• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312010022 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312010022 BAB III"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN,

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MENGENAI

PERTANGGUNGJAWABAN OPERATOR SELULER

SEBAGAI

LANDLORD

DAN PELANGGAN SEBAGAI

PENYEWA (

TENANT

)

Dalam BAB ini, Penulis mendeskripsikan mengenai prinsip-prinsip hukum umum yang memerintah hubungan antara penyewa dan penerima sewa selajutnya hubungan sewa-menyewa itu Penulis transposisi1 sebagai hubungan hukum landlord dan tenant. Setelah itu, Penulis mencari atau menganalisis bagaimana aspek pertanggungjawaban pelaku usaha penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai landlord terhadap pelanggan dalam hal ini sebagai

tenant dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi yang sudah ditransposisikan sebagai hubungan hukum landlord and tenant. Seperti telah dikemukakan di Bab I, Rumusan Masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah: Bagaimana tanggungjawab hukum operator sellular sebagai

1

(2)

2

Landlord, atau pihak penyelenggara2 telekomunikasi, dalam hubungan hukum dengan pelanggan3 sebagai penyewa (tenant)?.

Rumusan permasalahan itu mengandung konsep ―bagaimana‖. Oleh

sebab itu, soalnya adalahapakah yang dimaksudkan dengan konsep kata tanya

―bagaimana‖,dalam rumusan masalahBagaimana tanggung jawab penyelenggara

atau operator telepon sellular sebagai Landlord itu dapat dijelaskan dengan mem-break-downrumusan masalah dalam kalimat tanya itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih rinci yaitu misalnya: (1) dapatkan operator telepon sellular disebut sebagai pihak (the party to contract) dalam hubungan hukum sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?; (2) apakah rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu sejatinya adalah pihak Landlord dalam hubungan hukum Landlord and Tenant?: (3) apabila operator telepon selluar itu adalah pihak (the party to contract) yang disebut Landlord; maka, apa sajakah kewajiban atau tanggung jawab yang harus si operator telepon selluar sebagai Landlord itu pikul dalam suatu hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi?; (4) kapankah tanggung jawab operator telepon sellular sebagai pihak Landlord itu dimulai dan kapankah tanggung

2

UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant). 3

(3)

3

jawab seperti itu berakhir? (5) bagaimanakah cara hukum menyediakan jalan penyelesaian kepada pihak Tenant untuk meminta pertanggungjawaban si pihak

Landlord manakala si pihak Landlord itu diduga merugikan kepentingan atau hak-hak si pihak Tenant?; (6) apakah sifat dari pertanggungjawaban pihak

Landlordkepada si pihak Tenant itu? Apakah sifat pertanggungjawaban tersebut adalah privat ataukah sifat pertanggungjawaban publik yang dituntut dari pihak

Landlord ataukah justru sifat pertanggungjawaban Landlord itu adalah suatu pertanggungjawaban hybrid –campuran privat-publik— yang merupakan

sifa-sifat ―antara‖ publik dan sifa-sifat keperdataan?dan sebagainya. Semua jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan di atas Penulis sebut sebagai jawaban atas pertanyaan

―bagaimana‖ di balik rumusan permasalahan sebagaimana telah Penulis

kemukakan di atas.Tambahan pula, dengan dengan demikian menjelaskan

―bagaimana‖ pertanggungjawaban operator telepon sellular sebagai Landlord

dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi dengan pihak Tenant

sebagai pihak (the other party to contract) pelanggan jasa telekomunikasi.Sesuai dengan judul Bab II di atas, maka jawaban-jawaban itu pertama-tama harus dicari secara konsepsional. Yang Penulis maksudkan sebagai pencarian atau penyelidikan konsepsional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana sebagian besar dirinci di atas itu adalah studi (research) kepustakaan. Selanjutnya dalam bagian analisis, dengan memedomani atau menjadikan tolak

ukur jawaban yang melukiskan ―bagaimana‖ pertanggungajwaban pihak

(4)

putusan-4

putusan pengadilan yang menjadi satuan amatan Skripsi ini. Gambaran atas hasil pencarian segala sesuatu di balik konsep ―bagaimana‖ dalam rumusan masalah Bagaimana pertanggungjawaban pihak operator telepon sellular yang ditemukan dalam putusan-putusan tersebut, Penulis sebut sebagai suatu analisis.Hasil dari analisis itu kemudian Penulis distilasi atau ambil intisarinya dan dirumuskan sebagai simpulan-simpulan, bagian yang dibutuhkan sebagai temuan penelitian Skripsi ini.

2.1. Hubungan Hukum Landlord dan Tenant Sebagai Hubungan Sewa Menyewa

Di atas telah Penulis dalilkan bahwa pada prinsipnya hubungan hukum

Landlord and Tenant yang merupakan suatu institusi hukum di Inggris, terutama di Skotlandia itu sejatinya atau pada hakikatnya apabila ditransposisikan adalah merupakan hubungan hukum yang identik dengan hubungan hukum sewa-menyewa sebagaimana diatur dan dikenal dalam KUHPerdata Indonesia.

(5)

5

Studi terhadap satuan amatan4 yang ada juga membuktikan bahwa dalam Undang-undang Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik5 di Indonesia keunikan itu muncul pula.Hanya saja, ketiadaan kepustakaan6 yang menjelaskan mengenai hal itu telah menyulitkan Penulis untuk memberikan pembenaran kepustakaan atau konsepsional dan teoritis mengenai dalil yang dikemukakan oleh Penulis tersebut. Sekalipun begitu, dalam satuan amatan studi perbandingan (transposition) Skripsi ini dapat ditemukan bahwa keunikan dalam hubungan hukum Landlord and Tenant yang berlaku di Inggris dan terutama Skotlandia tersebut, dimana hubungan hukum itu juga dapat diterapkan dalam bidang telekomunikasi dan transaksi elektronik juga berlaku di luar bidang pertanahan yang agraris, dalam hal ini mengatur pula bidang telekomunikasi di Indonesia. Dalam UU Telekomunikasi dirumuskan bahwa:

Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan

telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi‖7. Dalam Penjelasan UU Telekomunikasi juga diatur

bahwa:―Penyelenggara jasa telekomunikasi dapat menggunakan

kecenderungannya di dalam Literatur Internasional, maka Penulis berpendapat bahwa hubungan hukum Landlord and Tenant yang ada di dalam kedua bidang yang saling berkaitan erat itu yaitu Telekomunikasi dan ITE harus ada.

