• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

BENTUK PENGGUNAAN DAN PRODUKTIFITAS LAHAN

SISTEM

DUSUNG

(Studi Kasus Di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)

JAN WILLEM HATULESILA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah), adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, Nopember 2008

(3)

3

ABSTRACT

JAN WILLEM HATULESILA. Usage Form and Land Productivity of Dusung System (Case Study In District Leihitu, Central Maluku Regency). Under academic supervision of NURHENI WIJAYANTO and BASUKI WASIS.

The practice of agroforestry system in Maluku had been occurring for many generations since long time ago, and the people usually called this system as dusung. Agroforestry dusung was a heritage from the ancestors to their descendants, and comprise wood tree, fruits, sago, palm and medicinal plants. This research was conducted to identify the type of land use in dusung system, rearn the land productivity in dusung system, study and to analyze the forms of dusung system for land conservation at Wakal village and Hatu village, Leihitu district, central Maluku, Ambon Island. There were three types of land uses on dusung system, namely farm system, mixed planting system and monoculture planting system. Of these three land uses, the highest production was in mixed planting system on Wakal and Hatu villages which were (Rp 9.716.000,- /ha/year and Rp 11.468.000,- /ha/year). Production in monoculture system in the two villages were respectively (Rp 5.050.000,- /ha/year and Rp 6.785.000,- /ha/year), whereas those of farm system were (Rp 3.466.924,- /ha/year and Rp 2.394.804,- /ha/year). Erosion on land use in dusung system varied according to the type of land uses and land slope. Erosion index ranged within 0 - 1, while degree of erosion was categorized as ranging from low to medium. Erosion in Wakal Village, for farm system was 53.83 ton/ha/year which was greater than ETot 48 ton/ha/year. In monoculture planting system erosion reach of 72.30 ton/ha/year, which was greather than ETot 45 ton/ha/year. On the other hand, farm system in Hatu Village had caused erosion of 49.5 ton/ha/year greater than ETot 30/ha/year. Mixed planting system in Wakal and Hatu had erosion of respectively 30.68 to /ha/year and 12.14 ton/ha/year, which were below ETot 45 ton/ha/year and 43.2 ton/ha/year.

(4)

4

RINGKASAN

Jan Willem Hatulesila. Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah). Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO, dan BASUKI WASIS.

Praktek sistem agroforestri di Maluku sudah berlangsung secara turun temurun biasa disebut masyarakat dengan istilah dusung. Terbentuknya agroforestri dusung, merupakan warisan yang ditinggalkan leluhur kepada anak cucu, berupa tanaman berkayu (pohon), tanaman buah-buahan, tanaman sagu, tanaman palem, tanaman rempah ataupun tanaman obat-obatan. Melihat pentingnya sistem usaha tani pola agroforestri dusung dari aspek ekologis, konservasi dan ekonomis sebagai hutan rakyat yang dapat membentuk ekosistem hutan sekunder dengan keanegaragaman tinggi, maka perlunya dilakukan penelitian dan kajian tentang sistem penggunaan lahan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung, mengetahui produktifitas tanaman pada agroforestri dusung dan memprediksi tingkat bahaya erosi tanah pada penggunaan lahan agroforestri dusung. Lokasi penelitian di Kecamatan Leihitu Kabupaten, Maluku Tengah, Pulau Ambon.

Metode analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi penyusun agroforestri dusung. Hasil survei lapangan dan wawancara dengan petani dilakukan untuk mengetahui produktifitas tanaman usaha tani sistem agroforestri dusung. Prediksi besarnya erosi pada bentuk penggunaan lahan sistem dusung menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation).

Bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu terdiri dari; ladang dan kebun monokultur dengan pola penanaman tumpangsari dan monokultur merupakan bentuk agroforestri sederhana. Sedangkan penggunaan lahan kebun campuran dengan pola penanaman tumpangsari dan agroforest merupakan bentuk agroforestri kompleks.

(5)

5

@ Hak cipta milik IPB Tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajib IPB

(6)

6

BENTUK PENGGUNAAN DAN PRODUKTIFITAS LAHAN

SISTEM

DUSUNG

(Studi Kasus Di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)

JAN WILLEM HATULESILA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

7

(8)

8

Judul Tesis : Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)

Nama : Jan Willem Hatulesila

NRP : E 051060031

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S Ketua

Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)

9

P R A K A T A

Segala puji, hormat dan syukur kepada Bapa di Sorga, karena atas kasih dan anugerah-Nya sehingga tesis dengan judul; Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung dengan studi kasus pada Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku TengahProvinsi Maluku ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadai bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu saran dan masukan untuk perubahan-perubahan selanjutnya sangat penulis harapkan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan tinggi kepada;

1. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S dan Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S. selaku komisi pembimbing akademik.

2. Universitas Pattimura sebagai lembaga yang mengusulkan penulis untuk program tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.

3. Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah dan Provinsi Maluku di Masohi dan Ambon yang telah mendukung penelitian ini.

4. Institut Pertanian Bogor khususnya program sekolah pascasarjana dimana penulis telah menuntut ilmu sekaligus memberikan dorongan untuk penulis dapat menyelesaikan studi.

5. Departemen Pendidikan Tinggi yang sudah memberikan beasiswa BPPS untuk saya dapat menyelesaikan studi di IPB.

6. Lembaga Pemerintah maupun Non Pemerintah (Yayasan) antara lain: DEPDIKNAS, YBO, YSW dan DAMANDIRI) melalui program bantuan beasiswa untuk penelitian dan penyelesaian studi S2 di IPB.

7. Keluarga tercinta di Ambon, Mama (Dik dan Iss), Bapak (Atang dan Nus), Eta dan Bu Cak, Bu Mon dan Kaka Lili, Yeri dan Sani dan semua saudara, terutama Istri (Ade) dan anak-anak tercinta (Billy dan Kristalia) yang setia berdoa sepanjang waktu selama 2 Tahun.

8. Teman-teman PERMAMA yang telah memberikan dorongan dan dukungan doa (Usi Nona, Degen, Pa Son, Pa Agus, Maku, Bu Mon) ; teman teman Kos Abimanyu (Yusmi, Dulah, Moh, Dahlan) dan rekan-rekan Program Studi IPK (Baim, Agus, Yano, Cen) atas dorongan dan bantuannya.

Bogor, Nopember 2008

(10)

10

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 September 1973 sebagai anak 7 dari 8 orang bersaudara oleh Jonathan Hatulesila dan Hendrika Anthony/H. Pada tanggal 23 Januari 2004 penulis menikah dengan Lestari Purnamasari Lumamuly dan dikaruniai satu orang anak, yaitu Cornellyus Brillian Hatulesila (4 tahun).

Penulis lulus dari SD Negeri 1 Rumahtiga pada tahun 1987, SMP Negeri 7 Ambon tahun 1990, SMA Negeri 3 Ambon tahun 1993. Penulis menyelesaikam program sarjana di Universitas Pattimura Tahun 2000 pada Jurusan Kehutanan.. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Tinggi untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

(11)

11

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang………. 1

Rumusan Masalah...……….. 3

Tujuan Penelitian ……….….……….. 4

Manfaat Penelitian ….………...……….. 5

Kerangka Pemikiran ….………...……… 5

TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan ...………... 7

Produktifitas Lahan ………. 9

Sistem Agroforestri .……… 11

Agroforestri Dusung di Maluku ..……… 12

Manfaat Agroforestri …………...………... 13

Faktor Erosi Tanah …………...………... 14

METOD PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ..……….... 16

Pendekatan Penelitian ..………..………. 16

Teknik Pengumpulan Data ..………..………. 16

Analisis Data ………...……… 16

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Wilayah dan Kependudukan ……… 19

Topografi dan Penggunaan Lahan … ………. 22

Iklim ...………. 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung ………... 25

Bentuk Penggunaan Lahan Sistem Dusung ….………... 27

Pola Usaha Tani Tradisional Sistem Dusung ………...……….. 29

Tingkat Penggunaan Lahan Sistem Dusung ...……… 32

Produktifitas Usaha Tani Dusung ... 35

Erosi Tanah Pada Lahan Dusung ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(12)

12

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah penduduk Desa Wakal menurut golongan umur ... 20

2. Jumlah penduduk Desa Wakal berdasarkan mata pencaharian ... 21

3. Jumlah penduduk Desa Hatu menurut golongan umur ... 22

4. Jumlah penduduk Desa Hatu berdasarkan mata pencaharian ... 22

5. Keadaan Topografi di Desa Wakal dan Hatu ... 23

6. Penggunaan Lahan di Desa Wakal dan Hatu ... 23

7. Keadaan iklim di Pulau Ambon Selama Tahun 2007 ... 24

8. Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan ... 25

9. Bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu ... 27

10. Matriks pola usaha tani sistem dusung berdasarkan proses terbentuknya .. 30

11. Tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung ... 33

12. Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu ... 35

(13)

13

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 6

2. Peta lokasi penelitan ... 19

3. Bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung ... 28

4. Proses terbentuk dusung ....... 31

5. Persentase produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu ... 35

6. Profil vegetasi dusung di Desa Wakal ... 51

(14)

14

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Komposisi jenis tanaman yang ditemukan pada agroforestri sistem dusung di Desa Wakal ...

