• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di instalasi rawat inap Rumah Sakit Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di instalasi rawat inap Rumah Sakit Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut dapat menyebabkan risiko infeksi setelah operasi semakin besar maka, ketepatan pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis diperlukan untuk mencegah infeksi setelah operasi. Tujuan penelitian untuk mendapatkan gambaran pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut.

Metode penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Populasi sebanyak 38 pasien dengan kriteria inklusi menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu tahun 2011 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan operasi lainnya. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ditinjau berdasarkan pada jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang dibandingkan dengan pedoman WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013). Faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan (n=38) 18% pasien berusia antara 9-17 tahun, 21% pasien berusia antara 18-26 tahun, 26% pasien berusia antara 27-35 tahun, 16% pasien berusia antara 36-44 tahun, 16% pasien berusia antara 45-53 tahun dan 3% pasien berusia antara 54-62 tahun.53% laki-laki, dan 47% perempuan. Semua pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah, 50% dengan lama keluhan 2 hari, dan rata-rata lama perawatan 2 hari. Antibiotika profilaksis yang digunakan adalah seftriakson 63% dan sefotaksim 37% diberikan 30-60 menit sebelum operasi, seluruhnya diberikan secara intravena selama satu hari dengan dosis 2 gram.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa 37% pemilihan dan pemberian antibiotika profilaksis di RS Baptis Batu sudah sesuai dengan pedoman.

(2)

ABSTRACT

Increasing the number of acute appendicitis surgery can cause the risk of infection after surgery is getting greater then, the accuracy of selection and use of prophylactic antibiotics is necessary to prevent infection after surgery. The aim of research to get an overview of the selection and use of prophylactic antibiotics in patients with acute appendicitis operation.

Methods of non-experimental research design with evaluative descriptive retrospective. A population of 38 patients with the inclusion criteria of acute appendicitis underwent surgery at Baptist Hospital Stone in 2011 and use of prophylactic antibiotics. Exclusion criteria were acute appendicitis operation conducted jointly with other operations. The suitability of the selection and use of prophylactic antibiotics be reviewed based on the type, time, method, dosage, and duration of administration of prophylactic antibiotics were compared with the guidelines of WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) , dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013) . Factors underlying the selection of prophylactic antibiotics was obtained by interview.

The results showed (n = 38) 18% patients aged between 9-17 years, 21% patients aged between 18-26 years, 26% patients aged between 27-35 years, 16% patients aged between 36-44 years, 16% patients aged between 45-53 years and 3% patients aged between 54-62 years, 53% male and 47% female. All patients complained of right lower abdominal pain, 50% with the old complaint two days, and the average length of 2 days. Prophylactic antibiotics used were ceftriaxone and cefotaxime 63% 37% given 30-60 minutes before the operation, entirely administered intravenously over one day with a dose of 2 grams.

Based on the results of the study concluded that there are 37% of the election and administration of prophylactic antibiotics at Baptist Hospital Batu that was appropriate guidelines.

(3)

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

PADA PASIEN OPERASI APENDISITIS AKUT DI INSTALASI

RAWAT INAP RUMAH SAKIT BAPTIS BATU JAWA TIMUR

TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Angelina Ananta Wikrama Tungga Dewi NIM : 088114191

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

PADA PASIEN OPERASI APENDISITIS AKUT DI INSTALASI

RAWAT INAP RS BAPTIS BATU JAWA TIMUR TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Angelina Ananta Wikrama Tungga Dewi NIM : 088114191

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

Skripsi ini kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, Kau adalah Bapa yang setia

Bunda Maria, Kau adalah Perantara doaku

(8)
(9)
(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatNya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien Operasi Apendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RS Baptis Batu Tahun 2011” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) dalam Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang turut membantu penulisan skripsi ini, antara lain :

1.Dra. Th. B. Titien Siwi Hartayu, M. Kes., Ph.D., Apt. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, kesabaran, dukungan, dan saran –saran yang telah diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.

2. Aris Widayati M.Si.,Ph.D., Apt dan Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt selaku dosen penguji atas bimbingan dan saran – saran dalam penulisan skripsi.

3. RS Baptis Batu (direktur,dokter,apoteker,wakil kepala kamar bedah dan staf rekam medis) yang telah bersedia untuk memberikan informasi kepada penulis. 4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu

dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

(11)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan... 3

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 6

(12)

ix

2. Tujuan Khusus ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 8

A. Antibiotika... 8

1. Pengertian ... 8

2. Penggolongan Antibiotika ... 8

3. Prinsip dasar penggunaan antibiotika... 11

B. Antibiotika Profilaksis ... 12

C. Apendiks ... 13

D. Apendisitis Akut ... 15

1. Pengertian ... 15

2. Penyebab apendisitis ... 15

3. Klasifikasi ... 15

4. Keluhan ... 16

E. Prinsip pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut ... 17

F. Antibiotika profilaksis pilihan ... 18

G. Mekanisme kerja antibiotika profilaksis ... 19

H. Operasi Apendisitis Akut ... 20

I. Keterangan Empiris ... 22

BAB III METODE PENELITIAN... 23

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 23

B. Definisi Operasional... 23

(13)

x

D. Bahan Penelitian... 25

E. Instrumen Penelitian... 25

F. Lokasi Penelitian ... 25

G. Tata Cara Penelitian ... 25

1. Tahap persiapan ... 26

2. Tahap pengambilan data ... 26

3. Tahap penyelesaian data ... 26

H. Tata Cara Analisis Hasil... 27

1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut ... 27

2. Karakteristik demografi pasien ... 27

3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis ... 28

4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ... 30

5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis ... 30

I. Keterbatasan Penelitian ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Jumlah Pasien ... 32

B. Karakteristik Demografi Pasien ... 33

1. Usia pasien ... 33

2. Jenis kelamin pasien ... 34

(14)

xi

4. Lama keluhan pasien ... 36

5. Lama perawatan pasien ... 36

C. Jenis, Waktu, Cara dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 37 1. Jenis antibiotik ... 37

2. Waktu pemberian ... 38

3. Cara pemberian ... 38

4. Dosis pemberian ... 39

5. Lama pemberian ... 40

D. Kesesuaian Pemilihan dan penggunaan Antibiotika Profilaksis . 41 1. Jenis antibiotika ... 41

2. Waktu pemberian ... 43

3. Cara pemberian ... 44

4. Dosis pemberian ... 45

5. Lama pemberian ... 46

E. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis 47 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Kesimpulan ... 52

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA…... 54

LAMPIRAN …... 58

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Baptis Batu tahun 2011 ………... 34 Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin di

