INTISARI
Paraphenylenediamine (PPD) merupakan senyawa yang terdapat dalam
pewarna rambut oksidatif dan dapat menembus kulit secara difusi, menyebabkan dermatitis kontak alergi hingga kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinetika penetrasi PPD yang terdapat dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia untuk keperluan asesmen risiko. Hasil dibandingkan antara kulit orang Asia dan Kaukasia untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan penetrasi PPD pada kulit dengan ras yang berbeda.
Penelitian ini terdiri dari uji difusi dengan aparatus Franz Diffusion Cell
(FDC) untuk mengetahui massa PPD yang terdapat dalam kompartemen akseptor FDC. Massa PPD yang didapat dari respon sistem dibuat grafik konsentrasi terhadap waktu dan ditentukan profil kinetika penetrasi PPD. Hasil persen penetrasi PPD dibandingkan dengan penelitian serupa yang menggunakan kulit orang Kaukasia dalam uji difusinya.
Berdasarkan hasil penelitian, lag time penetrasi PPD adalah sebesar 0,66 ±
0,24 jam, koefisien permeabilitas sebesar 0,28 ± 0,19 cm/jam, dan DAeventsebesar
45 ± 15 µg/cm2-event. Hasil persen penetrasi PPD menunjukkan terdapat
perbedaan antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.
Kata kunci: paraphenylenediamine (PPD), kinetika penetrasi, kulit orang Asia
ABSTRACT
Paraphenylenediamine (PPD) is a compound that can be found in oxidative hair dye and may cross the skin through diffusion, causing diseases such as allergic contact dermatitis or even cancer. The purpose of this research is to understand penetration kinetics of PPD in oxidative hair dye on human skin in order to assess risk behind utilization of the respective product. The result will be compared between Asian and Caucasian skin to know whether there is difference
between penetrations of PPD based on different skin’s race.
This research consists of diffusion test using Franz Diffusion Cell (FDC) apparatus to determine the mass of PPD in the donor compartment of FDC. The mass of PPD that calculated through system response was made into a graphic of concentration against time and penetration kinetics of PPD was determined.
Based on the results, the PPD penetration lag time was 0,66 ± 0,24 hour, the permeability coefficient was 0,28 ± 0,19 cm/hour, and the DAevent was 45 ± 15 µg/cm2-event. The penetration percentage results showed difference between Asian skin PPD penetrations with that of Caucasian.
Key words: paraphenylenediamine (PPD), penetration kinetics, Asian and
KINETIKA PENETRASI PARAPHENYLENEDIAMINE (PPD) DALAM PEWARNA RAMBUT OKSIDATIF PADA KULIT MANUSIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Canly Hansen Sudirman
NIM : 118114069
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
By three methods we may learn wisdom: first, by reflection, which is noblest; second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest – Confucius
When wehit our lowest
point, weare open to thegreatest
change – Avatar Aang
Being part of something special doesn't make you special.
Something is special because you are a part of it – Rachel Berry
Someday, I will be in the middle of New York City, come hell or high
water – Canly Hansen Sudirman
Tulisan ini kudedikasikan untuk almarhum papaku, mama dan
keluargaku, guru-guru dan dosen-dosenku, teman-temanku, almamaterku
vii
PRAKATA
Segala syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
naskah skripsi yang berjudul ”Kinetika Penetrasi Paraphenylenediamine (PPD)
dalam Pewarna Rambut Oksidatif pada Kulit Manusia” dengan baik. Skripsi ini
disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu Program Studi Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Terselesaikannya penulisan naskah ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan saran, arahan, dan bimbingan kepada penulis mulai dari
berjalannya penelitian hingga penyusunan naskah skripsi.
3. F. Dika Octa Riswanto, M.Si., selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan.
4. Jeffry Julianus, M.Si., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan.
5. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Sc., Apt.,selaku dosen pembimbing akademik atas
pendampingan dan perhatiannya terhadap perkembangan saya selama
viii
6. Sanjayadi, M.Si., atas pendampingan luar biasa beliau terutama ketika
menghadapi masalah dalam penelitian.
7.
C. M. Ratna Rini Nastiti, M. Pharm., Apt., atas diskusi tentang beberapa topikyang berkaitan dengan penelitian.
8.
Kemendiknas RI atas program Beasiswa Unggulan yang diberikan selamamasa perkuliahan penulis
9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
atas ilmu, pengalaman, semangat, dan persahabatan yang telah dibagikan
10. Staf Laboratorium Kimia Analisis Instrumental (Bimo), Kimia Analisis
(Kunto), Kimia Organik (Suparlan), dan Analisis Pusat (Bima) yang telah
banyak membantu selama penelitian.
11. Keluarga tercinta Mama, Willy, Jilly, Khiongsuk, Aso, dan Hong-hong,
terima kasih atas dukungan baik berupa moril maupun materiil sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan, and to my belated father in heaven that has
always been in my heart. Thank you. I have nothing but the tip of my hat.
12. PPDers yang paling awesome, Verni Emelia, Cynthia Feliana, dan Rose
Verginie Erita atas kerja samanya, canda tawanya, pelajarannya sehingga
penelitian ini akhirnya dapat terselesaikan. See you guys in the next project.
13. Teman-temanku, anak-anak Gang Makmur Indah Siantan, Rika (Buma),
Bede, Ayen, Botan, Besi, Asan, terima kasih, akhirnya temanmu Jawba, yang
berasal dari Siantan alias slum Pontianak, bisa mencapai salah satu tahapan
ix
14. Teman-teman penulis, Handika, anak-anak kos Cina Ponti, anak-anak kos
Dewi, terima kasih atas pelajarannya dan canda tawanya. Yogyakarta tidak
berasa hampa jadinya.
15. Ko Chris dan Wuri Kinanti, upperclassmen yang sangat saya respect.
16. Teman-teman angkatan 2011 yang selalu memberi bantuan, dukungan, dan
canda tawa semasa kuliah.
17. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan skripsi ini baik
dalam bentuk doa, semangat yang menyertai penulis dari awal penelitian
sampai penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan
dan kelemahan karena keterbatasan pikiran, tenaga, dan waktu penulis. Untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir
kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca semua.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
xi
1. Absorpsi transepidermal ... 16
2. Absorpsi transappendageal ... 17
E.Franz Diffusion Cell (FDC) ... 20
F. Kinetika Penetrasi ... 22
G.High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ... 24
H.Landasan Teori ... 24
I. Hipotesis ... 25
BAB III METODE PENELITIAN ... 26
A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26
B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 26
1. Variabel Penelitian ... 26
2. Definisi Operasional ... 27
C.Bahan Penelitian... 28
D.Alat Penelitian ... 28
E.Tata Cara Penelitian ... 29
1. Pembuatan fase gerak untuk sistem HPLC ... 29
xii
3. Pembuatan kurva baku PPD ... 29
4. Uji difusi dengan FDC ... 30
F. Analisis Hasil ... 32
1. Kurva baku PPD ... 32
2. Profil kinetika penetrasi PPD ... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A.Pembuatan PBS pH 7,4 Konsentrasi 0,01 M ... 36
B.Pembuatan Kurva Baku PPD ... 37
C.Penetapan Profil Kinetika Penetrasi PPD ... 38
1. Penyiapan sampel ... 39
2. Preparasi kulit khatan (praeputium) ... 40
3. Penetapan lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD ... 41
D.Perbandingan penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia ... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 62
A.Kesimpulan ... 62
B.Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
LAMPIRAN ... 67
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Koefisien permeabilitas kulit terhadap air dari beberapa
spesies ... 14
Tabel II. Lag time dari tiap percobaan ... 46
Tabel III. Massa PPD dalam kompartemen donor dan Cdonor dari tiap
percobaan ... 48
Tabel IV. Koefisien permeabilitas pada tiap percobaan ... 48
Tabel V. Dose absorbed per event (DAevent) pada tiap percobaan... 53
Tabel VI. Perbandingan hasil penetrasi penelitian penulis dan
xiv
Gambar 4. Hubungan dermal absorption orto-fenilfenol dengan waktu
pada beberapa jenis kulit ... 19
Gambar 5. Pengaruh ras pada absorpsi perkutan asam benzoat, kafein,
dan asam asetil salisilat pada kulit orang Asia (A), kulit
orang hitam (B), dan kulit orang Kaukasia (C) ... 20
Gambar 6. Franz Diffusion Cell (FDC) ... 22
Gambar 7. Lag time dapat ditentukan berdasarkan grafik hubungan
antara jumlah obat yang terpenetrasi dengan waktu ... 23
Gambar 8. Skema FDC ... 31
Gambar 9. Kurva hubungan massa PPD dengan AUC... 37
Gambar 10. Hubungan konsentrasi suatu senyawa pada kompartemen
donor terhadap waktu untuk infinite dose dan finite dose ... 43
Gambar 11. Grafik hubungan antara massa PPD terukur dalam
kompartemen akseptor FDC dengan waktu (hasil dari
Percobaan I) ... 45
Gambar 12. Grafik hubungan antara massa PPD terukur dalam
kompartemen akseptor FDC dengan waktu dengan titik-titik
xv
Gambar 13. Grafik hubungan antara konsentrasi PPD pada kompartemen
akseptor FDC dengan waktu pada titik-titik yang
memberikan steady state... 47
Gambar 14. Stratum korneum dan dua jalur utama pergerakan senyawa
menembus stratum korneum ... 50
Gambar 15. Air akan berperan sebagai penetration enhancer dan akan
mempengaruhi berinteraksi dengan ujung polar dari lipid
bilayer pada daerah interseluler stratum korneum ... 51
Gambar 16. Kromatogram sampel pada jam ke- (a) 2 (b) 4,5 (c) 5,5 ... 55
Gambar 17. Bagian kulit pada penis yang kulit khatannya ditarik ke
pangkal penis (kanan) dan tidak ditarik (kiri) ... 58
Gambar 18. Kulit khatan (praeputium) ... 59
Gambar 19. Penampakan kulit pada membran mukosa (A), skrotum (B),
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Sertifikat analisis baku PPD ... 68
Lampiran 2. Ethical clearance penelitian ... 69
Lampiran 3. Penimbangan sampel pewarna rambut oksidatif tiap kemasan untuk perhitungan keseragaman bobot ... 70
Lampiran 4. Seri larutan baku ... 71
Lampiran 5. Penetapan massa PPD pada kompartemen akseptor FDC (Percobaan I) ... 72
Lampiran 6. Contoh perhitungan lag time (Percobaan I) ... 73
Lampiran 7. Contoh perhitungan Cdonor (Percobaan I) ... 73
Lampiran 8. Contoh perhitungan Kp (Percobaan I) ... 74
xvii
INTISARI
Paraphenylenediamine (PPD) merupakan senyawa yang terdapat dalam
pewarna rambut oksidatif dan dapat menembus kulit secara difusi, menyebabkan dermatitis kontak alergi hingga kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinetika penetrasi PPD yang terdapat dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia untuk keperluan asesmen risiko. Hasil dibandingkan antara kulit orang Asia dan Kaukasia untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan penetrasi PPD pada kulit dengan ras yang berbeda.
Penelitian ini terdiri dari uji difusi dengan aparatus Franz Diffusion Cell
(FDC) untuk mengetahui massa PPD yang terdapat dalam kompartemen akseptor FDC. Sampel pewarna rambut oksidatif diaplikasikan pada kulit khatan (praeputium) orang Asia yang terpasang pada FDC. Cairan pada kompartemen
akseptor FDC diambil pada tiap waktu yang telah ditentukan dan diinjekkan pada sistem High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Massa PPD yang
didapat dari respon sistem dibuat grafik konsentrasi terhadap waktu dan ditentukan profil kinetika penetrasi PPD. Hasil persen penetrasi PPD dibandingkan dengan penelitian serupa yang menggunakan kulit orang Kaukasia dalam uji difusinya.
Berdasarkan hasil penelitian, lag time penetrasi PPD adalah sebesar 0,66 ±
0,24 jam, koefisien permeabilitas sebesar 0,28 ± 0,19 cm/jam, dan DAeventsebesar
45 ± 15 µg/cm2-event. Hasil persen penetrasi PPD menunjukkan terdapat
perbedaan antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.
Kata kunci: paraphenylenediamine (PPD), kinetika penetrasi, kulit orang Asia
dan Kaukasia, Franz Diffusion Cell (FDC)
xviii ABSTRACT
Paraphenylenediamine (PPD) is a compound that can be found in oxidative hair dye and may cross the skin through diffusion, causing diseases such as allergic contact dermatitis or even cancer. The purpose of this research is to understand penetration kinetics of PPD in oxidative hair dye on human skin in order to assess risk behind utilization of the respective product. The result will be compared between Asian and Caucasian skin to know whether there is difference between penetrations of PPD based on different skin’s race.
This research consists of diffusion test using Franz Diffusion Cell (FDC) apparatus to determine the mass of PPD in the donor compartment of FDC. Oxidative hair dye sample was applied to Asian’s prepuce that has been set on the
FDC. The fluid of FDC acceptor compartment was taken on determined time and injected in HPLC. The mass of PPD that calculated through system response was made into a graphic of concentration against time and penetration kinetics of PPD was determined. The penetration percentage was compared with similar research that used Caucasian’s skin in the diffusion test.
Based on the results, the PPD penetration lag time was 0,66 ± 0,24 hour, the permeability coefficient was 0,28 ± 0,19 cm/hour, and the DAevent was 45 ± 15 µg/cm2-event. The penetration percentage results showed difference between
Asian skin PPD penetrations with that of Caucasian.
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pada saat ini, penampilan menarik merupakan kebutuhan bagi sebagian
masyarakat. Hal ini tidak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi dan
munculnya berbagai kosmetik yang mampu meningkatkan daya tarik seseorang
dari segi penampilan. Salah satu kosmetik yang banyak beredar di masyarakat
adalah pewarna rambut. Sediaan pewarna rambut adalah sediaan kosmetik yang
digunakan dalam tata rias rambut untuk mewarnai rambut atau untuk
mengembalikan warna rambut asalnya (Dirjen POM RI, 1985).
Produk pewarna rambut mudah ditemui di pasaran karena permintaan
akan produknya semakin meningkat pula. Semakin banyak orang yang
menggunakan produk ini, faktor keamanan cenderung menjadi hal yang penting
untuk diperhatikan, terlebih lagi untuk produk seperti kosmetik yang tidak
dibatasi dalam penggunannya. Faktor ini menjadi semakin penting karena
berdasarkan beberapa penelusuran, pewarna rambut diketahui dapat menyebabkan
rambut rontok, kulit kepala terasa terbakar sesak nafas, dan rasa gatal (FDA,
2013).
Pada tahun 2006, regulator di Eropa melarang sebanyak 22 produk
pewarna rambut karena produk-produk tersebut memiliki risiko kanker kandung
kemih (Boyles, 2006). Terkuaknya beberapa kasus yang terjadi akibat penggunaan
komposisinya. Pewarna rambut yang tersedia di pasaran dapat berupa pewarna
rambut alami dan sintetis. Henna adalah salah satu contoh pewarna alami yang
sebenarnya lebih dikenal sebagai pewarna tato, namun tidak sedikit pula yang
menggunakan henna sebagai pewarna rambut karena murah dan mudah didapat.
Henna yang digunakan untuk pewarnaan biasanya sudah berupa serbuk yang
diolah dari daun dan bunga tanamannya, yaitu Lawsonia inermis. Serbuk henna
dicampurkan dengan air atau minyak dan diaplikasikan ke rambut selama 2-6 jam
agar warna dapat bertahan lama. Durasi aplikasi yang lama ini lantas membuat
pengguna berusaha mempercepat durasinya dengan menambahkan zat lain
(Brancaccio, Brown, Chang, Fogelman, Mafong, and Cohen, 2002).