45

2. Komposisi jenis tanaman yang ditemukan pada agroforestri sistem dusung di Desa Hatu ... 48 3. Gambar profil vegetasi dusung di Desa Wakal ... 51 4. Gambar profil vegetasi dusung di Desa Hatu ... 52 5. Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa

Wakal ... 53 6. Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa

Hatu ... 54 7. Daftar Istilah ... 55 8. Karakteristik lahan berdasarkan bentuk penggunaan lahan sistem dusung

di Desa Wakal dan Hatu ... 56 9. Hasil perhitungan erosi berbagai bentuk penggunaan lahan sistem dusung

di Desa Wakal dan Hatu ... 57 10. Rata-rata curah hujan selama 10 Tahun (1997 – 2007) di Pulau Ambon .... 58

11. Penilaian butir (M) oleh rumus Hammer (1978) ……… 58 12. Hasil perhitungan nilai tolerasi erosi (ETot) pada bentuk penggunaan

lahan di Desa Wakal dan Hatu ... 59 13. Nilai faktor pengelolaan dan konservasi lahan pada berbagai jenis

penggunaan lahan sistem dusung disesuai dengan indikator CP oleh Abdurachman dkk.(1984); Ambar dan Syarifudin (1979) ... 60

14. Penilaian permeabilitas tanah oleh Hammer (1978) ……….. 60

(15)

15

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan lingkungan daerah tropik berkaitan erat dengan pembukaan hutan dan lahan yang menyebabkan erosi, kepunahan flora dan fauna serta terjadinya perluasan lahan kritis. Pertambahan penduduk dan kerusakan hutan dan lahan merupakan dua faktor utama yang mempunyai hubungan erat, karena interaksi masyarakat secara langsung dengan keberadaan hutan dan lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan mempengaruhi produktifitas lahan dengan sendirinya.

Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan dengan bentuk pola usahatani lahan kering merupakan kegiatan yang banyak dijumpai disetiap daerah di Indonesia. Praktek-praktek penggunaan lahan seperti ini dalam keberadaannya secara alamiah banyak mengakibatkan terjadinya penurunan kondisi biofisik lahan seperti sifat fisik-kimia tanah, ketersediaan air, kandungan unsur hara, dan kepekaan erosi tanah merupakan penyebab terjadinya penurunan produktifitas lahan.

Sistem agroforestri telah terbukti secara turun temurun di daerah tropis, sebagai usaha konservasi tanah yang berhasil untuk mencegah perluasan tanah tandus dan kerusakan kesuburan tanah serta mendorong pelestarian sumberdaya alam merupakan alternatif yang baik untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan produktifitas lahan (Rudebjer et al. 2002). Bentuk-bentuk agroforestri di Indonesia sudah terkenal di beberapa daerah seperti repong damar di Krui-Lampung, kebun karet campuran di Jambi, Tembawang di Kalimantan Barat, Pelak di Kerinci-Jambi, kebun durian campuran di Gunung Palung – Kalimantan Barat, Parak di Maninjau-Sumatera Barat, kebun campuran di sekitar Bogor-Jawa Barat (de Foresta et al. 2000). Sistem-sistem agroforestri kompleks ini sangat penting sebagai model penggunaan lahan yang menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan mempertahankan luas hutan berikut keanekaragaman hayatinya.

(16)

16

tree gardens, multipurpose trees on crop lands, plantation crop combinations,

homegardens, trees in soil coservation and reclamation, shelterbelts and

windbreaks, live hedges, fuelwood production), (2) sistem silvopastoral (trees on rangeland or pastures, protein banks, plantation crops with pastures and

animals), (3) sistem agrosilvopastoral (homegarden involving animal, multipurpose woody hedgerows, apiculture with trees, aqua forestry,

multipurpose woodlots).

Pada sistem agroforestri yang kompleks, jenis tanaman campuran dengan pola bercocok tanam tajuk multistrata, dijumpai pada kegiatan usahatani lahan kering. Kegiatan ini merupakan usaha konservasi lahan yang dilakukan dengan pola penanaman berstruktur, terbagi dalam dua sistem, yaitu penanaman tajuk berstrata antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim dan penanaman tajuk berstrata antara tanaman-tanaman tahunan saja. Dilain pihak, sistem agroforestri sederhana merupakan perpaduan antara tanaman pepohonan dan tanaman pangan, tanaman perdu, dan rerumputan (Huxley 1999).

Praktek sistem agroforestri di Maluku sudah berlangsung secara turun temurun, dan biasa disebut masyarakat dengan istilah dusung. Terbentuknya agroforestri dusung, merupakan warisan yang ditinggalkan leluhur kepada anak cucu, berupa tanaman berkayu (pohon), tanaman buah-buahan, tanaman sagu, tanaman palem, tanaman rempah ataupun tanaman obat-obatan.

(17)

17

Aspek konservasi tanah dan hasil produksi melalui usahatani sistem agroforestri dusung yang berlangsung di Maluku, telah memberikan manfaat ganda bagi kesejahteraan penduduk sepanjang tahun. Untuk itu sistem penggunaan lahan ini perlu dipelajari, diteliti serta dikembangkan sebagai salah satu sistem pertanian/kehutanan tradisional yang masih tetap terpelihara dan mampu menghidupi masyarakat pedesaan secara turun temurun. Upaya pemanfaatan dan pengelolaannya secara intensif dan berkelanjutan harus tetap dijaga dan dipelihara oleh penduduk setempat secara lestari.

Rumusan Masalah

Praktek agroforestri dusung di daerah Maluku Bagian Tengah dan Utara cenderung sama karena keberadaan dusung umumnya dimiliki oleh semua desa/kampung. Kepemilikan dusung telah diatur secara turun-temurun berdasarkan nama marga (faam), dengan batas petuanan yang jelas untuk tiap marga baik berupa batas alam atau batas yang ditandai dengan menanam tanaman penyangga yang mudah dikenal sebagai pembatas antar luas kepemilikan lahan, baik dusung yang dimiliki perseorangan atau marga (keluarga).

Menurut Silaya (2005) istilah dusung digunakan pada lahan yang berkaitan dengan pemilikan dan penggunaannya seperti dusung sagu, dusung damar, dusung pala, dusung cengkeh, dusung kelapa dan lainnya. Pengelolaan dusung diatur berdasarkan kearifan lokal masyarakat, baik dalam memanfaatkan hasil panen atau dalam melakukan kegiatan bercocok tanam. Kegiatan mengelola dilakukan secara bersama-sama atau secara gotong royong. Budaya kerjasama ini biasa disebut masyarakat dengan istilah masohi.

(18)

18

Hasil produksi dari dusung telah terbukti memegang peranan penting dalam pemenuhan sandang, pangan dan papan bagi masyarakat di Maluku. Namun sistem pengelolaan dusung di Maluku belum optimal, karena keterbatasan sumberdaya manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem penguasaan lahan, pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, penanaman dan pemeliharaan pohon serta resiko dari ketidak pastian usahatani. Faktor-faktor ini yang menjadi kendala petani untuk mengembangkan usahatani. Masyarakat petani dusung hanya mengandalkan kesuburan tanah alami untuk poses produksi, sehingga produksi usahatani yang diperoleh belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Untuk itu diperlukan suatu riset awal sebagai gambaran sistem usahatani pola dusung dalam proses produksi dan bagaimana pengelolaannya dengan menerapkan sistem pertanian konservasi agar sistem usahatani ini dapat berkelanjutan (sustainable agriculture).