6

Penulis berterima kasih, bahwa ditengah kesulitan untuk memperoleh rujukan kepustakaan tersebut Bapak Jeferson Kameo telah mengijinkan Thesis Ph.D yang tidak dipublikasikan dalam bidang ini dijadikan referensi.

7

(6)

6

jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara

telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada

dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila

disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan

kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara

jaringan telekomunikasi‖.

Dalam rumusan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi tersebut dapat ditarik 2 unsur dari perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi.Unsur pertama merupakan suatu perjanjian (kontrak) antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.Unsur yang kedua adalah obyek sewa yaitu jaringan telekomunikasi. Pasal 27 Ayat 1 UU Telekomunikasi jo Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2000 tentang Penyenggaraan Telekomunikasi juga telah menambahkan satu unsur dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi yaitu adanya tariff sewa jaringan dalam hubungan hukum sewa menyewa tersebut.8

Disamping rumusan ketentuan sebagiamana telah dikemukakan di atas, tanda-tanda akan dipergunakannya institusi Landlord and Tenant

yang oleh Penulis telah diidentikkan dengan hubungan hukum sewa-menyewa itu dalam bidang telekomunikasi juga nampak dalam UU Telekomunikasi, terutama dalam Pasal 1 Ayat (11). Dalam Pasal itu, hubungan sewa-menyewa tidak hanya berlaku antara para penyelenggara jasa telekomunikasi (operator telepon seluler) dan penyelenggara jaringan

8

(7)

7

telekomunikasi tetapi juga meliputi hubungan hukum antara pengguna jasa telekomunikasi yang di dalamnya adalah pelangggan sebagai (Tenant) dengan operator telepon selluler sebagai pemberi sewa yang disebut dengan Landlord.

Dengan memperhatikan perspektif konsepsional seperti telah Penulis kemukakan di atas itu maka terjawablah sudah pertanyaan pertama yang sudah lebih dahulu Penulis rinci dalam kaitannya dengan apa yang ada di balik konsep

―bagaimana‖ di dalam rumusan masalah Skripsi ini sebagaimana dikemukakan

di atas yaitu: dapatkan operator telepon sellular disebut sebagai pihak dalam hubungan hukum sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?. Jawabannya adalah dapat. Uraian itu juga dengan demikian menjawab pertanyaan yang kedua di atas, yaitu: apakah rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu sejatinya adalah pihak Landlord

dalam hubungan hukum Landlord and Tenant? Rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis itu adalah Undang-undang Telekomunikasi dan UU ITE yang berlaku di Indonesia saat ini.

(8)

sewa-8

menyewa (Landlord and Tenant) dan juga semua ketentuan khusus yang mengatur mengenai kedua bidang itu di dalam kedua undang-undang tersebut dan di dalam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan lainnya di dalam sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Unsur dalam hubungan hukum sewa menyewa dalam telekomunikasi adalah suatu perjanjian (a contract), jaringan telekomunikasi, tarif sewa jaringan, dan jangka waktu sewa jaringan serta yang tidak kalah penting adalah para pihak yang mempunyai kecakapan (capacity) dan kekuasaan (power) untuk melakukan hubungan hukum tersebut.Perjanjian sewa menyewa jaringan telekomunikasi merupakan suatu perjanjian antara penyelenggara telekomunikasi dan pelanggan.Dengan adanya perjanjian di antara para pihak tersebut maka terdapat keharusan yang melekat pada kedua pihak yang telah mengikatkan diri.Keharusan disini adalah keharusan bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk memberikan hak atas kenikmatan dari jaringan/jasa telekomunikasi yang disewakan dan sekaligus keharusan bagi pelanggan untuk membayar sewa tarif jaringan tersebut sebagai kontra prestasi dalam jangka waktu yang telah disepakati kedua pihak atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.9

2.1.1. Pengertian Landlord dan Tenant (the Parties to Contract)

Dalam penelitian ini, Penulis hendak mengatakan bahwa hubungan antara landlord dan tenant adalah juga merupakan hubungan hukum antara pelaku usaha di satu sisi dengan pihak konsumen di sisi yang lain. Dalam hal ini

9

(9)

9

penyelenggara telekomunikasi berkedudukan selaku pelaku usaha adalah

Landlorddan pelanggan sebagai konsumen adalah pihak Tenant.Dalam kaitan dengan itu penyelidikan Penulis atas Blacks Law sebagai suatu kepustakaan,

ditemukan penjelasan mengenai pengertian landlord10yaitu who are leases real property to another dan tenant11one who holds or possesses lands or tenements by any kind of right or title. Dijelaskan pula mengenai hubungan antara landlord

dan tenant, yaitu:

The legal relationship between the lessor and lessee of real estate. The relationship is contractual, created by a lease (or agreement

for lease) for a term of years, from year to year, for life, or at will,

and exists when one person occupies the premises of another with the lessors permission or consent, subordinated to the lessor’s title or rights. There must be a landlord’s resersion, a tenant’s estate, transfer of possession and control of the premises, and (generally)

an express or implied contract”.12

Sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, hubungan hukum sewa-menyewa tersebut, secara konstruktif dapat pula ditemukan dalam rumusan ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi yang menjelaskan

bahwa:―Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 Ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan

10

Black, Henry Campbell,” Black’s Law Dictionary“, St Paul Minn: West Publishing Co.,1990. Hal., 878.

