirinya sebagai penentu dari takdir mereka sendiri termasuk dalam
kelompok locus of control internal. Sedangkan orang yang menganggap dirinya sebagai korban dari takdir, percaya bahwa apa yang terjadi pada diri
mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan, termasuk dalam
kelompok locus of control eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of control
adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya baik
perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Keberhasilan dirinya
tergantung dari diri sendiri. Sedang individu dengan locus of control
2. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal
Adanya perbedaan individu dengan locus of control internal dan individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara hidupnya. Dalam hubungan dengan
orang lain, individu dengan locus of control internal cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai
motif berprestasi yang tinggi. Orang yang mempunyai locus of control
internal kurang konformis karena rasa percaya diri yang dimilikinya begitu
tinggi dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri,
mengandalkan kemampuan dan keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang
dilakukannya.
Di sisi lain, orang dengan locus of control eksternal cenderung menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap otoritas
(Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu dengan locus of control eksternal cenderung konform terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi disebabkan oleh
faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung mempunyai sikap
menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan memiliki kecemasan
yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu
mempunyai kecenderungan locus of control internal apabila individu merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan
control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain dan
keberuntungan.
3. Faktor-Faktor Pembentuk Locus of Control
Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam diri individu yang bersifat bawaan, namun terbentuk dan berkembang
dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan
mengembangkan locus of control adalah sebagai berikut (J.Phares dalam London dan Exner, 1978:291).
a. Faktor Usia
Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih
efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya mampu
mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam hidupnya.
Dengan kata lain, locus of control bergerak dari kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan bertambahnya usia.
b. Pengalaman akan suatu perubahan
Penelitian Kiehlbauch (London dan Exner, 1978:292) menemukan
bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan locus of control
yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah yang telah lama.
selama masa transisi mendorong locus of control individu ke arah eksternal.
c. Generalitas dan Stabilitas perubahan
Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan
mempengaruhi locus of control. Misalnya adanya bom nuklir, perang, skandal politik. Pengalaman perubahan peristiwa tersebut
menyebab-kan kecenderungan ke arah locus of control eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa takut dan
kehilangan kemampuan untuk menganalisa dan mempersiapkan diri
terhadap jalannya peristiwa dalam hidup mereka.
d. Pelatihan dan Pengalaman
De Charms (London dan Exner, 1978:293) berhasil membuktikan
efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan locus of control
internal. Selain itu, penelitian Barnes (London dan Exner, 1978:293)
menemukan bahwa pengalaman berkemah yang terstruktur dapat
meningkatkan locus of control internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld dan Dozier (London dan Exner,
1978:293) mengenai pengalaman berorganisasi dalam masyarakat.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa locus of control
dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan
e. Efek Terapi
Beberapa peneliti; Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (London dan
Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh positif
terhadap perubahan locus of control internal. Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi
masalah-masalahnya.
4. Prosedur Penaksiran
Setiap individu memiliki locus of control yang berbeda. Rotter
membedakannya menjadi dua yaitu individu dengan locus of control
internal dan locus of control eksternal. Untuk melihat perbedaan ini, Rotter menyusun skala pengukuran dan menginventarisasikan menjadi 29 item.
Tes ini dinamakan skala control internal-eksternal (I–E scale). Rotter, (1964:58) mengklasifikasikan menjadi enam kebutuhan yaitu status recognition (pengakuan status) merupakan kebutuhan untuk mengungguli, ingin dianggap dirinya kompeten di bidang akademik, baik di sekolah,
jabatan, profesi, atletik; independence (ketidaktergantungan) merupakan kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri, menggantungkan pada diri
sendiri, mengembangkan keterampilan untuk dapat memperoleh kepuasan
dan mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain; protection dependency
(perlindungan-ketergantungan) merupakan kebutuhan untuk melindungi
orang lain agar terhindar dari frustasi, menyediakan perlindungan/
keamanan, dan membantu orang lain mencapai tujuannya; love and
disenangi orang lain, ingin mendapatkan kehangatan, ketertarikan,
perhatian dan kasih sayang; dominance (dominasi) merupakan kebutuhan untuk mengontrol aktivitas orang lain, termasuk keluarga dan teman, ingin
diposisikan untuk berkuasa agar orang lain mengikuti keinginan dan
kesukaan dirinya; physical comfort (kenyamanan fisik) merupakan kebutuhan untuk kepuasan fisik yang berkaitan dengan keamanan untuk
menghindari sakit dan kesukaan terhadap kesenangan jasmani. Sedangkan
Weiner (1980:251) mengklasifikasikan menjadi enam kategori yaitu;
academic recognition, social recognition, love and affection, dominance, social political belief, dan life philosophy.