Melihat pentingnya sistem usahatani agroforestri dusung dari aspek ekologis (konservasi sumberdaya alam hayati endemik lokal), ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam pengelolaannya, maka perlu dilakukan penelitian dan kajian tentang :

1. Bagaimana bentuk penggunaan lahan pada sistem agroforestri dusung di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

2. Bagaimana produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung.

3. Sejauhmana tingkat bahaya erosi pada bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi bentuk penggunaan lahan pada sistem agroforestri dusung di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

2. Mengetahui produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung.

(19)

19

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi untuk pembuat kebijakan tentang sistem pengelolaan agroforestri dusung, yang dapat dikembangkan dalam program konservasi lahan, konservasi ekologis dan peningkatan ekonomi masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Maluku Tengah.

Kerangka Pemikiran

Sistem agroforestri dusung merupakan warisan sekaligus modal produksi yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai musim panen. Manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil produksi tanaman yang ditanam atau tumbuh sendiri di dalam dusung, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun/hutan tersebut.

Kombinasi tanaman pada agroforestri dusung dicirikan dengan beberapa tipe penggunaan lahan yang terbentuk pada setiap agroekosistemnya, dimulai dengan komposisi yang paling sederhana sampai yang lebih kompleks. Misalnya kombinasi tanaman monokultur hutan sagu (Metroxylon, spp), kombinasi tanaman perladangan umbi-umbian (ubi jalar atau Discorea alata, kumbili atau Discorea esculentum singkong atau Manihot esculenta, pisang atau Musa spp) dan lainnya. Kombinasi tanaman campuran strata bawah (rerumputan, tanaman rempah-rempah dan obat-obatan, kusu-kusu padi atau Andropogon amboinensis, untuk makanan ternak). Kombinasi tanaman campuran strata menengah seperti buah-buahan (durian, langsat, manggis, duku, gandaria, jambu, kenari), tanaman palawija (cengkeh, pala, coklat, kenari dan petai), dan kombinasi tanaman berkayu strata atas seperti sengon, jabon, titi, jenis ficus) (Wattimena 2007).

(20)

20

Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan.

Konsep dusung kalau ditelusuri sebenarnya adalah suatu modifikasi dari ekosistem yang baru terbentuk dengan manfaat yang lebih besar. Misalnya dari segi ekologi karena memiliki keberagaman hasil yang perlu dilestarikan baik hewan, tanaman maupun jasad renik, dari segi ekonomi bahwa masyarakat sudah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dari hasil tanaman-tanaman yang diusahakan. Dari segi konservasi melalui stratifikasi tajuk yang terbentuk dapat menciptakan siklus air secara teratur dan menciptakan siklus energi dan aliran materi untuk proses dekomposisi tanah dan pertumbuhan tanaman (Agus 2003).

Keberadaan fungsi dan peran dusung sebagai bentuk usahatani agroforestri apabila dikelola secara baik dan profesional akan memberikan keuntungan ganda bagi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Namun apakah kondisi ini sampai sekarang masih dapat dipertahankan ?. Untuk memprediksi kerusakan lahan yang telah terjadi pada agroekosistem dusung, maka diperlukan suatu studi awal tentang bentuk penggunaan dan produktifitas lahan di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran - Dusung Kebun/Ladang - Dusung Buah-buahan

dan Perkayuan

- Dusung Pala & Cengkeh - Dusung Sagu

- Luas Lahan Optimum - Sistem Pertanaman - Populasi Jenis Tanaman - Hasil Produksi Tanaman

(21)

21

TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan negara yang penting dalam konteks perubahan iklim dunia karena memiliki luas hutan tropis terbesar setelah Brasil. Namun kanyataannya saat ini degradasi hutan dan lahan di Indonesia sudah semakin bertambah sehingga luas kawasan hutan semakin berkurang seperti kebakaran hutan, perambahan dan penebangan liar (illegal logging), konversi lahan hutan menjadi areal penggunaan lain seperti perkebunan, pertambangan dan usaha-usaha lainnya.

Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain.

Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Prinsip penerapan penggunaan lahan melalui sistem ini, baik secara tradisionl maupun semi modern di beberapa daerah di Indonesia telah terbukti memberikan manfaat ganda secara optimal, dimana sasaran dan tujuan utama melalui hasil produksi dari kombinasi tanaman kehutanan dan tanaman pertanian/ perkebunan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Penggunaan Lahan

Lahan (land) adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan factor-faktor yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam.

(22)

22

2002). Pengelolaan lahan misalnya akan mempunyai dampak-dampak langsung terhadap kesinambungan pertanian, keragaman hayati, lingkungan, perikanan di pedalaman dan di pantai, perkebunan dan produktifitas hutan alam, dan persediaan air. Di sini pola penggunaan lahan akan mencerminkan kegiatan manusia yang dapat memberikan perubahan secara cepat terhadap penggunaan lahan pada suatu wilayah.

Menurut Widianto et al (2003). Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan. Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain: (a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah, (b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan, (c) mempertahankan cadangan karbon, (d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan (e) mempertahankan keanekaragaman hayati.

Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk tujuan evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau seperti untuk kegiatan perkebunan, pertanian tanaman pangan atau kegiatan peternakan atau daerah untuk sarana rekreasi. Sedangkan penggunaan lahan secara khusus adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu lokasi dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu, misalnya tanaman pangan tanah hujan, pengelolaan lahan dengan ternak atau usaha penanaman tanaman hanya untuk satu jenis tanaman atau beberapa jenis tanaman agroforestri.

(23)

23

penggunaan lahan dalam satuan waktu yang sama akan dilakukan penanaman secara bersamaan, misalnya sistem pertanian tumpangsari (Wiradisastra 2006).

Berdasarkan uraian di atas maka, menurut penulis yang dimaksud dengan penggunaan lahan adalah segala bentuk campur tangan manusia yang dilakukan dengan menanam berbagai jenis tanaman baik secara monokultur maupun campuran, dan bersifat jangka pendek maupun jangka panjang sehingga menjadi ekosistem hutan sekunder dengan keanekaragaman hayati yang terbentuk.

Produktifitas Lahan

Pengetahuan mengenai potensi lahan untuk tujuan pengembangan usaha budidaya tanaman pertanian, perkebunan maupun kehutanan selalu mengarah pada penilaian evaluasi terhadap karakteristik dan kualitas lahan berdasarkan persyaratan faktor pembatas tumbuh tanaman. Penilaian produktifitas suatu lahan umumnya didasarkan pada toleransi terhadap erosi yang masih diperbolehkan dinyatakan dengan simbol Edp atau ada juga yang menyebutnya nilai T, adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar. Laju erosi ini masih boleh ditoleransi karena masih terpeliharanya suatu kedalaman efektif tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang diusahakan diatasnya sehingga memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi secara lestari (Arsyad (1989) ; Hammer (1982) mengatakan bahwa kedalaman ekuivalen tanah adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktifitasnya berkurang dengan 60 % dari produktifitas tanah yang tidak tererosi.

(24)

24

Wiradisastra (2006) menyatakan bahwa para ahli sekarang ini telah mempelajari hubungan antara tipe tanah, tipe vegetasi dan sistem penggunaan lahan setempat untuk menentukan kepadatan penduduk yang kritis dan hasil kerja mereka terhadap kemajuan metodologi daya dukung. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan oleh seorang ahli ekologi budaya adalah mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya dalam ukuran luas, kepadatan penduduk, pembagian dan komposisi kelompok-kelompok produktif, hak melakukan produksi dan ukuran penguasaan tanah.

Studi penentuan daya dukung saat ini, sudah mengungkapkan langsung dan dapat dipercaya untuk perencanaan penggunaan lahan dengan metode CPD (critical population dencity) sebagai jumlah penduduk maksimum pada suatu areal lahan (pada tingkat teknologi) yang dapat didukung secara permanen tanpa menimbulkan kerusakan pada lahan. Metodologi ini melibatkan penentuan 3 faktor utama yaitu, Kelas Kemampuan Lahan (land capability class), Faktor Penggunaan Lahan (land use factor) dan Faktor Budidaya Tanaman (Cultivation Factor) dimana ;

1) Kelas Kemampuan Lahan ; berhubungan dengan survei tanah dan vegetasi alami, topografi, pemukiman dan informasi areal yang sekarang atau secara potensial dibudidayakan termasuk faktor kerusakan lahan yang mungkin terjadi.

