ABSTRAK
Penulisan Skripsi ini dengan judul : “Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan
Barat 1600 –1732”, bertujuan mendeskripsikan serta menjelaskan bagaimana proses
awal lahirnya Islam dalam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Pada dasarnya
semua agama yang berhasil masuk ke Sambas melalui proses yang panjang, namun
yang diterima dengan sangat baik dan mudah ialah agama Islam. Berkembangnya
Islam dengan sangat baik tidak terlepas dari adanya peran serta para pedagang yang
dapat berintegrasi dengan kebudayaan lokal dan adanya pernikahan campuran dengan
kaum bangsawan maupun masyarakat lokal, sehingga dari sinilah kemudian terjadi
proses integrasi dan akulturasi.
Proses tumbuh berkembangnya dan pengaruh agama Islam di Kesultanan
Sambas dijelaskan dengan mendeskripsikan dan menganalisanya sesuai dengan teori
yang digunakan. Teori yang digunakan dalam menganalisis peristiwa ini ialah dengan
menggunakan teori Integrasi dan Akulturasi, sedangkan metode historis dan metode
deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data
melalui studi pustaka dan wawancara kemudian dianalisis, serta ditulis kembali
berdasarkan data-data dan fakta-fakta yang telah diperoleh dari hasil analisis sumber.
Hasil penelitian dalam karya ilmiah yang berjudul Islam di Kesultanan
Sambas Kalimantan Barat 1600 – 1732 ini adalah dengan masuknya Islam ke Sambas
tidak begitu saja merubah tatanan nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat.
Tradisi masyarakat lokal tetap bertahan hingga saat ini. Masuknya Islam dengan
membawa budaya baru, tidak serta-merta merusak budaya lama, namun dengan
masuknya Islam memberikan perkembangan budaya yang beragam dalam sejarah
ABSTRACT
Writing this thesis with the title: "Islam in the Sultanate of Sambas, West
Kalimantan 1600 -1732", aims to describe and explain how the process of inception
of Islam in the Sultanate of Sambas, West Kalimantan. Basically all religions that
made it into Sambas through a long process, but received very well and is easy to
Islam. The development of Islam very well not be separated from the role of traders
that can integrate with the local culture and the existence of mixed marriages with the
nobility and the local community, so from here then there is a process of integration
and acculturation.
The process of development and the growing influence of Islam in the
Sultanate of Sambas explained by describing and analyzing them in accordance with
the theory used. The theory used in analyzing these events is to use the theory of
integration and acculturation, while the method of historical and descriptive method
is the method used for the process of data collection through literature and interviews
and analyzed, as well as re-written based on data and facts that have been obtained
from the analysis of the source.
Research results in scientific work titled Islam in the Sultanate of Sambas,
West Kalimantan 1600 - 1732 is the introduction of Islam to Sambas do not just
change the order of cultural values that exist in society. Local tradition has survived
to the present. The entry of Islam to bring a new culture, not necessarily damage the
old culture, but with the entry of Islam provides a diverse cultural developments in
ISLAM DI KESULTANAN SAMBAS KALIMANTAN BARAT 1600 – 1732
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sejarah
Disusun Oleh :
Mario Inirgo Oki Menes Belo 094314001
PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus, yang senantiasa menyertai setiap langkah dan
memberikan kekuatan kepadaku disaat aku menyapanya dalam doa.
Berkat rahmat anugerah dan kasih setia-Nya lah aku bisa menyelesaikan
skripsi ini. Terimakasih Tuhan rasa syukur aku haturkan pada-Mu.
Kedua orang tuaku : Kornelius Kolik dan Anastasia Ambonia yang selalu
setia mendukung dan tidak henti-hentinya mendoakan perjalananku.
Terimakasih Bapak dan Ibu.
Kakakku Yosefina Meaty dan suami yang selalu mendukung dan
menyemangati agar menjadi lebih baik dan menginspirasi.
Adikku, Paul Gety yang terus mengingatkan dan mendukung untuk saling
berbagi demi kelancaran studi.
Teman-teman Sejarah angkatan 2009, Adul, Amor, Ayunda, Dheas, Maxi,
Silvi, Yulia, angkatan 2008, 2010, 2011, serta para angkatan junior
Sejarah yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas semangat dan
Teman-teman senior maupun junior Forum Bujang Dare Kayong
Kabupaten Ketapang (BEDAYONG) yang selama ini menjadi keluarga di
Yogyakarta serta selalu mendukung dan mengajarkan untuk menjadi
pribadi yang memiliki integritas tinggi.
Teman-teman kost “520” dan Gang Ketapang: Onom, Farid, Jech Albert,
Anggai, Uwel, Aa boerjo, serta teman-teman kost lainnya yang telah
MOTTO
“Hidup adalah suatu perjuangan yang harus kita lalui dengan penuh rasa
tanggungjawab dan senyuman”
“Jadilah dirimu sendiri; Jadikanlah dirimu sendiri sangat dibutuhkan dalam
pekerjaanmu dan lihatlah hasilnya betapa cepat kau terdorong kepekerjaan yang
lebih baik.”
-Napoleon Hill-
“Tidak semua yang kita hadapi dapat diubah, tetapi tidak ada yang dapat diubah
sebelum dihadapi”
ABSTRAK
Penulisan Skripsi ini dengan judul : “Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 –1732”, bertujuan mendeskripsikan serta menjelaskan
bagaimana proses awal lahirnya Islam dalam Kesultanan Sambas Kalimantan
Barat. Pada dasarnya semua agama yang berhasil masuk ke Sambas melalui
proses yang panjang, namun yang diterima dengan sangat baik dan mudah ialah
agama Islam. Berkembangnya Islam dengan sangat baik tidak terlepas dari adanya
peran serta para pedagang yang dapat berintegrasi dengan kebudayaan lokal dan
adanya pernikahan campuran dengan kaum bangsawan maupun masyarakat lokal,
sehingga dari sinilah kemudian terjadi proses integrasi dan akulturasi.
Proses tumbuh berkembangnya dan pengaruh agama Islam di Kesultanan
Sambas dijelaskan dengan mendeskripsikan dan menganalisanya sesuai dengan
teori yang digunakan. Teori yang digunakan dalam menganalisis peristiwa ini
ialah dengan menggunakan teori Integrasi dan Akulturasi, sedangkan metode
historis dan metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk proses
pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara kemudian dianalisis,
serta ditulis kembali berdasarkan data-data dan fakta-fakta yang telah diperoleh
dari hasil analisis sumber.
Hasil penelitian dalam karya ilmiah yang berjudul Islam di Kesultanan
Sambas Kalimantan Barat 1600 – 1732 ini adalah dengan masuknya Islam ke
Sambas tidak begitu saja merubah tatanan nilai kebudayaan yang ada di dalam
masyarakat. Tradisi masyarakat lokal tetap bertahan hingga saat ini. Masuknya
Islam dengan membawa budaya baru, tidak serta-merta merusak budaya lama,
namun dengan masuknya Islam memberikan perkembangan budaya yang beragam
ABSTRACT
Writing this thesis with the title: "Islam in the Sultanate of Sambas, West
Kalimantan 1600 -1732", aims to describe and explain how the process of
inception of Islam in the Sultanate of Sambas, West Kalimantan. Basically all
religions that made it into Sambas through a long process, but received very well
and is easy to Islam. The development of Islam very well not be separated from
the role of traders that can integrate with the local culture and the existence of
mixed marriages with the nobility and the local community, so from here then
there is a process of integration and acculturation.
The process of development and the growing influence of Islam in the
Sultanate of Sambas explained by describing and analyzing them in accordance
with the theory used. The theory used in analyzing these events is to use the
theory of integration and acculturation, while the method of historical and
descriptive method is the method used for the process of data collection through
literature and interviews and analyzed, as well as re-written based on data and
facts that have been obtained from the analysis of the source.