11

Ibid.,hal.,1466. 12

(10)

10

jasa dan/atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan

telekomunikasi

Selanjutnya, dalam bagian penjelasan Pasal 9 (2) UU tersebut di atas dikatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya atau menyewa dari penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya.Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakkan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali (sub-lease) kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus mempunyai ijin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.13 Sedangkan pengertian Pelanggan dalam UU Telekomunikasi adalah Perseorangan, Badan Hukum, Instansi Pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontak.14Dalam pengertian ini, dapat diketahui bahwa hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara operator dan pelanggan adalah hubungan kontrak, dalam hal ini kontrak/ perjanjian sewa-menyewa atau ditransposisikan sebagai hubungan hukum Landlord and Tenant.

13

Lihat Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi.Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pihak lainnya diantaranya adalah pihak Pelanggan jasa telekomunikasi.

14

(11)

11

2.1.2. Tinjauan Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa

Sebelum memahami pengertian dari perjanjian sewa-menyewa yang telah Penulis transposisikan sama dengan hubungan hukum Landlord and Tenant, maka berikut ini apa yang dimaksudkan dengan perjanjian pada umumnya. Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai berikut: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.15 Kata perbuatan pada perumusan tentang persetujuan sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lebih tepat kalau diganti atau dipahami dengan kata perbuatan hukum/tindakan hukum mengingat bahwa dalam suatu perjanjian, akibat hukum yang muncul memang dikehendaki para pihak.16 Kata perbuatan itu dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum sama dengan konsep to do, to give, not to do atau not to give sebagaimana dirumuskan dalam pengertian Kontrak sebagai nama ilmu hukum berikut ini:

“It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with,

another, to give or do or refrain from doing something to or for

another, or with legal duties imposed by law to give or do

somenthing to or for another where justice requires it hhough there

15

Lihat Pasal 1313, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 16

(12)

12

is no promise”17

. (Maksudnya, Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk

memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap

atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap

kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk

memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau

untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak

diperjanjikan sebelumnya18”).

Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:19Suatu perbuatan;Antara sekurangnya 2 (dua) orang;Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian. Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi.20 Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian

17

Lihat definisi Konrak oleh Jeferson Kameo Ph.D., dalam Thesis Doktor berjudul: A Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its Indonesian Counterparts‖, June 2005, Faculty of Law and Financial

Studies University of Glasgow, Scotland. tidak dipublikasikan. 18

Terjemahan diambil dari buku yang ditulis penulis yang sama, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 2.

19

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 1, Jakart, Raja Grafindo Persada, 2003, Hal., 7.

20

(13)

13

sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal.21 Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 22 Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 23 Perjanjian merupakan sumber yang menimbulkan perikatan.Selain perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari Undang-Undang.Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian.24 Pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.25

Dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dikatakan bahwa, Pasal itu mengandung suatu pernyataan bahwa kita

21

R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung,1989, hal., 9. 22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, bandung, 1993, hal., 78. 23

R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal.,1. 24

Ibid.,hal.,4. 25

(14)

14

diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan.Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Ada persetujuan-persetujuan dimana untuk setiap salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan, misalnya: sewa menyewa.26Selain itu, Perjanjian menurut Black’s Law Dictionary adalah:

“Contract : an agreement between two or more persons which creates an

obligation to do or not to do a peculiar thing”.27

Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: Semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.28

Salah satu bentuk dari perjanjian adalah menyewa.Perjanjian sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huur en verhuur. Sedangkan dalam bahasa Inggris sewa menyewa disebut dengan rent atau hire. Dari

26

R. Setiawan, Op. Cit, hal., 64 27

Black’s Law , Op Cit. hal., 322. 28

(15)

15

pengertian leksikal kata sewa dan menyewa tersebut dapat mendekati hakikat sewa menyewa sebagai suatu hubungan hukum yang termasuk dalam perjanjian timbal balik.29Unsur-unsur sewa menyewa terdiri dari 3 unsur.Petama, sewa menyewa mengandung suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pihak pemilik barang) dengan pihak penyewa, pihak yang menggunakan (use)30 barang.Kedua, pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati (volledige genot).31

Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.32 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.33

29

Caesar Wauran, Op. Cit., hal.,15. 30

Kata use ini sama dengan kata menggunakan yang ada di dalam UU Telekomunikasi, terutama ketika UU itu berusaha untuk mendefinisikan pihak-pihak yang ada di dalam hubungan hukum dengan obyek telekomunikasi, misalnya yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat (11). Itulah sebabnya, menurut pendapat Penulis, dan juga didukung oleh pendapat yang didasarkan atas pengkajian mendalam oleh beberapa penulis Skripsi terdahulu seperti Caesar Wauran SH.,

penggunaan kata ―use” sebagai inti dari institusi sewa-menyewa atau Landlord and Tenant oleh UU Telekomunikasi merupakan isyarat eksplisit bahwa hubungan hukum dalam bidang telekomunikasi maupun ITE itu adalah hubungan hukum sewa-menyewa.

31

Caesar,Op.Cit.,hal., 15. 32

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, hal., 53.

33

(16)

16

Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.34 Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian bernama.Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.Peraturan tentang sewa-menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.35 Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah:

“Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu

tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar

harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu

yang ditentukan”.36

34

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 2002, hal.,123. 35

R. Subekti, Op. Cit, hal., 1. 36

(17)

17

Adapun pengertian perjanjian sewa-menyewa menurut M. Yahya Harahapadalah sebagai berikut: ―Perjanjian sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada

penyewa untuk dinikmati sepenuhnya‖.37

Asas-asas hukum perjanjian sewa-menyewa tercantum dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Di dalam asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah‖ Merupakan suatu perjanjian;Terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri;Pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut.

2.1.3. Telekomunikasi Sebagai Obyek Hubungan Hukum Landlord and Tenant Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang

37

(18)

18

merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah: segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.38 Demikian pula halnya dengan yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh Undang-Undang dan ketertiban umum.