2) Faktor Penggunaan Lahan ; berhubungan dengan informasi ukuran luasan usahatani yang dibudidayakan pada setiap tipe vegetasi alami tanah oleh setiap rumah tangga atau kelompok masyarakat petani setiap musimnya. 3) Faktor Budidaya Tanaman ; berhubungan dengan jumlah tanaman dan

produksi tanaman berdasarkan luasan lahan yang diusahakan setiap rumah tangga atau kelompok masyarakat petani setiap musimnya.

(25)

25

Sistem Agroforestri

Pengembangan sistem agroforestri sekarang ini, sangat didorong oleh adanya perubahan paradigma terhadap pengelolaan hutan kemasyarakatan yang lebih mempertimbangkan basis sumberdaya alam (natural resources management). Hal ini bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan, memperbaiki kualitas lahan hutan, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengetahuan lokal petani dan kepedulian global akan kelestarian alam (Utami et al. 2003).

Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering di Indonesia adalah penerapan sistem agroforestri. Sistem ini lebih berasaskan kelestarian, serta meningkatkan hasil produksi melalui kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama.

Pengertian agroforestri adalah hutan buatan yang didominasi oleh tanaman serbaguna yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Di lihat dari jauh agroforestri tampak lebih teratur ketimbang hutan alam primer, namun dari dekat berisi kebun campuran pepohonan rerumputan dan aneka tumbuhan lainnya (ICRAF 2003).

Menurut Huxley (1999), agroforestri tergantung dari tipe dan latar belakang orang yang mengamatinya, sering disebut ladang, kebun primitif terlantar, hutan alam atau lahan kosong. Di Indonesia kebun-kebun agroforestri sangat beragam dan memiliki penampilan yang berbeda. Namun secara umum agroforestri dapat dikelompokan menjadi dua sistem usahatani, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks.

(26)

26

kacang-kacangan, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Bentuk agroforestri sederhana ini dapat dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini muncul karena adanya kendala alam seperti tanah rawa dan bebatuan. Perpaduan ini juga dapat dijumpai pada daerah berpenduduk padat dengan ciri tanaman-tanaman yang ditanam untuk kebutuhan jangka pendek (tanaman pangan).

Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem usahatani menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Pada sistem ini selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Ciri utama sistem ini adalah kenampakan fisik dan dinamika didalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforestri (Nair 1993).

Agroforestri dusung di Maluku

Di Provinsi Maluku telah dikenal sistim agroforestri tradisional yang di kenal dengan nama dusung. Dusung merupakan suatu sistim penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan baik hutan maupun tanaman usaha. Masyarakat Ambon dan Lease mengartikan dusung sebagai suatu lahan yang diusahakan baik dengan tanaman umur panjang (ciri pohon kehutanan), dan tanaman umur pendek (ciri tanaman pertanian) dan di miliki oleh keluarga/marga, mata rumah atau rumahtau. Di atas lahan itu terdapat tanaman umur panjang yang bervariasi atau jenis-jenis tanaman peladangan yang mempunyai waktu produksi berbeda ada yang jangka pendek (1 sampai 3 bulan), menengah (5 sampai 6 bulan) ataupun jangka panjang (1 sampai 2 tahun).

(27)

27

tersebut. Sedangkan kelestarian fisik bahwa dusung dapat berfungsi sebagai alat konservasi tanah dan air.

Sistem penggunaan lahan dusung secara tradisional oleh penduduk sekitar telah diterapkan sejak ratusan tahun lalu, upaya ini dapat mempertahankan fungsi ekonomi, sosial dan fungsi konservasi terhadap sumberdaya hutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani sambil memelihara dan memperbaiki lingkungan, meningkatkan kualitasnya dan berlanjut sesuai dengan asas konservasi. Menurut Ajawaila (1996), dusung merupakan suatu budaya dan tradisi usahatani masyarakat Maluku dengan tanah-tanah yang digarap atau di perusah dengan segala tanaman yang tumbuh di atasnya. dusung juga di artikan sebagai tempat pemukiman beberapa kelompok keluarga atau suatu perkampungan kecil. Beberapa jenis dusung yang dapat dilihat dari segi kepemilikannya seperti, dusung dati, dusung pusaka, dusung perusah, dusung Negeri,dan dusungRaja.

Manfaat Agroforestri

Ada beberapa keunggulan dan manfaat agroforestri ditinjau dari segi ekonomi, konservasi dan ekologi untuk daerah tropis ( ICRAF 2003) antara lain; 1. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan;

a. Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran dan proses-proses dalam agroindustri b. Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen

c. Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.

2. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar;

a. Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah terutama untuk daerah pegunungan atau berhawa dingin.

3. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian;

(28)

28

b. Diversivikasi baik berupa produk atau jasa dan mengurangi fruktuasi harga pasar atau menghindari kegagalan fatal pemanenan pada budidaya tunggal. 4. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan

persyaratan hidup yang sulit (masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan) a. Mengusahakan peningkatan pendapatan, dengan kegiatan usahatani

dilahan yang tersedia.

b. Mengatur penyediaan tenaga kerja berdasarkan tingkat usia dari setiap keluarga yang masih tradisional berdasarkan adat istiadat dan hak kepemilikan lahan.

c. Memelihara nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat

5. Memperbaiki kualitas lingkungan dan menghasilkan kemampuan produksi dan jasa secara berkelanjutan.

a. Mencegah terjadinya erosi tanah dan degradasi lahan b. Perlindungan keanekaragaman hayati

c. Perbaikan tanah melalui fungsi humufikasi dan ketersedian unsur hara dan mulsa hasil dekomposisi untuk nutrisi tanaman

d. Shelterbelt, pohon pelindung (shack trees), wind brake, pagar hidup (life fence).

e. Mengatur tata air melalui fungsi hidroorologis

Faktor Erosi Tanah

Pengelolaan dan pemanfaatan sistem agroforestri dusung di Maluku sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun. Adanya pertambahan penduduk dan perubahan sosial ekonomi masyarakat di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya diperkirakan akan berdampak pada perubahan penggunaan dan menurunkan nilai produktifitas lahan sebagai sumber kelangsungan hidup bagi masyarakat.

(29)

29

konservasi yang relatif homogen (Darsiharjo 2004). Besarnya erosi persatuan penggunaan lahan dapat dihitung, seperti faktor iklim (curah hujan); topografi (panjang dan kemiringan); kepekaan tanah (erodibilitas), dan sistem pertanaman (penutupan vegetasi).

Berdasarkan data curah hujan tahun 1997 – 2007 rata-rata curah hujan di pulau Ambon 10 tahun terakhir sebesar 134, 9 mm/thn dengan rata-rata jumlah hari hujan 13,92 hari dan curah hujan maksimum 901,35 mm. Pendugaan faktor erodibilitas tanah ditentukan berdasarkan data hasil analisis laboratorium, terutama yang berhubungan dengan tekstur (% pasir, liat dan debu), permiabilitas, struktur tanah dan kandungan bahan organik. Nilai erodibilitas (K) pada berbagai bentuk penggunaan lahan cukup bervariasi tergantung pada kepekaan tanah terhadap erosi. Kondisi topografi sangat menentukan laju erosi yang mungkin terjadi pada saat musim hujan. Oleh karena itu pengukuran panjang (L) dan kemiringan lereng (S) menjadi faktor penentu laju kehilangan lapisan tanah atas karena tercuci oleh adanya pengikisan air melalui aliran permukaan (run off).

(30)

30

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah dengan lokasi sampel yaitu Desa Wakal dan Desa Hatu. Kegiatan ini berlangsung selama ± 60 hari yang dimulai dari bulan Maret s/d Mei 2008.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Secara umum studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka pengembangan ilmu (Yin 1997; Bungil 2003).

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan berdasarkan metode survei sosial ekonomi petani melalui wawancara. Data biofisik lahan yang dikumpulkan berkaitan dengan bentuk penggunaan lahan, jenis tanaman produktif yang diusahakan pada sistem dusung, sedangkan data sosial ekonomi yang dikumpulkan adalah jenis dan jumlah tanaman yang berproduksi per luas penggunaan lahan usahatani dusung.