Research results in scientific work titled Islam in the Sultanate of Sambas,
West Kalimantan 1600 - 1732 is the introduction of Islam to Sambas do not just
change the order of cultural values that exist in society. Local tradition has
survived to the present. The entry of Islam to bring a new culture, not necessarily
damage the old culture, but with the entry of Islam provides a diverse cultural
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat kehidupan yang selalu diberikan, kekuatan serta cinta kasih-Nya, penulis
berhasil mewujudkan impian dan cita-cita sesuai target dengan berhasil
menyelesaikan Skripsi berjudul : Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat
1600 –1732.
Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
untukmemperoleh gelar Sarjana Sastra Program Studi Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan sumbangan waktu, tenaga, bimbingan, nasehat dan
dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis dengan penuh kerendahan hati ingin mengucapkan banyak
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. P. Ari Subagyo, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Ibu Dr. Lucia Juningsih, M. Hum. selaku Ketua Program Studi Sejarah
Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang selalu sabar membantu dan meluangkan waktu dalam
4. Bapak Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum. selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
untuk memberikan bimbingan serta masukan yang sangat berharga dengan
penuh perhatian dan kesabaran sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
5. Segenap dosen-dosen Sejarah, Pak Sandiwan Suharso, Pak H. Purwanto,
Pak Manu, Romo Baskara, Pak Yeri, dan Mas Heri serta Mas Doni
karyawan sekretariat Sejarah yang telah memberikan bekal pengetahuan
dan bantuannya kepada penulis selama ini.
6. Bapak dan Ibuku tercinta Kornelius Kolik dan Anastasia Ambonia yang
telah memberikan kesempatan, kepercayaan, dukungan, doa, kasih,
semangat dan pengorbanan yang tak terhingga kepada penulis sehingga
pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kakakku tersayang Yosefina Meaty & keluarga serta adikku Paul Gety
yang telah memberikan dukungan, semangat dan doanya. Aku bangga
memliki saudara seperti kalian.
8. Perpustakaan Daerah Kalimantan Barat, yang telah memberikan bahan,
referensi dalam penulisan skripsi ini.
9. Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas, yang memberikan bahan
serta dokumentasi dalam penulisan skripsi ini.
10.Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kesuma
sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas, yang
1. Sambas ………...………..……… 26
2. Lingkungan dan Masyarakat Sambas ………...….….. 28
3. Agama yang ada di Sambas ……….….…..……. 30
B. Letak Wilayah Kesultanan Sambas ………....……. 30
C. Pemerintahan Sebelum Masuknya Islam di Sambas …………..……. 32
1. Masa Pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda ……….. 38
2. Perkembangan Islam Masa Raden Sulaiman ………... 42
BAB III SAMBAS SETELAH ISLAM MASUK ………...………. 47
A. Kesultanan Sambas ………..…..…………. 47
B. Struktur Pemerintahan Kesultanan Sambas ………...….……. 54 C. Pemerintahan Sultan Sambas Setelah Sultan Muhammad Syafiuddin I ………... 58
a. Raden Bima Bergelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708) ………..……….... 59
b. Raden Mulia (Melia) Bergelar Sultan Umar Akamuddin I (1708-1732) ………..………..…..… 61
c. Raden Bungsu Bergelar Sultan Abubakar Kamaluddin (1731-1762) ………..……….. 62
d. Raden Jamak Bergelar Sultan Umar Akamuddin II (1762-1793) ………..……….. 63
e. Raden Gayung Bergelar Sultan Muda Achmad Tajuddin (1786-1793) ………..………...……. 65
f. Raden Menteri (Raden Janggut) Bergelar Sultan Abubakar Tajuddin I (1793-1815) ………..……...…….. 65
g. Pangeran Anom Bergelar Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I (1815-1828) …...………..….. 69
h. Raden Samba’ Bergelar Sultan Usman Kamaluddin (1828-1830) ………..….…. 72
j. Raden Ishak Bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II (1846-1855)
……… 75
k. Raden Toko’ Bergelar Sultan Umar Kamaluddin (1855-1866) ………....………… 78
l. Raden Afifuddin Bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin II (1866-1922) ………..….…… 80
m. Raden Muhammad Ariadiningrat Bergelar Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II (1922-1926) ………...……....…… 83
n. Raden Mulia Ibrahim Bergelar Sultan Muhammad Ibrahim Syafiuddin (1931-1943) ………..……….….. 85
D. Hadirnya Pemukiman Baru ………...…..……… 90
1. Pemukiman Dayak ………..…. 90
2. Pemukiman Melayu ………..……..…. 92
3. Pemukiman Tionghoa ……..………..……..……… 94
4. Rumah Lanting (Terapung) Sambas ………....…… 96
E. Berdirinya Masjid Jami’ di Kesultanan Sambas ………..……..……. 97
F. Adat Istiadat dan Kesenian Tradisional Sambas ……… 99
1. Tari Jepin Lembut ……….……….. 99
2. Tepung Tawar ………..…..…… 102
BAB IV PENUTUP ………..…..….………. 105
DAFTAR PUSTAKA ……….………..……… 109
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalimantan merupakan pulau terbesar kedua di Indonesia setelah Papua,
dengan memiliki penduduk lokal yang biasa disebut dengan Dayak. Penyebaran
suku Dayak di Kalimantan tersebar di berbagai daerah seperti di Serawak,
Malaysia, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Barat dengan keanekaragaman bahasa dan pola hidup. Dayak
merupakan penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan. Dahulu kebanyakan
orang Dayak mendiami daerah pedalaman yang masih memiliki jumlah hutan
yang masih lebat serta di sepanjang tepi aliran sungai-sungai besar. Dalam
kehidupan mereka, sungai merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang
kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, sungai digunakan untuk jalur transportasi
antar satu desa ke desa yang lainnya. Sebagian besar orang Dayak bekerja sebagai
petani dan berburu.
Nama Dayak1 pertama kali diperkenalkan oleh orang Eropa untuk
masyarakat asli yang mendiami pulau Kalimantan. Pertama-tama sebutan ini tidak
diterima dengan baik oleh masyarakat suku Dayak Kalimantan tersebut karena
memiliki arti tidak baik, yang berarti jorok, kotor, dan terbelakang. Bahkan oleh
orang-orang Eropa mendefinisikan Dayak sebagai manusia pedalaman,
non-muslim, primitif, tidak memiliki peradaban, namun karena sering digunakan dan
1 Alloy, dkk, Mozaik Dayak – Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan
mulai terbiasa dengan sebutan itu maka makna katanya menjadi masyarakat yang
beradab, suku asli yang belum tersentuh syiar Islam dan sebuah identitas
masyarakat asli Kalimantan. Kata Dayak sendiri tidaklah muncul begitu saja.
Banyak istilah yang digunakan dalam pengucapannya, seperti Daya, Dyak,
Dadjak, dan Dayak yang memunculkan perdebatan banyak pihak. Beranjak dari
perdebatan mengenai penyebutan untuk masyarakat asli Kalimantan kemudian
dibentuklah Institut Dayakologi pada tahun 1992 yang memprakarsai sebuah
pertemuan di Pontianak. Hasil dari pertemuan yang dilakukan ini disepakati
bahwa sebutan untuk masyarakat asli Kalimantan adalah Dayak.