Hakikat perjanjian sewa menyewa konvensional terdiri dari 4 unsur, yaitu: merupakan suatu perjanjian, terdapat kenikmatan suatu barang, harga sewa dan jangka waktu sewa. Unsur-unsur perjanjian sewa menyewa konvensional tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur sewa menyewa dalam telekomunikasi yakni merupakan suatu perjanjian, tarif sewa dan jangka waktu sewa.Dalam perjanjian sewa menyewa telekomunikasi, hak atas kenikmatan yang diberikan adalah hak atas kenikmatan untuk menikmati jaringan telekomunikasi.Jaringan telekomunikasi merupakan obyek dari hubungan hukum sewa menyewa.Sehingga dapat dikategorikan disini bahwa jaringan telekomunikasi merupakan sebuah unsur esensial dalam hubungan hukum atau kontrak sewa-menyewa dalam jaringan telekomunikasi landlord dan

tenant.39

38

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1999, hal.,68.

39

(19)

19

2.2. Presumtion of Liability Principle, Hubungan Hukum Landlord dan

Tenant

Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab.Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability

menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.40

Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan konsumen merupakan

40

(20)

20

golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, sehingga dalam hal terdapat kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab. Ada beberapa asas dari perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, yaitu:Untuk mendapatkan keadilan;Untuk mencapai asas manfaat;Untuk mencapai asas keseimbangan; Untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan konsumen;Untuk mendapatkan kepastian hukum.

Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab.Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:41

Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat prinsip tanggung jawab yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,

41

(21)

21

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.42

Secara umum, terdapat beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum yang dapat dibedakan sebagai berikut:Kesalahan (liability based on fault). Prinsip ini mengatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan.Prinsip ini dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:Adanya perbuatan melanggar hukum; perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.43Adanya unsur kesalahan; kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:44 perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya (dalam arti objektif sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya dan dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya); dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam

42

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia , PT Grasindo, Jakarta, 2000 , hal., 59. 43

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hal.,130.

44

(22)

22

keadaan cakap; Adanya kerugian yang diderita; Pengertian menurut

Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain. 45 Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.46 Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan (beban pembuktian) ada pada

45

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Universitas Airlangga, Surabaya, 1985, Hal., 57.

46

(23)

23

pelaku usaha.Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.Adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan memaksa/force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya harus ada.

Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu.Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha.Karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.

(24)

24

bawah pengawasannya.Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya.Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab.47

Mengenai prinsip Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian jasa laundry misalnya jika barang kita hilang atau rusak maka ganti kerugian hanya dibatasi yaitu 10 kali dari biaya pencucia.Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelakuusaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.48

47

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumendi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal.,115-119.

48

(25)

25

Sedangkan bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain:49Contractual liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.

Product liability, yaitu tanggungjawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada perbuatan melawan hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam dalam tortius liability antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, dan hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang timbul.Profesional liability, yaitu tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan negara.

2.2.2.PertanggungjawabanLandlord dan Tenant dalam Telekomunikasi

Seperti yang telah disampaikan bahwa dalam penelitian ini, yang akan menjadi payung hukum adalah UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen. Ketiga peraturan ini menganut sistem pertanggungjawaba yang sama yaitu Praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability). Hal ini terdapat secara eksplisit dalam masing masing ketentuan peraturan

49

(26)

26

undangan. Dalam UU Telekomunikasi, terdapat pada Pasal 15:Atas kesalahan dan atau kelalaian Penyelenggara Telekomunikasi yang menumbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Penyelenggara Telekomunikasi;Penyelenggara Telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), kecuali Penyelenggara Telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya;Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur Peraturan Pemerintah.50

Dalam UU ITE Terdapat dalam Pasal 15 Ayat;Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.51

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat dalam Pasal 19 yang mengatakan bahwa:Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat

50

Lihat Pasal 15 UU No.No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. 51

(27)

27

mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku.Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.52

2.3. Hasil Penelitian Putusan-Putusan Tanggung Jawab Lanlord and Tenant Menyusul gambaran studi kepustakaan mengenai pertanggungjawaban

landlord and tenant di atas, berikut di bawah ini gambaran mengenai hasil penelitian putusan yang menjadi satuan amatan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah kesarjanaan di bidang ilmu hukum ini.Putusan tersebut yaitu Putusan MARI 2995, hasil dari suatu pemeriksaan perkara perdata dalam tingkat kasasi antara Pemohon Kasasi. Uraian atas Putusan MARI 2995 itu dimaksudkan untuk melihat bagaimana institusi Landlord ad Tenant itu diuji di dalam praktek yaitu dalam sengketa antara pihak-pihak dalam institusi Landlord and Tenant dalam bidang Telekomunikasi di Indonesia. Di sub-2.3.,dikemukakan posita sedangkan dalam sub-judul 2.4.dikemukakan eksepsi yang dilancarkan oleh pihak Landlord

52

(28)

28

atas posita yang dibangun oleh si pihak Tenantketika perkara sedang berada di tingkat sebelum Kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia.

2.3.1. Para Pihak dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perkara perdata dimaksud adalah pihak Tenant, yang dalam hal ini adalah Prof. Dr. Farouk Muhammadbertempat tinggal di Jl. H. Mursid No. 33, RT.007/RW.004, Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepadaMuhammad Jusril, SH.,dan kawan-kawan, Para Advokat dan Para Kandidat Advokat, berkantor di Satori Cakra Optima, Jalan Ciparahiang No.1, Cidangiang, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Tengah, Kota Bogor 16124, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Juli 2012.

Sementara itu pihak lawan yaitu si pihak Landlorddalam hal ini operator telepon seluler yaitu PT. TELEKOMUNIKASI SELLULAR (TELKOMSEL), berkedudukan di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot Subroto No. 42 Jakarta 12710, dalam hal ini memberi kuasa kepada: MARSELINUS KURNIA RAJASA, S.H., LL.M., dan kawan-kawan, Para

Advokat pada Kantor Hukum ―Rajasa Supriyadi & Hartanto‖, berkantor di

Atrium Setiabudi Lantai 2, Suite 206 B, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Jakarta 12920 sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding.