Responden yang dipilih pada kedua desa sampel berjumlah 30 orang. Pemilihan responden (informan kunci) dilakukan secara sengaja (purposive sampling) kepada petani dengan kriteria: a) lebih banyak beraktifitas di dusung, b) memiliki dusung lebih dari satu, c) memiliki jenis tanaman beragam di dusung,d) sumber pendapatan utama adalah dari hasil tanaman di dusung.

Analisis Data

(31)

31

nilai produksi usahatani yang diperoleh untuk tiap bentuk penggunaan lahan sistem dusung.

Analisis vegetasi dilakukan untuk melihat struktur dan komposisi tanaman agroforestri sistem dusung, (Soerianegara dan Indrawan 1986) :

NPJ = Kerapatan Relatif + Frekwensi Relatif + Dominasi Relatif

Perhitungan produktifitas lahan agroforestri sistem dusung, (Wasis 2002) yang dirumuskan sebagai berikut:

Besarnya erosi yang terjadi pada setiap bentuk penggunaan lahan diprediksi menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation); erosi diperbolehkan (Edp) dan Indeks Bahaya Erosi (IBE), (Wischmeier dan Smith 1978) dalam (Arsyad 1989) yang dirumuskan sebagi berikut:

(32)

32

A = R K LS C P

A : Jumlah tanah rata-rata tererosi setiap tahun (ton/ha-1/tahun-1) R : Faktor erosivitas hujan

K : Faktor erodibilitas tanah L : Faktor panjang lereng (meter) S : Faktor kemiringan lereng (derajat/%) C : Faktor pengelolaan tanaman

P : Faktor tindakan konservasi tanah yang digunakan

Edp = DE – Dmin

Kelestarian tanah + kecepatan pembentukan tanah Edp = Erosi diperbolehkan

DE = Kedalaman ekuivalen (kedalaman x faktor kedaman) Dmin = Kedalaman tanah minimum yang diperbolehkan

IBE = A ETot

IBE = Indeks Bahaya Erosi A = Erosi Aktual

(33)

33

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis Wilayah dan Kependudukan

Kabupaten Maluku Tengah merupakan Kabupaten terluas di Maluku dengan 11 Kecamatan. Kecamatan Leihitu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di Pulau Ambon. Secara administratif Kecamatan Leihitu memiliki 16 Desa petuanan yaitu Morela, Mamala, Asilulu, Wakasiu, Alang, Liliboi, Hila, Kaitetu, Seit, Negeri Lima, Ureng, Larike, Asilulu, Wakasiu, Allang dan Hatu.

Luas wilayah Kecamatan Leihitu dihitung menurut luas Desa adalah 258 km2 atau 25.800 ha. Jumlah penduduk di Kecamatan ini sebanyak 64.476 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 12.168 KK, kepadatan penduduk 278 jiwa/km. Secara astronomis Kecamatan Leihitu merupakan daerah yang subur terletak antara garis lintang 03,30o – 03,45 o LS dan garis bujur 127,45o – 128,15o BT. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian di Kecamatan Leihitu yang memiliki batas-batas wilayah antara lain;

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Liang, di Kecamatan Salahutu • Sebelah Barat : Berbatasan dengan Laut Buru

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Seram

• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Ambon-Baguala

Batas Kecamatan

Lokasi Penelitian

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

LEGENDA :

Wakal

(34)

34

Lokasi penelitian (Desa Wakal dan Desa Hatu) mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut;

Desa Wakal

Desa Wakal terletak di jazirah Leihitu tepatnya dipantai Utara Pulau Ambon. Secara administratif Desa Wakal termasuk dalam Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, dengan batas wilayah geografis sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan laut Seram

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rumahtiga • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Hitumessing • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Hila-Kaitetu

Dilihat dari letaknya, Desa Wakal dapat ditempuh dengan jarak dari pusat Kota Ambon (Ibu Kota Provinsi Maluku) sejauh 40 km dan dengan ibu kota Kecamatan Leihitu sejauh 8,5 km, dengan luas wilayah Desa adalah 1,5 ha atau 15 km2. Berdasarkan data statistik Desa Wakal Tahun 2007, maka jumlah penduduk Desa Wakal adalah 422 jiwa yang terdiri dari laki-laki 187 jiwa dan perempuan 235 jiwa (Tabel 1). Penduduk Desa Wakal sebagian besar bekerja sebagai petani dengan mengusahakan tanaman pertanian selain berprofesi sebagai guru, pegawai negeri sipil dan lainnya, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Wakal menurut golongan umur

Golongan Umur (Tahun)

(35)

35

Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Wakal berdasarkan mata pencaharian

Jenis Pekerjaan Laki-Laki (Orang)

Petani 185 67 252 32,56

Peternak 8 3 11 1,42

Wiraswasta 21 15 36 4,65

Pengemudi 12 - 12 1,55

Belum Bekerja 65 85 150 19,38

Tidak Bekerja 75 98 173 22,35

Jumlah 471 303 774 100,00

Sumber : Kantor Desa Wakal, Tahun2007

Desa Hatu

Desa Hatu terletak di jazirah Leihitu tepatnya di pantai Selatan Pulau Ambon. Secara administratif Desa Hatu termasuk dalam Kecamatan Leihitu, dengan batas-batas wilayah geografis sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Negeri Lima • Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut (Teluk Ambon) • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Laha

• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Liliboi

(36)

36

Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Hatu menurut golongan umur

Golongan Umur (Tahun)

Penduduk (Jiwa) Total (Jiwa)

Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Hatu berdasarkan mata pencaharian

Jenis Pekerjaan Laki-Laki (Orang) Perempuan (Orang) (Jiwa)Total Persentase (%)

Petani 85 24 109 30,11

Belum Bekerja 30 15 45 12,43

Tidak Bekerja 35 9 44 12,15

Jumlah 291 71 362 100,00

Sumber : Kantor Desa Hatu Tahun 2007

Topografi dan Penggunaan Lahan

(37)

37

Hatu, sepanjang pesisir pantai merupakan daerah datar dengan luas 35.000 m2, perbukitan berada dibelakang desa berjarak 300 m dari pantai. Keadaan topografi dan luas penggunaan lahan seperti disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5 Keadaan Topografi di Desa Wakal dan Hatu

Penggunaan Lahan Keadaan Topografi (%)

Wakal Hatu

Ladang 0 - 25 0 – 15

Kebun Campuran 10 - 40 15 – 40

Hutan Sagu 0 - 10 0 – 15

Hutan Sekunder 15 - 45 25 – 75 Sumber : Kantor Kecamatan Leihitu Tahun 2007

Tabel 6 Penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu

Penggunaan Lahan Luas Lahan (ha)

Wakal Hatu

Ladang 18 11

Kebun Campuran 25 36

Hutan Sagu 6 10

Hutan Sekunder 54 73

Sumber : Kantor Kecamatan Leihitu Tahun 2007

I k l i m

(38)

38

Tabel 7 Keadaan iklim di Pulau Ambon selama Tahun 2007

Bulan

Temperatur rata-rata (0C)

Penyinaran Matahari rata-rata (%)

Kelembaba

n Nisbi

rata-rata (%)

Jumlah Curah Hujan (mm)

Jumlah Hari Hujan (mm)

Januari 28,3 67 79 140,6 20

Pebruari 27,7 47 80 1,4 19

Maret 27,2 34 80 77,2 17

April 27,1 51 86 295,5 22

Mei 27 52 85 254,2 23

Juni 26,4 51 87 1049,7 24

Juli 25,2 13 85 191 26

Agustus 25 0 86 374 29

September 25,8 56 85 348 15

Oktober 26,9 82 84 231 16

Nopember 27,5 58 83 117,8 18

Desember 29,3 61 81 232 26

(39)

39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Vegetasi Penyusun Dusung

Stratifikasi dusung sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi jenis tanaman, baik jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun jenis tanaman yang tumbuh sendiri selama berlangsungnya proses suksesi. Hasil analisa vegetasi pada beberapa bentuk penutupan lahan di Desa Wakal dan Hatu menunjukkan adanya pengaruh suksesi dari dusung vegetasi jarang menjadi dusung vegetasi sedang dan selanjutnya menjadi dusung vegetasi rapat, disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 8 Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan

(40)

40

dusung vegetasi jarang kerapatan tanaman sebanyak 460 individu/ha atau 8 %, untuk dusung vegetasi sedang dengan 2.295 individu/ha atau 41 % dan dusung vegetasi rapat adalah 2.900 individu/ha atau sebesar 51 %.