Paraphenylenediamine (PPD) adalah pewarna rambut sintetis dengan
sifat oksidatif yang biasa ditambahkan pada henna untuk mempercepat durasi
aplikasi dan membuat hasil warna bertahan lebih lama. Adanya prekursor warna
ini dalam kandungan pewarna henna dapat mempercepat durasi aplikasi hingga
beberapa kali lipat, sehingga banyak orang tertarik untuk menambahkan senyawa
ini dalam campuran pewarna rambut. Sejak itulah mulai muncul berbagai
penelitian mengenai efek PPD pada rambut dan kemungkinan adanya efek
samping yang dapat dimunculkan dari penggunaan senyawa ini (Brancaccio et al.,
2002).
Pada tahun 2011, seorang wanita berusia 41 tahun dilaporkan mengalami
edema pada wajah dan kerontokan rambut disertai gatal berlebih pada kulit
kepala. Gejala tersebut dirasakan beberapa hari setelah pemakaian pewarna
dermatitis kontak yang disebabkan oleh penggunaan pewarna rambut oksidatif
yang mengandung PPD (Ishida, Makino, and Shimizu, 2011). Reaksi alergi
terhadap pewarna rambut oksidatif yang mengandung PPD yang paling lazim
terjadi adalah dermatitis kontak alergi. Pada tahun 1991, pernah dilakukan
penelitian terhadap reaksi alergi terhadap PPD di Rumah Sakit Dr Pirngadi dan
hasilnya PPD menjadi alergen penyebab terbanyak ketiga pada pasien di rumah
sakit tersebut. Pada tahun 2004, penelitian dermatitis kontak alergi akibat PPD
dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik di Medan dan
menunjukkan hasil berupa 80% penderita dermatitis kontak alergi positif terhadap
uji tempel PPD. Sebanyak 22 pasien dari penderita tersebut datang ke poliklinik
setelah berkali-kali mengalami gejala alergi karena mewarnai rambutnya. Reaksi
alergi terhadap PPD tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Italia, reaksi alergi ini
mencapai 24,2%, sedangkan di Denmark mencapai 29% (cit., Pardede, Nababan,
dan Mahadi, 2008). Pada tahun 2006, PPD menerima award sebagai allergen of
the year oleh American Contact Dermatitis Society, yang dilakukan untuk
meningkatkan kewaspadaan regulator dan konsumen dunia terhadap penggunaan
produk yang mengandung PPD.
Dalam pemakaian pewarna rambut, secara tidak langsung sediaan dari
pewarna rambut tersebut akan terlapisi di atas kulit kepala. Sampel pewarna
rambut dibiarkan selama beberapa lama agar PPD dapat masuk ke bagian korteks
rambut hingga membentuk produk oksidasi berupa zat warna. Durasi aplikasi ini
bervariasi antara 5 hingga 45 menit antara sampel yang satu dengan yang lain.
difusi menembus jaringan kulit. Berdasarkan Scientific Committee on Cosmetic
Products and Non-Food Products Intended for Consumers (SCCNFP) tentang
PPD (2002), uji absorpsi perkutan PPD pernah dilakukan untuk mengetahui
kumulatif penetrasi PPD. Kumulatif penetrasi mencapai 4,47 µg/cm2 dan
menghasilkan margin of safety (MOS) sebesar 77. Percobaan SCCNFP yang lain
meliputi skin painting menggunakan pewarna rambut oksidatif menunjukkan
adanya peningkatan tumor pada tikus jantan dan betina.
Pada zaman sekarang, studi kinetika penetrasi terhadap senyawa kimia
menjadi hal yang penting untuk memberikan keamanan pada konsumen, terutama
senyawa kimia yang terdapat pada produk-produk yang pemakaiannya secara
berkala. Senyawa toksik yang masuk menembus kulit hingga sirkulasi darah dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit ketika dosis senyawa tersebut melampaui
batas toksik. Dosis senyawa tersebut perlu ditentukan agar dapat diketahui
seberapa besar dosis yang tidak melebihi batas toksik, sehingga produk dapat
digunakan dengan aman. Pengkajian dari segi keamanan inilah yang mendorong
penulis untuk mengetahui profil kinetika penetrasi PPD yang meliputi lag time,
koefisien permeabilitas, dan dose absorbed per event (DAevent) PPD dalam suatu
sampel pewarna rambut oksidatif yang terdapat di pasaran. Profil kinetika
penetrasi PPD ini berguna untuk asesmen risiko PPD.
Penelitian ini melalui serangkaian proses yang mencakup pengaplikasian
sampel pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia dengan pemodelan aparatus
difusi Franz Diffusion Cell (FDC). Paraphenylenediamine (PPD) yang terdapat
Bagian kompartemen akseptor FDC yang berisi cairan fisiologis diambil lalu
diinjekkan ke sistem High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Melalui
respon sistem yang didapat, massa PPD dapat ditentukan. Massa tersebut dibuat
grafik massa terhadap waktu dan digunakan untuk menentukan profil kinetika
penetrasi PPD.
Pada uji difusi dengan FDC, kulit manusia yang digunakan adalah kulit
orang Asia, secara spesifik yaitu kulit khatan (praeputium). Berdasarkan
penelitian Lee dan Hwang (2002), kulit orang Asia memiliki proporsi epidermis
yang lebih besar daripada orang Kaukasia. Epidermis dapat terbagi atas beberapa
lapisan dan lapisan utama yang berperan sebagai barrier utama bagi senyawa agar
dapat masuk menembus kulit menuju sirkulasi sistemik adalah stratum korneum.
Hal ini menyebabkan kemampuan masuk suatu senyawa sangat tergantung pada
susunan dan ketebalan stratum korneum. Pada tahun 2004, Hueber-Becker,
Nohynek, Meuling, Benech-Kieffer, dan Toutain melakukan penelitian terhadap
masuknya PPD pada kulit orang Kaukasia dan berhasil melakukan penetapan
kumulatif penetrasi PPD pada kompartemen akseptor FDC. Hasil persen penetrasi
yang didapat dalam penelitian ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian
Hueber-Becker et al. (2004) sehingga dapat diketahui apakah terdapat perbedaan
antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.
Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian asesmen risiko terhadap
penggunaan produk kosmetik, khususnya pewarna rambut oksidatif yang
mengandung PPD. Profil kinetika penetrasi yang didapatkan melalui uji difusi
setiap penggunaan produk, sekaligus informasi tentang perbandingan penetrasi
PPD antara kulit dengan ras yang berbeda.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, maka timbul permasalahan sebagai berikut:
a. Berapakah nilai lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD dalam
pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia?
b. Apakah terdapat perbedaan persen penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif
antara kulit orang Asia dan Kaukasia?
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran literatur, penelitian tentang efek PPD pada kulit
manusia sudah banyak dilakukan. Penetapan nilai kumulatif penetrasi PPD
pewarna rambut oksidatif pernah dilakukan oleh Hueber-Becker et al. (2004) pada
kulit orang Kaukasia, namun penelitian serupa dengan menggunakan kulit orang
Asia belum pernah dilakukan. Selain itu, terdapat beberapa modifikasi pada
metode uji difusi dengan FDC, sehingga berbeda dengan penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang profil kinetika penetrasi PPD dalam pewarna rambut oksidatif pada
kulit manusia dan ada atau tidaknya perbedaan persen penetrasi PPD pewarna
b. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai prosedur penetapan profil kinetika penetrasi PPD dalam pewarna
rambut oksidatif pada kulit manusia dan ada atau tidaknya perbedaan persen
penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif antara kulit orang Asia dan Kaukasia.
c. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang keamanan produk perwarna rambut yang beredar di pasaran.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD dalam pewarna rambut
oksidatif pada kulit manusia
b. Ada atau tidaknya perbedaan persen penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pewarna Rambut
Sediaan pewarna rambut adalah sediaan kosmetik yang digunakan dalam
tata rias rambut untuk mewarnai rambut atau untuk mengembalikan warna rambut
asalnya (Dirjen POM, 1985).