Dengan tetap pada perspektif hubungan hukum Landlord and Tenant

(29)

29

Tenant sebagai Pemohon Kasasi dahulunyaadalah merupakan Penggugat. Si pihak Tenant sebelumnya menggugat sekarang si Landlord yang adalah Termohon Kasasi di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatan di PN Jakarta Selatan itu pada pokoknya Prof. Dr. Farouk Muhammad sebagai Tenant mengemukakan dalil-dalil bahwa dia adalah pelanggan –dalam konteks Skripsi ini telah ditansposisikan sebagai Tenant

Kartu Halo Pasca Bayar dengan Nomor 0811969697 (disebut Kartu Halo) terhitung sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dan si pihak Landlord

adalah pengelola operator selular terbesar di Indonesia –dalam konteks Skripsi ini telah ditansposisikan sebagai Landlord— yang mengeluarkan produk Kartu Halo tersebut.

2.3.2. Permasalahan Arrears53 dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant

Menurut si pihak Tenant, sejak si Tenant menggunakan Kartu Halotersebut, si Tenant tidak pernah mempunyai masalah yang berarti mengenai pembayaran dan selalu membayar tagihan tepat waktu, artinya bahwa si Tenant

adalah pelanggan telekomunikasi yang bertanggungjawab akan kewajiban-kewajibannya terhadap si pihak Landlord (PT. Telokomsel). Kemudian si

Tenant dikejutkan dengan tagihan bulan September 2009 sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah, sedangkan biasanya

53

Arrears adalah terminologi khusus dalam hubungan hukum Landlord and Tenant di Skotlandia.

Sedangkan pengertian dalam bahasa Inggris Umum mengenai konsepsi itu adalah: ―Debts not paid at the due date‖.Penulis terjemahkan dengan: ―Hutang yang tidak dibayarkan pada saat jatuh tempo‖. Lihat pengertian seperti itu dalam J. Burke, Osborn’s Concise Law Dictionary Sixt

(30)

30

hanya sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Pembengkakan biaya tersebut ternyata kemudian diketahui oleh si Tenant merupakan biaya roaming

internasional di luar negeri, yaitu selama seminggu ketika si Tenant menjalankan kewajiban agamanya di luar negeri.Terhadap tagihan tersebut, si Tenant telah menugaskan dua orang stafnya untuk menyampaikan keberatan dan meminta keringanan pembayaran kepada si pihak Landlord di Kantor Grapari Telkomsel, Jalan Gatot Subroto. Si Tenant mendalilkan bahwa dia tidak memperoleh informasi atau tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang besarnya biaya

roaming internasional di luar negeri, tetapi si pihak Landlord melalui petugasnya hanya menyatakan bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban si pihak Tenant sebagai pelanggan. Si Tenant juga mendalilkan bahwa tanggal 21 Oktober 2009 dia dengan penuh kesadaran dan itikad baik bersedia untuk membayar tagihan –hal ini Penulis transposisikan sebagai tagihan sewa atau rent

dalam hubungan hukum Landlord and Tenant— sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah itu. Menurut aturan pada

Costumer Service si pihak Landlord disepakati keduanya pembayaran tagihan dapat diangsur maksimal sebanyak tiga kali dalam waktu tiga bulan. Penulis melihat bahwa ada kesepakatan antara para pihak untuk mengubah ketentuan perjanjian mereka mengenai arrears54 atau harga sewa atas penggunaan obyek atau kenikmatan atas sewa (rent) yang terhutang.

Penulis juga berpendapat bahwa ungkapan dalam dalil si Tenant yang ada di dalam Putusan MARI 2995 itu mengandung substansi hukum, yaitu

54

(31)

31

bahwa: ―menggunakan Kartu Halo‖, dapat dipersamakan dengan menyewa jasa

telekomunikasi yang dimiliki oleh si pihak Landlord, dalam hal ini PT.

Telkomsel. Kartu Halo itu ―sama dengan‖ dokumen perjanjian elektronik antara

(32)

32

informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, aau sistem elektromagnetik lainnya.

2.3.3. Rent Review dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant

Membedah Putusan MARI 2995 itu, Penulis memeroleh temuan bahwa nampaknya hampir dapat Penulis pastikan jikalau ada semacam anggapan, dalam hubungan hukum Landlord and Tenant antara Prof. Dr. Farouk Muhammad dengan PT. Telkomsel telah terjadi pembaruan sewa (rent review) antara si pihak Landlord dan Tenant menurut dalil si pihak Tenant atau kuas hukumnya, dan kesepakatan itu telah dicapai. Hal itu dapat dilihat dari dalil bahwa pada tanggal 21 Oktober 2009, si Tenant dengan kesadaran dan itikad baik melakukan pembayaran atas arrears berupa angsuran sebesar lima juta rupiah. Menurut pendapat Penulis dengan diterimanya hal ini maka ada kesepakatan baru mengenai jangka waktu dan harga sewa dalam hubungan hukum Landlord and Tenant itu. Itu berarti arrears yang tersisa adalah dua juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Si pihak

Tenant berdalil bahwa dengan kesadaran dan itikad baik dia memenuhi kesepakatannya kepada si pihak Landlord, membayar arrearskepada si

(33)

33

Tenant, saat pembayaran instalmentarrears kedua sebagaimana di atas, intinya secara tertulis baik si pihak Tenantmaupun si pihak Landlord bersepakat bila si

Tenantdiberikan waktu untuk mencicil kewajibannya tersebut dalam waktu tiga kali cicilan pembayaran selama 3 bulan tagihan terhitung sejak pembayaran pertama tanggal 21 Oktober 2009. Dari formulir layanan pelanggan dimaksud maka dapat diketahui bahwa batas terakhir cicilan yang harus dibayarkan adalah selambat-lambatnya pada tanggal 21 Desember 2009, atau 3 bulan terhitung sejak 21 Oktober 2009.