Dalam tatanan kehidupan orang Dayak masih menjunjung tinggi
adat-istiadat dan nilai-nilai religi. Nilai religi yang mereka yakini merupakan sebuah
kepercayaan yang sudah ada secara turun-temurun yakni animisme, percaya
kepada roh nenek moyang. Selain itu, orang Dayak juga menghormati dan
menjaga segenap hutan, air, tanah, dan binatang yang menunjang kehidupan
sehari-hari mereka. Oleh karena itu, orang Dayak sangat menjunjung tinggi adat
istiadat yang telah mereka terima secara turun-temurun dari nenek moyang
mereka yang banyak diterima secara lisan. Dengan melaksanakan adat-istiadat
tersebut, mereka meyakini bahwa itu merupakan salah satu cara untuk
menghormati dan melestarikan kebudayaan yang sudah ada terhadap rahmat yang
telah mereka terima dari Duata2. Pada dasarnya tidaklah mudah bagi suku Dayak
untuk menerima budaya asing dalam tatanan kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam menerimanya harus berinteraksi dan berintegrasi, karena hal ini akan
berdampak terhadap berubahnya tatanan adat-istiadat yang berlaku di kalangan
masyarakat yang sudah berkembang sudah lama. Hal ini sudah dilakukan oleh
agama Hindu ketika mulai berkembang di wilayah Sambas.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan yang sering dilakukan oleh
orang Dayak mulai berubah secara perlahan dengan hadirnya para pendatang dari
luar seperti Melayu, Bugis, dan Cina. Kebanyakan dari pendatang ini adalah para
pedagang yang ingin menjual dan membeli hasil alam. Dengan hadirnya para
pendatang ini di tengah-tengah orang Dayak, keberadaan mereka mulai merasa
terancam. Akibatnya mereka yang semula tinggal di daerah pantai dan di tepi
aliran sungai-sungai besar secara perlahan mulai pindah ke bagian hulu sungai.
Proses perpindahan ini dikarenakan orang Dayak tidak dapat bersaing dengan para
pendatang yang terlalu terbuka, sedangkan orang Dayak sendiri cenderung untuk
menutup diri pada dunia luar.
Pada dasarnya kebudayaan bukan sesuatu yang statis, melainkan bisa
mengalami perubahan yang bersifat dinamis. Kebudayaan yang berubah ini
dikarenakan adanya proses masuknya berbagai macam kebudayaan asing, seperti
dari daerah yang berbeda, suku dan ras berbeda, yang masuk ke dalam lingkaran
suku Dayak yang berkaitan erat dengan semakin berkembang dan masuknya
agama di Nusantara. Hal ini berdasarkan ketika agama Hindu yang berasal dari
India mulai masuk dan berinteraksi dengan budaya lokal membuat semakin
berkembang dan diterima dengan baik juga oleh masyarakat lokal. Dengan tahap
mulai diterima di masyarakat lokal dan berhasil menggantikannya secara
perlahan.
Hadir dan masuknya agama Islam di Nusantara tidak dalam waktu
bersamaan, begitu juga dengan masuk dan berkembangnya agama Islam ke
daerah-daerah Kerajaan yang pada waktu itu masih dikuasai oleh Kerajaan
Hindu-Budha yang memiliki politik dan sosial budaya yang berbeda dengan Islam.
Masuk dan tersebarnya agama Islam di Nusantara hingga saat ini belum diketahui
secara pasti oleh para sejarawan. Dalam buku Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia, mengatakan bahwa masuknya Islam sudah ada sejak abad
pertama Hidriyah (abad ke-7 dan ke-8 Masehi). Penyebaran agama Islam banyak
dilakukan oleh orang-orang Arab yang datang dengan tujuan utama adalah untuk
melakukan perdagangan dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Wilayah yang
pertama kali disinggahi oleh para pedagang Arab di wilayah Nusantara adalah
pesisir Sumatera. Beranjak dari proses perdagangan di pesisir Sumatera inilah
kemudian awal mula munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Hal ini
tidak terlepas karena adanya proses inkulturasi yang dilakukan oleh para
pedagang Arab melalui perdagangan dan pernikahan dengan pribumi yang
kebanyakan non-muslim. Berdasarkan proses ini melahirkan kerajaan-kerajaan
bercorak Islam yang semakin berkembang. Diperkirakan pada abad ke-13 M,
kerajaan yang pertama kali bercorak Islam di Nusantara adalah Samudra Pasai,
pesisir timur laut Aceh, dan Kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara3.
Jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Barat,
tepatnya di Sambas, Islam sudah berkembang di daerah Kalimantan bagian lain
seperti Banjarmasin. Agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab yang
kemudian diperkenalkan lagi oleh para pedagang dari Banjarmasin dan Brunei
Darussalam. Agama Islam masuk di Kalimantan Barat sekitar abad ke-15 Masehi
melalui kegiatan perdagangan. Daerah yang pertama kali bersentuhan dengan
agama Islam adalah Pontianak pada tahun 1741, Matan pada tahun 1743, dan
Mempawah pada tahun 1750. Berdasarkan perkembangan agama Islam yang
terjadi di Kalimantan Barat, turut berdiri juga Kesultanan Pontianak pada tanggal
23 Oktober 1771 Miladiah (14 Rajab 1185 H) dengan raja yang bernama Sultan
Syarif Abdurahman Al Qadrie. Dengan semakin berkembangnya agama Islam di
Kesultanan Pontianak, semakin memudahkan terjadinya proses Islamisasi
terhadap daerah-daerah pedalaman yang memiliki akses ke Kesultanan Pontianak
dan berada di daerah aliran sungai Kapuas. Proses ini banyak dilakukan oleh para
pedagang dari Banjarmasin dan Brunei Darussalam yang datang dengan tujuan
untuk berdagang. Kebanyakan dari para pedagang ini melakukan perjalanan
melalui aliran sungai Kapuas dengan menggunakan motor klotok4, yang pada saat
itu merupakan satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakan untuk
menyusuri daerah-daerah pedalaman.
Agama Islam pertama kali masuk ke Sambas dibawa oleh para pedagang
dari Arab, Banjarmasin dan Brunei Darussalam yang datang dengan tujuan
berdagang. Para pedagang masuk ke Sambas dimulai sejak abad ke-14 M yang
pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan kerajaan Hindu. Dengan
melakukan proses perdagangan dan hidup cukup lama di Sambas, para pedagang
ini mendapat izin dari raja untuk menetap. Penyebaran agama Islam bermula dari
lingkungan kerajaan, seperti melakukan pernikahan campuran yang kemudian
diikuti oleh raja. Dengan memeluk agama Islam, banyak dari para penduduk yang
ikut memeluk agama Islam karena terpengaruh dari kekuasaan raja. Kebanyakan
yang ikut memeluk agama Islam adalah para pribumi yang berada di sekitar
kerajaan dan berada di daerah aliran lalu lintas perdagangan sungai. Namun ada
juga yang tidak masuk agama Islam dengan melakukan perpindahan ke daerah
pedalaman atau ke wilayah lain khususnya suku Dayak yang sebagian menolak
agama Islam.
B. Identifikasi Masalah
Agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara dibawa oleh para
pedagang dari Arab dan Gujarat pada abad ke-7 dan ke-8 M melalui Selat Malaka
yang pada saat itu menjadi jalur utama perdagangan internasional. Dengan
melakukan proses perdagangan yang berkepanjangan memungkinkan terjadinya
kontak budaya antara budaya lokal dengan budaya asing, serta adanya pernikahan
campuran dengan para penduduk wanita pribumi yang berkontribusi besar
terhadap berkembangnya penyebaran agama Islam.
Jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di wilayah Nusantara
dan menyebar ke pelosok-pelosok daerah, kepercayaan asli yaitu animisme sudah
Dengan masuknya agama Hindu di Nusantara tidak secara langsung dapat
merubah tatanan hidup masyarakatnya. Hal ini dilalui dengan mengalami proses
yang panjang oleh para pedagang dari India dalam berinteraksi dengan budaya
lokal5. Dengan semakin berkembangnya agama Hindu ke daerah pelosok
Nusantara, khususnya Kalimantan Timur berdampak terhadap daerah lainnya,
seperti di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat sendiri dengan adanya
inkulturasi antara agama Hindu dengan kepercayaan asli berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat lokal, yakni suku Dayak. Adanya inkulturasi antara
kebudayaan asli dengan kebudayaan Hindu sangat kuat dan diterima dengan baik.
Pengaruh agama Hindu di Sambas cukup kuat ketika Kerajaan Majapahit semakin
berjaya setelah menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara. Hal ini semakin
kuat karena Majapahit juga mengirim keturunan dan keluarga raja dengan
prajuritnya ke daerah yang dikuasai dengan mengembangkan agama dan
kebudayaan Hindu. Namun pengaruh Hindu di Sambas tidak berlangsung lama
karena runtuhnya Majapahit dan Sambas sudah berada di bawah Kerajaan Johor
yang merupakan kerajaan bercorak Islam.