RS Baptis Batu tahun 2011 ……… 34

Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut jenis keluhan di RS Baptis Batu tahun 2011 ……….. 35 Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RS Baptis Batu tahun 2011 menurut

lamanya keluhan sakit ………....………... 36 Tabel V. Lama perawatan pasien operasi apendisitis akut RS Baptis Batu 20111 37 Tabel VI. Distribusi antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal

pada pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu tahun

2011 ………... 37

Tabel VII. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan setelah operasi di RS Baptis Batu tahun 2011 ………... 38 TabelVIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Baptis Batu

tahun 2011 ………... 40

(16)

xiii

Distribusi jumlah kasus menurut lama pemberian antibiotika

profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO,

2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu tahun 2011

…... 47

Tabel X. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu tahun 2011

………... 43

Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO,

2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu tahun 2011

…... 44

Tabel XII. Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO,

2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu tahun 2011

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar kerja untuk pengumpulan data ……… 58

Lampiran 2. Data pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu tahun 2011 ………...……… 59

Lampiran 3. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah ………….... 61

Lampiran 4. Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Instalasi Farmasi .... 63

Lampiran 5. Hasil wawancara mendalam dengan Wakil Kepala Kamar Bedah ……… 65

Lampiran 6. Pedoman wawancara mendalam dengan dokter bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah RS Baptis Batu ... 67

Lampiran 7. Persetujuan Hasil Wawancara Dokter Bedah ... 70

Lampiran 8. Persetujuan Hasil Wawancara Kepala Instalasi Farmasi ... 71

Lampiran 9. Persetujuan Hasil Wawancara Wakil Kamar Bedah ... 72

(19)

xvi INTISARI

Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut dapat menyebabkan risiko infeksi setelah operasi semakin besar maka, ketepatan pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis diperlukan untuk mencegah infeksi setelah operasi. Tujuan penelitian untuk mendapatkan gambaran pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut.

Metode penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Populasi sebanyak 38 pasien dengan kriteria inklusi menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu tahun 2011 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan operasi lainnya. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ditinjau berdasarkan pada jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang dibandingkan dengan pedoman WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013). Faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan (n=38) 18% pasien berusia antara 9-17 tahun, 21% pasien berusia antara 18-26 tahun, 26% pasien berusia antara 27-35 tahun, 16% pasien berusia antara 36-44 tahun, 16% pasien berusia antara 45-53 tahun dan 3% pasien berusia antara 54-62 tahun.53% laki-laki, dan 47% perempuan. Semua pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah, 50% dengan lama keluhan 2 hari, dan rata-rata lama perawatan 2 hari. Antibiotika profilaksis yang digunakan adalah seftriakson 63% dan sefotaksim 37% diberikan 30-60 menit sebelum operasi, seluruhnya diberikan secara intravena selama satu hari dengan dosis 2 gram.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa 37% pemilihan dan pemberian antibiotika profilaksis di RS Baptis Batu sudah sesuai dengan pedoman.

(20)

xvii ABSTRACT

Increasing the number of acute appendicitis surgery can cause the risk of infection after surgery is getting greater then, the accuracy of selection and use of prophylactic antibiotics is necessary to prevent infection after surgery. The aim of research to get an overview of the selection and use of prophylactic antibiotics in patients with acute appendicitis operation.

Methods of non-experimental research design with evaluative descriptive retrospective. A population of 38 patients with the inclusion criteria of acute appendicitis underwent surgery at Baptist Hospital Stone in 2011 and use of prophylactic antibiotics. Exclusion criteria were acute appendicitis operation conducted jointly with other operations. The suitability of the selection and use of prophylactic antibiotics be reviewed based on the type, time, method, dosage, and duration of administration of prophylactic antibiotics were compared with the guidelines of WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) , dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013) . Factors underlying the selection of prophylactic antibiotics was obtained by interview.

The results showed (n = 38) 18% patients aged between 9-17 years, 21% patients aged between 18-26 years, 26% patients aged between 27-35 years, 16% patients aged between 36-44 years, 16% patients aged between 45-53 years and 3% patients aged between 54-62 years, 53% male and 47% female. All patients complained of right lower abdominal pain, 50% with the old complaint two days, and the average length of 2 days. Prophylactic antibiotics used were ceftriaxone and cefotaxime 63% 37% given 30-60 minutes before the operation, entirely administered intravenously over one day with a dose of 2 grams.

Based on the results of the study concluded that there are 37% of the election and administration of prophylactic antibiotics at Baptist Hospital Batu that was appropriate guidelines.

(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Antibiotika profilaksis yaitu antibiotika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi baik sebelum maupun sesaat setelah terpapar mikroorganisme patogen tetapi belum menunjukan manifestasi infeksi. Penggunaan antibiotika profilaksis dalam operasi melibatkan pertimbangan risiko dan keuntungan. Oleh karena itu untuk mencegah infeksi pada luka bekas operasi, antibiotika harus diberikan dalam waktu 2 jam sebelum waktu operasi. Antibiotika harus dihentikan 24 jam setelah prosedur operasi (Anonim, 2000).

Apendisitis merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Craig, 2010). Penyakit ini dapat dijumpai di semua usia, namun paling sering pada rentang usia 20 sampai 30 tahun (Silen, 2005). Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita (Craig, 2010).

(22)

dan duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Eilyn, 2009).

Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut pada beberapa tahun terakhir dan risiko infeksi setelah operasi yang cukup tinggi pada pasien yang tidak menerima antibiotika profilaksis, mengakibatkan penggunaan antibiotika profilaksis menjadi hal yang sangat penting. Penggunaan antibiotika profilaksis yang tepat dapat melindungi pasien dari terjadinya infeksi setelah operasi (WHO, 2009).

Operasi apendisitis akut termasuk operasi bersih terkontaminasi dimana antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi untuk mencegah adanya infeksi (WHO, 2009).

Pemberian antibiotika profilaksis dinilai ketepatannya dengan mengetahui jenis antibiotik profilaksis (indikasi dan pilihan terapi), dosis, rute pemberian, waktu pemberian, durasi, dan frekuensi pemberian. Penggunaan antibiotik profilaksis yang kurang tepat yaitu pemberian yang tidak tepat (terlalu awal atau terlalu lama) dan jumlah dosis tidak mencukupi pada saat operasi menjadi salah satu faktor risiko munculnya Surgical Site Infections (SSI) (Doherty et al, 2006).

(23)

askes, Jamkesmas, Jamkesda, dll., maka kemungkinan banyak pasien yang berobat di rumah sakit ini. Pada tahun 2011 pasien kasus apendisitis akut yang menjalani operasi menempati peringkat ke 2 dalam 10 besar peringkat pembedahan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Baptis Batu Jawa Timur, sehingga dengan jumlah pasien yang cukup banyak dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut:

a. Seperti apa karakterisitik demografi pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan?

b. Seperti apa pola penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut terkait dengan jenis antibiotika, waktu, cara, dosis dan lama pemberiannya?