B. Kultur Keluarga
1. Pengertian Kultur Keluarga
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002:169), yang
dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku. Dalam
ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1) keunikan
sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya; (2)
mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi
ke generasi lainnya (Kotter dan Heskett, 1992:3-4).
Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus
dan peneliti. Schein (1991:9) mendefinisikan kultur sebagai:
Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan
dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti benar
saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok,
maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara
pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di
masa mendatang.
Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez (1993:41), menyatakan
bahwa:
“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievement of human group, including their embodiments in artifacts: the essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically derived and sellected) ideas and especially their attached values”.
Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif.
Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya
dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi kultur
adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu.
Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing-masing kelompok
selama bertahun-tahun dan diyakini mengandung nilai luhur, sehingga
sangat sulit untuk berubah. Nilai-nilai itu dalam diri masyarakat tampak
dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.
Sementara Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:
Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai: “software of the mind”. Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada
nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur
cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu yang
lama dan perlahan-lahan.
2. Dimensi Kultur Keluarga
Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah,
jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan secara
bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam
lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan (1995:7)
menyebutkan bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga,
struktur pendidikan, organisasi keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk
pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata
ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.
Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang
mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs
individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from weak to strong). Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara
mencakup indikator: ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang
tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, otoritas orang tua
berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Dimensi
individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism vs individualism
mencakup tingkat kebebasan anggota keluarga untuk menyatakan pendapat,
loyalitas pada anggota keluarga lain, keleluasaan untuk mandiri, kebutuhan
untuk berkomunikasi dan perasaan yang muncul akibat melanggar aturan
atau norma keluarga. Dimensi femininity vs masculinity mencakup derajat dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua,
perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan hasrat untuk hidup lebih baik.
Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator yang meliputi: toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai
inisiatif, keluarga menjadi tempat belajar dan memiliki aturan.
C. Kultur Sekolah
1. Pengertian Kultur Sekolah
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu
kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, perilaku, sikap, nilai
yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat
dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk
melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk
memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur
Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk
memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut. Antropolog
Clifford Geertz mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman
terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun
implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2004) kultur adalah
kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan atau norma, tata
kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu tumbuh dan berkembang
sesuai nilai-nilai dan spirit atau keyakinan yang dianut oleh organisasi. Kultur
dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan lahiriah. Dari sisi batiniah berupa
nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang dianut oleh organisasi. Pada sisi
lahiriah berupa aturan atau prosedur yang mengatur hubungan antar anggota
organisasi baik formal maupun informal, prosedur kerja yang harus diikuti
anggota organisasi, kebiasaan kerja yang dimiliki keseluruhan anggota
kelompok.
Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai
organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang bersifat
unik pula. Tiap-tiap sekolah mempunyai kultur yang bersifat unik. Tiap-tiap
sekolah mempunyai aturan, kebiasaan, serta lambang-lambang yang
memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur
mempunyai pengaruh mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa. Apa
yang dihayati siswa berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan
dan juga sikap terhadap nilai-nilai bukan berasal dari kurikulum sekolah yang
Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai atau spirit yang dianut
sekolah tersebut. Kualitas ini mewujud dalam bentuk bagaimana keseluruhan
anggota sekolah, kepala sekolah, para guru, para tenaga kependidikan
bekerja, belajar dan berhubungan satu sama lainnya, sebagaimana telah
menjadi tradisi sekolah (Depdiknas, 2004). Jadi sesuai dengan hal yang
terkait dengan kultur, maka kultur sekolah bisa diartikan sebagai suatu nilai
yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
kualitas kehidupan sekolah.