Setelah agama Islam masuk dan berkembang di Sambas, berdampak
terhadap tradisi dan budaya yang berbeda dengan Hindu maupun dengan budaya
suku Dayak. Hal ini didasarkan pada ajaran agama Islam di dalam Al - Quran
yang tidak diperbolehkannya memakan makanan tertentu, seperti mengharamkan
untuk memakan daging babi dan anjing. Pelarangan ini dilakukan karena babi
merupakan binatang yang menjijikkan dan tidak layak untuk dimakan, maka dari
itu daging babi secara khusus dihinakan di dalam Al - Quran. Selain itu, di dalam
ajaran agama Islam terdapat konsep tauhid. Konsep ini merupakan konsep yang
sangat sentral dan memiliki arti bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu,
oleh karena itu manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah6. Tidak
dibenarkan kepada mereka untuk menyembah benda apapun di dunia ini.
Berdasarkan perbedaan yang cukup mencolok antara agama Hindu dengan agama
Islam inilah menuai banyak pertentangan, khususnya dari penduduk asli yakni
suku Dayak yang tidak semuanya menerima kedua agama tersebut.
Penyebaran agama Islam melalui jalur sungai Kapuas dan melalui jalur
perdagangan internasional, Malaka. Para pedagang dari Arab dan Gujarat
melewati arus sungai serta masuk dari bagian utara Kalimantan untuk berdagang
dan menyebarkan agama Islam. Masuk dan menyebarnya agama Islam melalui
jalur sungai sangat berpengaruh pada waktu itu, karena jalur darat tidak
mendukung untuk melakukan perjalanan ke daerah pedalaman.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, hal-hal yang dapat dikaji adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi masuknya Islam di Sambas, Kalimantan Barat ?
2. Bagaimana dinamika di Sambas sebelum Islam masuk ?
3. Bagaimana peran dan pengaruh setelah Islam masuk di Sambas ?
D. Tujuan Penelitian
Dengan hadirnya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar
belakang dan pemahaman mengenai proses Islamisasi yang terjadi di banyak
daerah-daerah Indonesia, khususnya yang berada di Sambas. Selama ini dalam
melakukan penelitian, masih sedikit para sejarawan dan orang lokal yang tertarik
mengupas lebih dalam mengenai sejarah masuknya agama Islam di Kesultanan
Sambas. Dengan hadirnya tulisan mengenai Islam di Kesultanan Sambas
Kalimantan Barat 1600 - 1732, dapat memberi informasi mengenai kebudayaan
yang ada di Sambas.
Hadirnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang
melatarbelakangi terjadinya proses integrasi budaya asing dengan budaya lokal,
baik sebelum atau sesudah masuknya Islam di wilayah Sambas. Selain itu, melalui
tulisan ini bisa melestarikan historiografi sejarah Islam yang ada di Indonesia,
termasuk yang ada di Sambas, Kalimantan Barat.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan sejarah kebudayaan tentang masuk dan berkembangnya Islam di
Kesultanan Sambas yang berguna untuk menambah koleksi sejarah nasional.
Dengan hadirnya penelitian ini besar harapan agar dapat memantik semangat
kebangkitan historiografi sejarah kebudayaan lokal terhadap sejarah nasional bagi
Dalam penulisan ini diharapkan bisa untuk menjelaskan sejarah masuknya
agama Islam di Sambas. Agama Islam yang tumbuh dan berkembang di
Kalimantan Barat, khususnya Sambas tidak hadir dengan sendirinya. Melainkan
melalui sebuah proses yang sangat panjang dan berliku-liku, bahkan hingga
berabad-abad terjadinya proses Islamisasi di Sambas. Selain itu, dengan hadirnya
tulisan ini dapat menambah pengetahuan sejarawan-sejarawan mengenai
perkembangan Islam di Kalimantan Barat. Pada para pelajar diharapkan dapat
membantu pengetahuan dalam sejarah perkembangan Islam di nusantara, serta
menambah buku perpustakaan daerah Kalimantan Barat.
F. Kajian Pustaka
Karya ilmiah yang berjudul Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat
1600 – 1732, merupakan sebuah karya mengenai sejarah kebudayaan Sambas
yang jarang ditulis oleh para sejarawan. Hal ini didasari karena terbatasnya data
dan informasi yang digunakan sebagai penunjang penulisan sejarah lokal. Padahal
banyak sejarawan yang menulis karya ilmiah hanya berpatokan pada data pustaka.
Oleh karena itu, perlu dilakukannya penelitian langsung agar data-data dan
informasi yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan serta menjadi acuan
dalam penulisan karya ilmiah ini. Sumber-sumber yang dimiliki sejauh ini masih
terbatas dan belum lengkap sesuai dengan pemikiran dalam Islam di Kesultanan
Sambas Kalimantan Barat 1600 - 1732.
Dari keterbatasan itu, masih terdapat beberapa buku yang pernah menulis
mengenai Sambas. Namun, secara keseluruhan beberapa buku tersebut hanya
menceritakan gambaran umum perkembangan Islam di Kalimantan Barat,
khususnya mengenai masuknya agama Islam di Sambas.
Buku tersebut antara lain Kabupaten Sambas - Sejarah Kesultanan dan
Pemerintah Daerah yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata PEMDA Kabupaten
Sambas dan disusun oleh Drs. Ansar Rahman, dkk. Dalam buku ini pada bagian
pertama berbicara mengenai Kesultanan Sambas. Bagian pertama ini dibagi dalam
empat Bab, di mana Bab I dan II membahas mengenai sejarah purba negeri
Sambas yang menjalin hubungan dengan Brunei, Serawak, dan Sukadana.
Sedangkan Bab III dan IV membahas mengenai masa kejayaan Kesultanan
Sambas yang dimulai dari Sultan pertama hingga Sultan ke-15. Pada bagian kedua
berbicara mengenai perjuangan rakyat Sambas melawan penjajah. Bagian kedua
buku ini dibagi dalam dua Bab, di mana Bab V dan VI membahas mengenai
perjuangan rakyat Sambas dalam menghadapi masa penjajahan Belanda, masa
pendudukan Jepang hingga mempertahankan kemerdekaan sewaktu melawan
Belanda atau NICA pada tahun 1945-1950. Pada bagian ketiga berbicara
mengenai Pemerintahan Daerah Kesultanan Sambas. Bagian ketiga buku ini
dibagi dalam tiga Bab, di mana pada Bab VII, VIII, dan IX membahas mengenai
pertumbuhan dan perkembangan Pemerintah Kabupaten Sambas dari tahun
1950-2001.
Dalam buku ini data-data yang tersedia hanya sebatas pada ungkapan
sejarah dalam perkembangan kerajaan, Kesultanan, dan pemerintah daerah.
tidak begitu lengkap untuk menjelaskan dengan lebih rinci mengenai sejarah
Sambas. Selain itu, masih banyak dokumen dan catatan mengenai sejarah Sambas
tidak bisa dicantumkan semua dan tidak lengkap di dalam buku ini. Meskipun
demikian terdapat juga data-data yang cukup membantu dalam penulisan
mengenai Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 - 1732.
Buku lain yang digunakan ialah Borneo Bagian Barat - Geografis, Statistis,
Historis 1856 jilid 2 yang ditulis oleh P. J. Veth. Buku ini dibagi dalam tiga
bagian buku. Bagian pertama adalah buku IV yang membahas mengenai
pemulihan dan organisasi kekuasaan Belanda yang terjadi pada tahun 1818-1823.