(24)

Guidelines (ASHP, 2013) ditinjau dari jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara, dosis dan lama pemberian antibiotika profilaksis?

d. Apa saja faktor yang mempengaruhi pemilihan antibiotika profilaksis bagi pasien yang menjalani operasi apendisitis akut RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien Operasi Apendisitis Akut pada Instalasi Rawat Inap di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011” belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang pernah dilakukan yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika pada pasien operasi apendisitis akut antara lain:

a. “Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Apendisitis Akut Di Bagian Bedah RSU Saiful Anwar Malang” oleh Fatmawati tahun 2007. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada tempat, periode, dan subyek penelitian. Pada penelitian Fatmawati (2007) subyeknya adalah pasien apendisitis akut yang menggunakan antibiotika dan analgetika di RSU Saiful Anwar Malang sepanjang tahun 2005. Sedangkan subyek penelitian yang penulis lakukan pasien yang menerima antibiotika profilaksis baik yang menerima analgetika maupun tidak di instalasi rawat inap RS Baptis Batu Jawa Timur pada tahun 2011.

(25)

tempat, periode dan subyek penelitian. Subyek penelitian pada penelitian yang dilakukan Imelda (2008) adalah pasien operasi apendisitis baik yang akut maupun kronis yang menerima antibiotika profilaksis dan antibiotika terapi di RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2006, sedangkan subyek penulis adalah hanya pasien di instalasi rawat inap RS Baptis Batu Jawa Timur yang mengalami apendisitis akut dan mendapat tindakan operasi serta menerima antibiotika profilaksis tahun 2011.

c. “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009”oleh Yuma tahun 2011. Penelitian yang dilakukan Yuma (2011) menggunakan subyek pasien apendisitis akut yang di RS Panti Rapih Yogyakarta sepanjang tahun 2009. Sedangkan subyek penulis menggunakan pasien apendisitis akut yang di rawat inap RS Baptis Batu Jawa Timur sepanjang tahun 2011.

(26)

Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah refrensi pengetahuan untuk mahasiswa yang mempelajari ilmu kesehatan mengenai gambaran penggunaan antibiotika pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesesuaian pemilihan antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur dengan pedoman umum yang ada serta memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatakn pelayanan kesehatan di rumah sakit.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut pada tahun 2011 di RS Baptis Batu Jawa Timur.

2. Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum maka penelitian ini secara khusus ditujukan untuk:

(27)

b. mengidentifikasi pola penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut yang digunakan, terkait dengan jenis antibiotika, waktu, cara, dosis dan lama pemberiannya.

c. menilai kesesuaian jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang digunakan oleh pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

(28)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Antibiotika 1. Pengertian

Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia dari mikroorganisme lain. Istilah ‘antibiotika’ sekarang meliputi senyawa sintetik seperti sulfonamida dan kuinolon yang bukan merupakan produk mikroba. Sifat antibiotika adalah harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007). Istilah yang digunakan pada awalnya adalah antibiosis, yaitu substansi yang dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan organisme hidup yang lain dan berasal dari mikroorganisme. Seiring dengan perkembangan ilmu maka istilah antibiosis diganti menjadi antibiotika yang tidak terbatas untuk substansi yang berasal dari mikroorganisme, melainkan untuk semua substansi yang diketahui mampu untuk menghambat pertumbuhan organisme lain khususnya mikroorganisme (Pratiwi, 2008).

2. Penggolongan Antibiotika

(29)

a. Berdasarkan luas aktivitas antibiotika

Berdasarkan luas aktivitasnya, jenis antibiotika dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :

1) Antibiotika yang narrow spectrum (spektrum aktivitas sempit). Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin dan asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram negatif.

2) Antibiotika broad spectrum (spektrum aktivitas luas)Bekerja terhadap lebih banyak jenis kuman, baik jenis kuman Gram positif maupun kuman Gram negatif. Antibiotika yang termasuk broad spectrum antara lain sulfonamide, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin (Tan dan Rahardja, 2003). b. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotika

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dapat digolongkan menjadi beberapa golongan anatara lain sebagai berikut (Schmitz, 2009) :

1) Antibiotika yang dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga menghambat perkembangbiakan dan menimbulkan lisis. Contoh : penisilin dan sefalosporin.

2) Antibiotika yang dapat mengganggu keutuhan membran sel, mempengaruhi permeabilitas sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan cairan intraseluler. Contoh : polimiksin, amfoterisin B dan nistatin.

(30)

klindamisin.

4) Antibiotika yang dapat menghambat metabolisme sel bakteri. Contoh : sulfonamide.

5) Antibiotika yang dapat menghambat sintesis asam nukleat. Contoh : rifampisin dan golongan kuinolon.

c. Berdasarkan struktur kimia antibiotika

Berdasarkan struktur kimianya, suatu antibiotika dapat dikelompokkan ke dalam 10 kelompok, yaitu sebagai berikut ini.

1) Golongan penisilin : Amoksisilin, penisilin, metampisilin, bacampisilin. 2) Golongan aminoglikosida : Streptomisin, tobramisin, gentamisin, kanamisin,

neomisin.

3) Golongan tetrasiklin : Doksisiklin, tetrasiklin, minosiklin, oksitetrasiklin. 4) Golongan makrolida : Entromisin, spiramisin, klaritromisin

5) Golongan kuinolon : Ofloksasin, suprofloksasin, levofloksasin, trovafloksasin.

6) Golongan sulfonamid : Kotrimoksazol, trimetoprim, sulfametoksaxol. 7) Golongan amfenikol : Kloramfenikol, tiamfenikol.

8) Antibiotik lain : Metronidazol, tinidazol, ornidazol.

(WHO, 2013) d. Berdasarkan sifat toksisitas selektif

(31)

minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing – masing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) (Setiabudy, 2007).

3. Prinsip dasar penggunaan antibiotika

Penggunaan terapeutik antibiotika di klinik bertujuan untuk membasmi bakteri penyebab infeksi. Penggunaan antibiotika ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut (Setiabudy, 2007):

a. Gambaran klinik penyakit infeksi, yakni efek yang ditimbulkan adanya bakteri dalam tubuh hospes,

b. Efek terapi antibiotika pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja antibiotika itu sendiri terhadap biomekanisme bakteri, dan tidak terhadap biomekanisme tubuh hospes.

c. Antibiotika dapat dikatakan bukan obat penyembuh penyakit infeksi karena antibiotika dalam pengertian sebenarnya merupakan senyawa obat yang menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari suatu penyakit infeksi dengan cara menghambat bakteri penyebab penyakit infeksi.

Menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan antibiotika yang tepat adalah penggunaan antibiotika yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi (WHO, 2001).

(32)

untuk terapi definitif, terapi empiris dan terapi profilaksis. Penggunaan antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab yang telah teridentifikasi disebut pengobatan definitif. Pada terapi secara empiris, pemberian antibiotik diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya, sedangkan terapi profilaksis adalah terapi yang diberikan untuk pencegahan pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotika yang diberikan adalah antibiotika yang berspektrum sempit dan spesifik (Kakkilaya, 2008).

B. Antibiotika Profilaksis

Antibiotika profilaksis yaitu antibiotika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi baik sebelum maupun sesaat setelah terpapar mikroorganisme patogen tetapi belum menunjukan manifestasi infeksi (Anonim, 2000).

Waktu pemberian antibiotik profilaksis merupakan hal yang paling penting. Antibiotik harus diberikan ½ - 1 jam sebelum operasi untuk memastikan kadar obat yang cukup pada waktu operasi (Dipiro, 2005).

Penggunaan antibiotika profilaksis dalam operasi melibatkan pertimbangan risiko dan keuntungan. Maka dari itu harus dihentikan setelah 24 jam setelah prosedur operasi (Anonim, 2000).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2011 dasar pemberian antibiotika profilaksis yaitu :

1) Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus yang bersangkutan.

(33)

4) Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obatan estesi. 5) Bersifat bakterisidal.

6) Harga terjangkau.

Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada kasus pembedahan adalah untuk mencegah terjadinya infeksi saat dilakukan pembedahan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2011 adalah :

1) Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO). 2) Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.

3) Penghambatan muncul floral normal resisten. 4) Meminimalkan biaya kesehatan.

C. Apendiks

Gambar 1. Posisi Apendiks (Faiz and Moffat, 2004)

(34)

belakang sekum, 2% terletak preileal, dan kurang dari 1% yang terletak retroileal (Putz, 2010).

Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan limfa (Pieter, 2005).

(35)

D. Apendisitis Akut 1. Pengertian

Apendisitis akut secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks akibat infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat obstruksi. Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran lendir apendiks, dimana menyebabkan tekanan intralumen meningkat sehingga terjadi kolonisasi bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada daerah tersebut. Pada sebagian kecil kasus, infeksi dapat terjadi semerta-merta secara hematogen dari tempat lain sehingga tidak ditemukan adanya obstruksi (Sjamsuhidajat, 2011).

2. Penyebab apendisitis

Penyebab utama terjadinya apendisitis akut adalah penyumbatan (obstruksi) lumen apendiks yang diikuti dengan terjadinya peradangan akut. Penyumbatan lumen apendiks dapat disebabkan oleh adanya fekalit (material fekal), hiperplasia limfoid, adanya benda asing atau adanya tumor pada dinding apendiks (Kozar, et al., 2003).

3. Klasifikasi

Secara klinis apendisitis dibagi menjadi apendisitis akut dan kronis, apendisitis akut dibagi menjadi apendisitis akut focal dan supurativ. Apendisitis akut focal ialah proses peradangan awal yang terjadi pada apendiks sehingga menimbulkan gejala klinis nyeri perut kanan bawah, sedang apendisitis akut supurativa adalah proses peradangan pada apendiks dimana lumen apendiks sudah

(36)

a. Nyeri Perut

Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien dengan apendisitis akut.

Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa manusia letak apendiks berada retrosekal atau berada pada rongga retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke peritoneum minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila pasien berjalan dan terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal.

b. Mual dan Muntah

Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis.

c. Gejala Gastrointestinal

Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik.

(37)

E. Prinsip pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut

Pemberian antibiotika profilaksis harus sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dialami pasien. Indikasi penggunaan antibiotika profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih terkontaminasi (Permenkes, 2011).

Pemilihan antibiotika profilaksis ini bergantung pada bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada prosedur operasi, keamanan, efikasi, adanya dukungan pedoman atau guideline dalam penggunaan suatu antibiotika profilaksis, dan biaya yang dikeluarkan (Kanji, et al., 2008).

Untuk mencapai tujuan penggunaan antibiotika profilaksis yang diinginkan, maka antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien operasi apendisitis akut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. aktivitas antibiotika harus disesuaikan dengan kemungkinan terbesar mikroorganisme patogen yang menginfeksi luka atau lokasi operasi (sefositin, sefotetan, kombinasi ampisilin dengan metronidasol, atau kombinasi gentamisin dengan metronidasol)

2. agen antimikroba harus dapat dihantarkan ke lokasi operasi 1 jam sebelum operasi dimulai

(38)

4. dosis kedua antibiotika profilaksis diperlukan jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung

5. antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi

(WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, Kernodle, et al., 2000, dan ASHP, 2013)

F. Antibiotika profilaksis pilihan

Pemberian antibiotika profilaksis sangat direkomendasikan pada prosedur operasi apendisitis akut (SIGN, 2008). Risiko tingkat infeksi luka pada operasi apendisitis akut dapat mencapai 7-30% sehingga penggunaan antibiotika profilaksis sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi (ASHP, 2013).

Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) merupakan golongan antibiotika yang paling banyak direkomendasikan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut. Kombinasi gentamisin dan metronidasol juga dapat menjadi pilihan sebagai profilaksis untuk pasien operasi apendisitis akut. Selain itu, kombinasi ini dapat digunakan bagi pasien yang mengalami alergi terhadap antibiotika golongan β–laktam (WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP,

2013). Antibiotika profilaksis diberikan 1 jam sebelum operasi dan melalui cara pemberian intravena (IV) untuk memastikan kadar antibiotika yang cukup pada lokasi bedah (Kanji, et al., 2008 dan ASHP, 2013).

(39)

diberikan pada dosis 1,5-2 mg / kgBB dan metronidasol diberikan pada dosis 500 mg. Penambahan dosis antibiotika profilaksis dalam prosedur operasi diperlukan jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung (Kanji, et al., 2008, Kernodle, et al., 2000, dan ASHP, 2013). Antibiotika profilakis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi dilakukan (WHO, 2009). Namun, pemberian antibiotika profilaksis dapat dilanjutkan pada pasien yang ditemukan perforasi atau gangraen (mikroperforasi) pada apendiksnya (Kanji, et al., 2008).

Infeksi pada luka operasi merupakan infeksi yang sering terjadi setelah melakukan operasi apendisitis. Tingkat infeksi luka operasi pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut dapat mencapai 7- 30% (ASHP, 2013). Tanda-tanda klinis luka operasi apendisitis yang mulai terinfeksi adalah terjadinya pembengkakan dan warna kemerahan pada daerah yang disayat, muncul rasa sakit di daerah sayatan, atau daerah sayatan operasi apendisitis mengeluarkan cairan atau nanah. Tanda-tanda ini muncul dalam waktu 30 hari setelah operasi dilakukan (Mangram, et al., 1999).