Penelitian Wardah (2008), pada ekosistem kebun hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa luas bidang dasar tingkat pohon dan tiang di ladang paling rendah adalah 0,2 m2/ha dan 0,03 m2/ha, sedangkan untuk tingkat pancang dan semai tidak ditemukan. Sebaliknya luas bidang dasar 0,01 m2/ha sampai 0,02 m2/ha ditemukan lebih banyak di dusung vegetasi jarang, sedang atau vegetasi rapat terutama untuk tingkat tiang, pancang dan semai di Desa Wakal dan Desa Hatu. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian beberapa ahli khusus untuk perubahan suksesi dari bentuk penggunaan lahan hutan sekunder muda menjadi hutan sekunder tua maupun selanjutnya menjadi hutan alam hasil penelitian Wardah (2008), bahwa rata-rata pertumbuhan pohon hutan sekunder muda adalah 15,5 m2/ha dan hutan sekunder tua dapat mencapai 28,4 m2/ha. Studi Dietz et al (2006) di Toro adalah 51 m2/ha; studi hutan alam oleh Brodbeck et al (2003) adalah 31,6 – 33,1 m2/ha.

Pada Desa Wakal untuk ukuran kelas diameter pohon antara 20 s/d 30 cm sebanyak 38 pohon/ha sementara untuk diameter > 30 cm hanya sebanyak 18 pohon/ha, hal ini dapat diduga bahwa proses suksesi pada penggunaan lahan dusung vegetasi rapat baru saja dimulai. Di Desa Hatu diameter tingkat pohon antara 20 s/d 30 cm sebanyak 29 pohon/ha dan untuk diameter > 30 cm sebanyak 43 pohon/ha. Pertumbuhan dan pertambahan jenis-jenis tanaman buah-buahan produktif yang mendominasi dusung vegetasi sedang dan dusung vegetasi rapat diduga akan mempercepat proses suksesi menuju terbentuknya hutan sekunder kerapatan tinggi dengan hadirnya beragam spesies baru, baik tumbuhan-tumbuhan, hewan atau mikroorganisme.

(41)

41

terbentuknya dusung hutan sekunder kerapatan tinggi, karena sudah masuk juga beberapa tanaman kehutanan seperti kayu samama (Anthosepalus macrophylla), pule (Alstonia scholaris), salawaku (Paraserianthes falcataria), guyawas hutan (Duabanga mollucana), dan kayu yang ditanam masyarakat seperti kayu jati (Tectona grandis), kayu titi (Gmelina mollucana) dan kayu lenggua (Pterocarpus indicus).

Pertambahan jenis tanaman berkayu dan buah-buahan milik masyarakat ini, merupakan hasil penanaman dan pengayaan secara alami yang telah dilakukan 20 sampai 30 tahun yang lalu, karena jumlah diameter tanaman yang ditemukan lebih banyak di atas 30 cm yang mendominasi komposisi tegakan, begitu pula untuk tingkat tiang, pancang dan semai yang ditemukan di lokasi studi.

Bentuk Penggunaan Lahan Sistem Dusung

Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu, disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 3.

Tabel 9 Bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu

Bentuk Wakal Hatu

Penggunaan Jenis Bentuk Jenis Bentuk

Lahan Tanaman Penanaman Tanaman Penanaman

Ladang

(42)

42

Ladang terbentuk oleh kebiasaan-kebiasan bertani masyarakat secara tradisional dengan menanam jenis tanaman umbi-umbian dan sayuran seperti ubi kayu (Manihot utilisima), ubi jalar (Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia esculenta), pisang (Musa spp), kacang tanah (Arachis hipogea) dan lainnya. Biasanya luas lahan usahatani adalah sebesar 0,1 – 2 ha dan berjarak 100 - 500 m dari Desa.

Kebun campuran terbentuk oleh pola pertanian forest crops yang dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada tahap pembukaan lahan hutan sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan umumnya tanaman komersil yang berfungsi sebagai tanaman pelindung seperti lenggua (Pterocarpus indicus), pule (Alstonia scholaris), guyawas hutan (Duabanga mollucana), titi (Gmelina mollucana), kemudian dilakukan penanaman pengayaan dengan tanaman buah-buahan untuk jangka panjang yang ditemukan seperti kelapa (Cocos nucifera), kenari (Canarium commune), durian (Durio zibethinus), dan lainnya.

Pola usahatani dusung dengan monokultur tanaman tahunan (khusus: cengkeh, pala) terbentuk awalnya dari pola ladang dengan tanaman pangan khususnya untuk konsumsi keluarga kemudian diikuti dengan penanaman tanaman pala (Myristica fragran) dan cengkeh (Eugenia aromatica) sehingga berkembang menjadi dusung dengan pola kebun monokultur. Begitu pula dengan tanaman sagu (Metroxylon spp) yang ditanam pada lahan dataran rendah dengan kondisi tanah tergenang air (rawa), dan daerah cekungan seperti pinggiran sungai.

Gambar 3 Bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung

(43)

43

dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim atau ditanam hanya satu atau dua jenis tanaman saja. Sebaliknya kebun campuran merupakan agroforestri kompleks (agroforest) karena biasanya terdapat berbagai jenis tanaman pepohonan (berbasis pohon) yang sengaja ditanam maupun tumbuh sendiri secara alami (Huxley 1999).

Bentuk agroforestri dusung sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat, pola bercocok tanam dan kondisi tapak/tempat tumbuh tanaman. Hal ini mencirikan kondisi agroekosistem dusung yang terbentuk juga sangat berbeda dengan ciri agroforestri yang ada dibeberapa daerah di Indonesia.

Berdasarkan bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung di kedua lokasi studi, maka hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh de Foresta et al. (2000) bahwa, pola agroforestri lahir dari praktek tradisional masyarakat dalam rangka diversifikasi produk, baik produksi pangan, tanaman semusim (tanaman pertanian) maupun tanaman kehutanan yang memiliki struktur yang serupa dengan hutan alam primer atau sekunder, karena didominasi pepohonan dan keanekaragaman tetumbuhan.

Pola Usahatani Tradisional Sistem Dusung

Sistem silvikultur tradisional dusung sudah ada jauh sebelum sistem silvikultur modern saat ini dikenal. Mengapa ?, karena pola usahatani ini terbentuk sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat secara turun-temurun. Kebiasaan usahatani dengan cara menanam tanaman jangka pendek (peladangan) dan sayuran, akan dilanjutkan dengan menanam tanaman berkayu dan buah-buahan secara bertahap pada lahan milik pribadi maupun milik keluarga (marga/faam). Proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani, seperti disajikan pada Tabel 10.

(44)

44

dilanjutkan dengan kegiatan pembakaran areal penebangan dan dibiarkan begitu saja selama seminggu.

Tabel 10 Matriks proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani

Proses Pembentukan

Masa Tanam

(Tahun) Jenis-Jenis Tanaman

Pertumbuhan,

Ewang (Hutan primer menjadi ladang tahap I

* 0,1-0,3 menjadi ladang tahap II * kebun campuran tahap I **

*) Tanaman pertama setelah pembersihan dan pengolahan tanah sekaligus pembuatan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong)

**) Tanaman kedua ditanam sementara kegiatan peladangan dan tegalan dilanjutkan dengan perbaikan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong)

***) Tanaman tumbuh sendiri atau ditanam selama selang waktu diberakan (terbentuknya aong)

(45)

45

yang menguntungkan (tidak produktif), maka kemudian lahan tersebut dibiarkan terlantar (diberakan) untuk suatu waktu tertentu biasanya disebut masyarakat dengan istilah aong.

Setelah sekian waktu lamanya dilihat bahwa kebun ladang/tegalan yang ditinggalkan (aong) sudah secara alamiah ditumbuhi jenis-jenis tanaman pionir, maka dilakukan upaya penanaman kembali dengan tanaman buah-buahan dan tanaman kehutanan secara bergiliran, seperti kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), langsat (Lancium sp), duku (Lancium domesticum), rambutan (Naphelium lapeceaum) gandaria (Buea macrophylla), mangga (Mangifera spp); jati (Tectona grandis), titi (Gmelina mollucana), lenggua (Pterocarpus indicus), kenari (Canarium commune), alpukat (Persea americana), manggis (Garcinia mangostana), jambu (Eugenia jambolana), samama (Anthosepalus macrophylla), salawaku (Paraserianthes falcataria), pulai (Alstonia scholaris), pete (Parkia speciosa), kuini (Mangifera odorata) dan tanaman lainnya yang tumbuh sendiri tanpa dilakukan perawatan sehingga terbentuklah dusung (Gambar 4 dan Tabel 10).