Pada umumnya, terdapat berbagai jenis pewarna rambut di pasaran, yaitu
yang bersifat alami seperti henna, atau sintetis seperti PPD. Henna adalah pewarna
alami yang berasal dari daun dan bunga tanaman Lawsonia inermis. Ekstrak
henna sering digunakan untuk memberi warna rambut ataupun sebagai tato.
Sayangnya, untuk mendapatkan warna yang mampu melekat lama, serbuk henna
yang telah dicampurkan dengan air atau minyak membutuhkan waktu aplikasi
yang cukup lama, yaitu berkisar 2-6 jam. Untuk mempercepat waktu aplikasi,
henna sering ditambahkan pewarna rambut sintetis seperti PPD. Meski begitu,
tidak semua sampel pewarna rambut lantas mengandung PPD. Terdapat pula
sampel yang murni hanya mengandung pewarna rambut alami (Brancaccio et al.,
2002).
Pewarna rambut sintetis seperti PPD tergolong pewarna rambut
permanen, dan juga dikenal sebagai pewarna rambut oksidatif. Pada umumnya,
pewarna ini terdiri dari dua komponen ekspien yang harus dicampurkan ketika
akan digunakan. Dua komponen tersebut adalah alkaline agent (colorant) dan
rambut luar sehingga prekursor warna dapat lebih mudah terpenetrasi pada
korteks rambut. Oxidation agent akan menghilangkan warna alami dan
menghasilkan oksigen sehingga prekursor warna akan mengalami oksidasi. Hasil
oksidasi berupa produk oksidasi berwarna yang memiliki ukuran molekul lebih
besar dari prekursor warna sehingga akan tertahan dalam korteks rambut. Produk
oksidasi berwarna ini resisten terhadap pencucian sehingga dapat memberikan
warna permanen. Oksigen yang dihasilkan akan meringankan pigmen melanin
alami dalam rambut sehingga warna baru dapat terlihat, menggantikan warna
alami rambut. Kebanyakan proses pewarnaan rambut meliputi dua proses yang
berlangsung secara berkesinambungan, yaitu terjadinya penghilangan warna alami
rambut diikuti proses pemberian warna baru (Helmenstine, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian, daya oksidatif pewarna rambut ternyata
dapat merusak rambut dan menyebabkan dermatitis kontak alergi. Adapun
penggunaan pewarna jenis lain, seperti pewarna non-oksidatif memberikan hasil
yang kurang memuaskan karena warnanya yang tidak tahan lama pada rambut
(Acton, 2013).
B. Paraphenylenediamine (PPD)
Paraphenylendiamine (PPD) atau disebut juga 1,4-diaminobenzen atau
1,4-fenilendiamin adalah suatu amin aromatik yang digunakan dalam hampir
setiap pewarna rambut di pasaran. Senyawa yang mudah teroksidasi ini memiliki
berat molekul 108,14 g/mol, koefisien partisi (Kow) sebesar -0,25, memiliki rumus
Occupational of Safety and Healthy, 2015). Paraphenylendiamine (PPD)
digunakan dalam pewarna rambut karena memberikan hasil yang tampak alami,
menguatkan warna yang gelap dan warnanya tahan lama. Berdasarkan Daftar
Bahan yang Diizinkan Digunakan dalam Kosmetik dengan Pembatasan dan
Persyaratan Penggunaan pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik
(2008), kadar maksimum PPD yang diperbolehkan dalam pewarna rambut adalah
6%.
Gambar 1. Struktur PPD (COLIPA, 2006).
Paraphenylendiamine (PPD) dikenal sebagai alergen yang kuat, menjadi
berwarna pada saat teroksidasi, dan keadaan teroksidasi sebagian menyebabkan
alergi bagi individu yang sensitif. Paparan terhadap PPD selanjutnya, meski dalam
konsentrasi rendah dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
bermanifestasi sebagai dermatitis kontak alergi (Pardede dkk., 2008).
C. Kulit
Kulit adalah organ terbesar tubuh, dengan luas permukaan mencapai 1,8
mengandung berbagai lapisan dan appendage, seperti kelenjar keringat, folikel
rambut dan kelenjar minyak. Fungsi utama dari kulit adalah untuk menyediakan
barrier perlindungan antara tubuh dengan lingkungan luar. Meski begitu, senyawa
kimia baik secara sengaja atau tidak sengaja dapat terpenetrasi ke kulit. Dengan
luas permukaan yang sebegitu besar, kulit menjadi salah satu rute utama
masuknya senyawa kimia ke tubuh (Kielhorn, Melching, and Mangelsdorf, 2006).
Seperti tampak pada Gambar 2, struktur serta fungsi dari kulit manusia terdiri dari
tiga bagian utama, yakni epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Stratum
korneum adalah bagian epidermis non-viable.
Struktur kulit yang berperan dalam penetrasi obat ke kulit meliputi:
1. Stratum korneum
Stratum korneum (epidermis non-viable) merupakan lapisan kulit paling
luar yang merupakan penghalang utama masuknya senyawa asing. Rata-rata
ketebalan stratum korneum adalah 31-637 μm dengan struktur terdiri dari brick
dan mortar yang merupakan barrier pengontrol kecepatan dalam absorpsi
transdermal (Lee and Kwang, 2002). Lapisan ini tersusun atas sel korneosit yang
tersusun rapat. Sel-sel yang telah kehilangan inti dan tidak memilik aktivitas
metabolisme lagi ini lebih bersifat polar, sedangkan bagian interseluler berisi lipid
bilayer yang mengisi ruang diantara sel. Sel squamosa ini akan menghalangi
materi lipofil untuk masuk, sedangkan materi hidrofil akan sulit menembus bagian
interseluler stratum korneum (Walker and Smith, 1996).
2. Epidermis
Lapisan ini merupakan bagian dari kulit yang berlapis-lapis dengan
ketebalan 100-150 µm. Kebanyakan penyusun lapisan ini adalah sel keratinosit
yang terbentuk dari diferensiasi dari sel pada lapisan stratum basal. Sel-sel ini
dibentuk oleh stem cell yang terus membelah dan secara perlahan akan bergerak
keluar dari stratum basal menuju lapisan di atasnya.
3. Dermis
Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 2 sampai 5 mm dan tersusun atas
jaringan ikat yang mengandung banyak serat elastin dan kolagen, serta sejumlah
besar pembuluh darah dan ujung-ujung saraf khusus. Pembuluh darah dermis
dalam mengatur suhu tubuh. Dermis bertanggung jawab terhadap ketebalan kulit.
Ketebalan lapisan dermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh dan berbagai
tingkat umur (Benson, 2012).
Kulit dapat terbagi atas kulit otentik dan sintetik. Kulit otentik berasal
dari subyek penelitian yang spesiesnya dapat berupa manusia dan hewan,
sedangkan kulit sintetik merupakan kulit buatan yang permeabilitasnya dibuat
sedemikian rupa menyerupai kulit otentik. Kedua jenis kulit ini berbeda dan
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dalam penggunaannya
sebagai membran untuk uji absorpsi perkutan. Kulit otentik dapat
menggambarkan penetrasi suatu senyawa dengan profil permeabilitas sesuai
dengan jenis kulit yang diteliti. Oleh karena itu, hasilnya lebih akurat dan proses
difusi dapat dibandingkan dari tiap spesies kulit otentik yang digunakan.
Meskipun demikian, jumlah kulit otentik terbatas pada subyek penelitian yang
tersedia, khususnya kulit manusia. Kulit manusia tidak selalu tersedia dan
diperlukan ethical clearance dalam melaksanakan penelitian (sesuai dengan
ethical consideration nasional dan internasional tentang penggunaan kulit
manusia dalam penelitian), sedangkan penggunaan kulit sintetik tidak dibatasi.
Berbeda dengan kulit otentik, kulit sintetik atau artificial skin dapat
dibuat sesuai dengan permeabilitas yang diinginkan. Kulit ini dibuat dengan
mempertimbangkan baik material hidrofil maupun hidrofob yang terdapat pada
kulit. Pembuatan kulit sintetik dimaksudkan agar dapat menjadi alternatif di
samping pilihan menggunakan kulit otentik yang jumlahnya terbatas. Namun
sintetik tidak direkomendasikan untuk uji in vitro karena adanya perbedaaan
fungsi fisiologis dari kulit sintetik apabila dibandingkan dengan kulit otentik.