Menurut Dapiyanta (1995:93) kultur sekolah merupakan perilaku lahir
batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan sekolah yang
berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti berhenti, melainkan
dinamis, selalu berproses. Kultur sekolah yang positif dapat menghasilkan
produk kultur yang baik seperti: peningkatan kinerja individu dan kelompok,
peningkatan kinerja sekolah dan institusi, terjamin hubungan yang sinergi
antara warga sekolah, timbul iklim akademik yang baik serta interaksi yang
menyenangkan. Kultur sekolah yang kondusif akan tercermin dalam
organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah, kebijakan, aturan, tata tertib
sekolah, kepemimpinan dan hubungan serta penampilan fisik (Arief
Ahmad,http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/11/0310.htm)
Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat
dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan
sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala sekolah,
guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam
memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah
(www.geocities. com/pakguruonline/pradigma_pdd_ms_depan_36.httm).
2. Dimensi Kultur Sekolah
Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang
mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs
individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from weak to strong).
Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Pada
sekolah, dimensi power distance (jarak kekuasaan) mencakup indikator: perlakuan guru terhadap proses pembelajaran terpusat pada siswa,
kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah
(di kelas), peran orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam
sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat serta orang tua yang merasa
diuntungkan dengan proses pembelajaran di sekolah. Dimensi collectivism vs individualism mencakup: kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan guru oleh orang lain, sikap positif dalam
mencakup indikator suasana kompetisi kelas, berorientasi pada prestasi dan
kompetensi guru. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan guru
dalam menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang
tua.
D. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada
diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001:512).
Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang berbeda-beda, tetapi
saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.
Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah kecerdasan
emosi, yakni John Mayer dan Peter Salovey (Goleman, 2001:513)
mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan
mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan
perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
diri pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya
dan mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain.
2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Dasar-dasar kecakapan emosional dan sosial menurut Goleman
adalah:
a. Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang
realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri
Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari
tekanan emosi.
c. Motivasi
Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun kita menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan.
d. Empati
Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif
mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
e. Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain,
dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan
lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan untuk mempengaruhi
dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan
untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.
3. Perbedaan Kecerdasan Emosional dan Kecakapan Emosional
Goleman (2001:39) membedakan antara kecerdasan emosional dan
kecakapan emosional. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosional
adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional.
Inti kecakapan emosional adalah dua kemampuan: empati, yang melibatkan
kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan sosial yang
berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan
kecerdasan emosional menentukan potensi kita untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya:
kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam
membina hubungan dengan sesama.
E. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap
seseorang dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Belajar
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap (W.S Winkel, 1991:16).
Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap
sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang
berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat
dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau
keadaan-keadaan sesaat seseorang. Belajar merupakan suatu proses yang
tidak dapat dilihat dengan nyata; proses itu terjadi di dalam diri seseorang
yang sedang mengalami belajar.
Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,
2002:895) adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran. Penguasaan tersebut lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan guru. Kegiatan
pengukuran prestasi belajar siswa dilakukan antara lain melalui ulangan,
ujian, tugas dan sebagainya (Masidjo, 1995:13).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah
penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata
pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai/angka hasil tes yang diberikan
oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut belajar akan tampak
dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar dapat diketahui dari
hasil evaluasi belajarnya. Usaha untuk mengevaluasi hasil belajar, biasanya
dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam bentuk tertulis, lisan
Hasil dari pengukuran ini merupakan informasi-informasi atau data yang
diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang disebut prestasi belajar.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat digolongkan
menjadi dua yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999:236-254):
a. Faktor internal
1) Sikap terhadap belajar
Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang
sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang
sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau
mengabaikan kesempatan belajar.