2.3.4. Dugaan Breach of Promisedalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant

Bahwa ternyata formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang menjadi Perjanjian dalam hal cicilan pembayaran antara si pihak

Tenant dan si pihak Landlord, menurut hal yang didalilkan si pihak

(34)

34

pertama tanggal 21 Oktober 2009, maka menuut dalil si pihak Tenant, dia masih mempunyai waktu sampai dengan tanggal 21 Desember 2009.

2.3.5. Dugaan Bad Faithdalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Selain dugaan breach of promise sebagaimana telah didalilkan oleh si pihak Tenant sebagaimana dikemukakan di atas, ada pula dalil lain dari si pihak

Tenant. Dalil tersebut yaitu bahwa menurut si pihak Tenant,jelas perbuatan si pihak Landlord sebagai pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha mereka telah beritikad tidak baik (bad faith).Menurut si pihak Tenant, yang dimaksud dengan dugaaan beriktikad tidak baik itu adalah tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, atau informasi yang cukup khususnya tentang biaya

roaming internasional, tidak konsekuen dan konsisten untuk mematuhi janjinya kepada Penggugat sebagaimana yang dimaksud di atas, sehingga tindakan itu sangat nyata-nyata telah merugikan Penggugat. Di sini, ternyata menurut pengamatan Penulis, breach of contract telah disamakan dengan bad faith, setidak-tidaknya menurut dalil pihak Tenant, melalui kuasa hukumnya tersebut di atas.

(35)

35

Namun, menurut dalil si pihak Tenant, permintaan itu tidak ditanggapi sesuai dengan komitmen. Sebaliknya, si pihak Landlord malah, menurut dalil si pihak

Tenant, justru memaksa dirinya membayar sisa cicilan terakhir terlebih dahulu kalau blokir Kartu Halo milik si Tenant hendak dibuka.

2.3.6. Dugaan Melawan Hukum dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant

(36)

36

Selanjutnya si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa kibat perbuatan semena-mena si pihak Landlord yaitu pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut, sangat menimbulkan rasa yang tidak nyaman kepada si pihak Tenant. Didalilkan si pihak Tenant bahwa terlebih-lebih dia adalah termasuk pelanggan corporate

dari Kartu Halo dalam jajaran Perwira Tinggi pada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, nomor Kartu Halo Penggugat sudah lama dikenal di kalangan kolega Penggugat sejak saat Penggugat menjadi Guru Besar sekaligus Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, dan terlebih lagi nomor Kartu Halo Penggugat pun telah dikenal oleh khalayak ramai karena kedudukan Penggugat yang pernah menjadi staff pada Dewan Pertimbangan Presiden. Bahkan saat ini nomor Kartu Halo Penggugat dikenal lebih luas lagi oleh para kolega, konstituen, serta khalayak umum karena Penggugat saat ini adalah Anggota dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Karena kedudukan Penggugat sebagaimana terurai di atas, maka telah tergambar jelas betapa besar dan betapa penting nomor Kartu Halo milik Penggugat (0811969697) terhadap kelancaran pengabdian si pihak

(37)

37

kerugian selain terhadap si Tenant juga kerugian negara sebagai terhambatnya aktivitas si Tenant karena perbuatan sepihak si Landlorddimaksud.

Si pihak Tenant juga mendalilkan bahwa secara nyata, akibat perbuatan semena-mena si pihak Landlord kepada si Tenant, dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut, si pihak Tenantsebagai public figure yang mempunyai citra baik pada jaringan–jaringan perkenalannya telah kehilangan

(38)

38

(39)

39

tidak nyaman dan bahkan kerugian immateril yang sangat besar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perbuatan si pihak Landlordyang telah memblokir secara sepihak Kartu Halo milik Penggugat tanpa ada alasan yang jelas, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, serta tanpa dasar hukum yang kuat, maka Perbuatan si pihak Landlord merupakan wanprestasi/cedera janji terhadap Penggugat selaku Konsumen sebagaimana yang diisyaratkan oleh UU Perlindungan Konsumen.

Masih di dalam konteks dalil bahwa si pihak Landlord melakukan perbuaan melawan hukum, si pihak Tenant mengatakan di dalam gugatannya itu bahwa selain itu si pihak Landlord selaku penyelenggara telekomunikasi di Indonesia juga telah melanggar ketentuan seperti yang diisyaratkan Pasal 7 huruf (a), (b), dan (c) jo. Pasal 26 UU Perlindungan Konsumen jo.Pasal 17 huruf (a). UU Telekomunikasi;Pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen, yaitu: si pihak Landlord harus: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen:memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pasal 7 huruf (c) UU Perlindungan Konsumen:memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan Pasal 26 UU Perlindungan Konsumen di mana di dalamnya diatur bahwa:

“pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang

(40)

40

1999 tentang Telekomunikasi: “Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi

wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:

a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna.”

2.3.7. PSAdalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant

Menarik pula untuk Penulis gambarkan di sini bahwa dalam studi atas satuan amatan skripsi ini, terutama dari dalil yang disampaikan oleh si pihak

Tenant, Penulis juga memeroleh temuan bahwa ada suatu penyelesaian sengketa dalam hubungan Landlord dan Tenant dalam bidang sewa-menyewa Telekomunikasi ini.

Aspek penyelesaian sengekta alternatif (PSA) yang mengikuti Pasal 15 dari UU Telekomunikasi itu adalah bahwa, seperti didalilkan oleh si pihak

Tenant, akibat perbuatan semena-mena dari si Landlord, maka si pihak

Tenantpada tanggal 8 Maret 2010 telah mengadukan dan menempuh upaya konsiliasi dalam penyelesaian permasalahan Penggugat dengan Tergugat di Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta dengan Nomor Register 012/REG/BPSKDKI/III/2010 tertanggal 12 Maret 2010.