Penelitian yang dilakukan oleh Heylings, van de Sandt, Gilde, dan Ward (2001)
dan Ponec et al. (2001) menunjukkan bahwa pengukuran penetrasi senyawa pada
kulit sintetik tidak konsisten antara pengukuran yang satu dengan yang lainnya.
Penelitian mengenai absorpsi perkutan dengan jenis kulit otentik dapat
dilakukan dengan kulit manusia atau hewan seperti babi, tikus, mencit, marmut,
dan monyet. Perbedaan jenis kulit yang digunakan terdapat pada permeabilitas
kulit masing-masing yang disebabkan adanya perbedaan susunan stratum
korneum dan ketebalan kulit pada tiap spesies seperti yang terlihat pada Tabel I.
Senyawa akan lebih mudah menembus kulit dengan permeabilitas yang lebih
tinggi (Scott, Walker, dan Dugart, 1986).
Tabel I. Koefisien permeabilitas kulit terhadap air dari beberapa spesies (Scott et al., 1986)
Spesies Galur Koefisien permeabilitas kulit terhadap air (cm/h x 10-5)
Manusia 93
Mencit Wistar Alpk/AP 103
Hairless 103
Tikus Alpk/AP 144
Hairless 350
Kelinci New Zealand White 253
Beberapa jenis kulit hewan memiliki permeabilitas yang lebih tinggi
daripada kulit manusia, seperti tikus dan kelinci. Jenis kulit yang memiliki
permeabilitas yang mirip dengan manusia adalah kulit babi dan monyet. Meski
begitu, penggunaan kulit manusia lebih dipilih karena hasil kumulatif penetrasi
akan lebih akurat, mengingat tujuan akhir penelitian adalah untuk mendapatkan
dan Barry (1990: 235) dalam penelitiannya menyatakan bahwa “An overall
conclusion is that, whenever possible, human skin should be used in absorption
studies and not hairless mouse or snake skin; otherwise, misleading results may
be obtained”.
Permeabilitas kulit juga dapat dipengaruhi oleh usia subyek penelitian.
Secara umum, kulit yang berusia lebih tua memiliki stratum korneum yang lebih
kering, aktivitas kelenjar minyak yang lebih kecil sehingga jumlah lipid pada
permukaan kulit ikut menurun, dan batas antara epidermis dan dermis menjadi
lebih lebar. Stratum korneum yang lebih kering akan mempersulit masuknya
senyawa yang bersifat hidrofil karena kandungan air yang lebih kecil.
Meningkatnya jumlah lipid pada permukaan kulit dan melebarnya batas antara
epidermis dan dermis akan menurunkan permeabilitas kulit. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa kulit yang lebih tua akan memperkuat fungsi barrier kulit
(Roskos et al., 1989).
Kulit khatan (praeputium) adalah kulit manusia yang merupakan
perpanjangan kulit batang penis. Kulit ini merupakan satu-satunya kulit manusia
yang terdiri atas lapisan kulit (epidermis dan dermis) pada bagian luar dan
membran mukosa pada bagian dalamnya. Kulit khatan berfungsi melindungi
kepala penis (glans) dan lubang kencing (meatus). Membran mukosa pada bagian
dalam kulit khatan bertugas menjaga agar kepala penis tetap lembab dan
menghasilkan lubrikan alami pada penis. Kulit pada bagian ujung penis
kulit dan membran mukosa. Daerah ini memiliki tekstur bergelombang pada
keadaan biasa (Cold, Taylor, 1999).
D. Absorpsi Perkutan
Senyawa dapat masuk ke kulit berdasarkan proses difusi. Difusi adalah
proses berpindahnya suatu zat dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah
yang berkonsentrasi rendah, yang dalam proses perpindahannya tidak dibutuhkan
energi. Pada absorpsi perkutan, senyawa berdifusi dari permukaan kulit ke dalam
stratum korneum dibawah pengaruh gradien konsentrasi dan juga berdifusi
melalui epidermis, melalui dermis, dan ke dalam sirkulasi darah (Sinha andKaur,
2000). Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses
difusi melalui dua mekanisme:
1. Absorpsi transepidermal
Jalur absorpsi transepidemal merupakan jalur difusi melalui stratum
korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transseluler dan jalur
interseluler. Jalur transseluler artinya melalui sel korneosit yang bersifat polar dan
melewati daerah interseluler yang kaya akan lipid. Jalur transseluler awalnya
dikira menjadi jalur utama untuk transpor zat melalui kulit, namun ternyata bukti
eksperimental menunjukkan bahwa jalur tanspor utama melalui stratum korneum
adalah melalui jalur interseluler. Pada jalur interseluler, senyawa akan masuk
melalui ruang antar sel, yaitu bagian interseluler yang bersifat lipofil (Murthy,
Narasimha, 2011). Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap.
obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan
dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis (Anggraeni,
2008).
2. Absorpsi transappendageal
Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui
folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori
diantaranya sehingga memungkinkan obat berpenetrasi (Anggraeni, 2008). Jalur
ini kurang signifikan dalam transportasi zat karena mempunyai luas permukaan
yang kecil yaitu hanya sebesar 0,1% dari luas permukaan kulit (Murthy,
Narasimha, 2011).
Gambar 3. Jalur masuknya senyawa ke kulit (Lane, 2013)
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan senyawa:
1. Konsentrasi senyawa dalam sediaan
Bila konsentrasi senyawa dalam sediaan semakin tinggi, maka jumlah
senyawa yang diabsorpsi per unit luas permukaan akan semakin besar (Ansel,
2. Luas permukaan tempat absorpsi
Bila luas permukaan tempat absorpsi semakin besar, maka jumlah
senyawa yang diabsorpsi per unit luas permukaan akan semakin besar (Ansel,
Howard, 2008).
3. Karakteristik pembawa
Pembawa yang mudah menyebar pada permukaan kulit akan
meningkatkan absorpsi. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit
akan meningkatkan absorpsi (Ansel, Howard, 2008).
4. Hidrasi kulit
Hidrasi stratum korneum akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam
kulit (Ansel, Howard, 2008).
5. Afinitas senyawa terhadap kulit
Senyawa harus mempunyai afinitas terhadap kulit yang lebih besar
terhadap kulit daripada pembawa (Ansel, Howard, 2008).
6. Koefisien partisi senyawa
Koefisien partisi senyawa mempengaruhi kelarutan senyawa dalam
minyak dan air (Ansel, Howard, 2008).
7. Cara aplikasi senyawa pada kulit
Pengolesan dan penggosokan pada kulit akan meningkatkan penetrasi
senyawa ke dalam kulit (Ansel, Howard, 2008).
8. Tempat aplikasi senyawa
Tempat aplikasi senyawa berpengaruh terhadap kemampuan penetrasi
senyawa daripada aplikasi pada bagian kulit yang lebih tebal (Ansel, Howard,
2008). Ketebalan kulit merupakan faktor lainnya yang harus diperhatikan. Secara
umum, kulit yang lebih tebal akan memiliki permeabilitas yang lebih rendah
daripada kulit yang lebih tipis. Dalam studi absoprsi perkutan orto-fenilfenol yang
dilakukan oleh Cnubben et al. (2002), laju penetrasi senyawa pada kulit manusia
dan tikus (meliputi epidermis dan dermis) lebih lambat daripada bagian epidermis
manusia dan tikus seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan dermal absorption orto-fenilfenol dengan waktu pada beberapa jenis kulit (Cnubben et al., 2002)
9. Waktu kontak senyawa dengan kulit
Waktu kontak senyawa yang semakin lama dengan kulit akan
Pada tahun 1993, Lotte, Wester, Rougier, dan Mailbach melakukan
penelitian terhadap absorpsi perkutan beberapa senyawa organik hidrofil, seperti
kafein, asam benzoat, dan asam asetil salisilat pada kulit orang hitam, Asia, dan
Kaukasia. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara
profil penetrasi senyawa hidrofil pada ketiga ras kulit tersebut. Gambar 5
menunjukkan kumulatif penetrasi untuk tiga senyawa berbeda pada tiga ras kulit
yang diteliti.