Bagian kedua adalah buku V yang berbicara mengenai orang-orang Dayak dan
hubungan-hubungan kekuasaan Belanda dengan daerah-daerah hulu
(negara-negara hulu). Pada bagian ini banyak membahas mengenai agama, kebiasaan
orang Dayak dan hubungan mereka dengan Melayu. Setelah itu terdapat
kekuasaan-kekuasaan Belanda di tanah hulu Kapuas dalam mengembangkan
organisasi dan pengetahuan mengenai Borneo. Pada bagian buku VI berbicara
mengenai kurun waktu kelalaian. Dalam bagian ini membahas mengenai Matan
dan Sukadana, Mempawah, Tayan, Sambas, Brunei, Landak, Kubu, dan lain-lain.
Selain itu, terdapat juga pengaruh Singapura dan Serawak, kesulitan menghadapi
orang-orang Cina, kedatangan Komisaris Perancis dan pendeta-pendeta Amerika
di Pantai Barat Borneo.
Dalam buku ini tidak terlalu membahas mengenai sejarah masuknya agama
Islam di Sambas dengan rinci. Selain itu, bahasa yang digunakan cukup sulit
cukup membantu dalam memperoleh penambahan data yang berhubungan dengan
Kesultanan Sambas.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil keputusan bahwa penelitian karya
ilmiah Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 - 1732 berbeda
dengan karya ilmiah lainnya. Dalam penulisan ini ingin menjelaskan bagaimana
proses Islamisasi bisa terjadi melalui teori integrasi yang kemudian menghasilkan
proses akulturasi budaya lokal dengan budaya asing. Melalui penelitian ini bisa
diketahui bahwa proses masuknya Islam di Sambas berlangsung cukup lama.
G. Landasan Teori
Perubahan dalam suatu masyarakat sedikit banyak akan dipengaruhi oleh
masuknya kebudayaan asing. Perubahan merupakan sebuah simbol kehidupan
yang tidak berhenti di dunia sehingga semua yang ada akan terkena hukum
perubahan, baik yang bergerak linier terbentuk karena adanya variabel terikat
dengan variabel bebas hubungan maupun yang bergerak secara sirkular terbentuk
karena adanya gerakan yang dilakukan bersifat sementara. Perubahan yang terjadi
ini akan memasuki semua ruang kehidupan manusia di dalam segala sisinya,
seperti yang berhubungan dengan persoalan ekonomi, politik, sosial, maupun
budaya.
Dalam buku yang berjudul “Integrasi Nasional: Teori, Masalah, dan
Strategi” karangan Saafroedin Bahar dan A. B. Tangdililing dijelaskan dengan
gamblang bahwa integrasi merupakan suatu proses sehingga faktor-faktor yang di
melainkan juga (bahkan terutama) bagaimana faktor-faktor yang ada dalam
masyarakat itu menentukan proses tersebut. Tujuan bukanlah unsur yang dilihat
dalam prosesnya, melainkan bagaimana prosesnya berlangsung. Faktor-faktor
yang mempengaruhi dan menentukan itu bisa berada dalam berbagai segi
kehidupan yang dimiliki manusia7.
Hal ini kemudian diperkuat dalam Islam dan Masalah Integrasi dipaparkan
oleh A. Rahman Zainuddin yang menjelaskan integrasi berasal dari bahasa Latin
integer berarti keseluruhan. Integrasi merupakan bagian-bagian, unsur-unsur,
faktor-faktor, atau perincian-perincian yang telah digabungkan dalam bentuk yang
demikian intimnya sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna.
Biasanya menunjukkan adanya suatu pembauran dan penggabungan yang
menyeluruh dari hal-hal yang khusus sehingga masing-masing telah kehilangan
jati diri yang khas. Integrasi dapat dikaji dari segi tujuan, konsensus, atau budaya
politik. Selain itu, dianggap sebagai suatu proses dan bukan sebagai suatu yang
konstan. Agama dan ideologi hanyalah salah satu aspek saja dari proses integrasi,
namun ia dapat menjadi aspek yang kuat dan menentukan8.
Akulturasi, dalam bahasa Inggris disebut acculturation atau culture contact,
memiliki arti yang cukup banyak di kalangan antropolog. Berdasarkan
pemahaman yang cukup banyak itu, dapat disimpulkan bahwa akulturasi
merupakan sebuah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari
7 Saafroedin Bahar, A. B. Tangdililing, Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996, h. 6.
suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa yang menyebabkan unsur- unsur
dari kebudayaan asing tersebut secara perlahan akan diterima dan diterapkan ke
dalam kebudayaan masyarakat setempat tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian dari kebudayaan itu sendiri9.
Dalam sebuah buku yang berjudul Manusia Dalam Kebudayaan dan
Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi yang ditulis Eko A.
Meinarno, Bambang Widianto, dan Rizki Halida, akulturasi dalam
perkembangannya merupakan pertukaran fitur-fitur kebudayaan yang terjadi
karena adanya kontak langsung antara beberapa kelompok manusia dengan
kebudayaan yang berbeda dan secara perlahan kebudayaan tersebut dapat diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menjadikan kebudayaan asli
sebuah kelompok tersebut hilang. Berkembangnya proses akulturasi ini tidak
terlepas dari adanya agen-agen akulturasi. Agen-agen akulturasi ini di masa lalu
dikenal dengan sebutan penjajah, penyiar agama, dan pedagang10.
Dalam buku Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial – Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural, R. Linton memaparkan bahwa proses akulturasi menjadi
sangat penting dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial maupun studi sosial.
Percepatan budaya inti (cover culture) dengan budaya lahiriah (overt culture)
merupakan hal yang berbeda Perubahan budaya inti berjalan lebih lambat bila
dibandingkan dengan budaya lahiriah. Oleh karena itu, budaya lahiriah dapat
dilihat berupa bentuk fisik, seperti pakaian, rumah, dan gaya hidup yang dapat
9 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986, h. 248.
10 Eko A. Meinarno, dkk, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan
berubah lebih cepat bila dibandingkan dengan perubahan budaya inti yang berupa
sistem keyakinan, sistem nilai budaya, adat istiadat yang sudah dipelajari sejak
masih kecil berjalan dengan lambat11.
Proses akulturasi sebenarnya sudah ada sejak lama dalam sejarah
kebudayaan manusia. Namun, akulturasi yang bersifat khusus baru muncul ketika
kebudayaan-kebudayaan bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia
dengan adanya pengaruh terhadap masyarakat suku bangsa yang berada di daratan
Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika12.
Berdasarkan pemahaman di atas, masuknya agama Islam di Sambas dapat
ditulis dengan menggunakan teori integrasi yang akan menghasilkan terjadinya
proses akulturasi budaya apabila kebudayaan asing tersebut saling berintegrasi
dengan kebudayaan lokal. Proses akulturasi yang terjadi di Sambas berlangsung
dalam rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini didasari oleh perbedaan budaya
antara tradisi masyarakat lokal, suku Dayak dengan agama Islam yang sangat
berbeda dan pada akhirnya bisa melangsungkan proses akulturasi antara dua
kebudayaan yang berbeda tersebut. Selain itu, berdasarkan pemahaman ini banyak
para saudagar Muslim yang melakukan perdagangan berhasil menarik minat dan
simpati masyarakat Sambas untuk memeluk agama Islam, walaupun pada saat itu
masyarakat masih memeluk agama Hindu.
Agama Islam masuk ke Sambas dimulai sejak abad ke-14 M dan mulai
menarik minat di kalangan kerajaan pada tahun 1601 M dengan didirikannya
11 Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial – Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara, 2009, h. 206.
kerajaan Islam Sambas oleh Raden Sulaiman di bawah koloni Kerajaan Johor13.
Barulah pada tanggal 9 Juli 1631, di Lubuk Madung, Raden Sulaiman dinobatkan
oleh rakyat Sambas menjadi penguasa pertama dengan gelar Sultan Muhammad
Syafiuddin I. Hal ini juga merupakan sebuah peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Ratu Sepudak yang menganut Hindu beralih ke Kesultanan Sambas dengan
menganut Islam. Berdasarkan catatan historis, maka dapat diketahui bahwa agama
Islam masuk ke Kesultanan Sambas dimulai pada tahun 1600-an. Tumbuh dan
berkembangnya agama Islam ditandai dengan adanya penggunaan batu nisan pada
makam dan munculnya pemukiman-pemukiman baru seperti pemukiman Melayu.