2) Motivasi belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong
terjadinya proses belajar. Motivasi ini dapat menjadi lemah.
Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan
melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan
menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri siswa
perlu diperkuat terus menerus agar siswa memiliki hasil belajar
yang baik, yang pada akhirnya semakin meningkatkan motivasi
berprestasi.
3) Konsentrasi belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian
memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru
perlu menggunakan bermacam-macam strategi belajar mengajar,
dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat.
4) Mengolah bahan belajar
Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk
menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan
diberbagai mata pelajaran, sehingga lebih bermakna bagi siswa. Isi
bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama,
kesenian, serta keterampilan mental dan jasmani. Cara memperoleh
ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus, daftar logaritma,
atau rumusan matematika.
5) Menyimpan perolehan hasil belajar
Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan
menyimpan isi pesan dan memperoleh pesan tersebut. Kemampuan
menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang pendek
(hasil belajar cepat dilupakan) dan waktu yang lama (hasil belajar
tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari proses penerimaan,
pengolahan, dan pengaktifan yang berupa penguatan serta
pembangkitan kembali pesan tersebut untuk digunakan.
6) Menggali hasil belajar yang tersimpan
Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses
pengaktifan pesan yang telah diterima. Dalam hal pesan baru, maka
atau mengkaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama,
maka siswa akan memanggil atau membangkitkan pesan dan
pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar.
7) Kemampuan berprestasi
Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar
yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan
tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Kemampuan berprestasi
terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan, prapengolahan,
serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman.
8) Rasa percaya diri siswa
Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak
dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat
timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses
belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian
”perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa.
Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin
memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya diri
semakin kuat.
9) Intelegensi dan keberhasilan belajar
Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman
kecakapan untuk dapat bertindak terarah, berpikir secara baik, dan
menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau
kehidupan sehari-hari.
10) Kebiasaan belajar
Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar
yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain: belajar
pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan
kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, bergaya sok
menggurui atau bergaya minta ”belas kasih” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidak
mengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat
diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri.
11) Cita-cita siswa
Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu didikan yang harus dimulai
sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan
emansipasi siswa.
b. Faktor eksternal
1) Guru sebagai pembina siswa belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar
bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi
pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia
memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya
berkenaan dengan kebangkitan belajar yang merupakan wujud
mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Adapun tugas
pengelolaan pembelajaran siswa meliputi: pembangunan hubungan
baik dengan siswa, menggairahkan minat, perhatian dan
memperkuat motivasi belajar untuk berprestasi, mengorganisasi
belajar, melaksanakan pendekatan pembelajaran secara tepat,
mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan obyektif, melaporkan
hasil belajar kepada orang tua/wali siswa.
2) Prasarana dan sarana pembelajaran
Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan kondisi
pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti lengkapnya sarana dan
prasarana otomatis bisa menentukan jaminan terselenggaranya
proses belajar dengan baik.
3) Kebijakan penilaian
Penilaian adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga,
bermutu, atau bernilai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu,
atau bernilai datang dari orang lain. Dalam penilaian hasil belajar,
maka penentu keberhasilan belajar tersebut adalah guru. Guru
adalah pemegang kunci pembelajaran. Guru menyusun desain
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil
belajar.
4) Lingkungan sosial siswa di sekolah
Lingkungan dimana siswa tinggal yang dapat berpengaruh terhadap
dikondisikan untuk belajar, misalnya dibuat jam belajar malam
antara jam 19.00-21.00, maka siswa akan terdorong untuk belajar.
Sementara siswa yang berada di lingkungan yang tidak peduli pada
pendidikan, maka siswa akan menjadi malas untuk belajar.
5) Kurikulum sekolah
Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu
kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum
yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu kurikulum yang
disyahkan oleh suatu yayasan pendidikan dan disusun berdasarkan
kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum dapat mempengaruhi
tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan, kegiatan belajar mengajar
dan evaluasi pembelajaran. Perubahan kurikulum dapat
menimbulkan masalah bagi guru, siswa maupun elemen-elemen
dalam sekolah dan juga orang tua siswa.