Pola pertanian dusung secara umum dikenal 2 tipe ditinjau dari aspek pembentukan dan tahapan kegiatannya, yaitu, (1). Membangun dusung dengan membuka lahan hutan, dan (2). Membangun dusung dengan membuka lahan semak belukar. Perbedaan dasar dari kedua sistem ini adalah terletak pada proses pengadaan forest crops. Pada pola pertanian dusung model pertama, proses

Gambar 4 Proses terbentuk dusung

Hutan Alam (Ewang)

Penebangan dan Pembakaran

Ladang Kebun Monokultur

Semak Belukar

Dusung

Penanaman

Kebun Campuran

(46)

46

pengadaan forest crops sudah dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada tahap pembukaan lahan hutan sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan umumnya berfungsi sebagai tanaman pelindung. Sedangkan pada pola pertanian dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan kemudian yaitu setelah proses penanaman annual dan perennial crops. Selanjutnya tahapan kegiatan dari model pertama adalah : (1). Menentukan lahan hutan, (2). Membabat tumbuhan bawah, (3). Menebang pohon-pohonan (sistem tebang pilih) dimana pohon yang ditinggalkan akan berfungsi sebagai pohon pelindung, (4). Pembersihan lahan, (5). Penanaman annual crops, (6). Pembuatan pagar pelindung), (7). Penanaman perennial crops dan (8). Pemeliharaan.

Pola tanam model kedua ini juga sama dengan pola pertanian dusung model pertama yaitu menggunakan kombinasi tanaman berupa annual, perennial dan forest crops (kombinasi tanaman setahun, tahunan dan hutan). Namun pada pola pertanian dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan pada saat setelah tahap penanaman annual dan perennial crops. Rangkaian tahapan kegiatan dari pola pertanian dusung model ini adalah : (1). Menentukan lahan usaha dengan prioritas lahan semak belukar, (2). Pembabatan semak belukar (kegiatan ini biasa dilakukan dengan sistem masohi), (3). Pembakaran dan pembersihan lahan, (4). Penanaman annual crops, (5). Pembuatan pagar pelindung, (6). Penanaman perennial crops, (7). Penyiangan gulma dan (8). Introduksi tanaman hutan sebagai tanaman pelindung (Matinahoru 2005).

Tingkat Penggunaan Lahan Pada Sistem Dusung

Terdapat 3 bentuk pengusahaan lahan pada lokasi studi, yaitu pemilikan lahan usahatani dengan luas minimum ≤ 1 ha ( 25 %) ; luas lahan usahatani antara 1 – 2 ha (30 %) dan luas lahan usahatani > 2 ha (45 %). Status kepemilikan lahan oleh masyarakat pada kedua lokasi studi dikategorikan sama, yaitu untuk lahan dengan ukuran minimum sebagian besar milik pribadi, sedangkan luas lahan di atas 2 ha umumnya berstatus milik bersama (keluarga).

(47)

47

pemanfaatan lahan dan teknik konservasi. Tingkat pemanfaatan lahan dapat dikelompokkan atas kategori berikut :

1. Pemanfaataan lahan 80,01 – 100 % dari lahan tersedia dikategorikan optimal. 2. Pemanfaataan lahan 60,01 – 80 % dari lahan tersedia adalah belum optimal 3. Pemanfaataan lahan 40,01 – 60 % dari lahan tersedia adalah kurang optimal 4. Pemanfaataan lahan ≤ 40 % dari lahan tersedia adalah tidak optimal

Penetapan kategori (kurang optimal, belum optimal dan optimal) berdasarkan tingkat pengelolaan lahan akan memberikan alasan terhadap bentuk pemanfaatan lahan yang diusahakan petani sesuai pola tanam masyarakat setempat. Berdasarkan asumsi tersebut, maka kondisi aktual pemanfaatan lahan sesuai bentuk penggunaan lahan di kedua lokasi penelitian sesuai hasil wawancara dengan petani, disajikan pada Tabel 11.

(48)

48

Hatu

Ladang Ubi kayu + terung 45 Sedang Kacang panjang + terung 10 Sedang Ubi jalar + jagung + kelapa 15 Sedang Ubi talas + pisang 15 Rendah

21,24 Tidak optimal Kebun

Campuran

Kelapa + coklat + pisang 85 Tinggi Nenas + salawaku 80 Sedang

Durian + pala + langsa 60 Rendah Cengkeh + lenggua 80 Tinggi

76,25 Belum optimal

Kebun Monokultur

Cengkeh 85 Tinggi

Pala 80 Sedang

Sagu 40 Rendah

68,33 Belum optimal

Berdasarkan informasi Tabel 11 diketahui bahwa pemanfaatan lahan garapan di Desa Wakal untuk penggunaan lahan ladang sebesar 26,25 %, kebun campuran sebesar 73,75 % dan kebun monokultur sebesar 61,67 %. Tingkat penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk kebun campuran dan kebun monokultur dikategorikan belum optimal karena pada kedua penggunaan lahan ini pengelolaan dan pemanfaatan lahan mulai intensif dilakukan petani ketika tanaman mulai berbuah hingga akhir masa panen. Sebaliknya penggunaan lahan ladang pengelolaan tanaman dilakukan lebih intensif pada tanaman umbi-umbian. Hal ini disebabkan karena usahatani ladang sifatnya tidak menetap karena disesuaikan dengan kondisi iklim. Biasanya kegiatan bertani dilakukan diawal musim kemarau dan kemudian berhenti diawal mulai musim penghujan.

(49)

49

juga menjadi kendala dalam menerapkan teknik budidaya dan pemeliharaan tanaman. Untuk penggunaan lahan ladang dengan tingkat pengelolaan sebesar 21,24 %, disebabkan karena masyarakat petani di Desa Hatu yang berladang hanya sebagian orang saja yang dilakukan diawal musim kemarau dan berhenti pada awal terjadinya musim hujan. Petani di Desa Hatu lebih mengandalkan kegiatan usahatani tanaman monokultur dibandingkan berladang karena menurut petani tanaman tersebut dapat memberikan hasil produksi secara baik.

Hasil penelitian Sehe (2007) di Cikapundung Bandung Utara menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan sesuai pola tanam masyarakat setempat dengan pemanfaatan lahan untuk tanaman monokultur sebesar 33,3 % dan tanaman dengan pola agroforestri sederhana sebesar 56,9 – 62,5 %. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut, maka agroforestri sederhana pada sistem dusung adalah pada bentuk penggunaan lahan ladang dan tanaman monokultur. Sebaliknya pada kebun campuran merupakan bentuk agroforestri kompleks karena memiliki pola tanam dengan beragam jenis tanaman buah-buahan dan tanaman berkayu.

Priyono et al. (2005) mengatakan bahwa dalam manajemen ruang, tanaman kehutanan dan tanaman pertanian (agroforestri) didasarkan pada tindakan silvikultur dan agronomi baik secara pararel atau seri, menjadi dasar dalam menentukan keberlangsungan agroforestri. Dinamika ruang temu sangat menentukan apakah model agroforestri yang berkembang dapat menjaga keseimbangan produk baik tanaman pohon maupun tanaman semusim atau mengarah pada model yang didominasi oleh komponen pohon saja.

Produktifitas Usahatani Dusung

Pertimbangan utama usahatani dusung antara lain karakteristik lahan, dan potensi produktifitas lahan, yaitu jumlah dan jenis tanaman yang dapat dipanen per satuan luas lahan. Jumlah produksi tanaman yang dapat dipanen oleh masyarakat di Desa Wakal dan Hatu sangat berbeda dilihat dari bentuk penggunaan lahan, seperti disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 5.