Pemukiman Melayu merupakan tempat tinggal masyarakat Dayak yang telah
memeluk agama Islam dan mereka memiliki konsep yang berbeda dengan
pemukiman suku Dayak.
Berkembangnya agama Islam ditandai dengan berdirinya Kesultanan di
Sambas. Sebelum masuknya agama Islam, kesultanan ini merupakan sebuah
kerajaan Hindu yang dipimpin dengan gelar Ratu (Raja). Setelah agama Islam
masuk dan tumbuh dengan memiliki peranan yang besar, proses berkembangnya
agama Islam ditandai dengan didirikannya Kesultanan Sambas. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Sambas melalui tiga tahapan
yakni: masuk pada abad ke-14 M, tumbuh pada tahun 1600, dan berkembang pada
tahun 1631.
H. Metode Penelitian
Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 - 1732, merupakan
gambaran umum yang ingin dijelaskan dalam tulisan karya ilmiah ini. Sejauh ini
belum diketahui secara pasti apa yang melatarbelakangi peran dan perkembangan
agama Islam di Sambas. Berdasarkan hal inilah penelitian dilakukan agar
diketahui secara pasti apa yang menyebabkan berkembang dan memiliki peranan
yang besar di Sambas.
Penelitian ini dilakukan di Kesultanan Sambas. Selain itu, penelitian ini
memiliki nilai orisinalitas tersendiri, dikarenakan penelitian difokuskan pada
sejarah peran dan perkembangan Islam di Sambas. Penelitian ini hanya akan
membatasi ruang lingkup Sambas saja, dengan harapan agar hasil karya ini
menjadi lebih tajam dalam penjelasannya. Masuk dan berkembangnya Islam di
Sambas memiliki peranan yang tinggi terhadap penyebaran agama dan memiliki
nilai historis yang tinggi. Berikut ini metode penelitian yang digunakan untuk
mempermudah proses tulisan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Metode Historis
Metode historis merupakan salah satu dari jenis metode penelitian. Metode
historis bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif
dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk
menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan, seringkali
dalam hubungan hipotesis tertentu. Dengan metode historis, seorang ilmuwan
peristiwa masa lalu dan menjawabnya dengan fakta terpilih yang disusun dalam
bentuk paradigma penjelasan.
Dengan demikian, penelitian dengan metode historis merupakan penelitian
yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa
lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap validitas dari
sumber-sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber-sumber-sumber keterangan tersebut14.
Metode Deskriptif
Metode deskriptid merupakan salah satu jenis metode penelitian. Metode
penelitian deskriptif bertujuan untuk mengumpulkan informasi actual secara rinci
yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa
kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi
dan menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang
sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan
keputusan pada waktu yang akan datang.
Dengan demikian metode penelitian deskriptif ini digunakan untuk
melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang
tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode deskriptif bukan
hanya menjabarkan (analitis), akan tetapi juga memadukan. Bukan saja
melakukan klasisfikasi, tetapi juga organisasi. Metode penelitian deskriptif pada
hakikatnya adalah mencari teori, bukan menguji teori. Metode ini menitikberatkan
pada observasi dan suasana alamiah15.
• Pengumpulan Data
Dalam setiap penulisan karya ilmiah, seorang sejarawan tidak bisa lepas dari
yang namanya data dan fakta sejarah. Perlu adanya sebuah penelitian agar proses
pengumpulan data baik berupa data primer ataupun sekunder. Beberapa metode
yang sering dilakukan untuk mempermudah proses pengumpulan data, di
antaranya adalah dengan menggunakan studi wawancara dan studi pustaka.
Wawancara dilakukan terhadap nara sumber yang mengerti mengenai proses
masuk dan berkembangnya Islam di Kesultanan Sambas, seperti keluarga
Kesultanan yang hingga kini masih berdomisili di Sambas dan menjadi penjaga
Istana Kesultanan Sambas. Studi ini dilakukan dengan harapan bisa mendapatkan
data-data primer.
Studi Pustaka adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau
sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan
penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan,
ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik
tercetak maupun elektronik lain. Dengan melakukan studi pustaka, peneliti dapat
memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan
penelitiannya. Untuk melakukan studi pustaka, perpustakaan merupakan suatu
tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan
untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan16. Metode lain
yang dapat menunjang penulisan adalah dengan adanya data dokumentasi berupa
foto, naskah, arsip akan digunakan untuk menyelesaikan penulisan.
I. Sistematika Penulisan
Dalam mempermudah pemahaman mengenai hasil penelitian skripsi ini,
maka akan dijelaskan beberapa bagian sub-sub bab yang isinya sebagai berikut:
Bab I akan menjelaskan mengenai latar belakang, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II pada bagian ini akan menjelaskan mengenai Sambas Sebelum Islam
Masuk.
Bab III pada bagian ini akan menjelaskan mengenai Sambas Sesudah Islam
Masuk.
Bab IV merupakan penutup dari bagian skripsi ini. Bab ini akan
menjelaskan mengenai kesimpulan dari semua pertanyaan yang telah disampaikan
pada bab-bab sebelumnya.
BAB II
SAMBAS SEBELUM ISLAM MASUK
A. Gambaran Umum
Daerah Sambas sudah sejak lama dikenal seperti sekarang. Hal ini terbukti
dengan disebutkannya nama Sambas pada masa kekuasaan Kerajaan Majapahit
dibawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada di dalam
buku Negara Kertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365. Di
dalam Pupuh XII di sebutkan bahwa:
Lwas dengan Samudra serta Lamuri Batam, Lampung dan juga Barus
itulah terutama negara Melayu yang t’lah tunduk. Negara-negara dipulau
Tanjungpura: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, dan Lawai17.
Selain itu, dalam catatan Kerajaan Majapahit dan kronik-kronik Cina tertulis
mengenai sejarah purba Sambas, disebutkan juga bahwa Sambas sudah ada sejajar
dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan, Jawa, Sumatera, Malaka, Brunei dan
Kekaisaran Cina pada abad ke-13 M dan ke-14 M18. Meskipun demikian dalam
catatan Negara Kertagama, Pupuh XIII, disebutkan bahwa pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit telah menguasai seluruh wilayah Nusantara, termasuk
Kerajaan Sambas di pulau Kalimantan. Selain menguasai kerajaan-kerajaan yang
telah ditaklukkan, Kerajaan Majapahit juga mengirimkan keturunan dan keluarga
raja beserta prajuritnya sambil mengembangkan agama dan kebudayaan
17 Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Pontianak: Taurus-Semar Karya, 2001, h. 9.
Budha. Namun, tidak banyak ditemukan peninggalan-peninggalan para raja
zaman itu karena memang sulit untuk dibuat dan mudah hancur oleh air dan
lumpur. Arca yang ditemukan di Sambas terbuat dari emas, dengan memiliki 9
arca agama Hindu-Budha yang tersimpan di British Museum London19.
Pada masa kekuasaan Majapahit, para prajurit dan keturunan raja hidup
membaur dengan masyarakat asli yang kemudian membentuk sebuah kerajaan
yang kuat dengan ratunya berasal dari hasil perkawinan dengan masyarakat asli
tersebut. Setelah berkuasa cukup lama, ratu kerajaan meninggal dunia yang
kemudian di gantikan oleh Tang Nunggal dengan berhasil menyingkirkan putra
mahkota. Dengan memerintah kerajaan dengan kekuasaan yang kejam, bengis,
dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan anak-anaknya, Bujang Nadi dan Dare
Nandung dikubur hidup-hidup di bukit Sebedang karena berniat kawin20. Hukum
karma berlaku pada kekuasaannya, Tang Nunggal akhirnya meninggal dalam
keadaan yang mengenaskan. Setelah meninggalnya raja Tang Nunggal, kini
Putera Mahkota yang tersingkir muncul dan mengambil alih kendali
pemerintahan. Dari raja inilah kemudian yang menurunkan raja-raja Sambas
berikutnya sampai kepada Ratu Sepudak21.