G. Mekanisme kerja antibiotika profilaksis

(40)

ditemukan pada kultur infeksi luka setelah operasi (Elhag, et al., 1986 dan Lau, et al., 1984). Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) bekerja sangat aktif

dalam membunuh bakteri gram negatif dan bakteri anaerob tersebut. Oleh karena itu, sefalosporin generasi kedua banyak direkomendasikan sebagai antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut (WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP, 2013). Antibiotika ini menghambat cross-linking peptidoglikan sehingga dinding sel bakteri menjadi lemah, bakteri lisis, dan kemudian mati (Woodin, et al., 1994 dan Kalman, et al., 1990).

Agen lain yang dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut adalah kombinasi gentamisin dengan metronidasol. Gentamisin merupakan suatu aminoglikosida yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan mekanisme pengikatan ribosom 30S secara ireversibel sehingga mengakibatkan sintesis protein bakteri menjadi terhambat. Gentamisin memiliki aktifitas terhadap bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus, Acinetobacter, dan Enterobacter. Selain itu gentamisin juga dapat melawan

Staphylococcus aureus. Metronidasol aktif melawan bakteri anaerob dan sebagian

besar protozoa. Mekanismenya dalam melawan bakteri anaerob adalah dengan menembus atau berdifusi ke dalam sel bakteri kemudian metronidasol mengalami reduksi menjadi suatu bentuk radikal bebas. Radikal bebas metronidasol ini mengakibatkan kerusakan DNA bakteri (Gordon, 2009 dan Graumlich, 2003).

H. Operasi Apendisitis Akut

(41)

2003). Operasi apendisitis akut harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk. Hal ini dikarenakan apendisitis akut mempunyai risiko untuk berkembang menjadi apendisitis perforasi pada setiap 12 jam berikutnya setelah timbulnya gejala (Busch, et al., 2011, Papaziogas, et al., 2009, dan Ditillo, et al., 2006). Perforasi atau pecahnya apendiks ini dapat memungkinkan terjadinya komplikasi seperti peritonitis umum atau abses.

Operasi pada kasus apendisitis akut dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi apendisitis akut terbuka dan laparaskopi apendisitis. Operasi apendisitis akut terbuka maupun laparaskopi apendisitis menggunakan antibiotika profilaksis pada 1 jam sebelum operasi dimulai. Antibiotika profilaksis yang diberikan dapat berupa sefositin atau sefotetan dalam dosis 1-2 gram, sedangkan bagi pasien yang mengalami alergi terhadap antibiotika golongan β-laktam dapat diberikan

kombinasi gentamisin dan metronidasol, masing-masing dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB dan 500 mg (Kanji, et al., 2008, Omran, 2008, dan Kernodle, et al., 2000).

(42)

bagian terbuka (celah) yang kecil dan digunakan untuk mengangkat apendiks (Kozar, et al., 2003).

I. Keterangan Empiris

(43)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat non-eksperimental sebab observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi serta perlakuan dari peneliti (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan (Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data didapat dari penelusuran data masa lalu pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur pada catatan rekam medis yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis RS Baptis Batu Jawa Timur.

B. Definisi Operasional

1. Pasien adalah seseorang yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011, menggunakan antibiotika profilaksis dan memiliki data rekam medis yang lengkap.

(44)

3. Antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu antibiotika yang digunakan sebelum maupun sesudah operasi apendisitis akut yang bertujuan untuk mencegah infeksi setelah operasi.

4. Catatan rekam medik adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang memuat data nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, diagnosis sebelum dan sesudah operasi, tanggal operasi, jam operasi, jenis tindakan operasi, data laboratorium, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, lama keperawatan, riwayat pengobatan yang diterima, dan pemeriksaan fisik pasien seperti tekanan darah, nadi, dan suhu badan.

5. Pedoman wawancara adalah susunan garis-garis besar pertanyaan yang digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan wawancara mendalam.

6. Jenis antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu macam antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis.

7. Waktu pemberian adalah berapa jam pemberian antibiotika profilaksis sebelum operasi yang bertujuan untuk mencegah infeksi.

8. Cara pemberian adalah intravena atau per oral.

9. Lama pemberian yaitu jumlah hari dimana pasien mendapatkan antibiotika profilaksis.

10. Lama perawatan pasien yaitu jumlah hari yang dihitung mulai dari pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan keluar atau pulang dari rumah sakit.

C. Subyek Penelitian

(45)

menggunakan antibiotika profilaksis serta memiliki penyakit penyerta lainnya. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan prosedur operasi lainnya.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medis pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011.

E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah: 1. Lembar kerja untuk pengumpulan data.

2. Pedoman wawancara dengan Dokter Bedah di RS Baptis Batu Jawa Timur. 3. Pedoman wawancara dengan Kepala Instalasi Farmasi di RS Baptis Batu Jawa

Timur.

4. Pedoman wawancara dengan Perawat Kamar Bedah di RS Baptis Batu Jawa Timur.

F. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Baptis Batu, Jalan Raya Tlekung no 1 Batu, Jawa Timur.

G. Tata Cara Penelitian

(46)

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan pembuatan proposal yang berisi semua informasi mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis dan surat ijin untuk melakukan penelitian di RS Baptis Batu Jawa Timur.

2. Tahap pengambilan data

Pada tahap pengambilan data ini diawali dengan penelusuran jumlah subyek penelitian dari rekam medis. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui jumlah subyek, nomor rekam medis, tanggal operasi, nama dokter, dan jenis kelamin pasien. Setelah diketahui jumlah subyek maka dilakukan pencatatan data rekam medis pada lembar pencatatan yang berisi nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, keluhan, riwayat penyakit, data laboratorium, diagnosis sebelum dan setelah operasi, tanggal pasien opname, tanggal pasien menjalani operasi, jam operasi, jenis antibiotika profilaksis yang digunakan, waktu, cara pemberian, dosis pemberian, lama pemberian, tanggal pasien keluar dari rumah sakit,

3. Tahap penyelesaian data

(47)

H. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang telah diperoleh dievaluasi menggunakan pedoman umum, yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in

Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013). Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan atau diagram.

Tata cara analisis sebagai berikut:

1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut

Data jumlah pasien operasi apendisitis akut dianalisis dengan cara menghitung jumlah pasien operasi apendisitis akut selama tahun 2011, lalu dari data tersebut dihitung jumlah pasien yang menerima dan yang tidak menerima antibiotika profilaksis.