Gambar 5. Pengaruh ras pada absorpsi perkutan asam benzoat, kafein dan asam asetil salisilat pada kulit orang Asia (A), kulit orang hitam (B), dan kulit orang Kaukasia (C)
(Lotte et al., 1993)
E. Franz Diffusion Cell (FDC)
Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur
kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen
yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah senyawa yang
terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan FDC. Franz Diffusion Cell (FDC)
yang digunakan berupa kulit manusia atau hewan. Membran diletakkan antara
kedua kompartemen, dilengkapi o-ring untuk menjaga letak membran (Anggraeni,
2008).
Kompartemen akseptor diisi dengan larutan penerima. Larutan akseptor
yang digunakan dalam FDC sebaiknya tidak hanya berperan sebagai penerima
obat yang mengalami permeasi tetapi juga menyediakan air, bahan-bahan
biokimia, dan ion-ion yang diperlukan untuk membran kulit dalam
mempertahankan fungsinya dalam permeasi pada pH dan kekuatan osmotik yang
diinginkan. Larutan yang digunakan sebagi kompartemen akseptor yaitu dapat
berupa phosphate buffered saline (PBS), larutan ringer, atau larutan fisiologis
lainnya yang relevan (Friend, 1992).
Faktor penting lain dari larutan akseptor yang perlu diperhatikan yaitu
suhu. Pengaturan suhu larutan akseptor penting untuk meminimalkan adanya
variasi dalam kondisi percobaan. Suhu sebaiknya dijaga pada kondisi fisiologi
normal karena kenaikan temperatur dapat meningkatkan hidrasi dari kulit. Suhu
pada FDC dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket di sekeliling
kompartemen akseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran
kulit. Kemudian pada interval waktu tertentu, cairan dari kompartemen akseptor
diambil untuk dianalisis, dan segera digantikan dengan cairan yang sama sejumlah
cairan yang diambil. Selanjutnya, jumlah senyawa yang terpenetrasi melalui kulit
dapat dianalisis dengan metode yang sesuai (Roberts and Walters, 1998).
Gambar 6. Franz Diffusion Cell (FDC) (Permegear, 2015)
F. Kinetika penetrasi
Kulit merupakan organ penentu terbesar penetrasi suatu senyawa.
Susunannya yang kompleks dan terdiri dari epidermis, dermis, dan berbagai
appendage membuat kulit memiliki pengaruh pada permeabilitas senyawa yang
hendak masuk ke kulit. Penelitian tentang kinetika penetrasi mulai banyak
bermunculan untuk mengetahui gambaran proses penetrasi suatu senyawa melalui
kulit. Koefisien permeabilitas (Kp) adalah parameter utama dalam penentuan
dermal absorption. Nilai Kp digunakan dalam asesmen paparan dermal dan dapat
diketahui dengan cara memahami proses yang dapat mempengaruhi penetrasi
senyawa melalui kulit. Pengetahuan yang mumpuni tentang proses penetrasi
tersebut memungkinkan peneliti dalam menetapkan Kp yang digunakan untuk
menenetukan dosis yang diabsorpsi pada kulit dan asesmen risiko (EPA, 1992).
Sesuai dengan hukum pertama Fick, koefisien permeabilitas dihasilkan
pada steady state dan nilainya dapat ditentukan apabila konsentrasi antar dua
yang masuk dan keluar dari suatu kompartemen memiliki nilai yang sama,
sehingga dapat dikatakan kecepatan masuk dan keluarnya suatu senyawa dari kulit
adalah sama. Pada uji difusi, steady state tidak dapat langsung tercapai sesaat
setelah senyawa melakukan kontak dengan kulit, namun terdapat waktu kontak
untuk mencapai steady state. Waktu ini disebut lag time. Lag time adalah waktu
yang dibutuhkan bagi suatu senyawa untuk mencapai steady state yang
didapatkan dari ekstrapolasi hubungan antara massa senyawa yang terpenetrasi
dengan waktu, seperti yang terlihat pada Gambar 7 (EPA, 1992).
Gambar 7. Lag time dapat ditentukan berdasarkan grafik hubungan antara jumlah obat yang terpenetrasi dengan waktu (EPA, 1992)
Dose absorbed per event (DAevent) adalah dosis senyawa yang terasborbsi
pada tiap kali pemakaian suatu produk. Nilai ini dapat dihitung menggunakan
nilai koefisien permeabilitas. Nilai DAevent perlu dihitungan untuk keperluan
G. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut
dengan HPLC merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk
analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah
bidang, antara lain farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan
industri-industri makanan. Kegunaan umum HPLC adalah untuk pemisahan sejumlah
senyawa organik, anorganik, maupun senyawa-senyawa biologis; analisis
ketidakmurnian (impurities); analisis senyawa-senyawa non-volatil; penentuan
molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian
senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan
senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah
banyak, dan dalam skala proses industri (Gandjar dan Rohman, 2007).
H. Landasan Teori
Paraphenylendiamine (PPD) atau disebut juga 1,4-diaminobenzen atau
1,4-fenilendiamin adalah suatu pewarna rambut oksidatif yang digunakan dalam
hampir setiap pewarna rambut di pasaran. Senyawa ini digunakan dalam pewarna
rambut karena memberikan hasil yang tampak alami, menguatkan warna yang
gelap dan warnanya tahan lama. Dengan FDC, massa PPD bisa didapat dari
pengaplikasian sampel pewarna rambut dan diambil berdasarkan waktu yang telah
ditentukan agar didapatkan hubungan massa PPD dengan waktu. Melalui
hubungan kedua variabel tersebut, kinetika penetrasi yang terdiri dari lag time,
perbedaan pada proporsi epidermis. Stratum korneum merupakan bagian dari
epidermis yang berperan penting dalam penetrasi masuknya suatu senyawa
melalui kulit. Meski begitu pada penelitian yang dilakukan oleh Lotte et al.
(1993), adanya perbedaan ras kulit tidak memiliki pengaruh signifikan pada
penetrasi senyawa hidrofil ke kulit. Paraphenylenediamine (PPD) memiliki sifat
hidrofil dengan Kow sebesar -0,25.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kinetika penetrasi PPD
pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia yang meliputi lag time, koefisien
permeabilitas, dan DAevent, serta mengetahui ada atau tidaknya perbedaaan antara
penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.
I. Hipotesis
Berdasarkan teori, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Profil kinetika penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia
yang meliputi lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent dapat ditentukan
berdasarkan metode penelitian yang dilakukan
2. Tidak terdapat perbedaan antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang kinetika penetrasi PPD dalam pewarna rambut
oksidatif pada kulit manusia termasuk jenis penelitian eksperimental murni
dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah massa
sampel yang diaplikasikan pada kulit dan waktu pengambilan PBS dalam
kompartemen akseptor FDC.
b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah
lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD pewarna rambut oksidatif pada
kulit.
c. Variabel pengacau terkendali. Kemurnian pelarut yang digunakan,
dapat diatasi dengan mengunakan pelarut pro analysis (p.a.).
d. Variabel pengacau tak terkendali. Susunan dan ketebalan kulit yang
2. Definisi operasional
a. Sampel pewarna rambut oksidatif adalah sampel pewarna rambut yang
mengandung PPD dan kadarnya tidak diketahui.
b. Waktu pengambilan cairan PBS dalam kompartemen akseptor FDC adalah
waktu yang dimulai sejak sampel pewarna rambut oksidatif diaplikasikan
ke kulit (pada rangkaian FDC) hingga cairan PBS dalam kompartemen
akseptor FDC diambil (sampling).