Jauh sebelum Tang Nunggal sampai ke Ratu Sepudak berkuasa, pada tahun
1364 di bawah kekuasaan Raja Cananegara datang menggunakan kapal yang
berisi prajurit Majapahit dalam jumlah besar dibawa ke Sambas dan mendarat di
19 Ibid., h.13.
20 Kisah Bujang Nadi dan Dare Nandung menjadi kisah sastra rakyat Sambas.
Pangkalan Jawi22. Setelah berhasil mendarat, para prajurit Majapahit ini hidup
membaur dengan masyarakat yang kemudian mendorong berdirinya kekuasaan
keturunan Raja Majapahit yang berpusat di Paloh. Hal ini tidak berlangsung lama,
karena pada tahun yang sama Patih Gajah Mada meninggal dan membuat banyak
keturunan Majapahit berpindah ke daerah lain. Daerah tempat mereka berpindah
yakni Brunei, Mempawah, Tanjungpura, Landak, Sanggau, Sintang, Sukadana
dan kerajaan kecil lainnya di Kalimantan Barat23. Oleh karena pengaruh yang
cukup kuat, pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit tidak bertahan lama. Pada
abad Ke-15 M pusat kerajaan berpindah dari Paloh ke Kota Lama di daerah Benua
Bantanan-Tempapar, Kecamatan Teluk Keramat. Di daerah inilah kemudian
cikal-bakal berkembangnya Kesultanan Sambas yang diwarisi oleh Kerajaan
Hindu dalam pemerintahan Ratu Sepudak hingga menjadi kerajaan Islam. Ratu
Sepudak merupakan seorang Ratu yang cukup banyak mengukir sejarah
perkembangan Sambas di daerah Kota Lama. Selain itu, Raja (Ratu) terakhir
dalam pemerintahan Kerajaan Hindu di Kota Lama, Sambas. Perkembangan pada
masa pemerintahan Ratu Sepudak tidak banyak hal-hal yang dapat diketahui. Hal
ini dikarenakan kurangnya catatan sejarah yang mengisahkan kejayaan
pemerintah Ratu Sepudak.
Ratu Sepudak dan saudaranya Timbung Paseban berkuasa sejak tahun 1550
di Kota Lama. Namun, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, pada tahun 1570
kerajaan Sambas di Kota Lama berada dibawah Kerajaan Johor yang telah
22 Ibid., h. 15.
menganut Islam. Di bawah Kerajaan Johor, sultan-sultan di daerah pantai barat
Kalimantan seperti Brunei, Serawak, Sambas, Mempawah, Sukadana/Matan, ikut
serta menganut Islam, termasuk orang-orang di Kesultanan Sambas24.
Pada tahun 1596, Belanda berhasil menguasai Batavia dan pada tahun 1604
berkunjung ke Kerajaan Matan untuk membuka hubungan dagang. Dari Matan
VOC mendapat informasi mengenai kerajaan yang ada di pantai Barat
Kalimantan. Pada tahun 1609, VOC datang ke Kota Lama yang merupakan pusat
Kerajaan Sambas. Mengetahui Sambas kaya akan hasil hutan dan emas, VOC
mengikat perjanjian dengan Ratu Sepudak. Dibawah Kerajaan Johor, Ratu
Sepudak melakukan perjanjian dagang dengan Oppenkoopman Samuel Bloemaert
wakil dari VOC. Perjanjian dagang itu dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1609,
sekaligus mengikat Kerajaan Sukadana dan Landak25.
Pada awal masa berdirinya Kerajaan Sambas, Raden Muchsin Panji Anom
Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma menyebutkan di dalam lembaran kitab
sejarah Kerajaan Sambas disebutkan bahwa raja-raja di Kerajaan Sambas
berasal-usul dari pancaran negeri tiga serangkai yakni Brunei, Sukadana, dan Sambas di
masa pemerintahan Majapahit. Artinya nama Sambas dapat diartikan sebagai tiga
serangkai sejarah Kerajaan Sambas yang merupakan keturunan Ratu Sepudak dari
Majapahit, Raja Tengah dari Brunei, dan Sultan Sukadana atau Matan Sultan
Muhammad Syafiuddin. Nama Sambas berasal dari kata Sambat yang artinya
bersambung menjadi satu yang dikaitkan dengan keadaan sungai Sambas Kecil
24 Ibid.
dan sungai Sambas Besar yang saling menghubungkan bandar dan desa menjadi
satu. Dengan kata lain, Sambas berasal dari kata Sambat yang dapat diartikan
berangkai, bersambung menjadi satu rangkaian sungai yakni sungai Sambas
Kecil, Subah, dan Teberau26.
1. Sambas
Sambas merupakan salah satu daerah tingkat II di bagian paling utara
Provinsi Kalimantan Barat dengan total luas 6. 395,70 km2, terletak diantara
1°23" Lintang Utara dan 108°39" Bujur Timur. Secara administratif, batas
wilayah Sambas bagian Utara: Sarawak, Malaysia Timur, Selatan: Kota
Singkawang, Barat: Selat Karimata, Laut Cina Selatan, dan Timur: Kabupaten
Bengkayang27. Pada tahun 2011 jumlah populasi penduduk Sambas sebanyak
501.149 jiwa dengan kepadatan penduduk 78,36 jiwa/km2. Memiliki luas 4,36%
dari luas Provinsi Kalimantan Barat, Sambas memiliki 19 kecamatan, yakni
Sambas, Selakau, Pemangkat, Tebas, Jawai, Teluk Keramat, Sejangkung, Paloh,
Subah, Sajingan Besar, Galing, Tekarang, Semparuk, Jawai Selatan, Sebawi,
Sajad, Tangaran, Selakau Timur, Salatiga, dan dibagi menjadi 183 desa28.
Masyarakat yang mendiami wilayah Sambas terdiri dari suku Melayu,
Dayak, Tionghoa, Banjar, Jawa, Batak, dan Minangkabau. Sebagian besar
penduduk Sambas adalah orang-orang Melayu yang tinggal di wilayah kota dan
26 Ibid., h. 11.
27 Kabupaten Sambas Dalam Angka. Sambas Regency in Figures 2007, h. 3.
berbaur dengan para pendatang lain seperti Tionghoa, Banjar, Jawa, Batak, dan
Minangkabau. Sementara orang-orang Dayak kebanyakan tinggal di daerah
pedalaman dan sedikit yang menetap di kota Sambas.
Sambas merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan penduduk
cukup pesat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1915, Sambas memiliki penduduk
sebanyak 123.000 jiwa, dengan rincian terdiri dari 100 orang Eropa, 26.000 orang
Dayak, 67.000 orang Melayu, Jawa, Bugis, 30.000 orang Cina, dan 270 orang
Arab dan Timur asing lainnya dan pertumbuhan penduduk akan semakin
meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat perbandingan jumlah penduduk
yang mendiami Sambas pada tahun 2011 dan kepadatan penduduk sekitar 78,36
jiwa/km² atau 2.724 jiwa per desa. Penyebaran penduduk di Kabupaten Sambas
tidak merata antar kecamatan yang satu dengan yang lainnya29.
Tabel 1.1 Kepadatan Penduduk & Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sambas
No Kecamatan Jumlah
26
Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur tahun 2013.
2. Lingkungan dan Masyarakat Sambas
Sambas mayoritas didiami oleh suku Melayu. Sedangkan untuk suku Dayak
dan suku pendatang lainnya hanya sebagian kecil. Dengan demikian, bisa
dikatakan mayoritas yang mendiami daerah perkotaan dan daerah kerajaan adalah
lingkungan kerajaan, bahkan mereka yang tinggal di perkotaan hanya sedikit.