2. Karakteristik demografi pasien

Analisis data karakteristik demografi pasien dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien.

a. Distribusi pasien pada tiap kelompok usia. Kelompok usia pasien dibagi secara rasional menjadi 7 kelompok dengan menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II (17-25 tahun), III (26-34 tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61 tahun), dan VII (62-70 tahun). Persentase masing-masing kelompok umur dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

(48)

dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

c. Distribusi pasien pada tiap keluhan apendisitis akut. Keluhan apendisitis akut terdiri dari nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C - 38,50C), mual, muntah, dan diare. Persentase masing-masing keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok yang mengalami keluhan dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

d. Distribusi pasien pada tiap lama keluhan apendisitis akut. Lama keluhan pasien dihitung dari saat timbulnya gejala yang dirasakan hingga sebelum pasien datang ke rumah sakit. Persentase masing-masing lama keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

e. Rata-rata lama perawatan pasien. Lama perawatan pasien dihitung dari tanggal pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan tanggal pasien keluar atau pulang dari rumah sakit. Rata-rata lama perawatan dihitung dengan cara menghitung jumlah keseluruhan lama perawatan pasien operasi apendisitis akut kemudian dibagi dengan jumlah total pasien operasi apendisitis akut.

3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis

(49)

a. Jenis antibiotika. Persentase masing-masing jenis antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap jenis antibiotika profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

b. Waktu pemberian. Waktu pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari ≤ 1 jam sebelum operasi, > 1 jam sebelum operasi, dan setelah operasi. Persentase

masing-masing kelompok waktu pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus waktu pemberian profilaksis pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

c. Cara pemberian. Cara pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari per oral (PO) dan intravena (IV). Persentase masing-masing kelompok cara pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok cara pemberian antibiotika profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

d. Dosis pemberian. Dosis pemberian antibiotika profilaksis ditulis berdasarkan besarnya dosis tiap jenis antibiotika profilaksis yang tercantum pada lembar rekam medis. Persentase masing-masing dosis pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap dosis pemberian dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

(50)

4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis

Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ditinjau berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang dibandingkan dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al.,

2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

Persentase penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak sesuai dihitung berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis. Cara perhitungannya adalah dengan menghitung jumlah kasus pada tiap penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak sesuai berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberiannya, dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis

(51)

I. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu :

1. Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga data yang diperoleh dari rekam medis kurang lengkap menyebabkan banyak data yang tereliminasi. Maka hasil evaluasi belum mencakup keseluruhan kasus.

2. Rumah sakit tempat penelitian belum memiliki Standar Pelayanan Medik sebagai pedoman dalam menentukan antibiotika profilaksis yang digunakan untuk pasien apendisitis akut. Maka data yang didapat hanya dapat dievaluasi menggunakan tiga pedoman yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

(52)

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jumlah Pasien

Hasil penelitian menunjukkan ada 38 pasien yang menjalani operasi apendistis akut pada tahun 2011 di RS Baptis Batu Jawa Timur. Kasus operasi apendisitis akut ini menempati peringkat kedua pada tahun 2011 dan seluruh pasien tersebut menerima antibiotika profilaksis. Berdasarkan kondisi setelah operasi, keadaan luka operasi seluruh pasien baik atau tidak menunjukan adanya infeksi.

(53)

B. Karakteristik Demografi Pasien 1. Usia pasien

Hasil penelitian menunjukkan 38 pasien yang menjalani operasi apendisitis akut berusia antara 8 hingga 68 tahun. Dengan menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001) 38 pasien tersebut dikategorikan menjadi 6 kelompok usia. Dari 6 kelompok tersebut yang memiliki jumlah pasien terbanyak adalah kelompok ke III (27-35 tahun) dengan jumlah 10 orang lalu diikuti dengan kelompok ke II dan ke I. Hasil tersebut sesuai dengan National Digestive Disease Information Clearinghouse (2008) yang menjelaskan bahwa apendisitis akut lebih

(54)

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

Kelompok Usia Jumlah Pasien % (n= 38)

Pada penelitian ini, persentase pasien laki-laki yang menjalani operasi apendisitis 53% (n= 38) dan pasien perempuan 47%, dengan rasio keduanya adalah 1,13 : 1. Rasio yang hampir sama antara jumlah pasien laki-laki dan perempuan ini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan atau faktor risiko yang sama untuk mengalami apendisitis akut (Craig, et al., 2006). Laki – laki memiliki jumlah lebih besar dibandingkan dengan perempuan karena dipengaruhi aktivitas laki – laki yang lebih banyak dibandingkan perempuan sehingga biasanya laki – laki membutuhkan asupan makanan yang lebih banyak atau lebih sering. Namun terkadang mereka tidak memperhatikan nutrisi makanan yang mereka makan dan dengan frekuensi aktivitas laki – laki yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, pola makan laki – laki lebih sering tidak teratur.

Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

Jenis Kelamin Jumlah Pasien % (n= 38)

Perempuan 18 47%

(55)

3. Keluhan pasien

Pada penelitian ini, keluhan yang dirasakan adalah nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,60C - 38,30C), mual, muntah, dan diare. Keluhan dari pasien ini sesuai dengan gejala-gejala klinis ketika seseorang menderita apendisitis akut, yaitu pasien mengalami nyeri di bagian perut (terutama perut bagian kanan bawah), demam ringan (37,50C - 38,50C), mual, muntah, diare, dan terkadang disertai dengan hilangnya nafsu makan (Ishikawa, 2003 dan Kozar, et al., 2003).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 38 pasien apendisitis akut mengeluhkan rasa nyeri perut di bagian kanan bawah. Nyeri perut di bagian kanan bawah ini berkaitan dengan letak apendiks yang berada di posisi anterior (depan) perut kanan bawah, sehingga ketika apendiks mengalami inflamasi dan menimbulkan rasa sakit maka pasien akan menderita rasa nyeri di daerah tersebut (Kozar, et al., 2003).

Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut jenis keluhan Di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Jenis Keluhan Jumlah Pasien %(n=38)

(56)

4. Lama keluhan pasien

Pada penelitian ini keluhan pasien paling banyak adalah 2 hari, yaitu sebesar 50% (n=38) seperti terlihat pada tabel IV. Berdasarkan diagnosis setelah operasi, tidak ada pasien yang mengalami perforasi pada apendiksnya. Hal ini menunjukkan lama keluhan yang dirasakan pasien berhubungan dengan seberapa jauh apendisitisnya sudah berkembang. Apendisitis akut dapat berkembang menjadi apendisitis perforasi dan risiko terjadinya perforasi meningkat setiap 12 jam setelah timbulnya gejala pada pasien yang tidak mendapat penanganan berupa operasi (Papaziogas, et al., 2009). Oleh sebab itu, operasi harus sesegera mungkin dilakukan pada pasien yang menderita apendisitis akut untuk mencegah berkembangnya penyakit ke arah lebih serius.

Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 menurut lamanya keluhan sakit

No Lama Keluhan Jumlah Pasien %(n=38)

1 ≤1 hari 11 29%

2 2 hari 19 50%

3 3 hari 6 16%

4 4 hari 2 5%

5. Lama perawatan pasien

(57)

dapat meningkatkan kepuasan pasien maupun keluarganya terhadap pelayanan rumah sakit (Krismanuel, 2010).

Tabel V. Lama perawatan pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur 2011

Waktu Jumlah %(n=38)

2 hari 18 47%

3hari 12 32%

4hari 8 21%

C. Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 1. Jenis antibiotika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan adalah seftriakson, yaitu sebesar 63% (n= 38), kemudian diikuti dengan sefotaksim sebanyak 37%.

Tabel VI. Distribusi jenis antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal pada pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No. Jenis Antibiotika Jumlah Kasus % (n= 38)

1. Seftriakson 24 63%

2. Sefotaksim 14 37%

(58)

Therapeutic Guidelines sebagai antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut karena memiliki presentase SSI <5% (ASHP, 2013).

2. Waktu pemberian

Pemberian antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur hanya dilakukan sebelum operasi. Hasil penelitian menunjukkan antibiotika profilaksis yang diberikan kurang atau sama dengan 1 jam sebelum operasi dilakukan dan paling sering diberikan 30 menit sebelum operasi.

Jika antibiotika profilaksis diberikan terlalu awal (lebih dari 1 jam sebelum operasi) dapat mengakibatkan konsentrasi antibiotika profikasis dalam darah dan jaringan tidak memadai (Kanji,et al., 2008 dan ASHP, 2013), sehingga efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari bakteri penyebab infeksi menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi pun dapat meningkat (Steinberg, et al., 2009).

Tabel VII. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi operasi di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Antibiotika Profilaksis

Jumlah Kasus Berdasarkan Waktu Pemberian Antibiotika Sebelum Operasi

(59)

antibiotika yang tinggi dalam darah dan lokasi penyayatan. Hal ini dikarenakan antibiotika tidak mengalami proses absorpsi terlebih dahulu di saluran gastrointestinal, tetapi langsung mengalami distribusi lalu masuk ke sirkulasi sistemik setelah diadministrasikan. Akibatnya konsentrasi antibiotika dalam darah dan jaringan pun dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat (Bryant, et al., 2010).

4. Dosis pemberian

Dosis pemberian antibiotika seftriakson dan sefotaksim sebagai profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur adalah 1 gram hingga 2 gram untuk pasien dewasa dan anak – anak. dengan usia lebih dari 12 tahun sedangkan pada pasien anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun, seftriakson diberikan pada dosis 1 gram.

Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel VIII yang menunjukkan bahwa antibiotika paling banyak diberikan pada dosis 2 gram, yaitu pada seftriakson sebesar 15 kasus atau 40% (n=38) sedangkan pada sefotaksim pemberian dosis 2 gram sebanyak 7 kasus atau 18% (n=38). Pemberian dosis 1 gram menempati urutan kedua yaitu seftriakson dengan 9 kasus atau 24% dan sefotaksim sebesar 7 kasus atau 18% (n=38). Antibiotika sefalosporin, khususnya seftriakson, memiliki konsentrasi yang memadai dalam darah dan jaringan untuk melawan bakteri penyebab infeksi setelah pemberian dalam dosis 1 gram maupun 2 gram (Martin et al., 1996 dan Pollock, et al., 1982). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian

(60)

melawan bakteri penyebab infeksi sehingga kejadian infeksi setelah operasi dapat dihindari.

Tabel VIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Antibiotika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut. Antibiotika profilaksis yang diberikan lebih dari 24 jam tidak memberikan perlindungan tambahan dari risiko terjadinya infeksi dibandingkan dengan yang dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi (Ward, et al., 2009 dan Dellinger, et al., 1994). Keduanya mempunyai efikasi yang relatif sama, sehingga

(61)

Tabel IX. Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24 jam dan lebih dari 24 jam di RS Baptis Batu Jawa Timur

tahun 2011

No Antibiotik

Profilaksis

Jumlah Kasus Berdasarkan Lama Pemberian

D. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis

Pada penelitian ini peneliti memperoleh informasi bahwa RS Baptis Batu Jawa Timur belum memiliki Standar Pelayanan Medik yang mengatur tentang antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut yang menjalani operasi. Berdasarkan informasi yang didapat dari sekretaris komite medik dan apoteker yang bertugas di RS Baptis Batu Jawa Timur pemberian antibiotika profilaksis didasarkan pada kebijakan dokter sebelum operasi dilakukan. Oleh karena itu data yang telah diperoleh hanya dapat dievaluasi berdasarkan pedoman umum, yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009),Antimicrobial Prophylaxis in

Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

1. Jenis antibiotika

Hasil penelitian menunjukkan seluruh jenis antibiotika profilaksis kurang sesuai dengan pedoman umum (WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP, 2013). Pedoman umum merekomendasikan penggunaan antibiotika sefalosporin

(62)

apendisitis akut. Seftriakson adalah jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan, yaitu 24 kasus atau 63% dan sefotaksim 14 kasus atau 37%. Penggunaan tunggal antibiotika profilaksis jenis seftriakson dan sefotaksim yang termasuk dalam antibiotika sefalosporin generasi ketiga ini sesuai dengan pedoman umum, karena 2 jenis antibiotika profilaksis tersebut seftriakson dan sefotaksim mempunyai aktifitas lemah dalam melawan bakteri anaerob (Gnann, et al., 1982 dan Rolfe, et al., 1982).

Sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim) dapat melawan bakteri gram negatif (Escherichia coli, shigella, salmonella, klebsiella, proteus, enterobacter, serratia) dan beberapa bakteri gram positif (S.

pneumonia, S. aureus) (Javelosa, et al., 1989, Farber, et al., 1982, dan Hartley, et

al., 1977). ). Padahal bakteri anaerob dan bakteri gram negatif merupakan mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut, terutama Bacteroides fragilis dan Escherichia coli (Elhag, et al., 1986 dan Lau, et al., 1984). Hal ini menunjukkan aktivitas antibakteri sefalosporin generasi ketiga sesuai dengan mikroorganisme patogen penyebab infeksi. Maka sebaiknya, pemilihan dan penggunaan antibiotika sefalosporin generasi ketiga dikombinasi dengan metronidazole yang bisa membunuh bakteri anaerob sehingga dapat melindungi pasien dalam mencegah terjadinya infeksi setelah operasi apendisitis akut.