Akan tetapi upaya rekonsialisasi antara si pihak Tenant dengan si pihak

(41)

41

utamanya dimohonkan oleh Penggugat adalah bukan kompetensi dari BPSK DKI Jakarta. Hal mana ganti rugi immaterial yang merupakan tuntutan utama ganti rugi yang diminta oleh si pihak Tenant terhadap pihak Landlord pada proses rekonsiliasi di BPSK DKI Jakarta adalah berupa permohonan maaf dari si pihak Landlordkepada si pihak Tenantyang diumumkan melalui beberapa harian media nasional. Tujuan si pihak Tenant akan permohonan maaf dimaksud adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi para Pelaku Usaha umumnya dan PT. Telkomsel sebagai Landlordkhususnya dalam menghormati hak-hak Konsumen (the multitudes of tenants), sehingga dikemudian hari si pihak Tenant berharap tidak ada lagi korban timbul seperti yang dialami oleh dirinya sendiri, karena para Pelaku Usaha umumnya dan si pihak Landlord khususnya lebih memperhatikan hak-hak Konsumen (multitudes). Dalam putusan penyelesaian itu, BPSK DKI Jakarta juga menyarankan bahwa permohonan ganti rugi immaterial dapat dimintakan jika penyelesaian perkaranya melalui Pengadilan Negeri, maka karena dan untuk itu berdasarkan Pasal 45 Ayat (4) UU Perlindungan Konsumen gugatan Wanprestasi dalam Perlindungan Konsumen ini diajukan oleh si Tenant.

2.3.8.Kelalaian (Negligence) dalam Hubungan Hukum Landlord and Tenant Memperhatikan dalil pihak Tenant selanjutnya, ada aspek kelalaian

Landlord yang muncul dalam gugatan wanprestasi tersebut. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut; bahwa kewajiban si pihak Tenantterhadap pihak

(42)

42

ratus enam puluh dua rupiah. Menurut pihak Tenant, pemenuhan kewajiban pihaknya itu kepada Landlord dilaksanakan sebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan yang berujung pada Putusan MARI 2995 itu.Pembayaran itu, menurut si pihak Tenant merupakan pelunasan sisa pembayaran biaya tagihan Kartu Halo si Tenant sebagai pelanggan atas jasa menggunakan atau menikmati telekomunikasi milik si pihak Landlord. Jumlah pembayaran seperti dimaksud dalam posita sebesar Rp 3.314.462,00 membuktikan terjadinya peningkatan jumlah tagihan dari sisa tagihan terakhir yaitu dari sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah menjadi tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah. Menurut pihak Tenant, maksud dirinya menyelesaikan kewajiban atas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar oleh Penggugat pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiahsebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan mengingat si Tenant merasa hak-haknya sebagai konsumen yang sedang mengajukan keluhan tidak terlindungi dengan peningkatan jumlah tagihan sisa kewajiban yang diantaranya berupa denda dan/atau bunga dan/atau tambahan tagihan lainnya. Menurut si pihak Tenant, seharusnya kelebihan seperti itu tidak terjadi dan tidak dibebankan kepada si

Tenant jika pemblokiran sepihak tidak dilakukan dan/atau apabila si pihak

(43)

43

relevan spirit di balik kelahiran UU Perlindungan Konsumen, payung hukum bagi terciptanya perlindungan terhadap si Tenant sebagai satu dari the multitudes, yaitu Konsumen.

2.3.9. Saat Lahirnya Dugaan Wanprestasi Landlord Diungkap si Tenant Menarik untuk dikemukakan sebagai temuan juga di sini yaitu mengenai fakta adanya formulir layanan pelanggan atas namasi Tenant yang dia diterima pada tanggal 20 November 2009. Menurut si pihak Tenant, hal itu adalah bentuk Perjanjian antara si Tenant dengan si Landlord yang sah dan mengikat secara hukum. Sekalipun, perlu Penulis sampaikan kritik di sini, bahwa pihak Kuasa Hukum si Tenant kurang memahami hakikat hubungan hukum apa sejatinya yang harus dia ungkap dalam dalil pada gugatan sebagaimana dikemukakan di atas. Menurut kuasa hukum si Tenant, dari fakta hukum dan uraian yang dikemukakan itu, jelas sikap dan perbuatan si pihak Landlorddapat dikualifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi yang menimbulkan kerugian pada pihak Tenant, baik secara materiil maupun secara immaterial.Wanprestasi/cedera janji si pihak Landlord itu, menurut si Tenant

dan kuasa hukumnya, jelas telah menimbulkan kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil terhadap diri si Tenant. Si pihak Tenant kemudian memerinci apa yang dia sebut sebagai kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil yang ia derita, yaitu: pertama, akses telekomunikasi Penggugat dengan Nomor 0811969697 tidak dapat digunakan karena blokir yang dilakukan

(44)

44

perdana baru beserta pulsanya. Menurut Penulis, pembelian Kartu GSM baru itu dapat dilihat sebagai dibukanya hubungan hukum Landlord and Tenant yang baru lagi. Kedua, kerugian si Tenant berupa kekecewaan dan lelah fisik serta psikis untuk mengurus blokir nomor selularnya.Kerugian ketiga, dirinya terpaksa harus mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya untuk mengajukan gugatan terhadap si pihak Landlordguna mempertahankan dan menuntut hak-haknya sebagai Tenant sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kerugian keempat, si Tenant merasa bahwa si pihak Tenant itu telah menimbulkan harapan, dari menjanjikan kepada si Landlord mau membayar kewajibannya terhadap si Landlord dengan cara mencicil. Dimana menurut si

(45)