Mayoritas penduduk Dayak banyak tinggal di daerah pedalaman dan di daerah
perbatasan dengan Kabupaten-kabupaten lainnya, seperti di daerah perbatasan
dengan Bengkayang, Singkawang, dan Serawak. Sementara itu bagi suku
Tionghoa kebanyakan mereka tinggal di daerah Pemangkat dan di daerah
perbatasan dengan Singkawang. Bagi suku Banjar, Jawa, Batak, dan
Minangkabau kebanyakan dari mereka menyebar di setiap kecamatan yang ada di
Sambas.
Asal-usul nama Sambas tidak terlepas dari adanya pengaruh Hindu yang
dibawa oleh keluarga dan para prajurit Kerajaan Majapahit. Di dalam kitab
Negara Kertagama, lebih tepatnya Pupuh XII di sebutkan bahwa;
Lwas dengan Samudra serta Lamuri Batam, Lampung dan juga Barus
itulah terutama negara Melayu yang t’lah tunduk. Negara - negara di
pulau Tanjungpura: Kapuas - Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, dan Lawai.
Selain itu, letak wilayah kerajaan Sambas dinilai sangat strategis karena berada di
antara pertemuan muara sungai Sambas Kecil, Subah, dan Teberau30 dan
berbatasan langsung dengan laut Natuna. Dengan demikian dapat dipahami jika
letak kerajaan Sambas sangatlah strategis. Selain dilalui oleh tiga pertemuan arus
sungai Sambas Kecil, Subah, dan Teberau, wilayah Sambas juga menjadi jalur
perdagangan antar kerajaan yang ada di Kalimantan, serta menjadi jalur
perdagangan internasional.
3. Agama yang ada di Sambas
Agama yang hingga sekarang diakui oleh pemerintah Sambas ada empat
yakni, Islam, Katolik, Protestan, dan Khong Hu Cu. Meskipun sudah tidak diakui
oleh pemerintah sebagai suatu agama, kepercayaan lokal atau biasa disebut
dengan religio naturalisme tetap hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat
modern sekarang ini yang kemudian menjadikan kepercayaan ini sebagai salah
satu wujud kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
Jauh sebelum agama Islam menjadi agama mayoritas di Sambas
berkembang, agama Hindu memiliki peran yang cukup besar dalam kehidupan
kerajaan pada saat itu. Banyak dari para penduduk lokal yang menganut agama
Hindu, karena dianggap tidak bertentangan dengan kepercayaan lokal. Bahkan
banyak peninggalan sejarah Hindu yang hingga sekarang masih tetap
dipertahankan, seperti kain tenun Sambas yang kemudian mendapat penghargaan
dari UNESCO31.
B. Letak Wilayah Kesultanan Sambas
Wilayah Kesultanan Sambas saat ini terletak di ibukota Sambas, tepatnya di
antara pertemuan tiga anak sungai yakni, sungai Sambas Kecil, sungai Sungai
Subah, dan sungai Teberau. Istana Kesultanan Sambas berada di daerah Muara
Ulakan, sekarang di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas,
Provinsi Kalimantan Barat. Saat ini wilayah tempat Kesultanan Sambas lebih
dikenal dengan masyarakat Melayu Sambas. Melayu Sambas merupakan
etnoreligius Muslim yang berbudaya Melayu, berbahasa Melayu dan menempati
sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota
Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Secara linguistik Melayu Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak,
khususnya Dayak Melayik yang dituturkan oleh tiga suku Dayak, yaitu suku
Dayak Meratus/Bukit (Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak
Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn)32.
Jauh sebelum menetap di Muara Ulakan, ibukota pemerintahan Sambas
yang dimulai dari masa pemerintahan Kerajaan Hindu hingga berubah menjadi
Kesultanan Sambas telah berpindah-pindah pusat pemerintahan. Berawal dari
daerah Paloh pada masa pemerintahan Raja Cananegara, kemudian berpindah lagi
ke daerah Kota Lama pada masa pemerintahan Raja Tang Nunggal, berlanjut
hingga masa pemerintahan Ratu Sepudak dan Ratu Anom Kesuma Yuda. Dari
Kota Lama pusat pemerintahan sempat berpindah tidak begitu lama di daerah
Kota Bandir, dimana di tempat ini dijadikan pusat pemerintahan setelah Ratu
Anom Kesuma Yuda menyerahkan negara dan pemerintahan kepada Raden
Sulaiman.
Selama tiga setengah tahun Kota Bandir dijadikan ibukota, kemudian pusat
pemerintahan berpindah ke daerah Lubuk Madung, yang kemudian menjadi
cikal-bakal berdirinya Kesultanan Sambas dengan Sultan pertama ialah Raden
Sulaiman dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Oleh karena dirasa
kurang baik dan cocok untuk dibangun Istana dan Kesultanan, pusat pemerintahan
kemudian dipindahkan lagi di daerah Muara Ulakan pada masa pemerintahan
Raden Bima, Sultan Muhammad Tajuddin, Sultan Sambas kedua.
Istana Kesultanan Sambas hingga saat ini telah mengalami perbaikan yang
cukup besar. Bentuk bangunan sekarang ini berbeda dengan bangunan Keraton
jaman dulu. Hal ini dibuktikan ketika pada tanggal 3 September 1931, pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, mendirikan
bangunan model baru yang terletak di bekas bangunan lama yang telah
dirobohkan. Kemudian pada tahun 1985, melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat, pemerintah melakukan pemugaran
terhadap Keraton Sambas33.
C. Pemerintahan Sebelum Masuknya Islam di Sambas
Jauh sebelum Islam masuk dan berkembang di daerah Sambas, Hindu
merupakan agama yang sudah masuk dan berkembang terlebih dahulu. Hindu
merupakan cikal-bakal berdirinya sebuah kerajaan yang bercorak Hindu di
Sambas, sebelum kemudian digantikan menjadi Kerajaan Islam seiring dengan
masuk dan berkembangnya Islam di Sambas.
Awal mula berdirinya kerajaan Sambas tidak terlepas dari adanya campur
tangan dari Kerajaan Majapahit. Seperti yang telah diketahui, pada abad ke-13 M
Kerajaan Majapahit datang dengan para prajurit dan keluarga Kerajaan ke Sambas
berhasil mendirikan sebuah Kerajaan yang pertama di daerah Paloh. Dari Paloh,
pusat Kerajaan Sambas di pindahkan ke Kota Lama di daerah Teluk Keramat.
Tidak berselang lama, pusat kerajaan kemudian berpindah ke Kota Bangun di
daerah sungai Sambas Besar. Setelah bertahan beberapa waktu, pusat kerajaan
kemudian berpindah lagi ke Kota Bandir dan terakhir pusat Kerajaan Sambas
berpindah ke daerah Lubuk Madung34. Setelah pada masa Sultan Sambas ke-2,
Sultan Muhammad Tajuddin berkuasa, pusat Kesultanan Sambas dibangun di
Muara Ulakan, di pertemuan tiga sungai yakni sungai Sambas Kecil, sungai
Subah, dan Sungai Teberau.
Pada periode awal berdirinya Kerajaan Sambas, negeri Sambas sering
disebut dengan “Negeri Kebenaran” yang masa itu dikuasai oleh raja-raja dari
keturunan Majapahit. Raja yang terakhir berkuasa di Kerajaan Sambas ialah Ratu
Sepudak dan Ratu Anom Kesuma Yuda selama periode tahun 1300-1631. Pada
periode awal Kerajaan Sambas Raja-raja yang berkuasa disebut dengan Ratu dan
kekuasaannya disebut kerajaan35. Penyebaran Hindu di daerah Sambas tidak
diketahui dengan pasti, yang jelas penyebarannya dilakukan dengan jalan damai
oleh para prajurit dan keluarga Kerajaan Majapahit dengan cara berbaur dengan
masyarakat lokal.
Masuknya agama Islam di daerah Sambas hampir sama dengan proses
masuknya agama Hindu yang belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan sumber
sejarah yang ada, mulai masuknya agama Islam di Sambas terjadi pada abad
ke-14 M yang dilakukan oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, Brunei, dan Banjar
yang sudah menganut agama Islam. Namun, pada masa ini agama Islam belum
34 Ibid., hal. 7.