(50)

50

Kebun Campuran 38 9.716.000,- 18.232.924,-Kebun Monokultur 23 5.050.000,-

Desa Hatu

Ladang 11,6

2.394.804,-Kebun Campuran 42,7 11.468.000,- 20.647.804,-Kebun Monokultur 26,5 6.785.000,-

Gambar 5 Persentase produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu

Hasil perhitungan produktifitas lahan berdasarkan jenis tanaman di Desa Wakal untuk kebun campuran dengan luas lahan 23 ha memiliki nilai produksi terbesar mencapai Rp 9.716.000,- /ha/tahun atau 55 %. Untuk kebun monokultur dengan luas lahan 23 ha produksi sebesar Rp 5.050.000,- /ha/tahun atau 33 %, dan ladang dengan luas 9 ha dengan produksi sebesar Rp 3.466.924,- /ha/tahun atau 12 %. di Desa Hatu produktifitas tanaman tertinggi juga dihasilkan oleh kebun campuran dengan luas lahan 42,7 ha memiliki nilai produksi sebesar Rp 11.468.000,- /ha/tahun atau 53 % diikuti produksi tanaman untuk kebun monokultur sebesar Rp. 6.785.000,- /ha/tahun atau 19 % dengan luas lahan 26,5 dan tanaman untuk ladang dengan luas lahan 11,6 ha, nilai produksi sebesar Rp. 2.394.804,- /ha/tahun atau 28 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktifitas tanaman jangka pendek (3 - 6 bulan) dihasilkan pada penggunaan lahan ladang, karena pola usahatani yang dilakukan petani masih bersifat tradisional dan terbatas hanya untuk dikonsumsi saja. Keberadaan petani di Maluku umumnya sangat bergantung pada kondisi iklim (musim) yang juga secara langsung berpengaruh terhadap pola

Produktifitas Lahan Di Desa Hatu

12%

Produktifitas Lahan Di Desa Wakal

(51)

51

usahatani dan hasil produksi tanaman. Faktor penting dari upaya meningkatkan produktifitas lahan adalah petani itu sendiri, karena untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah, masyarakat petani belum menerapkan pemupukan berimbang dalam teknik usahatani dan masih bergantung pada tingkat kesuburan tanah alami pada sistem usahatani dusung.

Menurut petani, tanaman yang memberikan hasil produksi secara berkelanjutan dan menguntungkan adalah pada kebun campuran. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya kombinasi tanaman umur panjang (buah-buahan) yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti durian, coklat, pisang, salak dan kelapa karena waktu produksi tanaman ini secara rutin dapat dipanen oleh petani. Tanaman monokultur (cengkeh, pala dan sagu) sebenarnya memiliki nilai ekonomis, namun produksi tanaman ini menurut petani semakin menurun setiap tahun apalagi pemeliharaan tanaman itu tidak dilakukan secara intensif dan teratur, sehingga produksinya pun tidak secara baik setiap musimnya.

Berdasarkan hasil penelitian Sehe (2007), pada lahan kering di Hulu Sub Das Cikapundung Bandung Utara bahwa produktifitas tanaman alpokat, nangka dan jeruk pada sistem tanaman campuran memberikan nilai produksi rata-rata sebesar 10.000-15.000 kg/ha/tahun untuk luas lahan 10-25 Hektar. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut jelaslah bahwa tanaman campuran memiliki peluang produksi yang lebih besar.

(52)

52

Erosi Tanah Pada Lahan Dusung

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis tanah secara deskriptif pada ketiga bentuk penggunaan lahan, maka lapisan solum dengan kandungan bahan organik (humus) tinggi dicirikan dengan lapisan berwarna hitam mempunyai kedalaman 0 - 50 cm dari permukaan tanah. Pentingnya informasi mengenai erosi tanah pada sistem agroforestri dusung dimaksudkan untuk melihat lapisan tanah yang subur yang dapat mempengaruhi produksi tanaman karena praktek penggunaan lahan dalam arti luas sangat dipengaruhi oleh faktor erosi dimana terjadi pencucian kandungan bahan organik pada lapisan tanah atas, akibatnya produktifitas lahan akan menurun (Supli 2000).

Penentuan besarnya erosi dilakukan dengan menghitung besar erosi aktual dan erosi yang masih dapat ditoleransikan. Hasil bagi antara erosi yang terjadi dengan erosi yang masih dapat dibiarkan menentukan indeks bahaya erosi (IBE). Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan kategori sebagai berikut:

1. IBE ≤ 1, bahaya erosi tergolong ringan 2. IBE = 1 - 4, bahaya erosi tergolong sedang

3. IBE = 4 – 10 , bahaya erosi tergolong berat atau tinggi

4. IBE ≥ 10 bahaya erosi tergolong sangat berat atau sangat tinggi

Besarnya erosi (prediksi) yang terjadi pada bentuk penggunaan lahan usahatani dusung seperti ditunjukkan pada Tabel 13 berikut.

Tabel 13 Prediksi erosi pada bentuk penggunaan lahan usahatani dusung di Desa Wakal dan Hatu

Bentuk

Penggunaan Lahan

Kemiringan Lereng (%)

Erosi Aktual (ton/ha/tahun)

Tolelir Erosi (E-Tol) (ton/ha/tahun)

IBE Kategori TBE

Desa Wakal

Ladang 0 - 8 53,83 48 1,12 Sedang

Kebun Campuran 8 - 30 30,68 45 0,68 Ringan

Kebun Monokultur

Cengkeh/pala

(53)

53

Sagu 0 - 15 12,99 32,4 0,40 Ringan

Desa Hatu

Ladang 0 - 30 49,5 30 1,65 Sedang

Kebun Campuran 8 - 45 12,14 33 0,37 Ringan

Kebun Monokultur

Cengkeh/pala

0 - 30 38,82 43,2 0,90 Ringan

Sagu 0 - 15 13,38 29,7 0,45 Ringan

Dusung di Desa Wakal dengan bentuk penggunaan lahan ladang, di temukan berada pada daerah datar pada lereng 0 - 8 % ; kebun campuran 8 – 30 % dan kebun monokultur cukup bervariasi antara 0 - 45 %. Sebaliknya dusung di Desa Hatu dengan bentuk penggunaan lahan ladang berada pada kemiringan lereng antara 0-30 % ; kebun campuran 8-45 % dan kebun monokultur 8-30 %. Selain faktor iklim, curah hujan dan penutupan vegetasi maka kemiringan lereng merupakan faktor penentu terjadinya erosi berdasarkan karakteristik lahan (Lampiran 8).

Hasil prediksi erosi aktual pada bentuk penggunaan lahan ladang dan monokultur cengkeh-pala di Desa Wakal adalah 53,83 ton/ha/tahun dan 72,30 ton/ha/tahun. Nilai erosi pada kedua penggunaan lahan ini, berada lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan yakni 48 ton/ha/tahun dan 45 ton/ha/tahun. Besar erosi pada kedua penggunaan lahan ini diduga akibat dari kegiatan usahatani yang dilakukan dengan membersihkan tumbuhan penutup tanah di bawah tanaman cengkeh terutama pada musim panen dan pada saat pola penyiapan lahan untuk penanaman dengan cara membakar sehingga menyisahkan lahan terbuka.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2   Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1   Jumlah penduduk Desa Wakal menurut golongan umur
Tabel 2   Jumlah penduduk Desa Wakal berdasarkan mata pencaharian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kepentingan tipe lahan sangat ditentukan oleh tingkat pemanfaatan lahan tersebut. Tipe-tipe pemanfaatan lahan di Desa Jaranguda masih tergantung pada kampung, hutan,

Adapun kaitannya dengan bentuk penggunaan lahan di Kelurahan Pematang Raya pada tahun 2001 dan tahun 2011 yaitu intensitas lahan kering (pertanian) tinggi pada tahun 2001

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bentuk dan luas perubahan penggunaan lahan, (2) luas lahan yang telah mengalami perubahan penggunaan lahan,

begitupula dengan luas lahan, penggunaan benih dan tenaga kerja karena semakin besar luas lahan maka petani membutuhkan lebih banyak tenaga kerja sehingga nantinya produksi pala

Penggunaan lahan saat ini di wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat terdiri dari 10 jenis penggunaan lahan berdasarkan hasil interpretasi citra ikonos Tahun 2010 dan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola perubahan penggunaan lahan di Desa Ponggok dan Desa Janti, mengetahui perbedaan perkembangan budidaya ikan di Desa Janti dan

Pada zona penyangga Lolobata jalur interaksi tersusun oleh pola kebun campuran, kebun murni dan kebun tumpangsari dengan tanaman utama kelapa.. Budidaya tanaman kayu belum

Skenario-4 adalah perencanaan penggelolaan lahan HKm dengan pola penanaman Agroforestry dan merehabilitasi kawasan hutan serta merubah pengelolaan lahan kopi monokultur menjadi