c. Lag time adalah waktu yang dibutuhkan bagi PPD untuk mencapai steady
state yang didapatkan dari ekstrapolasi hubungan antara massa senyawa
yang terpenetrasi dengan waktu.
d. Koefisien permeabilitas adalah nilai yang melambangkan laju penetrasi
PPD melalui kulit.
e. Dose absorbed per event (DAevent) adalah dosis PPD yang terasborbsi
untuk setiap kali pemakaian suatu produk.
f. Aparatus FDC yang digunakan adalah seperangkat alat FDC unjacketed
tipe lipatan dasar datar (ground o-ring), dengan diameter lubang 11 mm
dan volume reseptor 2,76 mL.
g. Sistem HPLC yang dipakai adalah sistem HPLC fase terbalik dengan
kolom (fase diam) C-18 dan fase gerak campuran akuades, NH4OH 10%,
dan asetonitril dengan perbandingan dan flow rate optimum. Detektor
C. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah baku
paraphenylenediamine (PPD) (Sigma Aldrich), metanol, asetonitril, amonium
hidroksida, natrium metabisulfit, natrium klorida, kalium klorida, dinatrium
hidrogen fosfat, kalium dihidrogen fosfat kualitas p.a. (E. Merck), akuades dan
akuabides (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi USD),
sampel pewarna rambut oksidatif, larutan ringer laktat (PT Widatra Bhakti), dan
kulit khatan (praeputium) manusia berumur di bawah 18 tahun yang diperoleh
dari Juru Supit Bogem, Kalasan, Yogyakarta.
D. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik OHAUS
pioneer tm PA214, Franz Diffusion Cell (FDC), water purifier Thermo Scientific
Easy pure II Barnstead, kertas Whatman dengan ukuran pori 0,45 µm, syringe,
mikropipet, milipore filter, hot plate IKA® RH Basic KT/C, alat ultrasonifikasi
Branson 3510, seperangkat peralatan preparasi kulit khatan (praeputium), dan
seperangkat alat-alat gelas (Pyrex). High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) yang digunakan adalah HPLC sistem fase terbalik dengan detektor
ultraviolet Waters Associate model 441, injektor Rheodyne 7125 loop 20 µL,
oven Waters Millipore® 1122, CBM-102 Shimadzu, pompa Waters model 510,
kolom C18 Shinwa Chemical Industries, LTD, dimensi 150 x 4.0 mm 5 µm STR
ODS-II, seperangkat komputer dengan aplikasi LabSolutions Shimadzu,
E. Tata Cara Penelitian
Studi absorpsi perkutan PPD ini mengadopsi Organization for Economic
Co-operation Development (OECD) Guideline for the Testing of Chemicals (Skin
Absorption: in vitro Method) tahun 2004 yang disertai beberapa perubahan dari
penulis.
1. Pembuatan fase gerak untuk sistem HPLC
Fase gerak yang digunakan adalah campuran akuades, NH4OH 10%, dan
asetonitril sesuai dengan hasil optimasi Emelia (2015), yaitu akuades + NH4OH
10% : asetonitril (90:10).
2. Pembuatan PBS pH 7,4 konsentrasi 0,01 M
Sebanyak 800 mL akuabides dimasukkan dalam gelas beker 1 L,
ditambah 8 g NaCl, 0,2 g KCl, 1,44 g Na2HPO4, dan 0,24 g KH2PO4 diaduk
dengan pengaduk magnetik hingga larut sempurna. Derajat keasaman larutan
diukur dengan pH meter dan pH larutan dibuat 7,4 dengan penambahan HCl.
Larutan dipindahkan dalam labu takar 1 L, ditambah akuabides sampai tanda.
3. Pembuatan kurva baku PPD
a. Pembuatan larutan natrium metabisulfit 0,001 M. Sejumlah 190,107
mg natrium metabisulfit ditimbang seksama lalu dilarutkan dalam akuades yang
b. Pembuatan larutan stok PPD 2 mg/mL. Sejumlah 100,0 mg baku PPD
ditimbang seksama lalu dilarutkan dengan larutan natrium metabisulfit dan
diencerkanhingga batas dalam labu takar 50 mL.
c. Pembuatan larutan intermediet PPD 40 g/mL. Sejumlah 20 L
larutan stok PPD 2 mg/mL diambil dan ditambahkan dengan 980 L larutan
natrium metabisulfit sehingga didapatkan larutan intermediet PPD 40 g/mL.
d. Pembuatan seri larutan baku PPD 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10 g/mL. Sejumlah
5, 10, 15, 20, 30, 40, 50 L larutan intermediet baku PPD 40 g/mL diambil lalu
masing-masing ditambahkan dengan sebanyak 195, 190, 185, 180, 170, 160, 150
L larutan natrium metabisulfit sehingga didapatkan seri larutan baku PPD 1, 2, 3,
4, 6, 8, 10 g/mL. Seri larutan baku diinjekkan ke sistem HPLC.
4. Uji difusi dengan FDC
a. Penyiapan sampel. Sampel pewarna rambut oksidatif yang digunakan
adalah campuran dari 20 bungkus sampel pewarna rambut oksidatif yang
didapatkan dari enam tempat penjualan sampel berbeda. Sampel ditimbang satu
per satu untuk pengujian keseragaman bobot, lalu dihomogenkan dengan mortir
dan stamper.
b. Preparasi kulit khatan (praeputium). Segera setelah kulit khatan
diambil dari subyek penelitian, kulit khatan dipindahkan ke cairan ringer laktat.
Sebelum penyimpanan pada suhu -4oC, kulit dibersihkan dari jaringan subkutan.
Apabila sudah siap digunakan, kulit dipotong sesuai dengan ukuran FDC dan
lalu kompartemen akseptor dimasukkan magnetic stirrer dan diisi PBS hingga
penuh. Suhu FDC dijaga 31 - 33oC. Perangkat FDC dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema FDC
c. Penetapan profil kinetika penetrasi PPD. Sampel diambil sebanyak
300 mg, lalu dicampurkan dengan 750 µL akuades. Sampel yang berbentuk pasta
diambil dan ditimbang sekitar 1–5 mg, lalu diaplikasikan pada kulit khatan.
Cairan PBS dari kompartemen reseptor diambil pada jam ke-0,5; 1; 1,5; 2; 2,5;
3,5; 4,5; 5,5; 6,5; 7,5; 8,5; 9,5; 10,5; 11,5, lalu diganti dengan volume cairan PBS
yang sama. Cairan dalam kompartemen akseptor FDC diinjek ke dalam sistem
HPLC. Langkah ini diulangi sebanyak lima kali sehingga terdapat lima variasi
massa sampel pewarna rambut oksidatif yang diaplikasikan. Pasta yang tersisa
dianalisis sesuai dengan langkah analisis sampel pada penelitian Feliana (2015)
untuk mengetahui massa PPD dalam pasta, yang selanjutnya digunakan untuk
menghitung massa PPD dalam kompartemen donor.
Kompartemen
donor FDC
Kulit
Kompartemen akseptor FDC
F. Analisis Hasil
1. Kurva baku PPD. Analisis hasil dilakukan dengan memplotkan
hubungan antara konsentrasi PPD dengan data AUC hasil injeksi yang didapat
pada tiap konsentrasi. Persamaan regresi linier y = bx + a yang didapat merupakan
standar eksternal yang dapat digunakan dalam penentuan konsentrasi PPD pada
penetapan kadar PPD dalam uji difusi dengan FDC.
2. Profil kinetika penetrasi PPD. Konsentrasi PPD tiap waktu sampling
ditetapkan berdasarkan AUC yang didapat. Konsentrasi PPD dapat dikonversi ke
massa PPD dengan mengalikan konsentrasi PPD dengan volume sampel yang
diinjek. Grafik hubungan antara massa PPD dan waktu pada steady state
ditentukan sehingga persamaan regresi linear (y = bx + a) dapat diketahui. Lag
time adalah nilai waktu yang memotong sumbu x, yaitu pada saat y = 0.
ab
τ = lag time (jam)
a = intersep b = slope
Kadar PPD dalam sampel dapat diketahui berdasarkan standar eksternal.