45

si Tenantmencari keadilan melalui gugatan ini.Kerugian kelima, si Tenantmerasa harkat martabatnya tercoreng, karena pemblokiran dimaksud menimbulkan image yang negatif bagi si Tenant. Dalam hal ini harga diri si Tenant telah jatuh karena perlakuan si Landlord. Menurut si Tenant, semula iayang seharusnya mendapat perlakuan khusus (privillage) sebagai pelanggan korporat yang berasal dari kelompok Perwira Tinggi Mabes Polri, akan tetapi faktanya, dia telah diperlakukan tidak lebih dari pelanggan biasa. Hal ini terbukti karena faktanya, terhadap penyelesaian permasalahan oleh si Landlord, si Tenant tetap harus mengurusnya kesana kemari, harus menelepon nomor tertentu milik si Tenant, dan bahkan harus membayar dulu, agar blokir nomor milik si Tenant yang dilakukan sepihak oleh Tergugat dapat dibuka. Penulis berpendapat bawha ada kesan, pemblokiran itu ibarat tidak boleh masuk kamar kontrakan dan harus tinggal di luar rumah kontrakkan terlebih dahulu. Kerugian keenam, pemblokiran sepihak oleh Landlord,telah menimbulkan dampak negatif lainnya, berupa pandangan khalayak ramai yang menilai dengan diblokirnya nomor si

Tenant, si Tenant dianggap ―bersalah‖ dan/atau ―melakukan pelanggaran‖ dan

telah ―dihukum‖ dan/atau ―dikenai sanksi‖ oleh pihak Landlord dengan cara

(46)

46

2.3.10. Remedy yang Hendak Dibangun dalam Hubungan Landlord and Tenant

Menarik pula dikemukakan di sini bahwa dari satuan amatan yang sedang dibedah Penulis di sini, terungkap temuan bahwa selain ganti-rugi pembayaran sejumlah uang, bahwa pihak Tenant hendak membangun suatu

remedy lainnya dalam penyelesaian sengketa yang dikenal di dalam hubungan hukum Landlord and Tenant di Skotlandia, yaitu interjection atau di Inggris,

Amerika, Australia, New Zealand dikenal dengan injuction. Menyuruh melakukan sesuatu. Apa yang harus dilakukan itu, menurut pihak Tenant dalam gugatannya itu adalah bahwa oleh karena kerugian kerugian-kerugian moril (immateril) yang dialaminya itu sangat sulit dinilai dengan sejumlah uang, namun dikarenakan si Landlord adalah para pelaku usaha yang melayani kepentingan umum, agar para pelanggannya (para konsumen) termasuk si

Tenanttidak selalu dikecewakan di kemudian hari oleh sikap dan tindakan yang tidak profesional serta sewenang-wenang dari si Landlord, dan agar si Landlord

lebih memiliki rasa bertanggungjawab serta lebih-lebih berhati-hati di kemudian hari dalam melayani para pelanggannya, kiranya cukup beralasan hukum, menurut dalil si Tenant, agar si Landlord membuat dan memuat suatu pengumuman pernyataan minta maaf kepada si Tenantselaku pelanggan dan konsumen di tiga Harian Nasional, yakni Harian Kompas, Harian Tempo dan

(47)

47

bahwa apabila si Landlord tidak berkenan melaksanakan isi keputusan hukum tentang pengumuman pernyataan minta maaf, setelah tiga puluh hari sejak keputusan hukum ini dapat dilaksanakan, kiranya sangat beralasan hukum bagi si Tenant, memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut agar berkenan menghukum para Landlord untuk membayar kepada si Tenantuang kompensasi secara tunai sebanyak dua milyar rupiah dengan memberi hak kepada si Tenant memakai dan menyalurkan uang tersebut kepada Lembaga Swadaya Masyarakat, atau Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Khusus kerugian yang merugikan si Tenant berupa kehilangan opportunity/peluang/kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya; Perbuatan si Landlord

juga telah menimbulkan image negatif terhadap si Tenant yang sedang menjaga dan membangun citra dan reputasinya seperti dimaksud di atas, sebagai kerugian immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan yang tidak nyaman dalam diri si Tenant, maka si pihak Tenant menuntut ganti rugi terhadap si pihak Landlord atas kerugian itu senilai satu milyar rupiah. Hal itu masih ditambah dengan kerugian materiil yang harus dialami si Tenant akibat wanprestasi/cedera janji yang dilakukan si Landlord seluruhnya berjumlah lima juta lima ratus ribu rupiahdengan perincian yaitu biaya Tranportasi si Tenant

(48)

48

kepada si Tenant seluruh uang yang telah dikeluarkan dalam mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukumnya seluruhnya lima juta lima ratus ribu rupiah ditambah dengan bunga 1% per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai si Landlord secara sempurna melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara tersebut, serta ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan kembali. Menurut dalil si Tenant, apa yang ia tuntut itu berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf (h), Pasal 7 huruf (f) dan (g), Pasal 19 Ayat (1), (2), (3), dari UU Perlindungan Konsumen jo Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi jo Pasal 68 dan 69 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi No. 52 tahun 2000.Untuk menjamin gugatan, si Tenant juga mohon agar diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta benda kepunyaan para

Referensi

Dokumen terkait

Penulis berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara. jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi adalah

Menurut penulis, perjanjian sewa-menyewa virtual office bukan merupakan perjanjian yang sewa-menyewa yang memenuhi unsur esensalia dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur

(1) jika dalam sewa menyewa diperjanjikan suatu jangka waktu sewa dan penyewa menghentikan sewa menyewa sebelum jangka waktu tersebut berakhir, maka orang

Jika dalam sewa menyewa diperjanjikan suatu jangka waktu sewa dan penyewa menghentikan sewa menyewa sebelum jangka waktu tersebut berakhir, maka orang lainnya yang ikut menggunakan

Guna tercapainya perjanjian sewa menyewa terdapat unsur-unsur yang harus ada agar perjanjian sewa menyewa tersebut tercapai, seperti : ada dua hal yang saling mengikat

Dikaitkan dengan perjanjian jasa parkir maka jika perjanjiannya dianggap sebagai perjanjian sewa menyewa maka terdapat beberapa unsur-unsur tertentu terkait perjanjian sewa

sewa terlepas dari unsur gharar (penipuan).Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana hubungan hukum antara para pihak dalam pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa mobil

1) Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa menyewa, maksudnya kalau di dalam perjanjian sewa menyewa itu terdapat unsur pemaksaan, maka sewa menyewa itu tidak