F. Kerangka Teoretik
1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan faktor penting yang
mempengaruhi hasil belajar. Hasil penelitian di sekolah-sekolah Amerika
menunjukkan bahwa jika kecerdasan emosional berkembang dengan baik
maka akan sangat menentukan keberhasilan seseorang di kemudian hari,
(self science/social development/life skill) merupakan upaya mengem-bangkan pengenalan emosi diri, mengolah emosi, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain dan membina hubungan akan membentuk
keseimbangan mental antara nalar dan perasaan atau emosi. Hal-hal
tersebut menjadi hal penting dalam pengembangan prestasi belajar
seseorang. Hasil-hasil pembelajaran keterampilan emosional di berbagai
tempat di Amerika menunjukkan bahwa siswa yang telah mengikuti
pendidikan pengembangan emosional menunjukkan hasil yang lebih
positif di bidang akademik dibandingkan dengan siswa yang tidak
mengikuti pelatihan pengembangan emosional, misalnya membantunya
dalam keterampilan belajar, lebih peduli dan percaya diri (Goleman,
2001:432-435)
Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa, diduga kuat tidak sama pada individu dengan locus of control yang berbeda. Siswa dengan kecenderungan locus of control internal diduga kuat mempunyai prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa dengan locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa dengan locus of control internal memiliki keyakinan diri yang tinggi, berprestasi, aktif, tidak mudah terpengaruh, mandiri, mampu
mengendalikan hidupnya, yakin akan keberhasilan hidupnya, sehingga
dengan kesadaran itu siswa akan belajar lebih giat untuk mencapai
dan keberuntungan, tanpa ada usaha merubah keadaan menjadi lebih baik.
Hal ini berpengaruh terhadap hasil prestasi belajar yang diperolehnya.
2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar
Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/
keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun
temurun. Siswa yang berasal dari kultur keluarga yang berbeda, diduga
kuat mempunyai derajat hubungan yang tidak sama antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajarnya. Pada siswa yang berasal dari kultur
keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih
tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Siswa yang berasal dari keluarga dengan power distance
kecil mempunyai ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang tua
dan yang lebih tua sebagai daasar kebaikan, otoritas orang tua berpengaruh
terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Berbeda dengan siswa
yang berasal dari keluarga dengan power distance besar dimana sebaliknya sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berasal dari keluarga dengan ciri collectivism mempunyai demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama,
mampu mengelola keuangan, kebutuhan untuk berkomunikasi, merasa
bersalah jika melanggar peraturan dan keluarga menjadi tempat bersatunya
anggota keluarga. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang
bercirikan individualism terjadi sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan femininity. Siswa yang berasal dari keluarga dengan ciri masculinity mempunyai dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian
pada anggota yang lebih kuat, dan hasrat untuk hidup lebih baik. Berbeda
dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan femininity dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang
menyikapi situasi ketidakpastian sebagai sesuatu yang wajar, tidak cemas
menghadapi persoalan hidup dan mempunyai feleksibilitas dalam
penetapan aturan keluarga. Berbeda dengan siswa yang berasal dari
keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar siswa.
3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar.
Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa. Siswa yang berasal dari
kultur sekolah yang berbeda, diduga kuat mempunyai derajat hubungan
yang tidak sama antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajarnya.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan power distance
kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa
diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari
kultur sekolah dengan ciri power distance besar. Siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya,
kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peran
orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam sekolah,
pengembangan kemampuan dan bakat, serta orang tua yang merasa
diuntungkan dengan proses pembelajaran di sekolah. Berbeda dengan siswa
sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang
berasal dari kultur sekolah dengan ciri individualism. Siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism siswa mempunyai kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat
penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas
dan tujuan berprestasi Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah
yang bercirikan individualism dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berasal dari sekolah yang bercirikan femininity. Siswa yang berasal dari sekolah dengan masculinity suasana kompetisi di kelas, berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru. Berbeda dengan siswa yang berasal
dari sekolah dengan ciri femininity dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan
siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri uncertainty avoidance
kuat. Siswa yang berasal dari sekolah dengan uncertainty avoidance
tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru, kejelasan guru dalam
menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orange tua.
Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan
uncertainty avoidance kuat dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
G. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Pada locus of control internal, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar lebih tinggi
dibanding dengan locus of control eksternal.
2. Ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar. Pada kultur keluarga yang bercirikan
power distance kecil, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur keluarga
yang bercirikan power distance besar. Pada kultur keluarga yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan
tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan femininity. Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih
tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat.
3. Ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar. Pada kultur sekolah yang bercirikan
power distance kecil, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur sekolah
yang bercirikan power distance besar. Pada kultur sekolah yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur sekolah yang bercirikan
individualism. Pada kultur sekolah yang bercirikan masculinity, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih
tinggi dibanding dengan kultur sekolah yang bercirikan femininity. Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih
BAB III
METODA PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian verificative research dengan metode explanatory survey.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang akan terjadi bila variabel-variabel tertentu dikontrol atau dimanipulasi secara
tertentu (Mardalis, 1990:26). Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan
kejelasan atas pengaruh variabel locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2006
C. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Negeri dan Swasta kelas
3 yang ada di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah, kecerdasan emosional, dan prestasi belajar.
D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya
1. Variabel Locus of Control
Locus of control merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya, yang terbagi menjadi locus of control internal dan
locus of control eksternal. Dimensi locus of control didasarkan pendapat dari Rotter yang terdiri dari: status-recognition, dominance, independence, protec tion-dependency, love and affection, dan physical comfort. Berikut ini disajikan tabel operasionalisasinya:
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel Locus of Control
No Item Dimensi Indikator
Internal Eksternal
1. Status-recognition
(pengakuan status)
• Kebutuhan untuk dihargai
• ingin dianggap kompeten
• kesuksesan dalam berkarya
4a,5a,10a, 14a, 14b, 23b 4b,5b,10b, 23a 2. Dominance (dominasi)
• Kebutuhan untuk
mengontrol aktivitas orang lain
• Kebutuhan untuk berkuasa
3a,12a,17b,2 2a,24a, 24b 3b,12b,17a,2 2b 3. Independence (ketidak tergantungan)
• Keyakinan diri
• menggantungkan pada diri sendiri/usaha sendiri 9b,11a, 13a,15a,16b,1 8b,21b,25b,2 8a 8a,8b,9a,11b 13b,15b,16a,1 8a,21a, 25a,28b 4. Protection-dependency (perlindungan-ketergantungan)
• menghindari frustasi dengan mencari perlindungan dan keamanan
• menggantungkan diri pada orang lain 2b,6b, 7b,19a,19b, 29b 1a,1b,2a,6a, 7a, 29a
5. Love and affection
(cinta dan kasih sayang)
• Kebutuhan untuk dicintai
• kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang
20b,26a 20a,26b
6. Physical comfort
(kenyamanan fisik)
• Kebutuhan akan kepuasan fisik (menghindari sakit,mencari kesenangan jasmani)
Pengukuran locus of control yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari instrumen yang pernah digunakan Indriantoro (1993)
yang bersumber pada penelitian Rotter (1966). Pada penelitian ini item
pertanyaan yang mengukur locus of control terdiri dari 29 pertanyaan. Dari 29 item, 23 item tersebut merupakan item yang mengukur locus of control
sedangkan 6 item ditambahkan sebagai filler (pengisi). Fungsi filler ini adalah untuk menyamarkan penggunaan pernyataan lain dalam instrumen
tersebut. Instrumen dibuat dalam bentuk format pilihan, yaitu pernyataan
internal berpasangan dengan pernyataan eksternal. Nilai atau skor nol (0)
diberikan untuk pernyataan eksternal y