(63)

mendapat antibiotika profilaksis jenis seftriakson dan pasien dengan no RM 51128 berat badan 50 kg mendapat antibiotika profilaksis jenis sefotaksim. Hal ini didasarkan pada pengalaman dari dokter bedah yang menangani pasien tersebut karena menurut dokter bedah selama ini belum pernah terjadi silang alergi dan infeksi setelah operasi.

Tabel X. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Jenis

Antibiotika

Pedoman Umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP,

(64)

Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Waktu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh antibiotika profilaksis diberikan secara intravena (IV). Pemberian antibiotika profilaksis secara intravena (IV) ini sesuai dengan pedoman umum WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

Hal ini dikarenakan antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena (IV) tidak mengalami proses absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga konsentrasi antibiotika dapat diperoleh dengan cepat dan tepat (Bryant, et al., 2010 dan Hessen, et al., 2004).

(65)

Tabel XII. Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Cara Pemberian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dewasa dan anak – anak dengan usia lebih dari 12 tahun mendapat antibiotik seftriakson dan sefotaksim 1 gram hingga 2 gram, sedangkan untuk anak – anak dibawah usia 12 tahun mendapat seftriakson dengan dosis 1 gram. Hal ini sesuai dengan AHSP: Ceftriaxone (Systemic) (ASHP, 2013), Drug Information Handbook (Lacy, et al.,

2002), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013) yang merekomendasikan

(66)

memadai dalam darah dan lokasi penyayatan dan untuk menghindari efek yang merugikan pada pasien (Hessen, et al., 2004).

Tabel XIII. Distribusi jumlah kasus menurut dosis pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Antibiotika

Hasil penelitian menunjukkan seluruh antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi. Hasil ini sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery(Kanji, et

(67)

2008). Oleh karena itu, pemberian antibiotika profilaksis sebaiknya dihentikan 24 jam setelah operasi karena tidak memberikan manfaat lebih dalam mencegah infeksi setelah operasi dan dapat menimbulkan risiko yang merugikan bagi pasien.\

Tabel XIV. Distribusi jumlah kasus menurut dosis pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013) di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

No Antibiotik

(68)

“Saya selalu memberikan antibiotik profilaksis pada operasi apendisitis akut karena operasi ini termasuk dalam operasi bersih terkontaminasi dan untuk

mencegah terjadinya infeksi serta mengurangi angka kejadian infeksi”. Dokter bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar bedah

Berdasarkan hasil penelitian, biasanya dokter memberikan seftriakson terlihat dari hasil seftriakson yang digunakan terdapat 24 kasus atau 63% (n=38).

Pertimbangan dokter bedah memilih seftriakson sebagai antibiotika profilaksis adalah berdasarkan keamanan dari antibiotika tersebut. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis ini terungkap dalam hasil wawancara sebagai berikut:

“Jarang terjadi silang alergi pada seftriakson bila dosisnya sesuai yaitu 1

sampai 2 gram selain itu juga karena disini kebanyakan pasien dengan

askes sosial sehingga ada pertimbangan biaya dalam pemilihan. Sejauh

ini tidak terjadi apa –apa dengan pasien-pasien saya”

Dokter bedah

Pemilihan Seftriakson pada pasien apendisitis akut dikarenakan Seftriakson mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang dibandingkan antibiotika jenis lain, yaitu 5-9 jam (Lacy, et al., 2002). Waktu paruh eliminasi yang panjang ini menjadi salah satu pertimbangan seftriakson lebih dipilih sebagai antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS

“Biasanya dokter memilih antibiotika yang waktu paruhnya panjang

untuk menghindari terjadinya infeksi, kalau sampai terjadi infeksi kan

membuat dokter bekerja dua kali mbak”

(69)

Baptis Batu Jawa Timur. Hal ini dikarenakan dengan mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang, maka frekuensi pemberian seftriakson menjadi lebih jarang dibandingkan dengan antibiotika jenis lainnya (Gootz, 1990 dan Kalman, et al., 1990).

Berdasarkan hasil penelitian, antibiotika profilaksis yang diberikan kurang dari atau sama dengan 1 jam sebelum operasi. Pemberian antibiotika profilaksis ini sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009) dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) yang merekomendasikan waktu pemberian antibiotika profilaksis 1 jam sebelum operasi.

Dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut 30 menit sampai 1 jam sebelum operasi. Namun tidak selalu terpaku waktu tersebut karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain ruangan operasi masih digunakan untuk operasi lain sehingga pasien yang akan menjalani operasi apendisitis akut harus menunggu terlebih dahulu atau dokter bedah yang menangani pasien operasi apendisitis akut belum tiba di kamar operasi. Hal ini terungkap dalam hasil wawancara berikut:

“Biasanya waktu pemberian disesuaikan dengan permintaan dari kamar operasi, biasanya waktu mau start operasi kamar operasi minta lewat telpon untuk diantarkan antibiotik 30 – 60 menit langsung kita antarkan cuma kadang setelah tiba di kamar operasi tidak langsung diberikan mungkin menunggu dokternya datang dulu ”.

Kepala Instalasi Farmasi “Untuk waktu pemberian profilaksis ini diberikan setengah jam atau satu jam pre op tapi itu juga tergantung kamar OK nya mbak kadang kan masih digunakan jadi kita antri dulu sehingga profilaksis yang diberikan menjadi molor waktunya”.

Gambar

Tabel IX.  Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24 jam
Tabel Distribusi jumlah kasus menurut lama pemberian antibiotika
Gambar 1.  Posisi Apendiks  ……………......…........................................   13
Gambar 1. Posisi Apendiks (Faiz and Moffat, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

3 Hal ini didukung dengan penelitian tentang Tinjauan Sistem Informasi Manajemen Rekam Medis (SIM RM) dalam mendukung kegiatan pencatatan dan pelaporan statistik rumah sakit

Katı bir cismin gerilmeler altındaki iki veya daha çok parçaya ayrılması olayı kırılma olarak adlandırılır ve genellikle gevrek ve sünek olarak iki grupta

Singleton adalah sebuah himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan: pada titik tertentu mempunyai sebuah nilai dan 0 di luar titik tersebut. Model

Masih terdapatnya kesenjangan sementara tercapainya pemerataan kesejahteraan ekonomi dan sosial baik bagi masyarakat umum merupakan tujuan umum perseroan maupun koperasi

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong untuk maju.Karena pengembangan pesantren

Deskripsi Mata Kuliah : Matakuliah ini membahas tentang: penerapan hasil penemuan IPA dalam teknologi; penerapan fisika, biologi, dan kimia, dalam kehidupan

Lawler [Law07] has recently announced a new proof of the lower bound by using a modified ver- sion of the second moment method that does not explicitly require an estimate on

[r]