Massa PPD dalam kompartemen donor dapat diketahui dengan rumus:
Mdonor = Ms x C
Mdonor = massa PPD dalam kompartemen donor (µg)
Ms = massa sampel yang dioleskan (mg) C = kadar PPD dalam sampel (µg/mg)
Massa PPD dalam kompartemen donor dapat digunakan untuk
Cdonor = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/mL)
Mdonor = massa PPD dalam kompartemen donor (µg)
V = volume FDC (mL)
Koefisien permeabilitas PPD pada kulit manusia dapat ditentukan
melalui rumus:
Kp
o e A
Cdono Ca e to
Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)
slope = nilai slope grafik hubungan antara Creceiverdengan waktu
V = volume FDC (mL)
A = luas area kulit (cm2)
Cdonor = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm
3)
Cacceptor = konsentrasi PPD pada kompartemen akseptor (µg/cm
3)
Berdasarkan nilai teventdan t*, DAevent dapat dihitung dengan rumus yang
DAevent = dose absorbed per event (µg/cm2)
Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)
Cv = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm3)
tevent = durasi aplikasi sampel (jam)
B = Kow / 104
τ = lag time (jam)
Nilai t* dapat ditentukan berdasarkan nilai B. Apabila B lebih kecil atau
sama dengan 0,1, maka t* dapat dihitung dengan rumus:
t 2,
t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam) τ = lag time (jam)
Apabila B lebih besar dari 0,1 dan lebih kecil atau sama dengan 1,17,
maka t* dapat dihitung dengan rumus:
t ( , log B)
t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam)
B = Kow / 104
τ = lag time (jam)
Apabila B lebih besar dari 1,17, maka t* dapat dihitung dengan rumus:
t b b2 c2
t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam) τ = lag time (jam)
b 2/ (1 B)2– c
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pewarna rambut meupakan salah satu kosmetik yang umum digunakan.
Paraphenylenediamine (PPD) adalah salah satu senyawa yang biasanya
ditambahkan dalam pewarna rambut untuk memberikan warna yang lebih tahan
lama pada rambut. Produk pewarna rambut yang mengandung PPD dibiarkan
pada kulit kepala untuk beberapa saat, memberikan waktu bagi PPD berkontak
dengan rambut. Kontak ini mengenai bagian kulit kepala pula yang dapat memicu
difusi PPD ke kulit dan menembus hingga sirkulasi darah yang terdapat di dermis.
Telah diketahui sebelumnya pula bahwa masuknya PPD dalam sirkulasi darah
melalui kulit dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
bermanifestasi sebagai dermatitis kontak alergi. Oleh karena itu, penting untuk
menentukan profil kinetika penetrasi sehingga dapat diketahui seberapa besar
dosis PPD yang dapat terabsorpsi oleh sirkulasi darah untuk setiap penggunaan
produk pewarna rambut oksidatif yang digunakan dalam penelitian ini. Dosis
tersebut dapat dibandingkan dengan hasil dosis absorpsi pada penelitian lalu yang
menggunakan kulit orang Kaukasia untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
penetrasi PPD antara kulit orang Asia dan Kaukasia.
Franz Diffusion Cell (FDC) adalah sistem yang dapat digunakan untuk
mendapatkan profil kinetika penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif melalui
kulit. Kulit yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit khatan. Alat yang
dengan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm. Penetapan kadar PPD
pada kompartemen akseptor FDC dan pasta perlu dilakukan agar dapat dilakukan
asesmen risiko terhadap penggunaan sampel yang mengandung PPD.
A. Pembuatan PBS pH 7,4 Konsentrasi 0,01 M
Phospatebuffered saline (PBS) adalah salah satu larutan fisiologis yang
dapat digunakan sebagai cairan reseptor FDC. Larutan ini mengandung NaCl,
KCl, Na2HPO4, dan KH2PO4, yaitu ion-ion yang diperlukan untuk membran kulit
dalam mempertahankan fungsinya pada proses penetrasi senyawa.
Paraphenylenediamine (PPD) yang terpenetrasi pada kulit akan masuk ke PBS
yang pH-nya sengaja dibuat pada nilai 7,4 agar kondisinya menyerupai plasma
darah (Sherwood, 2001). Hal ini perlu dibedakan dengan pH kulit yang berkisar
5-6, karena PPD yang ditetapkan kadarnya adalah PPD yang masuk hingga sirkulasi
darah, oleh karena itu pH PBS dibuat 7,4. Larutan yang hendak digunakan sebagai
larutan dalam kompartemen akseptor tidak boleh mengganggu sistem kulit karena
dapat mempengaruhi sistem difusi zat.
Phospate buffered saline (PBS) dapat menjaga kondisi pH agar tetap
stabil dan memiliki osmolaritas yang sama dengan tubuh manusia (isotonis) dan
bersifat non-toksik bagi sel. Paraphenylenediamine (PPD) memiliki log Pow
sebesar -0,25 dan memiliki sifat hidrofil. Menurut Kielhorn et al. (2006), PBS
dapat digunakan sebagai cairan akseptor pada FDC untuk senyawa hidrofil karena
senyawa hidrofil dapat larut pada PBS. Untuk uji pada senyawa lipofil, cairan
reseptor berupa campuran solven seperti etanol dan air untuk menambah kelarutan
B. Pembuatan Kurva Baku PPD
Untuk mengetahui seberapa besar PPD yang terdapat dalam
kompartemen yang ingin ditetapkan, diperlukan suatu metode yang dapat
menggambarkan hubungan antara konsentrasi/massa suatu senyawa baku dengan
respon. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah kurva baku. Kurva baku
PPD adalah kurva yang dapat menggambarkan hubungan konsentrasi/massa PPD
dengan respon. Larutan yang digunakan untuk mendapatkan seri larutan baku
berasal dari pengenceran larutan intermediet dengan PBS. Phospate buffered
saline (PBS) digunakan sebagai pelarut seri larutan baku karena PBS juga
merupakan pelarut dalam kompartemen akseptor FDC yang melarutkan PPD.
Rentang konsentrasi kurva baku yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan rentang konsentrasi kurva baku dari hasil validasi metode penelitian
Feliana (2015). Hasil penetapan konsentrasi PPD pada kompartemen akseptor
FDC juga masuk dalam rentang konsentrasi ini.
Hubungan antara seri larutan baku dan AUC ditunjukkan oleh Gambar 9.
Kurva memiliki slope (b) sebesar 2499,5, intersep (a) sebesar 3578,2, dan
koefisien korelasi (r) yaitu sebesar 0,997. Koefisien korelasi yang mendekati
positif satu (+1) tersebut menandakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
kenaikan konsentrasi dengan kenaikan respon (berbanding lurus), maka metode
penetapan kadar tersebut dapat digunakan untuk menetapkan kadar PPD.
C. Penetapan Profil Kinetika Penetrasi PPD
Suatu senyawa dapat masuk ke sirkulasi darah melalui berbagai rute,
misalkan oral, transdermal, dan intravena. Secara umum, kosmetik merupakan
produk yang penggunaannya adalah secara eksternal dan senyawa yang terdapat
dalam kosmetik tersebut tidak dimaksudkan untuk masuk ke sirkulasi darah.
Meskipun demikian, terdapat beberapa senyawa seperti salah satunya PPD yang
dapat menembus barrier tubuh (misal kulit) dan masuk ke jalur sistemik tubuh.
Franz Diffusion Cell (FDC) adalah suatu aparatus yang digunakan untuk studi
absorpsi perkutan senyawa secara in vitro. Aparatus ini melibatkan penggunaan
media difusi yang diaplikasikan dengan suatu sampel yang mengandung senyawa
yang ingin diketahui absorpsinya. Pada penelitian dengan PPD dengan FDC ini,
digunakan metode penelitian yang diadopsi dari OECD 428 Guideline for the
Testing of Chemicals (Skin Absorption: in vitro Method) tahun 2004 disertai
beberapa modifikasi. Penelitian ini menggunakan kulit khatan (praeputium)